I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan adalah unsur utama yang diukur dalam bidang meteorologi karena berpengaruh pada berbagai sektor, seperti pariwisata, pertanian, dan kesehatan masyarakat. Pengukuran curah hujan pada tiap stasiun pengamatan menghasilkan data curah hujan titik, yang dianggap mewakili curah hujan untuk radius tertentu. Besarnya radius ini bergantung dari topografi wilayah dan tipe hujan pada wilayah tersebut. Curah hujan hasil pengukuran di daratan dengan menggunakan alat penakar hujan disebut dengan curah hujan permukaan. Persyaratan pendirian lokasi stasiun pengamatan hujan telah diatur oleh WMO (World Meteorological Organization), tetapi karena biaya pendirian dan operasional yang tinggi dan topografi yang sulit untuk daerah pegunungan mengakibatkan keterbatasan jumlah stasiun pengamatan hujan. Faktorfaktor lain seperti data hilang atau tidak homogennya data dikarenakan faktor manusia ataupun kerusakan alat juga dapat membuat pencatatan hujan menjadi tidak akurat. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit (spaceborne) mulai dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir. Tahun 1970an para ilmuwan meteorologi satelit mencoba mengembangkan teknik pendugaan curah hujan menggunakan sinar inframerah dan sinar tampak. Teknik penggunaan cahaya ini dapat menangkap pantulan gelombang dari awan (sinar tampak) dan suhu puncak awan (inframerah). Pada tahun 1980an, teknik lain untuk menduga curah hujan mulai dikembangkan, yaitu teknik penggunaan radiometer gelombang mikro pasif (passive microwave radiometer). Teknik ini mendapat perhatian serius dari para peneliti karena mampu mengukur radiasi yang dikeluarkan oleh air hujan dan hamburan yang disebabkan oleh salju dan awan es (Kubota 2007). Beberapa satelit meteorologi telah diluncurkan dengan membawa instrument MWR ini diantaranya AQUA (2002), DMSP (1995), dan TRMM (1998). Metode lain yang sedang berkembang saat ini menggunakan metode kombinasi (blended method), yaitu menggabungkan data-data dari satelit-satelit yang membawa sensor inframerah dan sensor gelombang mikro. Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) dan Tropical Rainfall Measuring Mission Multi-Satellite Precipitation Analysis (TRMM TMPA) adalah proyek pendugaan
curah hujan secara global dengan memakai metode kombinasi. Perbedaan keduanya ada pada algoritma yang digunakan, TRMM TMPA menggunakan algoritma Goddard Profiling Algorithm (GPROF) NASA, sedangkan GSMaP menggunakan algoritma Look Up Tabel (LUT’s) JAXA (Huffman dan Bolvin 2009, Kubota 2007). Penggunaan metode kombinasi ini bertujuan untuk mendapatkan curah hujan global secara nearrealtime. Data GSMaP tersedia periode 23 Juli 2008 – sekarang, sedangkan TRMM TMPA tersedia periode 10 Oktober 2008 – sekarang. Penggunaan data curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA untuk wilayah Indonesia merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan, karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan pola curah hujan di wilayah Indonesia yang bervariasi. 1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah 1. Evaluasi curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan curah hujan permukaan pada berbagai variasi topografi (pantai, dataran, dan pegunungan) dan variasi temporal (harian, 10harian, dan bulanan) 2. Identifikasi kesalahan pendugaan antara curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan curah hujan permukaan untuk mendapatkan persamaan koreksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan data curah hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, akan tetapi tidak semua lokasi tersedia stasiun pengamatan hujan. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit dapat menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena pendugaan curah hujan dari satelit ini dapat memberikan data secara spasial global dan temporal yang kontinu. 2.1 Pendugaan Curah Hujan dengan Menggunakan Satelit Pendugaan hujan menggunakan satelit (spaceborne) diawali dengan citra awan dari satelit meteorologi pertama yaitu satelit Television and Infrared Observation Satellite (TIROS-1) yang diluncurkan pada April 1960. Citra awan digunakan karena presipitasi berhubungan erat dengan keberadaan awan, akan tetapi karena data (citra) puncak awan tidak memberikan informasi secara langsung tentang mikrofisik awan dan struktur vertikal awan (Kidder 1981 dalam Michaelides 2008)
maka metode pendugaan curah hujan dengan satelit menjadi hal yang menarik untuk terus dikembangkan. Perkembangan teknologi pendugaan curah hujan dari luar angkasa saat ini secara umum terbagi atas tiga metode (Gambar 1) berdasarkan sensor yang digunakan yaitu sensor Inframerah (IR)/Sinar tampak (VIS), sensor gelombang mikro pasif dan sensor radar satelit.
(Sumber : Ushio 2008) Gambar 1 Ilustrasi Sensor pada Satelit Pengukur Hujan 2.1.2 Pendugaan Curah Hujan Sensor Menggunakan Inframerah(IR)/ Visible (VIS) Penggunaan sensor IR/VIS pada satelit akan mendapatkan data emisi dari puncak awan atau didekat puncak awan (Rosenfeld et al. 2004 dalam Michaelides 2008). Satelit yang membawa sensor IR ini adalah satelitsatelit yang mempunyai orbit Geostationary Earth Orbit (GEO) yang letaknya jauh dari permukaan bumi (35800 km), satelit GEO-IR ini antara lain MTSAT, METEOSAT, dan GOES. Orbit satelit tersebut bersifat stasioner yang berarti bahwa satelit ini bersifat tetap mengamati suatu lokasi, karena pergerakan dari satelit akan mengikuti rotasi bumi. Posisi satelit yang jauh dari permukaan bumi ini mempunyai nilai positif yaitu dari segi daerah jangkauan satelit yang sangat luas, sehingga jika ditambah dengan sifatnya yang statis pada suatu lokasi tertentu maka dapat dilakukan pengamatan selama 24 jam. Satelit bersifat
GEO yang membawa sensor inframerah telah tersebar pada titik-titik di seluruh dunia (Gambar 2), sehingga citra inframerah secara global sudah dapat tersedia. 2.1.3 Pendugaan Curah Hujan Menggunakan Sensor Pasif Gelombang Mikro Prinsip dasar dari penggunaan sensor pasif gelombang adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang diemisikan oleh permukaan bumi, awan dan butir hujan (Hou et al. dalam Michaelides 2008). Sensor sensor pasif gelombang ini akan mendapatkan nilai berupa suhu kecerahan (brightness temperature Tb) yang merupakan fungsi dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik I(z,θ,f), dimana f adalah frekuensi radiometer, θ adalah sudut pengukuran, dan z adalah tinggi pengukuran. Nilai I ini terukur emisi, pantulan dan hamburan (scattering) yang dikeluarkan oleh bumi, awan, gas-gas di atmosfer dan butiran hujan. Pendugaan besarnya intensitas hujan yang terbentuk dibutuhkan beberapa kalkulasi yang berdasarkan pada prinsip hukum radiasi Plank yang menjelaskan bahwa besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu benda menggambarkan suhu benda tersebut. Penangkapan radiasi gelombang mikro dapat dibedakan menjadi dua, berdasarkan daerah kajiannya yaitu 1. Wilayah Lautan Pada sensor gelombang mikro yang memakai kanal berfrekuensi rendah (<40 GHz), butir hujan akan mengeluarkan emisi yang menyebabkan peningkatan nilai suhu kecerahan dari emisi permukaan, sehingga nilai suhu kecerahan pada daerah yang diatasnya terdapat butir awan menjadi terlihat “hangat”, prinsip ini disebut dengan emission-based (Spencer et al. 1988), sedangkan pada wilayah lautan nilai intensitas radiasi yang dipancarkan oleh
(Sumber : Higuchi 2008) Gambar 2 Wilayah cakupan GEO IR satelit
permukaan lautan nilainnya kurang lebih setengah dari suhu sebenarnya, hal ini menyebabkan daerah lautan terlihat “dingin” pada sensor. Emisi “dingin” dari sekitar permukaan dibandingkan dengan emisi “hangat” dari permukaan yang terdapat butir hujan pada bagian atasnya, akan membuat wilayah yang terdapat butir hujan terlihat kontras pada sensor, sehingga observasi nilai curah hujan pada wilayah lautan akan sangat akurat.
sangat besar saja, sedangkan jika frekuensi lebih besar dari 220 GHz akan menangkap intensitas curah hujan dari hal-hal yang bukan hujan sekalipun seperti awan Cirrus (Lensky dan Levizzani dalam Michaelides 2008).
(Sumber : COMET 2006) Gambar 4 Emission-based pada kanal 37Ghz pada wilayah daratan (Sumber : COMET 2006) Gambar 3 Metode pengukuran gelombang mikro emission-based pada kanal 37Ghz 2. Wilayah Daratan Emisivitas daratan sangat berbeda dengan emisivitas wilayah lautan, wilayah daratan memancarkan emisivitas hampir 90% dari kondisi suhu aslinya. Penggunaan metode emission-based menyebabkan adanya kemiripan antara nilai emisi gelombang mikro dari butiran hujan dengan emisi gelombang mikro daratan pada saat diterima oleh sensor (Gambar 4). Permasalahan ini mendasari penggunaan kanal dari sensor gelombang mikro dengan frekuensi lebih tinggi. Gelombang mikro berfrekuensi tinggi yang dikeluarkan oleh butir hujan dan permukaan akan mengalami hamburan oleh partikel es yang biasanya terdapat pada awan hujan. Proses ini menyebabkan nilai intensitas yang diterima sensor gelombang mikro akan semakin berkurang (lebih kecil = lebih “dingin”) sehingga akan terlihat kontras dengan intensitas yang dikeluarkan oleh daratan (Gambar 5), metode ini dinamakan scattering- based (Spencer et al. 1988). Semakin tinggi frekuensi sensor maka sensor akan makin sensitif. Frekuensi dibawah 20GHz akan menangkap hanya emisi pada intensitas curah hujan yang
(Sumber : COMET 2006) Gambar 5 Metode pengukuran gelombang mikro scattering based pada kanal 85Ghz Berkurangnya nilai emisi pada penggunaan metode scattering-based ini juga berpengaruh pada nilai konversi dari nilai suhu kecerahan menjadi nilai intensitas hujan, karena itu dibuat model awan yang diberi nama Precipitation physical model untuk menduga jumlah gelombang yang mengalami hamburan oleh es. Keakuratan penggunaan sensor gelombang mikro ini bergantung dari Precipitation physical model, karena jumlah hamburan dan intensitas hujan yang terjadi dihitung berdasarkan model ini.
(Sumber : Okamoto 2007) Gambar 6 Ilustrasi Pengembangan Precipitation physical model 2.1.4 Pendugaan Curah Hujan Menggunakan Sensor Radar Satelit Penggunaan radar pada media luar angkasa pertama kali digunakan pada satelit TRMM, karena pada umumnya pengukuran curah hujan dengan menggunakan radar dilakukan dengan radar permukaan (ground base radar). Radar ini mengeluarkan sinyal dan menangkap gelombang balik dari sinyal tersebut, sinyal yang kembali kepada sensor radar akan mendapatkan hasil pengukuran objek yang dikenainya, dan dari nilai hamburan balik gelombang tersebut akan dapat diketahui karakteristik dari objek (Lensky dan Levizzani dalam Michaelides 2008) Nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh sensor radar ini merupakan hasil pengukuran yang paling akurat dibanding sensor lainnya, tetapi kelemahan utama dari radar ini adalah wilayah jangkauannya yang sangat terbatas yaitu 215 km 2.1.5 Pendugaan Curah Hujan Menggunakan Teknik Kombinasi (Blended Techniques) Ketersediaan berbagai sensor pengukuran curah hujan satelit memungkinkan penggunaan kombinasi antara keunggulan masing-masing sensor untuk menutupi kelemahan sensor lainnya (Gambar 7). Penggunaan kombinasi yang telah dilakukan adalah penggunaan kombinasi antara sensor gelombang mikro dan sensor inframerah. Tujuan dari penggabungkan ini untuk mendapatkan data curah hujan secara nearreal time. Beberapa proyek pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi yang telah ada saat ini antara lain Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP), TRMM TMPA, CMORPH, dan Naval Research Laboratory.
(Sumber : Ushio 2008) Gambar 7 Lintasan/Orbit gabungan Satelit TRMM/ TMI , Aqua / AMSR-E , ADEOOS-II/ AMSR , dan DMSP/ SSM/I 2.2Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) adalah project milik pemerintah Jepang untuk melakukan pengukuran curah hujan dengan menggunakan media satelit luar angkasa. GSMaP dikelola dibawah lembaga antariksa Jepang yaitu JAXA Precipitation Measurement Missions dan GCOMW1/AMSR2 (JAXA 2008). Data GSMaP dapat diakses pada situs milik GSMaP yaitu http://sharaku.eorc.jaxa.jp/ GSMaP/index.htm, dan tersedia sejak 23 Juli 2008. Produk GSMaP yaitu 1. Data GSMaP Hourly GSMaP_NRT Hourly adalah data intensitas hujan tiap jam dalam satuan mm/jam yang secara near real time dikeluarkan. Near Realtime ini menunjukkan data curah hujan yang didapat merupakan data curah hujan 4 jam setelah waktu observasi/waktu kejadian hujan. Tabel 1 Karakteristik GSMaP_NRT Hourly mm/jam Satuan Resolusi Waktu Resolusi Spasial LagTime Periode data
Tiap Jam (hourly) 0.1 o x 0.1 o 4 jam setelah Pengamatan 23-07-2008- sekarang
2. Data GSMaP_NRT Daily Data ini merupakan data akumulasi dari data GSMaP Hourly, sehingga hasil dan algoritma yang digunakan sama dengan data GSMaP Hourly. Perbedaan antara GSMaP_NRT Hourly dan GSMaP_NRT
Daily terdapat pada resolusi data, resolusi data GSMaP_NRT Daily 0.25ox0.25o, penggunaan data dengan resolusi ini bertujuan untuk menyamakan resolusi data dengan data dari satelit pengamatan hujan lainnya, sehingga mudah untuk diperbandingkan dan divalidasi. Tabel 2. Karakteristik GSMaP_NRT Daily mm Satuan harian Resolusi Waktu Resolusi Spasial Periode data
0.25o x 0.25o 23 Juli 2008 sekarang
2.3 Tropical Rainfall Measuring Mission Multi-Satellite Precipitation Analysis (TRMM TMPA) TRMM TMPA merupakan gabungan data satelit TRMM dengan satelit-satelit yang membawa gelombang mikro (DMSP dengan sensor SSM/I, Aqua dengan sensor AMSR-E dan AMSU-B) dan GEO IR data yang telah dikalibrasi (intercalibrated) dengan data curah hujan satelit TRMM (Huffman et al. 2008). Data TRMM dapat diakses melalui situs NASA (http://disc2.nascom.nasa.gov/Giov anni/tovas/) Dataset TRMM TMPA dibagi menjadi 2 yaitu 1. TRMM TMPA near Real-Time (RT) merupakan Kombinasi antara Sensor inframerah dan gelombang mikro yang diolah menggunakan Algoritma dari Goddard Profiling Algorithm (GPROFNASA) (Huffman dan Bolvin 2008) 2. TRMM TMPA Version 6 (V6) merupakan turunan produk RT yang kemudian dikoreksi dengan data curah hujan permukaan secara global milik Global Precipitation Climatology Center (GPCC)
Produk 3B41RT 3B40RT 3B42RT 3-hourly 3B42RT 3B42V6 3B43V6
2.4 Aplikasi Curah Hujan GSMaP dan TRMM Penelitian menggunakan data GSMaP dilakukan oleh Iwasaki yang menggunakan data curah hujan GSMaP untuk menduga nilai NDVI di kawasan Mongolia (Iwasaki 2009). Validasi nilai curah hujan GSMaP dengan curah hujan permukaan dilakukan dengan menggunakan 97 stasiun meteorologi yang tersebar di wilayah Mongolia dengan resolusi data curah hujan bulanan. Hasil perbandingan menunjukkan korelasi 0.61, dan disebutkan bahwa akurasi GSMaP untuk wilayah Arid tidak akurat (Iwasaki 2009). Validasi GSMaP yang lainnya dilakukan pada dokumen awal GSMaP dengan judul penelitian Global Precipitation Map Using Satellite-Borne Microwave Radiometers by the GSMaP Project: Production and Validation (Kubota et al. 2007). Validasi pada dokumen ini dilakukan pada wilayah 15o LS – 15oLU dengan memakai data curah hujan bulanan permukaan milik GPCC. Hasil dari perbandingan menunjukkan korelasi yang cukup baik yaitu 0.82 dengan persamaan linier yang terbentuk y = 1.08 x+ 21.9. Persamaan linier dengan slope positif ini menunjukkan GSMaP berada di bawah curah hujan GPCC (Kubota et al. 2007). Validasi curah hujan permukaan dengan curah hujan dari TRMM TMPA telah dilakukan antara lain di wilayah Oruro, Bolivia yang merupakan bagian dari wilayah pegunungan Altipano (Sandoval 2007). Data curah hujan yang digunakan 3B42V6 dan 3B43V6 diperbandingkan dengan data curah hujan permukaan di wilayah tersebut. Pada wilayah Indonesia sendiri perbandingan data TRMM TMPA dilakukan pada kota Padang-Sumatera Barat, PontianakKalimantan Barat karena dianggap mewakili
Tabel 3 Produk TRMM TMPA Data Resolusi TMPA-RT Intermediate IR Global Product (VAR) (Tiap 3 Jam; 0.25 o x 0.25 o) TMPA-RT Intermediate Global Microwave Product (HQ) (Tiap 3 Jam; 0.25 o x 0.25 o) Global TRMM+IR+MWRs (Tiap 3 Jam; 0.25 o x 0.25 o) Global TRMM+IR+MWRs (harian ; 0.25 o x 0.25 o) TRMM+IR Curah hujan Global harian GPCC (harian; 0.25 o x 0.25o) TRMM + GPCC rain gauge Global (Bulanan :0.25 o x analysis 0.25 o)
Ketersedian Data 10 Oktober 2008 Sekarang 10 Oktober 2008 Sekarang 10 Oktober 2008 Sekarang 10 Oktober 2008 Sekarang 1 Januari 1998 Sekarang 1 Januari 1998 Sekarang
daerah di Benua Maritim Indonesia (BMI) yang memiliki tipe curah hujan dominan adalah ekuatorial, dan wilayah ManadoSulawesi Utara, Bengkulu, Jakarta (Kemayoran), dan Semarang-Jawa Tengah untuk mewakili daerah di Benua Maritim Indonesia (BMI) yang memiliki tipe/pola curah hujan dominan adalah monsunal (Suryantoro et al. 2008). Perbandingan menggunakan curah hujan bulanan dengan hasil perbandingan berkorelasi sebesar 0.8 pada keseluruhan wilayah.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Data yang digunakan untuk penelitian ini 1. Data Curah hujan dari 23 stasiun hujan pada wilayah Jakarta-Bogor Periode Oktober 2008 – Februari 2009 (Lihat Lampiran 1) 2. Data Curah hujan GSMaP harian wilayah Jakarta-Bogor Periode Oktober 2008 – Februari 2009 (http://sharaku.eorc. jaxa.jp/GSMaP/) 3. Data Curah hujan TRMM (3B42RT, 3B43V6) wilayah Jakarta-Bogor Periode Oktober 2008 – Februari 2009 (ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/ TRMM/ Gridded/DerivedProducts/) 4. Data parameter-parameter Meteorologi NOAA NCEP/NCAR Reanalysis 1 (http://www.cdc.noaa.gov/data/gridded /data.ncep.reanalysis.html) 5. Peta Ketinggian ASTER GDEM 30x30 wilayah Jakarta-Bogor (http://www. gdem.aster.ersdac.or.jp)
Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak 1. 2. 3. 4. 5. 6.
ArcGIS 9.3 Global Mapper 10 GRaDS GUI Panoply NASA GISS Microsoft Office 2007 Minitab 15
3.2 Wilayah Kajian Perbandingan antara TRMM, GSMaP dan data curah hujan permukaan dilakukan pada Jakarta-Bogor yang secara geografis terletak pada koordinat 106.75 o - 107 o BT dan 6o 6.75 o LS (Gambar 8). Wilayah Jakarta Bogor ini lalu dibagi lagi dalam tiga wilayah kajian (Tabel 4), dan satu wilayah keseluruhan (wilayah gabungan I, II, dan III), pembagian wilayah ini didasarkan atas pertimbangan antara lain : 1. Pembagian luas wilayah seluas 0.25o x0.25o dipilih untuk penyesuaian dengan grid milik data satelit TRMM dan GSMaP 2. Pemilihan kawasan didasarkan atas perbedaan jenis topografi kawasan, yaitu dataran-lautan, daratan, dan pegunungan (Gambar 9) , untuk menguji kepekaan satelit terhadap berbagai topografi tersebut 3. Wilayah keseluruhan bertujuan untuk melihat bagaimana hasil evaluasi jika luasan semakin diperluas dan bentuk topografi permukaan heterogen
Gambar 8 Lokasi Kajian wilayah Jakarta – Bogor