TINJAUAN PUSTAKA Ketoprofen Ketoprofen [asam 2-(3-benzoilfenil)-propionat; rumus kimia C16H14O3; Mr=254,3 g mol-1] termasuk suatu obat anti inflamasi nonsteroid (AINS), derivat asam propionat. Obat antiinflamasi nonsteroid merupakan obat yang mempunyai efek analgesik (penghilang rasa sakit), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (menghilangkan pembengkakan). Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, yang merupakan suatu zat yang menyebabkan inflamasi (Alatas et al. 2006). Ketoprofen (Gambar 1) diindikasikan untuk menekan berbagai reaksi inflamasi yang dihubungkan dengan nyeri dan demam. Seperti pada penyakit sendi (rematoid dan osteoarthritis), penyakit gigi dan mulut, paska bedah, paska trauma dan paska persalinan (Valliappan et al. 2006). Dosis oral adalah 75 mg, 3 kali sehari atau 50 mg, 4 kali sehari. Akibat waktu paruh eliminasi yang cepat, maka obat tersebut harus sering dikonsumsi. Namun, jika ketoprofen di dalam lambung telah terakumulasi > 300 mg, maka akan mengakibatkan pendarahan (Patil et al. 2005). Ketoprofen praktis tidak larut dalam air, laju disolusi dan ketersediaan hayatinya rendah (Alatas et al. 2006). Berbagai teknik seperti obat kering, dispersi padat, bakal obat yang larut air atau kompleksasi telah diterapkan untuk meningkatkan kelarutan. Salah satu cara agar ketoprofen tidak terlalu sering dikonsumsi sehingga dapat mengakibatkan pendarahan lambung ialah dengan menyalut ketoprofen sehingga pengantaran obat dapat terkendali. Penyalut yang telah banyak digunakan untuk mengurangi kelemahan ketoprofen adalah kitosan, baik yang termodifikasi maupun yang tidak. Yamada et al (2001) telah
Gambar 1 Struktur kimia ketoprofen (Valliappan et al. 2006).
6
menggunakan kitosan sebagai penyalut ketoprofen dalam bentuk mikropartikel. Penelitian lain yang telah dilakukan yaitu mempelajari perilaku disolusi ketoprofen tersalut gel kitosan gom-guar (Amelia 2007), perilaku disolusi mikrokapsul ketoprofen tersalut gel kitosan-alginat (Sugita et al. 2010b) dan penyalutan ketoprofen dengan kitosan dalam bentuk nanopartikel (Wahyono et al. 2010). Nanopartikel Kitosan Definisi umum dari nanopartikel adalah partikel padat dengan ukuran sekitar 10–1000 nm (Tiyaboonchai 2003; Mohanraj & Chen 2006). Metode preparasi sangat mempengaruhi pembentukan nanopartikel, baik itu dalam bentuk nanosphere, atau nanokapsul (Gambar 2). Nanopartikel memiliki sifat yang baik karena faktor peningkatan luas permukaan dan efek kuantum yang dapat meningkatkan reaktivitas, kekuatan, sifat listrik, dan perilaku in vivo (Thassu et al. 2007). Mohanraj & Chen (2006) berpendapat bahwa nanopartikel memiliki empat kelebihan dalam penggunaannya sebagai pengantaran obat, yaitu: (1) dapat dengan mudah memanipilasi ciri permukaan serta ukuran partikel sesuai dengan target pengobatan; (2) pelepasan obat dapat diatur dan diperpanjang selama proses transpor obat ke sasaran; (3) memasukkan obat ke dalam sistem nanopartikel dapat dilakukan tanpa reaksi kimia. Hal ini merupakan faktor penting untuk menjaga aktivitas obat; dan (4) berbagai jalur sirkulasi tubuh dapat menggunakan sistem nanopartikel. Polimer nanopartikel yang biodegradabel dan biokompetibel adalah kandidat tepat sebagai pengantaran obat. Hal tersebut dikarenakan polimer Nanosphere
Obat terjebak
Obat terjerap
Nanokapsul Gambar 2 Beberapa tipe pemuatan obat dalam nanopartikel (Tiyaboonchai 2003).
7
nanopartikel diharapkan dapat terserap dengan utuh pada saluran pencernaan setelah pemberian secara oral (Wu et al. 2005). Tujuan utama pembuatan nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat yaitu untuk mengatur ukuran partikel, sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran pengobatan yang tepat. Salah satu contoh polimer nanopartikel biodegradabel dan biokompetibel yang banyak digunakan sebagai sistem pengantaran obat adalah kitosan. Kitosan (1,4)-2-amino-2-deoksi-β-D-glukosamin (Gambar 3) merupakan biopolimer polikationik linear terdiri dari D-glukosamin dan N-asetil-Dglukosamin yang dihubungkan oleh ikatan β-(1→4) glikosidik (Prusty 2009). Kitosan memiliki rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan salah satu dari polimer alam yang bersifat mudah terdegradasi, biokompatibel, tidak beracun, memiliki aktifitas anti bakteri, mukoadhesif serta mudah diperoleh (Ru et al. 2009). Kitosan larut dalam asam dengan pH dibawah 6,0, yang umum digunakan adalah asam asetat dengan pH sekitar 4,0. Pada pH tinggi, cenderung terjadi pengendapan. Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat. Adanya gugus tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi dan penyumbang sifat polielektrolit kation dalam larutan asam organik (Sundar 2010). Nanopartikel kitosan telah banyak diteliti untuk sistem pengantaran obat pada obat antikanker, gen, dan vaksin (Thassu et al. 2007). Dari sudut pandang biofarmasi, kitosan memiliki potensi melayani sebagai peningkat penyerapan di epitel usus untuk mukoadhesif dan meningkatkan permeabilitas (Wu et al. 2005). Kitosan dalam bentuk nanopartikel memiliki kekuatan mekanik dan keteruraian hayati yang lambat sehingga dapat dipakai sebagai pengantar obat. Sebagai
Gambar 3 Struktur kimia kitosan.
8
pengantar obat antikanker kitosan biasanya dibentuk menjadi gel atau lembaran (Thassu et al. 2007). Agar keaktifan dan kualitas dari kitosan meningkat, maka perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan zat pengikat silang. Zat pengikat silang yang sering digunakan antara lain glutaraldehida dan tripolifosfat. Penggunaan glutaraldehida sebagai zat pengikat silang untuk sistem penghantaran obat umumnya dihindari karena bersifat toksik. Selain itu ikatan silang yang terjadi melalui reaksi pembentukan basa Schiff antara gugus aldehida-ujung pada glutaraldehida dengan gugus amino pada kitosan membentuk imina akan menyebabkan ikatan kimia yang kuat antar polimer kitosan. Pada nanopartikel kitosan sebagai sistem penghantaran obat, hal ini harus dihindari karena dapat mengakibatkan sulitnya proses pelepasan obat dari dalam nanopartikel kitosan. Umumnya pembentukan ikatan silang ionik antara polikationik kitosan dengan senyawa polianion akan lebih disukai. Tripolifosfat (TPP) yang merupakan senyawa polianion merupakan zat pengikat silang yang baik. Kekuatan mekanik gel kitosan meningkat dengan penggunaan TPP karena TPP memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar (Shu & Zhu 2002). Nanopartikel kitosan terisi amonium glisirrizinat sebagai obat anti-hepatitis melalui proses gelasi ionik dengan menggunakan TPP telah dipelajari oleh Wu et al. (2005). Hasil dari penelitian tersebut adalah, ukuran nanopartikel yang diperoleh berkisar 20–80 nm dan dapat digunakan sebagai sistem penghantaran amonium glisirrizinat dengan pelepasan amonium glisirrizinat pada 1 jam pertama sekitar 22,5%. Pelepasan amonium glisirrizinat tergolong sangat lambat hingga mencapai 16 jam, yaitu 37,5%. Modifikasi lain pada gel kitosan dengan penambahan hidrokoloid alami diantaranya dengan gom guar (Amelia 2007) dan alginat (Sugita et al. 2010b) telah digunakan sebagai matriks penghantaran ketoprofen sebagai obat anti inflamasi. Kitosan juga dapat memperbaiki sistem pengantaran ketoprofen dengan cara menyalut obat dalam mikrokapsul (Yamada et al. 2001). Mutu kitosan niaga dapat dilihat dari parameter berikut: nilai viskositas, derajat deasetilasi, kadar air, kadar abu, dan bobot molekul. Beberapa faktor yang
9
dapat mempengaruhi viskositas kitosan diantaranya suhu, konsentrasi pelarut, derajat deasetilasi, dan bobot molekul. Kitosan niaga memiliki bobot molekul berkisar antara 1 × 105 dan 1,2 × 106 g/mol. Parameter mutu kitosan niaga dapat dilihat pada Tabel 1. Keberhasilan pembentukan nanopartikel dipengaruhi oleh penggunaan zat aktif permukaan (surfaktan) yang berfungsi untuk menurunkan energi antarmuka larutan sehingga mencegah timbulnya agregat-agregat permukaan. Pada pembuatan nanopartikel, surfaktan banyak digunakan karena rata-rata ukuran partikel menurun dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Konsentrasi tinggi surfaktan menurunkan tegangan permukaan dan memudahkan partisi partikel selama homogenisasi. Silva et al (2006) telah menggunakan surfaktan berupa Tween 80, Span 80 dalam proses pembuatan mikrosfer kitosan untuk sistem penghantaran hemoglobin ke dalam tubuh. Kedua surfaktan tersebut dapat menurunkan rerata diameter mikrosfer kitosan, yaitu pada Span 80 dari 132,6 µm menjadi 24,9 µm dan pada Tween 80 dari 198 µm menjadi 181,3 µm. Selain itu, kedua surfaktan tersebut juga dapat menurunkan efisiensi enkapsulasinya. Sebagai sistem pengantaran obat penggunaan surfaktan dengan penambahan zat kimia tertentu memiliki kelemahan yaitu toksisitas yang tinggi (Tarirai 2005). Oleh karena itu, sistem penghantaran obat harus dibuat dari material yang memiliki tingkat toksisitas rendah. Senyawa yang tidak beracun dan dapat digunakan sebagai surfaktan dalam pembuatan nanopartikel kitosan adalah asam oleat dan poloxamer 188 (Gambar 4). Tabel 1 Parameter mutu kitosan niaga (Wahyono et al. 2010) Parameter Ciri Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk Kadar air ≤ 10% Kadar abu ≤ 2% Derajat deasetilasi ≥ 70% Warna larutan tidak berwarna Viskositas (cP): Rendah < 200 Medium 200–799 Tinggi 800–2000 Sangat tinggi >2000
10
(b)
(a)
Gam mbar 4 Strukktur kimia (a) ( asam oleeat, (b) polo oxamer 188 (x = 80, y = 27, dan z = 80). Asam oleaat (C18H34O2) merupakkan salah saatu asam lem mak tak jennuh. Bobot moleekul 282,47 g/mol, titikk leleh 4oC, titik didih 286 2 oC, dan densitas 0,895 g/cm3. Asam m oleat mem mbentuk sabbun jika dirreaksikan deengan basa dan sering digunakan sebaggai zat penggemulsi (em mulsifying aggent) pada makanan m daan dapat meemperbaiki keterrsediaan obat-obat yanng kurang laarut di dalam m air (Tarirrai 2005). A Asam oleat (Gam mbar 4a) yang merupakan surfaktan s alami a jugaa digunakkan dalam pembbentukan naanopartikel kitosan (Wahyono et al. a 2010). Poloksameer
188
(HO(CH2CH2O)80(C CH2CH(CH3)O)27(CH2C CH2O)80H)
meruupakan kopoolimer poliooksietilen-ppolioksiprop pilen nonionnik yang denngan rantai poliooksietilen bersifat b hidrofilik, seementara rantai r polioksipropileen bersifat hidroofobik (Cheen et al. 20004). Poloxxamer 188 (Gambar ( 4bb) yang biaasa disebut denggan pluronicc F 68 atau lutrol F 68 merupakan n surfaktan nonionik n yaang banyak diapllikasikan daalam bidangg farmasi sebagai s emu ulsifier, soluubilizer dann penstabil suspeensi dalam m bentuk doosis liquid oral, topiccal dan parrenteral. Penggunaan dalam m bentuk padat berpperan sebaggai wetting g agent, plasticizer, dan dapat meniingkatkan kelarutan k serta bioaviilabilitas paada obat yaang memiliiki tingkat kelarrutan yang rendah dalam air (Yeen et al. 2008). Peranaan penting poloxamer 188 atau pluronnic F 68 dallam sistem nanopartikeel yaitu sebbagai penstaabil sistem, menuurunkan diaameter partiikel dan inddeks polidisspersitas (M Memisoglu-B Bilensoy et al. 20006). Mettode Pembuatan Nanopartikel Nanopartikel dibuat dengan d tigaa teknik yaiitu dispersi polimer, poolimerisasi monoomer, dan proses gelasi ionik (Mohanraj & Chen 20006). Tekniik dispersi polim mer dilakukkan dengann beberapa cara diantaaranya metoode evaporasi pelarut dan metode m difuusi pelarut. Pada metode evaporasi pelarut polimer p dan obat yang digunnakan
maasing-masinng
dilarutkkan
dalam m
pelarut
organik
kemudian
11
ditambahkan surfaktan agar membentuk emulsi minyak dalam air, stelah itu dilakukan penguapan pelarut. Pada teknik polimerisasi, monomer di polimerisasi dalam larutan berair untuk membentuk nanopartikel. Kemudian suspensi nanopartikel dipisahkan dari zat penstabil dan surfaktan dengan menggunakan sentrifugasi. Pada teknik gelasi ionik dilakukan pencampuran antara polimer yang bersifat polikation dengan polianion. Menurut Tiyaboonchai (2003) nanopartikel dapat dibuat dengan empat metode. Metode tersebut diantaranya gelasi ionik, mikroemulsi, difusi emulsifikasi pelarut dan komplek polielektrolit. Metode yang berkembang luas adalah metode gelasi ionik (Tiyaboonchai 2003; Mohanraj & Chen 2006) dan metode pembentukan kompleks polielektrolit (Tiyaboonchai 2003). Pada metode gelasi ionik, dilakukan pencampuran polikation kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang mengakibatkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dan muatan negatif pada TPP. Beberapa peneliti yang menggunakan metode gelasi ionik kitosan dengan TPP antara lain: Kumar (2000) dalam pembentukan nanopartikel kitosan poli(etilen oksida), ukuran nanopartikel yang diperoleh berkisar 200–1000 nm. Wu et al (2005) melakukan pembentukan nanopartikel
kitosan
terisi
amonium
glisirrizinat
menghasilkan
ukuran
nanopartikel 20–80 nm. Proses homogenisasi pada metode gelasi inonik ini dilakukan dengan menggunakan pengaduk magnetik pada suhu kamar. Wahyono et al. (2010) melakukan proses homogenisasi material yang digunakan pada pembentukan nanopartikel dengan menggunakan metode ultrasonikasi. Sonokimia Spektrum suara (Sonic) yang memiliki frekuensi sangat tinggi disebut ultrasonik. Rentang frekuensi ultrasonik yaitu 20 kHz–10 MHz. Ultrasonik dibagi menjadi tiga golongan utama: frekuensi rendah (20–100 kHz), frekuensi menengah (100 kHz–1 MHz), dan frekuensi tinggi (1–10 MHz). Ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz – 1 MHz banyak digunakan dalam bidang kimia yang biasa disebut dengan sonokimia (Sonochemistry). Frekuensi ultrasonik diatas 1 MHz banyak digunakan dalam bidang kedokteran seperti pencitraan, analisis aliran darah, kedokteran gigi, sedot lemak, ablasi tumor, dan penghancuran batu ginjal (Schroeder et al. 2009).
12
Prinsip sonokimia sangat berkaitan dengan fenomena kavitasi akustik yaitu pembentukan, pertumbuhan, dan pecahnya gelembung yang terbentuk dalam medium cairan (Schroeder et al. 2009). Pada fenomena kavitasi suara ultrasonik yang menjalar di dalam medium cair memiliki kemampuan untuk membangkitkan gelembung atau rongga (cavity) di dalam medium cair tersebut. Ketika gelombang ultrasonik menjalar pada medium cairan terjadi siklus regangan dan rapatan. Turunnnya tekanan mengakibatkan terjadinya regangan sehingga membentuk gelembung yang akan menyerap energi dari gelombang ultrasonik, sehingga gelembung tersebut dapat memuai sampai ukuran maksimum dan akhirnya pecah (Hielscher 2005). Menurut Schroeder et al. (2009) pecahnya gelembung mengakibatkan terjadinya kondisi ekstrem yaitu kenaikan suhu lokal mencapai suhu 5000 K serta kenaikan tekanan mencapai 1000 atm dengan kecepatan pemanasan sampai pendinginan >1010 K/s. Kondisi ekstrem ini menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan kimia yang disebut dengan teori Hot Spot (Gambar 5). Kavitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: amplitudo, suhu, tekanan, konsentrasi dan viskositas (Hielscher 2005). Sedangkan menurut Gronroos (2010) faktor yang mempengaruhi proses kavitasi adalah: frekuensi, intensitas, pelarut, suhu, tekanan, penghancuran gas dan partikel, serta kelemahan pada alat ultrasonik. Kenaikan frekuensi ultrasonik mengakibatkan menurunnya pembentukan gelembung kavitasi. Dengan frekuensi tinggi maka periodenya lebih pendek, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk proses kavitasi tidak mencukupi. Pada frekuensi yang mendekati 10 MHz proses kavitasi tidak terbentuk (Gronroos 2010). Untuk ultrasonik seperti gelombang suara, panjang gelombang (λ) berhubungan dengan cepat rambat suara (Vs) dalam medium dan frekuensi (f) yang dinyatakan pada persamaan (1). = λ …………………………………………………….(1) Menurut Groonroos (2010) intensitas ultrasonik merupakan salah satu faktor penting pada proses kavitasi. Intensitas diartikan sebagai jumlah energi yang mengalir per luas area, yang dinyatakan dengan persamaan (2) berikut: =
……………………………………………………(2)
13
dimana E adalah energi dan Vs adalah cepat rambat suara. Hielscher (2005) menyatakan bahwa intensitas bergantung pada amplitudo (A), tekanan (P), volume reaktor (VR), temperatur (T), viskositas (η) dan lain-lain yang dinyatankan pada persamaan (3). [ /
] = (A[μ ], P[
], V [
], T[ C], η[cP], …….(3)
Tang et al (2003) melakukan proses ultrasonikasi pada kitosan-TPP dengan menggunakan ragam amplitudo (20, 40, 60 dan 80) selama (2, 5, 8 dan 10 menit), hasil yang diperoleh ternyata proses ultrasonikasi dapat menurunkan ratarata diameter partikel. Penelitian tersebut juga dapat membuktikan bahwa semakin meningkatnya amplitudo dan waktu pada proses ultrasonikasi mampu menurunkan rata-rata diameter partikel. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tsai et al. (2008), yaitu semakin lama proses ultrasonikasi pada kitosan-TPP diameter partikel yang diperoleh semakin menurun. Faktor lain yang akan mempengaruhi proses kavitasi, yaitu penambahan surfaktan dalam medium cairan. Surfaktan akan terakumulasi di bagian antarmuka antara gas dan cairan pada gelembung kavitasi yang akan menurunkan tegangan permukaan gelembung. Turunnya tegangan permukaan akan mengakibatkan bertambahnya kecepatan pembentukan gelembung. Namun, gelembung yang terbentuk tidak stabil dan akhirnya pecah menjadi ukurang yang lebih kecil di bandingkan gelembung dalam medium cairan tanpa penambahan surfaktan (Schroeder et al. 2009). Gelombang kejut yang dihasilkan pada saat ultrasonikasi dapat memisahkan gumpalan partikel dan terjadi dispersi sempurna dengan penambahan surfaktan sebagai penstabil (Hielscher 2005). Pada penelitian dengan efek ultrasonik banyak menggunakan peralatan yang berbentuk probe. Alat tipe probe ini merupakan alat yang paling akurat dan efektif
Gambar 5 Teori Hot spot kavitasi akustik.
14
untuk skala laboratorium karena alat ini dapat menghasilkan gelombang ultrasonik dengan intensitas tinggi yaitu 50 – 500 W/cm2 serta mudah dikontrol pada suhu ruang dan tekanan atmosfer. Peralatan komersial lainnya yaitu tipe cleaning bath yang memiliki intensitas rendah (~ 1 W/cm2). Oleh sebab itu peralatan ultrasonik tipe probe banyak dingunakan dalam pembuatan nanopartikel (Wahyono et al. 2010).