TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))
C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP 1991) dan tersebar di seluruh dunia seperti Amerika, Kenya, dan Indonesia. Serangan C. formicarius tidak hanya di lapangan tetapi juga menimbulkan kerusakan yang nyata di penyimpanan. Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid yang menyebabkan umbi pahit dan tidak enak dikonsumsi (Jansson et al. 1987). Dalam perkembangannya, hama ini melewati siklus sempurna atau holometabola, yaitu meliputi telur, larva, pupa, dan imago. Telur. C. formicarius melakukan perkembangbiakan secara ovipar. Telur diletakkan di dalam suatu rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulit dilihat (AVRDC 2004). Menurut Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius memiliki ciri-ciri yaitu berukuran kecil antara 0,46– 0,65 mm (Supriyatin 2001), mempunyai bentuk yang oval tak beraturan (AVRDC 2004) dan berwarna putih krem. Supriyatin (2001) mengungkapkan bahwa lama fase telur C. formicarius di Indonesia adalah 7 hari. Larva. Larva yang baru keluar dari telurnya tidak memiliki tungkai, berwarna putih, dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004). Larva tersebut langsung menggerek batang atau umbi. Larva menggerek batang menuju ke arah umbi. Perkembangan larva C. formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8-16 hari, instar kedua 2–21 hari, dan instar ketiga 35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001) melaporkan bahwa perkembangan larva C. formicarius terdiri dari lima instar dalam waktu 25 hari. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Larva instar akhir berukuran panjang 7,5-8 mm dan lebar 1,8-2 mm (CABI 2001), berwarna putih kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan seperdua
dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibel kuning kehitaman dan abdomen agak besar. Larva menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara membuat lubang gerekan, dan menumpuk sisa gerekan sehingga menimbulkan bau khas. Pupa. Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang, berbentuk oval, kepala dan elitra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar antara 6-6,5 mm (Capinera 1998). Pupa berwarna putih dan kelamaan akan berubah menjadi abu-abu dengan kepala dan mata gelap. Periode pupa berkisar antara 7–10 hari, tetapi pada cuaca dingin dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Imago. Imago ini menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan caput yang panjang dan kurus (CABI 2001). Kepala berwarna hitam sedangkan antena, thoraks, dan tungkai berwarna oranye sampai coklat kemerahan; abdomen dan elitra biru metalik (Capinera 1998). Menurut Supriyatin (2001) C. formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna biru metalik, sedangkan tungkai dan thoraks cokelat. Antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang sempit yang tidak seragam, dan panjangnya lebih dari dua kali panjang flagellum. Antena kumbang betina berbentuk gada (CABI 2001). Perkembangan dan lama hidup imago C. formicarius bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu dan makanan. Suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik adalah 15oC, sehingga serangga dapat hidup lebih dari 200 hari dengan makanan yang cukup. Namun, lama hidup kumbang menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera 1998). C. formicarius betina mampu bertelur sebanyak 90-340 ekor telur semasa hidupnya. C. formicarius dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnya relatif dekat.
Bioekologi Cendawan Beauveria bassiana
Konidia cendawan bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur, hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidiofor berbentuk zigzag merupakan ciri khas genus Beauveria (Barnett 1972). B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang lembab dan hangat (Sutopo dan Indriyani 2007). Variasi virulensi cendawan entomopatogen disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor dalam yaitu asal isolat maupun faktor luar seperti medium perbanyakan cendawan, teknik perbanyakan dan faktor lingkungan yang mendukung (Sudarmadji 1997). Pada medium perbanyakan B. bassiana dapat tumbuh pada senyawa yang dapat dimanfaatkan cendawan untuk membuat materi sel baru berkisar dari molekul sederhana seperti gula sederhana dan asam organik, hingga kepada senyawa kompleks seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat. Media tersebut dapat berupa potato dextrose agar (PDA), media jagung maupun beras. Suhu berpengaruh terhadap perkembangan koloni dan konidia yang berkecambah. Pada suhu yang tinggi perkembangan koloni lebih lambat dan konidia yang berkecambah menurun (Inglish et al. 1996). Suhu yang efektif untuk pertumbuhan cendawan ini berkisar antara 20-30oC dengan kelembaban relatif di atas 90% (Junianto dan Sukamto 1995). Perkecambahan tidak terjadi di bawah 10oC atau di atas 35oC. Titik temperatur kematian konidia diketahui berkisar 50oC selama 10 menit di air. pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 5,7-5,9 dan untuk pembentukan konidia dibutuhkan pH 7-8 (Domsch et al. 1993) Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai agensi hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias, buahbuahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga tanaman gurun pasir (Sutopo dan Indriyani 2007). B. bassiana mampu menginfeksi serangga pada berbagai umur dan stadia perkembangan. B. bassiana telah digunakan untuk pengendalian penggerek batang kakao, ulat kantong kelapa sawit, penghisap buah/pucuk kakao, hama bubuk buah kopi, dan belalang.
Bioekologi Cendawan Metarhizium brunneum
Koloni awal cendawan bewarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Menurut Ginting (2008) M. brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat, miselium bersekat, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel
satu
berwarna
hialin,
berbentuk
bulat
silinder
dengan
ukuran
9,94 x 3,96 mµ. M. brunneum dapat tumbuh di berbagai lokasi seperti tanah gambut di USA dan Oregon (CABI 1998), sedangkan Desyanti (2007) mengisolasi M. brunneum dari tanah berpasir. Pertumbuhan cendawan ini memerlukan temperatur optimum sebesar 22-27oC (Roddam dan Rath 1997). Keasaman yang dibutuhkan cendawan untuk tumbuh berkisar antara pH 3,3-8,5, sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada pH 6,5 (Domsch dan Gams 1980). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban diatas 90%. Dalam pengembangannya M. brunneum dapat tumbuh dengan baik pada media PDA, jagung, dan beras (Ginting 2008). Penggunaan cendawan ini di areal pertanaman belum pernah dilakukan. Percobaan penggunaan M. brunneum baru dilakukan Desyanti (2007) dalam studi pengendalian rayap tanah Captotermes spp. Perlakuan M. brunneum terhadap rayap menunjukan hasil yang efektif sebagai agens hayati yang potensial. M. brunneum memiliki patogenisitas lebih tinggi yang dapat membunuh rayap dengan LC50 terendah dibandingkan spesies M. anisopliae, B. bassiana, Fusarium oxysporum dan Aspergillus flavus (Desyanti 2007). Keefektifan dalam penggunaan cendawan tersebut didukung oleh daya kecambah dan konidia yang dihasilkannya. M. brunneum memiliki daya kecambah mencapai 97,20% dalam waktu 12-24 jam setelah inkubasi, sedangkan M. anisopliae memiliki daya kecambah antara 85-90%. Jumlah konidia yang dihasilkan M. brunneum lebih tinggi daripada M. anisopliae yaitu sebesar 223.66 x 107/cawan Petri sedangkan M. anisopliae 6.18 x 107/cawan Petri (Desyanti 2007). Hasil penelitian tersebut mendorong penelitian untuk pengujian lebih lanjut mengenai cendawan tersebut. Terhadap rayap Schedorhinotermes javanicus dan Captotermes curvignathus,
tingkat patogenisitas, sporulasi maupun viabilitas M. brunneum lebih tinggi daripada M. anisopliae, B. bassiana, dan Metarhizium roridum (Ginting 2008).
Patologi Cendawan Entomopatogen
Proses infeksi cendawan menurut St. Leger (1993) dibagi menjadi tiga tahap yaitu kejadian sebelum proses penetrasi meliputi penempelan serta pertumbuhan prapenetrasi, penetrasi ketubuh inang, dan pemapanan patogen dalam tubuh inang. Cendawan entomopatogen menginfeksi serangga dengan menempel dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh melalui kontak diantara ruasruas tubuh serangga. Penetrasi dilakukan dengan menempelnya konidia pada kutikula atau mulut serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan membentuk tabung kecambah. Apresorium yang awal dibentuk dengan menembus epitikula, selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam (Situmorang 1990). Boucias & Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kultikula inang dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehinga nutrisi di hemolimph habis oleh pertumbuhan cendawan yang cepat sehingga inang akan mati. Cendawan juga dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Zat beracun yang dihasilkan cendawan seperti beauvericin pada B. bassiana dan destruxins pada M. anisopliae. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan produksi pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari mikroorganisme lain terutama bakteri. Ciri-ciri yang menyolok pada serangga yang terinfeksi cendawan adalah adanya miselia pada serangga yang mati setelah terinfeksi. Miselia cendawan mulai menembus kultikula luar dari tubuh serangga pada bagian yang mudah terserang yaitu ruasruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Miselia mulai tumbuh keluar tubuh satu hari setelah serangga mati (Neves dan Alves 2004). Pada kondisi optimal, kematian serangga akibat infeksi cendawan umumnya terjadi antara 3-5 hari setelah aplikasi (Inglish et al. 2001) sedangkan
dari penelitian (Neves dan Alves 2004) kematian serangga berkisar antara 2-3 hari. Cendawan tidak selalu keluar dari tubuh serangga, apabila kondisi tidak mendukung maka akan tetap berada di dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen (Santoso 1993). Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia penggunaan serangga. Tidak semua stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan (Inglis et al. 2001).
Selain
itu
keberhasilan
pengendalian
hama
dengan
cendawan
entomopatogen juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang digunakan setiap ml air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan yang dibutuhkan tiap hektar (Wikardi 1993 dalam Prayogo 2006).