I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara global, ada tiga kawasan penting dunia sebagai tempat perubahan iklim global salah satunya adalah negara Indonesia. Dua diantaranya merupakan atas daratan sekitar kawasan hutan hujan di Congo di ekuator Afrika dan kawasan Amazon di Amerika Selatan. Hal ini disebabkan oleh Indonesia dikelilingi oleh lautan sehingga menyebabkan pada kawasan ini di duga sebagai penyimpan panas terbesar baik yang sensibel maupun yang laten (tersembunyi) bagi pembentukan awan-awan Cumulus, seperti Cumulunimbus (Hermawan,2002). Indonesia merupakan salah satu kawasan yang terletak di daerah ekuator yang memiliki karakteristik atmosfer yang berbeda-beda yang dikenal dengan Benua Maritim Indonesia (BMI). Bahwa Indonesia diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudra besar (Hindia dan Pasifik) dengan distribusi antara lautan dan daratan yang tidak merata (Sipayung SB, 1995). Sehingga menarik apabila dilakukan kajian terhadap dinamika atmosfer kawasan Indonesia Bagian Barat. Akibat posisi tersebut, maka kondisi meteorologi permukaan Indonesia dipengaruhi oleh adanya iklim Monsun atau Monsoon climate. Selain itu, disebabkan oleh adanya pergerakan massa udara yang lembab dari arah barat ke timur maupun sebaliknya akibat adanya pemanasan yang besar berasal dari Samudra Hindia (daerah dominan uap air dari angin barat) dan angin timur yang membawa uap air dari Samudra Pasifik sehingga pada kawasan tersebut relatif basah dan curah hujannya relatih lebih tinggi dari kawasan Indoenesia lainnya (Komalaningsih,2004) Pemahaman tentang karakteristik dan mekanisme proses-proses fisis atmosfer, khususnya yang ada di kawasan Indonesia hingga saat ini belum sepenuhnya diketahui oleh orang. Hal ini disebabkan oleh minimnya data dan peralatan yang digunakan, terutama data profil angin meridional (Utara-Selatan) sebagai parameter utama ketika kita membahas fenomena Monsun. Salah satu fenomena global yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia adalah fenomena Monsun, salah satu fenomena atmosfer di daerah ekuator dengan osilasi atau embutan dominan antara 6-12
bulan (Khrisnamurti, 1976). Angin Monsun dicirikan dengan perubahan arah angin akibat perubahan musim. Pada musim dingin permukaan tanah (benua) mengalami pendinginan lebih cepat daripada permukaan air (lautan). Perbedaan laju pendinginan ini menyebabkan timbulnya sistem tekanan tinggi di atas daratan dan sistem tekanan rendah di atas permukaan laut (June T, dalam Handoko 1995) Keterkaitan fenomena Monsun dengan curah hujan belum sepenuhnya diketahui dengan baik dan benar. Keterkaitan Monsun dengan curah hujan dapat diketahui dengan menggunakan data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) sehingga diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih konperehensif. Pengkajian terhadap karakteristik iklim khususnya di daerah ekuator belum sepenuhnya diketahui. Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin merupakan daerah yang berada di sekitar ekuator, walupun ketiga daerah tersebut berada di di ekuator namun memilki perilaku curah hujan yang berbeda-beda. Karena kita tidak tahu persis fenomena apa yang terjadi diantara lapisan 850 mb (batas lapisan bawah) hingga lapisan 200 mb (batas lapisan atas), maka peranan EAR dan fasilitas penunjang lain yang ada di Kototabang yang memang telah khusus dirancang dengan resolusi waktu dan tinggi pengamatan yang relatif amat singkat (dalam orde menit dan beberapa ratus meter), 1.2Tujuan Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah 1. Meningkatkan pemahaman tentang karakteristik, mekanisme proses-proses fisis atmosfer, khususnya masalah Monsun yang merupakan osilasi dominan yang terjadi di Indonesia 2. Mengkaji pola curah hujan di kawasan barat Indonesia guna mengidentifikasi fenomena pola osilasi Monsun. 3. Mengakaji keterkaitan antara Monsun dengan anomali curah hujan yang terjadi di kawasan barat Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monsun Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun. Ada dua ciri utama daripada
2 iklim Monsun di atas, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode Desember, Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA) (Chao et al, 2001). Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang, 1984). Kata Monsun biasanya digunakan hanya untuk system angin (Neuwolt,1977). Ramage(1971) memberikan kriteria untuk areal Monsun berdasarkan sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai berikut: 1. Angin yang dominan pada periode bulan Januari dan Juli memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200 2. Frekwensi rata-rata angin dominan pada bulan Januari dan Juli melebihi 40% 3. Rata-rata kecepatan resultan angin pada salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli) melebihi 10 m/s Chang (1984) menyatakan angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek thermal, dan bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt. Pada tahun 1957, Khomorov telah mengembangkan indeks Monsun untuk menentukan wilayah Monsun (Ramage, 1971) Ikh = (Fjan + F’juli)/2 Keterangan : Fjan dan F’juli merupakan frekuensi angin dominan (%) yang memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200 antara periode bulan Januari dan Juli. Berdasarkan indeks dari Khomorov tersebut, maka Indonesia merupakan daerah Monsun, yang pada umumnya wilayah Indonesia memiliki indeks Monsun antara 40-60% kecuali di pulau Sumatera bagian utara (termasuk wilayah Aceh) memiliki indeks Monsun lebih dari 60%. Ramage (1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon ) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsoon). Pada musim dingin, massa udara mengalir dari pusat tekanan tinggi ke pusat tekanan rendah ke arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang. Massa udara yang kearah tenggara mengalami konvergensi di Laut Cina selatan dengan
massa udara timur laut dari Samudra Pasifik (Ding Y et al, 2004). Kemudian dua massa udara (massa udara yang mengalami konvergensi massa udara yang ke arah Selatan) bergabung menuju Tenggara dan membentuk Monsun Timur Laut dan selanjutnya berubah menjadi baratan di Indonesia (setelah melewati ekuator) (Jhun JP, 2003).
Gambar 1
Pola angin Monsun pada saat musim dingin (winter) (Johnson, 1991)
Pada musim panas, pusat tekanan rendah berada di sebelah timur laut India, tetapi Monsun mulai berkembang di Cina Selatan, kemudian ke Birma dan beberapa bulan kemudian berkembang di India (Barry dan Chorley, dalam Nieuwolt, 1977).
Gambar 2
Pola angin Monsun pada saat musim panas (summer) (Johnson, 1991)
(Wang B, 1998) menyatakan ada tiga sumber massa udara selama berlangsungnya
3 Monsun pada musim panas. Sumber massa udara yang pertama berasal dari Samudra Hindia di selatan ekuator. Massa udara ini bersifat lembab, hangat dan tidak stabil yang mengalami konvergensi setelah mendekati ekuator. Sumber massa udara yang kedua adalah tekanan tinggi di Australia. Massa udara ini bersifat stabil dan kering dan kondisi ini berlangsung sampai di Tenggara Indonesia dan lebih barat lagi, massa udara ini menjadi bersifat lembab dan tidak stabil. Massa udara ketiga berasal dari Samudra Pasifik yang bersifat lembab, hangat dan relatif stabil. Namun setelah melewati samudra hangat massa udara tersebut menjadi tidak stabil. 2.2 Monsun di Indonesia Asia Timur dan Asia sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling berkembang. Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang dengan baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan tinggi Tibet terhadap aliran udara (Prawirowardoyo,1996). Trewartha (1995) mengemukakan massa daratan yang sangat luas di benua Asia memperhebat perbedaan yang timbul dari selisih pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan. Lebih jauh, Asia yang membentang dari Timur-barat pada kisaran lebar dari garis bujur di hemisfer Utara, sedangkan di hemisfer Selatan terutama adalah samudera di Selatan Equator. Akibatnya bagian terbesar dari perbedaan pemanasan yang menyebabkan sirkulasi Monsun, meliputi juga perbedaan utaraselatan, jadi memperkuat pergeseran normal menurut garis lintang dari sistem-sistem angin utama. Karena adanya deretan pegunungan yang sangat tinggi di Asia yang terentang arah Timur-Barat yaitu arah Timur Laut Kaspia ke China, sirkulasi meridional udara sangat terhambat. Hal ini membuat perbedaan musiman dalam temperatur dan tekanan yang lebih dramatis lagi. Selama musim dingin massa daratan disebelah utara pegunungan itu menjadi demikian dingin hingga menghasilkan sistem tekanan tinggi yang kuat di atas Asia Timur Laut dan suatu aliran keluar udara dingin yang cukup menonjol dari Asia Timur (Trewartha, 1995). Di lain pihak, pemanasan intensif musim panas atas daratan subtropis yang terletak di sebelah selatannya deretan pegunungan itu, melahirkan suatu kawasan
tekanan rendah dan suatu aliran inflow udara hangat yang kuat dan lembab ke Asia Selatan. Pada musim dingin di belahan bumi utara (BBU), yaitu pda bulan Desember, Januari, dan februari angin Monsun bertiup dari Siberia menuju ke benua Australia (Wu, 1999). Pada periode ini daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin Monsun bertiup dari barat ke timur. Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki di bulan Januari merupakan bulan maksimum dari musim dingin di belahan bumi utara (BBU). Oleh sebab itu daerah ini dinamakan Monsun Barat dan musimnya disebut Musim Monsun Barat, sedangkan di daerah yang mencakup sebagian besar Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin Monsun datang dari arah Timur Laut. Oleh karena itu, angin Monsun dai daerah ini disebut Monsun Timur Laut dan Musimnya disebut Musim Monsun Timur Laut. Pada musim panas di belahan bumi utara (BBU), terjadi sebaliknya angin Monsun berhembus dari benua Australia menuju ke Asia. Oleh karena itu disebut Monsun Timur dan musimnya dinamakan Musim Monsun Timur, sedangkan di daerah yang melingkupi bagian Sumatera lainnya dari Kalimantan Barat angin Monsun bertiup dari arah barat daya ke timur laut sehingga angin Monsun ini disebut Monsun Barat Daya dan musimnya disebut Musim Monsun Barat Daya. Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki pada bulan maksimum musim padan di belahan bumi utara (BBU) yaitu bulan Juli (Prawirowardoyo,1996) 2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Pengamatan dan penelitian atmosfer mengenai cuaca telah banyak dilakukan kerjasama oleh berbagai instansi dalam maupun luar negeri dengan adanya pengamatan berbagai fenomena atmosfer maupun dinamika atmosfer dengan menggunakan data radar. Pengamatan dengan menggunakan radar telah dilakukan sejak tahun 1992 oleh pemerintahan Jepang (RSAC, Universitas Kyoto) bekerja sama dengan LAPAN dan BPPT, yaitu beroperasinya Boundary Layer Radar (BLR) dan Meteor Wind Radar (MWR) di Puspitek Serpong, Jawa Barat. Selain BLR yang ada di Global Atmospheric Watch (GAW) BMG, Kototabang, Sumatera Barat. Selain itu ternyata dibutuhkan lagi data atmosfer radar di Indonesia. Dengan dibangunnya EAR
4 (Equtorial Atmosphere Radar) di stasiun Kototabang sekitar 19 km dari Bukittinggi bagian utara, Sumatera Barat Indonesia (0.20 LS; 100.320 BT, 865 mdpl) dimulai dari tanggal 26 Juni 2001 dengan tujuan untuk meneliti perilaku angin dan turbulensi yang terkadi di lapisan troposfer dan lapisan bawah stratosfer dengan resolusi tinggi dalam pengukuran waktu dan ketinggian (Hermawan,2002) Selain itu EAR dirancang khusus untuk mengamati fenomena atmosfer dalam selang pengamatan yang relatif pendek biasanya permenit seperti pada peristiwa penjelasan gelombang Rossby, gelombang kelvin ataupun kombinasi dari keduanya (Hermawan,2002).
maksimum peak dan kekuatan transimisi ratarata 100kW dan 5kW menggunakan threeelement Yagi antenna squared sebanyak 560 buah pada ketinggian sekitar 865 mdpl.
Gambar 4 Antena Radar (Shu, 2009)
Gambar 3
560 Yagi Antena EAR yang terdapat di Kototabang, Sumatera Barat (Fukao et al.2003)
Prinsip pengukuran angin dengan radar adalah radar memancarkan dan menerima pulsa radiasi gelombang mikro di antenanya. Antena memfokuskan radiasi menjadi beam sempit, sehingga sinyal yang ditransmisikan berjalan kearah yang spesifik. Sinyal yang diterima dipantulkan dari target yang terletak di arah beam, dan jarak antara radar dengan target bias ditentukan secara akurat dari selang waktu sinyal dipancarkan sampai sinyal diterima. Menurut Holton 1992 dalam Handayani 1996, komponen angin horizontal dapat dipisahkan menjadi dua komponen yaitu : 1. Komponen anigin Timur-Barat (angin zonal)disebut komponen angin U. 2. Komponen angin Utara-Selatan (angin meridional) disebut komponen angin V. EAR merupakan Radar Doppler yang dibangun untuk observasi pada daerah ekuator, EAR beroperasi pada 47Mhz dengan
Kelebihan dari radar ini yaitu menggunakan antena putar sehingga dalam oprasinya dapat diputar ke segala arah, asalakan masih berada dalam radius 300 dari sumbu vertikal. Alat ini dirancang khusus untuk memantau arah dan kecepatan angin dan turbulensi secara kontinu dimulai dari lapisan 1.5 hingga 22 km (lapisan troposfer dan bawah stratosfer) dalam arah tiga dimensi (vertikal, meridional, dan zonal) dalam selang waktu menit-an pada setiap ketinggian 150 hingga 300 meter. Salah satunya adalah pengamatan Quasi Biennal Osciallation (QBO) yang merupakan salah satu parameter penting dalam pendugaan datangnya ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) di Indonesia. Kekurangan yang ada pada saat ini adalah minimnya datavertikal atmosfer yang ada. Padahal kita tahu bahwa ada keterkaitan yang erat antara fenomena yang terjadi di lapisan stratosfer/troposfer dengan lapisan di bawahnya yang dikenal dengan istilah coupling (Hermawan,2002) EAR terdiri dari peralatan-peralatan sebagai berikut: 1. ANT (Antenna Array) a. Power Distribution Unit (PDU) b. Transceiver Module (TRX Module) 2. TRX(Transmitter and Receiver) a. Pre-Amplifier TRX Module b. TRX Module 3. SMD (Signal modular System and Demodulator) 4. SP (Signal Processor) 5. CHAM (Chamber)
5 a. b.
Enginnering Workstation Melco PC for maintanance purpose c. SMD d. SP 6. SDU (Signal Distribution Unit) a. Power Supply (10 & 80 VDC) b. Signal is divide to 24 Menurut Hermawan (2002) EAR memiliki keunikan-keunikan diantaranya: 1. Mengamati fenomena atmosfer yang resolusi waktu pengamatannya relatif sangat pendek (biasanya per menit) seperti peristiwa penjalaran gelombang Rossby, gelombangg Kelvin atau kombinasi keduanya. 2. Menggunakan antenna putar sehingga dalam operasinya dapat diputar kesegala arah, asalkan masih dalam radius 300 dari sumbu vertikal. 3. Mampu mendeteksi fenomena elektromagnetik yang terjadi pada lapisan sekitar 100km. 4. Untuk mendeteksi angin mulai dari lapisan 1.5 km hingga 20 km (operasional) Tabel
1
Spesifikasi EAR (Equatorial Atmosphere Radar) di Kototabang Lokasi 100.320BT; 0.20LS ; 865m dpl
Frekwensi Daya Keluaran Sistem Antenna Lebar beam
47MHz 100 kW 560 antena Yagi tiga elemen berbaris pada area hampir lingkaran berdiameter 110m 3.40 (-3. One way)
Arah beam
Kesegala arah dalam rentang 300dari sudut zenith
Jarak Pengamatan
1.5-20 km dalam arah 3 dimensi (vertikal, meridional dan zonal) untuk turbulensi atmosfer dalam selang waktu 2.3 menit untuk setiap ketinggian 150 meter dan lebih dari 90 km untuk irregularitas ionosfer (area tropofer sedikit dibawah statosfer)
Klarifikasi
Instalasi
Penggunaan
Untuk meneliti dinamika atmosfer yang terkait perubahan iklim dunia, terutama anomali iklim yang menyebabkan El-Nino dan La-Nina
Info Hasil
Untuk mengamati resolusi tinggi arah dan kecepatan angin, yang memungkinkan penelitian struktur atmosfer khatulistiwa secara lengkap. Deputi SAINS, Pengkajian dan Informasi-LAPAN Tahun 2001
Pengelola Beroperasi
(Sumber: Fukao et al.2003) 2.4 Iklim di Indonesia Iklim merupakan keseluruhan cuaca yang meliputi jangka waktu panjang di suatu wilayah, biasanya diikhtisarkan menurut ratarata dan ukuran statistik keragaman. Unsurunsur utama iklim adalah suhu udara, kelembaban, udara, curah hujan, tekanan udara, angin dan intensitas matahari (Handoko,1995) Indonesia merupakan daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker). Sehingga memiliki golakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh Indonesia merupakan daerah maritim yang memiliki topografi yang sangat bervariasi dan membentang luas di sekitar ekuator. Sirkulasi Walker dan Hadley terjadi akibat perbedaan pemanasan seperti daratan Asia dan perairan di kawasan Asia Tenggara yang disebut denagn peredaran angin Monsun. Monsun merupakan angin yang berhembus sepanjang tahun di daerah Asia Barat dan berganti dua kali dalam setahun. Akibat angin monsun di wilayah Indonesia adalah adanya angin baratan yang bertepatan dengan Monsun dingin Asia dan membawa massa udara dingin yang lembab. Sehingga menimbulakn banyaknya hujan pada banyak lokasi. Monsun dingin Asian dikatakan banyak menimbulkan hujan apabila suhu pada saat musim dingin di daratan Asia dingin, sehingga mengakibatkan suhu massa udara yang melewati Laut Cina
6 Selatan juga sangat dingin, sementara suhu muka laut Cina Selatan cukup tinggi.
tiga daerah di Indonesia berikut berdasarkan metode korelasi ganda.
Kadarsah (2007) mengemukakan Indonesia memiliki tiga jenis pola curah hujan: 1. Pola Curah Hujan Monsun Wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF (Desember-Januari-Februari) musim hujan, JJA (Juni-Juli-Agustus) musim kemarau). Contoh pola hujan monsun adalah hujan bulanan di wilayah Lampung, Jakarta, Ujung Pandang dan Kupang. 2. Pola Curah Hujan Ekuator Wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan April dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Misalnya hujan bulanan wilayah Aceh, Padang, Solok dan Pontianak 3. Pola Curah Hujan Lokal Wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Misalnya hujan bulanan wilayah Ambon.
Gambar 6 Pembagian Pola Iklim (Kadarsah, 2007)
Gambar 5 Pola Curah Hujan di Indonesia (Kadarsah, 2007) Curah Hujan memiliki keragaman dalam ruang dan waktu. Selain itu dalam bentuk lain
ini
Region atau daerah A, pola curah hujannya berbentuk huruf U ( paling kiri), sedang pola Region B, pola curah hujannya berbentuk huruf M ( tengah) dengan dua puncak curah hujan.Sedangkan pola Region C berbentuk huruf U terbalik ( kanan) atau berkebalikan dengan Region A. Garis merah merupakan curah hujan dalam milimeter sedangkan garis hitam merupakan deviasinya. Region A: region Monsun tengara/Australian monsun Region B: region semi-Monsun/NE Passat monsun Region C :region anti-Monsun/Indonesian throughflow Menurut Kadarsah (2007) Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur. 2. Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat. 3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut. 4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba.
7 Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar. 5. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti: 1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November. 2) Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulanDesember. 3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari. 6. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan MeiJuni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini. Kadarsah (2007) mengemukakan ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi: 1. Daerah yang mendapat curah hujan ratarata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk). 2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi. 4. Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Posisi Kototabang terletak pada 0.20 LS; 100.320 BT; 865 mdpl, Padangpanjang 0.50 LS; 100.410 BT; 700 mdpl dan Sicincin terletak pada 0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl (Suryantoro et al, 2009). Provinsi Sumatera Barat berbatasan dengan Provinsi riau, Jambi dan Sumatera Utara. Berdasarkan letak geografisnya Sumatera Barat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang nol derajat),
sehingga Sumatera Barat tergolong beriklim tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi.
Gambar
7
Posisi Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin (http://gaw.kishou.go.jp/qasac /bkt_map.jpg,\)
Kawasan Sumatera Barat termasuk kedalam pola curah hujan ekuatorial, artinya yaitu daerah ini memiliki dua puncak hujan dalam setahun. Selain itu, banyak dipengaruhi oleh pengaruh topografi seperti adanya bukit barisan. 2.5 Struktur Lapisan Atmosfer Atmosfer bumi merupakan lapisan gas yang menyelimuti bumi dan penting bagi kehidupan makhluk hidup.atmosfer setinggi 5.5-5.6 km telah mencakup 50% dari massa total dan pada ketinggian 40 km mencakup 99.99%. Batas bawah atmosfer relatif lebih mudah ditentukan berdasarkan ketinggian permukaan laut. Sedangkan puncaknya sulit ditentukan karena disamping besarnya keragaman ukuran dan massa partikel terdapat pula keragaman suhu permukaan bumi dan kekuatan angin yang mempengaruhi pengangkatan bahan (Nasir, dalam Handoko, 1995). Atmosfer dapat dibedakan berdasarkan parameter-parameter seperti tekanan udara, masa atmosfer dan profil temperatur. Profil temperatur vertikal dapat dibagi menjadi empat lapisan yang berbeda yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Puncak dari lapisan-lapisan tersebut adalah tropopause, stratopause, mesopause, dan termopause.
8
Gambar
8
Struktur Lapisan Atmosfer (Annenberg, 2009)
Nasir, dalam Handoko (1995) mengemukakan perubahan suhu udara di atmosfer secara vertikal (menurut ketinggian) berbeda-beda dapat dikelompokkan menjadi tiga hal: a. dT/dz > 0 Suhu naik, dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini disebut inversi suhu b. dT/dz = 0 Suhu tetap walaupun ketinggian berubah. Hal ini disebut isotermal c. dT/dz < 0 Suhu udara turun dengan bertambahnya ketinggian disebut lapse rate Troposfer merupakan lapisan terbawah dari atmosfer terdapat pada ketinggian dari 8 km di daerah kutub dan 16 km di ekuator. Ruang terjadinya sirkulasi dan turbulensi seluruh bahan atmosfer sehingga menjadi salah satu lapisan yang mengalami pembentukan dan perubahan cuaca seperti angin, awan, presipitasi, badai, kilat dan guntur. Kecepatan angin pada lapisan ini bertambah dengan naiknya ketinggian dan di troposfer ini pemindahan energi berlangsung. Radiasi surya menyebabkan pemanasan permukaan bumi yang selanjutnya panas tersebut diserap oleh air untuk berubah menjadi uap. Akibat proses evaporasi, energi panas diangkat oleh uap ke lapisan atas yang lebih tinggi berupa panas laten. Setelah terjadi pendinginan berlangsung proses kondensasi. Pada lapisan ini suhu udara turun dengan bertambahnya ketinggian (dT/dz < 0) atau pada keadaan lapse rate. Rata-rata lapse rate seluruh dunia pada keadaan normal adalah -6.5K setiap kenaikan ketinggian 1 km. Pada atmosfer normal, suhu troposfer berubah dari 150C pada permukaan laut menjadi -600C di puncak troposfer. Tekanan dan kerapatan
udara di permukaan laut masing-masing adalah 1013.2 mb dan 1.23 km m-3. Lapisan di atasnya dengan suhu tetap atau meningkat disebut stratofer kisaran ketinggiannya antara 12-50 km diatas permukaan laut. Lapisan ini terdiri dari 3 wilayah antara lain Stratofer bawah krtinggiannya 12-20 km daerah isotermis, Stratosfer tengah ketinggiannya 20-35 km daerah inversi suhu, Stratosfer atas ketinggiannya 35-50 km daerah inversi suhu yang kuat. Lapisan ini tidak mengalami turbulensi maupun sirkulasi. Stratosfer merupakan lapisan atmosfer utama yang mengandung gas ozon. Lapisan dengan suhu menurun dari 50-80 km disebut mesosfer dengan perubahan suhu terhadap ketinggian adalah lapse rate. Pada lapisan inisuhu udara sekitar -50C pada lapisan hingga -950C pada puncaknya. Tidak mengalami turbuleni atau sirkulasi udara. Merupakan daerah penguraian 02 menjadi atom O. Batas atasnya adalah lapisan mesopause dengan perubahan suhu terhadap ketinggian mulai bersifat isotermal. Lapisan di atasnya dengan suhu yang meningkat disebut termosfer. Lapisan ini ditandai dengan beberapa ciri yaitu memiliki ketinggian 80 km hingga batas yang sulit ditentukan karena sangat jarangnya partikel gas yang mencapai lapisan ini. Lapisan ini merupakan tempat berlangsungnya proses ionisasi gas ionasasi gas N2 dan O2 sehingga lapisan ini disebut ionosfer. Dimana diatas ketinggian 100km pengaruh radiasi uv dan sinar x makin kuat. 2.6 Spectral Density Metode analisis Spectral Density diantarnya adalah FFT (Fast Fourier Transform) dan transformasi wavelet. Spektral density merupakan fungsi untuk melihat sifat suatu frekuensi dalam sebuah deret data (time series). Analisa spektral adalah suatu cara yang umumnya digunakan untuk melihat adanya suatu periodisitas yang mungkin tersembunyi dalam data deret waktu tersebut. Dengan metode Transformasi wavelet terbobot dan wavelet softwere diperoleh frekuensi curah hujan. Dari frekuensi kemudian ditentukan periode dan periode dominan, yaitu periode kemunculannya yang lebih dari satu kali atau periode dengan daya spektrum tinggi. Transformasi wavelet adalah metode untuk analisis periode deret waktu, khususnya mengamati evolusi waktu (periode, amplitudo dan fase) suatu parameter (Juaeni dkk, 2009). Metode ini mentransformasikan
9 fungsi spasial atau temporal menjadi fungsi frekuensi. Transformasi wavelet berguna dalam menggambarkan perilaku sinyal-sinyal periodik dan semi periodik. Pada saat yang diterapkan pada data yang tidak lengkap, respon transformasi ini sangat tergantung pada ketidak teraturan jumlah dan spasi data. Dengan memperlakukan transformasi wavelet sebagai proyeksi terbobot, kemampuan untuk mendeteksi perilaku sinyal periodik dan semi periodik dapat ditingkatkan. Metode transformasi wavelet ini pertama kali diperkenalkan oleh Foster (1996) yang dikenal dengan nama Transformasi wavelet Terbobot Z atau Wavelet Weighted Z-Transform (WWZ). Transformasi wavelet juga dikembangkan oleh Torrence dan Compo (1998) dengan penggunaan metode Monte Carlo kasus SOI (Soutern Oscillation Index) Analisis Fourier merupakan konsep dasar dengan menggunakan fungsi penjumlahan antara hubungan kosinus dan situs, analisis ini juga sering disebut dengan deret fourier yang dapat dirumuskan sebagai berikut: (Persamaan 2.1)
γ(k) = γ(k) =
……(2.6) ….(2.7)
Persamaan diatas adalah persamaan integral biasa (Rienmann) dan oleh karena itu persamaan tersebut lebih mudah untuk digunakan. Dengan memasukkan nilai k=0 maka persamaan tersebut menjadi persamaan (2.8)
γ(0) =σx 2 Fungsi f(ω) dω dalam persamaan fisika dari spektrum merupakan bagian dari komponen varians dengan interval frekuensi (ω, ω+dω). Puncak dari spektrum tersebut menunjukkan bagian yang sangat penting untuk varians dari suatu frekuensi yang tepat dalam suatu frekuensi yang tepat dalam suatu interval. Pada persamaan (2.8) yang menyatakan hubungan antara γ(k) dan f(ω) sebagai tranformasi dari fungsi cosinus. Hubungan inverse nya dapat dituliskan berikut:
…………………(2.9) Pada suatu selang (0,2π), (-π, π) dengan perioda 2π. Keterangan:
(2.2)
Spektrum tersebut merupakan bagian dari tranformasi fourier dari fungsi autokovarians. Pada saat γ(k) merupakan fungsi yang tetap, sehingga persemaan (2.9) dituliskan kedalam persamaan (2.10) yaitu : (2.10
(2.3) r=1,2,….
(2.4) Fungsi dari analisis spektral density ini dapat dituliskan sebagai berikut (Christopher, 1989):
……….. (2.5)
Keterangan: F(ω) merupakan fungsi dari distribusi energi spektral jika f(ω) tetap, sehingga persamaan fungsi autokovarians dari analisis spektral yaitu:
) Keterangan : Persamaan diatas digunakan untuk suatu proses yang mengandung komponen determinan suatu frekuensi ω0, juga Σγ(k) cos ω0k yang tidak akan bisa terhitung pada saat fungsi dari F(ω) tidak bersifat diferensial pada ω0 dan f(ω0) tidak dapat ditentukan. Pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk mendefinisikan spektum dengan interval (-π,π), yaitu: …………..(2.1 1)
10 Dari hubungan dinyatakan menjadi:
γ(k) =
inverse
nya
dapat
……...(2.12)
ƒ=ω/2π menyatakan sebagai variabel dari frekuensi. Sedangkan persamaan (2.11) dan (2.12) adalah bentuk pasangan dari persamaan transformasi fourier. Persamaan ini adalah bentuk tranformasi umum yang dapat diaplikasikan atau dipakai untuk bilangan kompleks dalam suatu deret waktu (time series). Tetapi untuk time series yang real, fungsi f(ω) adalah fungsi yang tetap dan ω>0. Sedangkan untuk nilai frekuensi yang negtiff maka kita dapat menghitung fungsi autokovarians f(ω) sama dengan persamaan (2.9) dengan interval frekuensi (0,π). Fungsi (2.9) digunakan untuk bentuk normal dari fungsi spektral density yaitu: f*(ω) = f(ω)/σx2 =
………..(2.13)
Dimana F*(ω) adalah ukuran dari varians yang dihitung dengan suatu frekwensi dengan interval (0,ω). Persamaan diatas merupakan bentuk dari fungsi distribusi spektal yaitu
ƒ*(ω) = ƒ(ω)/σx2
2.7 Semi Annual Oscillation (SAO) dan Annual Oscillation (AO) Fenomena ini dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari ke arah utara dan selatan yang melewati Ekuator sebanyak dua kali. Pada saat matahari berada di atas Ekuator, daerah yang berada dekat dengan Ekuator mengalami pemanasan lebih besar sehingga menyebabkan tekanan tekanan udara menurun sehingga massa udara dari daerah tekanan tinggi subtropik Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan menuju ke daerah tekanan rendah tersebut. ITCZ mengikuti pergerakan matahari dengan posisi sedikit di belakang matahari. Pengaruh ini di tandai dengan adanya dua puncak curah hujan maksimal dua kali dalam satu tahun, yaitu terjadi pada saat bulan April dan Oktober yaitu pada saat matahari dekat ekuator. Adanya perubahan posisi matahari yang berosilasi dalam 1 tahun dari garis balik utara ke selatan dan sebaliknya merupakan penyebab utama terjadinya fenomena monsun (AO). Monsun dapat terjadi ketika matahari bergerak ke arah selatan yaitu ketika menuju ke arah garis balik selatan (23.50 LS) dan mencapai titik maksimum ketika matahari
berada di ekuator. Aktivitas AO memiliki periode 365 hari atau 1 tahun (Endarwin et al, 2000). 2.8 Analisis Korelasi Silang Korelasi menunjukkan adanya hubungan keeratan antara dua variabel atau lebih. Jika dua atau lebih variabel tersebut berhubungan hasilnya dapat ditentukan dengan koefisien korelasi, nilai koefisien korelasi berkisar -1 dan +1 yang menunjukkan berbagai derajat hubungan dari yang sangat lemah hingga yang sangat kuat atau tinggi. Korelasi silang merupakan ukuran hubungan (measure of association) yang di standarkan anatar satu deret angka berkala dengan nilai masalah pada saat ini dan pada saat yang akan datang dari deret berkala lainnya. Karakteristik korelasi silang sama dengan korelasi biasa dengan nilai berkisar -1 dan +1 yang berfungsi sebagai autokorelasi di dalam pemodelan transfer untuk analisis deret berkala univariat, korelasi silang sangat berperan penting dalam pemodelan multivariat yang berhubungan dengan suatu deret data time series dengan adanya suatu hubungan antara satu deret yang di lambangkan dengan lag dengan yang lainnya dan sebaliknya (Makridakis et al, 1999) Menurut Silalahi (1999) jika koefisien korelasi 0 atau mendekati 0 mengindikasikan tidak adanya hubungan sistematik antara dua variabel maksudnya adalah peningkatan atau penurunan dalam satu variable tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan dalam variable lain ataupun sebaliknya. Varians atau ragam adalah sebuah parameter statistik untuk sampel atau populasi. Varians bisa dinyatakan sebagai Sx, Vx, dan COVxx (Makridakis et al, 1999). Ragam merupakan rata-rata deviasi kuadrat nilai tengah dan variansi atau simpangan baku hanya berguna dalam embandingkan dua atau lebih distribusi yang sama satuan pengukurannya. Adapun selang kepercayaan yang digunakan dalam korelasi silang ini yaitu 95%. Dalam statistika, selang kepercayaan (Bahasa Inggris: confidence interval, CI) merupakan sebuah interval antara dua angka, dimana dipercaya nilai parameter sebuah populasi terletak di dalam interval tersebut. Persamaan 2.15 -Z(1-α/2)(1/ n)< rk< + Z(1-α/2)(1/ n)