3
TINJAUAN PUSTAKA Mentha piperita Tanaman Mentha piperita L termasuk ke dalam Kingdom Plantae dengan Divisi Spermatophyta. Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Famili Solanales, Ordo Labialae, dan Genus Mentha. Tanaman ini merupakan persilangan dari Mentha aquatica dan Mentha spicata (Croteau et al., 2005). Tanaman ini lebih dikenal dengan nama Peppermint. Daun Mentha piperita mengandung saponin, flavonida,dan polifenol di samping minyak atsiri. Selain tergolong dalam tanaman obat dan aromatik, tanaman ini dapat menjadi gulma atau invasif (Handayani, 2010). Menurut Badan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (1986) Mentha piperita tumbuh tegak dengan tinggi 30-90 cm dan bentuk batang segi empat berwarna ungu. Daun tanaman ini berbentuk bulat telur dengan panjang 2,5-10 cm, bentuk pangkal daun runcing atau tumpul, tepi daun bergerigi kasar, helaian daun bagian atas halus dengan warna hijau gelap, sedang bagian bawah berwarna pucat dan sedikit berbulu. Bunga berwarna ungu, tersusun dalam karangan bunga majemuk semu. Karangan bunga ini tumbuh pada ujung batang atau cabang (bunga terminal).
Gambar 1. Tanaman Mentha piperita di Lapang (Jayashree, 2006).
4
Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan tanaman merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian tanaman (sel, jaringan, dan organ tanaman), untuk ditumbuhkan pada media dengan kondisi aseptik agar bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan membentuk tanaman yang sempurna (Wattimena et al., 1992; Gunawan 1992; Caponetti et al., 2000; Ahloowalia et al., 2004). Kultur jaringan disebut juga kultur in vitro yang berarti kultur di dalam wadah gelas (Wattimena et al., 1992). Konsep yang mendasari kultur jaringan adalah teori totipotensi (Wetherell, 1982) dan plastisitas tanaman (Anonim, 2003). Totipotensi merupakan kemampuan sel secara genetik untuk membentuk tanaman lengkap bila berada dalam lingkungan yang sesuai, karena di dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik yang lengkap (Wetherell, 1982; Anonim, 2003). Secara teoritis, semua sel hidup dalam tanaman berasal dari satu sel zigot dalam ovari. Dengan demikian meskipun sel tersebut berdiferensiasi menjadi batang, daun, akar, dan bunga, mereka tetap mempunyai informasi genetik yang sama dengan induknya (Wattimena et al., 1992). Adapun plastisitas tanaman adalah kemampuan tanaman untuk mengadaptasikan sistem metabolisme, pertumbuhan dan perkembangannya agar sesuai dengan lingkungan tumbuh (Anonim, 2003). Profesor Murashige dari California University mengembangkan tiga tahapan mikropropagasi dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Tahap pertama adalah menyiapkan eksplan yang akan ditumbuhkan pada media aseptik. Tahap kedua meliputi penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang aksilar ataupun pembentukan tunas-tunas baru. Tahap ketiga merupakan tahap pengakaran secara in vitro dan pendewasaan planlet sebelum diaklimatisasi (Torres, 1989; Wattimena, 1992). Menurut Wattimena et al. (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dibagi ke dalam empat golongan utama yaitu: (1) Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan (2) Media, mencakup komponen penyusun media dan penggunaan zat pengatur tumbuh (3) Lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan dan (4) Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan.
5
Eksplan Eksplan merupakan bahan untuk inisiasi kultur yang diambil dari bagian suatu tanaman (Gunawan, 1992). Keberhasilan morfogenesis suatu kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh eksplan yang dikulturkan. Eksplan menyangkut jenis eksplan, umur, ukuran, dan cara mengkulturkannya. Umur eksplan akan berpengaruh terhadap inisiasi, dan kemampuan morfogenesis langsung atau tidak langsung. Bagian tanaman yang masih muda (juvenile) merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan, hampir pada semua tanaman. Hal yang sama juga terjadi pada eksplan yang berasal dari planlet in vitro. Potensial morfogenetik kalus meningkat hanya dalam waktu singkat (satu atau dua kali subkultur) yang diikuti dengan kemampuan regenerasi yang tinggi, setelah itu morfogenesisnya menurun. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran optimum untuk dikulturkan. Eksplan yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya jika dikulturkan, sementara bila terlalu besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Pertumbuhan atau morfogenesis eksplan dapat juga dipengaruhi oleh cara penempatan eksplan dalam medium. Faktor ini erat kaitannya dengan transportasi hara dan zat pengatur tumbuh ke dalam eksplan (Wattimena et al., 1992). Menurut Ahloowalia et al. (2004), semua bagian dari tanaman dapat menjadi sumber eksplan. Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai eksplan adalah meristem pucuk, tunas, tunas aksilar, pucuk, bagian kecil batang, nuselus, dan embrio zygotik. Bagian tanaman seperti meristem, anther, polen, ovule, dan mikrospora sering dikulturkan untuk inisiasi kalus. Media kultur Jaringan Tanaman Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Media kultur jaringan terdiri dari 95% air, hara makro, hara mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, gula (karena tanaman dalam kultur in vitro tidak melakukan fotosintesis), dan terkadang ditambahkan pula persenyawaan organik sederhana hingga kompleks (Beyl, 2000; Anonim, 2003). Senyawa organik yang sering ditambahkan adalah air kelapa, ekstrak pisang, dan tomato juice. Berbagai komponen media lain juga sering digunakan untuk tujuan tertentu (Prakash, 2004).
6
Pembentukan tunas secara in vitro baik melalui morfogenesis langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi tepat dari senyawa organik, inorganik, dan zat pengatur tumbuh (Wattimena et al., 1992). Selain komponen penyusun media, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pH media kultur. pH media kultur sangat menentukan (1) kelarutan dari garam-garam penyusun media, (2) pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garamgaram lain, dan (3) Efisiensi pembekuan agar-agar (Gunawan, 1992). Media kultur jaringan dapat berupa media padat, semi padat, atau cair tergantung pada keberadaan dari pemadat media. Beberapa jaringan memiliki respon yang lebih baik pada media padat, dan lainnya pada media cair. Pada umumnya, pemilihan jenis media tergantung pada tujuan dan species tanaman yang dikulturkan (Prakash, 2004). Bahan pemadat yang paling banyak digunakan adalah agar-agar. Selain agar-agar, zat pemadat lain adalah gelrite dan Phytagel yang merupakan polisakharida yang diproduksi dari bakteri (Byel, 2000). Media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Komposisi media dasar adalah kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energi, dan vitamin. Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain: Murashige dan Skoog (MS), B5, White, Vacin dan Went, N6, Schenk dan Hildebrandt, Woody Plant Medium (WPM), Nitsch dan Nitsch, dan Knop. Media MS adalah media dasar yang paling banyak digunakan (Gunawan, 1992). Tiap formula tersebut memiliki keunggulan masingmasing. Media dasar tersebut ada yang baik digunakan pada berbagai tanaman, dan ada yang baik untuk tanaman tertentu saja. Tidak ada garansi bahwa suatu media dasar baik untuk semua genotipe atau kultivar dalam spesies yang sama (LIPI, 1998). Media kultur jaringan Mentha piperita yang pernah digunakan oleh Gati dan Mariska, peneliti Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, adalah media dasar Murashige-Skoog (MS). Media ini merupakan salah satu media yang kaya dan dapat dipakai untuk perbanyakan vegetatif dari hampir semua jenis tanaman (Balittro, 1987).
7
Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang disintesis salah satu bagian tanaman dan dipindahkan ke bagian lain. ZPT pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis, biokimia, dan morfologis (Wattimena, 1988; Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Wattimena (1988), peran ZPT dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur sangat besar. ZPT mengawali reaksi-reaksi biokimia dan mengubah komposisi kimia di dalam media tanam, yang mengakibatkan terbentuknya organ tanaman seperti akar, daun, bunga, dan lain-lain. Beyl (2000) menambahkan, ZPT memberikan pengaruh pada eksplan jika diberikan dalam konsentrasi yang rendah (0.001 µM sampai 10 µM). Penggunaan ZPT pada konsentrasi yang rendah efektif dalam mengatur inisiasi dan perkembangan tunas dan akar pada eksplan serta embrio dalam media padat ataupun cair. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur in vitro terdiri dari lima golongan yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisik, dan etilen (Anonim, 2003). Golongan ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin (Gunawan, 1992; Beyl, 2000). Zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan pada umumnya digunakan secara kombinasi (Wattimena et al., 1992). Perbandingan serta interaksi auksin dan sitokinin pada media kultur sangat menentukan arah morfogenesis dalam pembentukan tunas dan akar (Wattimena et al., 1992; Prakash, 2004). Penggunaan nisbah auksin dan sitokinin untuk induksi tunas dan akar dapat berbeda pada satu genus, species bahkan kultivar suatu tanaman (Torres, 1989). Menurut Wetherell (1982), sitokinin dan auksin memiliki pengaruh yang berlawanan, oleh karena itu dalam pemakaian kedua ZPT tersebut harus mempertimbangkan perbandingannya dalam media. Perbandingan auksinsitokinin yang tinggi baik untuk pembentukan tunas, sedangkan perbandingan auksin-sitokinin yang rendah baik untuk pembentukan akar. Pada penelitian perbanyakan Mentha piperita yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, ZPT yang digunakan untuk merangsang multiplikasi tunas adalah Benzyladenin dan Kinetin. Setelah satu bulan inkubasi, 1 eksplan Mentha piperita dapat menghasilkan hingga 21 tunas. Keadaan ini dapat
8
dicapai bila dalam media ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi 10 mg/l (Balittro, 1987). Sitokinin Golongan sitokinin adalah turunan dari adenin. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Wattimena, 1988; Gunawan, 1992). Selain pembelahan sel, sitokonin mampu menstimulasi pertumbuhan tunas dalam kultur in vitro. Sitokinin dengan konsentrasi yang tinggi (1-10 mg/l) mampu menginduksi pembentukan tunas, namun menghambat pembentukan akar (Byel, 2000). Menurut Wattimena (1988), sitokinin juga dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan memperlambat proses penghancuran butir-butir klorofil. Pengaruh sitokinin pada berbagai proses tersebut diduga pada tingkat pembuatan protein, mengingat kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen DNA dan RNA. Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah BAP (6benzylaminopurine),
2iP
(IPA)
[N6-(2-isopentyl)adenine],
Kinetin
(6-
furfurylaminopurine), Thidiazuron (1-phenyl-3-(1,2,3-thiadiazol-5-yl), dan Zeatin (4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) (Torres, 1989). Umumnya BAP lebih banyak digunakan karena relatif lebih murah dan tahan degradasi (Gunawan, 1992). Benzylaminopurin (BAP) paling baik digunakan untuk memacu pembentukan tunas karena BAP termasuk sitokinin yang dapat mendorong pembelahan sel-sel meristematik (George dan Sherington, 1984). Pierik (1987) menambahkan BAP dapat mendorong pembentukan tunas adventif dan mengurangi dominansi apikal. Chitosan Chitosan merupakan biopolimer yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitin terkandung pada beberapa spesies, seperti cangkang crustacea, kutikula serangga, dan dinding sel cendawan juga beberapa ganggang. Chitosan terdiri dari poli (2deoksi-2-
setilamin-2-glukosa)
dan
poli
(2-deoksi-2-aminoglukosa)
berikatan secara (1-4) β-glikosidik, struktur chitosan tersaji pada Gambar 2.
yang
9
Gambar 2. Struktur Chitosan (Tolaimatea et al., 2003)
Chitosan merupakan polimer kationik yang bersifat nontoksik, dapat mengalami biodegradasi dan bersifat biokompatibel. Chitosan dapat aktif dan berinteraksi dengan sel, enzim atau matrik polimer yang bermuatan negatif (Stephen, 1995) serta sebagai bahan antibakteri (Lim et al., 2002). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, chitosan dapat digunakan sebagai zat aditif dan aman diaplikasikan dalam media kultur jaringan. Penelitian yang telah dilakukan Nge et al. (2006), menyimpulkan chitosan dapat menstimulasi pertumbuhan tunas Dendrobium secara in vitro. Chitosan yang diisolasi dari cendawan dengan konsentrasi 15 ppm dan chitosan oligomer udang dengan konsentrasi 20 ppm adalah yang paling efektif terhadap propagasi protocorm kultur jaringan anggrek. Sebelumnya, Chang et al. (1998) menemukan bahwa elisitor chitosan dapat mengkonversikan pulegone menjadi menthol dengan konsentrasi optimum 200 mg/l dalam kultur suspensi kalus Mentha piperita sehingga kadar Menthol meningkat. Chitogel, produk turunan dari chitosan, diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif pada planlet anggur. Penelitian ini menunjukkan rata-rata produksi O2 naik 2 kali lipat pada planlet yang dikulturkan pada media yang mengandung 1.75% chitogel dan fiksasi CO2 naik 1.5 kali lipat. Hal ini mengindikasi chitogel memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap hasil fotosintesis dan fisiologi planlet anggur (Ait Barka, 2004) Aplikasi chitosan dan oligomer kitin meningkatkan aktifitas Phenylalanine Ammonia-lyase (PAL) dan Tyrosine Ammonia-lyase (TAL), enzim kunci dalam Phenylpropanoid pathway pada daun kedelai (Khan, 2003) dan Sweet Basil
10
(Ocimum basilicum L.) (Kim et al., 2005). PAL dan TAL dimodifikasi melalui Phenylpropanoid pathways untuk menghasilkan prekursor metabolit sekunder, termasuk lignin, flavonoid pigmen, dan phytoalexins yang berperan penting dalam interaksi tanaman dengan patogen (Uthairatanakij et al., 2007). Pemberian chitosan meningkatkan aktifitas Polyphenol Oxidase (PPO) pada kultivar tahan penyakit (Thipyapong et al., 2004; Raj et al., 2006). Pra-inkubasi kultur suspensi sel gandum pada media pertumbuhan Pantoea agglomerans dengan kitin dan chitosan memberikan peningkatan yang besar pada aktifitas peroksidase ekstraselular (Ortmann dan Moerschbacher, 2006). Selain itu, chitosan mungkin terlibat dalam mengatur biosintesis fenolik. Hal ini ditunjukkan bahwa chitosan dapat menginduksi chitinase maupun chitosanase yang merupakan anggota kelompok Pathogenesisrelated (PR) protein tanaman (Collinge et al., 1993; van Loon et al., 1994). PR protein ini dapat mendegradasi dinding sel beberapa fitopatogen sehingga dapat berperan langsung dalam sistem pertahanan tanaman inang (Dixon et al., 1994; Graham dan Sticklen 1994). In Vitro Mentha sp. Gati dan Mariska dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik telah melakukan kultur jaringan Mentha Spp. pada tahun 1987. Eksplan yang digunakan berasal dari Mentha piperita dan Mentha crispa. Tujuan penelitian kultur jaringan Mentha piperita yang mereka lakukan ialah perbanyakan bibit Mentha piperita secara in vitro dan hasilnya bibit Mentha piperita yang dihasilkan melalui kultur jaringan tidak berbeda jauh dengan bibit Mentha piperita yang diperbanyak secara konvensional melalui setek stolon. Disamping penelitian perbanyakan vegetatif telah pula dilakukan penelitian untuk meningkatkan metabolisme sekunder pada Mentha piperita secara in vitro. Eksplan jaringan daun atau batang yang ditanam dalam media MS dengan penambahan ZPT 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 1 mg/l memberikan hasil rata-rata berat kering kalus tertinggi yaitu 1,0285 g/botol. Analisis kandungan kalus hasil percobaan hanya dilakukan secara kualitatif (Mariska, 1989). Pertumbuhan dan produksi monoterpene pada M. piperita dan M. citrata dapat ditingkatkan dengan mengkulturkan pucuk tanaman pada flask dan fermenter selama 60 hari (Hilton et al., 1995). Produktifitas volume minyak
11
esensial dari kultur suspensi sel Mentha piperita dapat ditingkatkan dengan melakukan kultur suspensi sel pada alat cell- recycled air- lift bioreactor selama 30 hari secara terus-menerus (Chung et al., 1994). Kultur Mentha sp. secara in vitro menggunakan sumber eksplan dari pucuk muda tanaman Mentha sp. dari lapang yang telah disterilisasi. Kultur pucuk Mentha sp. di ruang gelap selama tiga minggu hanya menghasilkan pulegone. Sedangkan kultur pucuk Mentha spp pada kondisi 16 jam cahaya per hari akan menghasilkan menthone, menthol, dan pulegone sebagai senyawa utama (Asai et al., 1994). Sumber eksplan yang berasal dari stolon tidak memuaskan karena jumlah tunas yang dihasilkan jauh lebih sedikit (6) dari eksplan yang berasal dari batang (21). Pengadaan bibit selanjutnya melalui kultur jaringan menggunakan sumber eksplan dari batang (Balittro, 1987) Pengaruh 2,4 D, BAP, dan kinetin terhadap kalus dan tunas Mentha arvensis varietas Tempaku telah diteliti oleh Kurniawati (2004). Media MS dengan penambahan 0.5 mg/l BAP paling baik digunakan untuk menginduksi jumlah tunas, merangsang pertambahan tinggi tunas, menambah jumlah planlet, mempercapat peningkatan tinggi planlet, dan merangsang pembentukan daun M. arvensis var. Tempaku. Sedangkan untuk memacu pertumbuhan akar dapat digunakan media MS dengan penambahan auksin 3 mg/l 2,4 D. Kombinasi 1 mg/l 2.4 D dan 1 mg/l kinetin mampu menghasilkan kalus yang berwarna kecoklatan, remah, dan embriogenik serta dapat bertahan hidup lebih lama dengan tetap melakukan penambahan ukuran. Penelitian-penelitian tentang Mentha arvensis L secara in vitro sudah pernah dilakukan, salah satunya penelitian untuk melestarikan Mentha arvensis L yang dilakukan oleh Herdarini. Pada penelitian tersebut, eksplan yang digunakan adalah batang dengan nodus. Eksplan ditanam pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh kinetin 1.0, 1.5, dan 2.0 ppm serta NAA (Naphtalene acetic acid) 0.1 ppm dan BA (Benzyladenin) 1.5 dan 2.0 ppm, kemudian diinkubasi. Tunas yang terbentuk setelah 2 minggu disubkultur dengan memisahkannya dari eksplan, dan ditanam pada media perbanyakan tunas yaitu media MS padat dan cair dengan konsentrasi kinetin, NAA, dan BA yang sama. Subkultur selanjutnya dilakukan setiap 2 minggu sekali. Evaluasi potensi
12
regenerasi kultur dilakukan dengan cara melihat waktu inisiasi pembentukan tunas paling cepat 2.1 hari pada media MS dengan penambahan kinetin 2.0 ppm. Jumlah tunas terbanyak yang terbentuk setelah diinkubasi selama 6 minggu adalah 22,6 pada media MS dengan penambahan kinetin 2.0 ppm. Persentase keberhasilan terbesar adalah 90% pada media MS dengan penambahan kinetin 2.0 ppm. Potensi pelestarian dianalisis menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah teknik kultur jaringan tanaman dapat digunakan sebagai parameter potensi pelestarian Mentha arvensis L.