I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Fenomena Superkonduktivitas listrik pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda Kammerlingh Onnes di Leiden-Belanda tahun 1911 pada logam murni dengan suhu kritis Tc 4,1 K (Kittel, 1996). Sejak saat itu penelitian difokuskan untuk mendapatkan bahan dengan sifat superkonduktor dengan suhu kritis (Tc) yang tinggi sehingga bahan superkonduktor tidak perlu mendapatkan perlakuan ekstrim (suhu sangat dingin) untuk mendapatkan sifat penghantarnya yang super (tinggi). Penelitian dikonsentrasikan pada logam dan perpaduan logam, dan hasilnya menunjukan bahan baru yang kemudian didapat memiliki Tc lebih tinggi dari Tc bahan sebelumnya. Bahan yang memiliki Tc tertinggi pada paduan logam selama 83 tahun sejak ditemukannya superkonduktor adalah Nb3Ge (Tc = 23,3K), sejenis alloy. Superkonduktor ini kemudian dikenal dengan supekonduktor suhu rendah (Tc<30K). Sejak saat itu tidak ditemukan lagi bahan paduan logam dengan Tc yang lebih tinggi lagi, sehingga penelitian kemudian beralih pada bahan lain, yaitu oksida logam atau keramik untuk pembuatan bahan superkonduktor. Pada tanggal 27 januari 1986 dua orang peneliti dari ”IBM Zurich Research Laboratory” bernama J.Georg Bednorz dan K.Alex Muller, berhasil menemukan fenomena superkonduktivitas pada bahan keramik dengan suhu kritis di atas 23,2K, yaitu pada sistem oksida Ba-La-Cu dengan Tc =30K (Bednorz, 1986) . Ditemukannya keramik dengan suhu kritis sekitar 30K, telah membangkitkan semangat para peneliti untuk berusaha mendapatkan campuran bahan dengan Tc yang lebih tinggi lagi. Beberapa bulan setelah ditemukannya bahan keramik sebagai bahan superkonduktor oleh J.Georg Bednorz dan K.Alex Muller, ditemukan kembali superkonduktor keramik yang baru pada sistem oksida Y-Ba-Cu Dengan suhu kritis (Tc) sekitar 90K. Selain untuk meningkatkan suhu kritis (Tc) yang tinggi para peneliti juga berusaha
untuk meningkatkan rapat arus kritis (Jc) dan medan magnet kritis (Hc). Karena ketiga parameter kritis tersebut sangat penting untuk membuka peluang dalam aplikasi dari bahan superkonduktor. Untuk membuat superkonduktor berkualitas tinggi, berbagai metode pembuatan dilakukan diantaranya reaksi padat (solid state reaction), presipitasi (kontaminasi endapan oleh zat lain yang larut dalam pelarut), sol gel dan proses pelelehan (melt-textured growth). Secara konvensional pembuatan keramik oksida dikerjakan dengan reaksi padat, reaksi ini selain berjalan lambat juga membutuhkan perlakuan suhu tinggi yang memungkinkan sebagian atau seluruh bahan-bahan penyusun mencair sehingga mengakibatkan perubahan ke fase yang tidak diinginkan. Metode Kopresipitasi adalah metoda menghomogenisasi larutan untuk membuat superkonduktor dengan urea sebagai bahan pelarut (untuk melakukan penyesuaian dan mengendalikan PH bahan nantinya), dengan pencampuran senyawa diawal sehingga pengendapan larutan dalam kondisi senyawa telah tercampur. Keunggulan metode kopresipitasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan Superkonduktor lebih cepat dan homogenitas cukup tinggi. 1.2 Tujuan Penelitian. 1. Mempelajari pembuatan superkonduktor dengan metode YBa2Cu3O7-x kopresipitasi sebagai proses optimalisasi sintesa material superkonduktor. 2. Mengetahui sifat magnetik bahan melalui pengujian efek Meissner dan meneliti sifat listrik bahan superkonduktor YBa2Cu3O7-x .
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Superkonduktivitas Superkonduktivitas adalah suatu fenomena hilangnya hambatan listrik pada suatu material di bawah temperatur kritis. Superkonduktivitas dapat diamati berdasarkan sifat listrik dan sifat magnetnya,
1
yakni berturut-turut dapat menghantarkan arus listrik tanpa hambatan dan dapat menolak medan magnet. Jika sampel menampilkan kedua sifat tersebut maka bahan tersebut merupakan bahan superkonduktor. 2.2 Sifat Listrik Resistivitas listrik dari bahan superkonduktor turun drastis secara tiba-tiba jika bahan tersebut didinginkan menuju suhu yang sangat rendah, sekitar suhu helium cair untuk logam atau suhu nitrogen cair untuk oksida keramik. Gejala superkonduktivitas bahan mula-mula teramati oleh Heikke Kammerlingh Onnes tahun 1911 pada merkuri. Resistivitas listrik merkuri tiba-tiba menurun drastis menuju nol saat suhunya diturunkan mencapai 4,2 K yaitu suhu kritisnya (Kittel, 1996). Gambar 1 memperlihatkan fenomena tersebut. ρ
T(K)
(Tc) Gambar 1. Resitivitas pada merkuri (Tc = 4,2 K). Terjadinya resistansi mendekati nol adalah karena arus dibawa oleh elektronelektron yang berpasangan (pasangan cooper). Teori pasangan cooper ini dikemukakan oleh Bardeen, Cooper dan
Schrieffer pada tahun 1957 yang dikenal sebagai teori BCS. Pasangan cooper ini terbentuk karena adanya tarik menarik antara elektron yang disebabkan adanya ion positif dalam kristal yang merespon perjalanan elektron-elektron tersebut, dimana ketika sebuah elektron (elektron 1) lewat dekat sebuah ion positif maka akan ada tarikan sesaat antara elektron 1 dengan ion positif tersebut.sehingga memodifikasi vibrasi ion positif yang menghasilkan gelombang elastik berupa fonon. Fonon yang dirasakan oleh elektron 1 secara fisis akan dihapus oleh elektron 2, sehingga terjadi gaya tarik menarik diantara elektronelektron tersebut. Energi tarik menarik ini lebih besar dari gaya tolak diantara keduanya tetapi cukup kecil terhadap gangguan energi termal pada saat suhu lebih kecil dari suhu kritisnya. Pasangan cooper ini bergerak dalam suatu gerak koheren tunggal, gangguan lokal seperti impuritas yang dalam keadaan normal menyebabkan timbulnya resistivitas tidak dapat berbuat demikian pada pasangan cooper tersebut (dalam keadaan superkonduksi) pasangan tersebut bergerak mengalir tanpa mengalami disipasi energi sehingga tidak ada resistivitas (Engkir S, 1991). 2.3 Sifat Magnetik Superkonduktor Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933, ternyata superkonduktor memiliki sifat seperti bahan diamagnetik sempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap yang kuat. Jika suatu bahan superkonduktor ditempatkan pada suatu medan magnet eksternal (H) dan bahan tersebut didinginkan di bawah suhu kritisnya atau minimal mencapai suhu kritis agar sifat konduktivitas muncul, maka akan terjadi eksklusi fluks magnetik (penolakan garis-garis gaya magnet). Eksklusi dapat terjadi pula dengan cara menurunkan suhu hingga T
2
T>Tc
T
Gambar 2. Eksklusi fluks magnetik.
Pada keadaan ini London mempostulatkan bahwa medan induksi magnetic didalam bahan sama dengan nol (B=0) (Smitt, 1990). Jika postulat ini diterapkan pada persamaan medan induksi magnetic suatu bahan, yaitu (1) Dimana:B= Medan magnet induksi (Wb/m2) H = Medan magnet eksternal (A/m) M= Magnetisasi Bahan (A/m) = konstanta permeabilitas ruang hampa (Wb/A.m) Dengan konstanta suseptibilitas, (2) Sehingga dengan menerapkan postulat sehingga London, maka 0 = didapatkan yang menunjukan sifat diagmetik sempurna dari superkonduktor, yang berarti menolak semua medan – medan eksternal yang diberikan padanya. Eksklusi fluks pada konduktor sempurna hanya akan terjadi jika konduktor diturunkan dahulu suhunya hingga lebih rendah dari Tc, baru diberikan medan magnet eksternal. Perubahan yang terjadi dari keadaan tanpa medan ke keadaan terdapat medan luar akan menginduksikan suatu arus pusar yang akan tetap ada selama T
terdapat medan magnet statik di sekitar permukaan hingga kedalaman tertentu. Kedalaman penetrasi magnet statik pada suatu superkonduktor disebut panjang karakteristik. Medan magnetik akan berkurang berbanding lurus dengan kedalaman penembusan bahan (Kittel, 1996), dengan persamaan (3) H x H 0exp x / Dengan , H (x) = besarnya medan magnet eksternal pada jarak x dari permukaan H (0) = besarnya medan magnet eksternal di permukaan bahan x = rentang kedalaman dari permukaan λ = konstanta kedalaman penembusan karakteristik dimana (4) mc 2 / 4ne e 2 Dengan, m = massa elektron e = muatan elektron c = kecepatan cahaya ne= jumlah elektron per cm3 dalam keadaan superkonduktif 2.4 Tipe Superkonduktor Superkonduktor dibedakan menjadi dua tipe yang dibedakan karena perbedaan jumlah nilai medan magnetnya. Yang tergolong Superkonduktor Tipe I adalah superkonduktor yang tersusun dari bahanbahan yang mengandung unsur-unsur logam murni seperti Hg, Pb, Nb, In, Sn dan sebagainya. Superkonduktor Tipe I ini hanya memiliki satu nilai medan magnet kritis (Hc) dan hanya mampu mempertahankan superkonduktivitas dalam medan magnet yang lebih kecil dari 1000 Gauss. Agar tetap superkonduktif bahan Tipe I harus menolak seluruh medan magnet internal. Untuk menghalau fluks magnetik tersebut diperlukan energi dan energi yang dipergunakan adalah energi bebas superkonduktor (the superconductor’s free energy). Jika ”budget” energi bebas habis terpakai atau tidak mencukupi, bahan tidak lagi ada dalam keadaan superkonduksi. Superkonduktor tipe II memiliki 2 nilai medan magnet kritis (Hc1 dan Hc2). Pada daerah medan magnet H< Hc1, bahan
3
bersifat seperti superkonduktor tipe 1, sedangkan pada daerah Hc1
Hc2 semakin banyak fluksoid yang memasuki bahan sehingga struktur vortex arus super akan runtuh dan bahan kembali normal (Smith, 1990). Diagram fase H – T untuk superkonduktor Tipe I dan II ditunjukkan pada Gambar 3.
kristal ortorombik, grup ruang Pmmm No. 47 dengan kostanta kisi a = 3,886 Å, b = 3,825 Å dan c = 11,667 Å dan tersusun dari lapisan CuO, BaO, CuO2, Y, CuO2 dan BaO sepanjang sumbu-c sel satuan (Gambar 4) (Regnault, 1995). Superkonduktor YBCO memiliki 6 atom logam, yaitu Y, 2Ba dan 3Cu dan kandungan oksigen mendekati 7 atom. Pada superkonduktor YBCO terdapat bidang CuO yang memiliki peranan penting dalam menampilkan perilaku bahan tersebut apakah superkonduktif atau nonsuperkonduktif. Bahan YBCO bersifat superkonduktif dicirikan oleh kedudukan atom oksigen sejajar sumbu-a dan kekosongan berada sejajar sumbu-b pada lapisan CuO, sehingga panjang sumbu-a tidak sama dengan sumbu-b (Regnault, 1995).
(a)
(a)
(b)
(b) Gambar 3. Diagram fase H-T untuk Superkonduktor a. Tipe I dan b. Tipe II. Superkonduktor Keramik superkonduktor YBCO memiliki struktur
Gambar 4. a) Struktur kristal YBa2C3O7-x ortorombik grup ruang Pmmm No. 47 dengan konstanta kisi a = 3,886Å, b = 3,825Å dan c = 11,667Å dan b) struktur kristal YBa2C3O7-x tetragonal (Regnault, 1995).
4
2.5 Parameter Kritis Superkonduktor Ada tiga parameter kritis yang mempengaruhi keadaan superkonduksi yaitu Jc, Tc dan Hc. Apabila ketiga parameter tersebut terpenuhi maka bahan berada dalam keadaan superkonduksi, namun bila salah satu dari parameter kritis tersebut tidak terpenuhi, bahan dalam keadaan normal. Jc dan Tc adalah dua parameter terpenting bagi superkonduktor keramik agar bahan dapat diaplikasikan, keduanya sangat bergantung pada kemurnian bahan dan keberadaan cacat kristal (B Raveau, 1992). Jc menunjukkan besarnya rapat arus per satuan luas yang masih dapat mengalir tanpa adanya resistansi dan tidak (belum) merusak bahan superkonduktor, dirumuskan sebagai (5) jc Ic / A 2 Dimana, Jc = rapat arus kritis (A/m ) Ic = arus kritis (A) A = luas bidang yang tegak lurus dengan arah aliran arus (m2) Arus kritis pada superkonduktor diukur secara eksperimental dengan menggunakan metode empat titik, yaitu metode yang digunakan untuk mengukur sifat-sifat listrik suatu bahan seperti Jc, resistansi bahan (ρ), konduktivitas bahan (σ), Tc dan lain-lain. Prinsip pengukuran metode empat titik ini adalah bahwa dengan adanya aliran arus dari elektroda luar akan menimbulkan beda potensial pada elektroda dalam. Dari hukum Termodinamika, jika ada sebuah sumber medan pada permukaan akan terdapat bidang ekipotensial berbentuk setengah bola tepat dibawah sumber medan tersebut (M. Barmawi, 1998). 2.6 Difraksi Sinar-x Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray difraction/XRD) merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.
Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif, Keuntungan utama penggunaan sinar-x dalam karakterisasi material adalah kemampuan penetrasinya, sebab sinar-x memiliki energi sangat tinggi akibat panjang gelombangnya yang pendek. Sinar-x adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,5-2,0 Å. Sinar ini dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron berenergi tinggi. Elektron itu mengalami perlambatan saat masuk ke dalam logam dan menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut terpental membentuk kekosongan. Elektron dengan energi yang lebih tinggi masuk ke tempat kosong dengan memancarkan kelebihan energinya sebagai foton sinar-x. Metode difraksi sinar-x digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan tipis yang terbentuk. Sampel diletakkan pada “sample holder” difraktometer sinar-x. Proses difraksi sinar-x dimulai dengan menghidupkan difraktometer sehingga diperoleh hasil pola difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar-x yang dipantulkan. Untuk difraktometer sinar-x, sinar-x terpancar dari tabung sinar-x. Sinar-x didifraksikan dari sampel yang konvergen yang diterima slit dalam posisi simetris dengan respon ke fokus sinar-x. Sinar-x ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai analisa pulsa tinggi. Teknik difraksi sinar-x juga digunakan untuk menentukan ukuran kristal, regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki orde yang sama. Teknik difraksi sinar-x sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, keramik, polimer dan sebagainya. Tehnik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang ada pada sampel, ukuran butir, textur, dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncak-puncak difraksi,
5
intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-x yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-x berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal, ketajaman sinar-x yang didifraksikan merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal. Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2 θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-x karena panjang gelombang sinar-x berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-x yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-x dengan kisi pada bidang kristal, menghasilkan interferensi yang konstruktif berupa puncak-puncak intensitas. Interferensi konstruktif ini terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hokum Bragg (Van Vlack, 1991) yaitu, (6) n 2d sin Dimana, n = 1,2,3,…. (orde difraksi) λ = panjang gelombang d(hkl) = jarak antar atom θ = sudut difraksi hkl = indeks miller Untuk mengetahui bentuk struktur kristal, digunakan metode difraksi. Metode ini digunakan untuk menghasilkan pola intensitas difraksi sampel dan untuk mendapatkan data intensitas dan sudut difraksi (data XRD) dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Sampel superkonduktor digerus hingga berbentuk serbuk halus dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah sampel berbentuk lempeng tipis persegi panjang dengan kedalaman sekitar 1 mm yang telah diberi selotif di bagian dasarnya, hal ini dimaksudkan untuk melekatkan serbuk sampel. Perangkat ini kemudian diletakkan pada goniometer. 2. Sampel akan diradiasi oleh sinar-x dan hasil pola difraksinya dicatat langsung pada chart decoder. Intensitas difraksi pada sudut 2 θ
tertentu langsung dicetak oleh printer atau disimpan dalam bentuk numerik pada disket untuk dianalisis dengan program Rietveld. 2.7 Metode Analisis Rietveld Untuk menganalisa data XRD dengan metode Rietveld dilakukan langkah-langkah berikut : 1. Menyiapkan tiga buah file yaitu, a. File data yang berisi data numerik hasil XRD yang membentuk profil hasil observasi. b. File input yang berisi analisis teoritis yang dibuat sesuai dengan metode Rietveld yang membentuk profil kalkulasi. c. File kosong yang berfungsi sebagai input yang berharga untuk memperbaiki file input pada butir b. 2. Menjalankan program Rietan untuk menghitung “pattern calculation” dan “refinement calculation”. 3. mendapatkan hasil olahan data dari program Rietan dengan analisis, jika faktor R lebih kecil 20% maka file input yang dibuat sudah cukup mendekati harga yang sebenarnya (Sudiana, 1999). Prinsip dasar analisis Rietveld adalah pencocokan (fitting) profil puncak perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear yang diberi syarat batas. Sehingga analisis Rietveld adalah problema optimasi fungsi non linear yang diberi syarat batas (constraints). Dalam bahasa matematika dinyatakan sebagai berikut : meminimumkan fungsi objektif f x
x
i 0
wi yi 0 yi c
2
(7)
dengan, wi = 1/yi (0) = faktor bobot yi (0) = intensitas pengamatan pada sudut 2θ
6
yi (c)
= intensitas perhitungan pada sudut 2θ Dalam metode Rietveld setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai suatu pengamatan tunggal yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang berbeda. Pola difraksi hasil perhitungan dicocokkan dengan pola difraksi pengamatan setelah terlebih dulu dipilih bentuk puncak yang paling sesuai. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah kontribusi intensitas akibat “overlap” dapat dihitung berdasarkan harga parameter-parameter yang didapat dengan asas perhitungan “least square” (Engkir S, 1991). 2.8 Metode Analisis Data Data difraksi sinar-x dianalisis dengan bantuan perangkat lunak yang disebut RIETAN (Rietveld Analysis). Program ini memerlukan dua data masukan, yakni pasangan data intensitas (cacahan) hasil pengamatan terhadap sudut hamburan dan parameter “least square”. Berdasarkan fungsinya, parameter “least square” terbagi dalam dua kelompok, yakni : a. Parameter profil Parameter profil adalah parameter yang membangun kurva pola difraksi berupa parameter lebar puncak, titik nol detektor, parameter kisi, parameter asimetris dan parameter orientasi terpilih. b. Parameter struktur Parameter struktur adalah parameter yang menentukan besarnya harga faktor struktur. Setiap refleksi Bragg terdiri dari faktor skala, parameter suhu, koordinat fraksi atom, faktor hunian dan momen magnetik. Parameter “least square” dimasukkan dengan urutan sebagai berikut : 1.Parameter Global : Z = Titik nol detektor b0, … b5 = Parameter intensitas latar belakang 2.Parameter yang Tergantung Fasa : S = Faktor skala U, V, W= Parameter lebar puncak
A = Parameter asimetris γ = Fraksi komponen Gauss δ = Hk(G) / Hk(L) p1, p2 = Parameter orientasi “preferred” a, b, c = Parameter Kisi Q =Parameter suhu secara keseluruhan G = Faktor hunian atom B = Parameter suhu isotropis x, y, z = Koordinat fraksi atom Hasil pengolahan data dengan metode Rietveld berupa data parameter profil dan parameter struktur hasil penghalusan, faktor R, data intensitas puncak Bragg hasil pengamatan dan hasil perhitungan lengkap dengan indeks miller, posisi puncak-puncak Bragg, harga jarak antar bidang refleksi, harga faktor struktur dan lain-lain. Ukuran yang menunjukkan kesesuaian antara profil difraksi hasil perhitungan dengan hasil pengamatan dinyatakan dengan faktor R yang dinyatakan sebagai berikut :
Rwp wi yi 0 yi c
/w y 0
2 1/ 2
2
i
i
R p yi 0 yi c / yi 0
RI I k 0 I k c /I k 0
(8) (9)
(10)
(11) R f I k 0 I k c / I k 0 Dimana, Rwp = R-pola dengan pemberat Rp = R-pola Ik (0) = intensitas kurva percobaan yang ditinjau pada refleksi Bragg ke-k diakhiri putaran penghalusan (cps) Ik (c) = intensitas kurva teoritis yang ditinjau pada refleksi Bragg ke-k diakhiri putaran penghalusan (cps) yi (0) = intensitas kurva percobaan yang ditinjau pada langkah ke-i yi (c) = intensitas kurva teoritis yang ditinjau pada langkah ke-i Harga faktor R yang kecil menunjukkan baiknya persesuaian antar pola difraksi hasil pengamatan dan pola difraksi hasil perhitungan (Engkir S, 1991). 1/ 2
1/ 2
1/ 2
2.9 Scanning Electron Microscopy (SEM) Superkonduktor sangat bergantung pada struktur mikronya. Untuk mengamati struktur mikro digunakan Scanning Electron Mikroscope (SEM). Prinsip kerja SEM ini
7
adalah, berkas elektron yang dihasilkan oleh electron gun akan menyapu permukaan sampel dalam daerah yang sangat kecil, baris demi baris. SEM memiliki dua buah sinyal yang sangat umum digunakan yaitu secondary electron signal dan back scattered signal. Secondary electron (SE) adalah elektron berenergi rendah yang terhambur dari permukaan sampel, saat sampel tersebut dikenai berkas elektron yang dipercepat oleh suatu beda potensial antara 5 dan 40 kV. Di dalam detektor SE akan diubah menjadi sinyal listrik yang menghasilkan gambar pada layar monitor. Sinyal keluaran dari detektor akan berpengaruh terhadap intensitas cahaya di dalam tabung monitor, karena jumlah cahaya yang dipancarkan oleh monitor akan sebanding dengan jumlah elektron yang berinteraksi dengan sampel. Proses perekaman gambar dari monitor adalah shutter penutup kamera dibuka pada saat sapuan pertama dimulai dan ditutup kembali setelah permukaan sampel selesai disapu. Back scattered electron (BSE) adalah elektron berenergi tinggi yang dipantulkan kembali oleh sampel. Energi elektron yang dipantulkan hampir sama besarnya dengan energi saat elektron tersebut datang. Sinyal intensitas BSE bergantung pada jumlah nomor atom dari fasa-fasa yang ada pada sampel. BSE akan memberikan perbedaan ketajaman gambar berdasarkan nomor atomnya, fasa dengan nomor atom lebih besar akan lebih terang dibandingkan dengan fasa bernomor atom lebih kecil. SEM juga memiliki fasilitas berupa energy dispersive x-ray spectroscopy (EDX), sinyal yang dihasilkannya dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang terdapat pada sampel.
Gambar 5. Skema SEM, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret 2009 sampai oktober 2009. Bertempat di Laboratorium Zat Mampat PTBIN BATAN, Kawasan PUSPITEK Serpong. 3.2 Bahan, Alat dan Diagram Alir Penelitian Bahan yang digunakan berupa serbuk (YNO3O9 + 6 H2O), BaN2O6, dan CuN2O6 Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi : 1. Timbangan electronic balance dengan ketelitian empat angka dibelakang koma. 2. Mortar agate dan penumbuknya untuk menghaluskan bahan. 3. Cawan (crucible) tahan panas untuk wadah sampel. 4. Tungku pemanas (furnace) yang dapat deprogram dengan suhu maksimal 1200 0C. 5. Pencetak pelet (dies). 6. Alat penekan dengan kemampuan maksimal penekanan 10 ton/cm2 7. Beker glas untuk pelarutan dan pencampuran. 8. PH meter digital dan Kertas PH. 9. Alat titrasi. 10. Pipet, dan gelas ukur.
8