TINJAUAN PUSTAKA Potensi Hasil Samping Tanaman Jagung Tanaman jagung merupakan komoditas pertanian yang cukup penting baik sebagai sumber pangan maupun pakan ternak. Data BPS dan Dirjen Tanaman Pangan (2007) melaporkan bahwa produksi jagung di Indonesia sebesar 13 280 juta ton pada luas areal panen 3 619 ribu ha dengan produktivitas 3.67 ton/ha. Menurut Perry et al. (2003) jagung dewasa (mature corn) terdiri dari biji, tongkol, kulit, daun dan batang dengan persentase bahan kering berturut-turut sebesar 38%, 7%, 12%, 13% dan 30% seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Batang 30% Biji 38%
T ongkol 7%
Kulit 12%
Daun 13%
Gambar 1 Persentase bahan kering jagung dewasa (Perry et al. 2003) Potensi bahan kering jerami jagung sebesar 4.6 ton/ha/musim tanam (bahan kering 21.7%). Lima puluh persen dari total berat tanaman jagung adalah hasil samping yang ditinggalkan setelah panen. Persentase masing-masing hasil samping adalah 50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot (Furqaanida 2004). Data yang hampir sama dilaporkan Anggraeny et al. (2006) hasil samping berupa batang berkisar antara 55.4 62.3%, daun 22.6 27.4% dan klobot antara 11.9 16.4%. McCutcheon dan Samples (2002) menambahkan bahwa batang merupakan hasil samping terbesar pada tanaman jagung dengan nilai kecernaan bahan kering lebih rendah, jika dibandingkan dengan kulit jagung dengan jumlah terkecil tetapi mempunyai kecernaan lebih tinggi. Tabel 1 menunjukkan komposisi zat makanan hasil samping tanaman jagung.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Tabel 1 Komposisi zat makanan hasil samping tanaman jagung (%BK) Hasil samping BK Abu Jerami jagunga 80.00 7.00 Tongkol jagung a 90.00 2.00 Kulit jagungb 91.41 0.30 a Keterangan: Parakkasi (1999) b Furqaanida (2004)
PK 6.00 3.00 7.84
LK 1.30 0.50 0.65
SK 35.0 36.0 32.2
BETN 50.70 58.50 56.03
TDN 78.30 59.00 54.30
Ca 0.50 0.10 0.21
P 0.09 0.04 0.44
Parakkasi (1999) melaporkan bahwa penggunaan jerami jagung sebagai pakan ternak ruminansia umumnya sebagai pengganti sumber serat dan harus diimbangi dengan pemberian konsentrat, sehingga kebutuhan ternak dapat terpenuhi. Demikian juga dengan tongkol jagung dan kulit jagung. Pembuatan silase seluruh bagian tanaman jagung, termasuk buah muda (90 hari), buah matang (100 hari), atau kulit jagung manis merupakan salah satu cara pemanfaatan tanaman jagung sebagai pakan ternak ruminansia (Pasaribu et al. 1995). Jagung merupakan bahan yang paling ideal untuk ensilase karena mengandung karbohidrat mudah larut yang cukup untuk mendukung fermentasi yang baik, dibandingkan hijauan lainnya. Namun untuk meningkatkan kualitas nutrisinya perlu penambahan sumber nutrien seperti urea (McDonald et al. 1991; Woolford 1984; Sapienza dan Bolsen 1993). Pemberian hasil samping tanaman jagung dalam bentuk hay, silase atau fermentasi dapat meningkatkan bobot badan harian sapi (Anggraeny et al. 2005; Rohaeni et al. 2006; Sariubang et al. 2006). Potensi Hasil Samping Agroindustri Perkebunan Sawit Liwang (2003) melaporkan bahwa areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun sebesar 12.6%. Data Dirjen perkebunan (2007) menyatakan bahwa luas areal perkebunan sawit Indonesia pada tahun 2006 mencapai 6 074 926 ha. Kondisi ini mendorong berkembangnya industri pengolahan buah sawit untuk menghasilkan produk pangan maupun non pangan, sehingga menghasilkan hasil samping dalam jumlah yang cukup besar. Hasil samping pada areal perkebunan berupa pelepah, daun dan batang kelapa sawit, sedangkan dari pabrik berupa serat perasan buah, lumpur minyak sawit dan bungkil inti sawit (Gambar 2).
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Setiap hektar kebun sawit per tahun dapat menghasilkan pelepah kering sebanyak 486 ton dan daun sawit kering 17.1 ton. Sementara lumpur sawit dan bungkil inti sawit merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit dapat memproduksi rendemen lumpur sawit sebanyak 4–6% dan bungkil inti sawit sebesar 45%, sehingga diperoleh lumpur sawit sebanyak 840–1 260 kg/ha dan bungkil inti sawit 567 kg/ha (Sianipar et al. 2003). Sementara Horne et al. (1994) melaporkan suatu pabrik minyak sawit dengan kapasitas 800 ton/hari buah sawit segar akan menghasilkan 5 ton lumpur sawit kering dan 6 ton bungkil inti sawit kering per hari.
Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Tandan Buah Segar
Pelepah Sawit
Daun Sawit
Pabrik Pengolahan TBS
Batang Sawit Tandan Buah Segar
Tandan kosong (5556%)
Serat buah (12%)
CPO (18-20%)
Inti sawit (4-5%)
Cangkang (8%)
Lumpur sawit (2% kering)
Minyak inti (45-46%)
Bungkil inti sawit (4546%)
Gambar 2 Bagan proses pengolahan kelapa sawit dan perkiraan proporsi terhadap tandan buah segar (Devendra 1978)
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Pelepah, daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber energi, sementara itu bungkil inti sawit dan lumpur sawit sebagai sumber protein yang potensial bagi ternak (Elizabeth dan Ginting 2003). Hasil samping perkebunan kelapa sawit tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak ruminansia karena mengandung zat-zat nutrisi yang tinggi. Adapun komposisi zat makanan hasil samping tanaman dan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi zat makanan hasil samping tanaman dan pengolahan buah sawit BK
Abu
PK
SK
Hasil samping Daun tanpa lidi Pelepah Lumpur sawit Bungkil inti sawit Serat perasan buah Tandan kosong
LK
BETN
Ca
P
GE
0.17 0.08 0.25 0.84 -
(kal/g) 4461 4841 4082 5178 4684 -
% 46.18 26.07 24.08 91.83 93.11 92.10
13.40 5.10 14.40 4.14 5.90 7.89
14.12 3.07 14.58 16.33 6.20 3.70
21.52 50.94 35.88 36.68 48.10 47.93
4.37 1.07 14.78 6.49 3.22 4.70
46.59 39.82 16.36 28.19 36.58 35.72
0.84 0.96 1.08 0.56 -
Sumber : Mathius et al. 2004 Bungkil sawit merupakan hasil ikutan yang paling tinggi nilai gizinya sebagai pakan ternak. Protein bungkil inti sawit dapat dikategorikan medium degradability dan diketahui defisien akan asam amino lisin, metionin, leusin dan isoleusin (Daud 1995). Sementara lumpur sawit merupakan hasil ikutan proses pengolahan minyak sawit menggunakan alat mesin ex decanter yang produksinya dalam bentuk semi padat. Kandungan proteinnya bervariasi sekitar 11–14%. Menurut Sutardi (1997) protein lumpur sawit hampir sama dengan kandungan protein dedak padi yaitu sekitar 12%. Secara umum pemakaian lumpur sawit pada ransum babi 10–20%, unggas 5– 10%, sapi 66% dan domba 30% (Wong dan Wan Zahari 1992). Daun sawit mempunyai kadungan protein kasar sebesar 14.8% dan lignin 27.6% dan disarankan pemberiannya tidak melebihi 20% dari ransum. Sedangkan serat buah sawit tergolong serat bermutu rendah dengan kandungan lignin tinggi, protein, kecernaan dan palatabilitasnya rendah. Penggunaan dalam ransum ruminansia sekitar 25-30% (Pribadi 2008). Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrien pelepah sawit dapat dilakukan melalui proses amoniasi, silase, pembuatan pelet dan penambahan enzim (Wan Zahari et al. 2003).
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Elisabeth dan Ginting (2003) melaporkan bahwa penggunaan 60% pelepah sawit, 18% lumpur sawit, 18% bungkil inti sawit, 4% dedak padi pada sapi potong menghasilkan pertambahan berat badan 0.58 kg/ekor/hari dengan jumlah konsumsi 8.6 kg/ekor/hari. Sementara itu Batubara et al. (2004) menjelaskan bahwa pakan alternatif pada kambing masa pertumbuhan dengan formulasi 29% daun sawit, 20% lumpur sawit, 50% bungkil inti sawit serta 1% mineral mix dengan suplementasi 20% molases dapat menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 57 g/ekor/hari. Krisnan et al. (2006) menambahkan bahwa suplementasi tunggal lumpur sawit sebesar 45% pada pakan kambing dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 74.11 g/ekor/hr dengan konsumsi sebesar 691.07 g/ekor/hari. Sedangkan Sianipar et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan lumpur sawit, pelepah dan daun sawit tidak dapat diberikan secara tunggal karena tidak disukai oleh ternak, sehingga untuk mendapatkan hasil yang optimal hanya digunakan sebagai pakan campuran. Potensi Hasil Samping Tanaman Ubi Kayu Indonesia merupakan penghasil ubi kayu terbesar di kawasan Asia Tenggara dan menduduki urutan ketiga di dunia. Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2007 mencapai 18.95 juta ton pada luas areal tanam 1.15 juta hektar dengan produktivitas 16.5 ton/ha (BPS dan Dirjen Tanaman Pangan 2007). Tanaman ini merupakan tanaman tropik yang potensial digunakan untuk ternak, dan dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein pada daun dalam jumlah besar. Menurut Devendra (1977) produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu; daun 6%, batang 44% dan umbi 50%. Sementara itu Haroen (1993) merinci lebih lengkap bahwa persentase produk utama berupa tepung tapioka berkisar antara 20 24%, sementara hasil samping yang dihasilkan selama proses pengolahan adalah kulit luar 2%, kulit dalam 15% dan onggok 5 15% seperti terlihat pada Gambar 3. Diperkirakan setiap panen satu hektar lahan dapat menghasilkan umbi segar sebanyak 17.5 ton, kulit 2.79 ton dan daun 2.30 ton berat kering, sedangkan dari pengolahan industri tapioka menghasilkan onggok 1.7 ton berat kering.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Kulit luar 2%
T apioka 24%
Daun 6% Kulit dalam 15%
Batang 44% Onggok 15%
Umbi 50%
Gambar 3 Persentase produk tanaman ubi kayu (Devendra 1977; Haroen 1993) Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa daun ubi kayu mempunyai kandungan protein yang tinggi yaitu berkisar antara 16.7 39.9% bahan kering dan hampir 85% dari fraksi protein kasar merupakan protein murni (Ravindran 1991). Sedangkan bagian kulit dan onggok memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi. Tabel 3 menunjukkan komposisi zat makanan hasil samping tanaman ubi kayu. Tabel 3 Komposisi zat makanan hasil samping tanaman ubi kayu (%BK) Hasil samping Daun ubi kayu Kulit ubi kayu Onggok
BK 21.60 30.60 83.80
Abu 12.10 6.30 1.30
PK 24.10 6.56 1.80
LK 7.70 1.30 0.40
SK 22.1 6.42 14.9
BETN 37.00 81.80 81.60
TDN 68.80 73.10 78.30
Ca 0.10 0.33 0.20
P 0.30 0.21 0.05
Sumber: Sutardi (1981) Liem et al. (1997) melaporkan dari 2.5 3 ton/ha hasil samping tanaman ubi kayu dapat menghasilkan tepung daun ubi kayu sebanyak 600 800 kg/ha. Lebih lanjut dijelaskan pemakaian tepung daun ubi kayu dalam formulasi ransum dapat dijadikan sebagai sumber protein dan konsentrat pada kambing perah (Khang et al. 2000; Hai 1999). Selain itu tepung daun ubi kayu juga mempunyai sifat sebagai by pass protein (Ffoulkes dan Preston 1978; Garcia dan Herrera 1998). Sementara menurut Garcia dan Hernandez (1996) tepung seluruh tanaman ubi kayu dapat dijadikan pengganti konsentrat pada sapi perah.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Wanapat (2007) melaporkan hay daun ubi kayu dapat menggantikan pemakaian bungkil kedelai pada sapi perah di daerah tropik. Selain berfungsi sebagai sumber protein, daun ubi kayu juga berperan sebagai anti cacing (anthelmintic) dan kandungan taninnya berpotensi meningkatkan daya tahan saluran pencernaan ternak terhadap mikroorganisme parasit (Wanapat dan Knampa 2006). Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun ubi kayu sebagai pakan ternak (Limon 1992; Hang 1998) dan efektif menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu (Tewe 1991). Kavana et al. (2005) melaporkan perlakuan silase daun ubi kayu selama 3 bulan dapat menurunkan kadar HCN dari 289 mg/kg menjadi 20.1 mg/kg. Pemakaian kulit ubi kayu sebagai komponen ransum domba dapat menggantikan penggunaan rumput lapangan sebesar 30% Nursita (2005). Silase Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan dalam kondisi anaerob (Moran 2005; Johnson dan Harrison 2001; McDonald et al. 1991; Woolford 1984). Keadaan anaerob ini harus tetap dipertahankan, sebab udara adalah musuh besar silase (Schroeder 2004; Moran 2005). Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Woolford 1984; McDonald et al. 1991). Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004; Jones et al. 2004). Memacu terciptanya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase. Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam lakat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan. Pembuatan silase tidak tergantung dengan musim (Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004).
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Ada 2 cara pembuatan silase yaitu secara kimia dan biologis. Cara kimia dilakukan dengan penambahan asam sebagai pengawet seperti asam format, asam propionat, asam klorida dan asam sulfat. Penambahan tersebut dibutuhkan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4.2), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Coblentz 2003; McDonald et al. 1991). Sedangkan secara biologis dengan menfermentasi bahan sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas metan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas (McDonald et al. 1991; Woolford 1984; Bolsen et al. 2000). GENOTIF
EKOLOGI
MANAGEMEN
BIOLOGI
KARAKTERISTIK TANAMAN
PENGETAHUAN
TEKNOLOGI
PENGEMBANGAN KECOCOKAN
MIKROFLORA EPIPITIK
KONDISI PENYIMPANAN
Kandungan WSC
Substrat
Pelayuan
Oksigen
Kapasitas Buffer
Iklim
Aditif
Temperatur
Bahan Kering
Tanah
Perlakuan Mekanik
Perlakuan Mekanik
Cuaca
Pemadatan
Struktur Tanaman Umur Tanaman
Konstruksi
Cuaca
Silo
Waktu Panen
Penutupan PROSES ENSILASE Kebutuhan Reaksi NILAI NUTRISI Kompetisi antara mikroorganisme
KEHILANGAN NUTRISI
Gambar 4 Beberapa faktor yang mempengaruhi proses ensilase dan kualitas silase (Woolford 1984; McDonald et al. 1991)
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan, kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian aditif (Schroeder 2004; Moran 2005). Lebih lanjut dijelaskan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas silase yaitu: 1) karakteristik bahan meliputi; kandungan bahan kering, kapasitas penyangga, struktur fisik dan varietas), 2 tata laksana pembuatan silase yaitu; ukuran partikel, kecepatan pengisian silo, kepadatan pengepakan, dan penyegelan silo dan 3) keadaan iklim: suhu dan kelembaban (Sapienza dan Bolsen 1993; Woolford 1984; McDonald et al. 1991). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Fermentasi Silase Proses fermentasi silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1) fase aerob, 2) fase fermentasi, 3) fase stabil dan 4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak (Sapienza dan Bolsen 1993; Jones et al. 2004; Schroeder 2004; Moran 2005). Respirasi dan proteolisis merupakan dua aktivitas penting enzim tanaman setelah hijauan di masukkan ke dalam silo. Respirasi adalah proses pendegradasian komponen gula pada tanaman menjadi karbondioksida, air dan panas dengan menggunakan oksigen. Bersamaan dengan itu enzim protease yang terdapat pada tanaman mendegradasi protein menjadi asam amino dan amonia serta sejumlah kecil peptida dan amida seperti; asparagin dan glutamin (McDonald et al. 1991). Gula merupakan substrat utama bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam laktat yang berguna sebagai bahan pengawet hijauan. Produksi panas yang berlebihan (suhu di atas 42 44oC) dapat menyebabkan reaksi Mailard (pencoklatan), sehingga menurunkan kecernaan protein dan serat. Dampak negatif dari fase aerob dapat dihindarkan dengan cara penutupan silo dalam waktu singkat dan cepat (Sapienza dan Bolsen 1993). Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting yaitu: glikolisis, siklus krebs dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus krebs menghasilkan 2 ATP, sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Pada fase fermentasi (respirasi anaerob) menghasilkan 2 ATP tiap satu molekul glukosa (Winarno dan Fardiaz 1979). Fase ini terjadi saat keadaan anaerob dicapai dan mikroorganisme anaerob mulai berkembang. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroorganisme yang memegang peranan penting pada ensilase. Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteria, Clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini akan berkompetisi dengan bakteri asam laktat untuk menfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu proses pengawetan pakan ternak (Bolsen et al. 2000). Lin et al. (1992) melaporkan bahwa Enterobacteria mempunyai pH optimum 6 7, pada umumnya tidak berkembang di bawah pH 5. Populasinya tinggi pada awal ensilase dan hanya aktif pada 12 36 jam pertama ensilase. Selanjutnya akan menurun, sehingga kehadirannya tidak berpengaruh setelah beberapa hari ensilase. Sementara itu menurut Schroeder (2004) fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat. Bakteri ini menfermentasi karbohidrat terlarut dan memproduksi asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat pada pH di bawah 5. Penurunan pH terus berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok bakteri penghasil asam laktat. Bakteri ini akan terus berkembang sampai mencapai pH sekitar 4. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme terutama bersifat merugikan. Selanjutnya bahan pakan akan tahan disimpan dan tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dalam kondisi anaerob. Masa aktif pertumbuhan BAL berakhir karena berkurangnya WSC, maka ensilase memasuki fase stabil. BAL menfermentasi gula yang dirombak dari hemiselulosa, sehingga menyebabkan lambatnya penurunan pH. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana anaerob (Bolsen et al. 2000). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian BAL seimbang. Hal ini disebabkan pada kondisi ini hanya beberapa mikroorganisme saja yang mampu bertahan, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan produksi asam. Di samping itu
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, jika terjadi kebocoran dan akan menaikkan pH (Schroeder 2004). Fase pengeluaran untuk pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase, kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien lainnya yang terlarut dalam silase (Sapienza dan Bolsen 1993). Sementara itu Bolsen et al. (2000) menyatakan bahwa silase setiap hari akan mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5–3.0% setiap meningkatnya suhu 8–12oC pada fase pemberian pada ternak. Pada fase ini terjadi pula peningkatan pH dengan kisaran 4–7 dengan konsentrasi pertumbuhan kapang yang cukup tinggi. Pengawetan silase yang baik ditandai dengan lebih 60% dari total asam organik yang dihasilkan selama ensilase adalah asam laktat. Masa fermentasi aktif berlangsung selama satu minggu sampai satu bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% termasuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40–50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55–60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1–5 minggu. Fermentasi akan terhenti disebabkan kehabisan substrat gula untuk proses fermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara. Kualitas Hijauan dan Hasil Samping Pertanian Hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri merupakan sumber pakan yang potensial di daerah tropik. Hijauan ini mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibandingkan di daerah temperate (daerah 4 musim). Sebagian besar komponen utama WSC (Water Soluble Carbohydrate) hijauan asal tropik berada dalam bentuk pati yang secara alami BAL tidak memiliki kemampuan untuk menfermentasinya secara langsung. Sebaliknya hijauan asal temperate pada umumnya mengandung WSC cukup tinggi dalam bentuk fruktan yang sangat mudah difermentasi oleh BAL
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
(McDonald et al. 1991) seperti terlihat pada Tabel 4. Kurangnya ketersediaan substrat fermentasi (WSC) juga terlihat pada hasil samping tanaman pangan dan perkebunan. Hasil samping jagung mengandung kadar protein yang rendah dan sebaliknya serat kasar tinggi yang didominasi oleh komponen lignoselulosa (karbohidrat komplek) yang sulit dicerna (McDonald et al. 2002). Sementara hasil samping ubi kayu mempunyai kandungan nutrisi dan substrat yang cukup tersedia, namun mengandung asam sianida (HCN), sehingga menjadi faktor pembatas penggunaannya sebagai pakan ternak. Lain halnya dengan hasil samping sawit yang mengandung protein yang cukup, tapi kandungan karbohidrat mudah larut tidak tersedia untuk mendukung proses fermentasi. Muhlbach (1999) menyatakan bahwa penambahan sumber nutrien seperti molases, urea, dedak padi, jagung giling dan tapioka merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pemanfaatan hasil samping tanaman pangan dan perkebunan di daerah tropik. Namun menurut Panditharatne et al. (1986), hijauan tropik dapat diawetkan dengan proses ensilase baik dengan penambahan aditif maupun tanpa aditif. Tabel 4 Komponen nonstruktural karbohidrat (g/kg BK) dari beberapa jenis rumput asal temperate dan asal tropik Rumput
Daun (D) Gula larut Batang (D)
Temperate B Parenial rygrass D (Lolium perenne) Timothy B (Phleum pratence) D B Meadow fescue D (Festuca pratensis) Cocksfoot B (Dactylis glomerata) D Tropik B Pangola grass (Digitaria secumbens) D Buffel grass B D (Cenchrus ciliaris) B Golden timothy grass (Setaria sphacelata) D Sumber : McDonald et al. (1991)
PDF Creator - PDF4Free v2.0
Gula lain
Fruktan
Pati
Total
18 23 14 23 12 21 7 24
49 64 54 36 42 40 30 20
41 141 6 49 13 54 3 14
108 228 76 108 67 115 40 58
20 30 14 18 32 63
21 96 17 30 17 22
-
45 1 26 6 38 11
http://www.pdf4free.com
86 123 57 54 87 96
Zat Aditif Silase Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan fermentasi yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan meningkatkan nilai nutrisi silase sehingga dapat meningkatkan performa ternak (Jones et al. 2004; Muck dan Kung 1997; Schroeder 2004). Secara umum aditif silase dibagi menjadi 3 kelompok yaitu; 1) stimulan fermentasi, 2) penghambat fermentasi dan 3) tambahan nutrisi. Jenis-jenis aditif di atas dapat dilihat pada Tabel 5. Pengawetan hijauan
melalui
fermentasi
WSC
secara
anaerob
untuk
menghasilkan asam-asam organik memerlukan ketersediaan pupulasi BAL dan substrat yang cukup untuk mendukung fermentasi yang baik (Muck 1988, Stokes 1992). Woolford (1984) dan McDonald et al. (1991) mengemukakan bahwa bahan yang kaya karbohidrat seperti molases, gula, pati yang berasal dari tanaman bijibijian, whey, ampas citrus dan kentang merupakan sejumlah bahan yang berfungsi sebagai stimulan pada proses fermentasi dan merangsang perkembangan BAL. Tabel 5 Beberapa bentuk aditif untuk silase dan komponennya Pendorong Inokulan Enzim bakteri bakteri amilase asam selulase laktat hemiselulase pektinase protease xilanase
Penghambat Sumber substrat molases glukosa sukrosa dextrosa whey sereal ampas tebu ampas citrus
Asam
Pengawet lainnya
format amonia propionat urea asetat sodium klorida laktat karbondioksida kaproat sodium sulfat sorbat sodium silfit benzoat sodium hidroksida akrilat hidroklorat Sumber: Muck dan Bolsen (1991); Bolsen et al. (1996)
Sumber nutrien urea kapur mineral lainnya
Henderson (1993) dan Jones et al. (2004) melaporkan bahwa molases merupakan sumber karbohidrat mudah larut yang paling banyak digunakan pada pembuatan silase dan lebih efektif pada hijauan dengan kandungan karbohidrat mudah difermentasi yang rendah. Jones (1988) juga menjelaskan bahwa penambahan sejumlah sereal pada silase rumput dapat meningkatkan kualitas fermentasi tanpa
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
penambahan bahan aditif kimia lainnya. Enzim pendegradasi karbohidrat komplek pada tanaman seperti selulase, hemilselulase, xylanase, amilase dan pektinase juga dapat ditambahkan sebagai stimulan fermentasi (McDonald et al. 1991; Woolford 1984; Jones et al. 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan enzim dapat meningkatkan produksi asam laktat, menurunkan pH, menurunkan kadar nitrogen amonia, tetapi tidak mempengaruhi kecernaan pakan (Spoelstra et al. 1992; Ridla dan Uchida 1993; Jacobs et al. 1991). Jones et al. (2004) menyimpulkan bahwa secara keseluruhan penambahan enzim kurang efektif jika dibandingkan dengan penambahan inokulan bakteri sebagai stimulan pada proses fermentasi. Penambahan enzim tidak dianjurkan pada silase jagung. McDonald et al. (1991) mengemukakan bahwa bakteri asam laktat merupakan suatu grup bakteri epipit yang dapat menghasilkan asam laktat dan selalu ditemukan pada hijauan, terutama pada bagian permukaan daun. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa proses pemotongan dapat meningkatkan jumlah mikroflora epipit yang terdapat pada hijauan jika dibandingkan dengan tanaman utuh (Lin et al. 1992; Muck 1989). Bolsen et al. (2000) menemukan populasi bakteri asam laktat sekitar 106 cfu/g pada silase tanpa diinokulasi. Inokulasi BAL homofermentatif diperlukan jika hijauan terlalu basah (kadar air > 70%) dan populasi alami BAL kurang dari 105 cfu/g, namum inokulasi BAL kurang efektif pada substrat mudah difermentasi tidak cukup tersedia (McDonald et al. 1991; Stokes 1992; Jones et al. 2004). Penambahan sumber nutrien pada silase hasil samping pertanian dan perkebunan merupakan sesuatu yang esensial dilakukan untuk mendapatkan silase yang berkualitas. Hal ini disebabkan bahan pakan tersebut mengandung kadar protein yang rendah dan sebaliknya serat kasar tinggi yang umumnya didominasi komponen lignoselulosa (karbohidrat komplek) yang sulit dicerna (McDonald et al. 2002). Pati, sereal, urea dan kalsium karbonat merupakan bahan yang dapat dijadikan sebagai sumber nutrien pada fermentasi (Woolford 1984; Jones et al. 2004; Schroeder 2004).
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Kualitas Fermentasi dan Nutrisi Silase Pengamatan fisik produk silase seperti warna, bau dan penampakan lainnya hanya menggambarkan nilai nutrisi secara umum, untuk mendapatkan hasil yang akurat maka perlu dilakukan analisis kimia dan mikrobial silase (Macaulay 2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, serat kasar, asam organik, kadar gula serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan kualitas silase (Saun dan Heinrichs 2008; Macaulay 2004; Kung dan Shaver 2001). Tabel 6 memperlihatkan karakteristik produk silase dengan kualitas yang berbeda. Tabel 6 Karakteristik produk silase dengan kualitas yang berbeda Kualitas silase
Kakrakteristik Baik Warna
Bau
Tekstur
Sedang
Jelek
Hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase Asam
Hijau kekuningan sampai hijau kecoklatan
Hijau tua, hijau kebiruan, abuabu, atau coklat
Agak tengik dan bau amonia
Kokoh, dan lebih lembut dan sulit dipisahkan dari serat
Bahan lebih lembut dan mudah dipisahkan dari serat
Sangat tengik, bau amonia dan busuk Berlendir, jaringan lunak, mudah hancur, berjamur atau kering
< 4.8
< 5.2
> 5.2
pH Kadar air < 65% Kadar air > 65% Asam laktat
< 4.2
< 4.5
> 4.8
3 14% BK
Bervariasi
Bervariasi
Asam butirat
< 0.2% BK
0.2 0.5% BK
> 0.5% BK
10 16
> 16
15 30
> 30
N Amonia < 10 (% total N) ADIN < 15 (% total N) Sumber: Macaulay (2004)
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Warna silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak kandungan asam asetat akan berwarna kekuning-kuningan, sementara kalau kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan. Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat hampir tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan bau wangi yang menyengat, sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk (Saun dan Heinrichs 2008). Kandungan bahan kering pada awal ensilase merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas fermentasi. Ensilase pada kadar air lebih tinggi dari normal (>80%) dapat menyebabkan panjangnya proses fermentasi, banyaknya protein yang dirombak dan kehilangan energi serta terjadinya fermentasi kedua oleh bakteri Clostridia. Sementara proses fermentasi dengan kadar air lebih rendah dari normal (<60%) mengakibatkan ketidakstabilan pada silase, tumbuhnya yeast, jamur dan Bacillus serta tingginya kerusakan struktur protein (Seglar 2003). Sementara Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi. Lebih lanjut dijelaskan McCullough (1978) dan Macaulay (2004) kualitas silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3.2 4.2, baik pH 4.2 4.5, sedang pH 4.5 4.8 dan buruk pH >4.8. Salah satu tujuan ensilase adalah meminimalisasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh aktivitas enzim tanaman atau mikroorganisme lain terutama jenis Clostridium. Sejumlah komponen NPN meningkat dengan adanya aktivitas proteolisis. Akibatnya pH silase meningkat, dan beberapa komponen NPN seperti amin dapat menurunkan konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs 2008). Kandungan amonia yang tinggi mencerminkan fermentasi yang jelek karena banyaknya protein yang dirombak selama proses ensilase. Panditharatne et al. (1986) melaporkan bahwa penambahan tepung tapioka pada silase rumput gajah dapat meningkatkan kualitas fermentasi. Sementara itu Sibanda et al. (1997) menemukan terjadinya peningkatan konsentrasi asam laktat dan penurunan kadar amonia dengan penambahan molases dan jagung giling pada silase Star grass.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Efek positif juga ditunjukkan Yokota et al. (1998) bahwa penambahan molases dan dedak padi pada silase Napier grass dapat meningkatkan kualitas fermentasi dan konsumsi pakan pada kambing. Jones et al. (2004) dan Schroeder (2004) menambahkan bahwa selama ensilase terjadi aktivitas pendegradasian komponen selulosa dan hemiselulosa oleh mikroorganisme yang terlibat proses fermentasi. Sementara bakteri lainnya (terutama bakteri asam laktat) akan mengkonversi gulagula sederhana menjadi asam organik (asetat, laktat, propionat dan butirat) selama ensilase berlangsung. Akibatnya produk akhir yang dihasilkan lebih mudah dicerna jika dibandingkan dengan bahan tanpa fermentasi. Selain itu produk asam organik yang dihasilkan juga mampu mendegradasi komponen serat terutama selulosa dan hemilselulosa. Sedangkan McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa secara umum fermentasi silase tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap kecernaan silase. Silase Ransum Komplit dan Ternak Ruminansia Problematika umum usaha peternakan di negara-negara tropis seperti Indonesia adalah faktor suhu lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi ini berdampak langsung pada sistem metabolisme dan termoregulasi pada tubuh ternak. Lingkungan yang relatif panas menyebabkan sebagian ternak akan malas makan, sehingga secara kuantitas asupan zat makanan (nutrien) yang masuk dalam tubuh juga kurang. Padahal asupan nutrien ini berperan penting untuk mencukupi kebutuhan pokok, perkembangan tubuh dan bereproduksi. Akibatnya tak jarang dijumpai ternak dengan pertambahan bobot badan yang masih sangat jauh dari harapan, baik di tingkat peternakan rakyat maupun industri. Ada dua masalah utama yang menyebabkan pakan ternak khususnya ternak ruminansia yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan jumlah dan asupan nutrien. Masalah pertama adalah bahan pakan pada umumnya berasal dari limbah pertanian yang mengandung kadar protein yang rendah dan sebaliknya serat kasar tinggi. Tingginya kadar serat ini yang umumnya didominasi komponen lignoselulosa (karbohidrat komplek) yang sulit dicerna (McDonald et al. 2002). Masalah lainnya adalah ketersediaan pakan yang tidak kontinyu karena dipengaruhi oleh musim,
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
sehingga terjadi kekurangan pakan pada musim kemarau. Pembuatan hijauan kering (hay), penambahan urea (amoniasi) dan pengawetan hijauan (silase) merupakan sejumlah terobosan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan pakan di atas. Teknologi yang sekarang berkembang adalah pembuatan pakan yang tidak hanya sekedar awet (silase), tetapi juga mengandung nutrien sesuai dengan kebutuhan gizi ternak. Berbeda dengan silase tunggal, silase komplit memiliki beberapa keunggulan: 1) tersedianya substrat yang mendukung terjadinya fermentasi yang baik, sehingga mempunyai tingkat kegagalan lebih rendah jika dibandingkan dengan silase berbahan tunggal. 2) mengandung nutrien yang sesuai dengan kebutuhan ternak. 3) terciptanya pakan yang berkelanjutan dan mudah diberikan pada ternak, karena tidak memerlukan pakan tambahan lainnya. Selain itu memiliki bau harum sehingga lebih disukai ternak (Sofyan dan Febrisiantosa 2007). Prinsip pembuatan pakan komplit dalam bentuk silase ini seperti proses fermentasi pada umumnya. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari 3 kelompok bahan yakni kelompok bahan pakan hijauan, kelompok bahan pakan konsentrat dan bahan aditif. Bahan pakan hijauan dapat berupa bahan pakan hijauan makanan ternak (HMT) dan limbah pertanian seperti rumput gajah, jerami jagung, jerami padi, jerami kedelai dan rumput-rumput lainnya. Bahan pakan ini sebagai sumber serat utama. Kelompok bahan pakan konsentrat dapat berupa dedak padi, onggok, ampas kecap, bungkil sawit, ampas tahu dan lain-lain. Bahan pakan konsentrat ini selain untuk memperbaiki kandungan nutrisi pakan yang dihasilkan juga berfungsi sebagai substrat penopang proses fermentasi (ensilase). Kelompok ketiga adalah bahan-bahan aditif. Bahan aditif disini dapat terdiri dari urea, mineral, molases dan lain-lain. Produktivitas ternak akan optimal secara teknis maupun ekonomis jika persediaan bahan pakan kontinyu (tersedia sepanjang waktu), dapat memenuhi kebutuhan gizi ternak serta mudah dalam pemberiannya. Pemberian silase ransum komplit yang sesuai dengan kebutuhan ternak dapat meningkatkan produktivitas ternak dan dapat menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun dengan tetap mempertahankan kualitas pakan.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com