15
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanaman agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Masing – masing ruang berbentuk setengah bola. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak – bercak berpola yang khas (Tim Penulis PS, 2004). Tanaman karet memiliki perakaran yang cukup kuat dan akar tunggangnya dalam dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi (Setiawan, 2000). Daun karet berselang-seling, helaian daunnya panjang dan terdiri dari 3 anak daun yang licin berkilat, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001). Tanaman karet memerlukan curah hujan yang optimal yaitu antara 2500-4000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai 150 HH/tahun. Tetapi, jika sering hujan di pagi hari, produksi akan berkurang. Pada dasarnya karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet. Suhu optimal berkisar antara 25℃ - 35 ℃ (Anwar, 2001).
Sifat – sifat tanah yang cocok untuk karet pada umumnya adalah solum tanah
mencapai 100 cm (tidak terdapat batuan dan lapisan cadas), aerasi dan drainasenya cukup, tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air, tekstur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir, pada tanah gambut tidak lebih dari 20 cm, kandungan NPK cukup (tidak
Universitas Sumatera Utara
16
juga kekurangan unsur mikro), ph tanah 4,5-6,5, kemiringan tanah <16% dan permukaan air tanah <100 cm (Anwar, 2001). Pengamatan perakaran dalam profil tanah bertujuan untuk melihat kemampuan penetrasi akar tanaman ke dalam tanah dan ada tidaknya lapisan yang membatasi pertumbuhan akar tanaman, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memperkirakan pertumbuhan akar tanaman karet. Pada kedalaman 0-30 cm perakaran masih di dominasi oleh perakaran makro, sedangkan pada kedalaman 30-70 didominasi oleh perakaran meso dan mikro (Nugroho dkk, 2009). Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Jenis pohon gaharu yang berpotensi di Indonesiai berasal dari jenis A. malaccensis, A. hirta, A. macrophylum, dan lainnya. Jenis yang paling tinggi hasil gaharunya adalah jenis A. malaccensis (Sumarna, 2002). Tanaman gaharu di lihat dari segi morfologi daun, bunga dan buah, mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5-8 cm, lebar 3-4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007). Tinggi tanaman gaharu dapat mencapai 40 meter dengan diameter 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputihan, kadar beralur dan kayunya agak keras (Tarigan, 2004). Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjamg 6-8 cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang kering berwarna abu – abu kehijauan, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas bawah licin dan mengkilap, tulang daun sekunder 6-
Universitas Sumatera Utara
17
12 pasang. Tanaman ini memiliki bunga yang terdapat di ujung ranting dan terkadang di bawah ketiak daun, berbentuk lancip serta panjang mencapai 5 mm. Buahnya berbentuk bulat, tertutup rapat oleh rambut – rambut yang berwarna merah dan biasanya memiliki panjang 4 cm dan lebar 2,5 cm (Tarigan, 2004) Tanaman gaharu di Indonesia dapat tumbuh pada ketinggian 0-2400 meter diatas permukaan laut. Tumbuh berkualitas baik pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28-34
℃,
kelembaban
60-80
%,
dan
curah
hujan
1000-2000
mm/tahun
(Sumarna, 2002). Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus. Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrim. Gaharu dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir (Sumarna, 2007). Tanaman Damar (Agathis dammara sp) Damar (Agathis dammara sp) adalah termasuk anggota tumbuhan runjung (Gymnospermeae) yang merupakan tumbuhan asli Indonesia. Damar menyebar di Maluku, Sulawesi hingga ke Filipina (Palawan dan Samar). Di Jawa, tumbuhan ini dibudidayakan untuk diambil getah untuk dijadikan kopal (Foresta, 1998). Pohon damar termasuk ke dalam famili Araucariaceae. Beberapa jenis pohon damar yang terpenting menurut daerah penyebaran alamnya antara lain; Agathis alba Warb (Sumatera, Maluku), Agathis bornensis Warb (Kalimantan), Agathis becarii Warb (Kalimantan), Agathis loranthifolia Salisb (Maluku), Agathis hanii (Sulawesi), Agathis phillipinensis
Warb
(Sulawesi)
dan
Agathis
labillardieri
Warb
(Papua)
(Departemen Kehutanan, 1990).
Universitas Sumatera Utara
18
Pohon damar memiliki tinggi pohon dapat mencapai 55 m, panjang batang bebas cabang 12-25 m, diameter 150 cm atau lebih, bentuk batang silindris dan lurus. Tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan mendatar melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil – kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir, mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal (Martawijaya dkk, 1981). Pohon damar tumbuh baik pada keadaan dengan persyaratan yaitu; (a) daerah dengan ketinggian tempat 300 sampai ± 1500 m diatas permukaan laut kecuali Agathis bornensis dapat tumbuh mulai dari ketinggian tempat 0-50 m diatas permukaan laut, Agathis becarii pada ketinggian tempat 50 m diatas permukaan laut, Agathis hamii pada ketinggian tempat 0-900 m diatas permukaan laut dan Agathis alba pada ketinggian tempat mulai dari 200 m diatas permukaan laut (b) tanah relatif subur dan bersolum dalam kecuali Agathis bornensis pada tanah berpasir (c) tipe iklim A dan B menurut Klasifikasi Schmidt-Ferguson dengan curah hujan 3000-4000 mm/tahun, tidak terdapat musim kemarau yang panjang, dengan paling sedikit 30 hari hujan selama 4 bulan (Departemen Kehutanan, 1990). Agathis adalah jenis pohon teduh, dimana pada waktu mudanya memerlukan naungan/lingkungan yang sejuk (1-2 tahun) (Idoes, 1998). Tanaman Meranti (Shorea sp) Menurut Marfuah (1995), dikatakan bahwa meranti termasuk anggota famili dipterocarpaceae yang merupakan famili terpenting di antara flora di Indonesia. Marga meranti meliputi ± 194 jenis diantaranya terdapat di Kalimantan. Tanaman meranti memiliki ciri – ciri umum yaitu; pohonnya bergetah damar, daun bertepi rata dan memiliki daun penumpu. Pada umumnya jenis – jenis meranti memiliki pohon besar,
Universitas Sumatera Utara
19
tinggi total dapat mencapai 60 m dan tinggi bebas cabang 45 m. Diameter batang ada yang mencapai 2 m dan ada yang berbanir sampai 5 m. Kebanyakan dari pohon ini menduduki lapisan tajuk teratas (stratum A), tetapi ada pula yang menduduki lapisan tajuk kedua (stratum B), misalnya Shorea teysmania dan Shorea pinanga. Ada beberapa jenis meranti yang umum dikenal adalah Shorea leprosula, Shorea johorensis, Shorea parvilia, Shorea platyclados, Shorea macrophylla, Shorea selanica, dan Shorea smithiana. Meranti terdiri dari dari 4 kelompok yaitu meranti merah, meranti kuning, meranti putih, dan meranti balau (selangan batu). Meranti dapat tumbuh pada ketinggian tempat mulai dari permukaan laut sampai 800 m diatas permukaan laut. Rata – rata curah hujan tahunan 2000-3000 mm/tahun. Jenis - jenis meranti ini dapat tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah kuning, dan podsolik kuning sampai pada ketinggian 1300 m diatas permukaan laut (PROSEA, 1999). Pada umumnya akar dari jenis – jenis Dipterocarpaceae kurang mengandung bulu – bulu akar, tetapi banyak ditemui ektotropik mikoriza. Misalnya pada Shorea stepnoptera, Shorea ovalis, Shorea polyandra, Shorea leprosula, Shorea amithiana, Dipterocarpus, dan Drybalanops aromatica. Rizosfer (Rhizhosphere) Rizosfer adalah menunjukkan bagian tanah yang dipengaruhi perakaran tanaman walaupun secara eksperimental sering didefinisikan sebagai tanah yang melekat pada akar. Pertumbuhan akar tanaman merubah sifat fisik dan kimia tanah, termasuk kandungan mineral dan organik, potensial air, pH dan salinitas. Kebanyakan tanah mengandung unsur hara tanaman yang rendah, sebaliknya rizosfer merupakan lokasi yang kaya unsur hara. Wilayah ini mengandung eksudat akar (senyawa – senyawa
Universitas Sumatera Utara
20
berberat molekul rendah yang dibebaskan selama metabolisme sel – sel akar normal), sekresi akar (senyawa – senyawa berberat molekul rendah dan tinggi yang disintesa untuk sekresi), dan senyawa – senyawa yang dibebaskan lysis sel – sel tanaman (Beattie, 2006). Hiltner
(1904)
mendefinisikan
rizosfer
sebagai
volume
tanah
yang
berdekatan/berbatasan dan dipengaruhi oleh akar tanaman. Para peneliti membagi rizosfer ke dalam ectorhizosphere atau outer rhizosphere yaitu bagian sebelah luar rizosfer dan endorizhosphere atau inner rhizosphere yaitu bagian sebelah dalam rizosfer pada daerah mana kolonisasi dan invasi sel – sel korteks akar oleh mikrobia terjadi (Hanafiah dan Sabrina, 2009). Pentingnya rizosfer disebabkan karena C – Organik dibebaskan akar ke rizosfer tersebut dapat menstimulasi dan meningkatkan pertumbuhan mikrobia yang terdapat di akar dan di sekitar akar, sebaliknya mikrobia menstimulasi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan transformasi bahan organik tanah, mobilisasi hara anorganik, memproduksi hormon dan senyawa lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, berperan sebagai agen antagonis melawan penyakit, dan mekanisme lainnya (Hanafiah dan Sabrina, 2009). Sifat Biologi Tanah C – Organik Komposisi tanah terdiri atas bahan mineral 45%, air 25%, udara 25% dan bahan organik 5%. Komponen organik tanah adalah residu tumbuhan dan hewan di dalam tanah pada berbagai tingkat dekomposisi. Kadarnya ± 5% dari total volume tanah. Konsentrasi C – Organik berkisar dari < 5 g C/kg tanah (0,5% C) hingga 130 g C/kg tanah (13% C) di tanah humus alpin (Histosol dan Mollisol) pada lapisan 0-10 cm, pada
Universitas Sumatera Utara
21
lahan lempung padang berpasir (Aridisol). Bahan organik terdiri atas organisme hidup (10%), akar tanaman (10%), dan humus (80%). Unsur penyusun utama dari bahan organik adalah C (52-58%), O (34-39%), dan H (3.3-4.8%) dan N (3.7-4.1%). Dari kadar yang hanya 5 % dari total volume tanah, komponen organik tersusun atas organisme hidup (<5%), residu segar (<10%), bahan aktif (33-50%), dan humus (3350%) (Mukhlis dkk, 2014). Bahan organik tanah berasal dari sisa - sisa tanaman, fauna dan mikrobia tanah. Bahan organik tanah terdiri dari senyawa humik (50%), senyawa non humik (30%), bahan organik kasar (16%), dan biomassa biota tanah (4%). Biomassa tanah terdiri atas akar tanaman (8%), mikrobia tanah (70%), dan fauna tanah (28%) (Hanafiah, 2009). Komponen organik tanah dibedakan atas organisme hidup yang biasa disebut biomassa dan organisme yang telah mati. Organisme yang telah mati, yang disebut sebagai bahan organik diklasifikasikan bahan non–humik dan bahan humik. Bahan non– humik merupakan senyawa yang dibebaskan dari proses dekomposisi tanaman, seperti karbohidrat, asam amino, lemak, asam nukleat, lignin, dan asam – asam berberat molekul rendah. Bahan humik adalah bentukan alami, biogenik, senyawa yang heterogen, tak terhumifikasi, bahannya tak teridentifikasi dan berberat molekul cukup tinggi, amorfus sebagian aromatik seperti asam humik, asam fulvik dan hemin (Mukhlis dkk, 2014). Ada tiga pokok utama pemasok C ke dalam tanah yaitu (a) tajuk tumbuhan/tanaman berupa seresah/sisa panen; (b) akar tumbuhan melalui akar – akar yang mati, ujung – ujung akar, eksudasi akar, respirasi akar; (c) biota tanah. Bahan organik (seresah dan akar yang mati) yang masuk kedalam tanah akan digunakan oleh herbivora, karnivora, dan mikrobia tanah heterotroph sebagai sumber energi mereka.
Universitas Sumatera Utara
22
Karbon (C) dapat hilang dari dalam tanah melalui beberapa cara antara lain; (a) evavotranspirasi, (b) terangkut panen, (c) dipergunakan oleh biota tanah, dan (d) erosi (Horwarth, 2007). Siklus karbon terdiri dari dari dua bagian yaitu fiksasi CO2 oleh organisme
fotosintetik, dan dekomposisi bahan organik (Hanafiah, 2009).
Perubahan bentuk bahan organik adalah sebagai berikut: 1. Penambahan yaitu bila akar dan daun mati, maka menjadi bagian bahan organik tanah. 2. Transformasi yaitu organisme tanah secara terus-menerus mengubah komponen organik dari bentuk satu ke bentuk yang lain. Mikroba tanah mengkonsumsi residu tanaman dan bahan organik lainnya, kemudian menghasilkan produk sampingan, limbah, dan jaringan tubuhnya. 3. Mikroba makan tanaman yaitu merupakan proses beberapa limbah mikroba merupakan hara yang dapat digunakan oleh tanaman. Organisme juga menyediakan bahan lain yang berpengaruh kepada pertumbuhan tanaman. 4. Stabilisasi bahan organik yaitu bahan organik menjadi stabil dan resisten terhadap perubahan. (Mukhlis dkk, 2014) Kandungan karbon organik tanah akan terus menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman, baik yang ditanam dengan monokultur maupun yang ditanam dengan sistem agroforestri. Bahkan, kandungan dan total bahan organik tanah dapat menurun hingga 50% pada lahan hutan yang dialihkan menjadi lahan perkebunan kakao. Hal ini terjadi karena adanya pengelolaan oleh petani sehingga kandungan bahan organik tanah semakin menurun, dimana aliran permukaan dan erosi yang terus terjadi
Universitas Sumatera Utara
23
dalam lahan pertanian dan laju dekomposisi yang tinggi akibat berubahnya mikro iklim (Monde, 2009). Nitrogen Total Tanah mengandung N – Total sekitar 0.02% (sub soil) hingga 2.5% (pada tanah organik). N diserap tanaman dalam bentuk NO3 2− dan NH4+. Tiga sumber utama N tanah berasal dari; (1) bahan organik tanah, (2) fiksasi N2 biologis dan (3) pupuk
anorganik. Sumber N terbesar adalah gas N2 yang dijumpai sekitar 78% dari komposisi gas dalam atmosfir. Bentuk ini kebanyakan tidak dapat digunakan oleh organisme termasuk tanaman, dan hanya dapat digunakan oleh mikroba prokariot yang hidup bebas di dalam tanah ataupun yang bersimbiosa dengan tanaman. Nitrogen di dalam tanah
dijumpai dalam bentuk N-organik (≥95%) dan N -anorganik (≤5%). Perubahan N organik menjadi N-anorganik sangat penting karena hanya N-organik yang mempunyai berat molekul rendah (rantai pendek) yang bisa diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, mikroba memainkan peranan yang penting pada proses transformasi nitrogen (Hanafiah dan Sabrina, 2009). Fiksasi N2 secara biologi merupakan perubahan bentuk N2 menjadi N-organik
adalah proses utama yang mengembalikan N ke dalam tanah. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa laju fiksasi N2 baik secara biologi maupun yang dijalankan pada industri pupuk tidak dapat mengimbangi laju denitrifikasi yaitu perubahan nitrat
menjadi nitrous oksida (N2 O) dan kemudian menjadi gas dinitrogen (N2 ) sehingga
mengakibatkan N merupakan polutan utama (Galloway dkk, 2003).
Fiksasi nitrogen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non simbiotik dan simbiotik. Fiksasi nitrogen secara non simbiotik dapat dilakukan oleh diazotroph yang hidup bebas di dalam tanah (tidak berasosiasi dengan tanaman). Bakteri yang hidup
Universitas Sumatera Utara
24
bebas, terutama spesies yang aerobik seperti Azomonas, Azotobacter, Beijerinchia, Spirillum, dan yang anaerob Clostridium dan Desulfovibri. Sedangkan fiksasi nitrogen secara simbiotik dapat dilakukan dengan simbiosa tanaman leguminosa dengan bakteri Rhizobium merupakan penyumbang terbesar N pada suatu agroekosistem tropis. Fiksasi N2 terjadi pada bakteroid yang dijumpai di dalam bagian berwarna merah bintil akar.
Mikrobia ini memiliki enzim nitrogenase yang memungkinkan dapat mereduksi gas N2 menjadi N-amonia (Hanafiah dan Sabrina, 2009).
Bentuk N-organik di dalam tanah sangat beragam seperti protein, asam amino, polimer dari dinding sel mikrobia, dan amino-gula, asam nukleat dan berbagai vitamin, antibiotik, dan intermediate metabolisme. Transformasi N-organik dan N-anorganik di dalam tanah dapat dikelompokkan melalui 5 proses yaitu mineralisasi (ammonifikasi), asimilasi (immobilisasi), nirifikasi, reduksi nitrat (denitrifikasi) dan fiksasi N2 di udara (Hanafiah dan Sabrina, 2009).
Proses – proses dalam siklus N ada dua kelompok yaitu: 1. Proses – proses yang menyebabkan pengkayaan N tanah, yang dibedakan atas dua bentuk; -
Proses mikrobia meliputi fiksasi N2 oleh mikroorganisme hidup yang hidup
bebas atau yang bersimbiosa dengan tanaman -
Proses non mikrobia meliputi penambahan N melalui air irigasi, absorpsi amonia udara, dan pemberian pupuk buatan
2. Proses – proses yang menyebabkan kehilangan N tanah, dibedakan atas dua bentuk; -
Proses mikrobia yaitu denitrifikasi (reduksi nitrat)
Universitas Sumatera Utara
25
-
Proses non mikrobia yaitu volatilisasi amonia, berbagai reaksi kimia, hilang karena tercuci, erosi, pembakaran, terangkut melaui tanaman sewaktu panen.
(Hanafiah dan Sabrina, 2009). Rasio C/N Salah satu aspek yang paling penting dari keseimbangan hara total adalah rasio karbon organik dengan nitrogen (C/N). Rasio C/N bahan organik adalah perbandingan antara banyaknya kandungan unsur karbon (C) terhadap banyaknya kandungan unsur nitrogen yang ada pada suatu bahan organik. Mikroorganisme membutuhkan karbon dan nitrogen untuk aktivitas hidupnya. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang, jika rasio C/N terlalu rendah kelebihan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi (Djuarnani, 2005 dalam Widarti dkk., 2015). Rasio C/N juga merupakan indikator yang baik bagi kualitas bahan organik tanaman yang merupakan sumber nutrien dan energi bagi makrofauna tanah. Dengan besarnya rasio C/N berarti jumlah N yang terurai lebih sedikit begitu juga berlaku sebaliknya, sehingga makrofauna tanah akan lebih memilih bahan organik tanaman dengan rasio C/N kecil (Setiawan, dkk., 2003). Besarnya
C/N
ratio
menunjukkan
mudah
tidaknya
bahan
organik
terdekomposisi. Rasio C/N tinggi menunjukkan adanya bahan tanah lapuk yang relatif banyak (misalnya selulosa, lemak dan lilin) sehingga belum terdekomposisi sempurna, sebaliknya semakin kecil nilai rasio C/N menunjukkan bahwa bahan organik semakin mudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus. Tingkatan nisbah C/N optimum mempunyai rentang antara 20 – 25 (kandungan N sekitar 1,4 – 1,7%) yang ternyata
Universitas Sumatera Utara
26
ideal untuk dekomposisi maksimum karena tidak akan terjadi pemebebasan nitrogen melalui mineralisasi dari sisa-sisa organik di atas jumlah yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Nisbah C/N yang baik antara 20-30 dan akan stabil pada saat mencapai perbandingan 15. Nisbah C/N yang terlalu tinggi mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah (Badan Litbang Pertanian, 2011). Total Mikroba Jenis mikroba yang banyak hidup di dalam tanah adala bakteri, jamur, gangang, aktinomisites, dan protozoa. Mikrobia tanah dijumpai berasosiasi dengan udara (atmosfir tanah) dan fase cair (larutan tanah), dijumpai terutama sekali pada bahan organik dan pada mikrosit – mikrosit dalam tanah misalnya seperti dalam pori – pori yang terdapat diantara partikel – partikel tanah dan atau agregat – agregat tanah. Udara dan air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan dan aktivitas mikrobia tanah, yang membatasi jumlah dan jenis mikrobia tanah. Sebagian mikroba tanah ada yang berada di partikel – partikel tanah, ada yang berada pada selaput air, dan ada juga yang berada pada pori – pori yang berisi air secara kontiniu. Sebagian kecil tidak bebas di dalam tanah, tetapi terabsorbsi pada koloid tanah oleh kapasitas tukar kation. Kebanyakan mikroba dijumpai dalam bentuk koloni – koloni pada partikel – partikel tanah. Pada keadaan ini mereka terlindung dari serangan predator (Hanafiah dan Sabrina, 2009) Mikroorganisme di dalam tanah banyak ditemukan di daerah perakaran (rizosfer). Sebagian besar organisme tanah tersebut termasuk dalam golongan tumbuhan. Walaupun demikian peranan kelompok binatang sangat penting khususnya pada saat pelapukan. Sebagian besar mikroorganisme tanah berukuran kecil sehingga
Universitas Sumatera Utara
27
tidak bisa dilihat dengan mata, sehingga disebut mikroorganisme ini sangat penting bagi pertumbuhan tanaman (Winarso, 2005). Jumlah dan aktivitas mikrobia tanah dipengaruhi oleh jenis tanah, pertumbuhan tanaman (komposisi spesies, penutup tanah, penetrasi akar ke tanah, serasah, dan lainnya), perlakuan yang di berikan kepada tanah, penanaman, iklim makro dan mikro dari setiap lokasi. Daerah rizosfer merupakan tempat yang penting karena kondisi ekologi di daerah tersebut dipengaruhi oleh eksudat akar. Jumlah mikrobia tanah dan aktivitas metaboliknya lebih tinggi di daerah rizosfer dibandingkan daerah sekitarnya (Hanafiah dan Sabrina, 2009). Mikrobia tanah membutuhkan senyawa atau unsur tertentu yang diperlukan untuk memperoleh energi yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan proses – proses vital di dalam selnya. Hasil dari proses – proses tersebut berikutnya digunakan untuk membangun jaringan selnya dan untuk berkembang biak. Beberapa mikrobia tanah dapat memanfaatkan berbagai senyawa atau unsur untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sedangkan yang lain hanya menggunakan jenis senyawa atau unsur yang sama (Hanafiah dan Sabrina, 2009) Respirasi Tanah Respirasi tanah merupakan salah satu indikator aktivitas mikroba di dalam tanah. Pada proses respirasi terjadi penggunaan O2 dan pembebasan CO2 , sehingga tingkat respirasi dapat ditentukan dengan mengukur 𝑂𝑂2 yang digunakan oleh mikroba
tanah (Alexander, 1971; Anas, 1989). Pengukuran respirasi dapat dilakukan pada tanah tidak terganggu di lapangan maupun dari contoh tanah yang di ambil (Widati, 2007). Tingkat respirasi tanah ditetapkan dari tingkat evolusi CO2 . Evolusi CO2
dihasilkan dari dekomposisi bahan organik. Dengan demikian, tingkat respirasi adalah
Universitas Sumatera Utara
28
indikator tingkat dekomposisi bahan organik yang terjadi pada selang waktu tertentu (Widati, 2007). Tinggi rendahnya respirasi tanah dapat memperlihatkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Tingginya laju respirasi berkorelasi positif dengan tingginya populasi mikroba yang menggambarkan peningkatan laju dekomposisi bahan organik. Peningkatan laju dekomposisi bahan organik disebabkan karena adanya pengolahan lahan berupa pembuatan drainase yang bertujuan untuk mengurangi air permukaan. Pengurangan air permukaan menyebabkan laju dekomposisi bahan organik tanah meningkat karena kondisi ini sangat disukai oleh bakteri heterotrof sehingga populasi bakteri juga mengalami peningkatan (Notohadiprawiro, 2006). Jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh kondisi lembab dan temperatur yang sesuai. Pada kondisi lembab dan temperatur yang baik 1 kilogram tanah dapat mengeluarkan atau membebaskan sekitar 1 sampai 30 kilogram karbon sebagai CO2 (Sutedjo, 1996). Prinsip pengukuran dan penetapan CO2 dapat dilakukan dengan larutan NaOH
atau KOH yang digunakan sebagi penangkap CO2 yang kemudian di titrasi dengan HCl.
Jumlah HCl yang di perlukan untuk titrasi setara dengan jumlah CO2 yang dihasilkan (Widati, 2007).
Makrofauna Tanah Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah invertebrata yang berukuran lebih besar dari 2 mm. Komponen utama adalah rayap, cacing tanah dan atrhropoda berukuran besar. Makrofauna memiliki kemampuan menggali kedalam tanah menciptakan struktur yang spesifik untuk pergerakan dan aktivitas mereka. Kotoran mereka dapat meningkatkan kesuburan tanah. Mereka disebut dapat mengatur ekosistem
Universitas Sumatera Utara
29
karena kemampuannya mempengaruhi struktur tanah, melalui kotoran – kotoran banyak mengandung bahan organik, atau campuran mineral-organik yang mereka hasilkan (Hanafiah, 2009). Diantara kelompok makrofauna yaitu insecta (serangga) memiliki peranan besar dalam tanah yaitu; (a) mencampurkan bahan atau senyawa organik dengan mineral tanah ke lapisan yang lebih dalam (b) stimulasi aktivitas mikrobia tanah (c) menimbulkan tanah yang kaya unsur hara, (d) mempengaruhi siklus N dan C, dan (e) menciptakan bipori untuk perakaran, infiltrasi dan aerasi yang lebih baik (Phelps dkk, 2005). Makrofauna tanah merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang diduga mengalami penurunan yang tajam sebagai akibat pengembangan sistem agroforestri. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengalihan dari sistem non agroforestri menjadi sistem agroforestri yang akan mempengaruhi keadaan lingkungan pada umumnya dan keanekaragaman makrofauna tanah pada khususnya (Moore and Allen, 1999). Cacing Tanah Cacing tanah adalah organisme eukariot dan multiseluler, berbentuk silindris yang tubuhnya terdiri dari deretan segmen – segmen yang serupa dan bebentuk cincin – cincin kecil. Setiap segmen dipisahkan oleh septum. Tubuh mereka dilapisi oleh lendir yang lembab yang berfungsi untuk respirasi (pertukaran udara). Cacing tanah bergerak dengan cara kontraksi dan relaksasi ototnya. Cacing tanah mempunyai bulu ditubuhnya yang berguna untuk mencantelkan diri pada permukaan selama pergerakannya (Hanafiah, 2009). Cacing tanah termasuk hermaphrodit yaitu organ sex jantan dan betina berada pada tubuh yang sama. Namun reproduksi terjadi melalui fertilisasi silang. Sebagian
Universitas Sumatera Utara
30
dari cacing tanah berkembang biak tidak secara seksual (kawin) dan sebagian lagi secara parthenogenesis yaitu perkembangan telur tanpa terjadi pembuahan, sebagaian lagi dapat melakukan keduanya (Ningthoujam Sandhyarani, 2009). Cacing tanah dijumpai hampir disemua jenis tanah kecuali di tanah – tanah tergenang dan tanah – tanah berpasir. Cacing menyukai tempat yang lembab dan mengandung bahan organik yang cukup, lebih mudah berkembang biak pada musim hujan dari pada musim kemarau (Hanafiah, 2009). Cacing tanah berperan dalam menggemburkan tanah dan membantu proses dekomposisi bahan – bahan organik pada lahan tempat hidupnya serta membantu dalam proses pensiklusan bahan tanaman yang mati dan melapuk dengan jalan memakannya dan ikut membantu menguraikannya. Proses peningkatan kesuburan tanah melalui perbaikan aerasi tanah dengan menggali tanah dan membuat liang – liang sehingga tumbuhan dapat dengan mudah memperoleh unsur hara, udara, air, dan melalui kotoran mereka yang kaya unsur hara (Edwards dkk, 2005). Sebagian cacing tanah menyukai akar – akar rumput atau akar tanaman yang lain yang telah mati. Sebagian cacing tanah menggunakan tanah serta sisa – sisa makanan sebagai bahan makanannya dengan mencampurkannya terlebih dahulu satu sama lainnya. Cacing menelan tanah yang bercampur bahan organik, sehingga partikel – partikel tanah masuk kedalam pencernaannya, dan dari tanah tersebut bahan organik diekstrak untuk sumber nutrisinya. Melalui proses ini terjadi pencampuran partikel tanah lapisan atas dengan lapisan bawah dan pemindahan bahan organik dari lapisan atas ke lapisan tanah yang lebih dalam. Ketika cacing tanah berpindah ke lapisan bawah, maka akan terbentuk liang – liang pori tanah yang dapat memperbaiki tekstur dan aerasi tanah, sehingga tanah menjadi gembur. Sebagian cacing tanah
Universitas Sumatera Utara
31
mengekskresikan kotorannya di dalam sarang atau liang yang dibuatnya, dan sebagian lagi membuangnya di permukaan tanah (Bruno, 2005).
Universitas Sumatera Utara