TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Abaka ,4baka (Musa textilis Nee) adalah tanaman sejenis pisang yang termasuk dalam genus Musa, suku Musaceae, bangsa Zingiberales dan tergolong tanaman morlokotil (Wardlaw 1972).
Tanaman ini merupakan tanaman asli Filipina,
khu:susnya dari Pulau Bicol, Visayas, dan Mindanao yang telah dikenal dan dikembangkan sejak tahun 1519. Tanaman abaka terdapat juga di daerah di luar Filip~~na, misalnya di Sabah Serawak, di Kepulauan Sangihe Talaud Sulawesi Utara, dan di India. Bukti adanya plasma nutfah tanaman abaka di Pulau Sangihe yaitu tanaman ini sudah lama digunakan sebagai bahan tenunan yang disebut 'kofo', hanya tidak pernah dikembangkan secara komersial. ili Indonesia, tanaman abaka sudah di tanam secara komersial sejak tahun 1905
yaitb~di perkebunan Jawa dan Sumatera, pada tahun 1911 telah dapat diekspor 200 ton serat abaka.
Pada tahun 1916, di daerah Besuki Jawa Timur terdapat
pertanaman abaka seluas 200 ha, namun pada waktu itu komoditi ini kurang menguntungkan.
Di Sumatra Timur dan Lampung juga pemah diusahakan
pertanaman abaka.
Di daerah Banyuwangi terdapat perkebunan sisa jaman
Belanda dari tahun 1928 yang sampai sekarang masih mempunyai tanaman seluas 300 iha. Pada tahun yang sama juga dibuka perkebunan abaka di Sumatra Selatan,
Kalimantan, dan Sulawesi. P,baka mempunyai batang dan daun yang lebih ramping dari pisang biasa. Bata~ngnyamerupakan batang semu, terdiri dari 12-25 upih daun yang saling
menutupi. Tingginya dapat mencapai 3.5-7.5 m dalam waMu 30 bulan, dengan diameter batang antara 12-30 cm. Setiap upih daun disusun oleh tiga lapisan, yaitu lapisIan teduar mengandung serat yang kuat, kasar dengan panjang 1.5-3 m yang disetbut Wuxy" dimana serat "Manila Hempndihasilkan; lapisan tengah, mengandung sejum!eh kecil serat putih yang lebih lunak dari pada lapisan terluar dengan daya rentang serat yang rendah; dan lapisan dalam yang tidak mengandung serat (DAAPDP 1988). F'ada tepi daun terdapat garis hitam yang merupakan pembeda antara pisang bias3 dan abaka. Abaka mempunyai daun yang lebih sempit dan meruncing pada bagiisn pucuk. Bunga abaka mirip dengan pisang pada umumnya, tetapi buahnya lebih kecil dan tidak dapat dikonsumsi. Tandan dan rangkaian buah abaka lebih pendek, berwama hijau, panjangnya sekitar 5-8 cm dengan penampang sekitar 2.5 cm (PCARRD 1977; Wardiyati 1999). Jenis abaka yang tumbuh di Filipina sekiiar 100 varietas (PCARRD 1988). Menl~rutHaroen (1999), terdapat tiga varietas tanaman abaka yang dibudidayakan di lntlonesia yaitu: varietas Bongolanon, Manguindanao dan Tangongon. Tanaman abaka tumbuh baik di daerah dengan ketinggian di bawah 500 m di atas permukaan laut, suhu 20' dan 25' C, rata-rata curah hujan 2000-3500 mm per tahun (DAAPDP 1988) dan kelembaban 78-88% (PCARRD 1977).
Penyakit Layu Fusarium Penyaki layu Fusarium disebabkan oleh jamur F. oxyspomm f. sp cubense yang merupakan cendawan terbawa tanah yang dapat bertahan lama di dalam tanah
dalam struktur klamidospora yang bersifat saprofi pada sisa-sisa tanaman yang kernudian merupakan sumber inokulum yang dapat menyerang tanaman lain. Pemyakit ini dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman saki yang ada disekitamya, dapat juga melalui bibit dan tanah yang terinfeksi (Bilgrami dan Dube 1976; Agrios 1988). Gejala awal tanaman yang terinfeksi adalah berupa bercak kekuningan atau garis-garis pada bagian bawah daun pertama atau kedua. Wama kekuningan akan berkembang disepanjang tepi daun dan menyebar ke arah tulang daun yang kemudian menjadi coklat dan mengering. Apabila terjadi serangan berat tangkai f
dautl patah disekeliling batang semu, kadang-kadang lapisan luar batang semu juga merr~belahdimulai dari permukaan tanah (Wardlaw 1972; PCARRD 1977; Ploetz et
a/. 1!394). C3ejala yang paling khas dari penyakii ini adalah gejala dalam yaitu bila pangkal batamg dibelah membujur akan terlihat garis-garis coklat atau h i m menuju ke semua arah, dari bonggol ke pangkal dan tangkal daun melalui jaringan pembuluh. Gejala infeksi lanjut akan terlihat pada bonggol. Bonggol menjadi berwama merah gelap atau merah kecoklatan. Tunas yang tumbuh pada bagian bonggol yang terserang akan berwama kuning atau merah (PCARRD 1977). Parenkhim pada awal~iyatidak terserang, tetapi setelah gejala sekunder timbul pembusukan. Berkas pembuluh akar tanaman saki umumnya berwama hitam dan membusuk (Wardlaw 1972; DAAPDP 1988). Tandan buah yang terserang oleh F. oxyspomm akan terlihat beiwama kuning sampai merah pada jaringan pembuluh tandan. Gejala daun menguning dan layu
serta batang semu pecah akan terlihat setelah 2-6 bulan tanaman terinfeksi. Daun yansl menguning pada tanaman sehat dapat dibedakan dengan tanaman yang terinfeksi sekitar dua minggu sebelum gejala penyakit layu Fusarium yang lebih nyata muncul (Wardlaw 1972). F'enyakii layu Fusarium disebabkan adanya pertumbuhan miselium di antara jaringan inang.
Patogen mampu menghasilkan enzim, toksin dan polisakarida
dalaln jaringan inang.
Toksin menyebabkan kerusakan pada permeabilitas
merrlbran s d tanaman yang dapat mengakibatkan kematian sel. F'atogen yang ada di tanah akan masuk ke dalam akar melalui lenti sel akar. Patogen berkembang sangat cepat disepanjang akar dan menghasilkan miselium. Kemudian miselium masuk ke dalam pembuluh xilem melalui noktah dan menghasilkan mikrokonidium. Spora ini dapat terbawa oleh aliran zat cair ke atas, tementi dan tersangkut pada dinding sel jaringan pembuluh xilem dan berkecambah membentuk miselium. Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel jaringan xilem dan menyebabkan penyumbatan pembuluh. Selain itu adanya sekresi berupa massa koloidal serta mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat cair menjadi terhambat sehir~ggatejadi proses penurunan laju aliran air dalam pembuluh dan akhimya menimbulkan kelayuan (Agrios 1988).
Metabolit yang Terdapat dalam Ekstrak F. oxyspomm
Mletabol'i yang disintesis oleh F. oxyspomm antara lain zat pengatur tumbuh dari golonigan auksin, asam fusarat dan enzim pektolitik. Auksin yang disintesis oleh F.
oxyspomm adalah asam indol-3-asetat (IAA). Menurut Agrios (1988), meningkatnya
kandungan IAA menyebabkan peningkatan plastisitas dinding set sehingga pektin, selulosa dan protein penyusun dinding sel lebih mudah dilewati dan tejadi perombakan oleh enzim-enzim yang disekresi patogen. Selain itu kandungan IAA yang tinggi menyebabkan peningkatan laju respirasi pada jaringan yang terinfeksi dan mempengaruhi permeabiliis sel sehingga terjadi peningkatan transpirasi. Gaumann (1957) dan Davis (1969) menyatakan bahwa asam fusarat adalah penyebab penyakit layu.
Menurut Page (1959) dan Vesonder dan Hessettine
(19811), asam fusarat dapat mempengaruhi fungsi organel, protein atau enzim tertentu dari sel tanaman seperti mitokondria sehingga mempengaruhi respirasi, menghambat enzim kristalin katalase, dan mengganggu membran sel yang dapat mengakibatkan kebocoran set. FZusariummenghasilkan enzim pektolitik yaitu pektinmetilesterase, depolimerase atau poligalakturonase, pektin transeliminase
(Gothoskar 1955; Trione 1960;
Heitefuss et a/. 1960), dan enzim selulase (Waggoner dan Dimond 1955; MacHardy dan Beckman 1981). Enzim-enzim pektolitik memecah bahan pektin dalam dinding set
pembuluh kayu dan
masuk
ke
dalam
dinding
parenkhim xilem.
Pektinmetilesterase memegang peranan penting penyebab penyumbatan pada pembuluh dan pencoklatan (Winstead dan Walker 1954). Enzim tersebut dapat mewlotong metil pada rantai pektin dan menghasilkan asam pektat. Depolimerase mem~ecahrantai asam pektat menjadi poligalakturonida. Fragmen-fragmen asam pektat masuk ke dalam pembuluh kayu dan membentuk massa koloidal yang dapat menyumbat pembuluh.
Berkas pembuluh menjadi coklat karena fenol yang
dilepaskan dan mengalami polimerisasi menjadi melamin yang berwama coklat oleh sisterri fen01 oksidase tumbuhan inang. Wama wklat tersebut merupakan ciri khas pada penyaki layu Fusarium (Gothoskar et a/. 1955; Waggoner dan Dimond 1955; MacHardy dan Beckman 1981; Agrios 1988).
Asam Fusarat Aaam fusarat pertama kali diisolasi oleh Yabuta, Kambe dan Hayashi pada tahun 1934, merupakan produk metabolit yang dihasilkan oleh jamur Fusarium
hetert~spo~m, Nee. Jamur ini bersifat sapmfit atau non spesifik inang pada rumput, ape1 clan tanaman lain. Tahun 1952 Gaumann, Naef-Roth dan Kobel menemukan asam fusarat sebagai toksin penyebab layu pada F. lycope~sici,F. vasenfectum Alk dan G;ibberella fujikuroi (Saw) Wr (Gaumann, 1957). S w r a kimia, asam fusarat disebut asam piridine karboksilat (5 butil asam pikolir~at)dengan forrnulasi CloHI3O2N dan mempunyai berat molekul 179. Asam fusarat mumi mempunyai titik lebur 98°-1000C, tetapi bila mengandung asam dehidlFofusaratmempunyai tiik lebur di atas 1Og°C. 'Pads jamur tertentu yang menghasilkan asam fusarat seperti G. fujikuroi, filtrat
menyebabkan klorosis pada daun muda tunas tomat yang tidak ditemukan pada perwbaan layu dengan asam fusarat mumi. Ekstraksi dan pemumian dari filtrat dapat menghasilkan asam dehidrofusarat mumi (5 butil asam enikpikolinat) dengan forrnulasi CloHI1O2N,
berat molekul 177, dan mempunyai tiik lebur 118-120'~.
Asam dehidrofusarat dapat berubah menjadi asam fusarat melalui proses hidrogenasi dengan menggunakan asam asetat glacial (Gaumann, 1957).
Asam fusarat dapat diperoleh dari filtrat pada pH 4 dan diekstrak dengan etil asetat. Ekstrak etil asetat dievaporasi dan residu yang diperoleh dilarutkan dalam sedikit air kemudin dibuat alkalin dengan menggunakan bikarbonat pada pH 8-8.5. Pemurniaan dilakukan dengan cara diekstrak dengan eter kemudian dikristalkan (Gaurrlann, 1957).
Gejala~akibat asam fusarat Jika tanaman tomat ditanam pada media yang mengandung
M asam
fusarat, gejala pertama kali teQadipada batang kemudian pada daun. Pada batang,
pembuluh vaskular mengalami kerusakan, mengkerut berwama abu-abu hijau terang dan secara gradual menyebar ke petiol. Pengkerutan pada batang dan petiol adalatl umum tejadi akibat asam fusarat, kemudian petiol mulai membengkok. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, seluruh jaringan pada batang melemah sehingga batang menjadi kurus. Gejala terlihat empat jam setelah kontak dengan toksin dan setelalh dua hari perkembangan gejala menjadi sempuma. Pa~aadaun dari tunas tomat, munculnya gejala lebih lambat dari batang. Daun yang 1.erserangterdapat bercak-bercak yang tidak beraturan yang berukuran kecil, berwarna abu-abu hijau dan transparan, kemudian nekrosis berkembang sepanjang jaringan daun. Setelah 24 jam dari saat inokulasi, daun menjadi keriting dan layu.
Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan yang dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain
regenerasi tidak langsung, kultur sel tunggal atau kultur protoplas (Earle dan Gracen 1985; Kwang dan KO 1986; Van den Bulk 1991). Ahloowalia (1986) menyatakan bahwia keragaman somaklonal yang terjadi dapat berupa defisiensi klorofil, ketahanan terhadap penyaki atau kadang-kadang muncul keragaman yang sebelumnya tidak pernah ada di alam. Keragaman dapat juga terjadi pada sifat tinggi tanaman, ketebalan batang, luas dan bentuk daun, vigor tanaman, pembungaan, dan fertilitas. Manurut D'Amarato (1986) dan George dan Sherrington (1984), keragaman somalklonal tejadi karena perubahan genetik yang meliputi perubahan gen atau kromosom yang terjadi pada saat induksi kalus atau selama pertumbuhan sel dan jaringan in vitm. Earle dan Gracen (1985) menyatakan bahwa perubahan genetik dapat menimbulkan perubahan penampilan, baik untuk perubahan sifat yang menguntungkanataupun merugikan. Mutasi secara umum dibedakan dalam dua kelompok, yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutasi alami terjadi secara spontan dan berkaitan dengan faktorfaktor lingitungan. Mutasi alami terjadi secara lambat, tetapi berlangsung secara terus-menerus sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengakumulasikan mutali dalam populasi alami.
Menurut Micke et a/. (1987) mutasi secara alami
merupakan sumber keragaman tanaman yang sangat berguna terhadap populasi, dan berperan dalam menimbulkan keragaman genetik yang berguna untuk pemuliaan tanaman yang diperbanyak secara vegetatii. Mutasi buatan adalah mutasi yang diinduksi yang dipakai sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi dapat diinduksi dengan cara
fisik ~nenggunakanradiasi atau dengan cam kimia menggunakan senyawa yang bersilat mutagen. Radiasi yang umum digunakan yaitu sinar-X atau gamma, sedangkan cara kimia yaitu menggunakan colchicin dan etilmetan sulfonat (EMS). Penggunaan radiasi sinar gamma telah dilakukan untuk meningkatkan keragaman tanaman pisang
cavertdish pada kisaran dosis 2.5 Krad (Krikorian dan Cronauer 1986). Pada tanannan pisang ambon kuning yang berasai dari tunas yang diradiasi sinar gamma pada dosis 1 dan 1.5 Krad terjadi peningkatan keragaman somaklonal (Sutarto et a/. 1998:l. Widyastuti (2000) menggunaan radiasi sinar gamma pada dosis 2.5-1 0 Krad untuk mendapatkan keragaman yang tinggi pada tanaman pisang cavendish.
Seleksi in Vitro
Parbaikan tanaman secara in vitm dapat dilakukan melalui keragaman somakionai. Epp (1986); Van den Bulk (1991); Brazoiot et al. (1994); Nagatomi (1996) menyatakan bahwa penggunaan mutagen kimia atau radiasi yang dikonlbinasi dengan seleksi in vitro dapat menghasilkan keragaman genetik dan mempercepat terjadinya mutasi yang berpotensi untuk perbaikan sifat genetik tananian. Seleksi in vitm ditujukan untuk memilih mutan secara efektif
dan efisien yang
mempunyai sifat sesuai dengan yang diinginkan. Seleksi in v i m pada stadium sel, kalus dan jaringan dapat menghasiikan varietas baru yang tahan terhadap penyakit, toleran terhadap salinitas, kekeringan dan herbisida (Duncan dan Widholm 1990; Khusih et a/. 1990).
Toyoda et a/. (1989) berhasil mendapatkan tanaman tembakau yang tahan terhadap tobacco mosaic vims melalui seleksi in vitm pada kalus tembakau. Hutatmat (1991) telah berhasil memperoleh galur-galur mutan padi varietas sentani yang toleran terhadap aluminium melalui radiasi sinar gamma pada dosis 1 dan 2 Krad yang diikuti dengan seleksi in vitm. Penelitian ECFiki (1997) menghasilkan bahwa perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis 4 dan 5 Krad yang diikuti dengan seleksi in vitm terhadap garam menghasilkan tanaman kentang yang toleran terhadap garam.
Nagatomi (1996) berhasil mendapatkan tanaman pir (Pynrs
semtina Rhed) 'Gold Nijisseiki" yang tahan penyaki black spot melalui radiasi sinar gamma yang diikuti dengan seleksi in vifro. Ochatt et a/. (1999) melaporkan bahwa seleksi in vitm dapat menghasilkan kalus kentang yang toleran terhadap garam. Yoshioka et al. (1999) menyatakan bahwa penggunaan radiasi sinar gamma pada dosis 250 rad yang diikuti dengan seleksi menggunakan toksin spesifik inang
Altemaria altemata (AK-toksin) menghasilkan tanaman persik yang tahan penyakii black spot. Seleksi in v i h untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakii dilakukan dengan menggunakan filtrat dari patogen yang menyerang tanaman dan toksin mumi (Earle 1983). Penggunaan toksin dan filtrat dari patogen sebagai komponen selekrsi telah banyak dilakukan untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap penyakit. Toyoda et a/. (1984a, 1984b) menggunakan filtrat F. oxyspomm f. sp.
lycop"~!~si dan toksin mumi asam fusarat untuk mendapatkan sifat ketahanan terhatlap penyakit layu Fusarium pada kalus tomat.
Hammerschlag (1988)
menggunakan filtrat dari patogen Xanthomonas campestris pv. pmni dan inokulum
-*
Xanft~omonascampestris pv. pmni
lo6 kolonilml pada tanaman persik.
Arai dan
Takel~ci(1993), menggunakan filtrat yang diisolasi dari patogen dan asam fusarat untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap penyaki layu Fusarium pada kalus
carnation. Pada tanaman gandum, Ahmed et a1 (1996) menggunakan filtrat sebagai komponen seleksi.
Penggunaan Radiasi Pada Sistem Biologi Radiasi adalah pemberian sinar, biasanya radioaktif, pada suatu objek dengan konsentrasi tertentu selama periode waMu tertentu (Ismachin 1988). Sinar radioaktif yang biasa dipakai untuk menimbulkan mutasi adalah sinar4 dan sinar gamma. Salah~satu sifat dari radioaktii tersebut adalah kemampuannya untuk menghasilkan radiasi pengion yaitu radiasi dengan energi tinggi yang dapat bereaksi dengan objek yang dikenai radiasi dengan cara pengionan. ionisasi dan tereksitasi.
Molekul objek akan mengalami
lonisasi tejadi bila elektron terlepas dari orbiinya,
sedarigkan eksitasi adalah keadaan dimana
satu
elektron ditingkatkan
kedutlukannya dari tempat semula menggunakan energi yang lebih tinggi. Elektron yang terlepss akibat ionisasi akan ditangkap oleh molekul lain yang kemudian dapat membentuk radikal bebas yang sangat reaktii. Pembentukan radikal bebas tersebut akan mempengaruhi air yang merupakan komponen terbesar di dalam sel atau dalarri sistem biologi. Radikal bebas yang bereaksi dengan molekul-molekul di dalam sistem biologi dapal mengacaukan proses-proses biokimia di dalam sel sehingga dapat
mengganggu homeostatis sel. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan molekulmolekul di dalam sel tidak dapat bekej a seperti semula (Ismachin 1988). Pemberian radiasi untuk menimbulkan mutasi harus mempengaruhi DNA sel objek., karena DNA merupakan komponen utama dari gen.
Mutasi tersebut
selanjutnya akan membentuk keragaman genetik baru (Djojosoebagio 1988). Perul~ahangenetik di dalam sel somatik dapat diwariskan dan dapat menyebabkan tejadinya perubahan fenotipe. Perubahan tersebut dapat terjadi pada tingkat sel atau sekelompok sel sehingga individu dapat mengalami khimera (Micke et a/. 1987). Di dalam jaringan yang diradiasi dengan mutagen radioaktii akan terjadi ionisasi molekul air, kemudian mengoksidasi gula dalam DNA sehingga rangkaian nukleotidanya rusak atau susunan nukleotidanya berubah. Perubahan susunan nukleotida dapat menyebabkan terganggunya replikasi, transkripsi dan translasi (Crowder 1990).
Menurut Djojosoebagio (1988) radiasi dapat menyebabkan
tejadinya perubahan dalam komposisi basa, dapat menyebabkan putusnya rantai DNA. Pengaruh radiasi terhadap basa nukleotida menyebabkan terjadinya rnutasi
gen seperti subsitusi, penambahan atau hilangnya basa dalam molekul DNA. Radiasi dapat juga menginduksi perubahan krornosom. Perubahan kromosom yang tejadi dapat berupa perubahan struktur atau jumlah kromosom sehingga menyebabkan perubahan dalam susunan dan jumlah bahan genetik (Crowder 1990; Djojosoebagio 1988).
Perubahan struktur kromosom meliputi delesi, inversi,
duplik.asi atau translokasi (Crowder 1990; Griffihs et a/. 1993). Perubahan jumlah kromosom dapat menyebabkan euploidi dan aneuploidi. Menurut Djojosoebagio
(1988), poliploidi yang disebabkan oleh radiasi sebagian besar karena pengaruh
sekuinder akibat aberasi kromosom yang menyebabkan tidak dapat terjadinya pemisahan pada fase anafase.
.