3
TINJAUAN PUSTAKA Uterus yang normal harus berada dalam keadaan yang steril dan uterus yang sehat seharusnya mampu membersihkan dirinya sendiri dari infeksi yang temporer secara efisien. Pada periode pospartum, uterus sapi biasanya sangat lemah dan mudah dicemari dengan bermacam-macam organisme. Secara alami lingkungan uterus pospartum kembali steril pada kebanyakan mamalia setelah 25 hari (Anonim 2008). Adanya kontaminasi menyebabkan terjadinya penyakit pada uterus (Bonnett et al. 1991). Sebenarnya pada sapi yang uterusnya terinfeksi, bakteri terlihat berada dalam uterus tanpa berproliferasi menjadi suatu peradangan, sampai progesteron luteal turun meregulasi fungsi imun, dan menyebabkan suatu kondisi patologis (Lewis 2004). Infeksi uterus sering kali dihubungkan
dengan
Arcanobacterium
pyogenes,
Escherichia
coli,
Fusobacterium necrophorum dan Prevotella melaninogenicus (Dohmen et al. 1975; Studer dan Morrow 1978; Ruder et al. 1981; Olson et al. 1984; Bonnett et al. 1991; Bondurant 1999),
serta bovine herpesvirus-4 dan Corynebacterium
pyogenese dapat diidentifikasi sebagai salah satu mikroorganisme penyebabnya (Ball dan Peters 2004).
Endometritis Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus (Kasimanickam et al. 2005, 2006; Sheldon 2004, 2007) selama partus, membuat involusi uterus menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis (Javed dan Khan 1991; Kasimanickam et al. 2005; Foldi et al. 2006; Sheldon 2007; Dolezel et al. 2008). Tingkat kejadian endometritis di Indonesia cukup tinggi (20-40%) (Dirjennak 2008), rata-rata 1080% tergantung pada bervariasinya faktor ekternal dan internal saat melakukan metode diagnosa (Dolezel et al. 2008). Radang pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan
4
gangguan reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Ball dan Peters 2004). Berat tidaknya endometritis tergantung pada keganasan bakteri yang menginfeksi, jumlah bakteri dan ketahanan tubuh hewan penderita. Bentuk infertilitas yang terjadi antara lain matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (Ball dan Peters 2004; Anonim 2008). Suatu pendekatan terbaru menggolongkan endometritis dalam dua kelompok, yaitu endometritis klinis dan endometritis subklinis (Gilbert et al. 1998; LeBlanc et al. 2002; Kasimanickam et al. 2004). Endometritis klinis digambarkan dengan adanya purulen atau mucopurulen discharge yang dapat ditemukan pada bagian luar atau pada anterior vagina atau dengan diameter serviks lebih dari 7,5 cm setelah hari ke 26 pospartum (LeBlanc et al. 2002 dan Kasimanickam et al. 2006). Endometritis subklinis digambarkan dengan ukuran serviks ≤7,5 cm dan/atau cairan abnormal pada lumen uterus (Kasimanickam et al 2006) dan adanya poliymorphonuclear leukocytes (PMN) dalam sampel sitologi uterus dan/atau gambaran ultrasonografi dari cairan yang ada dalam lumen uterus setelah 21 hari postpartum (Gilbert et al. 1998; Kasimanickam et al. 2004). Gejala klinis endometritis sering tidak jelas, walaupun dilakukan pemeriksaan transrektal atau vaginal terutama jika peradangan bersifat akut. Endometritis kronis yang disertai dengan penimbunan cairan (hydrometra) atau nanah (pyometra), gejalanya akan lebih jelas, terutama pada saat induk berbaring, akan ada cairan yang keluar dari vulva yang berbentuk gumpalan nanah. Hal ini disebabkan karena uterus yang mengandung nanah atau cairan tertekan diantara lantai kandang dengan rumen. Gejala lain yang mungkin terlihat khususnya pada endometritis akut adalah suhu yang meningkat disertai demam, poliuria, nafsu makan menurun, produksi susu menurun, denyut nadi lemah, pernafasan cepat, ada rasa sakit pada uterus yang ditandai dengan sapi menengok ke belakang, ekor sering diangkat, dan selalu merejan. Pada pemeriksaan transrektal, uterus teraba membesar dan dindingnya agak menebal (Anonim 2008).
5
Diagnosa endometritis dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, palpasi rektal menggunakan alat USG terhadap organ reproduksi (Kasimanickam et al. 2006; Kim-Yun Jun et al. 2006) dan pemeriksaan histopatologi atau penanaman pada media agar dari biopsi endometrium dan pemeriksaan sitologi endometrium hewan penderita untuk menemukan agen infeksi (Ahmadi et al. 2005). Menurut Mc Dougall et al. (2007) deteksi endometritis dengan metricheck yang penggunaannya dimasukkan ke dalam vagina lebih sensitif dari pada menggunakan vaginoscopy. Oral et al. (2009) menyatakan pengamatan proses penyembuhan subklinis endometritis dapat menggunakan cytobrush untuk mengoleksi sampel endometrium uterus yang berguna untuk pemeriksaan sitologi. Sapi-sapi dengan temuan PMN >5% dalam sampel menunjukkan endometritis (Drillich et al. 2005). Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting untuk keberhasilan terapi penyakit ini (Lewis 1997; Sheldon et al. 2006). Endometritis yang berkelanjutan yang tidak disertai dengan terapi yang tepat dapat menyebabkan terjadinya pyometra.
Terapi Endometritis Infeksi uterus persisten mengakibatkan pengurangan performa reproduksi oleh suatu pengaruh langsung pada uterus dan gangguan fungsi normal ovarium (Sheldon et al. 2000), oleh karena itu terapi yang sesuai adalah suatu komponen penting dari suksesnya program manjemen reproduksi. Pengobatan awal ditujukan kepada upaya membuka serviks dan kontraksi uterus sehingga nanah dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa nanah dalam uterus, kemudian diobati dengan antibiotik dengan maksud untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pengaliran PGF2α kedalam uterus serta pemijatan secara manual juga merupakan terapi yang baik untuk endometritis dan pyometra (Cuneo et al. 2006). Palmer (2003) menyatakan bahwa metritis yang terjadi setelah pospartum biasanya diterapi dengan menggunakan antibiotik dan hormon baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi. Antibiotik biasanya diberikan secara sitemik atau infusi ke dalam lumen uterus dan kadang-kadang pemberian bahan dan cairan
6
anti-inflamasi secara intra vena perlu juga dilakukan, karenanya dasar pemikiran dari terapi endometritis secara luas telah banyak dibahas dan idealnya terapi harus dapat mengeluarkan bakteri yang merugikan bagi uterus tanpa merusak uterus atau merusak mekanisme pertahanan tubuh (Bretzlaff 1987; Sheldon dan Noakes 1998). Sejumlah terapi yang diberikan mencakup pemberian secara parenteral atau infusi antibiotik secara intra uteri (i.u) dan pemberian PGF2α secara intra muskular (i.m) (Gustafsson 1984; Steffan et al. 1984; Thurmond et al. 1993; Etherington et al. 1994, 1998; McDougall 2001; LeBlanc et al. 2002; Kasimanickam et al. 2005).
Antibiotik Di Indonesia berbagai antiseptik dan antibiotik telah digunakan secara intra muskular dan intra uteri untuk terapi endometritis dan pyometra. Tujuan dari pemberian berbagai bahan antiseptik dan bahan lainnya yang diinfusi ke dalam uterus adalah untuk membunuh bakteri, meningkatkan mekanisme pertahanan uterus atau meningkatkan tonus uteri dan aliran darah (Palmer 2003). Pengobatan dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan antiseptik ke dalam uterus seperti larutan kalium permanganat yang ringan, larutan yodium, lugol atau NaCl fisiologis. Infusi iodine saline juga sering dilakukan, tetapi beberapa penelitian menunjukkan penggunaannya berpotensi berbahaya bagi performa reproduksi (Palmer 2003). Infusi sejumlah kecil 50-100 ml dari 20% polyvinylpyrrolidoneiodine (povidone-iodine) sebagai terapi rutin 30 hari postpartum berefek merugikan bagi sapi penderita endometritis dibanding dengan yang tidak diterapi (Pugh et al. 1994). Tidak diketahui kenapa infusi bahan tersebut menyebabkan peningkatan tonus uterus tetapi tidak membawa efek yang bagus untuk involusi uterus dan terapi pada metritis (Palmer 2003). Antibiotik seperti penisilin, streptomisin, teramisin, kloramfenikol dan lain-lain digunakan untuk membunuh bakteri penginfeksi. Aminoglycosida hanya efektif membunuh bakteri aerob tidak pada bakteri anaerob pada uterus pospartum. Menurut Pasley et al. 1986; Smith dan Risco. 2002 aminoglycosida dan sulfonamid dapat membuat jaringan menjadi mati (nekrotik), penisilin dan cephalosporin (Smith dan Risco 2002) hanya bagus bekerja pada 30 hari pertama
7
pospartum karena banyak organ memproduksi inactivating (β-lactamase) enzimes. Sreptomisin dan tetrasiklin (Pasley et al. 1986) membuat banyak iritasi, karenanya tidak digunakan secara intra uteri. Semua antibiotik yang telah digunakan mempunyai efek negatif pada fungsi leukosit dan resiko kelukaan lebih lanjut pada uterus (Pasley et al. 1986 ; Smith dan Risco 2002). Menurut Brander et al. (1991) gentamicine lebih aktif dibanding jenis aminiglikosida lainnya dalam melawan bakteri dan penggunaannya selalu dikombinasikan dengan golongan antibiotik lainnya. Kombinasi gentamicine dan flumequine bertindak secara sinergis terhadap berbagai infeksi yang disebabkan oleh gram-positif dan negatif. Gentamicine bersifat bakterisida, berikatan dengan subunit 30S ribosom yang terdapat pada kebanyakan bakteri gram-negatif sehingga mengganggu sintesis protein (Brander et al. 1991), sedangkan flumequine membunuh bakteri dengan jalan menghalangi kerja enzim untuk transkripsi dan replikasi DNA (Drlica dan Zhao 1997). Pengobatan dengan antibiotik harus memperhatikan bahwa penggunaan antibiotik secara terus menerus dari waktu ke waktu dapat menyebabkan resistensi terhadap jenis bakteri tertentu, selain itu juga menyebabkan adanya residu antibiotik dalam air susu dan daging (Chapwanya 2008).
Prostaglandin Prostaglandin termasuk golongan lemak aktif dan merupakan asam hidroksil yang tidak jenuh terdiri dari 20 atom karbon. Asam arachidonat adalah asam esensial yang merupakan prekursor dari prostaglandin yang berhubungan erat dengan produksinya (Hafez dan Hafez 2000). Prostaglandin termasuk dalam hormon reproduksi primer yaitu hormon reproduksi yang secara langsung terlibat di dalam berbagai aspek reproduksi (Toelihere 1981). Prostaglandin pertama kali ditemukan pada semen manusia yang dihasilkan oleh kelenjar prostat (Heath dan Olusanya 1985). Dalam tubuh hewan, biosintesis prostaglandin terjadi di dalam membran sel sebagai hasil rangsangan yang mengaktifkan enzim fosfolipase, sehingga menyebabkan fosfolipid melepaskan prekursor prostaglandin, terutama asam arachidonat yang kemudian dikonversikan menjadi prostaglandin yang spesifik di dalam jaringan (Frensond 1992).
8
Prostaglandin F2α dihasilkan oleh endometrium uterus dan kelenjar vesikular (Senger 2003). Pada awal periode pospartum PGF2α dihasilkan oleh karunkula-karunkula (Smith dan Risco 2002; Frazer 2001). Pengaruh PGF2α pada organ reproduksi hewan betina yaitu memperlancar sekresi hormon gonadotropin, ovulasi, transpor sperma, regresi korpus luteum, proses kelahiran, mencairkan sumbat serviks dan menyebabkan kontraksi otot polos, karena itu prostaglandin banyak digunakan untuk sinkronsasi berahi, menanggulangi korpus luteum persisten, kawin berulang, anestrus, dan subestrus. Menurut Frazer (2001) dan Smith dan Risco (2002) dasar pemikiran penggunaan PGF atau analog PGF pada periode pospartum yang cepat terutama dalam hal peningkatan tonus uterus baru akan berfungsi jika ada jaringan luteal pada ovarium. Pemberian prostaglandin menyebabkan regresi korpus luteum dan pengurangan konsentrasi progesteron plasma (Turner dan Bagnara 1971; Hafez dan Hafez 2000). Penggunaan prostaglandin terutama PGF2α sebagai terapi endometritis dan pyometra didasarkan pada efek luteolisis. Lebih dari itu pemakaian PGF2α menyebabkan relaksasi serviks dan pengeluaran nanah dari uterus (Hirsbrunner et al. 2000, 2003). Uterus yang berada di bawah pengaruh kerja hormon estrogen, lebih peka ke arah infeksi, karenanya penggunaan PGF 2α dapat menyediakan lingkungan uterus yang resisten terhadap kuman (mikrobial) dan meningkatkan aktifitas pertahanan tubuh pada mekanisme fagositosis (Wulster et al. 2003). Menurut Akhtar et al. (2009) penggunaan PGF2α akan lebih efektif dibanding estradiol untuk terapi endometritis tingkat pertama. Di USA, injeksi secara intra muskuler dari PGF2α lebih disukai sebagai terapi endometritis dan pyometra pada sapi (Lewis 1997). Namun demikian terapi secara intra uteri dan sistemik antibiotik lebih umum digunakan di USA dan negara-negara lain (Chenault et al. 2001). Falkenberg dan Heuwiser (2005) menyatakan bahwa pemberian PGF2α akan sangat efektif dilakukan dengan interval 14 hari pada kasus endometritis berat setelah hari ke empat dan minggu keenam pospartum.
9
Ultrasonografi Peralatan instrumentasi ultrasonografi modern telah tersedia dalam berbagai varian, dan memungkinkan bagi sebagian besar manusia untuk mengoperasikannya dengan mudah, namun demikian harus disertai dengan pemahaman yang baik terhadap sifat fisika ultrasonografi dan interaksi fungsi peralatan dengan jaringan untuk memperoleh hasil yang baik. Kualitas gambar yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan seorang sonographer (Goddard 1995). Diagnostik ultrasound menggunakan prinsip pulse-echo yang dapat menghasilkan gambar pada tayangan scanner yang berhubungan dengan accoustis impedance atau resistensi jaringan yang dijumpai gelombang ultrasound. Ultrasound tidak dapat berpindah melalui udara (acoustic barrier). Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang (Goddard 1995). Menurut Barr (1988), terdapat tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu: 1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. 2. hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada sekelilingnya, contohnya jaringan lunak. 3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang contohnya cairan. Ultrasonografi dengan menggunakan tranduser 5 MHz merupakan alat yang tepat dan akurat untuk memperlihatkan gambaran uterus dan ovarium, sehingga baik digunakan sebagai sarana/alat untuk pengamatan proses penyembuhan organ reproduksi hewan betina (Kasimanickam et al. 2004, 2005, 2006 ). Gambaran USG serviks uteri dapat berupa suatu gambaran yang hypoechoic (abu-abu) dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic
10
yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding serviks. Korpus uteri biasanya terlihat dalam axis yang panjang dengan gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium tetapi tidak berbeda jelas antara lapisanlapisan muskulusnya.
Gambar.1 Perangkat USG.
Secara cross-sectional, kornua uteri akan terlihat dengan gambaran lapisan luarnya yang hypoechoic, dikelilingi oleh cincin yang hitam, berisikan pelindung vaskular, dan lapisan longitudinal, sirkular dan obligat dari miometrium, dan secara longitudinal pada kornua terlihat gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium dan lapisan-lapisan muskulus. Folikel terlihat sebagai suatu lingkaran/oval yang anechoic, dan korpus luteum (CL) terlihat sebagai suatu lingkaran/oval yang hypoechoic dengan gradient warna hitam sampai putih (Goddard 1995).