1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Singkong (Manihot utilissima Pohl.) Singkong (Manihot utilissima) pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay. Di Indonesia, singkong diperkenalkan oleh orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil dan mulai ditanam secara komersial sekitar tahun 1810. Singkong atau dalam bahasa daerahnya dikenal dengan ketela pohon, ubi kayu, pohung (Jawa), sampeu (Sunda) dan kaspe (Papua) adalah pohon tahunan daerah tropis dan subtropik dari keluarga Euphorbiaceae (Agoes, 2010). Tanaman singkong dapat beradaptasi secara luas di daerah yang beriklim tropis. Di Indonesia, tanaman ketela pohon dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, yakni pada ketinggian antara 10 m – 1500 mdpl. Namun, pertumbuhan dan produksi optimal akan diperoleh di daerah yang memiliki suhu minimum 100C, kelembapan udara antara 60% - 65%, dan curah hujan berkisar antara 700 mm – 1500 mm/tahun. Lahan penanaman sebaiknya merupakan tempat terbuka dengan penyinaran matahari 10 jam/hari. Jenis tanah yang ideal bagi penanaman ketela pohon adalah jenis tanah alluvial, latosol, podsolik, merah kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Tanah sebaiknya memiliki struktur remah dan konsistensi gembur, banyak mengandung bahan organik, dan memiliki aerasi dan drainase yang baik. Kondisi pH tanah yang paling sesuai adalah 5,8 (Suhardi, 2002).
4
2
2.1.1. Klasifikasi Tanaman Menurut Tjitrosoepomo (1996) taksonomi tanaman singkong adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot utilissima Pohl.
Gambar 2.1. Daun Singkong (Manihot utilissima Pohl) (Purwono dan Purnamawati, 2007). 2.1.2. Morfologi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah tanaman dikotil. Merupakan tanaman semak belukar tahunan, ubi kayu tumbuh sekitar 1-4 m dengan daun besar yang menjari dengan 5-9 belahan lembar daun. Daunnya yang bertangkai panjang bersifat cepat luruh yang berumur paling lama hanya beberapa bulan. Batangnya
3
memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya bergantung pada kultivar. Pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, akar serabut tumbuh dari dasar lurus. Umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan (Sudarma, 2013). Singkong memiliki umbi atau akar pohon yang panjang dengan diameter dan tinggi batang yang beagam tergantung dari varietasnya. Di Indonesia, umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran (Agoes, 2010). 2.1.3. Kandungan Kimia Daun singkong memiliki berbagai kandungan yaitu, flavonoid, triterpenoid, saponin, tannin dan vitamin C (Nurdiana, 2013). Di dalam daun singkong mengandung vitamin A, B1 dan C, kalsium, kalori, fosfor, protein, lemak, hidrat arang, dan zat besi (Agoes, 2010). Menurut hasil penelitian, daun singkong termasuk jenis sayuran yang banyak mengandung flavonoid. Kandungan utama flavonoid daun singkong adalah rutin yang merupakan glikosida kuersetin dengan disakarida yang terdiri dari glukosa dan shamnosa (Sukrasno dkk, 2007).
2.2. Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolik sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran dan buah,
4
telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Redha, 2010).
Gambar 2.2. Kerangka C6-C3-C6 Flavonoid Menurut Harbone (1996), flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air. Senyawa yang merupakan golongan terbesar dari fenol ini dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Apabila fenol yang berasal dari tumbuhan ini dilarutkan dengan etanol, maka oksidasi enzim dapat dicegah sehingga mencegah kerja enzim fenolase yang dapat merusak struktur fenol. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid
dapat
bekerja
sebagai
inhibitor
kuat
pernafasan.
Flavonoid
menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, protein kinase, balik transcriptase, DNA polymerase dan lipooksigenase. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, mereka menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim (Robinson, 1995). Flavonoid mampu menstimulasi 16% peningkatan pengeluaran insulin dari sel β pankreas. Aksi tersebut terjadi melalui pengaturan peroxisome proliferators activated receptors (PPAR α dan PPAR γ). Aksi flavonoid yang bermanfaat pada
5
kondisi hiperglikemia adalah kemampuannya untuk menstimulasi pengambilan glukosa pada jaringan perifer, mengatur aktivitas dan ekspresi enzim yang terlibat dalam jalur metabolisme karbohidrat dan bertindak menyerupai insulin (insulinomimetic), dengan mempengaruhi insulin signaling (Gerriton et al., 1995).
2.3. Ekstraksi Metabolit Sekunder dari Bahan Alam Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses yang terjadi selama ekstraksi dimulai dari kontak pelarut dengan dinding sel tumbuhan, penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan, pelarutan zat aktif dalam sel, difusi zat aktif ke luar sel, dan pengumpulan zat aktif yang telah terekstraksi (Sticher, 2008). Faktor yang mempengaruhi kecepatan ekstraksi adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan panyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Depkes RI, 1986). Secara umum, metode ekstraksi dapat dibedakan menjadi metode maserasi, digesti, perkolasi, refluks dan sokletasi (Budhiraja, 2004). Maserasi merupakan proses ekstraksi dengan cara dingin. Metode maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dengan pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar (Handa, 2008). Proses yang terjadi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel atau masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel. Larutan yang lebih pekat yang berada di dalam sel didesak keluar sel, masuk ke dalam
6
larutan di luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Proses maserasi akan lebih optimal jika dilakukan pengadukan pada wadah atau menggunakan magnetik stirer dan pelarut yang digunakan harus diperbaharui hingga rendemen yang diperoleh lebih banyak (Channel, 1998). Maserasi termasuk metode ekstraksi yang sederhana dimana proses penyarian simplisia dilakukan dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Cairan penyari yang digunakan dalam maserasi dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dengan larutan di dalam sel (Depkes RI, 1986).
2.4. Glukosa Glukosa disebut juga dekstrosa atau gula anggur, terdapat luas di alam dalam jumlah sedikit, yaitu di dalam sayur, buah, sirup jagung, sari pohon, dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Tubuh hanya dapat menggunakan glukosa dalam bentuk dekstro. Glukosa merupakan hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltosa, dan laktosa pada hewan dan manusia. Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar di dalam tubuh dan di dalam sel merupakan sumber energi. Dalam keadaan normal sistem syaraf
7
pusat hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Glukosa dalam bentuk bebas hanya terdapat dalam jumlah terbatas dalam bahan makanan. Glukosa dapat dimanfaatkan untuk energi tinggi. Tingkat kemanisan glukosa hanya separuh sukrosa, sehingga dapat digunakan lebih banyak untuk tingkat kemanisan yang sama (Almatsier, 2004).
2.5. Hiperglikemia Kebanyakan populasi di belahan dunia mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah besar. Hal ini terjadi karena karbohidrat menyediakan sebagian besar energi dalam diet (Irawan, 2001). Diet karbohidrat yang berlebihan menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Hiperglikemia adalah keadaan kadar glukosa di dalam darah melebihi kadar glukosa darah normal. Pada manusia, kadar glukosa darah normal puasa 80–110 mg/dL (Wijayakusuma, 2004). Setelah ingesti makanan yang mengandung karbohidrat, kadar tersebut naik hingga 120 – 130 mg/dL (Stryer, 2000). Pada umumnya hiperglikemia terjadi karena kekuragan insulin. Insulin yang menurun mengakibatkan berkurangnya glukosa yang masuk kedalam sel. Hal ini bisa menyebabkan lemas dengan kadar glukosa dalam darah meningkat. Kompensasi tubuh dengan meningkatkan glukagon sehingga terjadi proses glukoneogenesis. Selain itu tubuh akan menurunkan penggunaan glukosa oleh otot, lemak dan hati serta peningkatan produksi glukosa oleh hati dengan pemecahan lemak terhadap kelaparan sel. Hiperglikemia dapat meningkatkan jumlah urin yang mengakibatkan dehidrasi sehingga tubuh akan meningkatkan
8
rasa haus (polydipsi). Penggunaan lemak untuk menghasilkan glukosa memproduksi badan keton yang dapat mengakibatkan anorexia (tidak nafsu makan), nafas bau keton, dan mual (nausea) hingga terjadi asidosis (Octa, 2005). Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsi, dan poliphagia, serta kelelahan yang parah dan pandangan yang kabur (Simon, 2011). Kondisi hiperglikemia akan berkembang menjadi diabetes mellitus dengan berbagai macam bentuk manifestasi komplikasi (Unger dan Foster, 1992).
2.6. Metformin Metformin merupakan obat antidiabetika oral golongan biguanid. Golongan ini bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemi. Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini ialah metformin (Depkes RI, 2005). Menurut Katzung (2002), metformin dapat menurunkan glukosa darah tanpa tergantung pada adanya fungsi pankreatik sel-sel ß. Glukosa tidak menurun pada subjek normal setelah puasa satu malam, tetapi kadar glukosa darah pasca prandial akan menurun selama pemberian obat. Mekanisme kerja metformin adalah stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, penurunan glukoneogenesis hati, melambatkan absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan perubahan glukosa
9
menjadi
laktat
oleh
enterosit
dan
penurunan
kadar
glukagon
plasma
(Katzung,2002). Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit (Nathan, et all., 2008). Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan, et all., 2008).
2.7. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan galur Bulb/C. Mencit banyak dipergunakan sebagai alat dalam penelitian biologi, kedokteran, industri obat dan pertanian. Menurut Ungerer dkk (1985), setiap tahun di Amerika Serikat digunakan 40 juta mencit atau sekitar 40-80% dari semua hewan percobaan yang digunakan. Dilihat dari bentuk luarnya, mencit tampak praktis dan efisien untuk penelitian-penelitian dalam laboratorium yang ruangannya terbatas. Luas permukaan tubuhnya 36 cm2 pada berat badan 20 gram. Bobot pada waktu akhir berkisar antara 0,5 -1,5 gram yang akan meningkat sampai lebih kurang 40 gram pada umur 70 hari atau 2 bulan (Harkness, 1983).
10
Petter (1976) merekomendasikan luas lantai ruangan untuk pembiakan adalah 310-390 cm2. Ruangan ini harus kering, bersih, jauh dari kebisingan yang berlebihan dan dijaga suhu, kelembabannya, aliran udara dan cahayanya. Kadar glukosa darah normal mencit berada pada rentang 62 – 175 mg/dL, apabila kadar glukosa dalam darah melebihi angka tersebut maka mencit dapat dipastikan dalam keadaan hiperglikemik (Malole dan Pramono, 1989).
2.8. Metode Induksi Hiperglikemik pada Hewan Uji Kondisi hiperglikemia pada hewan pertama kali dilakukan secara sederhana dengan cara pengambilan organ pankreas secara menyeluruh atau sebagian, cara ini kemudian dikenal dengan nama “pankreatektomi“ (Marraffino, 1950). Pada penelitian berikutnya, metode tersebut sudah jarang digunakan karena secara menyeluruh kondisi patologi yang dihasilkan tidak secara kuat mencerminkan kondisi patologi pada manusia. Meskipun demikian, dengan tujuan penelitian tertentu beberapa peneliti sampai sekarang masih menggunakan metode tersebut (Fernandez et al., 2006; Ani et al., 2006). Sebagai pengganti dari metode tersebut, para peneliti menggunakan metode tanpa pembedahan (non-surgical methods) dalam menghasilkan hewan percobaan hiperglikemia. Metode tanpa pembedahan pertama kali dikenalkan adalah pemberian diabetogenik. Beberapa diabetogenik yang sering digunakan adalah streptozotosin, aloksan, vacor, dithizone, 8-hidroksikuinolon (Covington et al., 1993; Rees dan Alcolado, 2005).
11
Aloksan mampu menginduksi hiperglikemia secara permanen dan
pada
umumnya diberikan secara parenteral. Aloksan merupakan diabetogen yang lazim digunakan, karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemia yang permanen dalam waktu 2-3 hari (Reynolds, 1982). Prinsip uji aloksan diabetes ialah induksi diabetes dilakukan pada hewan uji yang diberi suntikan aloksan secara intravena pada ekor. Dan hewan uji yang berbeda lainnya dengan kondisi yang berbeda akan menghasilkan dosis yang berbeda pula. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan terhadap hewan uji normal (Reynolds, 1982).
2.9. Aloksan Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 2.8). Waktu paruh pada suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (Szkudelski, 2001; Rees dan Alcolado, 2005).
Gambar 2.3. Struktur Kimia Aloksan
12
Aloksan secara cepat dapat mencapai pankreas, aksinya diawali oleh pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Pembentukan oksigen reaktif merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β Langerhans (Wilson et al., 1984; Szkudelski, 2001; Walde et al., 2002). Aloksan dapat meningkatkan konsentrasi ion kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Aloksan juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses metabolisme energi. Mekanisme kerja agen sitotoksik aloksan dengan cepat terikat sekaligus merusak sel β pankreas dalam memproduksi insulin atau efek diabetogen (Nugroho, 2006).