1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari tiga kawasan penting dunia sebagai lokasi terjadinya perubahan iklim global. Dua diantaranya adalah di atas daratan sekitar kawasan hutan hujan di Congo di ekuator Afrika dan kawasan Amazon di Amerika Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kurang lebih tujuh puluh persen wilayah Indonesia didominasi oleh lautan yang menyebabkan kawasan ini diduga sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar baik yang sensibel ataupun latent (tersembunyi) bagi pembentukkan awan-awan kumulus, seperti Cumulonimbus (Hermawan, 2002). Curah hujan di Indonesia umumnya dipengaruhi oleh fenomena sirkulasi atmosfer baik skala global, regional, maupun lokal. Salah satu fenomena global yang mempengaruhi cuaca dan iklim Indonesia adalah Madden Julian Oscillation (MJO). Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan model osilasi dominan dari variabilitas daerah tropik (Madden dan Julian, 1971). Ia dimanifestasikan dalam skala waktu antara 30 -60 hari melalui anomali skala besar dari propagasi (penjalaran) proses konveksi ke arah timur. Fenomena MJO dapat menjelaskan variasi iklim di wilayah tropis. Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind ) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. MJO melibatkan variasi angin, sea surface temperature (SST), perawanan, dan hujan. Kebanyakan curah hujan tropis adalah konvektif, dan puncak awan konvektif sangat dingin (memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang), maka fenomena MJO akan terlihat jelas pada variasi Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang terukur dari sensor inframerah pada satelit. Bureau of Meteorology Australia menggunakan indeks Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM 2) untuk memonitoring MJO. Indeks ini melibatkan variabel angin pada ketinggian 200 mb dan 850 mb, serta data OLR. Indeks ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara
efisien dan ekstrak variabilitas atmosfer yang langsung berhubungan dengan MJO. Studi fenomena MJO hingga saat ini belum banyak dilakukan orang, terutama mengenai prediksi terjadinya MJO. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu dikembangkannya model prediksi MJO berbasis kepada hasil analisis data time series Real Time Multivariate MJO (RMM). Metode yang akan digunakan adalah metode Box-Jenkins atau ARIMA (Autoregresive Integrated Moving Average). Penelitian ini juga akan menganalisis keterkaitan fenomena MJO dengan curah hujan yang terjadi di beberapa kawas an barat Indonesia. Dipilihnya kawasan barat karena fenomena MJO paling dominan terjadi di Indonesia bagian barat (Hermawan, 2009). Kejadian banjir pada tahun 1996, 2002, dan 2007 merupakan salah satu bukti nyata bahwa prediksi MJO penting dilakukan. Diduga, MJO dengan fase aktif saat itu dominan meliputi hampir seluruh kawasan barat Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah 1. Memodelkan data time series Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) 2. Menduga besarnya RMM1 dan RMM2 yang terjadi di atas wilayah Indonesia untuk beberapa dekade mendatang (2-3 hari dari data). 3. Menganalisis keterkaitan nilai RMM1 dan RMM2 dengan curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan barat Indonesia (studi kasus: Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Madden Julian Oscillation (MJO) Madden Julian Oscillation (MJO) adalah osilasi/gelombang tekanan (pola tekanan tinggi-rendah) dengan periode 30-50 hari menjalar dari barat ke timur. Fenomena ini pertama kali diketemukan oleh Roland Madden dan Paul Julian (1971) ketika menganalisis anomali angin zonal di Pasifik Tropis sehingga kemudian dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO). Mereka menggunakan data tekanan selama 10 tahun di Pulau Canton (2,80 LS di Pasifik) dan data angin di lapisan atas Singapura. Osilasi ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak ke timur dari laut Hindia ke Pasifik Tengah.
2
Anomali angin zonal dan kecepatan potensial di troposfer atas yang sering menyebar untuk melakukan siklus mengit ari bumi. Proses tersebut ditandai dengan perubahan tekanan permukaan dan momentum relatif angular atmosfer. MJO merupakan variasi intraseasonal (kurang dari setahun) yang terkenal di daerah tropis. Osilasi ini merupakan faktor penting saat fase aktif dan fase lemah Monsun India dan Australia, sehingga menyebabkan gelombang laut, arus, dan interaksi laut -udara. Pergerakan awan ke arah timur diasosiasikan dengan osilasi MJO. Awal dan aktivitas Monsun Asia-Australia dipengaruhi sangat kuat oleh pergerakan MJO ke timur (Yasunari 1979; Lau dan Chan 1986). Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind ) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Pergerakan super cloud cluster tentu saja berkaitan dengan pergerakan pusat tekanan rendah yang akan diikuti oleh perubahan pola angin (Seto, 2002). P ada akhir Desember 2007, ketika MJO dalam fase matang, intensitas curah hujan tinggi dan dalam waktu cukup lama (torrential rains) terjadi di laut dan pantai utara Jawa menyebabkan wilayah Jawa Tengah mengalami longsor akibat hujan deras yang terus-terusan mengguyur —yang menimbulkan korban jiwa—dan menyebabkan instabilitas atmosfer di perairan selatan Bali (Kompas, 18 Januari 2008). Dengan menggunakan analisis EAR (Equatorial Atmosphere Radar ) secara vertikal (zonal-vertikal, data angin) dapat menunjukan adanya pergerakan ke timur di permukaan dan ke barat di lapisan atas (Nurhayati, 2007) dan inilah yang disebut dengan siklus MJO serta hal tersebut sesuai dengan teori skema perpotongan MJO sepanjang ekuator. MJO juga memiliki siklus 40-50 hari. MJO mempengaruhi seluruh lapisan tropis, terlihat jelas di Pasifik Barat dan Hindia. Unsur yang dilibatkan dalam menganalisis MJO dapat berupa angin, SST (Sea Surface Temperature), perawanan, hujan, dan OLR (Outgoing Longwave Radiation). Fenomena MJO terlihat jelas pada variasi
OLR (sensor inframerah satelit), sebab curah hujan tropis adalah konvektif dengan puncak awan konvektif sangat dingin sehingga memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang. Pergerakan awan konvektif dari barat ke timur sepanjang Pasifik Tropis ditandai konvergensi di lapisan bawah (troposfer) dan divergensi di lapisan atas (stratosfer). MJO merupakan sirkulasi skala besar di ekuator dan berpusat di Samudera Hindia dan bergerak ke timur antara 10° LU dan 10° LS. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh inter aksi antara atmosfer dan lautan, diantaranya sea surface temperature (SST), sea level presure (SLP), angin zonal, keawanan, dan evaporasi dari permukaan lautan. Pengaruh yang nyata dari osilasi MJO adalah tidak normalnya curah hujan yang diterima di kawasan Barat Samudera Hindia dan penjalaran sisanya. Siklus MJO ditunjukan berupa gugusgugus awan tumbuh di Samudera Hindia lalu bergerak ke arah timur dan membentuk suatu siklus dengan rentang 30-60 hari dan dengan cakupan daerah 10N -10S (Matthews AJ, 2000), seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.
Gambar 1 Siklus MJO ( Matthews A.J., 2000)
3
Gambar 1 menunjukan siklus MJO dengan interval selama 3 harian atau 22.5 derajat. Gambar tersebut menggunakan OLR sebagai salah satu cara untuk menggambarkan perjalanan siklus MJO. Siklus MJO pada fase 0 atau t=0, konveksi tumbuh dan berkembang di Samudera Hindia dan terjadi supresi (mengalami kekeringan) di Samudera Pasifik. Kedua peristiwa ini bergerak ke timur sampai fase 180 dengan lokasi yang berkebalikan (konveksi di Samudera Pasifik dan supresi di Samudera Hindia). Kondisi ini terus bergerak ke timur dan kembali ke fase 0 (konveksi di Samudera Hindia dan supresi di Samudera Pasifik). Penjalaran ini memerlukan waktu 3060 hari dengan efek basah dan kering pada daerah-daerah yang di lewatinya.
Gambar 2 Skema MJO di ekuatorial (Madden dan Julian, 1972) Gambar 2 menunjukan skema MJO di ekuatorial. Garis panah menunjukan sirkulasi meridional yang diasosiasikan dengan MJO. Garis atas menunjukkan tinggi tropopause dan garis bawah menunjukan tekanan permukaan laut (sea-level pressure, SLP). Terlihat dalam gambar tersebut munculnya awan dan posisinya bergeser ke arah timur. Periode sirkulasi MJO disimbolkan dengan huruf, dimana skema konveksi kuat ditandai oleh terbentuknya awan Cumulus dan
Cumulonimbus (Madden dan Julian, 1972). Siklus MJO bergerak ke timur berawal dari Samudra Hindia menuju Samudra Pasifik dan belahan bumi bagian barat dibagi dalam 8 f ase (Matthews AJ, 2000). F ase-8,1 daerah konveksi di belahan bumi bagian barat dan Afrika, fase-2,3 di samudra India bagian barat dan 8 tim ar, fase-4,5 di benua maritim Indonesia, fase-6,7 di kawasan Pasifik barat. 2.2 Outgoing Longwave Radiation (OLR) OLR atau radiasi gelombang panjang adalah jumlah energi yang dipancarkan bumi ke angkasa (Juniarti et al., 2002). Atmosfer dapat dikatakan hampir transparan terhadap radiasi gelombang pendek, namun tidak semua radiasi yang berasal dari matahari sampai ke bumi. Hanya sekitar 50% yang mencapai bumi, yang lainnya diserap oleh awan dan gas gas yang ada di atmosfer. Radiasi yang diserap oleh permuka an bumi kemudian dipancarkan dalam bentuk panas (radiasi gelombang panjang). Selanjutnya radiasi gelombang panjang ini diemisikan ke atmosfer, sebagian ada yang lolos ke angkasa dan sebagian lagi tertahan atau terperangkap dan diserap oleh GRK (gas rumah kaca) yang ada di atmosfer, misalnya uap air, CO2, O3, CFC, serta awan sehingga tidak dapat lolos ke angkasa. Nilai OLR diperoleh dari sensor inframerah satelit. Satelit memancarkan sensor ke awan yang paling tinggi, awan memantulkannya kembali dalam bentuk nilai Temperature Black Body (TBB). Nilai TBB ini kemudian dikonversikan ke dalam nilai OLR, melalui suatu persamaan konversi tertentu. Nilai OLR yang rendah biasanya mengindikasikan suhu yang rendah atau adanya hujan, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan daerah hangat di bumi. Outgoing Longwave Radiation (OLR) adalah ukuran atau nilai radiasi bumi yang memiliki panjang gelombang panjang yang terdeteksi dari luar angkasa. Deteksi ini biasa dilakukan dengan peralatan satelit. Nilai yang diukur ini menggambarkan seberapa besar perawanan menghambat keluarnya radiasi bumi tersebut. Nilai OLR merupakan nilai negatif yang menunjukkan besarnya hambatan tersebut. Semakin kecil nilai dalam skala negatif menunjukkan semakin besarnya hambatan sehingga dapat divisu alisasi sebagai semakin tingginya awan yang menghambat tersebut yang biasanya adalah awan konvektif. Secara umum pola OLR menggambarkan pola daerah daerah konvektif potensial (Aldrian, 2000).
4
Gambar
3
Anomali OLR periode 14 Desember 2008 – 31 Mei 2009 (Climate Prediction Center /NCEP, 2009)
Gambar 3 menunjukkan bagaimana fenomena MJO dapat dilihat berdasarkan anomali OLR. Warna orange merupakan positif anomali OLR, sedangkan warna biru menunjukkan negatif anomali OLR. Pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari terlihat adanya propagasi MJO yang ditunjukkan oleh anomali OLR (-) ke timur dari Samudera Hindia melewati Indonesia dan menuju ke Samudera Pasifik. 2.3 Curah Hujan di Indonesia Sebagian besar hujan dihasilkan oleh udara yang naik dan mengalami penurunan suhu. Berdasarkan gerakan udara naik untuk membentuk awan, tipe hujan dapat digolongkan menjadi tiga kriteria, salah satunya yaitu hujan konvektif. Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan dari naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik (Hidayati dalam Handoko, 1993). Gaya naik ini murni diakibatkan oleh
pemanasan permukaan. Naiknya sel -sel arus lokal yang hangat dan lembab ini biasanya membentuk awan-awan tipe cumuli atau berkembang menjadi awan C umulonimbus (Cb). Letak Indonesia yang berada di antara lautan Hindia dan Pasifik dan di antara benua Asia dan Australia sangat dipengaruhi kondisi wilayah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hujan merupakan gejala atau fenomena cuaca yang dipandang sebagai variabel tak bebas karena terbentuk dari proses berbagai unsur. Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter. Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 pola hujan, yaitu: 1. Pola hujan Monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim kemarau). 2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. 3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola Monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan Monsun. Ditinjau dari dinamika awan hujan, fluktuasi curah hujan di daerah tropis khususnya Jakarta banyak diakibatkan oleh jenis awan Cb. Hal ini karena secara umum Benua Maritim Indonesia menerima panas sensibel (insolasi) dan panas laten kondensasi akibat perubahan fase uap air dalam jumlah besar, maka jenis awan yang muncul adalah awan konfektif atau awan cumuliform.
5
Gambar 4 Pola curah hujan di Indonesia (Bayong dalam Kadarsah, 1999) Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan Monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan yang berlebih pada saat Monsun barat (DJF) dibanding saat Monsun timur (JJA). Pengaruh Monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi . Secara umum awal musim hujan wilayah Propinsi Banten dan DKI Jakarta terjadi pada dasarian I Oktober sampai dengan dasarian III Desember (BMKG, 2009) . Def inisi BMKG, musim hujan ditandai dengan curah hujan yang ter jadi dalam satu dasarian sebesar 50 mm atau lebih yang diikut i oleh dasarian berikutnya, atau dalam satu bulan terjadi lebih dari 150 mm. Meninjau definisi tersebut berarti jika curah hujan yang terjadi kurang dari kriteria di atas, maka fase tersebut dianggap sebagai musim kemarau. Musim kemarau di suatu tempat sering diident ikan dengan kejadian kekeringan. Kekeringan sendiri merupakan suatu keadaan dimana curah hujan yang terjadi lebih rendah dari normalnya. Jenis-jenis hujan berdasarkan curah hujan (definisi BMG): • hujan sedang, 20 - 50 mm per hari • hujan lebat, 50-100 mm per hari • hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat
yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama. Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi: 1. Daerah yang mendapat curah hujan ratarata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk). 2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi. 4. Daerah yang mendap at curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. 2.4 Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) Real Time Multivariate MJO seri 1dan 2 (RMM1 dan RMM2) adalah suatu indeks musiman untuk memonitoring MJO. Ini didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal empiris (EOFs) dari gabungan bidang dekat akuatorial, rata-rata 850 hPa angin zonal, 200 hPa angin zonal, dan data hasil observasi satelit Outgoing Longwave Radiation (OLR). Proyeksi dari data observasi harian ke beberapa variabel EOFs, dengan siklus tahunan dan komponen interannual variabilitas dihapus menghasilkan komponen pokok (PC) seri waktu yang berbeda pada umumnya di skala waktu intraseasonal dari MJO. Sehingga proyeksi ini berfungsi sebagai filter yang efektif untuk MJO tanpa perlu waktu untuk konvensional penyaringan yang membuat PC deret waktu sebagai indeks yang efektif ( Kyong Hwan Seo, 2008). Pasangan PC deret waktu yang membentuk indeks disebut Real-time Multivariate MJO seri 1 (RMM1) dan Realtime Multivariate MJO seri 2 (RMM2). Walaupun kenyataannya RMM1 dan RMM2
6
menjelaskan evolusi dari MJO sepanjang khatulistiwa yang independen dari musim, perilaku koheren-off khatulistiwa memperlihatkan pengaruh musiman yang kuat (Wheeler dan Hendon, 2004). Wheeler dan Hendon menggambarkan perkembangan indeks untuk banyak pengamatan di Badan Meteorologi Australia. Indeks ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara efisien dan ekstrak variabilitas atmosfer yang langsung berhubungan dengan MJO. Prediksi MJO berbasis kepada teknik atau metode Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) hingga kini digunakan oleh pihak Badan Meteorologi Australia (BoM, Australia). Secara umum RMM diaplikasikan untuk mengetahui perkembangan aktivitas MJO. Indeks ini telah digunakan oleh Wheeler and Hendon (2004) dalam analisis statistik korelasi antara MJO dengan curah hujan. RMM indeks menghasilkan sinyal secara real tim e yang menunjukkan MJO itu sendiri. Sangat penting bahwa indeks ini menunjukkan hubungan yang pasti dengan efek-efek cuaca yang terkait dengan MJO. Setelah dilakukan banyak pengujian, kombinasi dari bidang dipilih EOF untuk perwakilan MJO, yaitu OLR, 850 hPa angin zonal (u850), dan 200 hPa angin zonal (u200). MJO ditetapkan sebagai pasangan pasti dari EOFs (Xianan et al, 2008). Untuk nilai OLR, datanya diperoleh langsung dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), dari Juni 1974 hingga sekarang dan berkelanjutan. Data angin zonal diperoleh dari NCEP –National Center for Atmospheric Research (NCEP–NCAR) reanalysis dataset (Kalnay et al., 1996) dan tersedia untuk periode yang sama dengan OLR. OLR dan angin zonal dianalisis di atas grid 2.5° lintangbujur. Data NCEP -NCAR reanalysis dihasilkan beberapa hari (biasanya 3 hari) di belakang real time yang disebabkan waktu yang menunggu untuk mendapatkan pengamatan global yang lebih lengkap. Saat ini data tersebut diperoleh dari NOAA Climate Diagnostics Center. Data OLR biasanya lebih up-to-date yang diperoleh dari NCEP (National Centers for Environmental Prediction). Untuk mengoptimalkan sifat real time dari indeks RMM digunakanlah analisis dari model operasional Australian Bureau of Meteorology yang dinamakan Global Asimilasi dan Prediksi Sistem (G ASP), untuk menghitung perkiraan terbaru dari RMM1 dan RMM2.
Ekspansi dan kontraksi zonal dari aktivitas MJO yang terjadi dari musim ke musim dan tahun ke tahun juga ditangkap oleh dua indeks RMM, dan penggunaan indeks RMM untuk ukuran variasi global dan perubahan interannual modulasi dari MJO adalah pemikiran yang lebih baik dari beberapa studi sebelumnya. Indeks RMM tepat untuk mendiagnosis lokasi/keberadaan MJO, yaitu ditunjukkan dari diagram dua dimensi fase pergerakan MJO menggunakan RMM1 dan RMM2 (Gambar 5). Peramalan MJO dapat menggunakan indeks RMM1 dan RMM2. MJO dikatakan dalam fase aktif jika:
Gambar 5 Diagram fase MJO global hasil penurunan RMM1 dan RMM2 (Wheller dan Hendon, 2004) Data harian RMM1 dan RMM2 yang tersedia adalah dari tanggal 1 Juni 1974 berkelanjutan hingga saat ini. Terdapat 8 fase pergerakan MJO, dimana Indonesia terletak pada fase 4 dan 5. Dari Gambar 5 terlihat bahwa time-series fase 4 dan 5 merupakan fase yang yang perlu mendapat perhatian mengingat posisinya yang terletak di kawasan maritime Indonesia. MJO aktif dikatakan berada dalam fase 4 ketika nilai RMM1 lebih besar dari negatif RMM2, dengan RMM1>0 dan RMM2<0. Untuk MJO aktif yang berada pada fase 5 maka nilai RMM1>RMM2, dengan RMM1 dan RMM2 > 0. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ada kalanya saat memasuki phase 4 atau phase 5, index MJO berada di dalam lingkaran yang artinya bahwa aktivitas MJO melemah, begitupun sebaliknya ketika MJO berada di luar lingkaran artinya MJO dalam fase aktif.
7
2.5 Analisis Spektral Dalam pemrosesan sinyal statistik dan fisika, power spectral density (PSD) atau energy spectral density (ESD) adalah fungsi real positif frekuensi variabel yang terkait dengan proses stationary stochastic, atau deterministic fungsi waktu, yang memiliki dimensi kekuatan per Hz, atau energi per Hz. Hal ini sering disebut hanya dengan spektrum sinyal. Spektral density menangkap frekuensi dari proses stokastik dan membantu mengidentifikasi periodisitas (Mulyana, 2004). Dalam fisika, sinyal tersebut biasanya adalah suatu gelombang, seperti gelombang elektromagnetik, getaran acak, atau gelombang akuistik. Spektral densitas dari gelombang, bila dikalikan dengan faktor yang tepat, akan memberikan daya yang dibawa oleh gelombang, frekuensi per unit, yang dikenal sebagai Power Spectral Density (PSD) dari sinyal. PSD umumnya dinyatakan dalam watt per Hertz (W/Hz) atau dBm/Hz. Analisis spektral adalah penaksiran dalam kawasan frekuensi untuk menelaah periodesitas tersembunyi, yaitu periodesitas yang sulit ditemukan dalam kawasan waktu. Analisis spektral atau sewaktu-waktu dinamakan juga analisis spektrum, dikenalkan oleh A. Schuster, seorang pekerja sosial, pada akhir abad ke-20 dengan tujuan mencari periode tersembunyi dari data. Pada saat ini analisis spektral digunakan pada persoalan penaksiran spektrum untuk seluruh selang frekuensi. M. S. Bartlett dan J. W. Tukey, mengembangkan analisis spektral modern sekitar tahun ketiga abad ke-20, dan teorinya banyak digunakan para pengguna di bidang klimatologi, teknik kelistrikan, meteorologi, dan ilmu kelautan. Analisis spektral modern didasarkan pada fenomena bahwa data deret waktu merupakan hasil proses stokastik (Chatfield, 1989), sehingga setiap data deret waktu dapat disajikan dalam deret Fourier. Jika Xt , t = 1, 2, . . . , n, data deret waktu, maka Xt dapat ditulis dalam formulasi,
(2.1) t = 1, 2, ..., n dengan
Sudah dikemukakan, dalam analisis data deret waktu dan analisis Statistika lainnya, data yang akan dianalisis harus merupakan data stasioner, dan jika tidak stasioner harus distasioner dulu melalui proses diferensi. Jika dimiliki sampel data deret waktu stasioner, x1 , x2 , . . . , xn , maka dapat dibangun model spektralnya dengan persamaan
dengan u(ωt) dan v(ωt) merupakan fungsi kontinu yang tidak berkorelasi, yang didefinisikan pada selang 0 ≤ ωt ≤ π. Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diturunkan fungsi F(ωt) yang berkorelasi dengan u(ωt) dan v( ωt), sehingga jika r(k) fungsi autokorelasi, maka
(2.2) yang merupakan sajian spektral dalam fungsi autokorelasi. Pada persamaan ini F(ω k) = 0 , jika (ωk) < 0 , dan F(π) = σx 2 , yang merupakan varians data deret waktu. Sehingga jika didefinisikan fungsi
maka diperoleh fungsi distribusi kumulatif spekt ral, dan fungsi spektral kuasa
Jika G(ωt) dan g(ωt) ada, maka Persamaan rk dapat dinyatakan oleh
sehingga
(2.3) Karena rk fungsi genap, maka Persamaan (2.3) setara dengan
yang merupakan sajian fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Karena g(wk) = 0 , jika wk < 0 dan g(p) = sx2 , maka fungsi spektrum
8
kuasa yang setara dengan fungsi distribusi kumulatifnya, disajikan pada persamaan (2.4) yang juga merupakan fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Dari pernyataan spektral tersebut, dapat disimpulkan bahwa data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret Fourier yang merupakan fungsi harmonis seperti pada Persamaan (2.1), sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodesitas data dapat ditentukan. Tetapi menentukannya tidak dapat dalam kawasan waktu, melainkan harus dalam kawasan frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi dalam autokorelasi dan frekuensi. Jika dilakukan penaksiran pada fungsi spektrum kuasa, dan nilai-nilai penaksirnya dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Telaahan periodesitas data dilakukan terhadap frekuensi yang berpasangan dengan titi-titik puncak dari garis spektumnya.
φkk adalah koefisien korelasi dalam distribusi bivariat Zt , Zt −k yang tergantung pada Zt −1 , Z t − 2 ,..., Z t −k +1 . Dengan kata lain, menentukan
korelasi
antara dua peubah
Zt dan Zt −k dengan mengontrol peubah lainnya ( Zt −1 , Z t − 2 ,..., Z t −k +1 ). Secara umum bentuk fungsi autokorelasi adalah
ρj =φk1ρj =1 +φk2 ρj=2 +...+φkkρj −k , atau dapat ditulis ρ1 ... 1 1 ... ρ1 M M ρ k −1 ρ k − 2 ...
j =1,2,...,k
ρ k − 1 φ k1 ρ 1 ρk − 2 φ k 2 ρ 2 = M M M 1 φ k k ρ k
Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol apa tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunya dengan rumus sebagai berikut:
2.6 Fungsi Autokorelasi (ACF) dan Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda (Makridakis, 1988). Fungsi autokorelasi contoh (r) untuk lag atau beda waktu k yaitu:
Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial (partial autocorrelation function, PACF). Koefisien autokorelasi parsial mengukur keeratan hubungan antara Z t dan Z t-k dengan menghilangkan pengaruh dari Zt-1, Zt-2,..., Z tk+1. Gambar dari ACF dan PACF dinamakan korelogram (correlogram) dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh: Økk = Corr (Z 1, Z t- k | Z t-1, Z t-2,..., Z t- k+1)
Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial (Cryer, 1986). Perlu digarisbawahi bahwa kebanyakan deret waktu bersifat tidak stasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenaan dengan deret waktu yang stasioner. Jika dari time plot tersebut deret terlihat tidak stasioner maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) pada data untuk menghilangkan ketidakstasionerannya. 2.7 Stasioneritas Data stasioner adalah data yang mempunyai rata-rata dan varians yang konstan sepanjang waktu. Data yang bersifat trend adalah contoh data yang tidak stasioner karena rata-ratanya berubah sepanjang waktu. Kestasioneran data merupakan merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi. Berdasarkan diskripsinya, bentuk kestasioneran ada dua, yaitu stasioner kuat
9
dan stasioner lemah. Deskripsi umum kestasioneran adalah sebagai berikut, data deret Z1, Z2,... disebut stasioner kuat jika distribusi gabungan Zt1, Zt2, Z+ sama dengan distribusi gabungan Zt1+k, Zt2+k, ...,Z tn+k untuk setiap nilai t1, t2,.., tn, dan k. Sedangkan data disebut stasioner lemah, jika rata-rata hitung data konstan, E (Zt) = µ, dan autokovariansnya merupakan fungsi dari lag, ? k = f(k). Sedangkan ketidakstasioneran data diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu: 1. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu), dan data tersebar 2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet). 3. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan data membangun pola terompet. Untuk menelaah ketidakstasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilihat pada plot data atas waktu. Jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya dapat dilakukan dengan melihat gambar plot ACF. Pada gambar ACF, jika datanya tidak stasioner maka gambarnya akan membangun pola: a. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung (tren naik atau turun) b. Alternating, jika data tidak stasioner dalam varians c. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians (Mulyana, 2004). Apabila data yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang umum dipakai adalah metode pembedaan (defferencing). Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi nilai data pada suatu periode dengan nilai periode sebelumnya. 2.8 Prakiraan dengan Time Series Dalam klimatologi dibedakan dua kelompok metode peramalan, yaitu metode kausal dan time series. Metode kausal mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat antara masukan dan keluaran sistem, sedangkan metode Time Series (Box-Jenkins) memperlakukan sistem seperti suatu kotak hitam (black box) tanpa berusaha mengetahui fakor-faktor yang mempengaruhi sistem tersebut. Sistem semata-mata dianggap sebagai suatu pembangkit proses, karena
tujuan utama dari metode ini adalah ingin menduga APA yang akan datang, bukan mengetahui MENGAPA hal itu terjadi. (Bey A, 1988). ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan salah satu model peramalaan yang berbasis time series yang dikembangkan oleh Box dan Jenkins (1976), dan nama mereka sering disinonimkan dengan proses ARIMA yang diterapkan untuk analisis deret berkala, peramalan, dan pengendalian. ARIMA telah diakui mempunyai kemampuan ramalan yang cukup memuaskan untuk jangka peramalan yang panjang (Tapliyal dalam Bey, A. 1988). ARIMA adalah suatu model gabungan yang meliputi model Autoregressive (AR) (Yule, 1926) dan Moving Average (MA) (Slutzky, 1937) dalam Makridakis et al., 1988. Kata integrated disini menyatakan tingkat pembedaan (degree of defferencing). ARIMA dikatakan sebagai model yang komplek, karena selain model ini merupakan gabungan antara AR dan MA, model ini dapat dipergunakan untuk pola time series seasonal (musiman) dan nonseasonal (tidak musiman) secara bersamaan. Metode ARIMA memiliki keunggulan dibanding metode lainnya, yaitu metode BoxJenkins disusun secara logis dan secara statistik akurat, metode ini memasukkan banyak informasi dari data historis, dan metode ini menghasilkan kenaikan akurasi peramalan dan pada waktu yang sama menjaga jumlah parameter seminimal mungkin (Jarret, 1991) Metode ini menggunakan pendekatan iteratif yang mengindikasikan kemungkinan model yang bermanfaat. Model terpilih, kemudian dicek kembali dengan data historis apakah telah mendiskripsikan data tersebut dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh apabila residual antara model peramalan dan data historis memiliki nilai yang kecil, distribusinya random, dan independen. Analisis deret waktu seperti pedekatan BoxJenkins, mendasarkan analisis pada data deret waktu yang stasioner. 2.8.1 Model Autoregressive (AR) Proses Autoregresif seperti namanya, adalah regresi pada dirinya sendiri. Proses autoregresif {Zt} orde p disingkat AR (p) memenuhi persamaan,
Zt = φ 1Zt −1 +φ2 Zt −2 +... +φ p Zt −p + at (2.5)
10
Dimana, Z t = deret waktu stasioner Ø1, ..., Øp = koefisien atau parameter dari model autoregressive Z t-1, ..., Z t-p = Nilai masa lalu yang berhubungan at = residual pada waktu t Model Autoregressive Orde Pertama AR (1) Model AR (1) memenuhi,
Zt = φZt −1 + at
(2.6)
(Cryer, 1986). 2.8.2 Model Moving Average (MA) Pada model moving average, nilai Z t bergantung error orde q sebelumnya. Moving average orde q atau disingkat MA (q) memenuhi persamaan,
Zt = at −θ1at − 1 −θ2 at−2 −...−θq at −q
(2.7)
Dimana, Z t = deret waktu stasioner ? 1, ..., ? p = koefisien atau parameter dari model moving average at-q = residual lampau yang digunakan oleh model Model Moving Average Orde Pertama MA Model MA (1) memenuhi, Zt = at − θ1at −1 (2.8) (Cryer, 1986).
kehidupan nyata. Deret waktu tanpa mean yang konstan misalnya, termasuk tidak stasioner. Salah satu cara menstasionerkan data adalah melalui differencing (pembedaan). Tinjau model AR(1): Zt = φZt −1 + at (2.1 0) Terlihat dari persamaan (2.10) bahwa at tidak berkolerasi dengan Z t-1, Z t-2, .... Agar solusinya stasioner memenuhi persamaan (2.10) haruslah -1< Ø < 1. Jika Ø=1, maka persamaan (2.10) menjadi Zt = Z t−1 + a t (2.1 1) atau (2.12) ∇Z t = at dimana
∇Zt = Zt − Zt −1 Z.
adalah pembedaan
pertama dari
Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel acak {Zt} dikatak an model integrasi autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Disingkat ARIMA (p,d,q). Biasanya tingkat pembedaannya d=1 atau 2. Secara umum persamaan untuk model ARIMA (p,1,q),
Wt =φ1Wt−1+φ2Wt−2 +...+φpWt−p +at −θ1at−1 −θ2 at−2 −...−θqat−q (2.13) dimana
Wt = Zt − Z t −1 , sehingga
Zt −Zt −1 =φ 1( Zt−1 −Zt−2 ) +φ 2( Zt− 2−Zt − 3) +...
2.8.3 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA) Jika diasumsikan deret waktu merupakan campuran dari autoregressive dan moving average maka modelnya menjadi,
Sehingga model ARIMA (1,1,1) memenuhi persamaan:
Zt =φ1Zt −1+φ2Zt−2 +...+φpZt−p +at −θ1at −1 −θ2 at−2 −...−θqat−q
(2.14)
(2.9)
(Cryer, 1986). Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot PACF dan ACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial. Pola yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masing-masing model memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ? k=0 bagi k > q dalam model MA(q) dan Økk=0 bagi k > p dalam model AR (p) (Cryer, 1986).
(Cryer, 1986). Dimana Z t dan at sama seperti sebelumnya, Z t adalah konstanta, Ø dan ? adalah koefisien model. {Zt} dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q, disingkat ARMA (p,q). 2.8.4
Model Autoregressive-IntegratedMoving Average (ARIMA) Tidak selamanya data yang akan dianalisis akan menunjukkan kestasioneran. Data yang tidak stasioner seringkali didapatkan di
+φp ( Zt −p− Zt−p−1 ) +at −θ1at−1 −θ2 at−2 −...−θqat−q
11
Model ARIMA biasanya dilambangkan dengan ARIMA(p,d,q) yang mengandung pengertian bahwa model tersebut menggunakan p nilai lag dependen (orde AR), d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual (orde MA). 2.8.5 Keterandalan Peramalan Untuk mengukur keterandalan dari suatu hasil peramalan digunakan perhitungan Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE). MAD mengukur rata-rata penyimpangan absolute peramalan dari data aktualnya.
Dt = Data aktual ke-t F = Data hasil peramalan ke-t n = Banyaknya data Peramalan yang terbaik adalah yang menghasilkan nilai MAD terkecil (Beasley, 2002). Sum Square Error (SSE) mengukur jumlah kuadrat dari hasil selisih nilai peramalan dengan nilai aktual.
Peramalan terbaik adalah yang menghasilkan nilai SSE terkecil.
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bidang Permodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung selama bulan Maret -Juni 2009. 3.2 Alat dan Data yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dengan software Microsoft Office 2007, SPSS 16, Matlab versi 7.1, dan Microsoft Visual Basic 6.0. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data harian Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 - 1 Maret 2009 (30 tahun) yang diperoleh dari web-side http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/ matw/maproom/RMM/// b. Data anomali pentad Outgoing Longwave Radiation (OLR) periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 yakni pada posisi 80oBT , 100oBT, 120 oBT dan 140oBT yang diperoleh dari web-side
http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/ CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_orde r.ascii c. Data curah hujan harian wilayah Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci tahun 2006-2008 d. Data curah hujan bulanan tahun 19952008 (Sta. Halim Perdanakusuma, Sta. Pondok Betung, Sta. Kemayoran, Sta. Cengkareng, Sta. Tanjung Priok) 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Spektral Analisis spektral digunakan untuk mengestimasi fungsi densitas spektrum dari sebuah deret waktu. Analisis spektral merupakan modifikasi dari analisis Fourier sehingga analisis ini sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield, 1984). Secara definisi, jika Xt adalah proses stokastik dengan fungsi autokovarians ?(k) dengan k = ..., -2, -1, 0, 1, 2, ..., maka spektrum f(?) adalah transformasi Fourier dari fungsi autokovarians, yang dalam ekspresi matematisnya adalah sebagai berikut:
Analisis spektral dalam penelitian ini digunakan untuk menampilkan periode setiap gelombang yang tersembunyi dari sebuah data deret waktu. 3.3.2 Metode Korelasi Silang Metode korelasi silang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dengan Outgoing Longwave Radiation (OLR) pada posisi 100°BT. Formula perhitungan korealsi silang (M akridakis, 1988) :
dimana: rxy (k) : korelasi silang ant ara deret x dan deret y pada lag ke-k
(merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke-k)
(merupakan variansi silang peubah x)