I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atmosfer merupakan selubung gas yang menyelimuti permukaan padat dan cair pada bumi. Selubung tersebut membentang ke atas sampai ratusan kilometer sampai bertemu dengan suatu medium antara planet yang berkerapatan rendah dalam tata surya. Trewarta dan Horn (1980) menyatakan bahwa 75 % dari massa atmosfer terdapat pada lapisan troposfer dan lapisan ini merupakan tempat terjadinya awan, hujan dan aktivitas konveksi udara. Atmosfer di atas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua benua luas (Asia dan Australia) dan dua samudera luas (Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang 2/3 terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan bahang (panas) baik berupa bahang sensible maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kawasan ini juga dianggap sebagai mesin pembangkit terjadinya perubahan iklim global, seperti peristiwa EL-Nino dan La-Nina yang erat kaitannya dengan masalah kering dan banjir, pergeseran arus laut antara Samudera Pasifik dan Hindia, pergeseran musim hujan dari kondisi normal, pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan) yang akhir-akhir ini melanda sebagian kawasan Indonesia. Pulau Sumatra adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang letaknya sangat stategis yaitu di ujung timur Samudra Hindia, dan memiliki topografi yang khas. Hal ini menyebabkan daerah ini memegang peran yang sangat penting dalam pembentukan awan-awan konvektif di wilayah tersebut. Untuk mengetahui fenomena atmosfer ini membutuhkan alat yang bisa menggambarkan kejadian di atmosfer, seperti radar meteorologi, jaringan stasiun cuaca, akses ke citra satelit dan perangkat komputer. Untuk mempelajari awan hujan di atas Kototabang digunakan radar meteorologi. Radar yang digunakan adalah radar EAR (Equatorial Atmosphere Radar), BLR (Boundary Layer Radar) dan X-band Radar.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat jenis awan, karakteristik awan dan melihat arah pergerakan awan hujan di wilayah Kototabang.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Radar Secara Umum Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), kata Radar merupakan suatu singkatan untuk Radio Detection and Ranging. Radar dikembangkan sebagai suatu cara dengan menggunakan gelombang radio untuk medeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)nya. Prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang pendek mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema (echo) atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang. Radar memiliki beberapa komponen utama yaitu sebagai berikut: 1. Unit transmiter yang memperkuat sinyal frekuensi radar 2. Unit antena yang memfokuskan dan memancarkan sinyal yang sudah diperkuat 3. Unit penerima (Receiver), yaitu untuk menerima sinyal yang dipantulkan oleh objek di atmosfer melalui antena sinyal tersebut diperjelas dan diubah menjadi sinyal gambar. 4. Unit akuisisi data, yaitu untuk menerima sinyal gambar yang diubah menjadi sinyal angka. 5. Unit pemroses data, yaitu memproses sinyal angka.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Imager: Sonar_Principle_EN.svg. Gambar 1. Prinsip kerja radar 2.2 Lapisan Batas (Boundary Layer) Boundary layer atau lapisan batas dapat diartikan sebagai lapisan udara yag terletak di atas permukaan bumi dimana pengaruh, gesekan, pemanasan dan pendinginan dirasakan secara langsung dalam skala waktu kurang dari satu hari, dan pada lapisan tersebut terjadi
10
momentum, aliran panas ataupun aliran massa yang dibawa oleh turbulen. Menurut Stull (1988), Boundary Layer atmosfer merupakan bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan bereaksi dengan gaya permukaan dengan skala waktu kurang dari satu jam. Gaya tersebut termasuk panahan gesekan, evaporasi dan transpirasi, transfer panas dan emisi polutan. Ketebalan boundary layer sangat bervariasi dalam waktu dan ruang yang berjarak antara ratusan meter sampai beberapa kilometer. 2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR) EAR adalah radar doppler yang dibangun untuk observasi di daerah ekuator, radar ini selesai diinstal sejak bulan Maret 2001. EAR beroperasi pada 47 MHz dengan maksimum peak dan kekuatan transmisi rata-rata 100 kW dan 5 kW. EAR diinstal pada area pengunungan di bagian barat Sumatra yang berlokasi pada 0.20º S, 100º E di Bukittinggi, Spesifikasi radar EAR terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Item Spesifikasi Operating frequency 47.0 MHz Quasi-circular antenna array of 560 Antenna three-element Yagi antenna Aperture 110 m in diameter Beam width 3.4º (half power width) Gain 33 dBi Time resolution 82 s Beam directions: Azimuth 0-360º in 0.1º steps Zenith 0-30º in 0.1º steps (no grating lobe) Peak power 100 kW Average power 5 kW (maximum) Pulse length 0.5-256 µs IPP 200 µs-10 ms A/D converter 14 bits Sumber: Renggono (2006) Prinsip pengukuran angin dengan radar memancarkan dan menerima pulsa radiasi gelombang mikro dengan antenanya. Antena memfokuskan radiasi menjadi beam sempit, sehingga sinyal yang ditransmisikan berjalan pada arah yang spesifik. Sinyal yang diterima dipantulkan dari target yang terletak di arah beam, dan jarak antar radar dengan target bisa ditentukan secara akurat dari selang waktu
sinyal yang dipancarkan sampai sinyal yang diterima. Di stasiun ini dibangun Radar Atmosfer Khatulistiwa (Equatorial Atmospheric Radar) untuk memantau kondisi atmosfer hingga ketinggian lebih dari 100 kilometer. Dengan instrumen ini diukur angin dalam tiga dimensi. Selain itu diperoleh data suhu virtual dengan menggunakan gelombang suara untuk kemudian dikonversikan guna memperoleh gambaran besarnya kandungan uap air di atas atmosfer Sumatera Barat. 2.4 Boundary Layer Radar (BLR) BLR merupakan L-band Doppler radar yang disebutkan sebagai radar profil angin yang dapat digunakan untuk mengukur kecepatan angin pada suatu tempat sebagai fungsi dari ketinggian. Boundary Layer atmosfer sendiri didefinisikan sebagai bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan bereaksi dengan gaya permukaan dalam skala waktu kurang dari satu jam. Gaya ini termasuk evaporasi, transpirasi, transfer panas dan emisi polutan (Nurmayani, 2003). Tabel 2. Spesifikasi Boundary Layer Radar (BLR) Item Spesifikasi Operating frequency 1357.5 MHz Antenna Phased array Aperture 5.9 m2 Beam width 4.1º Gain 27 dBi 3 directions Beam directions (Zenith: 15 º) Band width 8 MHz Peak power 1.1 kW Pulse length 0.33, 0.67, 1μs Inter pulsa period 50, 100, 200 μs A/D converter 12 bits Pulse compression Spano code Range resolution (min) 50 m Sumber: Renggono (2006) Sistem perangkat BLR terdiri dari unit antena, unit transmitter, unit penerima, unit akusisi data dan unit pemroses sinyal. Pada pengamatan dengan BLR sinyal frekuensi radio yang diperkuat dalam unit transmitter, dipancarkan dari antena parabola. Sinyal lemah yang dipantulkan turbulensi atmosfer, dikumpulkan antena dan ditransfer ke unit penerima. Sinyal yang diterima akan diperkuat, dideteksi dan diubah ke sinyal video dalam unit penerima kemudian sinyal video dikirim ke unit pemroses data. BLR memiliki daya sebesar 1 kW dengan resolusi spasial 100 m dan
11
resolusi temporal 1 menit. Kisaran ketinggian BLR sekitar 1-5 km. BLR menggunakan tiga buah antena parabola dengan diameter masingmasing 2 m. Antena-antena diarahkan ke tiga titik berbeda yaitu satu beam tepat kearah vertikal, dua beam lainnya kearah timur dan utara dengan sudut zenith maksimum 30º. Untuk mendapatkan tiga komponen angin, BLR harus beroperasi dengan menggunakan frekuensi tinggi. Sebagai konsekuensi penggunaan frekuensi tinggi ini, pemantulan volume radar dari turbulensi atmosfer akan lebih kecil bila dibandingkan butir hujan. Akibatnya BLR tidak dapat mengukur pergerakan atmosfer secara langsung pada saat awan hujan atau mendung. 2.5 X-band Radar (XDR) X-band merupakan radar doppler yang dapat mendeteksi awan sampai pada jarak 83 km. X-band beroperasi pada 9.445 GHz dan kekuatan transmisi puncaknya 40 kW dengan resolusi waktu 4 menit dan resolusi spasial 250 m. Pada tanggal 10 April-9 Mei 2004, X-band dipasang pada sebuah volume pengamatan dengan 17 sudut zenith dari 0.7º-40.0º. Untuk melihat aktivitas awan di Kototabng, X-band dipasang dengan jarak 20 km dari arah tenggara EAR dan dapat mengamati awan pada ketinggian lebih dari 14 km. Spesifikasi Xband dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. spesifikasi X-band Radar Item Spesifikasi Operating frequency 9445 MHz Peak power 40 kW Pulse width 0.5µs PRF 1800 Hz Beam width 1.1º Maximum range 83 km Sample spacing 250 m Antenna rotation speed 30ºs-1 Nyquist velocity 16 m-1 Sumber: Renggono (2006)
Sumber: Renggono (2006) Gambar 2. Lokasi Radar di Kototabang, dimana (+) adalah EAR (100.32oE, 0.20oS, 865 m MSL) dan (×) adalah X-band Weather Radar (100.407oE, 0.36oS, 1164 m MSL). 2.6 Spektrum Doppler Spektrum Doppler yang diperoleh dari radar terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar, kecepatan Doppler dan lebar spektrum. Dalam pengamatan hujan, parameter tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Pantulan radar dapat memperkirakan bendabenda yang berhamburan di atmosfer dan dapat juga digunakan untuk memperkirakan rata-rata hujan dengan menggunakan hubungan perbandingan pantulan-hujan (Z-R). 2.6.1 Echo Power (Pantulan Radar) Apabila gelombang radio yang pancarkan radar mengenai target, maka gelombang tersebut akan dipantulkan atau dihamburkan. Echo yang ditimbulkan karena hamburan atau pantulan oleh target akan memberikan informasi mengenai target tersebut. Kekuatan pemancar dan penerima sinyal radar biasanya digambarkan dengan desibel (dB). Reflektivitas radar Z sering didefinisikan dalam unit dBZ yang dinyatakan sebagai berikut (Collier 1989 dalam Nurmayani 2003): ⎛ Z mm 6 m − 3 ⎞ ⎟ dBZ = 101 log 10 ⎜⎜ 6 −3 ⎟ ⎝ 1 mm m ⎠ 2.6.2 Kecepatan Doppler Kecepatan Doppler diperoleh dari beam vertikal yang merupakan pengurangan spektrum kecepatan jatuh yang dihubungkan dengan distribusi hidrometeor dan spektrum pergerakan udara. Perhitungan kecepatan Doppler dapat dinyatakan dengan persamaan (William et al): Vd = w – Vt
12
Dimana Vd adalah perhitungan untuk kecepatan Doppler (nilai positif mengidentifikasikan kecepatan ke arah atas), w untuk kecepatan vertikal udara (positif ke atas) dan Vt adalah kecepatan jatuh hidrometeor (positif ke bawah). Kecepatan Doppler vertikal adalah cara yang kuat untuk membedakan antara udara cerah dengan echo hujan dalam wind profiler UHF. 2.6.3 Lebar spektrum Lebar spektrum secara langsung berhubungan dengan turbulensi dan distribusi ukuran hidrometeor pada volume resolusi radar.
2.7 Pertumbuhan Awan Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong udara. Karena sifatnya yang memantulkan dan menyerap radiasi bumi maka awan juga ikut menentukan pemanasan dan pendinginan bumi. Konvektif merupakan salah satu faktor yang penting dalam pertumbuhan awan yang terjadi karena kenaikan udara di atas permukaan yang relatif panas. Jika kita mengamati atmosfer daerah tropis, maka akan terlihat bahwa keadaan awan tidak sama dari hari ke hari. Ketinggian, ketebalan dan jenis awan kumulus berubah setiap hari bergantung pada kondisi meteorologi. Awan konvektif dan awan kumulus terbentuk karena adanya pemanasan radiasi dari permukaan tanah. Pertumbuhan selanjutnya disebabkan adanya pelepasan panas laten kondensasi yang merupakan sumber enegi yang cukup besar untuk menggiatkan awan kumulus. Karena pemanasannya di permukaan, maka udara di atasnya menjadi tidak stabil sehingga parsel udara naik ke atas hingga mencapai level kondensasi.
Apakah terlihat adanya Melting Layer
Yes
Menurut Tjasyono (1981) karena penyerapan energi matahari oleh permukaan tanah tidak uniform (daerah berbukit, daerah tumbuh-tumbuhan dan macam-macam jenis tanah), maka pertumbuhan awan konvektif cenderung pada daerah dengan pemanasan paling kuat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan kumulus di daerah tropis adalah konvergensi horizontal, tebal lapisan lembab, stabilitas vertikal dan orografik. Selanjutnya Tjasyono (1981) mengatakan lapisan inversi merupakan hambatan bagi pertumbuhan awan konvektif karena lapisan ini adalah stabil. Hanya dengan updraft yang kuat lapisan ini dapat tembus oleh awan. Karena adanya lapisan inversi ini, maka bentuk awan konvektif menjadi berubah, pada saat tertentu seperti cerobong atau balok. Apabila terdapat lapisan inversi, maka kemungkinan untuk turun hujan hampir tidak ada. 2.8 Klasifikasi Awan Hujan Secara umum awan hujan terdiri dari dua jenis yaitu awan hujan stratiform dan awan hujan konvektif. Awan hujan stratiform yang menghasilkan hujan, terbentuk dari awan nimbostratus, sedangkan awan konvektif terbentuk dari awan cumulus dan cumulonimbus. Pengklasifikasian awan dan perkiraan struktur awan hujan berdasarkan struktur vertikal parameter-parameter yang dihasilkan dari radar (pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum), yaitu menjadi 4 tipe awan yang terdiri dari awan stratiform, mixed stratiform/convective, deep convective dan shallow convective. Pengklasifikasian awan hujan dilakukan dengan metode William et al (1995) yaitu dengan menggunakan tiga kriteria sebagai berikut: a. Adanya melting layer b. Adanya turbulensi di atas melting layer c. Adanya hydrometeor di atas melting layer
Apakah ada turbulensi di atas Melting Layer
No Yes
Yes No
Apakah ada Hidrometeor di atas Melting Layer
No
Stratiform Mixed Stratiform/Convective
Deep Convective Shallow Convective
Gambar 3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan (William et al, 1995)
13
Apabila awan hujan memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan stratiform atau mixed stratiform/convective, jika tidak ada turbulensi di atas melting layer, awannya diklasifikasikan sebagai stratiform dan jika ada turbulensi di atas melting layer, maka diklasifikasikan sebagai mixed stratiform/convective. Dan untuk awan hujan yang tidak memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan konvektif, apabila terdapat hidrometeor di atas melting layer maka diklasifikasikan sebagai deep convective dan apabila tidak ada hidrometeor di atas melting layernya, maka awan diklasifikasikan sebagai awan shallow convective. 2.9 Disdrometer Berbagai macam penelitian untuk mengukur distribusi butir hujan ini telah dilakukan orang sejak dahulu. Beberapa metode dan alat penelitian telah dicoba, tetapi yang paling populer adalah penelitian dengan menggunakan disdrometer yang ditemukan oleh Joss dan Waldvogel (1967). Dengan alat ini, momentum dari butir hujan yang jatuh mengenai sebuah sensor elektromekanis akan berubah menjadi sinyal listrik. Alat ini kemudian disempurnakan oleh Sheppard (1990) yang sampai sekarang ini merupakan alat standar untuk mengukur distribusi butir hujan. Disdrometer yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe RD-80, yang merupakan disdrometer dengan sensor elektromekanis yang menghantarkan memontum butir hujan ke sinyal listrik. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur diameter butir hujan antara 0.3 mm sampai 0.5 mm, yang dibagi dalam 20 kelas (19 kelas tambah 1 kelas untuk data diatas 5.0 mm. Berdasarkan pembagian kelas ini masingmasing jumlah butir hujan dapat dihitung. Pembagian kelas ini untuk masing-masing ukuran butir hujan ditunjukkan pada lampiran 2. 2.10 Osilasi Madden Julian Pada tahun 1971, Roland Madden dan Paul Julian menemukan sebuah osilasi di daerah tropis dengan periode 40-50 harian. Osilasi ini disebut dengan Osilasi Madden Julian (Madden Julian Oscillation). MJO dapat dianggap sebagai pita skala yang mulai muncul di atas perairan Samudera Hindia dan bergerak ke arah timur antara 10º LU dan 10º LS. Kehadiran MJO dicirikan oleh adanya pertumbuhan gugus awan (SCC: super cloud cluster) di atas samudera Hindia dan kemudian
menjalar ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 m/s, penjalaran ini belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa selalu muncul tekanan rendah di sebelah timur SCC.
Gambar 4. Hirarki MJO (Nakazawa, 1988) Menurut Nakazawa (1988), munculnya MJO dicirikan dengan adanya Super Cloud Cluster (SCC), SCC adalah kumpulan awan dengan skala 1000-2000 km yang bergerak ke arah timur. SCC terdiri dari Cloud Cluster (CC) yang mempunyai skala 100 km. sel-sel awan CC ini akan bergerak ke arah barat sambil tumbuh dan berkembang (matang) kemudian mati dan seterusnya dalam waktu kurang lebih dua hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa timbulnya MJO dicirikan dengan adanya CC dan terjadinya gugus ini dalam rentang waktu 30-60 hari. Selama perjalanan ke arah timur MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sedangkan ketika matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, maka penjalaran MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui and Wang 1990 dalam Sartika 2005). 2.11 Angin Atmosfer selalu ada dalam keadaan bergerak. Gerak atmosfer ada dua jenis, yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Jenis gerak terakhir ini berpengaruh terhadap arah angin nisbi terhadap permukaan bumi. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi
14
mempunyai dua arah, ialah arah horizontal dan arah vertikal. Menurut Holton (1992), komponen angin horizontal terbagi menjadi dua komponen, yaitu: 1. Komponen angin Timur-Barat (angin zonal) disebut juga kompenen angin U. 2. Komponen angin Utara-selatan (angin meridional) disebut juga kompenen angin V.
III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan (UPTHB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta pada bulan April sampai Juli 2006. 3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, dan compiler Fortran dan XYGRAPH yang dioperasikan pada sistem UNIX. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) berupa angin zonal, angin meridional dan angin vertikal. 2. Data BLR dari beam vertikal yang terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar (Echo Power), kecepatan Doppler (Doppler Shift) dan lebar spektrum (Spectral Width). Dengan resolusi pengukuran 100 m dan resolusi waktu kurang dari 1 menit. 3. Data radar X-Band untuk melihat pergerakan awan, karakteristik awan dan besarnya awan secara spasial. 4. Data Permukaan Data permukaan digunakan sebagai pembanding dengan data radar dan citra satelit dalam penelitian ini. Data pembandingnya adalah data curah hujan yang diukur dengan distrometer dalam bentuk menit. Data curah hujan yang digunakan adalah data bulan April sampai Mei 2004. 5. Citra satelit GOES 9-IR Citra satelit GOES 9-IR wilayah Kototabang 10 April 2004-11 Mei 2004. 3.3 Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.3.1 Identifikasi Kemunculan Awan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR. Pada penelitian ini data GOES yang diambil adalah data GOES 9-IR yang berada pada lintang 0.2ºS tanggal 10 April 2004-11 Mei 2004 yang kemudian dirata-ratakan untuk melihat keawanan secara global yang masuk ke Kototabang dan tutupan awan di atas Kototabang. Hasil olahan Data GOES 9 ini berupa temperatur radiasi benda hitam yang dipancarkan oleh puncak awan dan hasilnya diplot berupa bujur (sumbu x) dan penampang waktu (sumbu y). 3.3.2 Identifikasi Karakteristik Awan Hujan Untuk melihat karakteristik awan hujan digunakan data BLR dan XDR. BLR digunakan untuk menentukan jenis awan hujan berdasarkan ketiga paramater yang diperoleh dari beam vertikal BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum dengan menggunakan metode William, et al (1995), sehingga dapat ditentukan jenis awan yang terpantau adalah awan jenis stratiform, deep convective, campuran dari keduanya (Mix stratiform/convective) atau shallow convective. Pengolahan data BLR menggunakan perangkat lunak Fortran dan hasilnya diplot dengan menggunakan excel. Hasil olahan data BLR berupa penampang waktu (sumbu x) dan frekuensi kemunculan awan hujan (sumbu y). Sedangkan XDR digunakan untuk melihat pertumbuhan, pergerakan dan tutupan awan secara spasial. Pengolahan data XDR dengan menggunakan perangkat lunak Fortran dan memplot hasilnya dengan menggunakan XYGraph dan hasilnya berupa grafik reflektivitas radar yang menunjukkan aktivitas awan hujan dimana sumbu x adalah penampang waktu dan sumbu y adalah bujur. 3.3.3 Analisis Kejadian Hujan Saat Kemunculan Awan Hujan. Analisis awan hujan dilakukan dengan menggunakan data disdrometer. Untuk menghitung jumlah curah hujan yang turun ke permukaan digunakan persamaan sebagai berikut: 20 π 3 .6 1 R = × × (n i × D i3 ) ∑ 3 6 10 F × t i =1 RA = R × t / 3600 Dimana: Selang waktu Pengukuran (t=60 t = detik)
15