2
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat
Jawa Barat terletak bagian barat Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan Provinsi Banten di bagian barat. Di bagian timur berbatasan dengan Jawa Tengah, di bagian utara berbatasan dengan DKI Jakarta, serta pada bagian selatan berbatasan Samudera Hindia. Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak pada 05°50' LS sampai 07°50' LS dan 104°48' BT sampai 108°48’ BT dengan luas wilayah 34.816,96 km2 pada tahun 2008. Provinsi Jawa Barat terdiri atas 16 kabupaten dan 9 kotamadya dengan 584 kecamatan, 5.201 desa dan 609 kelurahan (BAPESITELDA 2008). Jawa Barat mempunyai bentuk topografi yang beragam mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Salah satu ciri utama dataran Jawa Barat adalah pada bagian utara berupa dataran rendah (wilayah pesisir), bagian tengah berupa wilayah lereng bukit yang landai dengan ketinggian 100 meter hingga 1500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan bagian selatan merupakan deretan gunung api yang masih aktif maupun tidak aktif diantaranya Gunung Salak, Gunung Patuha, Gunung Papandayan, dan lain-lain dengan ketinggian lebih dari 1500 meter di atas permukaan laut.
Gambar 1 Peta Provinsi Jawa Barat (Sumber: BAPESITEDAL 2008) 2.2
Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah berubahnya variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsurangsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 (multi decadal) sampai 100 tahun (inter centenial) (KLH 2004). Perubahan iklim juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia yang
diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia di bumi. Perubahan iklim mengakibatkan kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya (Ratnaningayu 2009).
Gambar 2 Perubahan curah hujan. (Sumber: Naylor 2007 dalam UNDP Indonesia 2007) Adanya pemanasan global akan menghasilkan pengaruh nyata terhadap perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan karakteristik musim (musim hujan dan musim kemarau). Perubahan iklim pada sektor pertanian akan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman pangan, penurunan produksi tanaman pangan, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit (Prihantoro 2008). Stabilisasi produksi pangan pada kondisi iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Prihantoro 2008). 2.3
Skenario Perubahan Iklim
Isu mengenai perubahan iklim yang terjadi sekarang ini menimbulkan rasa penasaran dari berbagai pihak, bagaimana kondisi iklim yang terjadi di masa yang akan datang. Karena belum ada metode yang baik dan pas untuk memprediksi perubahan iklim tersebut, maka dilakukan pendekatan untuk mengspesifikasikan kondisi iklim yang akan datang dengan menggunakan skenario perubahan iklim. IPCC 2000 menyatakan bahwa skenario iklim adalah representasi logis
3
yang akan datang secara konsisten terhadap asumsi emisi GRK yang akan datang dan polutan lain, berdasarkan pemahaman efek peningkatan konsentrasi GRK pada iklim global. Skenario iklim adalah suatu kondisi iklim yang akan datang yang dibangun secara tegas digunakan dalam penelitian dengan terjadinya potensi perubahan antropogenik. Skenario perubahan iklim yang banyak digunakan adalah skenario SRES (Special Report on Emissions Scenarios). Penelitian tentang perbandingan beberapa model skenario perubahan iklim yang didasarkan pada skenario SRES telah dilakukan Ruosteenoja et al (2004) dalam Kurniawan et al (2009). Skenario SRES menggambarkan suatu bentuk dari ketidakpastian tentang ketersediaan sumber energi di masa depan serta kaitannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adanya ketidakpastian tentang ketersediaan sumber energi diasumsikan dengan adanya perubahan penggunaan energi fosil menjadi energi nonfosil. Sedangkan gaya-gaya pengendali yang dimasukkan ke dalam skenario SRES tidak hanya mempengaruhi emisi CO2, tetapi juga GRK lain seperti SO2, metan dan lain sebagainya (Kurniawan et al 2009). Ada empat skenario emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC dalam Special Report on Emission Scenarios (SRES). Keempat skenario emisi utama tersebut disusun dengan menggunakan beberapa pendekatan pemodelan sehingga menghasilkan beberapa perkiraan emisi untuk masukan data penentu emisi yang sama. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan oleh keempat skenario emisi utama tersebut adalah (IPCC 2000) 1. Skenario emisi grup A1 (SRESA1) Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang pertumbuhan ekonomi berlangsung cepat, populasi global meningkat sampai pertengahan abad 21 dan kemudian menurun dan cepatnya introduksi teknologi baru yang lebih efisien. Skenario emisi grup A1 dibagi lagi kedalam tiga kelompok. Ketiga sub-kelompok tersebut dibagi berdasarkan penekanan pada pemanfaatan teknologi yaitu yang menggunakan energi fosil secara intensif (A1F1), energi non-fosil secara intensif (A1T), dan energi fosil dan non-fosil secara berimbang (A1B). 2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2) Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang kondisi antar wilayah sangat beragam, dan kerjasama
3.
4.
2.4
antar wilayah sangat lemah dan cendrung lebih bersifat individu sehingga penurunan tingkat perbedaan antar wilayah berjalan sangat lambat. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan, pendapatan per kapita maupun perubahan teknologi. Skenario emisi grup B1 (SRESB1) Skenario ini menggunakan asumsi sama seperti grup A1. Akan tetapi skenario ini juga mengasumsikan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, dengan menurunnya intensitas penggunaan bahan bakar, dan diperkenalkannya teknologi-teknologi yang bersih dan hemat penggunaan sumberdaya. Oleh karena itu, penekanan skanario ini terletak pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif khusus berkaitan dengan perubahan iklim. Skenario emisi grup B2 (SRESB2) Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional. Global Climate Model (GCM)
GCM adalah model matematika berbasis komputer yang terdiri atas persamaan numerik dan deterministik yang terpadu dan mengikuti hukum-hukum fisika (Wigena 2006). Model ini biasanya digunakan untuk mensimulasikan secara numerik perubahan iklim yang terjadi (Hardy 2003). GCM dijalankan pada skala waktu lama, biasanya selama bertahun-tahun. Contoh model GCM antara lain GISS dari NASA, CSIRO dari Australia, dan NCEP. GCM memodelkan perubahan iklim yang terjadi di atmosfer dengan menggunakan skenario. Model skenario yang paling umum digunakan adalah efek dari curah hujan dan suhu dengan meningkatnya kadar CO2 atmosfer.
4
Permodelan GCM lebih kompleks dibandingkan dengan model RegCM (Regional Climate Model). Hal ini dikarenakan memerlukan berbagai input seperti parameter-parameter dasar atmosfer, permukaan tanah, sirkulasi laut, dan lain-lain. Inputan parameter-parameter atmosfer meliputi distribusi tekanan, aerosol atmosfer konten, albedo, curah hujan, dan penguapan. Inputan permukaan tanah meliputi: kadar air tanah, dan vegetasi indeks sedangkan inputan pada dinamika laut meliputi pola sirkulasi, suhu permukaan laut. GCM telah digunakan secara ekstensif dalam sepuluh tahun terakhir untuk menduga dampak perubahan iklim terhadap perekonomian, pertanian, penutupan tanah, dan beberapa kegiatan manusia lainnya (Bunting 2009). Kelebihan GCM adalah mengetahui informasi yang berguna bagi kita mengenai proses-proses yang terjadi di atmosfer. Model ini memberikan pemahaman kepada kita tentang keterlibatan manusia dalam perubahan iklim, dan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan berbagai skenario perubahan iklim. Kekurangan atau keterbatasan dari model ini memerlukan inputan yang banyak, serta proses yang lebih kompleks. Selain itu, GCM menghasilkan ukuran sel grid secara kasar sehingga kejadian cuaca pada skala kecil yang mungkin dapat mempengaruhi pola iklim dan perubahan iklim tidak begitu diperhitungkan (Mearns 2003). 2.5
Regional Climate Model (RCM)
Model iklim regional atau RCM adalah model perubahan iklim yang lebih detail dibandingkan dengan GCM. Model ini memiliki ukuran sel grid yang lebih kecil sehingga akan menghasilkan output model yang lebih realistis. Resolusi yang dimiliki oleh RCM sangat besar jika dibandingkan dengan GCM. GCM kurang baik untuk model skala kecil pada sirkulasi atmosfer. Tidak seperti GCM yang memiliki luas ruang ratarata 2,8 derajat x 2,8 derajat, resolusi horizontal RCM memiliki rata-rata tingkat yang berbeda mulai dari 100 km x 100 km hingga 25 km x 25 km (Bunting 2009). Model RCM berisi banyak pilihan untuk aplikasi yang berbeda. Pertama, dinamika RCM berdasarkan kondisi batas lateral. Kedua, fisika dalam RCM seperti skema radiasi, model permukaan tanah, presipitasi konvektif dengan skema berbeda. Dalam model ini juga memperhitungkan berbagai faktor diantaranya kondisi tanah
yang digunakan untuk prediksi persamaan untuk kadar air permukaan tanah, kadar air pada zona perakaran, dan lapisan tanah yang dalam (Eun-Soon Im 2007). RCM biasanya menggunakan input data dari GCM untuk memasukkan nilai meteorologis dan lingkungan seperti kondisi awal kelembaban tanah dan suhu permukaan, dan kondisi meteorologi awal suhu dan tekanan (Wilby 1997). 2.5.1 RegCM3 Regional Climate Model versi 3 (RegCM3) merupakan salah satu bagian model dari RegCM. RegCM3 adalah model iklim regional yang dikembangkan oleh International Center for Theoritical Physics (ICTP) dan telah banyak digunakan untuk penelitian iklim secara regional (Giorgi 2006). Model ini merupakan pengembangan dari model regional sebelumnya yaitu RegCM2. Pengembangan RegCM3 terdapat pada inputan data berupa data karakterisitik penutupan lahan dan topografi atau ketinggian yang dimasukkan pada pengolahan terrain (Elguindi 2007). RegCM3 menghasilkan keluaran grid yang halus dan lebih detail sehingga memungkinkan dilakukan analisis keluaran yang lebih mendalam. Ada banyak variabel keluaran model ini diantaranya variabel model atmosfer, model permukaan, hingga model radiasi (Elguindi 2007). 2.6
Climate Risk Management (CRM)
Analisis resiko iklim adalah suatu analisis untuk melihat seberapa besar peluang memperoleh kejadian iklim yang tidak diinginkan karena adanya keragaman iklim atau terjadinya perubahan iklim (Boer 2002). Manajemen risiko iklim (CRM) adalah istilah umum yang mengacu kepada pendekatan yang sensitif terhadap iklim dalam proses pengambilan keputusan. Definisi CRM secara lengkap adalah proses yang sistematis dengan menggunakan keputusan administratif, organisasi, operasi keterampilan dan kapasitas untuk melaksanakan kebijakan, strategi, dan kapasitas bertahan pada masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif dari variabilitas iklim dan perubahan iklim (Boer 2009). CRM melibatkan strategi yang ditujukan untuk memaksimalkan positif dan meminimalkan hasil negatif bagi masyarakat dalam bidang-bidang seperti pertanian,
5
ketahanan pangan, sumberdaya air, dan kesehatan. Sehingga pengguna dapat mengantisipasi atau menyusun strategi yang tepat untuk mengatasi kejadian yang tidak diinginkan tersebut. Strategi dalam meminimalkan resiko iklim meliputi antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Antisipasi merupakan kajian dan analisa dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Mitigasi berupa pengurangan sumber maupun meningkatkan rosot gas rumah kaca. Adaptasi berupa penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif (BLP 2009). Pelaksanaan langkah-langkah adaptasi untuk mengelola risiko iklim memerlukan koordinasi antar sektor terutama diantara kementerian yang berbeda. 2.7
Konsep Neraca Air
Pengertian dasar neraca air adalah keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1978) neraca air (water balance) merupakan penjelasan mengenai hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) dari proses sirkulasi air untuk suatu periode tertentu di suatu daerah. Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan neraca air yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran air masuk dan keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit. CH=ETP+ KAT+Ro Keterangan: CH : Curah hujan ETP : Evapotranspirasi ∆ KAT : Perubahan kandungan air tanah Ro : Aliran permukaan Menurut Nasir (2002) berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis sebagai berikut : 1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama air secara umum. 2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah untuk perencanaan pola tanam secara umum.
3.
Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanaman tiap kultivar. Menurut Hillel (1971) neraca air lahan dapat diartikan sebagai masukan (input) air, keluaran (output) air dan perubahan simpanan air yang terdapat di dalam tanah pada suatu lingkungan tertentu selama periode waktu tertentu. Nasir (2002) mengemukakan bahwa analisis neraca air lahan memerlukan input data curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETP), kandungan air tanah pada kapasitas lapang (KL), dan kandungan air pada titik layu permanen (TLP). Analisis neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam pertanian secara umum. Nasir (2002) mengatakan secara umum manfaat neraca air lahan untuk : 1. Mengetahui kondisi agroklimat terutama dari segi kondisi air 2. Mengetahui periode musim kemarau dan musim hujan berdasarkan keseimbangan antara hujan dan ETP. 3. Memilih jenis tanaman dan mengatur jadwal tanam dan panen serta mengatur kombinasi tanaman tumpang sari bila diperlukan. 4. Mengatur pemberian air irigasi baik jumlah maupun waktu sesuai dengan keperluan. Informasi terpenting dari neraca air lahan adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar air tanah sehingga berguna untuk menyusun strategi pengelolaan usaha tani tersebut. Perhitungan neraca air lahan merupakan salah satu informasi penting untuk menentukan langkah kegiatan usaha tani dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena tingkat ketersediaan air mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Jika tanaman pernah mengalami tekanan, maka pertumbuhan dan produksinya akan turun. Penurunan ini akan semakin tajam jika kejadian iklim dan cuaca yang mengganggu terjadi pada saat fase pertumbuhan tanaman peka terhadap ketersediaan air. Jika peristiwa tersebut terjadi dengan intensitas yang tinggi dan daerah yang luas akan menurunkan produksi dalam jumlah yang besar. Pengawasan dan pemantauan neraca air lahan sangat penting untuk pengelolaan air secara efisien. Tanpa adanya pengetahuan yang mendalam mengenai neraca air, maka akan sulit untuk mengevaluasi dengan baik bagaimana meminimumkan kehilangan dan
6
memaksimumkan masukan dan pemakaian air, yang sangat sering menjadi faktor pembatas bagi produksi tanaman pertanian (Pramudia 1989). 2.8
Evapotranspirasi
Perhitungan neraca air sangat ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan neraca air adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal. Laju evapotranspirasi lahan basah sangat dipengaruhi oleh kondisi alam sekelilingnya seperti yang dikemukakan oleh Chang (1968). Evapotranspirasi potensial (ETP) adalah besarnya evapotranspirasi pada suatu lahan pertanaman jika air mencukupi dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu atau dengan pengertian lain evapotranspirasi yang terjadi jika tanah dalam keadaan tidak kurang air dan seluruh vegetasi diatasnya menutupi seluruh permukaan tanah. Sedangkan jika kondisi tanah semakin kering, maka akan menyebabkan laju evapotranspirasi yang terjadi berada dibawah laju evapotranspirasi potensial yang disebut sebagai evapotranspirasi akual (ETA). ETA sering disebut juga sebagai evepotranspirasi yang terjadi pada kondisi yang sebenarnya. Menurut Handoko (1994) nilai ETA akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai ETP pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami kekeringan. 2.9
Waktu Tanam dan Pola Tanam
Penyesuaian waktu tanam dan pola tanam merupakan pendekatan yang strategis dalam mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim tanam dan perubahan pola curah hujan. Menurut FAO (1978) dalam Saleh (2007) masa tanam adalah selang waktu dalam setahun dengan curah hujan lebih dari 0,5 ETP ditambah waktu pada akhir musim hujan (CH mendekati nilai 0,5 ETP) untuk mengevapotranspirasikan air setinggi 100 mm dari air tanah yang masih tersimpan. Kisaran air yang terdapat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen sering disebut sebagai kadar air efektif untuk pertumbuhan tanaman atau kadar air optimum (Sosrodarsono dan
Takeda 1978). Sehingga pada kisaran air tersebut digunakan sebagai penentuan masa tanam tanaman. Menurut Heryani (2001) masa tanam atau waktu tanam ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah. Lengas tanah adalah air yang terikat oleh berbagai gaya, misalnya gaya ikat matrik, osmosis dan kapiler. Periode waktu tanam adalah periodeperiode yang kandungan lengas tanahnya tidak kurang dari 50% air tersedia. Hal ini mengacu kepada Richard (1969) dalam Perdana (1995) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik air harus ditambahkan bila 50-80% dari air tersedia telah habis terpakai. Oldeman menyatakan bahwa curah hujan 200 mm atau lebih per bulan dapat dipakai sebagai pedoman masa tanam untuk tanaman padi sawah. Untuk palawija didasarkan pada curah hujan 100 mm atau lebih. Pola tanam adalah suatu kegiatan penanaman tanaman pada sebidang lahan dengan mengatur pola pertanaman. Pola pertanaman adalah suatu susunan letak dan urutan tanaman pada sebidang lahan selama periode waktu tertentu. Thahir (1974) menyatakan bahwa pola pertanaman adalah suatu pola bercocok tanam selama setahun atau lebih yang terdiri dari beberapa kali bertanam dari beberapa jenis tanaman yang saling bergiliran atau bersisipan dengan maksud untuk meningkatkan produksi usaha tani atau pendapatan petani tiap satuan luas per satuan waktu (hasil/Ha/hari). Faktor-faktor yang menentukan pola tanam untuk tanaman semusim adalah jenis tanaman, varietas tanaman, dan umur tanaman yang nantinya akan disesuaikan dengan kondisi lahan. Pola tanam pada kondisi lahan tadah hujan dan lahan beririgasi, ketersediaan airnya hanya terbatas pada periode tertentu. Jumlah dan distribusi curah hujan menentukan penanaman dan pola tanam yang ideal pada lahan tertentu (Perdana 1995). 2.10
Kebutuhan Air Tanaman
Doorenbos dan Pruitt (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan tanaman untuk menggantikan kehilangan air akibat proses evapotranspirasi pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah. Faktor iklim yang mempengaruhi seperti
7
radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air tanaman umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya petumbuhan tanaman hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Kebutuhan air tanaman untuk padi dan palawija berbeda. Kebutuhan air untuk padi sawah adalah sebesar 600-1200 mm (4,5 bulan) atau 90-250 mm per bulan. Sedangkan untuk palawija seperti jagung kebutuhan air sebesar 350-400 mm (3 bulan) atau 85-100 mm per bulan, dan untuk tanaman kedelai kebutuhan air tanamannya adalah sebesar 300350 mm (3,5 bulan) atau 75-100 mm per bulan (Naylor 2001). 2.11
Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen
Kandungan air tanah merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan optimum tanaman. Menurut Heryani (2001) ada beberapa sifat-sifat air tanah yang mempengaruhi ketersediaan air untuk tanaman diantaranya : 1. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi air hujan yang jatuh ke permukaan tanah 2. Daya hisap air oleh tanah dalam kompetisi dengan tanaman 3. Kemampuan tanah dalam menyimpan dan menahan air pada daerah perakaran 4. Pergerakan air tanah 5. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh akar tanaman Penetapan kadar air tanah pada beberapa keadaan seperti kapasitas lapang dan titik layu permanen sangat diperlukan dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang mampu ditahan oleh tanah. Kapasitas lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air, keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah tercapai keadaan jenuh. Sedangkan titik layu permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengalami layu permanen dalam arti tanaman sulit hidup kembali meskipun telah
ditambahkan sejumlah air yang mencukupi. Selisih antara kadar air tanah pada kapasitas lapang dengan titik layu permanen disebut dengan air tersedia. Air tersedia adalah jumlah air yang memungkinkan bagi tanaman untuk dapat diabsorpsi atau sering disebut juga Water Holding Capacity) (Heryani 2001).
III. 3.1
DATA DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di Center for Climate Risk Management in Southeast Asian and Pacific (CCROM – SEAP) Baranang Siang dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2
Bahan dan Alat
Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data curah hujan dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika). 2. Data suhu udara rata-rata dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika). 3. Data jenis tanah Provinsi Jawa Barat (Sumber: Lembaga Penelitian Tanah (Puslittanak)). 4. Data Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP) untuk berbagai kabupaten di Jawa Barat yang digunakan untuk perhitungan neraca air dan penentuan waktu tanam (Sumber: Pawitan 1997) 5. Simulasi model RegCM3 menggunakan data initial and boundary condition (ICBC) dari model GCM ECHAM5 dengan resolusi temporal yang digunakan 3 jam-an untuk periode baseline (tahun 1985-1999) dan scenario (tahun 2055-2069). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk aplikasi model iklim regional RegCM3 dan sistem operasi Windows untuk aplikasi Microsoft Office 2003 dan 2007 (Microsoft Excel untuk mengolah data dan Microsoft Word), Arc View, Minitab 14, dan panoply.