11
PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon, semak, tumbuhan bawah, biota tanah, dan hewan. Dengan kata lain hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam
hayati
yang
didominasi
pepohonan
dalam
persekutuan
alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 tahun 1999, pasal 1). Hutan sebagai perlindungan terhadap sistem ekologi penyangga kehidupan, berfungsi sebagai pengendali siklus hidrologi (banjir, erosi, kekeringan), siklus karbon dan oksigen, serta siklus rantai makanan, yang menghasilkan air, oksigen dan makanan. Sehingga, luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) yang harus dipertahankan minimal 30 %, agar manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat lestari (UU 41 tahun 1999, pasal 18) (Pawitan, 2008). Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsurunsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan
Universitas Sumatera Utara
12
sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu (Sekretariat TKPSDA, 2003). Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air bermula kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah karena planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, masif, dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan. Air
Universitas Sumatera Utara
13
menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Di samping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998. Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai (Infra SDA, 2002). Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dewasa ini tergolong cukup tinggi hingga mencapai 2,3 % per tahun, pertumbuhan populasi penduduk tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja, minimnya
Universitas Sumatera Utara
14
ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan hal ini mendorong masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan pertanian baru pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) yang penggunaannya makin banyak dan makin intensif serta belum menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah akibatnya tanah menjadi rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan besar dalam mempercepat proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS. Tataguna lahan yang bersifat mengubah bentang lahan DAS dapat mempengaruhi hasil air dalam batasan tertentu kegiatan tersebut dapat mempengaruhi kondisi kualitas air, dan demikian halnya dengan aktivitas pembalakan hutan (forest logging/forest felling). Perubahan tata guna lahan dan jenis vegetasi dalam skala besar serta bersifat permanent mempengaruhi tingkat kesuburan tanah dan besar-kecilnya hasil air. Kekhawatiran akan kegiatan pembabatan vegetasi (hutan) secara luas adalah dapat mempengaruhi distribusi dan pola curah hujan serta perubahan iklim local, regional maupun iklim global (Tjimpolo, 2008)
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui penatagunaan lahan berdasarkan analisis skoring dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk perencanaan DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
15
2. Mengetahui kondisi penutupan lahan berdasarkan penatagunaan lahan hasil analisis skoring di kawasan DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan ilmiah untuk mengarahkan upaya yang diperlukan dalam kegiatan pengelolaan dan pembangunan kawasan ekosistem DAS Ular di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara