Kajian Kebijakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Memberikan Kepastian Hukum, Hak Usaha dan Hak-hak Masyarakat atas Pengamanan / Perlindungan, Pengelolaan maupun Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Kajian Kebijakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Memberikan Kepastian Hukum, Hak Usaha dan Hak-hak Masyarakat atas Pengamanan / Perlindungan, Pengelolaan maupun Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
add Alas Kusuma logo
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Memberikan Kepastian Hukum, Hak Usaha, dan Hak-Hak Masyarakat atas Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Diterbitkan atas kerjasama
Dewan Kehutanan Nasional Jl. Gatot Subroto – Jakarta 10270 Telp. (021) 570-3246 Ext 5388 Telp.Fax. (021) 5790-3082
Multistakeholder Forestry Programme Manggala Wanabakti Building Blok IV 9th Floor, Room 929-930, Wing C Jl. Jend Gatot Subroto, Jakarta 10270 Indonesia Telp. (021) 570-1107 / 570-3246 / 570-3265 ext 5327 Fax. (021) 570-4397 Website: Penerbitan buku ini didukung oleh: Daftar Nama anggota tim Ad hoc Kajian Kebijakan Konservasi DKN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ir. I Made Subadia, M. Sc dari Dep – Hut Fathi Hanif, SH. dari WWF Dr.Ir. Samedi, M.Sc. dari PHKA-Dephut Bambang, SH dari Ro-Kum-Dephut Harry Alexander, SH. LLM dari WCS Andri Santosa dari FKKM Arbi Valentinus dari OCSP Mufti Al Amin dari PT. Alas Kusuma
Kredit foto-foto: Donald Bason / OCSP
Dewan Kehutanan Nasional 2010
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga laporan final Tim Ad hoc tentang Kajian Kebijakan Konservasi Dewan Kehutanan Nasional dapat diselesaikan pada waktunya. Laporan ini disusun sebagai bentuk pertanggungan jawab tim terhadap penugasan Dewan Kehutanan Nasional, sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan pembentukan Tim Ad hoc Kajian Kebijakan Konservasi DKN, Januari 2009. Kajian Kebijakan Konservasi dilakukan tim selama enam bulan, melalui berbagai pertemuan dan analisis, hasilnya mungkin belum seluruhnya maksimal, terutama muatan revitalisasi UU 5/90 tentang KSDH & E. Sehubungan dengan hal tersebut, ke depan kami sarankan pemerintah perlu mengadakan kajian lanjutan penyempurnaan UU 5/90 hasil dari Tim Ad hoc Kajian Kebijakan Konservasi DKN, demi efektifitasnya penyelenggaraan konservasi di Indonesia bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Laporan diharapkan dapat mendorong segera diadakannya perubahan kebijakan konservasi di Indonesia, disamping diharap-kan pula sebagai bahan pengkayaan masalah dan solusi dalam penyelenggaraan konservasi di Indonesia. Dengan telah selesainya kajian kebijakan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, Tim Ad hoc menyampai-kan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Departemen Kehutanan, WWF Indonesia, dan OCSP yang telah memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan kegiatan, demikian pula ucapan terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang telah berperan serta dalam meyukseskan kegiatan kajian kebijakan konservasi. Jakarta, 6 Juli 2009
Ketua Tim Ad hoc Kajian Kebijakan Konservasi DKN
Ir. I Made Subadia Gelgel, M.Sc.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif.......................................................................................1 Bab. I Pendahuluan ............................................................................5
Latar Belakang.............................................................................................5 Tujuan .........................................................................................................6 Metodologi ..................................................................................................6 Ruang Lingkup .............................................................................................7
Bab. II Penyelenggaraan Konservasi SDAHE.........................................9 Umum .......................................................................................................9 Penyelenggaraan konservasi kawasan....................................................11 a. Klasifikasi ..............................................................................11 b. Tata kelola pemerintahan .....................................................12 c. Hak - hak masyarakat ...........................................................13 d. Isu - isu strategis ..................................................................14 Penyelenggaraan konservasi jenis dan genetik.......................................16 a. Klasifikasi...............................................................................16 b. Tata kelola pemerintahan.......................................................18 c. Hak - hak masyarakat............................................................18 d. Isu - isu strategis ..............................................................19 Bab. III Review .................................................................................21
PP 68 dan PP 18 (konservasi kawasan) ................................................21 PP 7 dan PP 8 (konservasi tumbuhan dan satwa liar) ............................23 UU 5/1990 .............................................................................................25
Bab. IV
Rekomendasi .....................................................................33
Bab. V
Penutup .............................................................................35
Bab. VI Lampiran 6.1. Kegiatan Tim Ad hoc 6.2. Alur fikir 6.3. Matriks Kajian 6.4. Matrik Input FGD 6.5. Draf Perubahan PP No. 68 Tahun 1998 6.6. Draf Perubahan PP No. 18 Tahun 1994 6.7. Draf Perubahan PP No. 7 Tahun 1999 6.8. Draf Perubahan PP No. 8 Tahun 1999 6.9. Draf Naskah Akademis Perubahan UU No. 5
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
RINGKASAN EKSEKUTIF Sebuah kajian telah dilakukan di beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia. Peraturan yang ditinjau meliputi (1) Undang-undang dan (4) Peraturan Pemerintah meliputi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990; Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, Nomor 68 Tahun 1998, Nomor 7 Tahun 1999, dan No 8 Tahun 1999. Untuk keperluan ini tim ad hoc dibentuk di bawah pengawasan Badan Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Tim ini juga secara tidak langsung melakukan analisis kritis nasional dan peraturan daerah yang relevan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia diatur melalui serangkaian peraturan stemed pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hidup dan Ekosistem. Meskipun adanya kekurangan di beberapa hukuman (terutama bagi spesies yang tidak dilindungi), tindakan ini dianggap sebagai hukum paling komprehensif hingga akhir abad 20, dalam memberikan peraturan ketat tentang konservasi sumber daya alam. Dibawah Undang-undang ini, Indonesia telah berhasil menyisihkan sebagian besar (lebih dari 20 juta hektar) dari wilayah Indonesia sebagai suatu jaringan kawasan lindung. Namun, dengan perubahan politik di akhir 1990-an dan awal 2000-an, beberapa undang-undang sektoral baru telah diundangkan. Tindakan baru ini telah membuat banyak masalah mengenai pelaksanaan konservasi di lapangan. Beberapa inkonsistensi dan bahkan saling bertentangan ketentuan telah ditemukan. Ada contoh di mana undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Pertambangan dan bertentangan dengan Undangundang Otonomi Konservasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Banyak ketentuan Undang-undang Konservasi merongrong secara tak terelakkan. Sayangnya, ada juga beberapa peraturan pelaksanaan di bawah Undang-Undang Konservasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri belum belum ditetapkan. Dengan tidak adanya peraturan pelaksanaan ini banyak ketentuan hukum konservasi tidak efektif operasional. Indonesia juga merupakan anggota untuk beberapa konvensi internasional dan regional atau perjanjian bilateral mengenai konservasi keanekaragaman hayati, termasuk CITES, Ramsar dan CBD, yang memerlukan legislasi nasional untuk implementasi yang efektif pada tingkat nasional. Ini adalah untuk tujuan ini bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan peraturan pelaksanaannya telah dipekerjakan sebagai legislasi nasional untuk pelaksanaan CITES. Dua peraturan pelaksanaan yang menyediakan spesies liar pelestarian dan pemanfaatan spesies liar adalah Peraturan Pemerintah No 7 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 masing-masing.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
1
Pelestarian spesies liar yang juga includesthe spesies mekanisme untuk memasukkan dalam daftar spesies yang dilindungi, pengelolaan populasi liar di alam liar habitat (in situ) dan manajemen dalam tawanan dan lingkungan yang terkendali (ex situ) tidak seluruhnya sempurna, karena ada kekurangan perlindungan habitat bagi spesies yang terancam punah, terutama di mana habitat jatuh di luar kawasan lindung yang sangat rentan terhadap konversi. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pemanfaatan tumbuhan dan binatang liar menyediakan peraturan tentang pemanfaatan seperti penelitian, penangkaran, perdagangan komersial, hewan layar dan hobi. Namun, peraturan ini juga kekurangan kemampuan untuk menghukum kejahatan yang melibatkan non-spesies yang dilindungi. Pada tingkat ekosistem, peraturan pelaksanaan dari hukum konservasi terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Protected Areas. Ditemukan bahwa ada banyak konflik di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Pemanfaatan jasa lingkungan, terutama untuk tujuan rekreasi alam yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Rekreasi Alam. Peraturan ini memberikan ketentuan mengenai sistem permiting pemanfaatan kawasan lindung untuk rekreasi, tetapi telah ditemukan bahwa pemanfaatan taman untuk tujuan rekreasi tidak berkembang dengan baik karena kelemahan regulasi. Mereka adalah di antara isu-isu dan masalah-masalah yang diidentifikasi oleh tim ad hoc selama periode enam bulan bekerja. Tim ad hoc yang diberi mandat untuk meninjau kebijakan konservasi di tingkat Peraturan Pemerintah, dan pada tingkat tertentu analize kemungkinan amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Empat diskusi kelompok terarah dilakukan dengan semua pihak terkait. Diskusi dilakukan antara 20 April dan 22 Mei 2009. Diskusi kelompok fokus ini dibahas secara lebih dalam isu-isu dan masalah yang diidentifikasi selama meja tinjauan terhadap tim ad hoc. Tim Ad hoc pada Kebijakan Konservasi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah disajikan hasil peninjauan kembali kepada Departemen Kehutanan. Studi ini menemukan bahwa masalah-masalah tidak hanya berakar dari kurangnya beberapa ketentuan penting dari peraturan pemerintah, tapi juga dari permasalahan pokok yang berasal dari kelemahan dari UU No. 5/90 itu sendiri. Ada banyak masalah yang perlu dipecahkan oleh kebijakan yang kuat dan manajemen yang lebih baik, melalui efektifitas pelaksanaan undangundang. Sementara isi menyarankan isu untuk merevisi perundang-undangan
2
Dewan Kehutanan Nasional 2010
di tingkat Peraturan Pemerintah, tim ad hoc merekomendasikan bahwa UU Konservasi harus direvisi juga. Untuk tujuan ini draft akademis untuk revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang dilampirkan pada laporan ini. Selain beberapa masalah mendasar, studi menemukan bahwa tindakan-tindakan konservasi membutuhkan lebih banyak dukungan dari pemerintah daerah dan lokal dan/atau masyarakat adat. Itu juga direkomendasikan bahwa kemitraan dengan semua stakeholder dapat digambarkan melalui, misalnya membangun pengelolaan kolaboratif untuk melibatkan semua pemangku kepentingan dalam memaksimalkan usaha-usaha konservasi. Semua masalah ini harus jelas dimasukkan dalam revisi undang-undang.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
3
BAB I:
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa besarnya dan berdasarkan UUD 1945, kekayaan alam tersebut dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia secara geografis berada di daerah tropis dan di zona peralihan antara Asia dan Australia, mempunyai banyak tipe ekosistem unik yang dipengaruhi oleh kedua wilayah biogeografis tersebut. Departemen Kehutanan (2004) menyatakan bahwa, Indonesia memiliki kekayaan keaneka-ragaman hayati yang tinggi, (nomor dua di dunia), dicerminkan oleh keanekaragaman ekosistem dan jenis satwa dan flora, tercatat ada 515 jenis mamalia (12% dari total jumlah mamalia dunia); 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia) 1.531 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan berbunga. Dewasa ini akibat berbagai sebab, kekayaan alam tersebut telah mengalami degradasi (termasuk deforestasi) yang luar biasa, tercatat laju degradasi hutan 1,08 juta hektar/tahun selama periode 2000 – 2005 (Departemen Kehutanan, 2009). Degradasi tersebut telah berdampak pada hilangnya sebagian fungsi kawasan, rusaknya habitat tumbuhan dan satwa liar, juga telah berdampak pada meningkatnya laju kelangkaan/kepunahan tumbuhan dan satwa liar, disamping berdampak luas bagi penurunan kualitas mutu kehidupan dan meningkatnya ancaman bagi kehidupan manusia. Degradasi terjadi oleh berbagai sebab, seperti konversi hutan, illegal logging, perambahan, dan kebakaran. Hal ini erat kaitannya dengan lemahnya partisipasi masyarakat, lemahnya penegakan hukum maupun akibat lemahnya tata laksana pengelolaan. Situasi ini dipengaruhi antara lain oleh belum mantapnya peraturan perundangan, sehingga tidak mampu menjamin terwujudnya kaidah–kaidah pengelolaan alam lestari. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sebagai salah satu bentuk optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam bagi terwujudnya kemakmuran rakyat berkelanjutan juga tidak bisa terhindar dari situasi diatas, oleh karena itu perlu dilakukan upaya–upaya revitalisasi peraturan perundangan di bidang konservasi agar sasaran konservasi dapat segera diwujudkan. Keinginan melakukan revitalisasi peraturan perundangan di bidang konservasi, selama ini telah menjadi perhatian pemerintah dalam rangka revitalisasi sektor kehutanan, namun karena berbagai kendala revitalisasi tersebut belum berjalan sesuai dengan harapan. Situasi ini secara cerdas dilihat Dewan Kehutanan Nasional (DKN), dan dalam kapasitasnya sebagai mitra pemerintah, DKN
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
5
memandang perlu upaya percepatan revitalisasi kebijakan bidang konservasi. Menyadari kompleksitas permasalahan yang akan dikaji, DKN kemudian menetapkan satu kelompok pakar untuk bergabung dalam Tim Ad hoc Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hasil revitalisasi kebijakan diharapkan akan mampu menjamin terselenggaranya konservasi secara lebih efektif, terjaminnya kepastian hukum, kepastian usaha dan hak-hak masyarakat atas sumberdaya hutan.
TUJUAN Kajian dilakukan dengan maksud diperolehnya gambaran masalah dan solusi penyelenggaraan konservasi selama ini, dengan tujuan antara lain: 1. Menghasilkan review terkini terhadap penyelenggaran kebijakan kawasan konservasi 2. Menghasilkan rekomendasi perubahan peraturan perundangan di bidang konservasi guna menjamin terselenggaranya kegiatan konservasi secara lebih efektif, terciptanya kepastian hukum dan kepastian usaha dibidang jasa, dan terpenuhinya hak–hak masyarakat atas sumberdaya alam.
METHODOLOGI Metode Pengkajian yang digunakan dalam studi analisis gap dengan tema pergeseran paradigma kebijakan konservasi. Kajian terkait dengan Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta peraturan pelaksanaannya dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif, studi kepustakaan (library research) dan diskusi. Kajian dilaksanakan selama enam bulan (Januari – Juni 2009). Hasil studi dan diskusi kemudian dirumuskan dalam bentuk rekomendasi perubahan Peraturan Pemerintah, serta rekomendasi usulan revitalisasi UU yang terkait dengan KSDH & E. Alur fikir dalam metode tersebut dikembangkan sesuai dengan hasil rapat tim Ad hoc dengan Steering Committee DKN dalam beberapa kali pertemuan di Jakarta (alur fikir terlampir). Beberapa tahapan metodologi yang dilakukan: Pengumpulan data kebijakan perundangan bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dilaksanakan di perpustakaan/file Direktorat Jendral PHKA dan Biro Hukum serta hasil kajian yang selama ini telah ada/dilakukan oleh berbagai pihak (WCS, WWF, OCSP, dll). Identifikasi isu isu strategis berkaitan dengan implementasi kebijakan serta keterkaitan kebijakan KSDH & E dengan kebijakan/peraturan perundang-
6
Dewan Kehutanan Nasional 2010
undangan terkait. Hasil identifikasi di analisis dengan harapan dapat dihasilkan suatu matrik kajian hukum dan kebijakan yang yang lebih akurat dan tajam bagi rekomendasi awal perubahan kebijakan dimasa yang akan datang. Hasil analisa diatas didiskusikan dalam beberapa seri diskusi terbatas, dengan berbagai kalangan ahli ataupun profesional yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Diskusi ini diharapkan dapat menggalang persepsi dan pemikiran sehingga dapat memberikan alternatif pilihan-pilihan reformasi kebijakan konservasi. Diskusi ini dilakukan oleh sub Tim Ad hoc (sub tim kawasan dan sub tim jenis). Hasil pertemuan terbatas kemudian dikonsultasikan ke para pemangku kepentingan melalui focus group discussion dan konsultasi publik. Tahapan ini untuk menggalang aspirasi dan persepsi publik terkait kebijakan konservasi di Indonesia. Tahapan ini diharapkan dapat melahirkan rekomendasi dan rencana tindak lanjut focus group discussion dan konsultasi publik dilakukan dengan para pihak di Jakarta, maupun didaerah (Papua), serta workshop regional di Pontianak, Palangkaraya, Balikpapan dan Medan.
RUANG LINGKUP Kajian kebijakan konservasi oleh Tim Ad hoc diarahkan pada seluruh kebijakan pemerintah yang mengatur tentang penyelenggaraan KSDH & E di Indonesia. Namun demikian memperhatikan arahan SC serta akibat terbatasnya waktu, kajian tim lebih difokuskan pada kajian Peraturan pemerintah (PP) 68/1998, PP 18/1994, PP 7/1999 dan PP 8/1999, serta kajian terhadap UU 5/90. Kajian tersebut meliputi materi hukum kebijakan konservasi dan implementasi di lapangan. Hasil kajian disusun menjadi sebuah rekomendasi penyempurnaan kebijakan konservasi di bidang konservasi yang telah ada.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
7
PRAKTIK PENYELENGGARAAN KONSERVASI SDAHE BAB II:
Banyak pihak menyatakan bahwa, konservasi keanekaragaman hayati atau sumber daya alam hayati di Indonesia tidak dapat lepas dari berbagai kebijakan dan praktek dari berbagai disiplin ilmu, seperti biologi, lingkungan, hukum, politik dan keamanan, ekonomi, hingga agama, sosial dan budaya. Saling keterkaitan telah menjadi karakteristik dan latar belakang kebijakan maupun praktek konservasi keanekaragaman hayati1. Gambaran diatas juga diperoleh dari hasil studi dan diskusi tim dengan para pihak, sebagaimana nampak dalam uraian berikut. Untuk memudahkan menangkap gambaran praktik penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Indonesia, uraian berikut akan dibagi dalam uraian umum, tata kelola dan jaminan atas hak – hak masyarakat dalam penyelenggaraan konservasi kawasan (ekosistem), serta dalam penyelenggaran konservasi jenis dan genetik.
UMUM Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Indonesia meliputi kegiatan konservasi ekosistem, serta konservasi jenis dan genetik yang dilaksanakan melalui kegiatan: a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan keanekaragaman hayati serta. c. Pemanfaatan secara lestari. Pengaturan lebih lanjut kegiatan tersebut dituangkan dalam berbagai ketetapan kebijakan publik, seperti UU 5 tahun 1990 tentang KSDH & E, dan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (beberapa pasalnya juga mengatur ketentuan pengelolaan hutan konservasi). Lebih lanjut UU tersebut telah ditindaklanjuti dengan beberapa Peraturan Pemerintah seperti PP 68/1998, tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (KSA dan KPA); PP 18/1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA); PP 7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa; PP 8/1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar; PP 13/1994 tentang perburuan satwa buru serta PP 3/2008 jo PP 1
Mochamad Indrawan dkk, Biologi Konservasi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. hal. 505.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
9
6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Berdasarkan hasil diskusi dengan para pihak, diperoleh informasi bahwa penyelenggaraan KSDH & E belum berjalan efektif. Kondisi ini diindikasikan oleh meningkatnya kerusakan kawasan, meningkatnya laju keterancaman spesies flora dan fauna, meningkatnya konflik satwa dengan kepentingan manusia dan konflik “kepemilikan lahan” pada kawasan konservasi. Lebih buruk lagi, di beberapa tempat telah berkembang stigma negatif bahwa “konservasi tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat”, atau “konservasi hanya untuk konservasi” dan “konservasi menghambat pembangunan”. Stigma ini muncul akibat begitu kakunya pratik kegiatan konservasi di Indonesia dewasa ini diakibatkan oleh legislasi yang kurang efektif dan implementasi di lapangan tidak konsisten. Belum efektifnya kegiatan KSDH & E, bisa terjadi akibat berbagai hal, dan yang utama adalah akibat lemahnya kelembagaan (SDM dan sarpras pengelolaan), serta belum baiknya kebijakan publik yang mengatur penyelenggaraan KSDH & E. Lemahnya kebijakan publik dibidang konservasi, antara lain berkaitan dengan kurangnya keberpihakan perundangan terhadap rakyat. Hal ini dicerminkan oleh terbatasnya ketentuan yang mengatur ketersedian peluang bagi masyarakat di dalam dan sekitar wilayah konservasi, baik peluang lapangan pekerjaan maupun peluang pemanfaatan. Kondisi ini sangat terasa nuansanya dalam PP 68, PP 18, maupun PP 7 dan PP 8, yang disusun berdasarkan UU 5/90. Apabila kita urut kebelakang, ketidak berpihakan UU tersebut pada rakyat cukup dapat dimaklumi karena suasana pada saat disusunnya undang-undang tersebut sangat sentarlistis, sangat dipengaruhi oleh paham barat dan kurang “pro poor”. Hal ini juga tercermin dalam sebagian besar undang-undang yang mengatur tentang sumberdaya alam, seperti kehutanan, pertambangan dan perikanan yang dihasilkan pada masa lalu pada umumnya sangat sedikit yang pro-rakyat. Terlebih lagi karena undang-undang konservasi mempunyai mandat utama untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati maka apabila terlalu longgar dikawatirkan kerusakan lingkungan akan semakin parah. Pemikiran seperti inilah yang memunculkan pengaturan yang oleh sebagian besar masyarakat dirasakan terlalu banyak larangan yang mengikat, dan kurang berpihak pada rakyat.
10
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Model penyelenggaraan konservasi seperti diatas, dewasa ini sudah kurang sesuai lagi karena adanya berbagai perubahan lingkungan strategis. Selain itu model penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi yang konsepnya dikembangkan untuk diterapkan di negara-negara barat, sering tidak sesuai untuk diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang ketergantungan masyarakat terhadap kawasan masih sangat besar. Dewasa ini telah terjadi arus pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang diantaranya ditandai dengan: a. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah, menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle). b. Penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up (participatory). c. Pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/ collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local communitybased). d. Pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif– fleksibel-netral. e. Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator.
PENYELENGGARAAN KONSERVASI KAWASAN a. Klasifikasi: Kawasan konservasi2 Indonesia dikelompokan menjadi Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), baik daratan maupun perairan. Klasifikasi kawasan tersebut secara fisik sulit dibedakan di lapangan, karena kriteria dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi faktor pembeda antar kelas tersebut tidak jelas dan sulit diukur. Walaupun KSA ditujukan untuk upaya pengawetan, sedangkan KPA untuk upaya pemanfaatan, keduanya mempunyai fungsi yang sama yaitu perlindungan keanekaragaman hayati di tingkat ekosistem, jenis maupun genetik. Perbedaan antara KSA dan KPA hanya mengenai tujuan pengelolaan, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. KSA merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan, yang memiliki fungsi utama sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya juga berfungsi sebagai penyangga kehidupan3. Terdapat dua macam kawasan KSA yaitu, 2
Peraturan perundang-undangan di bidang konservasi belum mengenal istilah kawasan konservasi. UU No. 5 Tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, sedangkan Keppres No. 32 Tahun 1990 menggunakan istilah kawasan lindung.
3
Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara No. 3419. Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
11
1: Cagar Alam, 2: Suaka Margasatwa4. Sementara KPA adalah kawasan yang memiliki fungsi hampir sama dengan kawasan suaka alam, hanya saja memiliki fungsi lebih, yaitu dapat dimanfaatkan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara lestari5, selanjutnya diklasifikasikan menjadi, 3: Taman Nasional, 4: Taman Hutan Raya dan 5: Taman Wisata Alam6. Selain KSA dan KPA, terdapat Taman Buru yang terkait dengan kawasan konservasi. Taman Buru sebenarnya tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tetapi diatur dalam PP No. 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru yang merupakan turunan UU No. 5 Tahun 1990. Taman Buru juga diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan7. Guna memudahkan pengelolaan KPA, Taman Nasional dibagi dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain, sedang Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya dibagi dalam blok perlindungan dan blok pemanfaatan. Di sisi lain KSA tidak dikelola berdasarkan ruang berupa zonasi maupun blok. Seluruh kategori kawasan konservasi tersebut di atas diperuntukkan bagi perlindungan ekosistem secara mutlak sehingga kecil kemungkinannya masyarakat dapat mengakses untuk memperoleh manfaat. Selain itu sebenarnya ada kategori kawasan konservasi (klasifikasi IUCN) yang membuka peluang adanya masyarakat dapat masuk ke dalamnya, yaitu kategori V (Protected Landscape) dan kategori VI (Integrated Management Protected Areas). Namun bentuk-bentuk kawasan tersebut tidak dimasukkan dalam kategori KSA dan KPA dalam UU No. 5 Tahun 1990. b. Tata kelola pemerintahan Penyelenggara pengurusan KPA dan KSA, belum sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati masih sangat sentralistis, dan menjadi tugas utama Pemerintah (cq. Departemen Kehutanan), kecuali Taman Hutan Raya yang pengurusannya telah menjadi urusan Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten/Kota. Pemerintah telah menetapkan penyelenggaraan urusan konservasi adalah salah satu tugas utama Departemen Kehutanan (cq. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam / PHKA). Kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan pengurusan konservasi relatif sangat besar, sejak dari penunjukan dan penetapan kawasan, maupun penetapan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, pembagian zonasi/blok kawasan, sampai dengan pemanfaatan, dan perlindungannya. 4
Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara No. 3419.
5
Pasal 30 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara No. 3419.
6
Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara No. 3419.
7
Pasal 7 UU No. 41 Tahun 1999. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor XX, Tambahan Lembaran Negara No. XX.
12
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Praktik tata kelola konservasi lebih sering dilakukan dengan atau kurang memperhatikan peran para pihak, utamanya masyarakat yang akan terkena dampak. Kasus yang paling menonjol adalah dalam penataan batas kawasan konservasi dan penetapan zonasi, dimana penataan batas sering tidak diketahui secara luas oleh masyarakat, dan banyak hak-hak masyarakat yang sering terampas pada saat tata batas. Demikian juga dengan pembagian zonasi/blok dilakukan hanya dilakukan oleh pemerintah, walaupun Peraturan Menteri No. 56 Tahun 2006 telah mencoba untuk mengharuskan konsultasi publik dalam penataan zona. Kondisi inilah yang mendorong rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pada masa lalu ada beberapa kasus menonjol berkaitan dengan hal ini, seperti penolakan sebagian masyarakat terhadap penetapan TN Merapi – Merbabu, atau terhadap pengelolaan TN Danau Sentarum. Sampai saat ini juga masih ada kasus penataan batas Taman Nasional Kayan Mentarang, yang terkatung-katung karena banyak hak-hak masyarakat yang bisa hilang apabila tata batas dilakukan dengan cara “business as usual” dan akibatnya sudah dapat diduga. Keterlibatan masyarakat dalam penetapan zonasi/blok baru dilakukan setelah tahun 2007 dengan terbitnya Permenhut No 56 tahun 2006 tentang pedoman zonasi taman nasional. Sebelum adanya peraturan menteri tersebut, peran serta masyarakat lebih bersifat ‘semu’ karena sangat terbatas dan pasif (baru bisa terlibat jika diikut sertakan lembaga pemerintah). Sedangkan keterlibatan pemerintah daerah secara penuh hanya pada Pengelolaan Taman Hutan Raya, serta manakala akan diterbitkannya ijin pemanfaatan dalam kawasan tersebut. c. Hak – hak masyarakat Peraturan perundang-undangan di bidang konservasi saat ini kurang memberikan ruang bagi hak-hak masyarakat untuk menikmati manfaat langsung dari kawasan konservasi bagi peningkatan kesejahteraannya. Masyarakat hanya dimungkinkan melakukan kegiatan budidaya tradisional, dan harus tinggal menetap diluar kawasan konservasi sekalipun keberadaan mereka sudah ada jauh hari sebelum kawasan tersebut ditunjuk. Di sisi lain, Permenhut No. P.56 Tahun 2006 mem-buka kemungkinan masyarakat menetap di zona khusus dalam Taman Nasional. Kebiasaan masyarakat yang dilandasi kearifan lokal dan telah diwariskan sejak jaman dulu, seperti berburu, mengambil kayu dan pengambilan tumbuhan obat menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dan diancam pidana setelah kawasan tersebut menjadi KSA atau KPA. Sekalipun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri No. P.19 Tahun 2005 tentang kolaborasi peng-
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
13
elolaan KSA dan KPA (Permenhut ini merupakan terobosan, karena payung hukum berupa PP maupun UU yang lebih tinggi belum ada), hak hak masyarakat belum diatur secara jelas. Permenhut tersebut baru sebatas mengatur kerja sama pada beberapa bagian dari pengelolaan kawasan. Kedepan pengaturan mengenai peran masyarakat dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan kawasan perlu dilakukan. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 sebenarnya memberi peluang pemanfaatan jasa wisata alam dalam kawasan bagi siapa saja termasuk masyarakat untuk mendapatkan izin. Izin tersebut adalah izin pembangunan sarana – prasarana wisata alam. Karena ijinnya hanya berupa izin pembangunan sarana pra sarana wisata alam, yang sudah tentu memerlukan modal besar, maka bentuk pemanfaatan ini dianggap hanya bisa dinikmati oleh pemodal besar. Semua pihak memahami, pembangunan sarana prasarana membutuhkan modal dan keahlian khusus, sementara masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat pada umumnya tidak cukup memiliki kemampuan tersebut. Implementasi PP 18 dalam pengaturan perijinan dan mekanisme pemberian ijin yang diatur dalam Permenhut No. 44 Tahun 1996 melahirkan proses yang panjang. Proses perizinan menjadi rumit dan panjang akibat begitu banyak tahapan penilaian yang harus dilalui pemohon izin. Untuk mendapatkan izin minimal membutuhkan waktu 170 hari kerja, sementara itu ada lembaga yang keberadaannya telah dilikuidasi, (Kantor Kanwil Kehutanan Propinsi) namun masih dicantumkan dalam proses perijinan. Disamping keruwetan diatas, dalam konteks pengelolaan, pemegang izin sulit menyusun Rencana Karya Pariwisata Alam. Hal ini sulit dilaksanakan karena Rencana Karya harus merujuk pada Rencana Pengelolaan yang dibuat oleh Menteri. Sampai kajian ini dilakukan, Menteri belum mengesahkan Rencana Pengelolaan tersebut. d. Isu - isu strategis Hasil kajian terhadap kebijakan dan implemetasi penyelenggaraan koservasi kawasan, mengindentifikasikan ada beberapa isu strategis yang perlu mendapat perhatian bersama dalam penyelenggaraan konservasi di tingkat ekosistem (kawasan), yaitu: 1. Kriteria penetapan KSA dan KPA untuk masing-masing katagori kawasan masih belum jelas batasannya. 2. Peran para pihak dalam pengukuhan kawasan, penatabatasan kawasan dan zonasi/penataan blok kawasan masih perlu ditingkatkan termasuk dalam rangka menghindari konflik terhadap status kawasan. 3. Perlindungan terhadap hak masyarakat yang telah ada sebelum ditetapkananya menjadi KPA dan KSA, dan terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaaan kawasan konservasi.
14
Dewan Kehutanan Nasional 2010
4. Belum adanya ketentuan mengenai evaluasi fungsi kawasan konservasi, rehabilitasi dan restorasi ekosistem di dalam kawasan konservasi, termasuk peran swasta dalam restorasi ekosistem. 5. Belum adanya ketentuan yang mengatur penggunaan kawasan untuk kegiatan sektor lain yang bersifat strategis. 6. Belum adanya ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan, HHBK dan jasa lingkungan secara lengkap bagi kepentingan ekonomi. 7. Belum diakomodasikannya konservasi ekosistem essensial, HCVF dan koridor satwa di luar kawasan konservasi dan di luar kawasan hutan negara. 8. Belum adanya ketentuan yang mengatur tentang konservasi KSA dan KPA di perairan laut (kriteria, pengukuhan dan pengelolaan) yang seharusnya berbeda dengan KSA dan KPA di daratan. 9. Belum terakomodasinya ketentuan-ketentuan yang merupakan implementasi komitmen dan konvensi Internasional dalam konservasi ekosistem. Isu-isu tersebut di atas teridentifikasi sebagai masalah pokok dari sisi regulasi yang menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi menjadi kurang efektif. Isu terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi di lapangan tidak hanya disebabkan oleh lemahnya regulasi atau kebijakan, karena masih banyak isu lain seperti sosial, ekonomi dan budaya. Namun beberapa masalah sosial dan ekonomi dapat bersumber dari masalah regulasi.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
15
PENYELENGGARAAN KONSERVASI JENIS DAN GENETIK a. Klasifikasi: Pemerintah dan organisasi konservasi nasional berperan penting dalam melindungi keanekaragaman hayati pada semua tingkatan keanekaragaman hayati (Saterson, 2001 dalam Mochamad Indrawan, 2007). Di berbagai negara, konservasi spesies terancam punah dilakukan melalui penegakan peraturan nasional yang bersumber dari perjanjian internasional seperti CITES. Daftar spesies terancam pada tingkat internasional dirangkum dalam dokumen Red List yang disusun oleh IUCN, sementara pada tingkat nasional terdapat dalam lampiran PP 7 tahun 1999 yang memuat daftar spesies dilindungi mutlak. Spesies yang masuk dalam kedua dokumen tersebut mendapatkan prioritas utama untuk konservasi8. Di Indonesia pengawetan dan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa dilindungi dilakukan pada habitatnya (in situ) dan diluar habitatnya (ex-situ), dan dilakukan melalui upaya: •
Penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi.
•
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya.
•
Pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Penggolongan tumbuhan dan satwa di Indonesia dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu dilindungi dan tidak dilindungi sebagaimana diatur UU No.5 tahun 1990. Lebih lanjut dan rinci penetapan jenis satwa/tumbuhan liar yang dilindungi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Dalam lampiran PP No.7 tahun 1999 dicantumkan daftar spesies yang dilindungi dengan perincian: 134 spesies Mamalia, 405 spesies Burung, 31 spesies Reptil, 7 spesies Ikan (laut dan tawar), 20 spesies Insekta, 13 spesies Bivalvia, 1 spesies Crustasea (udang/kepiting), dan 1 spesies Anthozoa (karang). Pada jenis tumbuhan dilindungi meliputi 14 spesies Palem/Palmae, semua jenis dari genus Rafflesia, 29 spesies anggrek/Orchidaceae, semua jenis dari marga kantung semar Nephentes, dan 13 spesies dari marga shorea (meranti)9. Pengelolaan, pemeliharan atau pemanfaatan satwa/tumbuhan liar telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian; penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; 8
Ibid, hal. 263.
9
Ibid, hal. 267.
16
Dewan Kehutanan Nasional 2010
perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan10. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem11. Spesies tumbuhan/satwa liar yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam lampiran PP 7, yang pemanfaatan/pertukarannya hanya atas ijin Presiden adalah adalah tumbuhan liar jenis Raflesia, dan beberapa satwa liar seperti:
Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi); Babi rusa (Babyrousa babyrussa); Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus); Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis); Biawak Komodo (Varanus komodoensis); Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae); Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi); Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae); Lutung Mentawai (Presbytis potenziani); Orangutan (Pongo pygmaeus); Owa Jawa (Hylobates moloch). 10
Pasal 1 PP No.8 tahun 1999.
11
Pasal 2.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
17
Peraturan Pemerintah No. 7 dan No. 8 tahun 1999 merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 5 tahun 1990 yang digunakan sebagai legislasi nasional untuk pelaksanaan CITES di Indonesia. Walaupun kedua peraturan pemerintah ini bersama Undang-Undang dan Peraturan Menteri menjadi satu set legislasi yang telah dinilai menjadi legislasi kategori I (mampu sepenuhnya melaksanakan ketentuan CITES) namun ada kelemahan mendasar yang berasal dari UndangUndangnya, yaitu keidak-mampuannya untuk memberikan penalti bagi jenisjenis tidak dilindungi, termasuk jenis dari luar negeri apabila terlibat dalam pelanggaran CITES. b. Tata kelola pemerintahan Perlindungan spesies dan daftar spesies dilindungi di Indonesia otoritas ilmiahnya berada pada Pusat Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sementara otoritas pengelolaan/management authority berada di Direktorat Jendral PHKA Departemen Kehutanan. Daftar satwa dan tumbuhan yang dilindungi dalam lampiran peraturan pemerintah (PP 7) merupakan daftar yang sifatnya dinamis dan dapat dirubah sewaktu-waktu oleh Menteri Kehutanan, sesuai dengan kondisi aktual dari populasi di lapangan. Jenis-jenis yang sudah tidak memenuhi kriteria untuk dilindungi, dapat dilepaskan dari daftar perlindungan, demikian juga sebaliknya. Dalam kegiatan pengawetan dan pengelolaan tumbuhan dan satwa yang dilindungi diluar habitatnya (ex situ) pemerintah dapat mendelegasikan kewenangan tersebut kepada Lembaga Konservasi melalui perizinan. Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Disamping itu Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus12. Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari13 hasil penangkaran; dan pengambilan atau penangkapan dari alam sepanjang memenuhi ketentuan tidak merusak populasi di alam (non detriment findings/NDF). c. Hak – hak masyarakat Dalam hal pengawetan tumbuhan dan perlindungan jenis, akses terhadap sumberdaya sangat dibatasi karena kondisi populasi yang terancam bahaya kepunahan, oleh karenanya kegiatan pengawetan lebih menekankan pada peran otoritas pemerintah. Namun demikian pada beberapa tahap pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat melalui pengembangbiakan. Pemerintah 12
Pasal 22 PP No.7 Tahun 1999.
13
Pasal 18 PP No.8 Tahun 1999.
18
Dewan Kehutanan Nasional 2010
dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi14. Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa, masyarakat penangkap/pengambil tumbuhan dan satwa tidak dilindungi merupakan bagian sentral dari industri pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Yang perlu diperhatikan adalah agar keuntungan terbesar dari industri satwa liar juga harus kembali kepada masyarakat, bukan kepada para pedagang besar dan eksportir. d. Isu – Isu Strategis Dalam perlindungan spesies tumbuhan dan satwa beberapa isu strategis yang memerlukan perhatian dalam pengembangan kebijakan ke depan diantaranya adalah: 1. Penggolongan status perlindungan jenis, dimana saat ini jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi. Untuk jenis dilindungi ada ketentuan tentang larangan dan sanksi, sedangkan jenis yang tidak dilindungi tidak ada ketentuan sanksi. Hal ini menimbulkan masalah dengan semakin meningkatnya jumlah jenis yang terancam punah. Hal tersebut terjadi karena pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan sulitnya menegakkan hukum bagi jenis yang tidak dilindungi. 2. Perlindungan spesies terancam punah tidak dibarengi dengan perlindungan habitatnya terutama habitat-habitat penting yang tidak termasuk dalam kawasan pelestarian alam maupun kawasan suaka alam. Habitat-habitat tersebut mendapat tekanan yang sangat besar untuk konversi. 3. Masalah medis konservasi menjadi sangat penting karena akhir-akhir ini satwa liar dianggap sebagai vektor penyebaran penyakit berbahaya seperti flu burung, sehingga penanganan wabah penyakit harus memperhatikan masalah konservasi. 4. Akses terhadap sumberdaya genetik hutan perlu mendapat perhatian, sehingga isu mengenai pencurian plasma nutfah (bio-piracy) dapat segera tertanggulangi. 5. Pengurusan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dilakukan oleh pemerintah (pusat), dengan menerbitkan daftar tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, hanya saja penamaan jenis (specimen) banyak yang tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Sementara itu kriteria yang digunakan oleh IUCN seperti critically endangered, endangered dan vulnerable perlu diadopsi sebagai kriteria perlindungan jenis di tingkat nasional 6. Ketidak sesuaian nama-nama spesies yang masuk dalam lampiran PP No. 7, ada beberapa nama yang salah atau tidak cocok antara nama latin dan nama lokalnya atau kebiasaan memasukkan seluruh spesies anggota dari suatu suku (famili), dan kadangkala seluruh spesies anggota dari suatu marga 14
Pasal 20.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
19
(genus), kedalam spesies dilindungi seperti gajah (elephas indicus), dll 7) Penetapan satwa dan tumbuhan kedalam status dilindungi dan atau sebaliknya (down listing) memerlukan mekanisme yang lebih cepat 8) Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar masih belum seluruhnya baik, karena beberapa aturannya cenderung rancu, seperti misalnya pengaturan pemanfaatan dalam bentuk pemeliharaan, penelitian, peragaan sering menimbulkan kontradiksi dengan ketentuan larangan pemanfaatan jenis dilindungi. 9. Dalam hal penegakan hukumnya, seperti kapan suatu pemeliharaan dianggap sebagai pelanggaran dan kapan dikategorikan sebagai kegiatan yang membantu konservasi (sehingga yang bersangkutan mendapat insentif), demikian pula lemahnya kewenangan penyidik kehutahanan dalam penanganan kasus hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi secara illegal. 10. Reintroduksi jenis dilindungi ke alam aslinya, sementara alam aslinya sudah tidak mampu lagi menampung pelepas liaran dikawasan tersebut. 11. Pengaturan tentang pemanfaatan (perdagangan) bagian-bagian tubuh satwa atau tumbuhan (specimen) khususnya dalam produk olahan seperti obatobatan dan makanan. 12. Konflik satwa dengan kepentingan manusia yang belum diatur secara jelas serta belum adanya protokol penanganan konflik untuk dilaksanakan oleh semua pihak. 13. Penanganan barang bukti hasil operasi perdagangan liar baik hidup maupun mati belum diatur secara baik. Hal-hal di atas perlu segera mendapat perhatian dari sisi kebijakan agar sumberdaya alam berupa spesies dan genetik mendapat perlindungan yang proporsional dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang.
20
Dewan Kehutanan Nasional 2010
BAB III:
HASIL REVIEW
Review terhadap kebijakan konservasi, dipisahkan menjadi tiga, yaitu 1: Review terhadap kebijakan konservasi kawasan/ ekosistem, yang diatur dalam PP 68 dan PP 18, 2: Review terhadap kebijakan konservasi jenis dan genetik sebagaimana diatur dalam PP7 dan PP 8, serta (3) review terhadap UU 5/90. Adapun hasil review terhadap peraturan pemerintah dan UU bidang konservasi disajikan dalam urain berikut, disamping itu dapat dilihat juga dalam matriks input FGD (lampiran 6.4).
PP 68 & PP 18 Kawasan konservasi baik di daratan dan dilautan saat ini mengalami tekanan yang luar biasa, seperti dalam bentuk konversi hutan alam, illegal logging, pembukaan hutan tanaman yang bersifat monokultur, penambangan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan, sedang kawasan konservasi perairan banyak mengalami tekanan yang berhubungan dengan cara pengambilan ikan secara tidak ramah lingkungan. Kondisi ini telah mengancam keberhasilan capaian tujuan konservasi sumberdaya alam. Sebagimana telah dinyatakan didepan meningkatnya ancaman di atas, selain disebabkan oleh kurangnya kurang efektifnya pengelolaan (antara lain ditandai oleh kurangnya patroli rutin terhadap kawasan, memburuknya kondisi kawasan konservasi maupun belum bekembangnya pemanfaatan jasa wisata alam di Indonesia), juga sangat erat hubungannya dengan belum baiknya pengaturan beberapa kegiatan dalam PP 68 maupun PP 18. Beberapa kelemahan mendasar regulasi tersebut diantaranya adalah tidak diakomodasikannya partisipasi masyarakat. Hal tersebut nyata sekali dapat dilihat pada pengelolaan kawasan-kawasan dimana masyarakat telah berada atau telah melakukan kegiatan tradisional dalam kawasan guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sekalipun keberadaan mereka jauh–jauh hari sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi kawasan konservasi, namun setelah wilayah kehidupannya ditetapkan sebagi kawasan konservasi, mereka tidak bisa melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan sebelumnya, dan kegiatan ini secara hukum dianggap sebagai pelanggaran dan dapat dipidana. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dalam PP No. 68 Tahun 1998 yang disusun berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, kurang mampu mengakomodasikan proses partisipatif bersama masyarakat. Hal ini bisa dimengerti kalau kita lihat sejarah pembangunan konservasi di Indonesia. Pembangunan konservasi di Indonesia bersumber pada konsep pengelolaan yang berasal dari dan diterapkan di negaranegara Barat dimana tidak ada unsur masyarakat di dalam atau yang bergantung
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
21
penghidupannya pada kawasan. Padahal kita ketahui bahwa nyaris tidak ada kawasan dan sumberdaya alam Indonesia (tambang, kebun, hutan, perikanan, ataupun tanah) yang bebas dari kontak dengan masyarakat. Seharusnya UU No. 5 Tahun 1990 jauh lebih partisipatif karena salah satu dasar yang mendasari UU ini yaitu UU No. 4 Tahun 1982 khususnya Pasal 6 UU menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. PP 68 hanya mengatur pengelolaan kawasan-kawasan yang secara hukum telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai KSA dan KPA, dan tidak mengatur kegiatan konservasi di luar KSA dan KPA, seperti wilayah penyangga, koridor satwa, konservasi diwilayah yang telah dibebani ijin di Hutan produksi/hutan lindung, yang pada kenyataannya merupakan habitat kritis bagi satwa-satwa yang terancam punah. Walaupun dalam undang-undang konservasi mengindikasikan pentingnya pengelolaan daerah penyangga (buffer zone) yang berada di luar KSA dan KPA, pengaturannya belum jelas di dalam PP 68. Kondisi ini menyebabkan terjadinya gap kebijakan perlindungan satwa yang terancam punah karena habitat kritis yang menjadi benteng terakhir mereka tidak dilindungi secara hukum dan banyak menjadi obyek perubahan (konversi fungsi), seperti misalnya menjadi wilayah pembangunan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Situasi diatas diperburuk lagi dengan adanya situasi tidak kuatnya komitmen para pihak untuk berupaya keras menetapkan kawasan konservasi wilayah dataran rendah, dimana banyak satwa liar yang dilindungi menggantungkan kehidupannya. Sebagaimana diketahui, kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia adalah wilayah konservasi yang telah ditetapkan pada masa penjajahan, dan kemudian diperluas ke wilayah sekitarnya. Upaya pemerintah untuk memenuhi target lebih dari 20 % kawasan hutan negara dicadangkan/ ditetapkan sebagai kawasan konservasi patut dipuji, hanya sayang sekali sebagian besar upaya perluasan ini masih bergerak disekitar wilayah konservasi yang telah ada (high land), dan kurang bergerak kewilayah baru di dataran rendah yang menjadi habitat beberapa satwa dilindungi.
22
Dewan Kehutanan Nasional 2010
PP 7 & PP 8 Dewasa ini konservasi spesies menjadi semakin penting, sejalan dengan meningkatnya ancaman terhadap kepunahan spesies, akibat pemanfaatan yang tidak berkelanjutan (perdagangan illegal), serta kerusakan habitat akibat konversi habitat alam menjadi areal-areal penggunaan lain. Peraturan konservasi spesies kedepan harus dapat mengatur dua hal pokok yaitu pemulihan populasi spesies terancam punah dan pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kehati-hatian. PP 7 dan PP 8 tahun 1999, secara substansial telah mengandung kelemahan yang bersumber dari kelemahan pada Undang-undang No. 5 tahun 1990. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah klasifikasi status perlindungan spesies menjadi dua yaitu spesies dilindungi dan tidak dilindungi, dimana tidak ada ketentuan atau aturan dalam peraturan pemerintah mengenai sanksi bagi jenis-jenis tidak dilindungi, kurangnya pengaturan perlindungan terhadap migrasi satwa (medis satwa), lemah dalam pengaturan perlindungan habitat satwa, serta tiadanya apresiasi terhadap hukum adat yang di beberapa daerah justru sangat membantu konservasi. Dengan minimnya unsur penjara hukuman bagi pelanggaran terhadap jenis-jenis tidak dilindungi, populasi di alam semakin menurun bahkan untuk beberapa spesies seperti kura-kura P. Rote (Chelodyna maccordi) telah mengalami kepunahan di habitat alamnya sebelum sempat ditetapkan menjadi jenis yang dilindungi. Banyak spesies lain yang telah mencapai status terancam punah atau kritis dan belum sempat dimasukkan dalam daftar spesies dilindungi. Untuk jenis yang dilindungi, walaupun secara hukum sebenarnya cukup kuat karena ancaman hukumannya cukup berat bagi pelanggarannya, penegakan hukum di lapangan masih sering tidak memadai, dan tidak menimbulkan efek jera, karena kurangnya koordinasi dan dukungan para pihak. Spesies kharismatik seperti Harimau Sumatra masih tetap mengalami ancaman yang serius dari perdagangan illegal dan populasi di habitat alamnya terus mengalami penurunan. Disamping itu salah satu penyebab menurunnya populasi juga disebabkan oleh kurang terlindunginya habitat bagi jenis bersangkutan di luar kawasan pelestarian alam atau kawasan suaka alam. Hutan produksi (tetap maupun konversi) yang mayoritas berada di dataran rendah dan merupakan habitat banyak satwa terancam punah seperti orangutan, gajah, harimau dan badak kondisinya terancam oleh konversi dan pemanenan yang tidak berkelanjutan. Untuk itu mutlak diperlukan peraturan yang dapat melindungi habitat jenis-jenis terancam punah terutama di luar KPA dan KSA. Keberadaan satwa liar, dewasa ini juga terancam oleh kebijakan yang tidak didasarkan pada temuan ilmiah, terutama sehubungan dengan merebaknya kasus penyakit mematikan yang diduga dapat ditularkan oleh atau berasal
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
23
dari satwa liar seperti flu burung, yang dibawa oleh burung-burung migran dan virus nipah yang dibawa oleh sejenis kelelawar. Pada unggas-unggas domestik seperti ayam dan itik, dapat dilakukan eradikasi populasi dimana terjadi wabah flu burung di suatu daerah. Namun demikian kebijakan pemusnahan populasi tidak dapat semudah itu diterapkan pada satwa liar. Aspek konservasi harus dipertimbangkan, sehingga perlu pengaman peraturan disamping harus terusmenerus dilakukan pemantauan (surveilans). Untuk itu peran medis konservasi harus masuk dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan satwa liar. Menyikapi hal tersebut diatas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, seperti sebagai berikut: Untuk menanggulangi gap status perlindungan spesies, maka hal tersebut hanya dapat dilakukan di tingkat undang-undang. Demikian juga dengan masalah penangkaran yang sebenarnya bukan merupakan bentuk pemanfaatan tetapi merupakan sistem produksi tumbuhan atau satwa liar secara ex situ dan semi ex situ. Sanksi oleh undang-undang juga perlu ditetapkan dengan ketentuan sanksi MINIMAL. Dengan demikian Undang-undang no. 5 tahun 1990 perlu direvisi untuk mengisi gap tersebut. Sambil menunggu perubahan di tingkat UU, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan guna mengisi gap di tingkat peraturan pemerintah yaitu: •
Intergrasi hukum adat dengan hukum formal.
•
Perlindungan spesies harus berikut perlindungan habitatnya.
•
Perlu norma bagi pemilikan, pemeliharaan, penyerahan, penyitaan, masingmasing harus dibedakan dengan tegas tentang definisi, norma dan sanksi.
•
Medis konservasi yang mengatur satwa SEBAGAI VEKTOR Zoonosis yang membawa virus, kuman yang dapat menyebar dari hewan ke manusia atau sebaliknya, seperti FLU BURUNG, Nypa Fever, TBC, Hepatitis. Medis konservasi dilakukan melalui dua cara yaitu secara in situ dalam rangka penanganan wabah yang menyangkut jenis-jenis dilindungi/ tidak dilindungi dan kegiatan pemantauan melalui surveilance, dan sebagainya, serta secara ex situ untuk penanganan medis jenis-jenis satwa di luar habitatnya, diantaranya adalah penanganan reproduksi, penanganan satwa di PPS, pusat rehabilitasi, kebun binatang, dan sebagainya, serta perlakuan euthanasia. Hal tersebut dilakukan melalui konsultasi dengan Otorita Veteriner, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
•
Akomodasi pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan budaya dan religi.
•
Penangkaran perlu memasukkan ketentuan audit independen dan akses informasi sehingga peran serta pengawasan masyarakat juga dapat berlangsung.
24
Dewan Kehutanan Nasional 2010
•
Akses terhadap sumber daya genetik (SDG) perlu diatur secara jelas terutama untuk mengatur riset, melindungi pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, dsb.
•
Daftar jenis dilindungi dengan nama ilmiah yang telah berubah atau salah agar disesuaikan dengan nomenklatur yang benar.
•
Reintroduksi untuk recovery populasi di daerah yang bukan penyebaran aslinya.
•
Pengaturan bagi jenis-jenis asing yang invasif.
•
Penanganan satwa sitaan dan pengelolaan PPS.
•
Insentif bagi penegakan hukum.
•
Batasan pengertian spesies dan spesimen serta yang dicantumkan dalam label mengandung jenis-jenis dilindungi.
•
Mekanisme perubahan status dilindungi menjadi tidak dilindungi untuk hasil pengembangbiakan generasi F1, F2, dst.
•
Pengaturan yang lebih jelas untuk membedakan hasil penangkaran dan tangkapan alam.
UU No. 5 Tahun 1990 UMUM Undang-undang Konservasi Hayati yang dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 merupakan undang-undang pertama yang dihasilkan di masa setelah kemerdekaan yang mencakup konservasi ekosistem (kawasan) dan konservasi jenis. Undang-undang ini dipercaya telah dapat menyelamatkan sebagian sumberdaya alam hayati terutama di tingkat ekosistem. Dengan mendasarkan
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
25
pada undang-undang ini Indonesia telah mampu menyisihkan sebagian perwakilan ekosistem yang sangat penting menjadi kawasan-kawasan suaka dan pelestarian. Dari segi luasan, Indonesia telah mampu menyisihkan lebih dari 20 juta hektar kawasan di darat (terestrial) dan sekitar 8 juta hektar kawasan di perairan laut dari berbagai tipe ekosistem Indonesia menjadi kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (sering disebut sebagai kawasan konservasi) yang merupakan wahana konservasi ekosistem dan sangat bermanfaat bagi penyangga dan keberlangsungan hidup manusia dan alam di masa yang akan datang. Tidak ada satu negarapun yang mempunyai kawasan konservasi seluas Indonesia. Kawasan-kawasan tersebut dengan pengelolaan yang memadai akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan wisata ekologis (ekowisata/ecotourism), pengembangan budidaya dari plasma nutfah yang terlindungi di dalam kawasan dan penyangga kehidupan manusia melalui penyediaan air bersih, penyimpan dan penyerap karbon sebagai penyeimbang iklim, menjaga kesuburan lahan pertanian, serta ruang terbuka hijau yang semakin dibutuhkan manusia untuk kesehatan. Selain itu undang-undang ini juga telah memberikan perlindungan legal (hukum) bagi jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang terancam punah dengan mengatur penetapan jenis-jenis tersebut sebagai jenis yang dilindungi Undang-undang, sehingga secara signifikan dapat mencegah kepunahannya serta mengatur sanksi hukum bagi pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan yang terkait dengan jenisjenis terancam punah tersebut di atas. Untuk melindungi jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang telah terancam punah, undang-undang ini memberikan pedoman terhadap hal-hal yang tidak boleh atau boleh dilakukan beserta sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Sanksi tersebut, bila diterapkan secara konsisten akan memberikan efek penjera bagi pelaku-pelaku kejahatan, terutama kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa langka yang semakin terorganisasi (organizad crime). Undang-undang no. 5 tahun 90 disusun dengan mengadopsi 3 tujuan World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang dikembangkan oleh IUCN tahun 1982. Selama hampir 20 tahun sejak diundangkannya UU 5/90 telah banyak telah banyak perubahan gerakan konservasi internasional, sehingga banyak materi peraturan Indonesia yang sebenarnya perlu disesuaikan. Produk peraturan perundang-undangan konservasi kawasan ke depan seharusnya sejalan dengan kewajiban internasional (international obligation/legally binding instrument) seperti RAMSAR, World Heritage Convention, dan CBD. Kebijakan ini sebaiknya mengharmonisasikan pengaturan mengenai kawasan konservasi di tingkat peraturan dan perundang-undangan. Hal-hal pokok yang tercantum di dalam teks konvensi perlu masuk di dalam peraturan perundangan pada tingkat tinggi yaitu Undang-undang atau PP, sedang kesepakatan-kesepakatan teknis yang dicapai di dalam konferensi para pihak dalam bentuk resolusi dan keputusan atau melalui kesepakatan regional atau bilateral cukup diatur dengan keputusan menteri.
26
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Undang-undang ini juga mempunyai beberapa kelemahan yang mendasar, yang belum atau tidak dapat diakomodasikan oleh undang-undang lain. Diantara kelemahan tersebut, pada konservasi jenis (spesies), adalah tidak adanya ketentuan mengenai sanksi terhadap pelanggaran yang menyangkut jenis-jenis yang tidak dilindungi. Walaupun aturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut dapat mengatur pemanfaatan jenis, sanksi terhadap pelanggaran (terutama sanksi pidana) harus ditetapkan di tingkat undang-undang. Bagi spesies terancam punah, undang-undang ini belum cukup melindungi habitatnya, terutama habitathabitat yang berada di luar kawasan konservasi yang terancam dari konversi habitat. Selain itu undang-undang ini belum mengatur salah satu komponen keanekaragaman hayati yaitu konservasi genetik. Keadaan ini telah mendorong terjadinya eksploitasi berlebihan jenis-jenis tidak dilindungi, bahkan beberapa jenis diantaranya telah menjadi kritis dan punah secara lokal atau punah di alam. Untuk konservasi ekosistem, Undang-undang No 5 tahun 1990 membagi kawasan konservasi menjadi KSA dan KPA. Kategorisasi kawasan konservasi sebagai Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya didasarkan pada legalisasi penetapan kawasankawasan tersebut. Semestinya kategorisasi kawasan konservasi berdasar pada tujuan pengelolaan, sehingga apabila ada kebutuhan untuk merubah kategori dapat dengan cepat dilakukan, tanpa harus melalui perubahan peraturan di tingkat politis. Selain itu, juga masih belum diatur pengelolaan ekosistem yang mempunyai nilai konservasi tinggi tetapi karena suatu hal tidak dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi, untuk dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Beberapa hal yang juga perlu mendapat perhatian dari konservasi ekosistem, diantaranya adalah mengenai kerja sama internasional seperti penetapan dan pengelolaan cagar biosfir, situs warisan dunia, dan situs Ramsar yang perlu diatur lebih mendalam dalam undang-undang.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
27
LANDASAN PEMIKIRAN PERUBAHAN UU 5/90 a. Pergeseran Paradigma Selain kelemahan-kelemahan mendasar dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1990, sebagaimana diuraikan diatas, ada beberapa perubahan paradigma konservasi baik di tingkat nasional maupun internasional yang memerlukan wadah dalam undang-undang. Undang-undang No. 5 tahun 1990 mendasarkan pada strategi konservasi dunia (IUCN, 1982) yang walaupun saat ini masih relevan, namun di tingkat internasional telah terjadi pergeseran. Pergeseran paradigma di tingkat internasional tersebut terutama terjadi sejak dilaksanakannya KTT Bumi di Rio (1992) yang melahirkan Agenda 21 dan lahirnya Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD), Konvensi tentang penggurunan dan degradasi lahan (Convention on Combating Desertification/CCD) serta Konvensi tentang perubahan iklim (UN Framework Convention on Climate Change/ UNFCCC). Lahirnya konvensi-konvensi tersebut merupakan tindak lanjut dari strategi konservasi dunia yang di Indonesia hanya dicakup dalam satu Undangundang yaitu UU no. 5 tahun 1990. Dalam rangka konservasi baik di tingkat ekosistem, jenis maupun genetik, pergeseran paradigma juga terjadi pada peran masyarakat di dalam pengelolaan konservasi. Konservasi sumberdaya alam hayati, terutama di tingkat ekosistem dengan membangun jaringan kawasan konservasi, dahulu lebih banyak melibatkan unsur pemerintah dengan kewenangan yang sangat tinggi dan membatasi akses masyarakat lokal terhadap kawasan. Pengembangan pengelolaan kolaboratif untuk konservasi sumberdaya alam hayati yang menempatkan masyarakat pada tingkat dan peran yang jauh lebih besar perlu didasari dengan ketentuan yang setara dengan undang-undang karena adanya pembagian kewenangan dari pemerintah kepada masyarakat. Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 baik untuk kawasan maupun jenis masih dianggap terlalu rendah sehingga kurang menimbulkan efek jera pada pelakunya, terutama dibandingkan misalnya dengan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal tersebut terbukti dengan tidak menurunnya kejahatan, misalnya pada perburuan dan perdagangan satwa langka karena hasil kejahatan tersebut bernilai tinggi sedangkan hukumannya rendah. Untuk itu sanksi kurungan badan maupun denda pada undang-undang No. 5 tahun 1990 perlu direvisi. Perubahan politik nasional dari sentralistik ke otonomi daerah juga perlu dicerminkan dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati, sehingga perlu memperbaiki undang-undang yang ada.
28
Dewan Kehutanan Nasional 2010
b. Kelemahan undang-undang pada substansi konservasi ekosistem Kategorisasi kawasan konservasi menjadi KPA dan KSA sangat mengikat secara hukum dan menyulitkan perubahan-perubahan tujuan pengelolaan. Untuk itu kategorisasi hanya didasarkan pada tujuan pengelolaan. Pembagian kawasan konservasi menjadi KPA dan KSA nampaknya tidak diperlukan lagi. Undang-undang No. 5 tahun 1990 membatasi akses masyarakat terhadap kawasan. Dengan berkembangnya konsep pengelolaan kolaboratif maka perlu redefinisi mengenai akses masyarakat terhadap kawasan konservasi. Selain itu konsep mengenai zona penyangga kawasan perlu lebih ditegaskan agar pelaksanaannya mudah di lapangan. Pengaturan mengenai perburuan dan lokasi-lokasi perburuan (Taman Buru dan kawasan lain) belum diatur secara tegas, sehingga konsep perburuan sebagai salah satu alat konservasi jenis dapat diakomodasikan dalam undang-undang. Karena sifatnya, perlu pembedaan pengaturan pada kawasan-kawasan konservasi di darat (terestrial) dan di laut (maritim). Berdasarkan konvensi hukum laut internasional (UNCLOS) laut merupakan sumberdaya publik dan akses publik tidak dapat dihambat, namun dapat diatur. c. Kelemahan undang-undang pada substansi konservasi jenis dan genetik Status perlindungan jenis hanya dibagi menjadi dua (2) kelompok yaitu dilindungi (langka dan terancam punah) dan tidak dilindungi (belum langka dan belum terancam punah). Untuk yang tidak dilindungi jumlahnya masih terlalu banyak untuk dapat dikontrol, sementara itu keadaan populasi dari yang tidak dilindungi banyak yang perlu mendapatkan pengendalian tentang pemanfaatannya agar tidak menjadi langka dan terancam punah sehingga perlu dilindungi. Sanksi hukum pelaku tindak pidana hanya ditujukan untuk jenis-jenis yang dilindungi, sedang untuk yang tidak dilindungi belum ada pengaturan mengenai sanksi hukumnya. Sedangkan secara internasional CITES mewajibkan negara anggota untuk dapat memberikan sanksi hukum terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam appendix CITES yang justru sebasgian besar tidak dilindungi. Kecuali itu tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggaran CITES bagi jenis-jenis yang berasal dari luar Indonesia. Besarnya sanksi baik kurungan maupun denda sudah tidak memadai lagi, yaitu penjara 5 tahun dan denda maksimal 100 juta rupiah, dibandingkan sanksi pada UU Nomor 41 tahun 1999 yang sebesar 5 milyar rupiah. Padahal kerugian akibat punahnya species tidak dapat diukur dengan ekonomi. Kecuali itu besarnya sanksi untuk jenis-jenis yang saat ini tidak dilindungi namun perlu dikendalikan harus ditetapkan cukup besar agar pemanfaatan dapat dikendalikan dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu redefinisi mengenai status
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
29
perlindungan jenis dengan membaginya ke dalam kategori yang lebih banyak, disarankan sesuai dengan kategorisasi dalam CITES sehingga antara ketentuan nasional dan internasional dapat sejalan. Belum adanya pengaturan mengenai perlindungan dan pemanfaatan jenis-jenis migrasi yang pada prinsipnya tidak dapat diakui sebagai milik Indonesia saja. Kecusli itu masih ada pengaturan yang bertentangan dengan prinsip konvensi, seperti dibolehkannya kepala negara menghadiahkan jenis dilindungi kepada kepala negara lain, terutama apabila jenis itu termasuk dalam jenis yang terancam punah (Appendix I CITES). Pengecualian larangan untuk jenis yang dilindungi, belum mengakomodasikan hasil-hasil dari penangkaran atau pengembangbiakan yang secara teknis tidak bertentangan dengan konservasi dari jenis tersebut, bahkan membantu, sehingga hasil pengembangbiakan dapat dikecualikan dari ketentuan larangan. Undang-undang konservasi juga belum mengatur perlakuan terhadap spesimen yang diperoleh sebelum jenis tertentu dilindungi, karena seseorang yang memelihara specimen jenis tertentu yang sebelumnya legal, setelah jenis tersebut dilindungi menjadi tidak legal. Pengecualian larangan menangkap/membunuh/ melukai untuk jenis satwa yang dilindungi juga hanya diberlakukan untuk satwa yang membahayakan manusia. Untuk yang membahayakan populasi sejenisnya, lingkungan dan ekosistemnya seperti terkena penyakit menular (virus atau bakteri) belum cukup diatur, sehingga diperlukan adanya aturan tentang MEDIS KONSERVASI. d. Kelemahan undang-undang pada substansi Pemanfaatan Berkelanjutan Strategi pemanfaatan secara lestari dalam hubungannya dengan konservasi perlu diperjelas, sesuai dengan asas konservasi bahwa pemanfaatan untuk sebesar-besarnya mengambil keuntungan materi (finansial) bukan merupakan tujuan, namun merupakan produk sampingan yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Sedangkan manfaat konservasi yang jauh lebih besar adalah efek intangible (seperti perlindungan jenis, genetik, penyerapan dan penyimpanan karbon, tata air, perlindungan siklus nutrien, keindahan, kenyamanan, plasma nutfah, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesehatan, dsb.) yang tidak dapat dirasakan saat ini, namun dampaknya jauh ke depan, baik bagi generasi saat ini maupun yang akan datang. Undang-undang juga belum mengatur mengenai pendapatan negara dari kegiatan konservasi baik melalui pajak maupun bukan pajak, sehingga perlu diatur pendapatan Negara dari konservasi yang harus diinvestasikan kembali pada kegiatan konservasi. Definisi pemanfaatan perlu ditinjau kembali, misalnya penangkaran dan budi daya tanaman obat-obatan seharusnya bukan merupakan kegiatan pemanfaatan,
30
Dewan Kehutanan Nasional 2010
namun kegiatan untuk memproduksi spesimen tumbuhan atau satwa yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan budidaya tumbuhan seharusnya tidak terbatas pada tanaman obat-obatan namun juga pada jenis-jenis lain yang dapat mendukung budidaya pertanian pangan, hortikultura dan peternakan. Untuk itu perlu diatur prinsip mendukung budi daya untuk segala jenis, termasuk tumbuhan dan satwa untuk pengembangan pertanian, peternakan, hortikultura, dan obat-obatan. Belum diaturnya konservasi genetik dan pemanfaatan genetik dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa (dilindungi maupun tidak) untuk kepentingan budidaya maupun kepentingan lain seperti penelitian. e. Kelemahan dari aspek peran masyarakat dan Otonomi Daerah Perlunya redefinisi mengenai peran masyarakat di dalam pengelolaan kawasan konservasi, jenis, maupun genetik melalui konsep Pengelolaan Bersama (collaborative management) di mana otorisasi, tanggung jawab dan keuntungan dari pengelolaan konservasi kepada masyarakat dapat diberikan dengan adil. Sehingga konsep larangan-larangan bagi masyarakat terkait dengan kawasan konservasi harus ditinjau kembali. Dalam kerangka Otonomi Daerah maka peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam konservasi keanekaragaman hayati harus lebih besar. Dengan demikian konsepsi penyerahan urusan dan tugas pembantuan dalam Pasal 38 harus disesuaikan.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
31
BAB IV:
REKOMENDASI
Memperhatikan gambaran diatas, serta hasil review terhadap kebijakan perundangan, berikut ini disampaikan pokok – pokok materi perubahan peraturan pemerintah dan UU 5/90, sebagaimana dapat diperiksa pada uraian berikut, sedangkan perubahan lebih detail dalam bentuk perubahan pasal dan muatan lengkap perubahan yang diusulkan dapat diperiksa pada lampiran ( lampiran 6.5, 6.6, 6.7,6.8, dan 6.9). 1. Pokok – pokok Perubahan PP No. 68/1998 dan PP No. 18/1994 Secara khusus beberapa pokok-pokok perubahan yang perlu dimasukan dalam pembaruan peraturan pemerintah ini antara lain: •
Penetapan kriteria.
•
Evaluasi kawasan termasuk kegiatan restorasi kawasan oleh pemerintah atau pihak ketiga.
•
Penegasan koridor, HCVF baik diluar hutan negara maupun dalam hutan negara non kawasan hutan konservasi.
•
Kerjasama pengelolaan, baik kolaborasi maupun kerjasama pembangunan.
•
Pengaturan peran para pihak.
•
Ketentuan mengenai daerah penyangga termasuk ekosistem esensial seperti habitat satwa liar yang dilindungi, koridor satwa, lahan basah, dan karst.
•
Pungutan atas jasa lingkungan merupakan pembayaran atas peran dan fungsi KSA dan KPA dalam menghasilkan jasa lingkungan.
2. Perubahan PP No. 7/1999 dan PP No. 8/1999 Beberapa pokok perubahan dalam PP No. 7/1999 dan PP No. 8/1999 yang diusulkan antara lain: •
Daftar jenis dilindungi untuk disesuaikan dengan nomenklatur nama ilmiah yang benar.
•
Reintroduksi untuk recovery populasi di luar penyebaran aslinya.
•
Pengaturan bagi jenis-jenis asing yang invasif.
•
Penanganan satwa sitaan dan pengelolaan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS).
•
Medis konservasi.
•
Insentif bagi penegakan hukum.
•
Batasan pengertian spesies dan spesimen.
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
33
•
Mekanisme perubahan jenis dilindungi menjadi tidak dilindungi bagi hasil pengembangbiakan.
•
Integrasi yang menghubungkan hukum adat dengan UU.
•
Penangkaran perlu adanya pengaturan spesifik untuk daerah-daerah tertentu yang potensial bagi jenis tertentu.
•
Peran masyarakat dalam turut berperan dalam pengawasan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
•
Penerapan BMP (Best Management Practice) dan tanggung jawab pemberi dan pemegang ijin mengenai perlindungan habitat populasi jenis yang dilindungi di luar kawasan produksi.
3. Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 KSDAHE Beberapa pokok perubahan undang-undang yang diusulkan antara lain: •
Perubahan kategorisasi jenis/genetik tumbuhan dan satwa liar menjadi tiga kelompok, yaitu dilindungi mutlak, diatur, dan dimonitor, hal ini sesuai dengan kategorisasi CITES.
•
Perubahan kategorisasi kawasan konservasi berdasar tujuan pengelolaan sebagaimana guidelines IUCN.
•
Penerapan dan pengaturan pengelolaan koridor satwa, buffer zone, kawasan konservasi esensial, HCVF.
•
Perluasan akses partisipasi para pihak, khususnya masyarakat sekitar kawasan dalam pemanfaatan secara terbatas bagi kesejahteraan dan kelestarian kawasan.
•
Pengaturan penegakan hukum, penyidikan, Polhut, dan PPNS.
•
Pengaturan ijin.
•
Pengaturan hubungan tata kelola pemerintahan dalam kegiatan konservasi.
•
Penetapan buffer zone, daerah penyangga diluar kawasan konservasi, demikian juga habitat yang saat ini justru banyak ada diluar kawasan konservasi.
•
Arahan penetapan koridor satwa (hutan sudah terfragmentasi).
•
Penanganan konflik satwa (khususnya untuk satwa yang habitat alamnya telah rusak daya dukungnya).
34
Dewan Kehutanan Nasional 2010
BAB IV:
PENUTUP
Berdasarkan beberapa pokok pikiran di atas, ada beberapa saran tindak lanjut yang diusulkan tim kepada DKN, yaitu: a. Meminta pemerintah memprioritaskan pembaruan kebijakan koservasi, mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembaruan tersebut dan membuat road map pembaruan kebijakan konservasi khususnya konservasi kawasan (ekosistem), konservasi spesies dan konservasi genetik yang terukur dan menunjukkan secara nyata dukungan dan tindakan-tindakan politis dan hukum. Pembaruan yang dilakukan haruslah terintegrasi, dengan didukung oleh berbagai sektor. b. Mempercepat proses perubahan PP No. 7 Tahun 1999, PP No. 8 Tahu 1998, PP No. 18 Tahun 1994 dan PP No. 68 Tahun 1998 sebagai aturan pokok konservasi dengan agenda kerja yang jelas, terukur, dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat melalui konsultasi publik. c. Mengagendakan perubahan UU No. 5 Tahun 1990 dalam agenda prioritas Departemen Kehutanan dan program legislasi nasional. Tim adhoc telah menyiapkan draft naskah akademis. (Lampiran 6.9). d. Dalam rangka menghasilkan peraturan di bidang konservasi yang aspiratif dan berkualitas, DKN perlu mengikutsertakan para pemangku kepentingan lainnya khususnya Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Non Pemerintah (ornop), pelaku usaha dan lembaga-lembaga penyedia dana (donor).
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
35
36
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
37
38
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
39
40
Dewan Kehutanan Nasional 2010
Kajian Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
41