5
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pertanian Presisi Pertanian presisi merupakan sebuah konsep manajemen yang mengumpulkan data dari berbagai sumber untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berkenaan dengan produksi pertanian (Shields, 1998). Menurut Brase (2005), pertanian presisi (precision agriculture) juga disebut sebagai pertanian spesifik lokasi yang bertujuan mengumpulkan data untuk pengambilan keputusan mengenai produksi pertanian yang sesuai dengan lokasi tertentu. Secara umum, pertanian presisi didefinisikan sebagai sistem menejemen produksi pertanian yang berbasis teknologi informasi untuk mengidentifikasi,
menganalisis,
dan
mengelola
faktor-faktor
produksi
untuk
mengoptimumkan keuntungan, daya tahan, dan perlindungan sumber daya lahan (Singh, 2007). Menurut Chartuni (2007) ada tiga tahapan dalam penerapan pertanian spesifik, yaitu: pengumpulan data, intrepretasi data, dan aplikasi di lapangan. Gambar 1 menunjukkan tahapan penerapan pertanian spesifik.
Gambar 1 Tahapan pertanian presisi (Chartuni, 2007)
Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui kondisi komponen-komponen pendukung produksi, seperti topografi, hara tanah, dan kondisi lingkungan. Data-data tersebut kemudian diolah dan diinterpretasikan sebagai hasil (keputusan) mengenai teknis produksi dilapangan. Selanjutnya, aplikasi dari keputusan tersebut dilaksanakan sebagai pekerjaan produksi di lapangan. Penerapan konsep pertanian presisi memberi warna baru dalam usaha produksi pertanian di seluruh dunia.
6
Sejak diaplikasikannya GPS (Global Positioning System) lima belas tahun lalu, konsep pertanian presisi mulai bermunculan di banyak negara. Penggunaan GPS dalam pertanian banyak dimanfaatkan untuk: aplikasi pestisida, aplikasi kapur, aplikasi pupuk, dan untuk pemantauan proses panen pada lahan yang sangat luas (Grisso, 2009). Penggunaan sistem navigasi berbasis GPS membantu operator mengurangi kesalahan aplikasi dan tumpang tindih dalam pekerjaan lahan yang sebelumnya sangat bergantung pada akurasi visual. Selain untuk mengurangi kesalahan faktor manusia dalam pekerjaan, keuntungan penerapan pertanian presisi dapat dilihat dari dua aspek lainnya, yaitu: aspek ekonomi dan lingkungan. Keuntungan ekonomi dapat diperoleh karena konsep pertanian presisi memberi hasil keluaran (keputusan) yang meminimalkan biaya operasi dan meningkatkan pendapatan. Sementara itu, keuntungan dari sisi lingkungan dapat diperoleh karena konsep pertanian presisi memiliki kemampuan untuk mengelola keputusan dalam mengurangi dampak pada sumber daya alam (Brase, 2005). Beberapa komponen teknologi yang menjadi syarat diterapkannya konsep pertanian presisi antara lain: Geographical Information Systems (GIS), Global Positioning Systems (GPS), sensors, Variable Rate Technology (VRT), dan Yield Monitoring (YM) (Rains dan Thomas, 2009).
Global Positioning System (GPS) Posisi dari sebuah titik di sebuah ruang dapat diketahui jika dilakukan pengukuran jarak dari titik tersebut terhadap titik lain yang telah diketahui posisinya (Bao, 2005). Global Positioning System (GPS) adalah salah satu teknologi kunci yang memungkinkan penentuan posisi sebuah titik pada pola keruangan. GPS terdiri atas konstelasi 24 satelit pada ketinggian orbit di atas bumi yang menempati 6 orbit yang mengelilingi bumi. Satelit ini secara terus menerus mentransmisikan sinyal radio yang diambil dan diuraikan dengan penerima khusus (Rains dan Thomas 2009). Penentuan lokasi titik dilakukan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) (Bao, 2005): √
(1)
√
(2)
√
(3)
7
Karena terdapat tiga parameter yang tidak diketahui dan tiga persamaan penyelesaian, maka ketiga parameter tersebut seharusnya dapat dicari solusinya. Secara teoritis, seharusnya terdapat dua solusi pada tiap persamaan karena bentuk persamaan yang ada adalah persamaan kuadrat ordo kedua. Menggunakan linearisasi dan pendekatan iterasi, maka ketiga parameter yang tidak diketahui dapat dicari solusinya. Ilustrasi perhitungan dapat dilihat pada Gambar 2.
Satelit 1
Satelit 3
Satelit 2
Titik yang diukur
Gambar 2 Ilustrasi penentuan lokasi menggunakan GPS (Bao, 2005) Pembacaan GPS memberikan informasi posisi dalam pasangan latitude-longitude, tetapi ditransformasikan menjadi koordinat x,y untuk penggunaan dalam sistem koordinat lapangan. Srivastava et al. (2006) menyatakan bahwa Transformasi mengasumsikan bumi sebagai elips dengan properti yang diberikan oleh J.P Snyder pada tahun 1978 dalam Srivastava et al (2006) dan memanfaatkan persamaan (4) dan (5): [
] (
[
) ]
√ Di mana :
(4) (5) (6)
Lat
= latitude (radian)
Lon
= longitude (radian)
dLat
= diferensial dari latitude
8
dLon = diferensial dari longitude dx
= diferensial dari dimensi x (timur-barat)
dy
= diferensial dari dimensi y (utara-selatan)
a
= jari-jari equator (6.378.135 m)
b
= jari-jari polar (6.356.750 m)
Persamaan (4) dan (5) harus diintegralkan untuk memperoleh koordinat bidang. Jika dua titik di lapangan cukup dekat (biasanya dalam perubahan 1 menit dalam longitude atau latitude), hasil integrasi berikut mendekati bentuk persamaan (7) dan (8) dengan beberapa variabel yang dijelaskan oleh persamaan (9) dan (10) : (7) (8) Di mana :
x – x0 = perpindahan dalam arah timur-barat (m) y – y0 = perpindahan dalam arah utara selatan (m) x0
= posisi referensi x
y0
= posisi referensi y
Lon0
= posisi referensi longitude
Lat0
= posisi referensi latitude [
] (
[
) ]
(9) (10)
Akurasi GPS dalam menentukan posisi dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas penerima. Menurut Ehsani (2003) akurasi GPS biasa yang bekerja pada aktivitas dinamis akan menurun dibandingkan jika dioperasikan pada aktivitas statis. Untuk meningkatkan akurasi penentuan lokasi, maka digunakan metode Real Time Kinematic (RTK) dimana pada metode tersebut dua receiver GPS melakukan tracking pada satelit yang sama sehingga akurasi pengukuran dapat meningkat hingga 2-5 cm (El-Rabbany, 2002). Selain itu, dikenal juga metode penentuan Real Time Differensial GPS yang menggunakan receiver base dengan posisi statis dan dapat memberi koreksi jarak pada rover melalui format Radio Technical Commission for Maritime Service (RTCM) sehingga posisi rover dilapangan dapat menjadi lebih akurat. Ilustrasi penggunaan DGPS diperlihatkan pada Gambar 3.
9
Gambar 3 Penggunaan DGPS (El-Rabbany, 2002) Kemampuan DGPS untuk memberikan data posisi hingga akurasi sentimeter telah membuat sebuah revolusi pada teknis pertanian. Beberapa contoh penerapan DGPS untuk kegiatan pertanian antara lain: pengambilan data sampel tanah berdasarkan posisi sampling dapat mempermudah pembuatan peta kesuburan tanah, jika DGPS diintegrasikan dengan sistem pemandu udara maka proses penyemprotan menggunakan pesawat udara (baik untuk pupuk ataupun pestisida) dapat lebih akurat dan memiliki dosis variabel sesuai data kesuburan tanah atau kondisi tanaman yang telah ada (Gambar 3). Selain itu, kegunaan DGPS dalam proses panen sangat membantu petani skala besar untuk membuat panduan bagi mesin panen agar bekerja pada posisi lahan yang telah siap dipanen (El-Rabbany, 2002).
Gambar 4 Penggunaan DGPS untuk penyemprotan (El-Rabbany, 2002)
10
Geographic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografi (GIS dalam bahasa Inggris) merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui,
mengelola,
memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Tim Teknis Nasional, 2007). GIS sudah banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari. Selain itu, GIS sudah banyak diterapkan untuk bidang pertanian, militer, kependudukan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya (Sutton, 2009). Saat ini telah banyak software aplikasi untuk pembuatan GIS, di antaranya Arc View, Quantum GIS, Map Info, Arc Info, dan sebagainya. Hasil keluaran pengolahan data raster pada software aplikasi merupakan sebuah peta digital yang memiliki berbagai informasi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5. Kedua gambar tersebut merupakan pemetaan satu daerah yang sama, namun setelah diolah menggunakan aplikasi GIS dapat diperoleh dua informasi yang berbeda yaitu: peta topografi dan peta pariwisata.
Gambar 5 Hasil pengolahan GIS Manfaat yang diperoleh dari hasil olahan peta pada Gambar 5 sangat banyak, salah satu contohnya untuk rencana pembangunan infrastruktur dalam rangka pemanfaatkan potensi obyek wisata. Dalam bidang pertanian GIS sudah banyak digunakan untuk peta kesuburan lahan, peta aplikasi pupuk, dan peta aplikasi pestisida. Solahudin (2010) menggunakan pengolahan citra digital untuk memetakan posisi dan jumlah gulma pada lahan kedelai untuk aplikasi herbisida seperti pada Gambar 6.
11
2
2
1
1
3
3
2
1
3
3
1
3
2
2
1
3
3
1
3
5
4
2
4
3
2
1
5
5
2
3
5
5
Gambar 6 Pemetaan gulma pada lahan kedelai (Solahudin, 2006) Peta gulma yang terbentuk dapat memberi informasi untuk referensi dosis herbisida yang harus diterapkan menggunakan Variable Rate Applicator. Sementara itu, Astika (2010) membuat peta kebutuhan unsur hara tanaman padi sawah menggunakan pengolahan citra digital berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Warna hijau tanaman padi dibandingkan dengan warna hijau pada BWD sehingga dapat diketahui kebutuhan unsur hara N, P, dan K. data-data tersebut kemudian disusun menjadi peta dosis pemupukan (Gambar 7) yang dibutuhkan sebagai referensi bagi aplikasi mesin pemupuk berbasis VRT.
Gambar 7 Peta kondisi tanaman padi berdasarkan BWD (Astika, 2010)
12
Variable Rate Applicator (VRA) VRA merupakan sebuah sistem terintegrasi yang dapat mengeluarkan output sesuai dengan kebutuhan objek. Di dalam bidang pertanian teknologi VRA banyak digunakan untuk aplikasi pupuk maupun herbisida atau pestisida. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammadzamani (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan VRA pada aplikasi herbisida dapat mengurangi penggunaan herbisida 13% dibanding metode URT. Penggunaan metode pertanian presisi dalam aplikasi VRA dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: map-based dan sensor-based (Setiawan, 2001). Map-based VRA merupakan metode penggunaan VRA yang didasari oleh kebutuhan pemupukan lahan dalam sebuah peta pemupukan. Metode ini membutuhkan teknologi GPS untuk mengetahui posisi VRA sehingga dosis yang dikeluarkan akan sesuai dengan kebutuhan hara tanah pada lokasi tersebut. Sementara itu, metode sensor-based lebih mengedepankan penggunaan sensor hara tanah yang dapat menduga kebutuhan pupuk oleh tanah secara real time sehingga pada metode kedua teknologi GPS tidak lagi diperlukan. Pada tahun 2010, Azis melakukan penelitian mengenai kontrol kecepatan metering device pada mesin pemupuk dosis variabel (Gambar 8).
Gambar 8 Uji kontrol dosis pupuk (Azis, 2010) Hasil penelitian tersebut menginformasikan bahwa perubahan laju putaran metering device dapat proporsional dengan jumlah pupuk yang dikeluarkan sehingga pengaturan dosis pupuk dapat dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian lanjutan untuk
13
pengembangan mesin pemupuk laju variabel telah dilakukan oleh Sapsal (2011). Unit pemupuk yang dibuat oleh Azis dikembangkan menjadi 4 unit yang bekerja secara seri dan disambungkan dengan traktor penanam bibit padi sawah (Transplanter) sehingga dapat diaplikasikan pada lahan sawah (Gambar 9).
1
1. Antena GPS 2. Modul Kontrol 3. Variable Rate Granular 2
5
3
4
Fertilizer Applicator 4. Traktor Penanam Padi 5. Sensor
Putaran
Roda
Penggerak
Gambar 9 Mesin pemupuk dosis variabel (Setiawan, 2010) Peranan Unsur N, P, dan K dalam Pertumbuhan Tanaman Padi Tanaman padi memiliki tiga tahapan pertumbuhan, yaitu: fase vegetatif, fase reproduktif, dan fase pemasakan (Suratno, 1997). Ketiga fase tersebut sangat mempengaruhi jumlah pupuk yang harus diaplikasikan agar diperoleh hasil panen yang maksimal. Tiga unsur hara yang sangat mempengaruhi pertumbuhan padi antara lain: Nitrogen (N), Phospor (P), dan Kalium (K). Unsur hara N berperan penting pada fase pertama pertumbuhan tanaman padi. Fase pertama atau vegetatif, meliputi pertumbuhan tanaman dari mulai berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai (hari ke-0 hingga 60 setelah berkecambah). Fase ini merupakan tahapan yang menyebabkan perbedaan umur panen karena lama fase-fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan. Selama fase vegetatif, jumlah anakan bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tinggi, dan daun tumbuh secara regular. Pada fase vegetatif sangat dibutuhkan hara Nitrogen agar tanaman dapat tumbuh dengan baik (Suratno, 1997). Namun, menurut Sugiyanta (2007) efisiensi pemupukan N tidak akan meningkat setelah aplikasi dosis pemupukan N mencapai 60 kg N/ha. Pada dosis tersebut diperoleh efisiensi pemupukan sebesar 34 kg
14
gabah/kg N dengan hasil gabah mencapai 6.73 ton/ha tetapi hasil gabah tidak meningkat walaupun dosis N dinaikkan hingga 180 kg N/ha (Tedjasarwana dan Permadi (1991) dalam Sugiyanta (2007)). Menurut Witt et al (1999) dalam Sugiyanta (2007) efisiensi hara N pada padi sawah berkisar 23-100 kg gabah/kg N. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan aplikasi pupuk N pada tanaman padi tidak serta merta meningkatkan hasil produksi padi, namun ada titik optimal yang harus dicapai untuk memperoleh hasil yang maksimal. Unsur hara selanjutnya, yaitu P berperan dalam proses fotosintesis, glikolisis, metabolism asam amino, dan menyimpan serta memindahkan energi yang mengintegrasikan
membran.
Fase
selanjutnya,
reproduktif,
ditandai
dengan
memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang bersamaan dengan inisiasi primordia malai. Pada fase ini kebutuhan hara P sangat besar sehingga kekurangan jenis unsur hara ini sebaiknya dapat dicegah agar pertumbuhan produksi padi tidak terganggu (Mario, 2008). Unsur hara ketiga (K) berfungsi sebagai osmoregulan, aktivasi enzim, pengatur pH di tingkat selular, keseimbangan kation-anion tingkat sel, pengaturan transpirasi melalui pengaturan bukaan stomata, dan transportasi asimilat (Sugiyanta, 2007). Selain itu, unsur K juga berperan dalam memperkuat dinding sel tanaman dan terlibat dalam lignifikasi jaringan sklerenkim yang dihubungkan dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Unsur K dapat diperoleh dari air irigasi sungai dan pengembalian jerami ke lahan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemupukan K dengan dosis 100 kg KCl dapat meningkatkan hasil dari 3.84 ton gabah/ha menjadi 5.12 ton gabah/ha. Di samping itu, aplikasi jerami padi sebanyak 5 ton/ha memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan 100 kg KCl. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembalian jerami ke lahan dapat mensubstitusi penggunaan pupuk Kalium (Syam dan Hermanto (1995) dalam Sugiyanta (2007)).
Rekomendasi Takaran Pupuk Aplikasi pupuk pada budidaya padi sawah harus diperhitungkan agar diperoleh respon pertumbuhan tanaman yang baik. Menurut Mario (2008) terdapat beberapa cara untuk menentukan dosis rekomendasi bagi kebutuhan unsur hara tanaman (Nitrogen, Fosfat, dan Kalium). Unsur Nitrogen yang dibutuhkan tanaman dapat diukur
15
menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) dengan membandingkan warna skala pada BWD dengan warna aktual daun yang sedang diamati. Secara umum, rekomendasi pemupukan N yang telah dikeluarkan oleh Deptan dalam kartu BWD (Tabel 1) dapat menjadi acuan dalam aplikasi pemupukan. Namun terdapat juga satu pola yang menjadi ketetapan seperti pada contoh, apabila pada suatu daerah tanaman padi di suatu lokasi menghasilkan gabah sebanyak 3 t/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target hasil adalah 6 t/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar 325 kg tanpa penggunaan bagan warna daun (BWD) dan 250 kg dengan BWD (Deptan, 2007).
Tabel 1. Rekomendasi Pemberian Pupuk N Tingkat hasil (GKG) Nilai warna daun dengan BWD
5 t/ha
6 t/ha
7 t/ha
8 t/ha
Takaran urea (kg/ha) 2–3
75
100
125
150
Antara 3 dan 4
50
75
100
125
4–5
0
0 atau 50
50
50
Sementara itu, rekomendasi takaran unsur P pada pemupukan dapat dilakukan menggunakan analisis tanah metode HCl 25%. Hasil analisis tanah akan mengkategorikan kondisi tanah kedalam status P rendah, sedang atau tinggi, selanjutnya jumlah pupuk P yang harus diaplikasikan disesuaikan dengan kriteria status P seperti pada Tabel 2 (Mario, 2008).
Tabel 2. Rekomendasi Pemberian Pupuk P Status Hara P Tanah Rendah Sedang Tinggi
Kadar P2O5 (ekstrak HCl 25%) (mg/100g tanah) < 20 – 40 >40
Takaran P++ (kg SP36/ha/musim) 100 75 50*
*) dapat diberikan satu kali dua musim tanam
Berbeda dengan unsur N dan P, penambahan unsur K akan menghasilkan respon yang baik jika diaplikasikan pada tanah dengan kadar K rendah. Sementara aplikasi
16
pada tanah dengan kandungan K sedang dan tinggi tidak memberikan respon yang besar. Takaran pupuk K pada tanah ditetapkan berdasarkan analisis tanah dengan metode HCl 25%. Atas dasar hasil analisis, status K tanah dapat dipilah dalam kriteria rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 3 menunjukkan rekomendasi takaran pupuk K berdasarkan status K tanah (Mario, 2008).
Tabel 3. Rekomendasi Pemberian Pupuk K Status Hara K Tanah Rendah Sedang Tinggi
Takaran K++ (kg KCl/ha/musim) 100 50 50
Kadar K2O (ekstrak HCl 25%) (mg/100g tanah) < 10 10 – 20 >20 Teknis Pemupukan Padi Sawah
Pemupukan padi sawah memiliki beberapa istilah seperti: pemupukan berimbang, pemupukan spesifik lokasi, dan pengelolaan hara spesifik lokasi. Secara sederhana
dapat
dikatakan
bahwa
pemupukan
berimbang
mengacu
kepada
keseimbangan antara unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi berdasarkan sasaran hasil yang ingin dicapai dengan ketersediaan hara dalam tanah (Buresh, 2006). Sementara itu, penerapan pemupukan berimbang belum dapat direalisasikan di masyarakat karena penggunaan metode URT yang masih mendominasi dan didukung oleh ketersediaan peralatan yang cukup banyak bagi pelaksanaan metode URT. Menurut Buresh (2006), tahapan dosis pemupukan didasari oleh umur tanam sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tahapan Dosis Pemupukan Pertumbuhan Awal
Anakan Aktif
Primordia
Matang
Umur, (HST)
0 – 14
21 – 28
35 – 50
-
Nitrogen
Takaran sedang (50-100 kg urea/ha)
Berdasarkan BWD**
Berdasarkan BWD**
-
Fosfor dan
100%
-
-
-
Gambar
17
Sulfur* Kalium
50% - 100%
-
Bila perlu 50%
-
*) Bila diperlukan; **) Bagan Warna Daun
Dosis yang diberikan merupakan dosis seragam dengan satuan kilogram per hektar. Aplikasi pemupukan dilapangan sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan yang menjadi tempat tumbuh tanaman padi. Pada umumnya, waktu aplikasi pupuk pada padi sawah sangat dipengaruhi oleh jenis pupuk yang diaplikasikan. Menurut Maspary (2011), jika digunakan kombinasi pupuk Urea, SP36, dan KCl dengan perbandingan (200-250 kg/ha: 100-150 kg/ha: 75-100 kg/ha) maka satu hari sebelum penanaman dilakukan penyebaran pupuk SP36 100%. Setelah umur 7 hari setelah tanam (HST) dilakukan penyebaran Urea 30% dengan KCl 50%. Ketika umur 20 HST lakukan penyebaran Urea 40% dan setelah umur 30 HST lakukan penyebaran Urea 30% dan KCl 50%. Jika digunakan Urea, SP36 dan KCl namun mempunyai BWD, maka proses aplikasi pertama dan kedua sama seperti diatas namun setiap minggu diperlukan pengetesan warna daun menggunakan BWD. Jika hasil pengetesan tersebut dirasa membutuhkan penambahan Urea maka dilakukan penambahan dengan jumlah yang sedikit (10%). Pengetesan dilakukan sampai tanaman berumur 40 HST. Pada umur 30 HST KCl yang tersisa 50% diaplikasikan seluruhnya. Sementara itu, jika digunakan pupuk Urea dan NPK Phonska (100 kg/ha: 300 kg/ha), maka pada umur 7 HST berikan Urea 30% dan NPK Ponska 50%. Pada umur 20 HST, berikan Urea 40% dan setelah umur 30 HST berikan Urea 30% dan NPK Ponska 50%. Jika menggunakan BWD, pada 7 HST pupuk NPK Ponska dapat diberikan 50% tanpa diiringi oleh Urea. Satu minggu kemudian, lakukan tes BWD dan jika tanaman membutuhkan Urea maka dapat diaplikasikan sebesar 10%. Hal tersebut dilakukan hingga tanaman berumur 40 HST, pada umur 30 HST NPK Ponska yang tersisa 50% diberikan semuanya. Selanjutnya, jika digunakan Urea dan NPK Pelangi (100 kg/ha dan 300 kg/ha). Berikan NPK Pelangi 100% saat tanaman berumur 1 HST, setelah satu minggu berikan Urea 30%. Ketika umur 20 HST, maka berikan Urea 40% dan saat tanaman berumur 30 HST 30% Urea terakhir dapat diberikan. Jika BWD dimiliki, maka aplikasikan NPK Pelangi 100% pada 1 HST, setelah 7 HST lakukan pengetesan menggunakan BWD dan jika hasil tes dirasa perlu aplikasi Urea maka pupuk Urea dapat ditambahkan 10%, dan
18
demikian seterusnya dilakukan penambahan Urea setelah dilakukan tes BWD setiap satu minggu sekali.