I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun, ρ adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, dan τ adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun. Besarnya transmisi dan refleksi radiasi surya pada kanopi hutan bergantung pada sudut datang radiasi surya, karakter tegakan pohon, karakter permukaan tanah, dan arsitektur tegakan. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada areal tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi matahari di puncak, tengah dan dasar tajuk (June, 1993). Selanjutnya Odum (1970) mengemukakan bahwa banyak tanaman yang tumbuh di bawah naungan tanaman lain di mana akan terjadi adanya kualitas spektrum berbeda dengan radiasi surya langsung, sehingga mengakibatkan pengurangan jumlah radiasi yang diterima oleh permukaan daun dibandingkan dengan daun tersebut menerima radiasi surya langsung. Keadaan ini mempunyai implikasi yang penting untuk tanaman-tanaman yang tumbuh di bawah kanopi tebal seperti: tanaman-tanaman di dasar hutan. Pengukuran radiasi surya yang sampai di permukaan bumi dapat dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan berbagai macam alat ukur radiasi surya, seperti misalnya: solarimeter, radiometer sonde, dan lain sebagainya. Cara tersebut mudah dilakukan dalam cakupan area kajian yang tidak terlalu luas, akan tetapi lain halnya apabila dilakukan pada daerah kajian yang memiliki cakupan area yang cukup luas, seperti pada hutan misalnya. Teknik penginderaan jauh memberikan harapan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain menghemat biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengukuran langsung di lapangan, teknik penginderaan jauh juga dapat menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi areal kajian yang luas. Penelitian ini menggunakan teknik penginderaan jauh yang digabungkan dengan pengambilan data di lapangan yang kemudian dianalisis menggunakan software GLA (Gap Light Analyzer) untuk pendugaan nilai radiasi yang ditransmisikan oleh kanopi tanaman.
1.2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah : • Menduga nilai komponen radiasi pada kanopi hutan Agathis loranthifolia • Menduga nilai radiasi yang ditransmisikan menggunakan citra satelit Landsat ETM+ dan perangkat lunak Gap Light Analyzer (GLA).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Neraca Energi Radiasi netto merupakan selisih antara gelombang pendek dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar (hilang) dari permukaan bumi. Secara umum neraca energi ditulis sebagai berikut : Rn = Rs in + Rl in – Rs out – Rl out
(1)
Keterangan : Rn : radiasi netto (Wm-2) Rs in : radiasi gelombang pendek yang datang (+ ) (Wm-2) Rl in : radiasi gelombang panjang yang datang (+ ) (Wm-2) Rs out : radiasi gelombang pendek yang keluar (- ) (Wm-2) Rl out : radiasi gelombang panjang yang keluar (- ) (Wm-2) Hukum pergeseran Wien menjelaskan bahwa panjang gelombang suatu benda pada pancaran maksimumnya berbanding terbalik dengan suhu mutlak permukaan tersebut.
λmaks =
2987 Ts
(2)
Keterangan : λmaks : panjang gelombang pada pancaran maksimum (µm) Ts : suhu mutlak permukaan (K) Berdasarkan hukum pergeseran Wien, radiasi matahari pada pancaran maksimum mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan radiasi bumi atau benda langit lainnya. Suhu mutlak permukaan matahari yang relatif tinggi (6000 K) daripada suhu mutlak permukaan bumi (300 K) menyebabkan panjang gelombang radiasi matahari lebih pendek daripada radiasi bumi. Pada persamaan (1) radiasi gelombang
1
pendek merupakan radiasi matahari dan radiasi gelombang panjang merupakan radiasi bumi. Radiasi surya yang datang sebagian akan dipantulkan oleh permukaan (refleksi), sebagian lagi akan diserap (absorbsi) dan sisanya akan diteruskan (emisi). Rasio antara radiasi gelombang pendek (radiasi surya) yang dipantulkan permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang datang disebut albedo permukaan tersebut. α = Rs out / Rs in
(3)
Keterangan : α : albedo Rs out : radiasi gelombang pendek yang keluar (dipantulkan) (Wm-2) Rs in : radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2) Pada radiasi gelombang panjang, sulit untuk dibedakan antara radiasi yang dipantulkan oleh permukaan dengan radiasi yang dipancarkan oleh permukaan tersebut. Hal ini dikarenakan permukaan juga memancarkan radiasi gelombang panjang. Hukum Stefan-Blotzman menyatakan bahwa setiap benda yang suhu permukaannya lebih dari 0 K (-273 oC) memancarkan radiasi yang besarnya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaannya (Handoko, 1993). Jadi radiasi bumi (radiasi gelombang panjang yang keluar) dituliskan sebagai berikut : Rl out = εs . σ . Ts4
(4)
Keterangan : Rl out : radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2) εs : emisivitas permukaan σ : tetapan Stefan-Blotzman (5,67.10-8 Wm-2 K-4) Ts : suhu permukaan (K) Berdasarkan persamaan (3) dan (4) maka neraca energi dapat dituliskan sebagai berikut (Laymon & Quattrochi, 2000) : Rn = (1- α) Rs + Rl - εs . σ . Ts4
(5)
Radiasi netto bernilai negatif pada malam hari. Hal ini dikarenakan radiasi surya pada malam hari bernilai nol (Handoko, 1993). Jumlah radiasi netto yang diterima oleh suatu permukaan digunakan untuk memanaskan udara (H), memanaskan tanah atau lautan (G), penguapan atau evapotranspirasi (λE) dan
sisanya digunakan untuk fotosintesis (P) serta proses metabolisme makhluk hidup lainnya sangat kecil (sekitar 5%) sehingga besarnya energi untuk fotosintesis dapat diabaikan (Handoko, 1993 ; Khomarudin, 2005). Rn = H ± G ± λE ± ∆P
(6)
Keterangan : Rn : Radiasi Netto (Wm-2) H : Fluks Bahang Terasa (Sensible Heat Flux) (Wm-2) G : Fluks Bahang Tanah (Soil Heat Flux) (Wm-2) λE : Fluks Bahang Penguapan (Latent Heat Flux) (Wm-2) ∆P : fotosintesis (Wm-2) 2.2. Radiasi Surya Hutan Menurut Handoko (1993), permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 K akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta Wm-2 . Radiasi surya yang sampai pada puncak atmosfer tegak lurus terhadap sinar surya adalah 1.35 kWm2 dan disebut tetapan surya (Rosenberg, 1974). Selanjutnya Monteith (1972) memperkirakan besarnya radiasi yang mencapai permukaan tropik pada tengah hari berkisar antara 0.70-1.00 kWm2. Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 oC) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan dipancarkan lagi dengan gelombang panjang. Hal tersebut menyebabkan adanya neraca energi. Selisih antara gelombang pendek dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang disebut radiasi netto. Sebagian dari radiasi gelombang pendek ada yang dipantulkan dan ada juga yang diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaannya. Radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Penerimaan radiasi surya pada areal vegetasi hutan berkaitan erat dengan
2
pengaruh perubahan musim serta tingkat keragaman jenis vegetasi hutan tersebut. Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi (τ), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) : ρ + τ + α = 100%
(7)
2.3. Albedo Albedo yaitu nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi datang (Risdiyanto & Rini, 1999). Nilai albedo untuk vegetasi sangat beragam . Keragaman nilai albedo pada vegetasi tersebut dapat disebabkan oleh tipe vegetasi, warna vegetasi, geometri kanopi, kandungan kelembaban, persen permukaan yang tertutup oleh vegetasi, ukuran dan luas daun, dan tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Selain itu, nilai albedo juga sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut datang matahari dan panjang gelombang (Geiger et al., 1961). Nilai Albedo berbeda-beda untuk permukaan yang berbeda. Berikut adalah tabel nilai albedo hasil pengukuran lapangan untuk beberapa penutupan lahan: Tabel 1. Nilai Albedo hasil pengukuran lapangan untuk berbagai penutupan lahan Surface Albedo Soil 0.05 - 0.40 Sand 0.18 - 0.25 Grass 0.16 - 0.26 Agriculture crops 0.18 - 0.25 Tundra 0.18 - 0.25 Diciduous Forest 0.15 – 0.20 Coniferous forest 0.05 – 0.15 Water 0.10 – 1.00 Snow 0.40 – 0.95 Bare cement plaster 0.10 – 0.35 Sumber : Oke (1998) dalam Sinaga (2009)
2.4. Teknik Penginderaan Jauh Penginderaan jauh (inderaja) atau remote sensing didefinisikan sebagai teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat objek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak bersinggungan langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji (American Society of photogrammetry, 1983 dalam Feliggi, 2007) Menurut Barus (2000), ciri utama penginderaan jauh adalah kemampuannya
menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang relatif besar. Data penginderaan jauh biasanya dalam bentuk suatu gambar (image) yang menggambarkan suatu obyek atau fenomena, contohnya : foto udara, citra satelit. Estimasi dan pengukuran berbasis data satelit dapat diartikan sebagai pengukuran energi yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh material permukaan seperti vegetasi, batuan dan air pada kisaran panjang gelombang tertentu dalam spektrum elektromagnetik (Stefanov & Netzband, 2004). Satelit menerima spektrum elektromagnetik ini dalam beberapa kanal sesuai karakteristik satelit tersebut. Setiap satelit mempunyai jumlah kanal dan kisaran panjang gelombang yang berbeda-beda. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber alam dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca diantaranya METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan NOAA-N(USA). Metode remote sensing telah banyak digunakan dalam berbagai bidang keilmuan. Berikut adalah beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan remote sensing yang disajikan dalam tabel berikut. 2.5. Citra Satelit Landsat Satelit Landsat merupakan satelit yang digunakan untuk memantau sumber daya yang ada di bumi. Satelit ini merupakan hasil kerja sama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dengan Department of Interior United State pada pertengahan tahun 1960-an. Landsat sebelumnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS1) yang diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 dengan tujuan memberikan gambaran secara menyeluruh tentang permukaan bumi. Satelit Landsat melewati daerah yang sama setiap 16 hari sekali dengan waktu 103 menit untuk melakukan satu putaran mengelilingi bumi serta memiliki ketinggian orbit pada 705 km. Orbit Landsat melalui 9° Kutub Selatan dan Kutub Utara. Satelit Landsat 7 diluncurkan dari Vandenburg Air Force Base pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana Delta II. Satelit mengorbit pada ketinggian 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali. Sensornya merupakan instrumen “single nadir-pointing”, disebut Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Komunikasi
3
melalui S-Band digunakan untuk mengendalikan satelit dan X-Band digunakan untuk data downlink. Meskipun orbit satelit Landsat 7 melewati tempat yang sama setiap 16 hari pada waktu yang sama, perubahan elevasi matahari dapat menyebabkan variasi iluminasi sehingga mempengaruhi citra yang diperoleh. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan musiman posisi utara-selatan matahari relatif terhadap bumi. Sistem Landsat-7 dirancang untuk bekerja 7 band atau kanal energi pantulan (band 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8) dan satu band energi emisi (band 6). Sensor ETM+ bekerja pada 3 resolusi, yaitu 30 meter untuk band 1-5, dan 7; 60 meter untuk band 6; dan 15 meter untuk band
8. Data ETM+ yang dikalibrasi dengan baik dapat diolah untuk mengubah energi surya yang dikumpulkan oleh sensor menjadi nilai radiance. Radiance (radiansi) adalah flux energi (terutama dalam bentuk energi irradian atau energi datang) tiap sudut energi yang meninggalkan satu unit luasan permukaan pada arah tertentu. Radiansi berhubungan dengan kecerahan (brightness) pada arah tertentu menuju sensor, dan sering dirancukan dengan reflektansi (reflectance), yang merupakan rasio energi yang dipantulkan dengan energi datang. Sementara radiansi merupakan energi yang diukur oleh sensor dan agak dipengaruhi oleh reflektansi.
Tabel 2. Beberapa daftar penelitian dengan pendekatan remote sensing Peneliti Judul/tema Metode Spatially distributed watershed Menduga Ts dan menurunakan nilai indeks mapping and modelling : Assefa M vegetasi yang digunakan untuk thermal mapsand and Melesse et al membedakan kelas penutup lahan dan vegetation indices to enhanced menggambarkan lapisan antara lahan basah (2003) land cover and surface dan tubuh air. microclimate. Mengkaji hubungan antara perubahan Erna Sri Kajian perubahan distribusi penutup lahan terhadap perubahan Adiningsih et spasial suhu udara akibat distribusi suhu udara permukaan dengan al (2001) perubahan penutup lahan. menurunkan dari citra satelit Landsat dan data suhu dari 6 stasiun meteorologi. Pendugaan suhu udara dan fluks bahang terasa dengan Menduga besarnya nilai Fluks Bahang Tri Wahyudi metode diffusitas thermal Terasa dalam kaitannya dengan perbedaan (2005) menggunakan citra satelit suhu udara pada masing-masing Landsat (studi kasus penggunaan lahan. Kabupaten Gresik). Noor Laily Adhyani (2005)
Hubungan penggunaan lahan terhadap suhu udara sebagai indikator kenyamanan Kota Cibinong.
Menduga suhu udara dan kelembaban udara dengan estimasi suhu permukaan dari data citra Landsat dan mnegtahui karakter suhu udara dibeberapa penggunaan lahan.
Erwin Hermawan (2005)
Analisis perubahan komponen neraca energi permukaan, distribusi urban heat islan (UHI) dan THI (Temperature Humidity Index) akibat perubahan penutup lahan dengan menggunakan citra Landsat TM/ETM+ (studi kasus Bandung Tahun 1991 dan 2001)
Mengestimasi suhu permukaan, komponen neraca energi, suhu udara, kelembaban dan THI dengan menggunakan citra Landsat TM/ETM+ dan menganalisis pengaruh perubahan penutup lahan terhadap distribusi neraca energi serta implikasinya terhadap Urban Heat Island dan tingkat kenyamanan di daerah Bandung Tahun 1991 dan 2001.
Sumber : TEEAL - IPB
4
Tabel 3. Karakteristik Spektral Kanal Pada Citra Landsat Enchanched Thematic Mapper (ETM+) Kanal Wavelength Warna Resolusi Karakterisktik (µm) (m) 1 0.45-0.52 Biru-hijau 30 Untuk peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, dan untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. 2
0.52-0.60
Hijau
30
Untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Merupakan saluran untuk memisahkan vegetasi, berada pada salah satu bagian penyerapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakkan vegetasi dan bukan vegetasi. Digunakan untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk pemetaan garis pantai
3
0.63-0.69
Merah
30
4
0.76-0.90
Infra merah dekat
30
5
1.55-1.75
Infra merah tengah I
30
6
10.40-12.5
Termal infra merah
60
7
2.08-2.35
Infra merah tengah II
30
Merupakan saluran penting untuk menentukan jenis vegetasi, kondisi kelembaban tanah, kandungan air pada tanaman, dan penetrasi awan tipis. Digunakan untuk pemetaan termal dan merupakan saluran inframerah termal yang bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Untuk pemisah formasi batuan.
8
0.5-0.9
Pankromatik
15
Digunakan untuk pemetaan planimetrik.
Sumber : Lillesand & Kiefer (1997)
5