TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Hutan Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem. 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon – pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan .3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan
ekosistem
yang
berada
dalam
keseimbangan
yang
dinamis
(Awang et al, 2002). Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang et al, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995). Potensi Sumber Daya Hutan Indonesia Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang rusak. Kerusakan ini disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah adanya over ekplorasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non hutan (misalnya perkebunan, transmigrasi, jalan raya), timber ekstraksion yang merupakan tujuan utama dalam pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan, adanya illegal logging dan kebakaran hutan, penegakan hukum yang lemah, pemberian fasilitas konsesi hutan kepada sekelompok kecil kroni, korupsi dan inefisiensi peraturan pemerintah dalam proses pengusahaan hutan (Rahmawaty, 2004). Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya
Universitas Sumatera Utara
bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi (Rahmawaty, 2004). Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan
suatu
kesatuan
siklus
yang
dapat
mendukung
kehidupan
(Reksohadiprojo dan Brodjonegoro, 2000). Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai ( Rahmawaty, 2004). Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi ke dalam bentuk (Zain, 1997) : a. lahan pertanian b. hutan dengan aneka ragam hasilnya c. lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah
Universitas Sumatera Utara
d. perikanan darat dan laut e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar f. sumber energi non-mineral seperti : panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang . Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya(Rahmawaty, 2004). Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia ( Rahmawaty, 2004). Beberapa hal tersebut di atas, ditambah dengan kegiatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai akibatnya adalah timbulnya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, dengan para pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan. Dengan adanya program (proyek) pembangunan kehutanan dengan pendekatan kehutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan, diharapkan pada gilirannya nanti akan
Universitas Sumatera Utara
memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan (Hendarto, 2002). Pemanfaatan sumber daya hutan ternayata selama ini tidak dinikmati secara proporsional oleh masyarakat. Kepentingan dan hakmasyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan sering terabaikan, termasuk aksesnya terhadap manfaat hutan. Sehingga memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut. Hal ini menyebabkan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia meskipun pemanfaatan sumber daya hutan telah berlangsung lama (Justianto, 2005). Nilai Ekonomi Hasil Hutan Nilai adalah merupakan persepsi manusia tentang makna sesuatu objek (sumberdaya hutan) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif
seorang (individu) tentang atau
terhadap suatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indra yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Lidiawati, 2003). Manfaat SDH sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar,sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi SDH dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat SDH belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi SDA yang semakin
Universitas Sumatera Utara
terdegradasi. Untuk itu dkembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat SDH baik untuk manfaat SDH yang memiliki harga pasar ataupun tidak, dalam satuan moneter. Oleh karena itu nilai sumber daya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Keragaman nilai ini mencakup besar nilai maupun macam nilai yang ada. Nilai yang dimiliki oleh sumberdaya hutan tidak saja nilai ekonomi tetapi juga nilai ekologis dan nilai sosial (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2000). Perlu dikemukakan disini bahwa pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasanatau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat. Bahwa barang dan jasa tersebut yaitu mmeiliki kegunaan, bersifat langka dan kepemilikan yang jelas (Lidiawati, 2003). Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat marketable dan manfaat non-marketable. Manfaat hutan non;marketable adalah barang dan jasa hutan yang belum dikenal nilainya atau belum ada pasarnya, seperti beberapa jenis kayu lokal,kayu energi, binatang dan seluruh manfaat intangible hutan (Affandi dan Patana, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Hasil Hutan -
Kayu Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam
hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsoon musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Irian Jaya (kadang juga disebut Papua). Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Luasnya diperkirakan 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an (FWI/GFW, 2001). Indonesia merupakan salah satu eksportir utama kayu dan produk kayu pada skala global. Nilai total ekspor ini diperkirakan mencapai 9 miliar USD. Indonesia tidak mengekspor produk yang belum diolah seperti kayu gelondongan dan kayu gergajian kasar, sedangkan produk kayu utama dengan daerah tujuan UE adalah kertas dan karton, perabot mebel dan kayu lapis. Pasar tujuan utama di dalam UE adalah Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia (Kemitraan Sukarela FLEGT, 2010). Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan untuk produksi kayu (meskipun tidak semuanya aktif dibalak), dan ada 2 juta ha lagi hutan tanaman industri yang telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu pulp.
Universitas Sumatera Utara
Volume dan nilai produksi kayu Indonesia sulit ditentukan secara persis: data yang disediakan oleh FAO, the International Tropical Timber Organization dan Pemerintah Indonesia masing-masing berbeda dan tidak bisa dibandingkan begitu saja. Sebagian besar produksi kayu Indonesia digunakan untuk kepentingan domestik dan harganya umumnya jauh lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional. Namun jelas bahwa sektor kehutanan penting sekali bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 1997, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas nilainya mencapai 5,5 miliar dolar. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai ekspor minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor total (FWI/GFW, 2001). Sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang hebat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian tahun 1980-an dan 1990-an, tetapi ekspansi ini dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak lestari sama sekali. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta meter kubik kayu tiap tahun untuk memasok industri penggergajian, kayu lapis, pulp dan kertas. Jumlah kayu yang dibutuhkan ini jauh lebih besar daripada yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI. Akibatnya, lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia sekarang diperoleh dari pembalakan illegal (FWI/GFW, 2001). -
Non kayu
Paradigma baru sektor kehutanan memandang sumber daya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Sumber daya hutan juga bersifat multi
Universitas Sumatera Utara
guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari hasil hutan kayu yang hanya memberikan sumbangan 20%, melainkan juga manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan (pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan), yang memberikan sumbangan terbesar yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHBK tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal (Rencana Penelitian Integratif, 2010). Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa Negara (Rencana Penelitian Integratif, 2010). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.35/Menhut-II/2007 telah ditetapkan jenis-jenis HHBK yang terdiri dari 9 kelompok HHBK yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan. Pada saat ini terdapat 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangannya yaitu rotan, bambu, madu lebah, sutera dan gaharu.
Selain 5
komoditas
HHBK unggulan
nasional,
daerah
dapat
mengembangkan komoditas HHBK yang diunggulkan berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menurut Permenhut tersebut adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu. Produk HHBK ini mencakup (1) hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman
Universitas Sumatera Utara
obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan; dan (2) hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan. Sedangkan benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta jasa tidak termasuk dalam definisi Permenhut ini. Selama ini HHBK hampir tidak tersentuh dalam kegiatan kehutanan yang masih mengandalkan hasil hutan kayu baik dari hutan alam maupun dari hutan tanaman. Padahal potensi pemanfaatan yang bernilai ekonomis sangat besar yang perlu digali dan pengelolaan perlu dioptimalkan (Suharisno, 2009). Pemanfaatan HHBK pada umumnya masih bersifat tradisional dan masih menghadapi banyak kendala pengembangannya baik pada aspek budidaya, skala ekonomi, penanganan pasca panen, pengolahannya sederhana, rendahnya daya saing, kualitas produk serta pemasaran lokal. Pemungutan HHBK lebih banyak dilakukan secara manual (non-mekanis) yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pemanfaatan HHBK umumnya dilakukan oleh masyarakat dan mempunyai peranan ekonomis langsung kepada masyarakat (Suharisno, 2009). Suhendang (1999) telah memperinci manfaat hutan yang sangat banyak, sebagai berikut : 1. Nilai hasil hutan berupa kayu dan HHBK (seperti rotan, bambu, resin (anis), biji-bijian, madu, minyak lemak, minyak atsiri, tanin dan tumbuhan bahan obat). Manfaat dari hasil hutan ini bemilai sekitar Rp 1,2 juta/ha/ tahun atau 0,04 % dari total nilai hutan (TNH).
Universitas Sumatera Utara
2. Nilai fungsi hutan sebagai pencegah erosi, penghasil 02, penyerapan C02, pengendali banjir dan prasarana angkutan air: Rp 21,4 juta/ha/tahun (0,07 % dari TNH). 3. Nilai habitat satwa hidup (flora dan fauna) yang dilindungi dan endemik serta manfaat sosial budaya dan nilai religius, memberi manfaat keindahan alam, udara segar dan suasana nyaman sebagai objek wisata. Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu yang kesemuanya bernilai sekitar Rp 28,83 milyar/ha/tahun (98,89 % dari TNH). Nilai lain yang sampai saat ini belum dapat dikalkulasikan. Nilai HHBK sebenarnya dapat diperoleh dari posisi nilai 1) dan 3), karena HHBK juga dapat dihasilkan dari satwa dan flora hidup. Peranan HHBK dalam menunjang kegiatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan serta pelestarian hutan sudah menjadi kenyataan. Pengelolaan hutan perlu diarahkan sebagai penghasil HHBK yang dapat membuka kegiatan dan penghasilan bagi masyarakat lokal dengan memperhatikan faktor ekologisnya. Untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari antara lain adalah program peningkatan peranan HHBK yang mampu meningkatkan kegiatan dan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar hutan (Silva dan Atar dalam RPI, 2010). Masyarakat dan Hutan Hutan sebagai pendukung kesehatan hidup manusia yang bernilai tinggi, baru disadari saat ini setelah hutan tropika banyak mengalami kerusakan dan kepunahan. Saat ini ekosistem hutan tropika alam Indonesia yang masih tersisa ada dalam bentuk kawasan-kawasan hutan konservasi, terutama di kawasan taman nasional – taman nasional dan hutan lindung. Namun demikian hutan-hutan
Universitas Sumatera Utara
produksi ke depan harus dilihat sebagai penghasil multi-produk, baik kayu maupun non-kayu harus dikelola totalitas dengan pendekatan multi-sistem silvikultur (Zuhud, 2008). Hutan merupakan kekayaan alam anugerah Tuhan yang harus dilestarikan. Hutan memiliki multi fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, karena hutan berisi lebih dari sekedar kayu bundar, sebagai bahan baku industri, bahan bangunan maupun perabotan rumah tangga. Hutan mempunyai berbagai fungsi, yaitu fungsi ekonomis, ekosistem, sosial budaya dan sebagainya. Dari fungsi ekonomis, hutan merupakan sumber devisa bagi negara dan sumber lapangan kerja. Karena banyaknya fungsi hutan tersebut, maka sangat banyak kelompok atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (Warsid, 2000). Sumber daya hutan mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Dengan spesifiknya karakter hutan ini, maka apabila satu fungi digunakan akan dapat menurunkan fungsi yang lainnya. Dari spesifiknya karakter sumber daya hutan ini maka dalam pengelolaan kehutanan hendaknya diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup serta memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha(Warsid, 2000). Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki
Universitas Sumatera Utara
berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995). Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kelangkaan sumber daya hutan di masa mendatang perlu dilakukan beberapa perubahan dan inovasi mendasar dengan melibatkan masyarakat setempat / lokal yang akan memberikan peluang kepada mereka untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan guna meningkatkan kesejahteraannya . Saat ini masyarakat lokal masih ada yang belum diakui haknya dalam pengelolaan hutan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus konflik yang terjadi antara pihak pengusaha pengelola lahan dengan masyarakat lokal misalnya dengan pembakaran hutan, pencurian kayu dan lain-lain. Namun penduduk lokal tetap mengklaim bahwa hutan yang mereka usahakan adalah merupakan hak/miliknya, karena mempunyai ikatan yang kuat antara masyarakat lokal dan tanahnya. Tidak saja ikatan ekonomis tetapi juga ikatan sosial, psikologis dan religius. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal baik dalam bentuk keluarga maupun komunitas tidak terlepas dari sistem budaya yang mereka miliki seperti nilai, norma, kepercayaan dan etika lingkungan. Lestari atau rusaknya hutan sangat tergantung dari sistem sosial, teknologi dan sistem budaya yang dimilikinya dalam memanfaatkan hutan. Dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat lokal / adat yang perekonomiannya sangat
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada lahan sekitarnya, maka penguasaan lahan oleh masyarakat tersebut perlu diakui sepanjang kondisi lahan dapat terjaga kelestariannya (Raga, 2001) Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa sekitar hutan tampaknya sesuatu hal yang biasa dijumpai di seluruh wilayah pedesaan di negara berkembang manapun. Inilah salah satu pekerjaan rumah yang menjadi tugas para penopang untuk mengukur dan menilai sejauh mana peran masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat ditingkatkan. Di lain pihak dalam kerangka pengelolaan hutan yang partisipatif perlu pula dilaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan kualitas organisasi mereka, baik yang formal maupun informal. Ini menjadi tugas bagi siapa saja yang berkeinginan melestarikan hutan. Secara umum ada tiga hal yang perlu dibenahi dalam upaya meningkatkan masyarakat, yaitu demokratisasi kehidupan sosial, penguatan kelembagaan dan organisasi, dan peningkatan perekonomian pedesaan (Arupa,2000). Tiga hal ini cukup berat untuk dilaksanakan sendirian oleh penopang yang manapun. Untuk itulah dirasa perlu untuk membuat sebuah lembaga/konsorsium yang bekerja bersama-sama untuk mencukupi bekal yang diperlukan masyarakat untuk bisa mengelola hutannya dengan mandiri (Arupa, 2000). Gambaran Umum Lokasi Penelitian TAHURA Bukit Barisan Sumatera Utara ditetapkan dalam suatu unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas areal 51.600 Ha. TAHURA Bukit Barisan terletak di empat kabupaten yaitu Langkat, Deli Serdang, Simalungun dan Tanah Karo. Kawasan Hutan tersebut sebagian besar hutan lindung yang berupa hutan alam pegunungan
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan sejak zaman Belanda, yaitu Hutan Lindung Sibayak I, Hutan Lindung Simancik I, Huatan Lindung Sibayak II, Hutan Lindung Simancik II, Suaka
Margasatwa
Langkat
Selatan
dan
Hutan
Lindung
Sinabung
(Andayani,2005). Bagian dari Tahura yang menjadi tempat penelitian adalah Desa Doulu dan Desa Jaranguda . Kedua desa ini diambil sebagai desa yang mewakili sekitar kawasan Tahura Bukit Barisan Kabupaten Karo. Desa Doulu Letak dan luas Desa Doulu terletak pada Kecamatan Brastagi dengan luas 300 Ha. Adapun batas wilayah desanya adalah: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Deleng Macik
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Deleng Singukut
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Semangat Gunung
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Sempulen Angin
(Pemerintah Kabupaten Karo, 2010). Topografi dan Ketinggian Tempat Desa Doulu berada pada ketinggian 1000 mdpl, dengan curah hujan 2000 mm pertahun dan suhu rata-rata harian 16oC - 20 0C. Tingkat kesuburan tanahnya sedang dengan luas 290 Ha (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010). Aksesibilitas Jarak dari Desa Doulu ke ibukota kecamatan 11 km dan jaraknya ke ibukota kabupaten 23 km serta ke ibukota propinsi 56 km. Waktu yang diperlukan dari desa untuk menempuh ke pusat fasilitas umum terdekat adalah ± 15 menit.
Universitas Sumatera Utara
Dan desa ini sangat mudah diakses karena angkutan setiap saat ada (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010). Kependudukan Jumlah penduduk desa 1737 jiwa (596 KK). Penduduk didominasi usia kerja produktif, laki-laki 873 jiwa dan perempuan 864 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Kristen (1257 orang) dan sisanya beragama Islam dan Katolik. Terdapat tempat ibadah yaitu 2 mesjid, 3 gereja Kristen dan 1 gereja Katolik, semuanya dalam keadaan baik. Mata pencaharian penduduk Desa Doulu umumnya bertani, sebagian PNS, berdagang dan beternak (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010). Sosial Budaya Penduduk asli Desa Doulu adalah Suku Karo. Masyarakat pendatang cukup paham dan mengerti adat istiadat penduduk desa karena mereka sudah lama mendiami desa ini. Bahkan sudah banyak yang diangkat menjadi Suku Karo. Secara umum, mata pencaharian penduduk adalah bertani dan tepah ada kelompok – kelompok tani di Desa Jaranguda ini (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007). Desa Jaranguda Letak dan Luas Desa Jaranguda terletak pada Kecamatan Merdeka dengan luas 56 Ha dan berada pada kawasan hutan Negara. Jumlah penduduk desa ini adalah 375 kepala keluarga. Adapun batas administrasi Desa Jaranguda adalah :
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lau Gumba - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Merdeka - Sebekah Selatan berbatasan dengan Desa Gongsol - Sebelah Utara berbatasan dengan Tahura Bukit Barisan
Universitas Sumatera Utara
Topografi dan Ketinggian Tempat Desa Jaranguda memiliki ketinggian 1300 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 2000 – 3000 mm per tahun. Suhu rata-rata 17-25 0C. Kondisi permukaan tanah rata sampai bergelombang dengan tingkat kesuburan tanah subur ( Pemerintah Kabupaten Karo, 2007). Kependudukan Desa Jaranguda terdiri dari 375 kepala keluarga atau 1570 jiwa. Desa ini dihuni oleh Suku Karo, Toba, Simalungun, Aceh, Mandailing, Nias, Jawa, Minang dan Cina. Adapun agama yang dianut oleh masyarakat adalah islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik serta Budha. Tempat ibadah yang ada di desa ini antara lain sebuah masjid dan sebuah gereja dengan kondisi yang baik. Penduduk Desa Jaranguda sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sayur mayur. Sementara yang lain bernata pencaharian sebagai perajin keranjang, pedagang dan PNS (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007). Aksesibilitas Jarak antara Desa Jaranguda dengan ibukota kecamatan ± 2 km dan ± 13 km dari ibukota kabupaten. Sedangkan jarak ke ibukota propinsi ± 67 km. Waktu yang diperlukan dari desa untuk menempuh ke pusat fasilitas umum terdekat ± 30 menit. Ketersediaan alat angkutan umum setiap saat ada dari desa menuju kecamatan /desa lainnya (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007). Sosial Budaya Penduduk asli Desa Jaranguda adalah Suku Karo. Masyarakat pendatang cukup pahamdan mengerti adat istiadat penduduk desa karena mereka sudah lama mendiami desa ini. Bahkan sudah banyak yang diangkat menjadi Suku Karo.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, mata pencaharian penduduk adalah bertani dan tepah ada kelompok – kelompok tani di Desa Jaranguda ini (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007).
Universitas Sumatera Utara