TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Jamur Busuk Pangkal Batang (G. boninense Pat.)
Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang (G. boninense ) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Basidiomycota
Class
: Basidiomycetes
Subclass
: Agaricomycetidae
Order
: Polyporales
Family
: Ganodermataceae
Genus
: Ganoderma
Species
: G. boninense
G. boninense yang menyerang tanaman kelapa sawit berdasarkan ciri-ciri fenotipik (morfologi) mempunyai morfologi basidiokarp yang beragam. Umumnya basidiokarp yang banyak ditemukan adalah sessile, yaitu basidiokarp tidak bertangkai, tubuh buah langsung menyatu dengan pangkal batang kelapa sawit (Gambar 1). Ganoderma juga memiliki tepi tubuh buah (basidiokarp) yang beragam, yaitu halus, bergelombang, dan kasar. Umumnya Ganoderma yang ditemukan memiliki tepi tubuh buah (basidiokarp) yaitu tepi tubuh buah halus, tidak bergelombang Permukaan bawah basidiokarpa berwarna putih gelap (Wicaksono et al., 2011).
Gambar 1. Tubuh buah G. boninense
Basidiospora Ganoderma adalah uniselular, haploid, berbentuk ellipsoid, bujur atau truncate. Pencirian Ganoderma yang menyerang pohon kelapa sawit yaitu massa spora yang dikutip kelihatan kekuningan. Panjang basidiospora adalah 7.1-13.8 μm dan lebar 4.8 – 8.3 μm (Gambar 2). Basidiospora yang haploid dihasilkan oleh basidium. Basidiospora bercambah menjadi miselium manokarion (Jing, 2007).
Miselium
Gambar 2. Mikroskopis G. boninense
Daur Hidup Penyakit
Ganoderma merupakan parasit fakultatif yang hidup secara saprofitik pada pangkal dan batang pohon yang menjadi sumber makanannya. Penyebaran Ganoderma terjadi melalui persentuhan akar tanaman sakit dengan tanaman sehat. Ganoderma yang dibiarkan di ladang akan menjangkit dan tumbuh ke dalam akar sehingga jangkitan sepanjang akar sampai ke pangkal batang pohon kelapa sawit (Jing, 2007). Penyakit menyebar ke tanaman sehat bila akar tanaman bersinggungan dengan tunggul-tunggul pohon yang sakit. Laju infeksi G. boninense akan semakin cepat ketika populasi sumber penyakit (inokulum) semakin banyak di areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini akan mengancam kelangsungan hidup tanaman kelapa sawit muda yang baru saja ditanam (Lizarmi, 2011). Gejala Serangan
Penyakit BPB dapat menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman tua, tetapi gejala penyakit biasanya baru terlihat setelah bibit ditanam di kebun. Gejala serangan pada tanaman belum menghasilkan terlihat daun menguning dan mongering serta nekrosis dari pelepah bawah terus ke pelepah atas, terjadi pembusukan pada pangkal batang, tanaman mengering dan mati sedangkan gejala pada tanaman menghasilkan adalah daun menguning pucat diikuti dengan akumulasi daun tombak. Pelepah daun bagian bawah menggantung dan bagian tengah tanaman kelapa sawit membusuk (Allorerung et al., 2010).
Faktor yang Mempengaruhi o
Jamur G. boninense dapat tumbuh secara teratur pada suhu tanah 40 C o
tetapi pertumbuhan jamur G. boninense terganggu pada suhu di atas 35 C o
(pertumbuhan optimum pada suhu 28 C) dan dalam waktu dua hari ke depan suhu o
tanah dapat mencapai 45 C (suhu maksimal). Kerugian dalam penanaman di awal biasanya masih rendah. Gejala serangan G. boninense biasanya terlihat setelah 1012 tahun kemudian (Coopper et al., 2011).
Saat ini, pertumbuhan penyakit G. boninense di perkebunan kelapa sawit terutama dipicu oleh generasi perkebunan. Semakin tinggi generasi perkebunan, semakin
parah
serangan
penyakit
hingga
menyerang
tanaman
belum
menghasilkan. Pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, perkembangan infeksi G. boninense cenderung meningkat, disebabkan oleh mekanisme pemencaran melalui basidiospora. G. boninense menyebar melalui kontak akar dari tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar atau batang sakit (Idris, 2008). Pengendalian Penyakit Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menghasilkan strategi pengendalian penyakit BPB yang paling menjanjikan yaitu dengan menerapkan pengendalian terpadu yang merupakan kombinasi dari pengendalian hayati yaitu perlakuan bibit dengan jamur antagonis (Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.) dan mikoriza, pemanfaatan tanaman yang toleran terhadap serangan Ganoderma, pembuatan parit isolasi untuk tanaman terinfeksi, dan pemusnahan inokulum
dengan cara membongkar tanah dan memusnahkan tunggul-tunggul serta akarakar tanaman terinfeksi kemudian dibakar (Lizarmi, 2011 ). Infeksi pada tanaman muda (umur 1–6 tahun) tanaman dimatikan dengan melakukan penyuntikkan. Pada daerah bekas tanaman sakit dibuat lubang besar berukuran 1m x 1m x 60cm kemudian lubang dibiarkan minimal selama 6 bulan, baru dilakukan penanaman dan pemberian 200 gr Trichoderma atau 400 gr Marihat fungisida. Tanah untuk menimbun kembali sisipan diambil dari top soil yang baru. Perlakuan yang sama juga diberikan pada tanaman muda yang terserang berat G. boninense. Di areal konversi, bila ada tanaman yang terserang G. boninense dibuat parit keliling pohon sejarak 2,5 m dari pangkal pohon sedalam 80 cm. Kemudian ditabur belerang ke dinding parit sebelah dalam sebanyak 3-4 kg/pohon (Susanto dan Agus 2008).
Biologi Trichoderma sp.
Menurut Tindaon (2008), taksonomi Trichoderma sp. adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Amastigomycota
Class
: Deutromycetes
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliacea
Genus
: Trichoderma
Spesies
: Trichoderma sp.
Gambar 3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. memiliki konidiofor bercabang - cabang teratur, tidak membentuk berkas, konidium jorong, bersel satu, dalam kelompok kecil terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru. Trichoderma sp. juga berbentuk oval, dan memiliki sterigma atau phialid tunggal dan berkelompok (Nurhaedah, 2002).
Koloni Trichoderma sp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi miselium yang masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau (Gambar 3). (Nurhayati, 2001). Koloni pada medium OA (20oC) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam waktu 9 hari, semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan
selanjutnya hijau redup terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat konidia. Konidifor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang terutama apeks dari cabang, dan berukuran (2,8-3,2) μm x (2,5-2,8) μm, dan berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus (Tindaon, 2008).
Mekanisme Antagonis Trichoderma sp. Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan cendawan Trichoderma sp. dapat terjadi melalui :
a. Mikoparasit (memarasit miselium cendawan lain dengan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga cendawan mati).
b. Menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, dan trichotoxin yang dapat
menghancurkan
sel
cendawan
melalui
pengrusakan
terhadap
permeabilitas membran sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat menyebabkan lisis dinding sel.
c. Mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan.
d. Mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Hifa Trichoderma spp. akan
mengakibatkan
perubahan
permeabilitas
dinding
sel
(Ismail dan Tenrirawe, 2010).
Mekanisme antagonis Trichoderma spp. terhadap patogen dapat terjadi melalui 3 cara yaitu persaingan baik ruang maupun nutrisi, antibiosis dengan menghasilkan toksin antara lain trichodermin dan asam sitrat serta menghasilkan enzim glukanase, dan kitinase yang dapat menghancurkan hifa patogen, dan sebagai mikoparasit yang hidup pada tubuh patogen dengan cara melilit hifa dari patogen. Lebih lanjut Mulat (2003) menyatakan bahwa dengan terpenuhinya berbagai macam unsur hara dan hormon tumbuh serta adanya interaksi antara mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman (Suzana et al., 2001).
Trichodermin
Jamur endofit Trichoderma dapat menghasilkan suatu senyawa aktif untuk patogen. Trichodermin merupakan anggota dari famili 4β – aceoxy - 12, 13epoxytrichothecene dan dapat menghambat Rhizoctonia solani. Untuk identifikasi morfologi biasanya ditumbuhkan pada media OA, PDA, dan SNA selama 7 – 14 hari pada suhu ruang 2930K di tempat terang. Pengamatan dan pengukuran Trichodermin secara mikroskopik di bawah mikroskop. Untuk menghasilkan metabolit, strain diinokulasi pada media PDA, dan diinkubasi selama 10 hari pada suhu 2980K di tempat gelap (Chen et al., 2008).
Trichodermin telah diteliti secara in vitro menunjukkan efek dari antibiotik, cycloheximide, sparsomycin, dan anisomycin pada sintesis protein
diarahkan oleh mRNA endogen. Trichodermin adalah inhibitor kuat dari sistem ini, meskipun tidak
ampuh sebagai sparsomycin dan anisomycin. Namun,
trichodermin adalah inhibitor yang berpotensi dalam transferase peptidil yang diukur dengan formasi dari fMet-puromycin, menghambat reaksi lebih kuat daripada anisomycin dan kurang kuat dari sparsomycin. Trichodermin tidak berpengaruh pada reaksi terminasi E. Coli. Fakta bahwa trichodermin menghambat transferase peptidil menunjukkan trichodermin yang mungkin menghambat pemutusan rantai dengan mengikat ke kompleks ribosom (Zhao et al., 2010).
Trichoderma menghasilkan antibiotic yang termasuk kelompok foranon yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa mikroba pathogen, diidentifikasikan dengan rumus kimia (3-2-hydoxyprophyl- 4-2-hexadienyl)— 5(5H)-furanon. Trichoderma sp menghasilkan
toksin Trichodermin. Toksin
tersebut dapat menyerang dan menghancurkan propagul yang berisi spora-spora pathogen disekitarnya. Jenis Trichoderma viridae menghasilkan antibiotic gliotoksin dan viridian yang dapat melindungi bibit tanaman dari serangan penyakit rebah kecambah (Wahyudi, 2011).
Heksakonazol
Heksakonazol adalah fungisida spektrum luas yang menghambat biosintesis ergosterol. Hal ini translokasi seluruh pabrik dan kontrol terutama Ascomycetes dan Basidiomycetes (Nordkanalstr, 2009).
Heksakonazol SC digunakan sebagai bahan fungisida pada umumnya diproduksi mengandung 2 persen (rnhn) dan 5 persen (m / m) dari heksakonazol. Dalam penyusunan standar ini, pertimbangan telah diberikan kepada ketentuan Insektisida Act, 1968 dan Peraturan dibingkai bawahnya. Namun, standar ini tunduk pada pembatasan yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan insektisida, dimanapun berlaku. Untuk tujuan memutuskan apakah persyaratan tertentu standar ini dipenuhi, nilai akhir, diamati atau dihitung, mengungkapkan tes atau analisis, harus dibulatkan sesuai dengan IS 2: 1960 'Aturan untuk pembulatan nilai numerik (revisi)', jumlah tempat signifikan dipertahankan dalam nilai dibulatkan harus sama dengan nilai yang ditentukan dalam standar ini (pitroda, 2006).
Struktur Heksakonazol Sumber : www.wikipedia.com