BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi ini dikembangkan oleh Kelley pada tahun 1967, kemudian dilanjutkan oleh Green serta Mitchell pada tahun 1979 (Kusumastuti, 2012). Menurut mereka, teori atribusi ini merupakan teori yang menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan disebabkan oleh atribut penyebab. Teori Atribusi yang dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Lubis, 2011). Pada teori ini menjelaskan mengenai perilaku individu terhadap peristiwa yang ada disekitarnya dan mengetahui alasan-alasan mengapa individu tersebut melakukan perilaku seperti itu. Teori Atribusi yang dikemukakan oleh Robbins (2006) dalam Pradnyani (2014), menjelaskan perilaku seseorang yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal atau faktor eksternal. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan dan memahami apa penyebab dibalik perilaku individu tersebut. Menurut Lubis (2014), dalam riset keperilakuan teori ini menggunakan dua komponen, yaitu: pengendalian internal (internal locus of control) dan pengendalian eksternal (external locus of control). Pengendalian internal adalah perilaku yang berada di bawah kendali atau berasal dari dalam diri individu seperti ciri kepribadian, motivasi atau kemampuan. Pengendalian
eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendalinya atau berasal dari luar diri individu seperti peralatan atau pengaruh sosial dari orang lain. Melihat dari sudut pandang teori di atas, perilaku individu berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Jika dihubungkan dengan keefektifan pengendalian intern dan reward yang ada di perusahaan, maka apabila individu memiliki perilaku yang berasal dari faktor internal ada atau tidaknya keefektifan pengendalian intern dan reward dalam perusahaan, perilaku tidak etis tersebut dapat dihindarkan. Namun, apabila individu memiliki perilaku yang berasal dari faktor eksternal, maka dengan adanya pengendalian intern yang efektif dan sistem kompensasi yang sesuai, perilaku tidak etis akan terjadi jika diimbangi dengan peluang yang ada.
2.1.2 Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg (1969) dalam Fauwzi (2011), tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Teori ini mempunyai enam perkembangan yang dapat teridentifikasi, di mana penalaran moral merupakan dasar dari peilaku etis. Menurut Kohlberg (1969) dalam Dewi (2014), enam tahapan tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Tingkat 1 (Pra-Konvensional) Pada level ini individu mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Individu tidak akan melakukan tindakan atau tidak melanggar aturan karena takut terhadap hukum/peraturan yang ada. Selain itu individu pada tingkat moral ini juga akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan
suatu tindakan. (1) Orientasi kepatuhan dan hukuman. Pemahaman individu tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas. (2) Orientasi hedonistik-instrumental. Suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri. 2) Tingkat 2 (Konvensional) Suatu perbuatan dinilai baik oleh individu apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebayanya. Individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat (Krisdayanthi, 2015). (1) Orientasi individu yang baik. Tindakan berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain. (2) Orientasi keteraturan dan otoritas. Perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial. 3) Tingkat 3 (Post-Konvensional) Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan berdasarkan tindakannya pada hukumhukum universal (Krisdayanthi, 2015).
(1) Orientasi kontrol sosial-legalistik. Ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang- undangan yang berlaku. (2) Orientasi kata hati Kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia. Pada tahap konvensional individu mulai membentuk moralitas individunya dengan menaati peraturan seperti aturan akuntansi sebelumnya akhirnya terbentuk kematangan moral individu yang tinggi pada tahap akhir, yaitu tahap post-konvensional. Kematangan moral yang tinggi pada individu ada pada tahapan post-konvensional. Dalam merancang tanggapan dan sikap, kematangan moral merupakan dasar dan pertimbangannya. Pengetahuan moral menjadi dasar pembuatan keputusan yang etis dengan tanggung jawab sosial. Adanya tanggung jawab sosial, individu dengan moralitas yang tinggi diharapkan dapat berkurangnya perilaku tidak etis dan kecurangan akuntansi yang dilakukan karyawan perusahaan (Fauwzi, 2011).
2.1.3 Keefektifan Pengendalian Intern Pada masing-masing perusahaan tentu memerlukan adanya sistem pengendalian intern. Hal ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi adanya kerugian dari perusahaan. Keberadaan sistem pengendalian intern ini tidak dapat diabaikan oleh perusahaan. Jika pengabaian sistem pengendalian intern terjadi pada sebuah perusahaan berarti perusahaan siap menerima risiko kerugian dan cepat atau lambat dampak buruk tersebut akan terjadi pada perusahaan.
Menurut Mulyadi (2001:163) dalam Amir (2014) sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajamen. Sedangkan menurut COSO (2013: 3), mendefinisikan pengendalian intern sebagai suatu proses yangdipengaruhi oleh dewan entitas direksi,manajemen, dan personil lainnya, yang dirancang untuk memberikan jaminan mengenai pencapaian tujuan yang berkaitan dengan operasi,pelaporan, dan kepatuhan. Berdasarkan pengertian tersebut pengendalian intern pada suatu perusahaan harus dilaksanakan secara efektif. Hal ini bertujuan agar perusahaan dapat mengurangi atau mencegah terjadinya kecurangan yang dilakukan manajemen atau karyawan perusahaan, menjaga kekayaan yang dimiliki perusahaan, dan mendorong manajemen atau karyawan agar patuh terhadap hukum yang berlaku di perusahaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi pada perusahaan biasanya dilakukan akibat adanya peluang, dimana pengendalian intern tersebut kurang efektif. Pengendalian internal menurut Arens (2008) dalam Adelin (2013) meliputi lima komponen yang dirancang dan diimplementasikan oleh manajemen untuk memberikan jaminan bahwa sasaran hasil pengendalian manajemen akan terpenuhi, yaitu: 1) Lingkungan Pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan, dan prosedur yang mencerminkan sikap dari manajemen puncak, para direktur, dan pemilik dari suatu entitas mengenai pengendalian internal dan pentingnya komponen bagi entitas itu. 2) Penilaian Resiko adalah identifikasi manajemen dan analisis resiko yang relevan dengan persiapan laporan keuanga yang seuai dengan prinsip berlaku umum. 3) Aktivitas Pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang dibuat untuk memberikan keyakinan bahwa petunjuk yang dibuat oleh manajemen dilaksanakan.
4) Informasi dan Komunikasi, sistem informasi yang relevan dengan tujuan laporan keuanganyang meliputi sistem akuntansi. 5) Pemantauan adalah proses penilaian kualitas kinerja struktur pengendalian intern sepanjang waktu.
2.1.4 Reward Bekerja adalah alasan masing-masing individu agar memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkenaan dengan hal tersebut, masing-masing individu bekerja keras dan bersaing meningkatkan prestasi untuk mendapatkan kompensasi. Kompensasi yang diberikan perusahaan merupakan salah satu cara untuk mendorong atau meningkatkan motivasi dan prestasi karyawan. Besar rendahnya kompensasi yang diberikan sangat penting bagi karyawan karena melalui kompensasi dapat mengukur hasil kinerja atau prestasi yang mereka berikan selama bekerja. Menurut Handoko (2001) dalam Wardana (2011) kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk mereka. Sedangkan kompensasi menurut Gorda (2006) dalam Wardana (2011) adalah seluruh balas jasa baik berupa uang, barang ataupun kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan atas kinerja yang disumbangkan karyawan kepada perusahaan. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kompensasi bukan hanya berbentuk uang tapi juga dalam bentuk tunjangan dan penghargaan seperti yang dikemukakan oleh Gorda (2006). Kompensasi yang diterima karyawan tiap individu berbeda-beda, tergantung pada prestasi yang dicapai dan diberikan karyawan kepada perusahaan.
Menurut Dessler (2000) dalam Wardana (2011) bahwa untuk menarik karyawan bekerja dan termotivasi melakukan pekerjaan yang baik, perusahaan harus bisa memberikan kompensasi yang baik, dalam arti sistem kompensasi yang diberikan perusahaan harus mampu menciptakan sistem imbalan yang adil dan layak. Oleh karena itu, jika kompensasi tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan ketidakpuasaan karyawan sehingga menurunkan semangat dan produktivitas kerja karyawan dan menurunkan pencapaian rencana strategi perusahaan. Besar atau kecilnya kompensasi mencerminkan ukuran nilai pekerjaan yang dilakukan karyawan. Bagi karyawan kompensasi merupakan faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan, sedangkan bagi perusahaan kompensasi merupakan komponen biaya yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan profitabilitas (Thoyibatun, 2009). Maka dari itu, perusahaan perlu hati-hati dalam memberikan kompensasi karyawan. Sehubungan dengan hal tersebut dalam mendesain sistem kompensasi perlu diingat bahwa salah satu tujuan karyawan memberikan kinerja terbaiknya pada perusahaan adalah guna memperoleh kompensasi yang diinginkan (Thoyibatun, 2009). Notoatmodjo dalam Wardana (2011) mengatakan ada beberapa tujuan yang perlu diperhatikan dalam pemberian kompensasi antara lain: 1) Menghargai prestasi kerja, dengan pemberian kompensasi yang memadai dimaksudkan organisasi menghargai prestasi kerja pada karyawannya. Berdasarkan hal tersebut, maka karyawan akanterdorong untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginan organisasi. 2) Menjamin Keadilan, dengan adanya kompensasi yang baik akan menjamin terjadinya keadilan antara karyawan dengan organisasi. Masing-masing karyawan akan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan tugas, fungsi, jabatan dan prestasi kerja.
3) Mempertahankan karyawan, dengan kompensasi yang baik karyawan akan lebih betah bekerja pada organisasi. Hal ini berarti mencegah keluarnya karyawan untuk mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. 4) Mempertahankan karyawan yang bermutu, kompensasi yang baik akan menarik banyak calon karyawan. Banyaknya calon karyawan akan lebih banyak peluang untuk memilih karyawan yang terbaik. 5) Pengendalian biaya, sistem pemberian kompensasi yang baik akan mengurangi seorang melakukan rekrutmen yang diakibatkan oleh keluarnya karyawan untuk mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Hal ini berarti penghematan biaya untuk rekrutmen dan seleksi calon karyawan baru. 6) Memiliki peraturan-peraturan, sistem kompensasi yang baik merupakan tuntutan dan perintah. Suatu organisasi yang baik dituntut memiliki sistem administrasi kompensasi yang baik pula. Tindakan atau perilaku seseorang dalam perusahaan dapat dipengaruhi dengan adanya kompensasi. Kompensasi yang sesuai diharapkan mampu mengurangi adanya keinginan untuk melakukan tindakan curang. Tindakan menyimpang seperti adanya perilaku tidak etis, diharapkan dapat berkurang dengan adanya sistem kompensasi yang diberikan (Fauwzi, 2011).
2.1.5 Moralitas Individu Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif, sedangkan manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral yang artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainya (Rahmawati, 2012). Menurut Budiningsih (2004:24) dalam Sanuari (2014), moralitas terjadi apabila orang
mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggungjawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Artinya moralitas individu merupakan sikap dan perilaku yang baik, dimana seseorang tersebut tidak meminta balasan atau tanpa pamrih. Perilaku karyawan dapat dinilai melalui moral yang mereka terapkan, semakin tinggi moralitas karyawan terhadap perusahaan maka kecurangan atau perilaku tidak etis karyawan di dalam perusahaan dapat dihindari. Perbuatan curang yang terjadi di perusahaan biasanya diakibat oleh kurangnya kepedulian seseorang tersebut dan rendahnya moralitas terhadap perusahaan. Menurut Sanuari (2014), semakin seseorang memperhatikan kepentingan yang lebih luas dan universal daripada kepentingan perusahaan semata, terlebih kepentingan pribadinya maka semakin tinggi moralitas individu sehingga seseorang berusaha menghindarkan diri dari perilaku tidak etis.
2.1.6 Perilaku Tidak Etis Perilaku etis baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan sangat diperlukan oleh masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, manajemen dan karyawan perusahaan dituntut untuk berperilaku etis agar tidak dapat merugikan pihak perusahaan. Namun, terkadang dilema etik muncul ketika perusahaan menuntut manajemen untuk mingkatkan keuntungan organisasi. Dengan keadaan seperti itu akan melahirkan perilaku tidak etis. Perilaku tidak etis adalah perilaku yang menyimpang dari tugas pokok atau tujuan utama yang telah disepakati (Dijk, 2000 dalam Thoyibatun, 2009). Sebagai gejala kompleks perilaku tidak etis sangat bergantung pada interaksi antara karakteristik personal dengan fenomena asosial yang muncul, lingkungan, dan faktor psikologi yang kompleks (Buckley et al., 1998 dalam Thoyibatun, 2009). Selain faktor tersebut perilaku tidak etis juga dipicu oleh sistem gaji,
keamanan atas risiko pekerjaan, perlindungan atas kerahasiaan laporan keuangan (Dijk, 2000 dalam Thoyibatun, 2009). Menurut Tang et al. (2003) (dalam Fauwzi, 2011) menjelaskan indikator dari perilaku yang menyimpang atau tidak etis dalam perusahaan terdiri dari perilaku yang menyalahgunakan kedudukan/posisi (abuse position), perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse power), perilaku yang menyalahgunakan sumber daya organisasi (abuse resources), serta perilaku yang tidak berbuat apa-apa (no action). Arens dan Loebbecke (1997:73) dalam Arifiyani (2012), menyebutkan bahwa, terdapat dua faktor utama yang mungkin menyebabkan orang berperilaku tidak etis, yaitu: 1) Standar etika orang tersebut berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Perbedaan prinsip pada masing-masing individu sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan prinsip seseorang dengan masyarakat pada umumnya. 2) Ketika sekelompok orang beranggapan bahwa melakukan hal kecurangan merupakan hal yang tidak baik, sedangkan kelompok lain beranggapan bahwa hal tersebut baik untuk dilakukan. Dengan adanya standar etika yang berbeda, sehingga membuat perilaku tidak etis sulit untuk dipahami. Seseorang yang berperilaku tidak etis disebabkan karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi, sedangkan kompensasi yang diberikan tidak sesuai dengan banyaknya kebutuhan. Tujuan seseorang melakukan perilaku tidak etis karena ingin memperoleh sesuatu yang lebih digunakan untuk kepentingan pribadi.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Keefektifan Pengendalian Intern Pada Perilaku Tidak Etis Karyawan
Menurut Green and Mitchell (1979) dalam Lubis (2011), teori atribusi yang menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan disebabkan oleh atribut penyebab yang teridiri dari kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan. Adanya keefektifan pengendalian intern dalam penelitian ini akan mempengaruhi perilaku seseorang karyawan. Jika perilaku seorang karyawan memiliki keyakinan pada diri sendiri yang tinggi seharusnya ada atau tidaknya pengendalian intern di dalam perusahaan, maka kecenderungan perilaku tidak etis tersebut akan rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya sistem pengendalian intern yang efektif untuk mengurangi adanya tindakan menyimpang atau perilaku tidak etis yang dilakukan oleh karyawan. Mulyadi dan Puradiredja (1998) dalam Fauwzi (2011) menyatakan bahwa sistem pengendalian internal merupakan proses yang dijalankan untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian keandalan laporan keuangan, kepatuhan terhadap hukum, serta efektivitas dan efisiensi operasi. Amir (2014) juga menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif dapat membuat peluang untuk melakukan suatu perilaku tidak etis menjadi tertutup. Pada dasarnya pengendalian intern merupakan suatu cara untuk mengarahkan, mengawasi, dan mengukur sumber daya organisasi. Arifiyani (2012) berpendapat bahwa pengendalian intern digunakan untuk memberikan perlindungan bagi entitas terhadap kelemahan manusia yang memungkinkan dapat mengurangi kesalahan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan. Berdasarkan hal tersebut dalam perusahaan membutuhkan pengendalian intern yang efektif agar seluruh karyawan dapat bekerja dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku atau berperilaku etis. Hasil penelitian Fauwzi
(2011) menyebutkan variabel pengendalian intern berpengaruh negatif dan signifikan pada perilaku etis. Dari uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Keefektifan pengendalian intern berpengaruh negatif pada perilaku tidak etis karyawan
2.2.2 Pengaruh Reward Pada Perilaku Tidak Etis Karyawan Dalam teori atribusi, tindakan seorang pemimpin maupun orang yang diberikan wewenang dipengaruhi oleh atribut penyebab yang teridiri dari kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Green and Mitchell dalam Lubis, 2011). Seseorang cenderung akan melakukan suatu hal untuk mendapatkan kompensasi. Tindakan atau perilaku tidak etis yang dilakukan seseorang dipengaruhi dengan adanya kesesuaian kompensasi yang diberikan perusahaan. Oleh karena itu, sesuai atau tidak sesuainya kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan jika karyawan tersebut memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, maka perilaku etis tersebut akan rendah. Kompensasi (reward) adalah balas jasa yang diterima seseorang atas jasanya dalam melakukan suatu pekerjaan baik berupa finansial maupun non finansial (Kristianto, 2009 dalam Jayanti dan Rasmini, 2013). Dalam penelitian Jayanti dan Rasmini (2013) menyatakan bahwa reward yang baik, benar dan adil akan meminimalkan tindakan atau perilaku yang curangatau tidak etis. Reward yang sesuai menjadi bagian yang sangat penting bagi kinerja karyawan serta keberhasilan organisasi (Luthans, 1998: 231-238 dalam Fauwzi, 2011). Pendapat ini didukung
oleh Wright (2003) yang menyatakan bahwa insentif, pengawasan serta sistem yang berjalan dengan baik dapat mencegah perilaku tidak etis manajemen perusahaan. Menurut Kusumastuti (2012), reward merupakan hal yang berpengaruh terhadap tindakan maupun perilaku seseorang dalam organisasi. Seseorang cenderung berperilaku tidak etis untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya. Dari uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2: Reward berpengaruh negatif pada perilaku tidak etis karyawan
2.2.3 Pengaruh Moralitas Individu Pada Perilaku Tidak Etis Karyawan Menurut Kohlberg (1969) dalam Fauwzi (2011), tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Dalam teori perkembangan moral Kohlberg (1969) menyatakan bahwa moral berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan pra-konvensional, tahapan konvensional, dan tahapan postkonvensional. Berdasarkan hal tersebut maka level penalaran moral individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi, sehingga semakin tinggi level penalaran moral individu maka semakin rendah perilaku tidak etis tersebut dilakukan oleh individu. Dalam sebuah perusahaan, moralitas individu merupakan faktor penting untuk menentukan tindakan yang diambil perusahaan sehingga moralitas individu memiliki pengaruh pada perilaku tidak etis yang dilakukan perusahaan. Moralitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan dan perilaku seseorang. Seseorang dapat dikatakan bermoral jika
tindakan dan perilakunya mencerminkan moralitas, dalam arti orang tersebut dapat membedakan mana hal yang baik dan buruk (Kusumastuti, 2012). Menurut penelitian Dallas (2002) dalam Kusumastuti (2012) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat moralitas manajemen, semakin rendah perilaku tidak etisnya. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauwzi (2011) berpendapat bahwa moralitas manajemen memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap perilaku tidak etis. Dari uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3:
Moralitas individu berpengaruh negatif pada perilaku tidak etis karyawan