TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tegakan Hubungan kualitas tempat tumbuh
dengan pertumbuhan hutan tanaman Acacia
mangium
Kualitas tempat tumbuh merupakan penjumlahan banyak faktor lingkungan : kedalaman tanah, karakteristik profil, komposisi mineral, kecuraman lereng, arah lereng, iklim mikro, jenis tanah dan lain-lain. Faktor-faktor ini berturut-turut merupakan fungsi sejarah geologis, fisiografis, iklim mikro dan perkembangan suksesi (Daniel, Helms dan Baker, 1987). Sedangkan faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaaan tempat tegakan, mencakup bentuk lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi dengan dimensi tegakan. Peubah-peubah ini tidak perlu berupa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tegakan (Suhendang, 1990). Wilde (1958) menyatakan bahwa pada dasarnya produktivitas tanah hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor primer dan sekunder. Faktor-faktor primer ini terdiri atas kondisi umum iklim, topografi, drainase, batuan asal, tekstur tanah, profil tanah dan lain-lain ciri tanah. Sedangkan faktor-faktor sekunder antara lain serasah, simbiosis organisme, iklim mikro dan spesies tumbuhan.
Pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor
yaitu keturunan, lingkungan dan teknik pembudidayaan (silvikultur) (Kramer dan Kozlowski, 1960).
1. Faktor genetik pada hutan tanaman A. mangium
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perlu dipahami sehingga kita dapat melakukan manipulasi pertumbuhan tanaman agar dapat diperoleh hasil produksi yang menguntungkan.
Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang dapat
dimanipulasi yaitu faktor genetik dan faktor tanah. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama. Menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979) jenis-jenis pohon biasanya memperlihatkan keragaman dan ada perbedaan-perbedaan sifat. Dalam sesuatu jenis pohon dapat terjadi
6
keragaman geografis (antar provenance), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman antar pohon pada sesuatu tempat tumbuh dan keragaman di dalam pohon. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya keragaman genetik dari pertumbuhan tegakan pada lokasi penelitian adalah dengan menelusuri asal biji yang ditanam pada tegakan itu. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama. Asal benih untuk pembangunan HTI PT Musi Hutan Persada berasal dari Kebun Benih A. mangium di Subanjeriji. Kebun Benih Subanjeriji dibangun tahun 1980 dengan luas 600 ha dimana 300 ha ditanam dengan sumber benih berasal dari
Sabah, Malaysia yang merupakan provenans
turunan yang ditanam sekitar tahun 1968 - 1970 dengan asal benih dari Queensland, Australia dan 300 ha ditanam dengan sumber benih dari Australia. Tegakan benih dan ras lahan Subanjeriji inilah yang kemudian dijadikan sumber benih untuk pembangunan hutan tanaman A. mangium di seluruh Indonesia. Akhirnya pada tahun 1985 areal Subanjeriji itu ditetapkan menjadi tegakan benih (seed production area) yang pengelolaannya diserahkan pada PT Inhutani I (Simon dan Arisman, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik (DNA) untuk A. mangium sangat kecil (Konsultasi pribadi dengan Dr Iskandar Zulkarnaen S). Faktor geografis lokasi asal benih (provenansi) yaitu lintang, bujur dan ketinggian, tidak besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan provenasi A. mangium di Parung Panjang mengingat keadaan geografis asal benih tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan geografis Parung Panjang (Narendra, 1997).
Hasil penelitian di KPH Majalengka menunjukkan bahwa
pengujian pada lima provenansi A. mangium pada umur tiga tahun menunjukkan tidak berbeda nyata dalam hal tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, derajat kerusakan akibat serangan hama dan penyakit dan jumlah cabang (Santoso, 1992). Hasil penelitian Huriati (2001) menunjukkan bahwa provenansi A. mangium tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan diameter, berat kering total, nisbah pucuk akar dan kekokohan semai.
2. Sifat-sifat tanah
7
Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat dan topografi, dimana secara umum sangat sulit untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu melalui pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah. Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya.
Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur bagi
berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya. Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman (Tobing, 1995).
a. Sifat kimia tanah
Tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur hara yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama unsur-unsur hara. Unsur hara esensial dapat berasal dari udara, air dan tanah. Penelitian hubungan kualitas tempat tumbuh dengan peninggi tegakan A. mangium menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi yaitu umur dan kandungan K (Chaerudy, 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996) faktor yang mempengaruhi adalah umur, kandungan P, C organik, pH dan tebal lapisan A. Hasil penelitian Kusnadi (1998) pada hutan tanaman A. mangium secara tegas mendiagnosis unsur hara K dan P masing-masing sebagai hara yang paling defisien urutan pertama dan kedua sehingga direkomendasikan untuk memberi input baik berupa pupuk maupun pengapuran. Tanaman cepat tumbuh diduga memerlukan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara dari tanah akan cepat terkuras.
Pemberian pupuk fosfat (TSP) terbukti berpengaruh sangat
nyata terhadap pertumbuhan biomassa anakan A. mangium dan telah menyebabkan terjadinya
8
peningkatan pertumbuhan biomassa sebesar 34,2 % pada dosis 300 ppm (Kusumawati, 1998). Tanah masam umumnya dijumpai di daerah tropis dengan iklim basah. Kandungan Al, Fe dan Mn yang tinggi pada tanah masam merupakan salah satu penghambat pertumbuhan tanaman. Di samping itu pada tanah masam ketersediaan hara seperti : N, P, K, Ca, Mg dan hara mikro seperti boron (B), seng (Zn), dan molibdenum (Mo) bagi tanaman sangat rendah (Sanchez, 1976). Keracunan Al lebih sering terjadi pada lahan-lahan bereaksi masam. Pada kisaran pH 4,7 – 6,5 bentuk Al yang dominan adalah Al(OH)3 dan Al(OH)+2 (Bohn, Mc Neal dan O’Connor, 1979). Tan (1993) menyatakan tanah-tanah masam umumnya dijumpai di daerah iklim basah. Dalam tanah tersebut konsentrasi ion H+ melebihi konsentrasi ion OH-. Tanahtanah ini dapat mengandung Al, Fe dan Mn terlarut dalam jumlah besar sehingga dapat meracuni tanaman. Fosfor adalah hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P sebagai kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat. Jika N dapat ditambat dari udara, namun P hanya dari batuan, sedangkan air hujan sedikit sekali mengandung P (Soerianegara, 1973; Tan, 1993; Taylor, 1995). Kalium merupakan unsur hara terpenting ke tiga dimana umumnya tanah-tanah di Indonesia memiliki kandungan K yang rendah. Sedangkan Ca merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding sel, termasuk unsur hara tidak mobile sehingga akan terus diambil dari tanah . Kekurangan unsur hara yang umum sering terjadi adalah fosfor, tetapi pada tanah-tanah bergambut dan bertekstur kasar di daerah beriklim basah (humid) kekurangan N dan K kadang-kadang dapat merupakan pembatas yang nyata mempengaruhinya. Untuk mengatasi rendahnya kandungan hara perlu dilakukan pemupukan (Suparna dan Purnomo, 2004). Pemberian kompos bokashi pada tanah podsolik merah kuning secara nyata meningkatkan pertumbuhan A. mangium (Susilawati, 2000). Pemanenan hutan mempunyai resiko yang tinggi dalam mengurangi produktifitas lahan pada satu dan beberapa daur. Pemanenan hutan pinus di Minnesota, USA dan Ontario, Canada menyebabkan pemiskinan unsur hara N, P, K, Ca dan Mg (Binkley, 1987).
9
Hasil penelitian Waluyo (2003) menunjukkan bahwa unsur hara yang hilang pada hutan sekunder akibat pembakaran lahan dari aliran permukaan selama 3 bulan adalah 1.050,15 gram N/ha, 21,69 gram P/ha, 1.084,31 gram K/ha, 13,01 gram Ca /ha Ca dan 3,8 gram Mg/ha. Rata-rata produksi serasah A. mangium di KPH Majalengka adalah sebesar 9,34 ton/ha/tahun. Kontribusi hara dari serasah tersebut pada lahan hutan sebesar 83,1 kg N /ha/tahun, 2,8 kg P/ha/tahun, 21,35 kg K/ha/tahun, 54,18 kg Ca/ha/tahun dan 13,08 kg Mg/ha/tahun (Mindawati, 1999).
b. Sifat fisika tanah
Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi, drainase dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik. Keadaan sifat fisika tanah sangat mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan tekstur dan struktur tanah. Penelitian Soedomo (1984) menunjukkan bahwa sifat fisika tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan tegakan hutan, dan diyakini bahwa sifat fisika tanah lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia dan biologi tanah. Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yaitu tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A. mangium (Butarbutar, Mas’ud dan Suhada, 1993). Pertumbuhan tinggi A. mangium yang terbaik sampai dengan umur dua tahun didapat melalui pengolahan tanah total yaitu setinggi 6,83 m dan paling rendah pertumbuhannya dengan perlakuan land clearing yaitu sebesar 3,83 m. Pengolahan tanah akan memperbaiki sifat fisika tanah dan menekan pertumbuhan alang-alang sehingga tidak timbul terjadinya persaingan hara dan air dengan tanaman pokok (Kusnandar, 1996).
10
Hasil penelitian Soedomo (1984) pada tegakan pinus menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tegakan adalah : ketebalan lapisan A, penetrabilitas tanah, tekstur tanah, kadar air tersedia dan bulk density (limbak). Penelitian di tegakan jati menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tegakan adalah persentase lereng dan ketebalan horison A (Sjahid, 1981; Sunarto, 1989). Beberapa penelitian menunjukan bahwa tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan. Oleh karenanya, tekstur tanah merupakan salah satu faktor penentu kualitas tapak (site quality) yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah bonita. Jenis pinus lebih menyukai tanah bertekstur sedang sampai ringan, sedangkan jati lebih sesuai dengan tanah bertekstur berat (Soedomo, 1984). Faktor ketebalan tanah lapisan atas (top soil) merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan tanaman. Lapisan ini merupakan zona perakaran tanaman dan tempat hidup berbagai makro dan mikro organisme tanah. Lapisan atas (horison A) umumnya memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi, lebih subur dan memiliki sifat fisika tanah yang lebih baik dibandingkan lapisan lainnya (Soedomo, 1984). Kadar air tersedia adalah kondisi air pada kapasitas lapang (field capacity) sampai dengan kondisi titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah jumlah kandungan air di dalam tanah sesudah air gravitasi turun semua, sampai batas akar tanaman tidak mampu mengisap air tanah lagi. Menurut penelitian Ang, Maruyama, Mullins dan Seel (1997) tanaman A. mangium yang tumbuh pada tanah yang kekeringan
akan mempunyai fotosintesa lebih rendah
dibandingkan dengan yang tumbuh pada lahan yang basah.
c. Sifat biologi tanah
11
Seperti kebanyakan jenis polong-polongan A. mangium memiliki bentuk simbiose yang saling menguntungkan dengan bakteri tanah dari genus Rhizobium. Bakteri ini menembus akarakar muda di dalam permukaan tanah dan menggandakan diri dalam bentuk nodul yang membengkok pada permukaan akar. Di dalam nodul ini bakteri menyerap gas nitrogen dari udara dalam tanah dan memindahkan dalam bentuk nitrogen organik dan senyawa organik (Dulsalam, 1987; Cruz dan Yantasath, 1993). Beberapa pohon polong potensial yang dapat dikembangkan dengan bantuan Rhizobium diantaranya adalah A. mangium, Paraserianthes falcataria, Leucaena leucacephala dan lain-lain, yang jenis-jenis pohon tersebut secara teoristis laju pertumbuhannya dapat ditingkatkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium dapat
meningkatkan bobot kering dan jumlah bintil akar sebesar 162 persen dan pertumbuhan biomassa anakan tanaman sengon rata-rata sebesar 26 persen serta menyumbangkan unsur N ke tanah setara 100 kg/ha (Wasis, 1996).
Penanaman A. mangium pada lahan baru harus
memperhatikan peranan mikroorganisme.
Populasi mikroorganisme tanah paling banyak
umumnya dijumpai pada kedalaman tanah 0 – 10 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa masa depan hutan tanaman industri khususnya A. mangium sangat tergantung kepada sifat biologi tanah, sementara itu penelitian ini belum dilakukan pada skala lapangan. Umumnya bintil akar A. mangium berukuran besar, berbentuk panjang, berlekuk-lekuk dan kadang bercabang-cabang . Bintil akar tersebut tersebar di seluruh bagian akar baik di akar utama maupun akar cabang.
Apabila dipecah bagian tengahnya berwarna merah
kecoklatan yang menandakan bahwa bakteri Rhizobium yang berada di dalam bintil akar sel tersebut efektif dalam menambat nitrogen (Sumiasri et al, 1990). Inokulasi mikoriza dan Bradyrhizobium sp meningkatkan penambatan N (aktifitas nitrogenase) pada semai A. nilotica (Saravanan dan Natarajan, 2000). Pemberian inokulasi VA-mikoriza dan inokulasi Rhizobium dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan bobot kering total anakan A. mangium (Suwarto, 1991). Hasil penelitian Irawan (1997) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi cendawan endomikoriza (MVA) memberikan pengaruh nyata terhadap semua parameter pertumbuhan
12
yang diamati yaitu tinggi, diameter, berat kering total, jumlah panjang daun dan indeks mutu bibit semai A. mangium. Dekomposisi serasah A. mangium di lapangan umumnya berjalan sangat lambat. Laju dekomposisi serasah A. mangium dapat dipercepat dengan penambahan inokulum cendawan Trichoderma viride apabila kondisi lingkungannya mendukung. Nilai rasio C/N optimal dalam selang kritis antara 20 - 30 % dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat yaitu 8 minggu (Rohiani, 1996).
Fungsi dan Peranan Unsur Hara di Hutan Tanaman A. mangium
Unsus hara tanaman adalah bahan kimia yang dibutuhkan atau diserap oleh tanaman untuk proses pertumbuhan dan proses metabolisme. Unsur hara tersebut sangat penting karena menentukan kemampuan hidup tanaman. (Mengel dan Kirby, 1982). Bila salah satu atau beberapa unsur hara tidak berada dalam jumlah yang cukup atau salah satu unsur berlebihan sedangkan lainnya sangat kurang, maka tanaman akan menunjukkan gejala-gejala kekurangan unsur hara. Gejala kekurangan unsur hara cepat atau lambat akan terlihat pada bagian tanaman seperti pada daun, cabang, batang, bunga, buah bahkan pada seluruh bagian tanaman. Ada tanaman yang cepat sekali menunjukkan tanda kekurangan dan ada pula yang lambat (Fisher dan Binkley, 2000). Berdasarkan kebutuhan bagi tanaman maka unsur hara dibedakan menjadi dua yaitu unsur hara makro (macro nutrient) dan unsur hara mikro (micro nutrient). Unsur hara makro terdiri dari C, H, O, N, P, K, Ca, Mg dan S, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Mn, Cu, Zn, Mo, B, Cl da Fe.
1. Nitrogen (N)
Nitrogen merupakan unsur penyusun biomassa dimana secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan fase vegetatif, sehingga merupakan pembatas utama pertumbuhan
13
tanaman hutan (Tanner, Vitousek dan Cuevas, 1997; Anonymous, 2004; Majdi dan Ohrvik, 2004) . Secara umum senyawa organik di dalam tanaman akan mengandung N. Senyawa N dalam tanaman adalah asam amino, asam nukleat, enzim-enzim, bahan-bahan yang menyalurkan enersi seperti klorofil, ADP dan ATP. Tanaman tidak dapat melakukan metabolismenya jika kekurangan N untuk membentuk bahan-bahan vital tersebut (Kramer dan Kozlowski, 1960). Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur N pada daun sebesar 2,2 % merupakan batas defisiensi, sedangkan konsentrasi N pada daun sebesar 2,2 - 2,4 % masuk selang rendah dan konsentrasi N pada daun sebesar 2,5 - 2,7% masuk selang optimum. Menurut Kramer and Kozlowski (1961) konsentrasi N pada daun pada pohon jenis Tilia americana sebesar 2,32 % merupakan batas defisiensi. Pada kebanyakan tanaman pinus konsentrasi dibawah 10 - 12 mg/gram biomassa daun (1,0 - 1,2 %) merupakan indikasi terjadinya defisiensi unsur N. Sedangkan unsur hara konsentrasi P kritis bagi tanaman sekitar 10 persen dari konsentrasi N (Fisher dan Binkley, 2000).
2. Fosfor (P)
Fosfor adalah unsur hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P sebagai kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat dan umumnya sebagai pembatas pertumbuhan hutan tropik. Jika N dapat ditambat dari udara, tetapi unsur hara
P hanya dari pelapukan batuan, sedangkan air hujan sedikit sekali
mengandung P (Soerianegara, 1973; Taylor, 1995). Fungsi P yaitu mengatur pembelahan sel dan pembentukan lemak, albumin, nukleoprotein, asam nukleat, ATP, koenzim NAD dan NADP, untuk pembentukan buah, bunga dan biji, mempercepat kematangan tanaman, merangsang perkembangan akar halus dan akar rambut, meningkatkan kualitas hasil tanaman dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Meyer, Anderson dan Bohning, 1960; Devlin, 1977). P sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena P banyak terdapat di dalam sel tanaman berupa unit-unit nukleotida. Sedangkan nukleotida merupakan suatu ikatan yang mengandung P sebagai penyusun RNA, DNA yang berperan dalam perkembangan sel
14
tanaman (Meyer, Anderson dan Bohning, 1960).
Fosfor adalah penyusun fosfolipid,
nucleoprotein, dan fitin, yang selanjutnya akan banyak tersimpan dalam biji. P sangat berperan aktif dalam mentransfer energi di dalam sel, berfungsi mengubah karbohidrat dan meningkatkan efisiensi kerja kloroplas. Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur P pada daun sebesar 0,9 % merupakan batas defisiensi, sedangkan konsentrasi P pada daun sebesar 0,09 - 0,11 % masuk selang rendah dan konsentrasi P pada daun sebesar 0,12 - 0,16 % masuk selang optimum. Menurut Kramer and Kozlowski (1960) konsentrasi P pada daun pohon jenis Pinus sylvestris sebesar 0,08 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas defisiensi sebesar 0,08 0,10 %.
3. Kalium (K)
Kalium merupakan unsur hara terpenting ketiga dimana secara umum tanah-tanah di Indonesia memiliki kandungan K yang rendah.
Kalium diserap dalam bentuk K+
dan
merupakan unsur hara makro yang sangat penting bagi proses fisiologis. Bagian tanaman yang banyak mengandung K adalah batang, daun, buah dan akar. K bukan hara pembentuk organ tanaman, namun hara ini terdapat di dalam semua sel, yaitu sebagai ion dalam cairan sel. Inti sel juga mengandung K (Mengel dan Kirby, 1982). Fungsi hara K membantu pembentukan/asimilasi pati/zat arang, bila tanaman tidak sama sekali mengandung K,
maka asimilasi akan berhenti.
Bila tanaman mulai terjadi
pertumbuhan, maka K dengan cepat ditarik, karena K mudah bergerak atau ditranslokasikan ke bagian lain.
K juga berfungsi sebagai katalisator proses fisiologis tanaman, proses
metabolisme dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur hara, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit dan membantu perkembangan akar. K berfungsi mendorong aktivitas sebanyak 40 enzim dan membantu pembentukan protein dari asam amino (Meyer, Anderson dan Bohning, 1960; Geus, 1973; Mengel dan Kirby, 1982).
15
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur K pada daun sebesar 0,7 % merupakan batas defisiensi, sedangkan konsentrasi K pada daun sebesar 0,7 - 1,1 % masuk selang rendah dan konsentrasi K pada daun sebesar 1,2 - 1,7 % masuk selang optimum. Menurut Kramer and Kozlowski (1960) konsentrasi K pada daun pohon jenis Pinus strobus dan Pinus resinosa
sebesar 0,84 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas
defisiensi sebesar 0,29 - 0,84 % dan Picea abies dan Picea glauca batas defisiensi sebesar 0,18 - 0,21 %.
4. Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding sel, termasuk unsur hara tidak mobil sehingga kebutuhan hara oleh tanaman akan terus diambil dari tanah. Ca berfungsi bagi tanaman adalah untuk penyusunan dinding sel tanaman, sintesa pektin dalam lamela tengah dinding sel,
pembelahan sel dan membantu pertumbuhan dan
perpanjangan akar, membantu sintesis protein dan membantu pembentukan protein mitokondria.
Fungsi lain dari Ca adalah menambah perkembangan bunga dan batang
(Hutchinson, 1979), mempertahankan keutuhan membran yang membatasi sitoplasma, vakuola dan inti sel. Di bawah mikroskop elektron tampak bahwa sel-sel pada titik tumbuh tanaman yang kahat Ca tidak jelas lagi batas-batas antar selnya, membran pecah-pecah dan organelorganel dalam sel tidak jelas lagi bentuknya (Marschner, 1995). Mengel dan Kirby (1982) menjelaskan bahwa Ca yang terdapat dalam jaringan tanaman sebagai Ca
2+
yang bebas.
Persenyawaan terjadi sebagai deposit dalam sel vakuola. Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur Ca pada daun sebesar 1,5 % merupakan batas defisiensi, sedangkan konsentrasi Ca pada daun sebesar 1,5 - 2,9 % masuk selang rendah dan konsentrasi Ca pada daun sebesar 3,0 - 4,5 masuk selang optimum. Pada umumnya kekurangan unsur hara Ca dicirikan oleh berkurangnya pertumbuhan meristematik, terutama pada daun-daun yang paling muda. Daun-daun menjadi cacat dan klorosis, dimana pada tingkat yang lebih dini nekrotis terjadi pula pada pinggir daun, sehingga bentuk daun menjadi tidak normal (Geus, 1973; Hutchinson, 1979; Mengel dan Kirby, 1982; Bidwell, 1979 ).
16
Kalsium berguna untuk penguat dinding sel (lamela tengah) dan di dalam banyak tanaman, unsur ini terdapat sebagai kristal-kristal kalsium oksalat. Kalsium mempergiat pembelahan sel-sel meristem, membantu pengambilan nitrat dan mengaktifkan berbagai enzim. Di dalam daun yang tua terdapat lebih banyak kalsium daripada di dalam daun yang muda. Unsur hara Ca di dalam tubuh tanaman tidak dipindahkan (translokasi).
5. Magnesium (Mg) Sementara Mg merupakan unsur penyusun inti klorofil pada tumbuhan (Sanchez, 1976; Devlin, 1977; Bidwell, 1978), Mg diserap oleh tanaman dari larutan tanah sebagai ion Mg2+. Konsentrasinya dalam larutan hara selalu bervariasi antara 30 sampai 100 ppm, dengan sekitar 24 ppm merupakan level yang diperlukan kebanyakan tanaman. Kadar Mg dalam tanah berkisar 0,05 persen untuk tanah pasir dan 0,5 persen untuk tanah liat (Mengel dan Kirkby, 1982), karena itu menurut pendapat Bidwell (1979) kekurangan Mg tidak perlu terjadi. Jumlah yang lebih banyak ditemukan pada tanah liat, sebab Mg yang ada merupakan mineral ferromagnesian yang relatif mudah melapuk seperti biotit, serpentin, horblende dan olivin. Mineral tanah yang mengandung Mg antara lain MgCO3 atau dolomit (CaCO3MgCO3). Menurut Bidwell (1979), konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 % merupakan batas defisiensi, sedangkan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 - 0,29 % masuk selang rendah dan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,30 - 0,49 % masuk selang optimum. Kekurangan unsur hara Mg bagi pinus dapat dilihat pada daun jarumnya yang kuning dari ujung yang mengarah ke pangkalnya. Tanda-tanda selanjutnya terlihat pada daun jarum yang berwarna kuning sepanjang tahun, dan hanya sedikit yang berwarna hijau terutama di sekitar kuncup. Warnanya kemudian berubah menjadi kuning emas yang mengkilap (cemerlang). Mg berfungsi untuk pembentukan klorofil, sistem enzim dan pembentukan getah (Binns, et al, 1980; Mengel dan Kirkby, 1982). Dengan demikian warna kuning merupakan salah satu gejala kekurangan unsur Mg, dan secara umum terjadi pada daun tua (Bidwell, 1979).
17
Sifat Botanis, Pertumbuhan dan Biomassa Tegakan A. mangium Sifat botanis A. mangium termasuk sub famili Mimosoidea, famili Leguminosae. Sebelumnya nama spesies ini adalah Mangium montanum Rumph. yang kemudian diganti oleh C. L. Willdenow (Pinyopusarerk, 1993). Secara umum jenis ini dikenal dengan nama mangium, brown salwood, hickory wattle dan Sabah salwood (National Academy of Science, 1983), sedangkan jenis ini di Indonesia mempunyai nama asli Mangi-mangi Gunong (Ambon). Di beberapa daerah di Indonesia jenis ini dikenal dengan nama mangium. A. mangium termasuk jenis pohon, tingginya dapat mencapai 30 m dan diameternya dapat mencapai 90 cm atau lebih . Ranting kuat berbentuk segitiga tajam, yang disebut daun pada dasarnya bukanlah daun tetapi tangkai daun yang melebar dan berfungsi sebagai daun, disebut phyllodia. Daun yang sudah dewasa sangat besar dengan lebar 5 sampai 10 cm dan panjang 25 cm, berwarna hijau tua terdapat 4 atau kadang-kadang 3 buah tulang daun utama. Tulang daun utama berbentuk memanjang dan menyolok yang muncul pada ujung daun dan menyatu kembali pada pangkal daun, sedang tulang daun sekunder berbentuk jala tetapi tidak tampak jelas (National Academy of Science, 1983). Buah berbentung polong kering merekah yang melingkar ketika masak, agak keras, panjang 7-8 cm, lebar 3-5 mm. Benih mengkilap, lonjong 3-5 x 2-3 mm, dengan ari (funicle) kuning cerah atau orange yang terkait dengan benih. Terdapat 66.000 120.000 benih/kg. Umumnya kulit batang bagian bawah beralur longitudinal berwarna coklat terang sampai coklat tua (Davidson, 1982). Riap rata-rata tahunan adalah 20 – 46 m3 per hekter per tahun dengan daur 8 – 10 tahun. Pada lahan yang terganggu seperti bekas kebakaran, tanah lempung yang sudah kurus dengan dasar batuan vulkanis, tanah gersang bekas perladangan liar, lereng terjal, lahan alang-alang, jenis ini dapat memproduksi kayu rata-rata 20 m3/ha/tahun (National Academy of Science, 1983)
18
Jenis A. mangium secara umum pembiakannya dilakukan dengan menggunakan biji atau benih, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ini dapat dlakukan pengembangbiakan secara vegetatif yaitu melalui kultur jaringan (Hakim, 1999).
Penyebaran A. mangium secara alami tersebar di daerah Australia bagian utara, Irian Jaya (Papua) bagian Selatan (Fak-Fak, Manokwari, Sedai, Sepanjang Sungai Digul dan Merauke), di Kepulauan Aru (Pulau tragan dan Kepulauan Ngaibar) dan Maluku (Pulau Sulau, Taliabu, Teje dan Seram). Sedangkan menurut Nicholson (1981) jenis ini tumbuh secara alami di Australia Timur Laut, Papua Nugini dan Indonesia Bagian Timur(Maluku dan Irian Jaya) dan menyebar dari batas Irian Jaya (0 o – 50 o LS) sampai bagian Selatan Queensland, Australia (sekitar 19 o LS). Tegakan sisa yang cukup luas ditemui di daerah Daintree River (11 o LS), Heatlands (11 o LS) daerah Champ China (16
o
LS) dan Wenlock Nugini. Sedangkan menurut Awang dan
Taylor (1993), penyebaran A. mangium di Papua Nugini tersebar merata di daerah dataran rendah dari propinsi bagian Barat Papua Nugini, mulai dari daerah Selatan Danau Murray sampai ke pantai dan dari batas Irian Jaya sampai ke Fly River di daerah Balimo. Terletak pada garis 7o37’ – 8o59’ LS dan garis 141o09’ – 143 o 8’ BT. Tinggi dari permukaan laut 50 – 100 m pada bagian Utara dekat Boset.
Persyaratan tumbuh
A.
mangium tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh
dengan baik pada tanah yang miskin hara dan tidak subur, padang alang-alang, bekas tebangan dan mudah beradaptasi. Pada tanah yang jelek masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon cepat tumbuh lainnya (Siregar, Djaingsastro dan Satjapradja, 1991; Susanto, Nirsatmanto dan Susilowati, 1997). Di Sabah A. mangium dikembangkan pada lahan dengan pH 4,5 dan jenis tanahnya Entisol dan Ultisol.
Adaptasinya terhadap berbagai tipe lingkungan merupakan
keistimewaan dari jenis ini, sehingga patut diperhatikan pengembangannya dalam hutan tanaman
19
industri (Rahayu, Soetisna dan Sumiasri, 1991). Tanaman ini merupakan tumpuan dan harapan untuk perjuangan melawan kerusakan lahan dan hutan di daerah tropik (Soerjono, 1989). Berdasarkan pengamatan di daerah sebaran alam A. mangium di kelompok Hutan Tanjung Seram Maluku pada ketinggian 140 m dpl ada lima jenis tumbuhan bawah yaitu pakis kawat, rumput kuda, singa-singa, biroro, haleki, kusu-kusu dan talas hutan. Dari tumbuhan bawah tersebut ada dua jenis tumbuhan bawah yang dominan yaitu pakis kawat dan rumput kuda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanaman pakis kawat dan rumput kuda merupakan tanaman indikator bagi kesesuaian tumbuh A. mangium (Gintings, Sutisna, Purwanto, Mile dan Santoso, 1996). A. mangium untuk tumbuh dengan baik menghendaki suhu maksimum sekitar 31 - 34
o
C dan suhu minimum 22 - 25 o C serta curah hujan sekitar
1500 - 4000 mm/tahun. Tanaman ini pertumbuhannya akan lebih baik pada tempat-tempat yang terbuka (dapat penyinaran matahari penuh) (Sumiasri, Harmastini, Sukiman dan Karsono, 1990). Nicholson (1981) menyatakan bahwa A. mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tetapi jarang tumbuh pada tanah-tanah yang mempunyai lapisan padas, tumbuh baik pada tanah yang mempunyai batuan metamorfik dan granitik serta tanah datar jenis coastal dimana umumnya merupakan jenis batuan alluvium quartener. Sedangkan menurut National Academy of Science, (1983) jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah tererosi, tanah mineral dan tanah alluvial. Di Pulau Seram tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning, sedang di Sabah telah ditanam pada tanah Entisol dan Ultisol yang bersifat asam.
Hasil penelitian
Firmansyah (2001) menunjukkan A. mangium dapat tumbuh dengan baik pada tanah gambut yang disertai dengan penambahan pupuk daun dan pupuk NPK. Adaptasi dan perkembangan tanaman A. mangium pada lahan reklamasi bekas tambang batubara yang mempunyai sifat fisika dan kimia tanah yang marginal sampai umur 4 tahun 4 bulan menunjukkan pertumbuhan cukup baik (Tambubolon, Gintings dan Kurniati, 1996). Hasil uji coba penanaman A. mangium pada dua lokasi yaitu Darmaga Bogor dan Cikampek menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi pada umur 2 tahun di Darmaga, Bogor lebih baik, dimana pertumbuhan tinggi maksimal di Darmaga yaitu sebesar 6,16 m dan di Cikampek
20
maksimal sebesar 3,77 cm (Soemarna dan Subiakto, 1989).
Hal tersebut disebabkan
perbedaan curah hujan. Kegiatan pengolahan tanah dalam kegiatan penanaman A. mangium pada daur 1 dilakukan pihak PT MHP dengan mekanis, sedangkan pada daur 2 pengolahan tanah dilakukan oleh masyarakat melalui sistem tumpangsari dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada daerah yang rawan sosial (Alrasyid, Sumarhani dan Heryati, 2000; Djojosoebroto, 2003 b) . Pengolahan tanah pada daur 2 membutuhkan penanganan yang lebih intensif dengan cara mempercepat dekomposisi limbah penebangan dalam rangka land preparation daur kedua untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik (Djojosoebroto, 2003 b).
Pertumbuhan tegakan A. mangium
Pertumbuhan adalah menunjukkan total jumlah hasil sampai periode waktu tertentu, sedangkan dalam arti laju menunjukkan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya dinyatakan untuk setiap tahun. Riap adalah laju pertumbuhan tegakan dalam satuan m3/ha/tahun. Kurva pertumbuhan mahluk hidup secara ideal berbentuk sigmoid, dengan syarat matematis sebagai berikut, (a) melalui titik nol pada saat awal pertumbuhan (a = 0) dan mencapai titik nol pada akhir pertumbuhan (A = tak terhingga), (b) mempunyai titik belok (Q). Titik Q adalah titik belok kurva hasil, dicapai pada saat laju pertumbuhan maksimum dan (c) memiliki garis asimptot yaitu suatu garis yang bersifat tetap dan mendatar yang terjadi pada akhir pertumbuhan (Prodan, 1968; Suhendang, 1990). Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan tegakan dan hasil tegakan. Menurut Davis dan Johnson (1987), pertumbuhan tegakan adalah perubahan ukuran dari sifat terpilih dari tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu tertentu. Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai waktu tertentu. Perbedaan antara pertumbuhan dan hasil tegakan terletak pada konsepsinya yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan tegakan dan pemanenan untuk hasil tegakan. Pengelolaan hutan berada pada kelestarian hasil, apabila
21
besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus. Secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu. Tanaman A. mangium untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp) umumnya tidak dilakukan perlakuan penjarangan dan daur bisa diperpendek menjadi 6 – 8 tahun, sedangkan untuk kelas perusahaan kayu pertukangan sejak awal harus dilakukan secara intensif kegiatan wiwilan (pruning) dan penjarangan (thinning) dengan daur 10 tahun (Djojosoebroto, 2003 b). Produksi maksimum tegakan A. mangium dicapai umur sekitar 6 tahun, pada saat kurva riap tahunan berjalan (CAI) dan riap tahunan rata-rata (MAI) saling berpotongan (Fadjar, 1996). Jenis tanaman A. mangium beberapa literatur menyebutkan bahwa perkiraan riap volume sebesar 20 sampai dengan 30 m3 per ha. Dengan daur 7 tahun maka potensi per ha pada akhir daur berkisar antara 140 sampai dengan 210 m3 per ha. Pada kenyataannya beberapa data sulit untuk mencapai potensi tersebut, dimana rata-rata maksimal yang dapat dicapai adalah 100 m3 per ha. Beberapa perusahaan yang sudah panen menginformasikan bahwa rata-rata potensi hutan tanaman yang dapat dipanen sebesar 80 m3 per ha (Purnomo, 2002). Persen hidup tanaman muda A. mangium pada daur kedua tidak dipengaruhi oleh pemakaian lahan daur pertama (Kurnia dan Sianturi, 1997). Pembangunan hutan tanaman industri jenis A. mangium menunjukkan bahwa pemanfaatan tegakan hampir dilakukan seluruh bagian tegakan. Daun/serasah digunakan untuk media tumbuh persemaian, ranting dan cabang untuk pembuatan arang dan batang pohon untuk kayu pulp dan pertukangan (pada pemanenan akan dilakukan pembagian batang dimana kelas diameter di atas 20 cm untuk kayu pertukangan dan diameter di bawah 20 cm untuk pulp). Sehingga hasil tegakan yang dipanen untuk dimanfaatkan adalah biomassa tegakan tersebut. Menurut Mindawati (1999) pada setiap aktivitas pemanenan tegakan A. mangium perlu meninggalkan bagian-bagian tanaman selain kayu di lantai hutan hal tersebut untuk memperbanyak unsur hara yang dapat dikembalikan pada areal tersebut.
22
Biomassa hutan tanaman Biomassa sebagai jumlah bahan organik hidup dalam pohon berdasarkan ton kering oven per unit area (Brown, 1997). Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktivitas, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana et al, 1992). Secara umum biomassa dan pertumbuhan tegakan hutan dipengaruhi oleh interaksi antara tiga faktor yaitu keturunan (genetik), kualitas tempat tumbuh (lingkungan) dan teknik pembudidayaan (silvikultur). Satoo dan Madgwick (1982) menyatakan bahwa faktor iklim (curah hujan dan temperatur) mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon selain itu gradien iklim juga menyebabkan perbedaan laju produksi bahan organik. Selain curah hujan dan temperatur hal lain yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah kerapatan tegakan, komposisi tegakan dan kualitas tempat tumbuh. Lugo dan Snedaker (1974) menambahkan bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan.
23