II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pohon Jati Pohon jati merupakan pohon yang memiliki kayu golongan kayu keras
(hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter. Tinggi batang bebasnya mencapai 18-20 meter. Kulit batang berwarna cokelat gradasi dan kuning keabu-abuan. Pohon jati yang baik adalah pohon yang memiliki garis diameter batang yang besar, berbatang lurus dan jumlah cabangnya sedikit. Bentuk daun pohon jati besar dan membulat dengan tangkai yang sangat pendek. Ukuran daun pohon jati yang telah tua sekitar 15 x 20 cm. Daun yang muda berwarna kemerahan mengeluarkan getah jika diremas. Bunga dari pohon jati terletak di puncak pucuk pohon dengan ukuran 40 cm. Pohon jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mendominasi hutan di Indonesia. Tanaman ini sangat baik untuk dibudidayakan di Indonesia, karena selain memang nilai ekonominya yang tinggi, kondisi cuaca dan lingkungan tropis sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jati. Syarat lokasi untuk bududaya jati diantaranya ketinggian lahan maksimum 700 meter dpl, suhu usara 13° - 43° C, pH tanah 6 dan kelembapan lingkungan 60% – 80%. Curah hujan optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan jati sekitar 1000 – 1500 mm/tahun. Curah hujan berpengaruh terhadap sifat gugurnya daun dan kualitas fisik kayu. Secara alamiah pohon jati akan menggugurkan daunnya pada musim kemarau, lalu tumbuh kembali pada musim hujan (Mulyana dan Asmarahman, 2010). 2.2
Limbah Pohon Limbah pohon dari pemanenan merupakan bagian pohon yang sebenarnya
dapat dimanfaatkan tetapi karena berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan.
Selain itu, limbah pemanenan kayu adalah limbah atau residu dari kegiatan industri kayu seperti pada pabrik, penggergajian, mebel, dan lain-lain. (Simarmata & Sastrodimedjo dalam Anggoro, 2007). Limbah pemanenan dapat berupa kayu bulat yang merupakan bagian dari batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut (Budiaman dalam Anggoro, 2007): 1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam. 2. Batang atas adalah bagian dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (Komersial). 3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada diatas cabang pertama 4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada dibawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas. 5. Potongan kecil adalah bagian batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu. Menurut Martawijaya (1990), menyebutkan bahwa limbah kayu merupakan semua kayu yang bersisa, baik berasal dari pohon yang ditebang maupun pohon-pohon yang rusak akibat kegiatan eksploitasi berupa pembuatan
10
jalan, tebang bayang, penebangan dan pengangkutan, termasuk pohon yang ditebang untuk pembebasan pohon inti. Kelayakan pemanfaatan limbah pohon akibat pemanenan tergantung pada dua faktor utama, yaitu : 1. Kesesuaian fisik dari limbah pemanenan untuk menghasilkan produkproduk tertentu. 2. Nilai produk yang dihasilkan dari limbah pemanenan relatif terhadap biaya pengolahan dan penerimaan (Timson dalam Anggoro, 2007). 2.3
Karakteristik Usaha Pengolahan Limbah Pohon Jati Usaha pengolahan limbah pohon jati merupakan bagian dari usaha mikro
kecil menengah (UMKM), karena memiliki kriteria yang sama dengan kriteria dari UMKM, yaitu (Siregar, 2009): 1. Memiliki kekayaan atau asset bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 2. Hasil penjualan tahunan (omzet) paling banyak 1 miliar rupiah 3. Milik warga Indonesia 4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah dan usaha besar. 5. Terbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum. 6. Jumlah tenaga kerja 5 – 99 orang. Adapun empat macam karakteristik usaha mikro kecil menengah (UMKM), yaitu:
11
1. Sebagian besar UMKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods) khususnya yang tidak tahan lama (non-durable consumer goods). Kelompok barang ini dicirikan bila seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat permintaan terhadap barang ini tidak berubah banyak, begitu juga sebaliknya jika pendapatan masyarakat merosot sebagai akibat dari krisis maka permintaan pun tidak berkurang banyak. 2. Mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha. 3. Umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi yang ketat yaitu hanya memproduksi
barang
atau
jasa
tertentu
saja
(Kebalikan
dari
konglomerasi). UMKM mengarah pada pasar persaingan sempurna dimana kondisi keluar masuk pasar kerap terjadi. Spesialisasi dan struktur pasar tersebut membuat UMKM cenderung fleksibel dalam memilih dan berganti usaha. 4. Terbentuknya usaha kecil informal baru akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja dimasa krisis. Hambatan-hambatan yang terjadi pada UMKM di Indonesia, yang mempengaruhi karakteristik dari UMKM, yaitu (Siregar, 2009): 1. Financial atau permodalan. Masalah permodalan umumnya disebabkan karena UMKM merupakan usaha perseorangan yang mengandalkan modal sendiri dengan jumlah yang terbatas dan keterbatasan akses ke sumberseumber permodalan, terutama akses lembaga keuangan formal seperti bank.
12
2. Kelemahan dalam Organisasi manajemen. Umumnya UMKM merupakan usaha yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Hal ini berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. 3. Kelemahan dalam akses pasar. UMKM biasanya memiliki keterbatasan dalam menyediakan produk atau jasa yang sesuai dengan keinginan pasar. 4. Kebijakan pemerintah daerah. Adanya undang-undang tentang oronomi daerahnya sendiri. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur masyarakatnya. Sehingga seringkali terjadi pengaturan yang berlebihan oleh pemerintah. 5. Pengaruh globalisasi. Di tengah tuntutan kemampuan bersaing dalam negeri, UMKM juga harus menghadapi persaingan global yang berasal dari berbagai bentuk usaha. 2.4
Nilai tambah Nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya
input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu komodits dapat dilihat dari adanya perubahanperubahan pada komoditas tersebut, yaitu perubahan bentuk, tempat dan waktu. Perubahan yang terjadi diakibatkan adanya perlakuan-perlakuan tertentu terhadap produk primer seperti pengolahan, pengawetan dan pemindahan untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah. Menurut Hayami (1987) dalam Maimun (2009), terdapat dua cara dalam menghitung nilai tambah, yaitu dengan menghitung nilai tambah selama proses
13
pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran. Nilai tambah (value added) adalah penambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu proses produksi. Menurut Hayami et. al (1987) dalam Maimun (2009), definisi dari nilai tambah adalah penambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditi bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa proses pengubahan bentuk (from utility), pemindahan tempat (place utility), maupun penyimpanan (time utility). Nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen. Tujuan dari analisis nilai tambah adalah untuk mengukur balas jasa yang diterima pelaku sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang diciptakan oleh system tersebut. 2.5
Penelitian Terdahulu Sari (2010) melakukan penelitian mengenai kayu pohon jati, dengan judul
Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara. Hasil dari penelitian ini adalah manajemen usaha pengrajin mebel kayu Jepara memperlihatkan bahwa keberlangsungan usaha pengrajin dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan pengrajin dan manajemen produksi pengrajin. Para pengrajin sering menggunakan uang dana operasional perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan keuangan ketika mendapatkan order. Manajemen produksi pada penelitian ini ditinjau dari bentuk kerjasama dengan pembeli, kemampuan menentukan harga dan negosiasi serta akses pengrajin terhadap pembeli. Karakteristik pasar mebel jati di Jepara juga didapatkan marjin pasar terbesar terdapat pada lembaga pengolahan akhir yang melakukan tambahan
14
proses finishing yaitu pedagang mebel. Struktur pasar yang terbentuk pada pengrajin dan pemilik toko adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga pemasaran, didapat nilai rasio tertinggi terdapat pada pengumpul. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul lebih sedikit dari pada biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin dan pemilik toko. Saluran pemasaran yang banyak terdapat di industri mebel jati Jepara adalah saluran satu tingkat (pengrajin, eksportir, gudang, konsumen) dan saluran empat tingkat (pengrajin, pengumpul dilur Jepara, finishing, konsumen). Perbedaan preferensi antara produsen dan konsumen terdapat pada atribut produk seperti pada keluhan dan kekuatan mebel, atribut harga, atribut lokasi, dan atribut promosi. Komalasari (2009) melakukan penelitian mengenai kayu pohon jati dengan judul “Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai diameter 3 cm adalah 34,98 m2 dengan nilai ratarata per pohon 1,17 m3. Sejumlah 23,32 m3 (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan nilai rata – rata per pohon 0,78 m3. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai 8,26 m3 dan presetase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil berasal dari tunggak yaitu 0,73 m3 (3,12%). Sejumlah 68,31% masih berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai sortimen kayu bulat, yaitu sebesar 0,16 m3/pohon dengan proporsi cabang dan ranting 47,20%, 46,98% batang atas dan sisanya (5,82%) merupakan potongan pendek.
15
Anggoro (2007) melakukan penelitian dengan judul “Identifikasi Potensi Limbah Pemanenan Jati di KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani II Jawa Timur”. Hasil penelitian ini diketahui volume limbah yang dihasilkan mencapai 15.759,017 m3. Terdiri atas 1,77% limbah berbentuk kayu pecah, 0,48% limbah berbentuk kayu lapuk, 1,4% berbentuk potongan pendek, 91,35% berbentuk cabang dan ranting, 2,91% berbentuk tunggak dan 2,08% berbentuk limbah kayu tak beraturan. Limbah yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah limbah yang berbentuk kayu pecah, kayu tak beraturan, tunggak, limbah berbentuk cabang dan ranting. Volume limbah yang dimanfaatkan 15.313,280 m3 atau 97% dari total limbah pemanenan. Nilai dari limbah yang dimanfaatkan adalah sebesar Rp 401.700.000. Penelitian mengenai kayu pohon jati dari dari segi sosio-ekonomi maupun teknis telah banyak dilakukan. Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, seperti halnya pada bagian pohon jati yang dikaji. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Blora khususnya Kecamatan Jiken yang telah melakukan pengolahan limbah pohon jati. Bagian dari pohon jati yang diteliti adalah tunggak dari pohon jati. Penelitian ini menitik beratkan pada karakteristik usaha, rantai pemasaran, nilai tambah dan pendapatan yang dihasilkan, serta penyerapan tenaga kerja akibat usaha pengolahan limbah pohon jati.
16