1
I. PENDAHULUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Latar Belakang Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Keadaan tersebut mendorong pencarian dan pengembangan sumber bahan pangan baru dalam usaha perluasan aneka bahan pangan (diversifikasi pangan), agar kondisi rawan pangan dapat dihindari. Salah satu sumber bahan pangan yang dapat menjadi alternatif adalah kentang, sebab kentang merupakan bahan pangan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dan merupakan salah satu bahan makanan pokok di dunia selain beras, gandum, dan jagung. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Produksi kentang telah berkembang pesat selama dekade terakhir dan kini Indonesia telah menjadi Negara penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara (Anonim 2008). Dalam usaha pengembangan tanaman kentang di Indonesia diperlukan pengkajian yang mendalam mengenai keadaan lingkungan terutama kondisi iklim yang sesuai bagi tanaman ini, sehingga dapat diketahui tingkat produksi dan efisiensinya. Unsur iklim yang cukup penting bagi tanaman ialah radiasi surya. Radiasi surya merupakan sumber energi utama bagi tanaman untuk pertumbuhan, perkembangan, dan produksi bahan kering (Boer 1999). Radiasi surya merupakan faktor penting bagi tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung radiasi dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dan secara tidak langsung radiasi dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Diharapkan pada akhirnya tanaman ini dapat terus dikembangkan, sehingga dapat menjadi salah satu komoditas pertanian di Indonesia yang dapat diandalkan.
2.1 Tanaman Kentang 2.1.1 Karakteristik Tanaman Kentang Kentang adalah tanaman semusim yang hanya sekali berproduksi dan berumur pendek 90 – 180 hari. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum tuberosum L. Kentang berasal dari daerah subtropika yaitu dataran tinggi Andes, Amerika Utara. Secara umum kondisi iklim yang sesuai untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1000 – 1300 m.dpl, curah hujan 1500 mm/tahun, suhu rata – rata harian 18 – 21ºC, serta kelembaban udara 80 -90% (Astawan 2004). Sementara itu, kentang di Indonesia ditanam pada ketinggian 600 – 2000 m dpl dengan kondisi iklim dan tanah yang berbeda – beda (Sunarjono et al. 1980). Karakter luas daun pada tanaman kentang diklasifikasikan dalam 4 kelas, yaitu sangat luas (>10 cm), luas (8 – 10 cm), sedang (6 – 8 cm), dan kecil (<6 cm). Karakter ini dapat membantu untuk membedakan jenis kentang yang tumbuh pada tempat yang sama, tetapi perbedaan luas daun tersebut juga dapat disebabkan karena kondisi lingkungannya (Burton 1989). Kentang merupakan salah satu makanan pokok di dunia selain beras, gandum, dan jagung. Menurut Jaya (1998) menyebutkan bahwa setiap 100 g kentang mengandung kalori 83 kal, 2.0 g protein, 19.1 g karbohidrat, 11 mg kalsium, 56 mg fosfor, 0.7 mg besi, 0.11 mg vitamin B1, 17 mg vitamin C, 77.8 g air, dan yang paling rendah kandungan lemaknya yaitu 0.1 g. Oleh sebab itu, tanaman kentang merupakan tanaman penunjang program diversifikasi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat (Nurmayulis 2005).
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi radiasi surya yang ditransmisikan oleh tanaman kentang dan nilai koefisien pemadaman tajuk tanaman.
2.1.2 Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Produksi kentang di Indonesia rata – rata hanya mencapai 9.4 ton/ha. Hasil ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan produksi kentang di Eropa yang rata – rata mencapai 25.4 ton/ha. Hasil yang rendah tersebut disebabkan oleh mutu benih yang kurang baik (misalnya terinfeksi virus), teknologi bercocok tanam yang belum memadai, serta iklim yang kurang mendukung. Selain itu, penanganan
2
pascapanen yang kurang baik juga dapat menyebabkan kerusakan umbi kentang sebesar 2 – 10% serta menimbulkan bagian terbuang mencapai 10% (Astawan 2004). Jawa Barat merupakan penyumbang terbesar kentang di Indonesia, tetapi produktivitas rata – rata yang dicapai masih rendah yaitu 16.20 ton/ha. Produktivitas tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas rata – rata nasional yang mencapai 19.20 ton/ha (Bachrein et al. 1997 dalam Koswara 2007). 2.2 Radiasi Surya Radiasi surya merupakan sumber utama proses – proses fisika atmosfer yang menentukan keadaan cuaca dan iklim atmosfer bumi. Selain itu, radiasi surya mempunyai ciri yang khas yaitu sifat keberadaannya selalu berubah – ubah tergantung pada keadaan atmosfer dan geometri matahari. Radiasi surya yang sampai puncak atmosfer 1360 W/m2 sedangkan yang sampai permukaan bumi setengah dari radiasi surya yang sampai puncak atmosfer dan 30% dari radiasi surya yang sampai permukaan bumi dipantulkan kembali ke luar angkasa. Energi radiasi surya yang sampai ke permukaan bumi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) jarak antara matahari dan bumi, setiap perubahan jarak matahari dan bumi menimbulkan variasi terhadap penerimaan energi radiasi surya. (2) Intensitas radiasi matahari yaitu besar kecilnya sudut datang matahari pada permukaan bumi. Jumlah radiasi surya yang diterima permukaan bumi berbanding lurus dengan besarnya sudut datang matahari. Radiasi surya dengan sudut datang miring kurang memberikan energi pada permukaan bumi dikarenakan energinya tersebar pada permukaan yang luas dan harus menempuh lapisan atmosfer yang lebih jauh jika dibandingkan dengan radiasi surya yang sudut datangnya tegak lurus. (3) Panjang hari (sun duration) yaitu lama antara matahari terbit dan terbenam. (4) Pengaruh atmosfer, radiasi surya yang datang sebagian akan diserap oleh gas – gas, debu dan uap air, dipantulkan kembali, dipancarkan, dan sisanya diteruskan ke permukaan bumi (Handoko 1995). Intensitas radiasi surya di permukaan bumi tergantung dari lintang tempat, ketebalan awan, topografi, dan musim. Awan di atmosfer menyebabkan penerimaan radiasi surya di permukaan bumi bervariasi, 40% di daerah basah dengan banyak awan dan 80% di daerah gurun yang kering (Larcher 1980). Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Handoko (1994) bahwa faktor dominan yang mempengaruhi penerimaan radiasi surya di permukaan bumi adalah keadaan awan. Daerah padang pasir dengan keawanan rendah akan menerima jumlah radiasi surya yang besar. Sebaliknya daerah banyak hujan seperti Indonesia, radiasi surya akan lebih banyak dipantulkan oleh awan pada musim hujan sehingga lebih sedikit radiasi surya yang sampai di permukaan bumi. Di Indonesia yang beriklim tropis, intensitas radiasi surya dipengaruhi oleh musim, letak geografis, dan ketinggian tempat. Pada musim hujan dimana terdapat banyak awan penerimaan intensitas radiasi surya berkisar 47% dan pada musim kemarau dimana pembentukan awan relatif berkurang, radiasi surya dapat mencapai 70% (Lawlor 1993). Selain itu, menurut Larcher (1980) banyaknya gunung di daerah tropis juga mempengaruhi penerimaan intensitas radiasi surya. Pada dataran tinggi, karena rendahnya derajat kekeruhan (polusi udara) maka penerimaan intensitas radiasi surya akan lebih besar dibandingkan dengan dataran rendah. 2.3
Pengaruh Cahaya terhadap Pertumbuhan Tanaman Cahaya merupakan faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman disamping unsur hara dan air (Purnomo dan Sitompul 2006). Hal ini dikarenakan cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologi tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi. Unsur radiasi surya yang penting bagi tanaman adalah intensitas cahaya, kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al. 1991, dalam Djukri dan Purwoko 2003). Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme, sehingga menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al. 1994 dan Sopandie et al. 2003 dalam Djukri dan Purwoko 2003). Namun, tidak semua radiasi surya mampu diserap tanaman, hanya radiasi surya dengan panjang gelombang 0.4 – 0.7 μm yang mampu diserap dan dimanfaatkan oleh tanaman. Bagian radiasi inilah yang disebut radiasi nampak (visible radiation). Penerapan istilah radiasi nampak didasarkan atas kemampuan mata manusia normal yang dapat mendeteksi radiasi pada batas
3
gelombang tersebut dan paling jelas pada spectrum hijau (λ = 0.52 μm) (Sitompul 2002). Sebagian besar radiasi surya yang sampai ke permukaan daun pada awal pertumbuhan tanaman dimanfaatkan untuk penambahan luas daun. Penambahan luas daun ini akan meningkatkan penyerapan energi radiasi surya oleh daun (Fitter dan Hay 1994). Menurut Nurmayulis (2005), cahaya yang diterima permukaan daun terdiri atas empat komponen, yaitu cahaya langsung, cahaya difus, cahaya refleksi, dan cahaya transmisi. Cahaya langsung banyak diperoleh oleh daun yang berada pada kanopi bagian atas (yang tidak ternaungi) sedangkan daun – daun bagian bawah memperoleh cahaya tidak langsung dalam bentuk cahaya difus, cahaya yang direfleksikan, dan ditransmisikan oleh daun lain. Hal ini berarti distribusi cahaya dalam tajuk berhubungan erat dengan karakteristik daun dan arsitektur tajuk. Arsitektur tajuk meliputi bentuk daun, sudut daun, dan pola distribusi daun (filotaksis) dalam ruang tajuk. Penyebaran daun dalam ruang tajuk yang menyebar sedemikian rupa dapat mengakibatkan jumlah cahaya yang diterima oleh setiap helaian daun tidak sama. Hal ini dapat mengakibatkan laju fotosintesis daun – daun di lapisan tajuk bawah lebih rendah (Raden et al. 2008) 2.3.1 Radiasi Transmisi dan Intersepsi Radiasi surya yang diintersepsi selain digunakan untuk pemanasan udara juga digunakan untuk evapotranspirasi dan fotosintesis. Rendahnya radiasi intersepsi juga menyebabkan rendahnya fotosintesis (Sulistyono et al. 2006). Radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada radiasi surya yang datang yaitu yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, indeks luas daun, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002). Menurut Sitompul (2002) radiasi surya yang diintersepsi dalam tajuk tanaman dapat diperoleh dari selisih radiasi surya yang sampai pada permukaan atas tajuk tanaman dengan radiasi surya yang lolos pada permukaan tanah dibawah tajuk. Dengan demikian radiasi intersepsi sangat dipengaruhi oleh faktor indeks luas daun dan kerapatan tanaman (Perdinan 2002). Menurut Sugito (1995) salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi intersepsi cahaya dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi atau dengan cara memperpendek
jarak tanam sehingga kanopi tanaman lebih cepat menutup permukaan tanah sehingga cahaya yang jatuh tidak banyak yang lolos. Menurut Handoko (1994) Hukum Beer digunakan untuk menghitung besarnya radiasi intersepsi dengan persamaan : Qint = Qo*(1 – τ) dengan, τ = e-k. LAI
(1) (2)
Keterangan : o Qint : radiasi surya yang diintersepsi (W/m2) o Qo : radiasi surya di atas tajuk tanaman (W/m2) o τ : proporsi radiasi surya yang ditransmisikan oleh tajuk tanaman o k : koefisien pemadaman o LAI : indeks luas daun Menurut Le Roux et al. (1996) fraksi radiasi intersepsi (fQint) oleh kanopi dapat dirumuskan sebgai berikut : fQint = 1- τ (3) τ adalah rasio antara radiasi surya yang ditransmisikan dengan radiasi surya yang datang, fQint harian dapat dirumuskan sebagai rasio antara radiasi intersepsi harian dengan radiasi harian yang datang antara matahari terbit dan terbenam. Nilai dari persamaan fQint sesuai untuk radiasi intersepsi pada tanaman yang masih hijau daunnya. Menurut Monteith (1976) cahaya yang menimpa daun dapat sebagian dipantulkan dan ditransmisikan, dan banyaknya cahaya yang dipantulkan dan ditransmisi tergantung pada sifat daun yang dinyatakan dengan koefisien τ untuk transmisi. Radiasi transmisi dipengaruhi oleh karakter kanopi yaitu luas daun,sudut daun, filotaksis, jumlah daun, dan ukuran daun (Rosenberg 1997, dalam Sulistyono et al. 2006). Sedangkan menurut Geiger (1959) radiasi surya yang ditransmisi oleh tanaman tergantung pada panjang gelombang, umur tanaman, dan sudut inklinasi daun. Pada panjang gelombang dibawah 0.38 μm (spectrum ultraviolet) hanya sedikit yang ditransmisikan yaitu dibawah 10%, cahaya tampak pada panjang gelombang 0.38 – 0.68 μm yang ditransmisikan sekitar 5 – 20% dan transmisi terbesar pada panjang gelombang 0.57 μm, sedangkan radiasi yang mempunyai panjang gelombang lebih besar 0.68 μm ditransmisi sekitar 40 – 60% dan transmisi terbesar pada panjang gelombang 0.80 μm.
4
Radiasi surya yang dipantulkan, ditransmisi, dan diabsorbsi daun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 Respon daun terhadap komponen radiasi Panjang Pantulan Transmisi Absorbsi gelombang (%) (%) (%) (μm) 0.34 9 0 91 0.44 11 2 87 0.51 14 10 76 0.58 14 10 76 0.64 13 9 78 1.0 45 50 5 2.4 7 28 65 Sumber : Mavi dan Tupper 1984 Transmisi radiasi surya yang melewati tajuk tanaman akan konstan setelah LAI maksimum tercapai. 2.3.2 Indeks Luas Daun (LAI) Istilah indeks luas daun (LAI) diperkenalkan oleh Watson pada tahun 1947 yang merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan, karena cahaya matahari tersebar merata, maka LAI secara kasar juga dapat diartikan sebagai ukuran luas daun per unit cahaya matahari yang tersedia (Gardner et al. 1985, dalam Indradewa 1997) LAI dapat dihitung dengan menggambar bentuk daun pada kertas kemudian kertas diukur dengan planimeter, setelah itu dibuat hubungan antara luas daun dengan berat daun, sehingga luas daun dapat diduga dengan perbandingan antara luas daun dengan berat daun (Sudjatmiko 1984) LAI yang menyebabkan laju pertumbuhan tanaman maksimum disebut LAI optimum yang biasanya terjadi pada saat tanaman dapat menerima 95% cahaya matahari dan LAI ini disebut LAI kritik. Laju pertumbuhan tanaman maksimum akan terjadi jika cukup luas daun dapat dipertahankan untuk menerima sebagian besar cahaya matahari. Peningkatan luas daun di bawah nilai tertentu akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman dan di atas nilai tersebut penambahan luas daun akan menyebabkan laju pertumbuhan tanaman menurun kembali (Gardner et al. 1985, dalam Indradewa 1997). LAI setiap tanaman berbeda – beda tergantung morfologi daun masing – masing tanaman. Jumlah populasi juga sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai LAI. Semakin rapat tanaman akan meningkatkan nilai LAI. Kondisi tersebut terjadi karena jarak antar tajuk tanaman semakin dekat, sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk
menutupi permukaan tanah tempat berdirinya tegakan menjadi semakin besar. Hal ini juga dijelaskan oleh Sassenrath-Cole (1995), dalam Khasanah (2008) bahwa LAI bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman dan mencapai maksimum pada saat pertumbuhan kanopi telah rapat. Selain itu, faktor eksternal juga mempengaruhi nilai LAI optimal seperti jarak tanam (kerapatan tanaman) maupun sistem tanam. Menurut Biscoe dan Gallagher (1977) pada beberapa tanaman dengan LAI berkisar 4 – 5 dapat mengintersepsi sekitar 80% radiasi yang datang di atas tajuk, sedangkan untuk tanaman kentang menurut Burke (2010) pada LAI 3 dapat mengintersepsi sekitar 85% radiasi yang datang di atas tajuk. 2.3.3 Koefisien Pemadaman Tajuk (k) Pemadaman adalah suatu istilah yang mencakup semua kejadian dimana radiasi yang melewati suatu medium akan menjadi lemah atau berkurang intensitasnya. Kemampuan pemadaman cahaya oleh kanopi tanaman dapat diketahui melalui nilai koefisien pemadaman (k). Penyerapan cahaya oleh tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai k. Semakin besar nilai koefisien pemadaman (k) pada tajuk tanaman maka kemampuan menghambatnya akan semakin tinggi, sehingga cahaya yang masuk ke tajuk tanaman akan terhambat (Sudjatmiko 1984) Koefisien pemadaman tajuk (k) menggambarkan besar kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (Boer dan Las 1994). Setiap jenis tanaman memiliki koefisien pemadaman (k) yang berbeda tergantung pada indeks luas daun (LAI). Nilai k dipengaruhi oleh sudut datang matahari dan sudut daun serta sebarannya. Jika sudut datang matahari kecil maka hampir seluruh radiasi matahari akan diintersepsi tajuk. Jika sudut daun besar (daun vertikal) sebagian besar radiasi matahari dapat sampai ke dasar tajuk, tetapi jika sudut daunnya kecil (daun horizontal) maka sebagian besar radiasi dapat diintersepsi oleh tajuk bagian atas (Monteith 1976) sedangkan menurut Saeki (1960) koefisien pemadaman suatu tanaman dipengaruhi oleh sifat optik daun, sudut daun, dan transmisibilitas daun. Saeki 1960 berpendapat bahwa koefisien pemadaman berbanding terbalik dengan indeks luas daun (LAI), dimana semakin besar LAI menyebabkan koefisien pemadamannya menjadi kecil dan sebaliknya, sedangkan
5
menurut Squire et al. (1984), dalam Boer dan Las (1994) menyatakan bahwa nilai koefisien pemadaman tanaman tidak bergantung pada LAI. Namun, bertambahnya LAI tidak selalu diikuti dengan menurunnya koefisien pemadaman sebab koefisien pemadaman juga dipengaruhi oleh perbandingan Qt / Qo dan sudut daun. Koefisien pemadaman tajuk dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan Hukum Beer untuk transmisi. Pola pemadaman tajuk sesuai dengan hukum absorbsi Lambert – Beer yang menyatakan bahwa setiap lapisan yang tebalnya sama akan menyerap bagian radiasi yang sama dan yang melewatinya. Untuk tajuk tanaman, lapisan yang sama tebalnya didasarkan pada satuan LAI. Jadi, jumlah cahaya matahari yang menembus melalui tajuk dipengaruhi oleh LAI dan pola penempatan daun. Koefisien pemadaman (k) memberikan petunjuk numerikal penipisan cahaya dalam tajuk. Menurut Awal et al. (2006) persamaan nilai k (koefisien pemadaman tajuk) yang diturunkan dari Hukum Beer adalah sebagai berikut :
(4)
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data primer radiasi surya pada tanaman kentang dilakukan pada bulan April 2010 – Mei 2010 di Desa Galudra, Cugenang, Cipanas, Puncak Bogor, Jawa Barat. Daerah ini terletak pada 06º46’50’’ LS dan 107º02’01’’ BT, memiliki karakteristik iklim seperti ketinggian 1250 m.dpl dan CH 1000 – 4000 mm/tahun (150 mm/bulan). Pengambilan data diambil seminggu sekali setiap hari Jumat pukul 08.30 – 16.00 WIB. 3.2 Bahan dan Alat Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kentang, varietas Granola, pupuk, dan obat pengendali hama penyakit tanaman. Alat – alat yang digunakan adalah tube solarimeter untuk mengukur radiasi surya, kabel yang digunakan untuk menghubungkan solarimeter dengan AVO Meter, AVO (Ampere Volt Ohm) meter, water pass, dan seperangkat komputer untuk pengolahan data. Perangkat lunak yang
digunakan untuk pengolahan data adalah Microsoft Excel. 3.3 Pelaksanaan Radiasi surya diukur menggunakan tube solarimeter pada ketinggian 10 cm di atas tanah dan solarimeter standar pada 1 m di atas tempat terbuka. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit dengan 3 kali pencatatan data untuk mendapatkan data yang akurat. Selain pengambilan data radiasi di lapangan, dilakukan juga pengambilan data kalibrasi yang dilakukan di kampus IPB Darmaga untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi yang sama. Data yang diperoleh dibuat grafik linier antara radiasi datang (Qo) dengan radiasi transmisi (Qτ) dalam satuan W/m2 untuk mencari nilai koefisien transmisi (τ). 3.4 Koefisien Pemadaman Tajuk 3.4.1 Pengukuran Kalibrasi Tube Solarimeter Pengukuran kalibrasi alat dilakukan pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 di Kampus IPB, Dramaga. Pengambilan data dilakukan pukul 07.30 sampai pukul 13.00 WIB. Data kalibrasi ini digunakan untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi yang sama dengan satuan mV. 3.4.2 Pengukuran Transmisi Radiasi Transmisi radiasi surya diukur menggunakan tube solarimeter yang dihubungkan dengan AVO (Ampere Volt Ohm) meter yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman kentang yang digunakan untuk menghitung besarnya koefisien transmisi radiasi surya yang datang pada tanaman tersebut dengan persamaan sebagai berikut : τ = Qτ/Qo 3.4.3 Pengukuran Indeks Luas Daun (LAI) Indeks Luas Daun (dengan dua contoh tanaman) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :