TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
TESIS
IRA RASJID 0906582614
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN JAKARTA JANUARI 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
IRA RASJID 0906582614
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN JAKARTA JANUARI 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Ira Rasjid
Program Studi : Kenotariatan Judul
: Tinjauan Perjanjian Perkawinan terhadap Perkawinan Campuran Warga negara Indonesia – Warga negara Australia yang Dilangsungkan di New South Wales – Australia
Tesis ini membahas mengenai tinjauan akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh notaris di Indonesia untuk perkawinan campuran beda kewarganegaraan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia yang mana perkawinannya itu dilangsungkan di negara bagian New South Wales – Australia berdasarkan hukum perkawinan Australia. Maka timbul permasalahan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dalam hukum perkawinan di Australia. Apakah akta perjanjian perkawinan tersebut berlaku dan diakui kedudukannya sebagai perjanjian perkawinan di Australia atau tidak. Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan dilihat dari teori-teori Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan masalah perjanjian perkawinan yang bersifat internasional ini. Serta peraturan dan perundang-undangan Australia yang mengatur mengenai perkawinan, perjanjian perkawinan dan pengakuan perjanjian perkawinan yang dibuat di luar Australia. Sebagai hasil dari penelitian ini, bahwa Australia hanya mengakui perjanjian perkawinan asing bilamana segala persyaratan tentang tata cara pembuatan perjanjian perkawinan Bindin Financial Agreement di Australia. Jadi dalam kasus tesis ini akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia tidak diakui dan secara hukum tidak mengikat. Perjanjian perkawinan tersebut hanya dipakai oleh hakim di Pengadilan Keluarga Australia sebagai bahan pertimbangan saja.
Kata Kunci: Perkawinan Campuran, Perjanjian Perkawinan, Akta Perjanjian Perkawinan Indonesia dalam Hukum Australia
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Ira Rasjid
Program of Study : Notary Title
: Review on Prenuptial Agreement of Mixed Marriage between Indonesia and Australia, where the wedding was held in New South Wales – Australia
This thesis is the review of a prenuptial agreement deed that made in Indonesia by Indonesian Public Notary for a mixed marriage with different nationalities between an Indonesian nationality and an Australian nationality, where the wedding was held in New South Wales – Australia. Is the prenuptial deed above valid and recognise as prenuptial agreement in Australia. The above conflicts, has been reviewed and obsereved by the writer using a yuridis normative method and deskriptive analitic, law principles rules by Indonesian regulation related with mixed marriage prenuptial agreement subject, also using the principles by International Private Law, Australian Acts and regulation that rules international mixed marriage on how foreign prenuptual agreement is recognise in Australia. The result has come up that Australian only recognise foreign prenuptial agreement as long as it meet with all the requirements on how Australian make a binding financial agreement. So in this case, the prenuptial agreement deed made by Indonesian public notary in Indonesia does not recognise and does not binding in Australian. Its use for the judge in Family Court for a concideration only.
Key Word: Mixed Marriage, Prenuptial Agreement, Indonesian Prenuptial Agreement Deed in Australian Marriage Law.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Lita Arijati, SH, LL.M, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini. 2. Atika Rasyid, Reni Rasyid, dan Ery Rasyid yang selalu menjadi teman dan saudara kandung terbaik dan tak tergantikan yang penulis miliki. 3. Robert Reid, for being the best husband one could ever have. 4. Ibu Tati, ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan moriil yang sangat berarti buat penulis. 5. Ayahanda H.M. Rasjid Umar SH, dear bapak, tesis dan gelar Magister Notariat ini Ira persembahkan hanya untuk bapak. Akhir kata, saya berharap tesis ini dapat diterima dan membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 14 Januari 2013
Ira Rasjid
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DAFTAR ISI BAB I………………………………………………………………………………….1 PENDAHULUAN………………………………………………………………..........1 A. Latar Belakang Pemilihan Judul……………………………………………….1 B. Rumusan Permasalahan………………………………………………………..4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………5 D. Metode Penelitian……………………………………………………………...6 E. Sistematika Penulisan………………………………………………………….8 BAB II………………………………………………………………………………..10 TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES – AUSTRALIA………………………………………………………………………...10 A. Perkawinan Campuran di Indonesia………………………………………….10 1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974………………..………………..………………….10 2. Keaadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974……………………………………………….……12 3. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan Isteri dan Suami………………………………………………………….16 4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional yang Terkait dalam Perkawinan Campuran……………………………...18 B. Perjanjian Perkawinan Indonesia…………………………………………….35
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
1. Tinjauan Umum Perjanjian Perkawinan di Bidang Kenotariaatan………………………………………………………….….35 2. Alasan-alasan untuk Membuat Perjanjian Perkawinan…………………..42 3. Peraturan Perkawinan di Indonesia………………………………………50 a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Perkawinan………………….51 b. Sesudah Berlakunya Undang-Undang Perkawinan………………….52 4. Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata……………………………………………………………………52 5. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974…………………………………………………….54 6. Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris……………….…..56 C. Perjanjian Perkawinan di Australia…………………………………….…….64 1. Sejarah Perjanjian Perkawinan di Australia……………………….……..66 2. Pelaksanaan Binding Financial Agreement sebagai Perjanjian Perkawinan di Australia…………………………………………….……70 D. Analisis Kasus pada Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia untuk Perkawinan di New South Wales – Australia……………………………………………………………………...75 1. Status Personal para Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan……………75 2. Tinjauan terhadap Akta Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Australia…………………………................................................76 3. Pengaruh terhadap Kewarganegaraan Isteri……………………………..79 BAB III……………………………………………………………………………….81 PENUTUP……………………………………………………………………………81 A. Kesimpulan…………………………………………………………………...81 B. Saran………………………………………………………………………….82 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..............…84 LAMPIRAN - LAMPIRAN
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul Dengan era globalisasi yang lebih terbuka untuk lintas batas antar negara yang satu dan negara yang lain menjadikan interaksi yang tidak bisa dihindari antara orang dari satu warga negara dengan warga negara lainnya, dimana tidak jarang dari interaksi tersebut sampai pada dilakukannya proses perkawinan dengan beda kewarganegaraan . Begitu juga yang terjadi di Indonesia, telah banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah menikah dengan Warga Negara Asing (WNA). Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Perkawinan merupakan salah satu kaidah hukum yang termasuk dalam bidang hukum keluarga. Perkawinan campuran di Indonesia sudah umum dan banyak terjadi. Semakin bertambah dan berkembangnya hubungan-hubungan dengan luar negeri, maka semakin banyak sesama Warga Negara Asing di Indonesia, maupun antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia. Hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang mengandung unsur asing saat ini sudah sangat sering terjadi. Jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, bekas teman kerja/ bisnis, berkenalan saat berlibur, atau bekas teman sekolah/ kuliah. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2 dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundangundangan di Indonesia. Dalam
perundang-undangan
di
Indonesia,
perkawinan
campuran
didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia”. Mengenal sistem hukum dan budaya calon pasangan merupakan keniscayaan bagi perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga negara asing. Atau sebaliknya, pria Indonesia yang akan menikah dengan perempuan warga negara asing. “Dalam perkawinan campuran, akan muncul banyak masalah hukum1. Agar problema hukum tidak merepotkan pada saat melangsungkan pernikahan atau sesudah membina rumah tangga, pasangan perkawinan campuran harus memahami sistem hukum masing-masing. Perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga negara asing perlu memahami hukum di negara calon suaminya, termasuk tata cara dan aturan perkawinan lintas negara. Dorongan agar Warga Negara Indonesia (WNI) lebih memahami sistem hukum negara calon pasangan sebenarnya juga tersirat dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apalagi kalau perkawinan itu berlangsung di negara calon pasangan yaitu dalam tesis ini adalah Australia. Simak saja rumusan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan 1
Merry Girsang, Ketua Umum KPS Melati, Perkawinan Campuran, KPC Melati Center, http://www.kpcmelaticenter.com/id/pernak-pernik-perkawinan-campuran/kenali-lebih-dekat-sistemhukum-dan-budaya-calon-pasangan.html, Hukum Online 25 April 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
3 menurut hukum yang berlaku di negara perkawinan itu dilangsungkan”. Dalam Australian Marriage Act 1961 juga disebutkan dalam Section 88C (1)(a)2 yaitu bahwa perkawinan dianggap sah bilamana diresmikan/dilangsungkan menurut hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Pemahaman perempuan Indonesia atas budaya calon suami sangat penting artinya dalam menjalin komunikasi lanjutan. Budaya dalam berkeluarga di tiap negara berbeda-beda. Suatu perbuatan menjadi biasa di negara tertentu, sebaliknya menjadi aib di negara lain. Pada masyarakat yang individualistik, segala sesuatu dilandaskan pada tataran hukum (law). Cara berpikirnya adalah menghindari ketidakpastian. Tidak mengherankan, perjanjian pranikah atau perjanjian kawin adalah hal yang lazim dilakukan agar di belakang hari tidak menimbulkan masalah pelik. Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah atau lazimnya disebut juga Perjanjian Kawin adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak. Dengan dibuat dan ditanda-tanganinya perjanjian ini, maka semua harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak adalah hak dan milik mereka masing-masing. Demikian pula dengan hutang-hutang dari masing-masing pihak tersebut. Perjanjian Kawin merupakan kesepakatan antara para pihak calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan. Maka sangatlah penting agar kedua pasangan datang dan hadir untuk mengetahui pro dan kontra serta seluk
2
Australian Marriage Act 1961, Section 88C(1)(a), Act No.12 of 1961 as amended, 2006.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
4 beluk perkawinan campuran. Sebab kedua belah pihak harus benar-benar paham apa yang tertuang di dalam perjanjian perkawinan dan apa yang tertulis tersebut adalah benar-benar apa yang kedua belah pihak inginkan. Permasalahan bisa saja timbul, ketika Notaris yang bersedia membuatkan draft perjanjian kawin, bertemu dengan calon mempelai pria yang berkebangsaan Australia, ia malah menjadi sasaran kemarahan sang calon suami, karena ternyata apa yang tertuang ternyata tidak seperti apa yang diinginkan oleh pihak calon suami. Disinilah dibutuhkan sikap ketelitian dari seorang Notaris yang hendak membuat perjanjian perkawinan bagi pasangan beda kewarganegaraan. Notaris harus bisa merubah draft perjanjian perkawinan standard dan mengubah isi dari apa yang diatur dalam perjanjian tersebut sesuai dengan kebutuhan dari kedua belah pihak. Serta memperhatikan penggunaan perjanjian perkawinan tersebut dikemudian hari. Sebab mengingat bahwa pasangan tersebut akan menikah di luar negeri yang secara hukum maka berlaku hukum perkawinan negara dimana mereka menikah. Oleh karena itu penulis memilih judul dalam tesis ini, “Tinjauan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia yang dilakukan di New South Wales – Australia”.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai Perjanjian Perkawinan yang di buat oleh notaris di Indonesia terhadap perkawinan beda warga negara yaitu antara seorang wanita yang berkewarganegaraan Indonesia dengan seorang pria yang berkewarganegaraan Australia yang tunduk pada peraturan perkawinan Australia dikarenakan melangsungkan pernikahannya di Australia. Perjanjian perkawinan dibuat sebelum pasangan melaksanakan pernikahan di Australia, pasangan tersebut
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
5 membuat perjanjian kawin yang dibuat di Indonesia oleh Notaris Indonesia. Dengan alasan bahwa pasangan pihak istri berkewarganegaraan Indonesia dan pasangan ini berdomisili di Indonesia. Hal tersebut membuat pasangan wanita yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki segudang pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang mereka buat di Indonesia oleh Notaris di Indonesia di Australia. Penulis mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang harus di perhatikan oleh Notaris di Indonesia dalam hal pembuatan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) terhadap perkawinan campuran/ beda warga negara? 2. Bagaimana kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia terhadap perkawinan yang dilaksanakan di Australia dan tunduk pada hukum perkawinan Australia (dalam hal ini yaitu negara bagian New South Wales - NSW)?
Pada akhir tesis ini penulis akan membahas dan menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam kasus tesis ini. C. Tujuan Penelitian Fenomena tersebut diatas diangkat oleh penulis untuk diteliti lebih lanjut mengenai perkawinan dua kewarganegaraan yang berbeda yaitu Indonesia dan Australia. Harapan penulis dari penelitian tesis ini yaitu: 1.
Agar dapat membantu memberi masukan serta argumentasi untuk menjamin rasa kepastian hukum mengenai perkawinan campuran, supaya wanita Indonesia yang ingin menikah dengan Warga Negara Australia dapat memahami seluk beluk hukum perkawinan di Negara Kangguru tersebut.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
6 2. Agar dapat memberikan informasi yang kuat mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia dalam perkawinan campuran Indonesia - Australia, baik dalam hukum perkawinan Indonesia dan dalam hukum perkawinan Australia.
D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan bahan Hukum Sekunder yang dimulai dengan analisis mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, buku-buku mengenai Hukum Perdata Internasional Indonesia, Australian Marriage Act Law 1961, dan Australia Family Law Act 1975, sedangkan untuk permasalahan hukumnya penulis mengambil bahan dari literatur Indonesia dan literatur asing, buku kumpulan mata kuliah Pembuatan Akta Perorangan dan Keluarga, The Practioner’s Guide to International Law, serta peraturan pelaksanaannya dan ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah3 serta studi dokumen-dokumen. Untuk bahan Hukum Primer penulis menggunakan akta perjanjian perkawinan campuran yang dibuat oleh notaris di Indonesia untuk pasangan dalam kasus tesis ini, serta Marriage Certificate mereka yang di keluarkan oleh negara bagian New South Wales, Australia. Bahan Hukum Tersier dalam tesis ini yaitu berupa berbagai artikel yang di buat oleh pengacara-pengacara Australia yang ahli dalam bidang family law dan artikel dari kalangan praktisi Hukum Indonesia dalam bidang Hukum Perdata,
3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 53.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
7 Hukum Keluarga dan Hukum Perdata Internasional, kamus Inggris-Indonesia, Black’s Law Dictionary, dan ensiklopedia hukum. .4
Metode penelitian tersebut digunakan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya bahkan peraturan di negara lain yang melintasi batas negara yang ada kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. Selain itu penelitian ini juga didukung dengan hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber. Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian eksplanatoris, khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teoriteori hukum di Indonesia dan teori-teori hukum yang berlaku di Australia serta praktek pelaksanaan yang menyangkut dengan perkawinan campuran beda warganegara. Alat Pengumpul Data dalam penulisan ini berupa studi dokumen yaitu mencari dan mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan yang terjadi dalam perkawinan campuran. Metode Analisis Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan pada data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, artikel, penulis juga menekankan pada peraturan perundang-undangan. Bentuk hasil penelitian-penelitian yang penulis lakukan adalah bentuk normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada penelitian 4
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hal 13 et seq.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
8 terhadap peraturan perundang-undangan serta pandangan hukum para ahli. Kualitatif karena analisa data berasal dari perilaku sikap dan pandangan dalam praktek dalam rangka menerapkan peraturan perundang-undangan.
E. Sistematika Penulisan Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulisan tesis ini disusun secara sistematis
terbagi
atas
tiga
bab.
Pembagian
ini
dibuat
agar
dalam
pengembangannya dapat lebih sistematis dan terarah pada apa yang menjadi pokok permasalahan serta dapat dihindarinya penyimpangan dari yang sudah digariskan. Secara garis besar sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN Bab ini berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah yang terjadi dalam masyarakat mengenai perkawinan campuran beda negara, pokok permasalahan yang timbul dari adanya perkawinan campuran beda negara yaitu antara Indonesia dan Australia dan metodelogi penulisan tesis ini. BAB 2 : TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA- AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI AUSTRALIA Bab ini berisi perkawinan campuran menurut Hukum Perdata dan Hukum Perdata Internasional, perjanjian dalam bidang kenotariatan, perjanjian perkawinan menurut hukum di Indonesia, perjanjian perkawinan menurut hukum Australia dan macam-macam jenis akta perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia, tinjauan secara yuridis dan analisa terhadap perjanjian kawin Indonesia yang dibuat oleh notaris di Indonesia pada perkawinan yang dilaksakan di Australia yang tunduk pada hukum perkawinan Australia.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
9
BAB 3 : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis mengenai pelaksanan akta perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia pada perkawinan campuran (beda Warga Negara) yang salah satu pihaknya adalah Warga Negara Indonesia namun perkawinan tersebut tunduk pada hukum perkawinan Australia.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
10 BAB II TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
A. Perkawinan Campuran di Indonesia. 1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Sebelum berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran diatur dalam Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) (S 1898 No. 158)5. Pasal-pasal penting dalam Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) yaitu pasal 1,2,6 ayat (1), 7 ayat (2), 10. Dalam Pasal 1 berisi bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Pasal 2 berisi bahwa seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran, selama perkawinan itu belum putus, perempuan tersebut tunduk pada hukum suami, baik di bidang hukum publik maupun hukum perdata. Intinya yaitu karena perkawinan campuran, isteri memperoleh status suami. Terdapat anasir memilih: persetujuan/ pilihan dari pihak
perempuan
selalu
diisyaratkan
sebelum
perkawinan
campuran
dilangsungkan. Pasal 2 Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) ini merupakan pasal terpenting dalam seluruh ketentuan Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR), karena mencerminkan asas persamarataan dari semua stelsel hukum. Tidak ada kesan mengeloni salah satu stelsel hukum. Pasal 2 Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) ini merupakan kebalikan dari pasal 15 OV (S. 1840/ 10) yang berisi bahwa seorang bukan Eropah yang ingin menikah dengan perempuan Eropah harus tunduk lebih dahulu kepada hukum Perdata Eropah. 5
Zulfa Djoko Basuki, Hukum Perkawinan di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 79.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
11 Luas Lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR)6: a) Aliran Luas. Meliputi perkawinan antar golongan, perkawinan antar agama, perkawinan antar tempat, termasuk perkawinan berbeda kewarganegaraan. Penganut: Nederburg, Lemaire, Kollewijn dan Sudargo Gautama. Menurut Sudargo Gautama, masalah hukum antar tempat merupakan pengaruh dari pada percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan masyarakat hukum setempat. Perkawinan Antar Golongan diartikan sebagai perkawinan antara orang-orang dari golongan penduduk yang berbeda, karena berlakunya Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda pula, Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Contohnya: perkawinan antara orang-orang dari golongan bumiputera (berlaku hukum ada) dengan orang-orang dari golongan Eropah yang tunduk pada BW (Burgerlijk Wetboek). Perkawinan antar tempat, misalnya perkawinan antara laki-laki Palembang dengan perempuan Sunda. Perkawinan antar agama misalnya perkawinan antara penduduk yang beragama Islam dengan yang beragama Nasrani. Perkawinan berbeda kewarganegaraan misalnya antara warga Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. b) Aliran Sempit. Hanya berlaku untuk perkawinan antar golongan. Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) tidak berlaku untuk perkawinan antar agama dan antar tempat. Sulit dikatakan suami ikut isteri bila keduanya dari golongan yang sama. Penganut aliran ini : Van Vollenhoven, Winckel, Carpentir Alting. c) Aliran Setengah Luas Setengah Sempit. Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) berlaku untuk perkawinan antar
6
Ibid, hal. 80
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
12 golongan dan perkawinan antar agama. Tidak berlaku untuk perkawinan antar tempat. Penganut aliran ini: Van Hasselt. Dalam hukum antar tempat sering suami ikut status isteri. Misalnya dalam kasus perkawinan antara laki-laki Palembang dengan perempuan Sunda. Jadi dalam kasus tesis, keadaan perkawinanan campuran di Indonesia sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maka perkawinan antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Australia, masuk kedalam ruang lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) dalam ruang lingkup aliran luas, sebab meliputi perkawinan berbeda kewarganegaraan. 2. Keadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia7. Dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan menentukan mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, yaitu8: 1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. 2) Dalam waktu satu tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. 7
Wahyono Darmabrata, dan Surini Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke II, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 155. 8 Ibid., hal. 153.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
13
Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut menentukan bahwa perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia baik antara warga negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain, adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan, dan suami/isteri warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini diatur juga dalam Pasal 23 Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 15 Tahun 1999. Setelah itu barulah dilakukan pelaporan. Dalam surat pelaporan perkawinan akan tertulis dengan tegas bahwa surat pelaporan perkawinan ini bukan merupakan akta perkawinan9. Dinyatakan bukan sebagai akta perkawinan karena yang merupakan akta perkawinan adalah akta perkawinan yang dibuat dihadapan kantor catatan sipil di luar negeri tersebut, dan bukti pelaporan itu hanya untuk memenuhi syarat dalam Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan. Akta Perkawinan bersama-sama dengan bukti pelaporan perkawinan dapat dijadikan sebagai bukti bila pasangan itu ingin bercerai di hadapan pengadilan di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai masalah pelaporan perkawinan. Pasal 84 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri pulang kembali di wilayah indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka10. Kaitan Pasal 83 dan Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan demikian, dapat kiranya diambil kesimpulan bahwa lazimnya perkawinan antara 9
Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 91. Ibid., hal. 154.
10
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
14
mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah karena tidak memperhatikan hukum agama. Formalitas-formalitas yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan lebih mudah untuk dapat diterima dan diberlakukan berdasarkan prinsip perkawinan perdata yang dianut dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan berbeda agama. Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan memiliki hubungan yang unik dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang konsepsinya sudah berbeda dengan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang hanya memperhatikan segi perdata dalam perkawinan. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dikalangan ahli hukum, terdapat pendapat bahwa perkawinan antara mereka yang berbeda agama juga merupakan perkawinan campuran. Karena perbedaan agama, merupakan perkawinan antara mereka yang tunduk pada hukum yang berbeda, bukan hanya karena perbedaan kewarganegaraan. Hal ini mengakibatkan pengaturan dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan dijadikan sebuah jalan keluar bagi Warga Negara Indonesia yang ingin menikah namun berbeda agama. Sehingga yang lazim terjadi di masyarakan yaitu pasangan berbeda agama ini menikah di luar negeri secara sipil, setelah kembali ke Indonesia mereka melaporkan dan mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Pencatatan Perkawinan di tempat tinggal mereka. Sehubungan dengan masalah tata cara pelaporan dan pendaftarannya itu sendiri, diatur lebih lanjut dan rinci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 37 yang menentukan : Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. Sebagai pedoman mengenai tata cara pelaporan dan pendaftarannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 dan 15 Peraturan Menteri Nomor
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
15
12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan oleh Negara Lain. Perkawinan campuran, meskipun dilakukan di luar negeri tetapi memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi mengenai syarat-syarat sah nya suatu perkawinan oleh negara. Syarat mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi warga negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan di dalam Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan bagi orang asing harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan. Untuk membuktikan bahwa persyaratan tersebut telah dipenuhi, mereka harus dapat menunjukkan surat keterangn yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu, menurut hukumnya yang menerapkan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan menentukan: 1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. 2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3). 5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam)
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
16 bulan sesudah keterang itu diberikan.
Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa: 1) Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatatan yang berwenang. 2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
Oleh
karena
kompleksnya
masalah
perkawinan
campuran
yang
melangsungkan perkawinan diluar Indonesia, kiranya perlu mendapatkan perhatian dan pemahaman agar justru tidak terdapat kesimpang siuran penafsiran, dan dijadikan sebagai sarana upaya penyelundupan hukum11. 3. Terhadap Kewarganegaraan Isteri dan Suami. Pasal 19 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur tentang perolehan kewarganegaraan Indonesia melalui perkawinan. Ini adalah suatu hal yang didalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama tidak dikenal bagi seorang laki-laki. Perolehan kewarganegaraan Indonesia semacam itu cukup dengan menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga negara Indonesia dihadapan pejabat dengan syarat sudah bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Apabila tidak memperoleh Warga Negara Indonesia karena mengakibatkan kewarganegaraan ganda, kepada yang bersangkutan dapat diberikan izin tinggal tetap. Ketentuan dalam pasal ini bagi perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia tidak menyebutkan berapa tahun setelah perkawinan, seperti diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, UU No 62 Tahun 1958, 11
Wahyono Darmabrata, dan Surini Sjarif, op.cit., hal 155.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
17 yaitu satu tahun setelah perkawinannya untuk dapat menjadi Warga negara Indonesia apabila ia menyatakan hal untuk itu, tetapi menyebutkan jangka waktu telah bertempat tinggal di Indonesia yang berlaku baik bagi perempuan asing maupun laki-laki asing yang menikah dengan seorang Warga negara Indonesia. Ketentuan ini bagi perempuan asing yang menikah dengan laki-laki Warga negara Indonesia dapat merupakan kemunduran tetapi mungkin pula tidak bila ia telah bertempat tinggal di Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, ia tidak perlu menunggu jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya. Bagi laki-laki asing ini suatu kemudahan yang baru, karena berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan lama, si suami tidak mungkin menjadi Warga negara Indonesia kecuali melalui naturalisasi dengan syarat-syarat yang ketat dan tidak ada ketentuan yang memberikan izin tinggal tetap di Indonesia apabila ia menikah dengan perempuan Warga negara Indonesia. Sekarang dengan telah dipenuhinya jangka waktu yang ditetapkan, si suami dapat dengan mudah menjadi Warga negara Indonesia dengan hanya menyampaikan pernyataan kepada Pejabat untuk menjadi Warga negara Indonesia. Selanjutnya Pasal 26 mengatur pula tentang kehilangan kewarganegaraan baik bagi perempuan Warga Negara Indonesia maupun laki-laki Warga negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing apabila negara isteri atau suami menganut ketentuan isteri atau suami mengikuti kewarganegaraan asing pasangannya12. Kemudian dalam ayat 3 dan 4 diatur bahwa, bila perempuan atau laki-laki Warga Negara Indonesia itu tetap ingin memprtahankan kewarganegaraan Indonesianya, dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung dapat menyatakan kepada Pejabat, kecuali hal itu mengakibatkan ia menjadi
bipatride.
Pasal
32
mengatur
mengenai
perolehan
kembali
kewarganegaraan yang hilang sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 butir (i) dan 12
Suatu ketentuan yang di Indonesia dulu dianut dalam Pasal 2 GHR, yang menyatakan dalam hal suatu perkawinan campuran si isteri mengikuti status si suami baik di dalam hukum perdata maupun hukum publik, sehingga si isteri akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianyayang mengikuti kewarganegaraan suaminya. Dianut adanya kesatuan hukum di dalam keluarga.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
18 pasal 26 yaitu dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya dengan mengajukan permohonan kepada menteri, atau bila berada di luar negeri ke perwakilan Indonesia yang mewilayahi tempat tinggal si pemohon, dan bagi pasangan yang kehilangan kewarganegaran Indonesianya karena mengikuti status suami atau isteri dapat mengajukan kembali kewrganegaraan Indonesianya sejak putusnya perkawinan. Tidak diperlukan prosedur naturalisasi bagi mereka13. 4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan Perkawinan Campuran. Sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat
seringkali dihadapkan pada masalah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat intern-domestik tetapi menunjukkan kaitan dengan unsur-unsur asing (foreign elements). Hubungan atau peristiwa hukum, baik di bidang hukum keperdataan maupun non keperdataan, yang mengandung unsur-unsur transnasional itulah yang diatur oleh bidang hukum yang dikenal dengan sebutan Hukum Perdata Internasinal (HPI), yang dalam bahasan tesis ini adalah perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Jadi segala hubungan-hubungan hukum yang mengandung unsur asing (foreign elements) masuk kedalam kaidah Hukum Perdata Internasional14. Pengertian dari “foreign element” itu berarti suatu pertautan (contact) dengan sebuah sistem hukum lain di luar sistem hukum negara “forum” (negara tempat pengadilan yang mengadili perkara, dan pertautan itu sebenarnya ada di dalam fakta-fakta dari perkara. Di sini timbul persoalan-persoalan khas yang dapat dianggap sebagai masalahmasalah pokok Hukum Perdata Internasional, yaitu15 : a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. 13
Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 104-106. Mutiara Hikmah, Artikel Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi kodifikasi hukum Perdata Internasional bagi Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 6, 2002, hal 65. 15 Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010, http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html 14
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
19 b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan / atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing. c. Bilamana, sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan putusan pengadilan asing. Masalah pokok ketiga ini berkaitan erat dengan persoalan yang mana apabila berdasarkan pendekatan HPI ternyata hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau hak-hak asing yang harus ditegakkan dalam putusan perkara, timbul masalah apakah pengadilan suatu negara harus selalu mengakui dan memberlakukan hukum atau hak asing di wilayah yurisdiksinya. Apakah landasan bagi forum untuk menolak atau membenarkan penerimaan atau pengakuan hukum asing tersebut. Hal inilah yang secara singkat disebut sebagai pengakuan putusan hakim asing (recognition of foreign judgements) Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional-nya16 masing-masing. Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat juga mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional sendiri. Republik Indonesia sebagai bagian dari negara-negara yang melakukan pergaulan internasional dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain, soal-soal yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang tunduk dibawah hukum yang berbeda karena keturunan mereka, kini telah berubah menjadi persoalan yang meletak titik berat kepada perbedaan kewarganegaraan / nasionalitas.17 Perkawinan campuran adalah perkawinan dari orang-orang yang tunduk dibawah hukum yang berlainan. Yang dimaksud dengan berlainan disini adalah
16
Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, Edisi kedua, Cetakan I (Bandung:Alumni, 1996), hal.171. 17 Ibid. hal.172
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
20 dulu bisa berupa beda golongan rakyat maka disebut perkawinan antar golongan, beda agama maka disebut perkawinan antar agama, beda karena tempat kediaman maka disebut perkawinan antar tempat, dan beda hukum yang dapat berlangsung dalam suatu suasana internasional. Jika dua orang yang berkewarganegaraan berbeda kemudian menikah, maka terjadilah suatu perkawinan campuran internasional atau disebut juga perkawinan antar warga negara18. Maka yang termasuk perkawinan campuran yang bersifat internasional adalah: a. Perkawinan WNI dengan WNI di luar negeri b. Perkawinan WNI dengan WNA di Indonesia c. Perkawinan WNA dengan WNA di Indonesia d. Perkawinan antara WNI dengan WNA di luar negeri.
Menurut teori Hukum Perdata Internasional untuk suatu perkawinan campuran yang bersifat internasional, harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat materiil berdasarkan hukum status personal para calon mempelai19 dan syarat formil berdasarkan hukum dimana perkawinan dilangsungkan (Lex Loci Celebrations)20. Ada empat macam konsep tentang ruang lingkup Hukum Perdata Internasional yang berlainan. Keempat konsep tersebut adalah: a. Yang paling sempit. Pendapat ini yang dianut di negara Jerman dan Belanda. Menurut konsep ini ruang lingkup Hukum Perdata Internasional hanya terbatas pada masalahmasalah tentang “conflict of laws” atau perselisihan hukum. Dalam hal ini, lebih tepat dipakai istilah choice of laws, karena sebenarnya tidak ada suatu perselisihan diantara sistem-sistem hukum yang dipertemukan, melainkan hanya suatu pilihan diantara beberapa sistem hukum, yang mana yang 18
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Cet.4, (Bandung:Penerbit Alumni, 1987), hal. 130. 19 Marriage Act 1961, Act No. 12 of 1961 as amended, 2006, section 88D. 20 Ibid, section 88C(1)(a)
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
21 sebaiknya diberlakukan21. Maka Hukum Perdata Internasional sebenarnya merupakan istilah untuk mengatur diberlakukannya suatu hukum yang berlainan dari hukum sendiri. Dengan kata lain hanya mengedepankan “rechtstoepassingrecht” yaitu untuk menentukan apa yang dianggap hukum22. b. Yang lebih luas. Pendapat ini dianut terutama dalam konsep negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Hukum Perdata Internasional bukan saja terbatas pada masalah-masalah “conflict of laws”. Disamping itu terdapat pula persoalan “conflict of jurisdiction” (persoalan mengenai kompentensi Hakim). Menurut Rabel, maka jurisdiksi justru merupakan suatu persoalan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita tiba pada masalah hukum yang harus dipergunakan. c. Yang lebih luas lagi. Pendapat ini dianut oleh negara-negara latin, seperti : Italia, Spanyol, Amerika Selatan. Menurut konsep ini, Hukum Perdata Internasional terdiri dari tiga bagian, yaitu: conflict of laws, conflict of jurisdiction and condition des estrangers (mengenai status orang asing). d. Yang terluas. Pendapat ini dianut di dalam sistem Hukum Perdata Internasional negara Prancis. Menurut konsep ini, ruang lingkup Hukum Perdata Internasioanl terdiri dari: conflict of laws,conflict of jurisdiction, condition des estranges and nationality (masalah kewarganegaraan). Sistem yang dikenal di Prancis ini dianut oleh kebanyakan penulis, yaitu konsep yang terluas. Demikian pula dengan Hukum Perdata Internasional Indonesia23.
21
Hal ini mengutip dari Arthur Kuhn yang berbicara tentang Hukum Perdata Internasional, yaitu: “ a choice between two or more systems of Laws”, (Lih: Arthur Kuhn, Comparative Commentaries On Private International Law of Conflict of Laws, New York, 1973, page 1. 22 Mutiara Hikmah, op. cit., hal 70. 23 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buke ke VII, jilid III, cetakan ke-3, (Bandung: Binacipta, 1987), hal 10.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
22
Dalam teori-teori khusus mengenai Hukum Perdata Internasional, masalahmasalah hukum keluarga sudah menjadi bahan kajian para sarjana-sarjana Hukum Perdata Internasional sejak dulu. Namun keadaan sekarang justru tidak banyak sarjana-sarjana Hukum Perdata Internasional yang tertarik untuk meneliti dan mendalami masalah-masalah hukum keluarga24. Dalam teori Hukum Perdata Internasional, masalah hukum keluarga diatur sebagai berikut25: 1. Mengenai perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan, maka untuk perkawinan tersebut harus memenuhi syarat-syarat materiil dan syaratsyarat formil. Untuk syarat materiil, maka hukum yang berlaku adalah hukum nasional masing-masing pihak dan untuk syarat formil, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara tempat dimana perkawinan dilangsungkan (Lex Loci Celebrations)26. 2. Mengenai Harta Benda Perkawinan dari suami-isteri yang berbeda kewarganegaraan, maka hukum yang berlaku untuk mengatur harta perkawinan pasangan tersebut adalah hukum domisili bersama pasangan suami-isteri27. 3. Mengenai perceraian, ada dua kategori yaitu perceraian warga negara Indonesia di Luar Negeri dan perceraian orang-orang asing di Indonesia. Untuk perceraian orang-orang Indonesia di Luar Negeri, berlaku hukum Indonesia (hukum nasional para pihak). Untuk perceraian orang-orang asing di Indonesia, jika suami-isteri berkewarganegaraan sama maka berlaku hukum nasional mereka, tetapi jika berkewarganegaraan berbeda maka terdapat
24
Mutiara Hikmah, op.cit., hal 70. Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, yang diterbitkan oleh Dirjen Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, tahun 1997-1998. 26 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buku ke- III bagian I, (Bandung: Alumni, 1981),hal 118. 27 Ibid, hal 153. 25
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
23 pengecualian, yaitu berlaku hukum domisili bersama28. (hukum dimana perceraiannya diajukan). 4. Mengenai pengesahan / pengakuan seorang anak, hukum yang berlaku adalah hukum orang yang mengesahkan / mengakui29. 5. Menegenai perwalian anak, dipakai hukum yang ditentukan oleh status personal anak yang bersangkutan30. 6. Mengenai Adopsi, hukum yang berlaku adalah hukum adoptant (hukum orang yang mengangkat anak)31. 7. Mengenai Warisan, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa hukum yang berlaku adalah hukum nasional si pewaris32.
Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia, hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie 30 April 1847) berlaku dalam hal hendak dilangsungkannya perkawinan dan akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie) mengatur tentang status personel33. Dalam hal ini berlaku hukum nasional warga negara yang bersangkutan (asas lex patriae). Pasal ini harus dianalogikan terhadap orang asing dimana harus dinilai. Misalnya perkawinan harus berlaku hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini erat hubungannya dengan traktat Den Haag 1902 tentang kawin campur yang bersifat internasional (yang berlaku adalah hukum suami). Pasal 17 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie) mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu benda (Lex Rei Sitae). Yaitu bendabenda tetap atau tidak bergerak. Pasal 18 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie) mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan 28
Ibid, hal 187. Ibid, hal 80. 30 Ibid, hal 25. 31 Ibid, hal 97. 32 Ibid, hal 276. 33 Yang dimaksud dengan status personel adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang dimanapun ia berada atau kemanapun ia pergi. 29
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
24
hukum (Locus Rechit Actum/ Lex Loci Celebrationis). Melihat dari status personel dari kasus yang diteliti dalam tesis ini. Baik pihak wanita yang berkebangsaan Indonesia dan pihak suami yang berkebangsaan Australia, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa status personel adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/ diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personel ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap tindak di bidang hukum yang unsur-unsurnya tidak dapat diubah atas kemauan pemiliknya34. Isi dan jangkauan status personel ada 3 yaitu: a. Konsepsi luas. Mengartikan status personel meliputi berbagai hak, permulaan / lahir dan terhentinya / mati, kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan perkawinan. b. Konsep yang agak sempit. Seperti yang dianut Prancis, tidak menganggap sebagai status personel, hukum harta benda perkawinan, pewarisan, dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum dalam hal khusus. c. Konsepsi yang lebih sempit. Sama sekali tidak memasukan hukum keluarga dan pewarisan dalam jangkauan status personelnya. Untuk menentukan status personel seseorang terdapat 2 asas yang mengatur: a. Asas Personalitas / Kewarganegaraan (Lex Patriae) Untuk personel suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya. Biasanya dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental (Civil Law) contohnya: Indonesia yang 34
Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 15.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
25 mengedepankan segi personalitasnya. Ada dua asas menentukan kewarganegaraan seseorang: a) Asas tempat kelahiran (Ius Soli) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. b) Asas keturunan (Ius Sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunannya. Alasan yang mendukung asas kewarganegaraan adalah: a) Cocok untuk perasaan hukum seseorang. b) Sifatnya lebih permanen. c) Lebih membawa kepastian. b. Asas Teritorialitas / Domisili (Lex Domicili) Status personel suatu pribadi tunduk pada hukum di negara mana ia berdomisili. Domisili adalah negara / tempat menetapnya yang menurut hukum dianggap sebagai pusat daripada kehidupan seseorang (center of his life)35. Banyak dianut oleh negara Anglo Saxon. Alasan yang mendukung asas domisili, yaitu: a) Hukum dimana yang bersangkutan hidup. b) Prinsip kewarganegaraan memerlukan bantuan prinsip domisili (dalam hal terdapat perbedaan kewarganegaraan). c) Seringkali hukum domisili sama dengan hukum hakim. d) Cocok dalam negara pluralisme hukum. e) Menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan. f) Demi kepentingan adaptasi dari negara imigran. Sudargo Gautama berpendapat bahwa sebaiknya Indonesia memakai prinsip domisili. Tetapi perlu ditambahkan bahwa beliau tidak menolak untuk memakai
35
Ibid, hal 20.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
26 prinsip nasionalitas bahwa sistem Hukum Perdata Internasional
Indonesia36.
Hanya harus dijaga agar supaya prinsip nasionalitas tidak dipakai secara rigereous / kaku, sehingga membawa kepada “Jurisisch Chauvinisme”. Menurut beliau sebaikanya diadakan kombinasi antara asas kewarganegaraan dan asas domisili. Misalnya dapat ditentukan bahwa asas kewarganegaraan terus berlaku bagi orangorang asing yang berada di Indonesia selama orang asing tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun berdiam di Indonesia37. Hukum nasional negara asal mereka akan tetap dipergunakan untuk status personel mereka dalam jangka waktu itu. Tetapi setelah 2 (dua) tahun itu dan mereka masih terus menetap disini, maka hukum domisili yaitu hukum Indonesia yang menjadi berlaku terhadap orang asing tersebut. Masalah dalam perkawinan campuran yang bersifat internasional baru akan timbul bilamana terjadinya perceraian, pembagian harta dan wasiat atau kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut. Hal-hal seperti ini, yang menandakan adanya unsur asing, sehingga ada kemungkinan suatu kaidah hukum asing yang berlaku bagi suatu peristiwa hukum, dinamakan titik-titik taut. Titik-titik taut dalam suatu peristiwa Hukum Perdata Internasional dapat berbentuk38 : a. Kewarganegaraan. b. Domisili seseorang, atau domisili (tempat kediaman) suatu badan hukum. c. Tempat kedudukan suatu benda tetap (situs rei). d. Bendera kapal asing. e. Tempat suatu perbuatan dilakukan (locus actus). 36
Sudargo Gautama, Pengatar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cetakan ke-5, (Bandung: Binacipta, 1987), hal 87. 37 Masa 2 tahun ini disesuaikan dengan peraturan-peraturan imigratoir tentang Kartu Izin Masuk. 38 Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010, http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
27 f. Tempat di mana akibat suatu perbuatan hukum timbul (locus solutionis). g. Pilihan hukum para pihak. h. Tempat perbuatan-perbuatan resmi dilakukan
Macam-macam titik taut dalam peristiwa Hukum Perdata Internasional, dapat dibedakan antara : 1. Titik Taut Primer. Adalah unsur-unsur yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan suatu peristiwa Hukum Intern Nasional. Jadi, titik taut primer adalah titik taut yang membedakan Hukum Perdata Internasional dari peristiwa hukum Intern Nasional. Oleh sebab itu titik taut primer juga dinamakan titik taut pembeda. 2. Titik Taut Sekunder. Adalah unsur-unsur yang akan menentukan hukum manakah yang seharusnya berlaku (lex causae) bagi peristiwa hukum perdata internasional itu. Karena itu titik taut sekunder disebut juga titik taut penentu. Titik taut sekunder dalam hukum perdata internasional pada umumnya merupakan asas-asas Hukum Perdata Internasional yang merupakan kaidah-kaidah penunjuk hukum apa yang seharusnya berlaku, dan tidak bermaksud untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang dimaksud. Lex Fori adalah hukum sang hakim yang seharusnya berlaku Lex Causae adalah hukum di mana tempat diadakan atau diajukan nya perbuatan-perbuatan resmi yang penting. Menentukan hukum yang berlaku (Lex Cause) dengan bantuan titiktitik taut. Dalam menghadapi suatu peristiwa hukum atau kasus, pola berpikir yuridik Hukum Perdata Internasional adalah : a) Pertama kita mencari titik-titik taut primer menurut Lex Fori untuk mengetahui apakah kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
28 internasional atau bukan. b) Jika ternyata bahwa kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata internasional, maka kita mengadakan kualifikasi fakta menurut Lex Fori. c) Kemudian kita mencari titik-titik taut sekunder menurut Lex Fori untuk menentukan sistem hukum yang berlaku (Lex Causae). d) Titik-titik taut menurut Lex Causae lalu akan menentukan apakah kaedah hukum Lex Causae, Lex Fori, atau kaidah hukum asing lain yang harus berlaku. e) Jika berdasarkan titik-titik taut dari Lex Causae telah dapat ditentukan kaidah hukum materil mana yang seharusnya berlaku, hakim akan menentukan penyelesaian masalahnya dan menjatuhkan putusan. Salah satu bagian dari teori umum Hukum Perdata Internasional yang selalu menarik untuk dibahas adalah masalah “Renvoi”. Masalah Renvoi atau “Penunjukan Kembali” atau dengan kata lain Partial / Single Renvoi ; Renvoi Ersten Grades ; Remission,
timbul karena adanya aneka warna sistem Hukum Perdata
Internasional39. Sebab tiap-tiap negara nasional di dunia ini memiliki sistem Hukum Perdata Internasional nya sendiri-sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak ada keseragaman
cara-cara
menyelesaikan
masalah-masalah
Hukum
Perdata
40
Internasional . Secara khusus, dapatlah dikatakan bahwa masalah Renvoi ini timbul sebagai akibat adanya hukum di dunia yang di satu pihak menggunakan asas Nasionalitas (kewarganegaraan), sedangkan di pihak lain menggunakan asas domicile untuk menentukan status dan wewenang personal seseorang. Renvoi atau penunjukan kembali sangat erat hubungannya dengan kualifikasi dan titik taut41. Memang sebenarnya ketiga soal ini dapat mencakup dalam satu permasalahan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (Lex Cause) dalam suatu 39
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ketiga, Jilid kedua (bagian kedua), Cetakan ketiga, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1988, hal. 2-5. 40 Sudargo Gautama, op.cit., hal 14. 41 Ibid, hal 165.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
29 peristiwa Hukum Perdata Internasional. Renvoi timbul apabila hukum asing yang ditunjuk oleh Lex Fori, menunjuk kembali ke arah Lex Fori itu, atau kepada sistem hukum asing lain42. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem hukum Perdata Internasional di setiap masing-masing negara. Renvoi merupakan salah satu pranata Hukum Perdata Internasional tradisional yang terutama berkembang di dalam tradisi Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang dapat digunakan untuk menghindari pemberlakuan kaidah hukum yang seharusnya berlaku (Lex Cause) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur Hukum Perdata Internsional yang normal43. Menunjuk ke arah sistem hukum tertentu, orang dapat melakukan penunjukan kembali dengan 2 pengertian yang berbeda44: a. Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam Bahasa Jerman dinamakan sachnormenverweishung. b. Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima facie adalah kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (Kollisionsnormen) dari
sistem
hukum
tersebut.
Penunjukan
semacam
ini
dinamakan
gesamtverweisung. Perlu disadari sepenuhnya bahwa doktrin renvoi harus digunakan sebagai alat bagi hakim untuk merekayasa penentuan Lex Cause ke arah sistem hukum mana yang dianggap memberikan putusan yang dianggap terbaik. Masalah-masalah Hukum Perdata Internasional yang juga dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin renvoi adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara 42
Bayu Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya bakti, 2001, hal 80. 43 Sudargo Gautama, op.cit, hal 91. 44 http://inspirasihukum.blogspot.com/2011/04/hukum-perdata-internasional-status_23.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
30 asing, perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga dalam kasus tesis ini yaitu perjanjian perkawinan yang berhubungan dengan harta perkawinan dan status personel. Dalam Hukum Perdata Internasional, orang mengenal dua macam kemungkinan Renvoi, yaitu : a. Penunjukan Kembali (Remission) yaitu Penunjukan oleh kaidah Hukum Perdata Internasional asing kembali kearah lex fori) b. Penunjukan Lebih Lanjut (Transmission). Orang dapat menerima renvoi atau menolak renvoi bila: a) Bila suatu sistem hukum (Lex Fori) menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing dan penunjukan itu langsung dianggap sebagai Sachnormverweisung (penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern dari sistem hukum asing itu), maka dapatlah dikatakan bahwa Hakim telah menolak Renvoi. b) Bila hakim Lex Fori menunjuk suatu sistem hukum asing, dan penunjukan ini dianggap sebagai suatu Gesamtverweisung (penunjukan ke seluruh sistem hukum asing – termasuk kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasionanya), maka ada kemungkinan bahwa kaidah Hukum Perdata Internasional dari sistem hukum asing itu menunjuk kembali ke arah Lex Fori tersebut. Disinilah terjadi Renvoi. The Foreign Court Theory atau dikenal dengan istilah lain yaitu Double Renvoi atau Total Renvoi atau The English Concept Renvoi. Foreign Court Theory (FCT) adalah sejenis Renvoi yang dikembangkan di dalam sistem Hukum Perdata Internasional Inggris. Teori ini didasarkan pada fiksi hukum, bahwa Pengadilan Inggris dalam menyelesaikan suatu perkara Hukum Perdata Internasional haruslah bertindak sekan-akan sebagai Forum / Pengadilan Asing, dan memutus perkara dengan cara yang sama seperti suatu badan peradilan asing (yang sistem hukumnya telah ditunjuk oleh Kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori / Hukum Perdata Internasional Inggris). Ada dua hal yang perlu disadari dalam
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
31 pelaksanaan Doktrin Foreign Court Theory ini, yaitu45 1) Hakim harus menentukan terlebih dahulu Sistem Hukum / Badan Peradilan Asing manakah yang seharusnya mengadili dan menyelesaikan perkara yang dihadapi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan titik-titik taut dan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori. Pada tahap ini yang sebenarnya dilakukan adalah menentukan badan peradilan mana yang seharusnya menjadi The Proper Lex Fori atau The Foreign Lex Fori atau lex fori asing. 2) Langkah selanjutnya haruslah dilakukan berdasarkan sistem Hukum Perdata Internasional dari “The Foreign Lex Fori” itu. Pada tahap kedua ini, pada dasarnya terjadi proses ulangan untuk menentukan Lex Causae dengan menggunakan “Lex Fori Asing” itu dapat menimbulkan beberapa kemungkinan, yaitu : a) Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lex fori asing menunjuk kembali kearah lex fori (Hukum Inggris) b) Kaidah-kaidah HPI lex fori asing menunjuk lebih lanjut ke arah suatu sistem hukum asing lain. c) Lex Fori (Hukum Inggris) menunjuk kembali ke arah lex fori Asing, dan lex fori asing menerima penunjukan kembali itu. Jadi pada Foreign Court Theory, yang menjadi masalah utama bukanlah mengenai
Lex Fori (hukum Inggris) menerima atau menolak Renvoi, melainkan apakah Lex Fori asing menerima / menolak Renvoi. Untuk masalah kualifikasi masalah hukum ini ditangani secara lebih khusus, karena dalam perkara-perkara Hukum Perdata Internasional orang selalu berurusan dengan kemungkinan berlakunya lebih dari satu sistem atau peraturan hukum dari dua negara yang berbeda untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu46. Kualifikasi sebenarnya adalah melakukan translation atau penyalinan daripada fakta-fakta 45 46
Sudargo Gautama, op.cit., hal 102. Bayu Seto, op. cit., hal 47.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
32 sehari-sehari dalam istilah-istilah hukum. Dalam garis besar terdapat 3 (tiga) macam kualifikasi: a. Kualifikasi menurut Lex Fori (hukum hakim). Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili perkara (Lex Fori), sebab kualifikasi adalah bagian dari hukum intern forum. Kualifikasi dilakukan berdasarkan Lex Fori karena alasanalasan47: a.1. Kesederhanaan (simplicity), sebab bila kualifikasi dilakukan berdasarkan Lex Fori maka pengertian / batasan tentang hukum yang digunakan adalah pengertian-pengertian yang telah dikenal oleh hakim. a.2. Kepastian (certainty), sebab orang - orang yang berkepentingan dalam suatu perkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa hukum apa suatu peristiwa hukum akan dikualifikasikan oleh hakim, beserta segala konsekuensinya. b. Kualifikasi menurut Lex Cause (hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan Hukum Perdata Internasional bersangkutan). Teori ini beranggapan bahwa setiap kualifikasi sebaiknya dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan yaitu untuk menentukan kaidah Hukum Perdata Internasional mana dari Lex Fori yang erat kaitannya dengan kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan barulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum apa diantara kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara.
47
Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
2010,
Universitas Indonesia
33 c. Kualifikasi secara Otonom berdasarkan Comparative Method atau Analytical Jurisprudence. Kualifikasi ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu. Menurut para penganut teori ini, tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya terhadap suatu system hukum lokal / nasional tertentu (Otonom). Artinya, dalam Hukum Perdata Internasional seharusnya ada pengertian-pengertian hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama di manapun di dunia. Ide yang menarik (dan ideal) ini dalam praktek sulit diwujudkan sebab : a) Menemukan dan menetapkan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum, adalah pekerjaan yang sangat sulit dilaksanakan. b) Hakim yang hendak menggunakan cara kualifikasi / sistem kualifikasi ini harus mengenal semua system hukum di dunia agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia. Sudargo Gautama beranggapan bahwa walaupun teori kualifikasi ini sulit
dijalankan, tetapi hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah cara pendekatan / sikap seperti itu perlu dibina dalam Hukum Perdata Internasional, walaupun seseorang akan mengkualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan Lex Fori sekalipun. Artinya konsep-konsep Hukum Perrdata Internasional jangan diartikan hanya berdasarkan pengertian Lex Fori belaka, tetapi harus juga disandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal secara universal, dengan memperhatikan konsepsikonsepsi di dalam sistem hukum asing yang dianggap hampir sama (Analogous) Kualifikasi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu48: a. Kualifikasi Primer Adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang 48
Sudargo Gautama, op. cit., hal 207.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
34 harus dipergunakan. b. Kualifikasi Sekunder. Adalah apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing tertentu49.
Beberapa hal yang menyebabkan rumitnya persoalan kualifikasi Hukum Perdata Internasional adalah : a. Berbagai sistem hukum menggunakan istilah (terminologi) hukum yang sama atau serupa, tetapi untuk menyatakan hal yang berbeda. Misalnya istilah domisili berdasarkan hukum Indonesia yang berarti tempat kediaman seharihari (Habitual Residence), dibandingkan dengan pengertian domicile dalam hukum Inggris, yang dapat berarti Domicile of Origin, Domicile of Dependence, atau Domicile of Choice. b. Berbagai sistem hukum mengenal konsep / lembaga hukum tertentu yang ternyata tidak dikenal di dalam sistem hukum yang lain. c. Berbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual sama, tetapi dengan menetapkan kategori yuridik yang berlainan. d. Berbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-beda, untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama. e. Berbagai sistem hukum menempuh proses / prosedur yang berbeda-beda untuk mewujudkan atau menerbitkan hasil atau status hukum yang pada dasarnya sama. Ketertiban umum adalah kepentingan umum berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat disentuh dari ketentuan-ketentuan Lex Fori sehingga menyebabkan ketentuan asing yang seharusnya diberlakukan tetapi tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas-asas Hukum Perdata Internasional sang hakim. Gautama mengatakan bahwa, lembaga kepentingan umum haruslah berfungsi sebagai rem 49
Sudargo Gautama, Ibid, hal 127.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
35
darurat dalam suatu kereta api yang tidak boleh dipergunakan setiap saat. Karena kalau digunakan setiap saat akan mengganggu pergaulan internasional. Dengan demikian, sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan dalam menyelesaikan masalah Hukum Perdata Internasional tidak harus selalu dipergunakan. Hukum asing tidak selalu dipakai, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dari hukum si forum50. Jadi dari uraian diatas mengenai teori- teori Hukum Perdata Internasional yang terkait dalam masalah hukum keluarga dalam tesis ini khususnya adalah perjanjian perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Maka hukum yang berlaku pada kasus dalam tesis ini adalah hukum perkawinan Australia, dimana perkawinannya dilangsungkan dan sah menurut hukum Australia di negara bagian North South Wales. Bilamana terjadi perceraian, maka perceraian hendaknya di ajukan di negara setempat yaitu Australia. B. Perjanjian Perkawinan di Indonesia
1. Tinjauan Secara Umum Perjanjian Perkawinan di Bidang Kenotariatan. Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kemungkinan kepada calon suami isteri untuk dalam mengatur harta yang akan dibawa dalam perkawinan menyimpang dari prinsip pokok yang terkandung dalam ketentuan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Penyimpangan yang dimaksud harus dituangkan dalam perjanjian yang disebut perjanjian perkawinan. Jadi perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan atau dibuat oleh calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, yang bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban suami isteri atas harta kekayaan masing-masing yang dibawa ke dalam perkawinan, menyimpang dari prinsip harta campuran bulat51.
Untuk mengetahui apakah kita berhadapan dengan perjanjian atau bukan, kita perlu 50
http://dogelblast.blogspot.com/2010/10/hukum-perdata-internasional.html Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan, Jilid 1, Penerbit Rizkita, Jakarta, 2009, hal 161. 51
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
36 mengenali unsur-unsur perjanjian. Unsur-unsur tersebut terdiri atas52: a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih. b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak. c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum. d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timabal balik, dan e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak beberapa orang (duorum vel plurium in idem placitum consensus). Artinya perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh perbuatan dari beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. Pengertian tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian harus dibedakan dari perbuatan hukum sepihak. Disamping itu, perbuatan hukum sepihak ini pun jangan dipersamakan dan dikacaukan dengan perjanjian sepihak. Tindakan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak dari cukup satu orang saja. Dan pernyataan ini menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum sepihak mencakup perbuatan-perbuatan, seperti penerimaan atau warisan, membuat suatu wasiat, pengakuan anak luar kawin, dan pernyataan hapusnya suatu perjanjian. Sebenarnya yang dimaksud dengan “dua orang atau lebih” adalah “dua pihak atau lebih”. Dalam praktek kenotariatan lazim, penandatanganan akta dapat dilakukan oleh penghadap. Keadaan demikian belum tentu berarti bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur dua orang (pihak) atau
52
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Cet I, th 2009, hal 5.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
37 lebih. Perjanjian tetap terjadi walau yang bertindak hanya seorang, yakni dalam hal ini seorang (penghadap) yang selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga bertindak dalam kedudukan pihak lain, misalnya mewakili berdasarkan kuasa. Dengan kata lain, seorang yang bertindak untuk mewakili dua pihak merupakan kelaziman dalam praktek kenotariatan. Dalam komparisinya, yaitu bagian pada akta notaris yang menguraikan kedudukan dan kewenangan para pihak. Unsur kedua yaitu kata sepakat tercapai jika pihak yang menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak lainnya. Dengan kata lain, para pihak saling menyetujui. Namun kehendak para pihak saja tidaklah cukup. Kehendak tersebut harus pula dinyatakan. Kehendak saja dari para pihak tidak akan menimbulkan akibat hukum. Perjanjian terbentuk setelah para pihak saling menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan antar mereka. Pembeli berhak mendapatkan benda yang dibelinya dan berkewajiban membayar harganya. Di lain pihak, penjual mengharapkan diterimanya harga jual beli, tetapi berkewajiban menyerahkan benda yang dijualnya. Tanpa tercapainya kata sepakat diantara penjual dan pembeli tidak akan terjadi jual beli. Sebaliknya, jika tercapainya kata sepakat tidak bergantung pada para pihak terkait, tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum tersebut adalah perjanjian. Jadi perlu ditekankan bahwa pada perjanjian, kata sepakat bergantung pada para pihak. Pengertian kata “perbuatan” merupakan perbuatan atau tindakan hukum, yang tidak hanya menunjukan akibat hukum yang “disepakati”, dan merupakan ciri dari sahnya perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian dapat juga dinamakan persetujuan karena dua pihak saling setuju melakukan sesuatu53. Unsur ketiga yaitu keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum. Tidak semua janji di dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum.
53
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
38 Memang janji yang dapat dibuat seseorang dapat memunculkan kewajiban sosial atau kesusilaan. Akan tetapi, hal itu muncul bukan sebagai akibat hukum. Ada kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya berakibat hukum. Kesemua itu bergantung pada keadaan dan kebiasaan di dalam masyarakat. Faktor itulah yang harus diperhitungkan untuk mempertimbangkan apakah suatu pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji akan memunculkan akibat hukum atau sekedar kewajiban sosial dan kemasyarakatan. Di dalam praktik kita juga mengenal Gentlemen’s Agreement. Dari segi muatannya, harus dibedakan Gentlemen’s Agreement yang hanya memunculkan kewajiban moril dengan memunculkan kewajiban hukum. Pembedaan ini bergantung pada maksud dari para pihak. Disamping itu, dikenal pula letter of intent yang sering kali merupakan hasil perundingan dan bukan merupakan tujuan akhir dari para pihak. Bentuk letter of intent demikian sebagai suatu hasil perundingan dimaksudkan untuk memberi dasar dan memberikan struktur pada perjanjian yang akan dituju oleh para pihak. Unsur yang keempat yaitu akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik. Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Akibat hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. Ini merupakan asas umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Perdata jo Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Unsur yang terakhir yaitu dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundangundangan. Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus di buat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
39 yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlaknya bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut (solemnitas causa, securitas causa). Beberapa contoh perjanjian yang harus dilakukan dengan akta notaris: 1. Perjanjian Kawin. Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 147 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Hibah. Kecuali pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan. Yaitu ketentuan Pasal 1682 dan Pasal 1687 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Pendirian Perseroan Terbatas. Pasal 7 butir 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007. 4. Jaminan Fidusia. Pasal 5 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 5. Pemisahan dan Pembagian Warisan dalam hal tertentu. Pasal 1071 jo Pasal 1072 dan Pasal 1074 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang adakalanya hanya mensyaratkan bentuk tertulis. Artinya, terbuka pilihan untuk membuat perjanjian dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, seperti cessie (Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), perdamaian (dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan Perjanjian Kawin (Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan). Perjanjian di bidang hukum kebendaan dan hukum keluarga (misalnya, perjanjian kawin) pada umumnya diwajibkan dilakukannya dalam bentuk tertentu.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
40 Tidak dilakukannya perbuatan hukum dalam bentuk yang diwajibkan oleh undang-undang54 akan mengakibatkan batalnya perbuatan hukum tersebut55. Mengenai sanksi terhadap batalnya tindakan hukum (tertentu) yang harus dibuat dalam bentuk tertentu diatur, antara lain, di dalam ketentuan Pasal 617 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa: “Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau dipindah tangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan”. Kadang disebutkan secara tegas sanksi batalnya perbuatan hukum bilamana kewajiban tersebut dilanggar, misalnya, seperti yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1682 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal 147 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung”. Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, perubahan perjanjian kawin juga harus dibuat secara akta notariil. Ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa: “ Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Menurut pendapat ahli hukum Perancis, perkawinan merupakan suatu lembaga (institution). Van Mourik menyatakan bahwa perkawinan (sebagai suatu perjanjian) terbentuk dengan dipenuhinya formalitas tertentu.56 Ada argumen bahwa karena pernikahan adalah kesepakatan, maka perkawinan dalam arti umum adalah perjanjian di bidang hukum keluarga. Namun, perkawinannya sendiri bukanlah suatu perjanjian obligatoir, melainkan harus dipandang sebagai suatu contractus sui generis. Hal ini pernah dikemukakan oleh ilmu hukum atau doktrin, karena jika dilihat dari sudut
54
Ketentuan Pasal 3:39 ayat (1) NBW menyebutkan dengan jelas bahwa: “Kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang, maka semua perbuatan hukum yang tidak dilakukan dalam bentuk yang diharuskan adalah batal” 55 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, 2008,hal. 363-389. 56 Ibid., hal 16.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
41 harus dipenuhinya syarat persetujuan bebas atau kata sepakat untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, maka tampaknya perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, maka jelas tampak bahwa hakekat perkawinan bukanlah merupakan suatu perjanjian sebab tidak mengandung hakekat yang sesungguhnya dari sutu perjanjian yaitu adanya isi perjanjian yang seluruhnya ditentukan oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak57. Perkawinan yang didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai mengandung beberapa aspek yang perlu diperhatikan, seperti: 1. Persetujuan untuk menikah adalah perbuatan hukum, tetapi juga 2. Akibat daripadanya, hubungan hukum yang timbul di antara para pihak-nya, dan 3. Hubungan hukum tersebut merupakan peristiwa hukum yang hampir seluruhnya diatur undang-undang dan bersifat memaksa. Akibat hukum dari perjanjian perkawinan adalah terikatnya para pihak selama mereka berada dalam ikatan perkawinan. Perkawinan yang merupakan contractus sui generis mempunyai kekhususan yang berbeda dengan perjanjian obligatoir, diantaranya:58 1. Subjek hukum dari perkawinan telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 2. Para pihak yang telah terikat dengan perkawinan tak bolehlah salah satu pihak melakukan perkawinan dengan orang lain, terkecuali dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang. 3. Perkawinan tersebut harus dilangsungkan dihadapan pejabat tertentu dan dengan memenuhi prosedur tertentu. 4. Akibat hukum perkawinan, yakni yang merupakan hak dan kewajiban para pihak telah ditentukan secara memaksa oleh undang-undang.
57 58
Wahyono Darmabrata, op.cit., hal. 60-61. Herlien Budiono, op.cit., hal 17.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
42 Jadi perjanjian perkawinan adalah masuk dalam kategori perjanjian secara umum, namun ditentukan secara bentuknya yaitu berupa akta otentik. Sedangkan isinya merupakan kesepakatan para pihak mengenai apa yang ingin diatur mengenai harta benda para pihak selama baik terikat tali perkawinan maupun setelah putusnya tali perkawinan. Sedangkan perkawinannya itu sendiri bukanlah merupakan kategori perjanjian. 2. Alasan-Alasan untuk Membuat Perjanjian Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan oleh suami-isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami-isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya konflik sebelum melakukan perkawinan adalah dengan membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan belum menjadi lembaga hukum yang terbiasa dilakukan di masyarakat Indonesia. Meskipun perjanjian perkawinan diatur jelas dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi. Oleh karena itu masalah perjanjian perkawinan oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap tidak etis dan pamali. Karena bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang bertengkar ketika ide perjanjian perkawinan dilontarkan, namun bisa merembet menjadi masalah keluarga antara calon besan. Sebab perjanjian perkawinan dianggap tindakan materialistis. Tetapi dengan semakin meningkatnya angka perceraian, meningkatkan keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan. Terutama dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin kompleks
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
43 dan rumit. Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat individualistis dan materialistis, maka pola hidup pasangan calon suami-isteri pun mulai berubah. Kini banyak pasangan muda yang sering menyatakan dirinya sebagai orang modern, membuat surat perjanjian kawin. Dengan berbagai alasan mereka membuat perjanjian kawin kepada masing-masing pasangannya. Hal ini dikarenakan59: a. Proses Individualistis Proses individualistis ialah proses kemandirian untuk membedakan harta yang didapat oleh suami-isteri masing-masing. b. Proses Kapitalistik Proses kapitalistik ialah proses untuk mempertahankan harta suami-isteri dari kepailitan/ untung-rugi c. Proses Aktualisasi Proses aktualisasi ialah proses untuk mengemukakan keinginan dari pribadi masing-masing suami-isteri terhadap kelangsungan mengenai harta yang dia peroleh. Gejala ini terlihat pada masyarakat tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka berpandangan bahwa dengan membuat perjanjian perkawinan, suami-isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan salah satu pihak. Dengan adanya perjanjian perkawinan hubungan suami - isteri akan terasa aman karena jika suatu saat hubungan mereka retak bahkan berujung pada perceraian, maka ada sesuatu yang dapat dijadikan pegangan dan dasar hukum60.
59
Heru Kuswanto, Perjanjian Kawin, Modul Hukum Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Narotama, http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id, Surabaya, 2002 60 Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jakarta : Varia Peradilan No 273 edisi Agustus 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
44
Perjanjian perkawinan mempunyai cukup manfaat antara lain61: 1) Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal keuangan. 2) Menghindari sifat boros salah satu pasangan. Dalam hal salah satu pasangan mempunyai indikasi boros, maka perjanjian ini dapat menyelamatkan rumah tangga / perkawinan mereka nantinya. Dengan adanya perjanjian ini, maka pihak yang boros harus mentaati semua aturan-aturan yang sudah disepakati dalam perjanjian perkawian. 3) Menghindari dari maksud buruk salah satu pasangan. Seringkali pernikahan menjadi suatu saran untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan dari pihak lain. Misalnya dengan menikah, tapi kemudian mengajukan gugatan cerai untuk mendapatkan harta gono-gini. 4) Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum. Apabila salah satu pihak mengajukan kredit (misalnya kredit rumah), biasanya akan dilakukan penandatanganan perjanjian kredit oleh suami-isteri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama. Namun, dengan adanya perjanjian perkawinan, maka yang mengajukan kredit bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan menjadi utang bersama. Pada umumnya perjanjian kawin dibuat: a. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak lain. b. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang cukup besar kedalam perkawinan. c. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut. d. Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri. 61
Mike Rini, Perlukah Perjanjian Pranikah, Will You Say “I do” to Prenuptial Agreement, dikutip dari Danareksa.com, http://www.perencanakeuangan.com, 2002.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
45 Warga Negara Indonesia yang ingin melangsungkan pernikahan dengan Warga Negara Asing, perjanjian kawin atau Prenuptual Agreement bahkan menjadi hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan, dengan dibuatnya perjanjian kawin tersebut, maka suami / isteri yang berkewarganegaraan Indonesia dapat tetap memiliki tanah di wilayah Indonesia (dengan status Hak Milik atau Hak Guna Bangunan) ataupun saham di dalam Perusahaan yang berstatus PT Indonesia. Alasannya: 1. Untuk Tanah Hukum tanah di Indonesia menganut asas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood) yang artinya melarang tanah-tanah di Indonesia untuk dimiliki oleh orang-orang yang bukan berkewarganegaraan Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 26 ayat 3 Undang-Undang No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa dalam hal seseorang karena perkawinan, pewarisan atau dengan cara lain kehilangan kewarga negaraan Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun dia harus mengalihkan tanahnya kepada pihak ketiga atau tanah tersebut jatuh ke negara. 2. Untuk saham dalam PT Indonesia Salah satu syarat untuk memiliki saham dalam suatu PT Indonesia adalah: yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia. Apabila terdapat unsur asing dalam saham tersebut, maka PT tersebut harus merubah statusnya menjadi PT. PMA (Penanaman Modal Asing). Hal ini disebkan oleh karena hukum di Indonesia menganut sistem percampuran harta, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata: “mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. Maka berdasarkan pasal tersebut berarti bahwa kekayaan suami isteri yang dibawanya kedalam perkawinan itu dicampur menjadi sati menjadi harta persatuan / harta
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
46 kekayaan bersama diantara mereka. Bila mereka bercerai, meskipun baru 1 (satu) bulan perkawinan, maka kekayaan mereka itu harus dibagi dua, masing-masing setengah bagian.
Perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang. Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain62 : a. Tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri. b. Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian. c. Tetapi untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT isteri dapat 62
Mike Rini, Ibid.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
47 membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjikan tentang bagaimana cara pembagian harta. d. Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian. e. Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami-isteri dalam perkawinan, tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah. f. Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga isteri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.
Dalam membuat perjanjian pranikah perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu63 : a. Keterbukaan. Dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak 63
Mike Rini, Ibid.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
48 sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya, b. Kerelaan. Perjanjian pranikah harus disetujui dan ditanda-tangani oleh ke dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena
diancam
atau
berada
dalam
tekanan
sehingga
terpaksa
menandatanganinya, perjanjian pranikah bisa terancam batal karenanya, c. Pejabat yang objektif. Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak, d. Notariil. Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian pra nikah juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil). Kompleksitas permasalahan hukum yang terjadi didalam perkawinan campuran, baik yang menyangkut persoalan kewarganegaraan, harta benda perkawinan, hak-hak isteri dan anak dalam perkawinan maupun perlindungan hukum yang diberikan pada mereka setelah perkawinan berakhir karena terjadinya perceraian
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
49
ataupun salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia64, menjadi suatu kendala sendiri dalam penyelesaiannya. Mengingat tidak ada aturan khusus yang mengatur secara tersendiri mengenai perkawinan campuran dalam hukum positif Indonesia, maka dalam berbagai kasus yang terjadi, para praktisi hukum selalu merujuk pada beberapa peraturan yang berhubungan dengan
substansi yang
ditanganinya, seperti misalnya : a. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur tentang keabsahan perkawinan merujuk pada pelaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. b. Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Juncto Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007. c. Peraturan Presiden No.25 Tahun 2008 masalah pencatatan dan perkawinan di luar negeri. d. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria berikut aturan tehnisnya, , yang mengatur kepemilikan property bagi Warga Negara Asing yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Peraturan Mentri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.7 dan No.8 Tahun 1996. Adanya unsur asing dari salah satu pihak, apakah dari pihak suami atau dari pihak isteri, merupakan suatu syarat mutlak suatu perkawinan disebut sebagai perkawinan campuran. Oleh karena itu untuk mendapatkan legalitas dan keabsahan hukum perkawinan campuran maka perkawinan tersebut harus diakui oleh dua sistim hukum yang berasal dari masing-masing negara pasangan. Legalitas suatu perkawinan campuran, sangat menentukan dalam kepemilikan properti di Indonesia, karena aturan dua hukum yang berkaitan 64
Retno S Darussalam, Perkawinan Campuran dan Permasalahan Hukumnya, Dharma Wanita Persatuan KJRI Dubai, Konsulat Jendral Republik Indonesia, Dubai, 06 Desember 2011, http://www.dwp.ae.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
50 dengan perkawinan campuran hanya dapat diberlakukan bila para pelaku perkawinan tersebut melangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum Indonesia. Terhadap perkawinan campuran yang tidak sah, dapat diartikan bahwa menurut hukum Indonesia, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau tidak pernah ada. 3. Peraturan Perkawinan di Indonesia Pembinaaan terhadap bidang hukum keluarga khususnya hukum perkawinan adalah konsekuensi logis dan sekaligus merupakan cita-cita bangsa Indonesia untuk memiliki sautu peraturan hukum yang bersifat nasional. Hal tersebut berarti bahwa peraturan yang dicita-citakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, yaitu unifikasi. Cita-cita unifikasi selanjutnya diwujudkan dalam dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanannya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 tahun 197465. Mengenai cita-cita unifikasi ini K. Wantjik Saleh mengatakan bahwa; unifikasi dalam Undang-Undang Perkawinan adalah unifikasi yang unik, dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang maha Esa. Lagi pula unifikasi tersebut bertujuan hendak melengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan, karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman66. Ditinjau dari sudut hukum adat, Ter Haar memberikan pandangan yang berbeda dengan menyatakan, bahwa perkawinan tidak semata-mata sebagai
65 66
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal:46. K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 3.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
51 perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Perkawinan oleh karenanya, tidak hanya membawa akibat dalam hukum keperdataan seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hukum adat67. Sementara menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci sebagai suatu perikatan jasmani dan rohani. a. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Sebelum Undang-Undang Perkawinan di Indonesia berlaku, berbagai macam peraturan perundang-undangan antara lain: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya dalam buku I yang berjudul tentang orang b) Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Reglement Staatblad 1898 Nomor 158). c) Ordonasi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74) yang merupakan peraturan perkawinan untuk yang beragama Kristen. Perundang-undangan tersebut diatas diberlakukan berdasarkan Pasal II dan Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara garis besar menentukan bahwa: “ untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonasi Ordonasi Perkawinan Kristen Indonesia, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku. Jadi dapat ditafsirkan bahwa sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut maka peraturan-peraturan 67
Hilam Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 8.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
52 tersebut masih tetap berlaku. b. Sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan atau hukum keluarga di Indonesia yang diberlakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain: a)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran negara Nomor 3019
b)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lemabaran Negara republik Indonesia tahun 1975 Nomor 12, tambahan Lembaran negara Nomor 3050.
c)
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai Negeri Sipil
d)
Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tanhun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai negeri Sipil
4. Perjanjian Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas menetapkan, bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancama52n kebatalan. Syarat tersebut dimaksudkan agar 68: a. Perjanjian kawin tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik, yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat. b. Agar terdapat kepastian hukum/ tentang hak dan kewajiban suami 68
Heru Kuswanto, Perjanjian Kawin, Hukum Perkawinan, Modul Hukum Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
53 isteri atas harta benda mereka. c. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perjanjian akan mengikat para pihak. d. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah. e. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan hukum. Selanjutnya Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan, bahwa perjanjian kawin tersebut harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung, dan mulai berlaku semenjak perkawinan dilangsungkan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) terkandung asas-asas yang menentukan bahwa kedua belah pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kawin supaya perjanjian tersebut tidak cacat hukum, kebebasan membuat isi perjanjian kawin tersebut harus dibatasi dengan ketentuanketentuan sebagai berikut: a. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban. b. Isi perjanjian kawin memuat mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala rumah tangga (maritale macht) c. Tidak membuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga d. Tidak membuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar dari pada bagian aktivanya.
Megenai boleh tidaknya perjanjian perkawinan dirubah selama perkawinan Hal tersebut diatur pada Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Setelah
perkawinan
berlangsung,
perjanjian
perkawinan
dengan
cara
bagaimanapun, tak boleh diubah”. Perjanjian kawin harus diikuti dengan perkawinan dan perjanjian kawin tidak akan berlaku jika tidak diikuti dengan perkawinan. Hal ini tertera pada Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
54 yaitu: “Perjanjian perkawinan, seperti pun hibah-hibah karena perkawinan tidak akan berlaku, jika tidak diikuti oleh perkawinan”. Yang dapat membuat perjanjian kawin adalah mereka yang memenuhi syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat. Pasal 151 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan demikian: “Anak belum dewasa, yang memenuhi syarat-syarat untuk kawin, cakap juga menyetujui sela perjanjian yang boleh mengandung perjanjian perkawinan, asal anak itu, tatkala menyetujuinya, dibantu oleh segala mereka, yang izinnya untuk kawin diperlukannya” 5. Perjanjian Perkawinan menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang perjanjian kawin pada Pasal 29. 1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Makna yang dapat dilihat dari Pasal 29 tersebut diatasa pada pokoknya adalah: a. Perjanjian kawin dibuat berdasarkan persetujuan bersama antara calon suamiisteri sebelum atau pada saat melakukan perkawinan b. Dibuat secara tertulis, namun tidak perlu dibuat secara notariil atau tidak harus dengan akta notaris. c. Dapat diubah sepanjang tidak merugikan pihak ketiga. d. Disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragam Islam atau
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
55 Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam. Menurut Happy Susanto,
perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang
dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka69. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami-isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawianan terhadap harta kekayaan mereka70. Perjanjian perkawianan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta kekayaan mereka akan dibagi jika terjadi perceraian ataupun kematian. Sebenarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan. Hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam undangundang ini tidak disebutkan batasan yang jelas bahwa Perjanjian Perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat mencakup banyak hal. Disamping itu Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut tentang bagaimana Hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud71. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang perjanjian perkawinan dimaksud. Pasal 12h hanya menyebutkan bahwa kalau ada perjanjian perkawinan harus dimuat dalam Akta Perkawinan72. Perjanjian kawin harus disahkan petugas pencatatan perkawinan. Sebenarnya diperbolehkan untuk menyusun perjanjian secara pribadi atau hanya melibatkan 69
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, Jakarta; Visimedia, hal 78. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam perundangan-undangan perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hal 57. 71 Djaja S. Moliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, bandung, 2006, hal 67 72 K. Wantjik Saleh, Ibid. 70
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
56 pihak ketiga. Kemudian surat perjanjian tersebut diserahkan pada pagawai pencatatan untuk dilakukan pengesahan. Perjanjian kawin yang dilakukan seperti itu dikatakan sah namun kekuatan hukumnya lemah. Oleh karena itu banyak pihak yang membuat perjanjian ini dihadapan Notaris dengan menggunakan akta Notariat. Jika perjanjian dilakukan dengan notaris maka kekuatan hukum perjanjian tersebut kuat dan tidak diragukan. Perjanjian kawin tidak dapat dirubah secara sepihak melainkan harus ada kesepakatan kedua belah pihak untuk merubahnya. Manusia kadang berubah pikiran sehingga undang-undang perkawinan mengakomodir hal ini dalam ketentuan Pasal 29 ayat 4 Undang-Undang Perkawinan. Perubahan perjanjian juga tidak boleh melibatkan pihak ketiga dalam perjanjian.
6. Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris Secara Akta Notariil ada beberapa macam Perjanjian Perkawinan. 1. Dimana tidak terdapat persekutuan harta benda menurut undang-undang a) Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan Harta Benda b) Perjanjian Kawin Hasil dan Pendapatan c) Perjanjian Kawin Untung Rugi d) Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan dengan Bersyarat e) Perjanjian Kawin Diperjanjikan 2. Dimana ada persekutuan harta menurut undang-undang, tetapi (oleh isteri ) dikehendaki adanya penyimpangan. Perjanjian kawin dengan diperjanjikan. a) Perjanjian Kawin dengan Diperjanjikan Pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Lagi pun perjanjian itu tak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami sebagai kepala persatuan suami-isteri, kecuali namun ini, bahwa berhaklah si isteri memperjanjikan bagi dirinya, akan mengatur sendiri urusan harta kekayaannya pribadi, baik bergerak maupun tak bergerak, dan akan
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
57 menikmati sendiri pula dengan bebas akan segala pendapatannya pribadi” b) Perjanjian Kawin dengan Diperjanjikan Pasal 140 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Pula selanjutnya berhaklah mereka, memperjanjikan, bahwa kendati berlakunya persatuan menurut undang-undang, namun tanpa persetujuan isteri, si suami tak boleh memindahtangankan atau membebani barang-barang tak bergerak si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat-surat berharga lainnya dan putang-piutang atas nama isteri sekadar olehnya dimasukkan dalam persatuan, atau yang sepanjang perkawinan masuk kiranya dari pihak isteri didalamnya”
Pengertian lebih lanjut mengenai akta-akta perjanjian kawin adalah sebagai berikut: Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan Harta Benda Di Indonesia kebanyakan orang kawin dengan perjanjian kawin jenis ini. Sehingga di dalam praktek perjanjian kawin ini meniadakan sama sekali persatuan harta kekayaan. Yang dimaksud dengan perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda yaitu antara suami-isteri diperjanjikan tidak adanya persekutuan harta benda sama sekali, jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda menurut undangundang, tetapi juga persekutuan untung rugi, persekutuan hasil dan pendapatan serta percampuran apapun dengan tegas ditiadakan. Menurut Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk meniadakan sama sekali persatuan harta kekayaan, yaitu menghendaki agar harta mereka sepanjang perkawinan terpisah sama sekali, maka para pihak di dalam perjanjian kawin harus menyatakan bahwa mereka calon suami-isteri itu secara tegas-tegas menyatakan bahwa mereka juga tidak menghendaki adanya persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda ini diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 29 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
58 Inti dari perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda adalah: a. Tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun juga. b. Harta masing-masing tetap milik masing-masing. c. Isteri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu bantuan suaminya. d. Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masing-masing. e. Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami. f. Perabotan rumah tangga dan lain-lain menjadi pihak istri. g. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan/ pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap menggunakan barang itu. h. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan, atau jalan lain selama perkawinan menjadi jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asalusul perolehannya tersebut. Sedangkan mengenai sistematika isi aktanya adalah sebagai berikut: a. Tidak ada persekutuan harta dalam bentuk apapun, masing-masing tetap memiliki apa yang dibawanya atau diperolehnya dalam perkawinan. Hutang yang dibawa atau diperoleh selama perkawinan menjadi tanggungan masingmasing. b. Isteri tanpa perlu bantuan suami, berhak mengurus hartanya sendiri dan bebas memungut hasilnya. Bila suami menjalankan urusan tersebut, maka ia harus bertanggung jawab mengenai hal itu. c. Semua pengeluaran rumah tangga dan pendidikan anak menjadi tanggungan suami. Pengeluaran biasa untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan isteri dianggap dilakukan dengan persetujuan suami. d. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas berkenaan dengan pendidikan atau pekerjaan
masing-masing
adalah
milik
dari
pihak
yang
dianggap
menggunakan barang itu, perabot rumah tangga adalah milik isteri. e. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama perkawinan jatuh pada salah satu pihak harus ternyata dari bukti-bukti atau
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
59 penjelasan lain. Bila tidak terdapat bukti maka suami tidak berhak menganggap barang itu miliknya, sedangkan isteri berhak untuk membuktikan adanya dengan saksi-saksi atau karena umum telah mengetahui. Bila tidak dapat diberikan pembuktian maka dianggap sebagai milik bersama secara bebas, masing-masing ½ (setengah) bagian.
Perjanjian Kawin Persekutuan Hasil dan Pendapatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peraturan mengenai perjanjian kawin dengan persekutuan hasil dan pendapatan hanya ada satu pasal saja yaitu diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “ Perjanjian, bahwa antara suami-isteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, dan ketiadaan persatuan untung rugi. Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami – isteri hanyalah diperjanjikan bahwa persatuan perkawian mereka akan berlaku persatuan untung rugi, maka berarti perjanjian tersebut dengan tidak sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya, maka setelah berakhirnya perkawinan antara suami – isteri tersebut segala keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka berdua, hal tersebut berlaku juga terhadap kerugian yang harus mereka pikul berdua pula. Sebab dalam persekutuan hasil dan pendapatan terdapat tiga macam harta, yaitu harta prive suami, harta prive isteri dan harta persatuan. Menurut pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan “ yang dinamakan keuntungan dalam persatuan suami-isteri ialah, tiap-tiap bertambahnya harta kekayaan mereka sepanjang perkawianan yang disebabkan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing-masing, karena usaha dan kerajian mereka dank arena penabungan pendapatan-pendapatan yang tak dapat dihabiskan; yang dinamakan kerugian ialah, tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan,
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
60 disebabkan pengeluaran yang melampaui pendapatan”. Dalam pemahaman mengenai keuntungan termasuk pula semua yang diperoleh suami-isteri atau salah seorang dari mereka yang karena nasib baik atau secara kebetulan. Menurut sistem murni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (dimana pengelolaan harta perkawinan hanya dilakukan oleh suami tanpa campur tangan isteri), utang-utang yang dibuat oleh suami ditanggung dengan harta persatuan dan apabila masih kurang maka harus dibayar dengan harta prive suami. Untuk utang yang dibuat suami, isteri tidak perlu menanggung dengan harta privenya. Setelah isteri dinyatakan cakap berbuat hukum (dalam hal ini bersama dengan suami mengelola harta perkawinan), maka utang yang dibuat oleh isteri juga harus ditanggung dengan harta persatuan dan kekurangannya juga ditanggung dengan harta prive isteri dan pihak suami tidak perlu menanggung dengan harta prive nya. Sistematika isi aktanya adalah: a. Akan terdapat persekutuan hasil dan pendapatan. b. Apa yang dimaksud dengan keuntungan. c. Apa yang termasuk benda. d. Jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta yang sebenarnya tidak termasuk persekutuan. e. Jika suatu barang yang dibawa dalam atau diperoleh selama perkawinan oleh salah seorang suami-isteri tidak terdapat lagi. f. Isteri akan mengurus hartanya sendiri, ia akan menyerahkan penghasilannya kepada suami. g. Pakaian dan perhiasan pada waktu perkawinan barakhir. h. Daftar barang yang dibawa masing-masing dalan perkawinan.
Perjanjian Kawin Persekutuan Untung dan Rugi Menurut Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketiadaan persatuan harta kekayaan menurut Undang-Undang tidak berarti tidak adanya
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
61 persatuan untung dan rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas ditiadakan. Jadi jika dalam perjanjian kawin hanya dikatakan “tidak ada persekutuan harta”, hal itu berarti ada persekutuan untung rugi. Persekutuan untung rugi dapat terjadi karena: 1. Bilamana ada secara khusus diperjanjikan dalam perjanjian kawin 2. Bilamana dalam suatu perjanjian kawin diluar persekutuan harta tidak secara tegas dikecualikan untung dan rugi (Pasal 141 ayat 1 BW)
Dalam perjanjian kawin ini yang diperjanjikan hanyalah adanya persekutuan untung dan rugi saja, suami-isteri adalah tetap pemilik dari barang bawaan masingmasing dan juga barang-barang yang diperoleh selama perkawinan, tetapi barangbarang milik isteri diurus oleh suami sebagai kepala rumah tangga, kecuali diadakan perjanjian yang menyimpang (Pasal 140 ayat 3) Dalam perjanjian kawin untung dan rugi terdapat 3 budel, yaitu, 1. Harta suami pribadi. 2. Harta isteri pribadi. 3. Harta persekutuan, yaitu laba dan rugi. Menurut Pasal 150 BW, suami-isteri mendapat keuntungan persatuan dan memikul kerugiannya masing-masing ½ (setengah) bagian, kecuali ditentukan lain (tetapi dengan mengingat Pasal 142 BW tidak boleh memikul suatu bagian kerugian yang lebih besar dari bagiannya dalam keuntungan. Yang dimaksud dengan keuntungan adalah pada umumnya setiap pertambahan harta kekayaan mereka sepanjang perkawinan, kecuali Undang-Undang menetapkan lain (Pasal 157 BW). Pasal 158 – 162 menetapkan apa yang tidak termasuk keuntungan. Dalam pasal tersebut belum ditentukan apakah “nasib baik atau secara kebetulan” termasuk dalam keuntungan. Supaya tidak meninmbulkan berbagai interprestasi maka dalam perjanjian kawin (pasal-pasalnya) ditegaskan bahwa hal tersebut juga termasuk dalam keuntungan. Yang dimaksud dalam kerugian adalah tiap-tiap
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
62 berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan karena pengeluaran yang melampaui pendapatan (Pasal 157 BW). Hak dari salah seorang suami atau isteri untuk menuntut suatu pergantian dari harta persekutuan disebut Ripse. Sedangkan kewajiaban dari salah seorang suami atau isteri untuk mengganti kepada harta persekutuan disebut Recompanse. Sistematika isi akta perjanjian kawin untung dan rugi: a. Akan terdapat persekutuan untung dan rugi. b. Tentang pengeluaran rumah tangga dan beban lain berkenaan dengan perkawinan dan pendidikan anak. Pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan isteri, dianggap dilakukan dengan persetujuan suami. c. Apa saja yang masuk dalam paham keuntungan. d. Apa saja yang dinamakan kerugian. e. Jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta yang sebenarnya tidak termasuk dalam persekutuan. f. Jika ada barang yang dibawa dalam atau diperoleh selama perkawinan tetapi tidak ada lagi pada waktu perkawinan bubar. g. Pengurusan harta isteri oleh suami: a) bila ada barang pribadi isteri yang tidak ada lagi atau, b) bila barnag isteri tersebut dijual dan hasilnya untuk membayar pengeluaran untuk keperluan persekutuan. c) bila pengurusan itu tidak dilakukan dengan baik. h. Pakaian dan perhiasan badan. i. Barang bergerak yang selama perkawinan diperoleh salah seorang suami atau isteri karena warisan, legaat, atau hibah harus ternyata dari tulisan atau suratsurat lain yang mebuktikan hal tersebut. Jika tidak ada penjelasan, maka: a) suami tidak berhak mengambil sebagai miliknya. b) isteri dapat membuktikan dengan segala cara bahwa barang tersebut
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
63 adalah miliknya. j. Bila tidak secara tegas diatur dan terdapat keraguan: a) keuntungan/kerugian masuk harta persatuan. b) daftar dan nilai barang-barang yang dibawa masing-masing. c) kapan rencana perkawian akan diadakan. Perbedaan antara persekutuan hasil dan pendapatan dengan persekutuan untung rugi, dahulu ada banyak pendapat, namun kemudian diikuti satu pendapat, yaitu dalam persekutuan
hasil dan pendapatan yang bersatu (menjadi harta
bersama) hanyalah keuntungan saja, sedangkan kerugian ditanggung oleh yang membuat. Dalam persatuan untung rugi, semua keuntungan dan semua kerugian pada umumnya menjadi tanggungan bersama suami-isteri. Dalam persekutuan hasil dan pendapatan sudah jelas bahwa yang menjadi harta bersama hanyalah keuntungan saja, yaitu yang berupa hasil dan pendapatan. Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan dengan Bersyarat Dalam perjanjian kawin ini hal yang diperjanjikan yaitu, bila suami hidup lebih lama dari isteri, maka tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun. Tetapi kalau isteri yang hidup lebih lama dari suami, maka terdapat persatuan hasil dan pendapatan. Hal ini dikarenakan dikhawatirkan si isteri akan menikah lagi, sedangkan hak suami jatuh ke anak-anak. Untuk barang bergerak, seperti mobil, barang-barang tetap seperti perhiasan, tanah dll harus dilihat siapa yang memperoleh barang tersebut. Jika barang tersebut diperoleh oleh suami, maka jatuh kepada anak-anak. Perjanjian Kawin Persatuan Harta tetapi diperjanjikan Pasal 140 ayat 3 BW Dalam hal ini, walaupun terdapat persatuan harta menurut undang-undang, tetapi tanpa adanya persetujuan isteri, suami tidak dapat memindah tangankan atau membebani harta isterinya yang dimasukkan dalam persatuan atau yang sepanjang perkawinan masuk ke dalam persatuan. Walaupun merupakan harta gono gini tapi
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
64 merupakan harta bawaan atau harta yang diperoleh isteri selama perkawinan berlangsung, maka suami tidak boleh menjual atau menjaminkan tanpa persetujuan isteri.
Perjanjian Kawinan Persatuan Harta tetapi diperjanjikan Pasal 140 ayat 2 BW Dalam hal ini, walaupun telah berlaku persatuan harta menurut undangundang, tetapi jika si isteri selama perkawinan mendapat harta yang menurut keterangan pemberi hibah akan jatuh diluar persekutuan harta yang akan terjadi karena perkawinan, isteri akan berhak mengurus sendiri harta tersebuat dan akan bebas memungut hasilnya, dan pemberi hibah harus hadir. Meskipun terdapat banyak macam jenis akta yang dapat dibuat oleh notaris untuk perjanjian kawin, namun yang terjadi di masyarakat yang banyak sekali dipilih ataupun dibuat adalah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda. Yang mana perjanjian kawin ini benar-benar meniadakan adanya percampuran dalam bentuk apapun. C.
Perjanjian Perkawinan di Australia Perkawinan dengan beda warga negara diperbolehkan atau diakui oleh
Hukum Australia. Hal ini diatur dalam Marriage Act 1961 Part VA, Section 88 yaitu tentang recognition of foreign marriages. Sepanjang atau selama perkawinan tersebut dilangsungkan berdasarkan hukum yang berlaku dan memenuhi unsur sahnya suatu perkawinan di negara atau tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan73. Selanjutnya perkawinan tersebut dapat didaftarkan di Australia dengan menunjukkan marriage certificate yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun demikian, bilamana perkawinan beda kewarganegaraan tersebut melibatkan salah satu calon pasangan pengantin merupakan warga negara Australia, maka meskipun 73
Marriage Act 1961, Act No. 12 of 1961 as amended, section 88C(1)(a), page 57.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
65 pernikahan tersebut dilangsungkan di luar Australia, hukum perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan74 akan tetap melekat pada si calon pengantin yang berwarganegara Australia tersebut, misalnya mengenai batas usia perkawinan di Australia75. Meski demikian Hukum Australia tidak serta merta mengakui semua perkawinan yang dilaksanakan di luar Australia. Ada beberapa pengecualian yang diatur mengenai perkawinan yang tidak diakui sah oleh Hukum Perkawinan Austalia. Pengecualian tersebut antara lain76: 1.
Dimana salah satu pihak telah sebelumnya menikah dengan orang lain.
2.
Dibawah usia sahnya perkawinan.
3.
Para pihak/ calon mempelai memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Contohnya, memiliki hubungan kakak beradik ataupun saudara sepupu hingga saudara karena adopsi.
Perjanjian perkawinan atau yang dikenal secara internasional sebagai prenuptial agreement dikenal di Australia sebagai “Binding Financial Agreement (BFA)” 77. Definisi Binding Financial Agreement adalah perjanjian yang diantara dua pihak yang mengatur tentang masalah harta benda dan/ atau biaya hidup yang disepakat diatara kedua belah pihak bilamana terjadi perceraian. Ciri-ciri pasangan yang lazim membuat Binding Financial Agreement ini adalah78: a.
Terdapat ketidak seimbangannya jumlah asset yang dimiliki oleh kedua belah pihak
b.
Terdapatnya satu dan/ atau beberapa asset yang salah satu pihak atau para pihak hendak pertahankan. Misalnya: lahan pertanian milik keluarga
74
Ibid, Part VA, section 88D(2)(b), page 58. Ibid, Part II, page. 9 76 Australian Consulate-General Bali, Indonesia, http://www.bali.indonesia.embassy.gov.au/blli/marriage.html 77 Jeremy D Morley, International Family Law, International Prenuptial Agreement, http://www.international-divorce.com 78 Dowd, Justin.,McCray, Watts., & Tindale, Alexandra. Binding Financial Agreements: A Fricle Friend, paper presented at 12th Australian Family Lawyers’ Confrence, hal 1, 10-14 June 2011, Singapore. 75
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
66 c.
Perkawinan yang akan berlangsung merupakan perkawinan kedua atau berikutnya dimana para pihak memiliki pengalaman sebelumnya yang melibatkan pengadilan dikarenakan para pihak ingin mempertahankan asset untuk keturunan / anak-anak mereka dari hasil perkawinan sebelumnya.
d.
Para pihak menginginkan kebebasan dan keleluasaan pribadi.
e.
Adanya keinginan untuk menghilangkan kewajiaban terus memberi biaya hidup.
Binding Financial Agreements untuk pasangan calon suami istri diatur dalam Part VIIIA dalam peraturan hukum yang disebut “Family Law 1975”. Peraturan ini tidak hanya mengatur perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita bahkan juga mengatur perjanjian yang dibuat oleh pasangan de Factos. Yaitu pasangan yang secara fakta adalah merupakan pasangan hidup layaknya pasangan suami-isteri namun tidak melangsungkan pernikahan. Untuk pasangan de Facto ini diatur dalam Part VIIIAB Division 4.
Meski diatur,
peraturan ini hanya membolehkan pasangan de Facto untuk membuat Binding Financial Agreement hanya untuk penduduk asli yang tinggal di New South Wales, Queensland, South Australia, Victoria, the ACT, the Nothern Teriritory atau di Norfolk Island saja. 1. Sejarah Perjanjian Perkawinan di Australia Prenuptial Agreements atau Binding Financial Agreements dilaksanakan di Australia pada tahun 2000. Yaitu sejak diundangkannya pada tanggal 27 Desember 2000 dalam “Family Law Amendment Act 2000”79. Diatur dalam Part VIIIA of Family Law Act. Baru pertama kalinya dalam sejarah Australia bahwa pasangan suami-isteri diperbolehkan membuat perjanjian yang mengatur harta benda mereka 79
Dowd, Justin., McCray., Watts., & Tindale, Alexandra. Ibid, hal 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
67 tanpa adanya campur tangan pengadilan. Sejak pertama kali Family Law Act diundangkan pada tahun 1975. Family Law Act tidak mengakui ataupun mengatur tentang perjanjian perkawinan atau Binding Financial Agreements. Setelah 25 tahun kemudian Famiy Law Act dirubah dengan adanya amendments pada tahun 2000. Perubahan tersebut terdapat pada Part VIIIA yang mengatur mengenai Financial Agreements.80 Untuk pertama kalinya pasangan suami-isteri dapat membuat perjanjian perkawinan/ binding financial agreement yang mengatur mengenai aset-aset mereka dan hak-hak lainnya tanpa harus melibatkan pengadilan. Sebelum
adanya
Binding
Finacial
Agreements,
suami-isteri
yang
membutuhkan hukum pengaturan dalam keluarga atau Family Law procedings menggunakan peraturan pada Section 7981, Section 8682 atau Section 8783 Agreements dalam The Family Law Act. Pada tahun 2008 yaitu tepatnya pada tanggal 1 Maret 2009 The Family Law Act mengalami perubahan yang dituangkan dalam The Family Law Amendments yang juga memasukkan pasangan De Facto diperbolehkan untuk membuat binding financial agreements. Banyak terjadi argumen-argumen yang kuat di masyarakat dari pihak yang pro dan kontra terhadap reformasi tersebut. Desakan untuk membolehkan pasangan membuat Binding Financial Agreements ini adalah merupakan hasil dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Australia. Selama 30 tahun terakhir banyak terjadi perubahan dalam hal cara pandang masyarakat Australia terhadap perkawinan, tingginya tingkat angka perceraian, kegagalan dalam membangun rumah tangga, meninggkatnya pasangan 80
Galloway, Richard., Emerson, Michael., & Daykin, Shannon. Binding Financial Agreements: Do the Reforms Make any Difference?, Family Law, CPD Essential Confrence, Television Education Network, February 28, Australia, 2011, hal 1 81 Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 79, page 305. 82 Ibid, page 325. 83 Ibid, page 327.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
68 yang lebih memilih hanya menjadi pasangan hidup tanpa perkawinan (de facto relationship), serta meninggkatnya jumlah pasangan yang menikah untuk kedua, ketiga kali dan seterusnya. Hal - hal tersebutlah yang membuat masyarakat Australia lebih memilih untuk memiliki pasangan hidup tanpa melakukan perkawinan, sebab dengan demikian mereka merasa lebih memiliki kebebasaan dan keleluasan dalam melakukan perjanjian ketimbang pasangan suami-isteri yang terikat dalam sebuah tali perkawinan. Keanehan yang terjadi di dalam pasangan suami-isteri yang terikat tali perkawainan
memiliki
kecenderungan
yang
rendah
untuk
menghormati
kesepakatan yang dibuatnya sendiri pada saat perkawinan ketimbang pasangan yang memiliki pasanagan hidup tanpa perkawinan84. Pada saat Binding Financial Agreements ini di ajukan ke legislative, Jaksa Umum Australia menyatakan bahwa “perubahan pada undang–undang ini bertujuan untuk memberikan peraturan yang berlaku dan kuat terhadap kebutuhan masyarakat”. Dalam sebuah paper yang di presentasikan pada the 9th National Family Law Confrence in Sydney in 200085, Ian Kennedy mengidentifikasikan bahwa ada 5 alasan mengapa banyak pasangan yang berniat kawin, baik pada saat berlangsungnya perkawinan atau pasangan yang hidup sebagai suami-isteri (de facto relationship) memiliki hasrat yang kuat untuk membuat suatu perjanjian yang berhubungan dengan pengaturan financial mereka. Alasan-alasan tersebut adalah: a. Memiliki kemampuan untuk membuat pengaturan-pengaturan sendiri 84
Morley, Jeremy D. Ibid. Ian Kennedy, “Financial Agreements Under the Family Law Act”. 9th National Family Law Confrence, 3-7 July 2000, Sydney.
85
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
69 terhadap baik kepemilikan maupun management dari aset-aset property dan sumber-sumber financial / keuangan selama perkawainan atau setelah berakhirnya perkawinan. b. Keinginan untuk adanya kepastian terhadap aset-aset, property serta financial mereka bilamana dihadapkan dengan perceraian. c. Menghindari adanya konflik diantara suami-isteri tentang masalah financial / keuangan, baik itu selama berlangsungnya perkawinan atau pada saat berakhirnya perkawinan. d. Menghindari adanya pengeluaran yang tidak diinginkan , ketidakpastian serta waktu tunda dalam suatu proses hukum. e. Kemampuan untuk melindungi kepemilikan atas aset-aset dan property pada saat sebelum terjadinya perkawinan, selama perkawinan berlangsung yang dikarenakan adanya warisan, hibah dll. Selain dari lima alasan tersebut diatas, untuk pasangan suami-isteri yang sebelumnya sudah pernah melakukan perkawinan, mereka lebih memiliki alasan yang jauh lebih kuat untuk melakukan binding financial agreement ini, antara lain alasan tersebut adalah: a. Dalam hal perkawinan kedua ataupun perkawinan berikutnya, untuk melakukan perlindungan terhadap aset-aset demi kepentingan anak-anak yang terlahir dari perkawinan sebelumnya. b. Dalam hal pemeliharaan terhadap aset-aset perkebunan, ataupun bisnis keluarga yang sudah dijalankan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikut dibawahnya. c. Dimana terdapat banyak perbedaan mengenai kekayaan pada masing-masing pihak, atau melakukan antisipasi bilamana masing-masing pihak menerima warisan yang banyak. d. Bagi pasangan atau individu yang berasal dari kebudayaan yang melazimkan pembuatan binding finacial agreement. Karena secara budaya menganggap bahwa binding finacial agreement adalah suatu kebiasaan.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
70 e. Untuk menghindari perselisihan diantara anggota keluarga dalam hal adanya kematian yang terjadi dalam perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Pelaksanan Binding Financial Agreements sebagai Perjanjian Perkawinan di Australia. Berbeda dengan Perjanjian Kawin di Indonesia yang hanya bisa dibuat sebelum atau pada saat pasangan calon suami-isteri melangsungkan perkawinan. Di Australia Binding Financial dapat dibuat pada saat86: 1. Akan terjadinya perkawinan87 2. Sedang berlangsungnya perkawinan tetapi sebelum terjadi perpisahan88. 3. Setelah terjadinya perceraian89 4. Akan terjadinya hubungan De Facto ( De Facto Relationship)90 5. Sedang berlangsungnya hubungan De Facto tersebut91 6. Setelah bubarnya atau berakhirnya hubungan De facto tersebut92. Bagi pasangan de facto relationship, bilamana pada akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perkawinan, maka sebelum membuat Binding Financial Agreement pasangan de facto relationship harus membuat pernyataan perpisahan/berakhirnya hubungan de facto yang di tanda tangani oleh paling tidak salah satu pihak. Kemudian barulah membuat binding financial agreement yang dimaksud. Mengenai hal–hal yang dapat diatur dalam Financial Agreements adalah antara
86
Amstrong Legal, Financial Agreements, Family Law, Sydney, http://www.armstronglegal.com.au/web/page/financial_agreements 87 Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90B, page 343. 88 Ibid, section 90C, page 344. 89 Ibid, section 90D, page 345. 90 Ibid, Part VIIIAB, section page 394. 91 Ibid, section 90UC, page 395. 92 Ibid, section 90UD, page 396.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
71
lain93: a) Pembagian harta benda, keuangan dan utang setelah terjadinya perceraian atau berakhirnya hubungan. b) Uang pensiun. c) Biaya hidup pasangan (suami, isteri atau pasangan hidup) baik itu sebelum, selama maupun sesudah perkawinan. d) Masalah atau keadaan yang tak teduga. Bila di Indonesia perjanjian kawin harus dibuat dengan akta otentik oleh seorang notaris. Di Australia, binding financial agreement
tidak diatur secara
specifik agar binding financial agreement dibuat dengan format tertentu dan juga tidak dibuat oleh seorang notaris/ public notary. Namun meski demikian ada syaratsyarat yang harus dipenuhi dalam pembuatannya, agar binding financial agreement tersebut dianggap sah secara hukum dan mengikat kedua belah pihak yaitu pihak suami dan pihak isteri. Berikut adalah syarat-‐syarat agar Financial Agreement dapat mengikat pasangan calon atau suami-isteri tersebut adalah94: a) Perjanjian harus dibuat secara tertulis. b) Perjanjian harus di tanda tangani oleh kedua belah pihak. c) Sebelum penanda tanganan perjanjian tersebuat kedua belah pihak harus menerima opini hukum dari pihak yang berkompeten yaitu pengacara yang independent. Hal ini untuk memastikan bahwa apa yang mereka perjanjikan adalah benar apa yang mereka inginkan untuk kepentingan masing masing pihak baik itu berupa keuntungan maupun kerugiannya. d) Perjanjian harus berisi pernyataan yang mengakibatkan bahwa kedua belah pihak telah menerima nasihat hukum ataupun telah di konsultasikan kepada pengacara masing-masing. e) Pernyataan yang disebut dalam point d tersebut diatas harus dilampirkan dan 93 94
Amstrong Legal, Ibid. Galloway, Richard., Emerson, Michael., & Daykin, Shannon. Op.cit., hal 3.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
72 dijadikan satu dengan Financial Agreements yang hendak di tanda tangani.95 f) Perjanjian tidak dapat dikesampingkan ataupun diakhiri dengan keputusan pengadilan . g) Terakhir, masing-masing pihak harus memiliki salinan atau perjanjian asli Financial Agreemnets tersebut96. Dari butir diatas maka jelas, meskipun tidak ada format yang khusus ataupun tidak disebutkan bahwa binding financial agreement harus dibuat oleh notaris / public notary maupun pengacara. Tetapi harus di konsultasikan terlebih dahulu kepada pengacara mengenai apa yang ingin mereka perjanjikan, membuat surat pernyataan bahwa masing-masing pasangan telah menerima masukan / advice hukum dari pengacara yang independen serta melampirkan surat pernyataan tersebut dalam binding financial agreement mereka. Dengan kata lain bahwa, disarankan untuk meminta praktisi hukum atau pengacara untuk membuatkan draft perjanjiannya. Dan perlu diperhatikan pula, apabila ada dari salah satu syarat tersebut diatas tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan binding financial agreement menjadi tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga tidak mengikat para pihak secara hukum. Meski telah disebutkan bahwa binding financial agreement tidak dapat dikesampingkan ataupun diakhiri oleh pengadilan, namun dalam Family Law Act diatur hal-hal yang berupa pengecualian. Dimana pengadilan (Family Court) memiliki kekuatan atau berhak memutuskan bahwa Binding Financial Agreements tersebut tidak berlaku, bilamana financial agreements tersebut tidak dibuat sesuai peraturan yang diatur dalam Family Law Act97.
95
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90G(ca), page 348. Invess Legal, Binding Financial Agreements, Sydney, http://www.inveiss.com/binding-financialagreement. 97 The Norton Law Group, The Law Society of NSW, Are Prenuptial Agreements Binding?, Sydney, http://www.thenortonlawgroup.com.au. 96
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
73 Hal-hal yang berupa pengecualian tersebut adalah98; 1. Terdapatnya unsur penipuan99. Termasuk dalam hal ketidak jujuran pada saat pembagian harta kebendaan. 2. Kepentingan Kreditor100. Bilamana financial agreements dibuat dengan bertujuan untuk menggelapkan uang kreditor ataupun untuk menghindari/ mengabaikan adanya tagihan utang. 3. Tidak sah atau tidak dapat diberlakukan101 Perjanjian tidak sah atau tidak berlaku dikarenakan adanya kesalahan, pernyataan yang salah, peraturan umum, ketidapastian, paksaan, ketidak lengkapan, dibawah pengaruh, tidak dalam keadaan sadar, pelanggaran dan lainnya.102 4. Menjadi tidak praktis103 Yang dimaksud dengan menjadi tidak praktis disini adalah keadaan dimana
financial
agreements
menjadi
menyulitkan
atau
menyengsarakan bila terdapat suatu perubahan keadaan. 5. Mengakibatkan penderitaan104. Isi dalam financial agreement mengakibatkan kesengsaraan/penderitaan yang terhadap keadaan anak yang lahir dari perkawinan tersebut dikarenakan adanya kekurangan pengaturan dalam financial agreement tersebut. 6. Dibuat dalam keadaan tidak sadar105 Pada saat dibuat maupun ditanda tanganinnya binding financial 98
Legal, Amstrong, Financial Agreements, Ibid. Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90K(1)(a), section 90UM(1)(a),page 351 and 404. 100 Ibid, section 90K(1)(aa), section 90UM(1)(b). 101 Ibid, section 90K(1)(b), section 90UM(1)(f). 102 http://www.austtlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/ssma1996242/ 103 Australian Family Law Act 1975, Ibid, section 90K(1)(c), section 90UM(1)(f), page 104 Ibid, section 90K(1)(d), section 90UM(1)(g). 105 Ibid, section 90K(1)(e), section 90UM(1)(h). 99
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
74 agreement, ada pihak yang tidak dalam keadaan sadar dengan apa yang sedang diperjanjikan. 7. Alasan uang pensiunan/ jaminan hari tua (superannuation)106. Tidak ada alasan yang memungkinkan bahwa pembagian mengenai uang jaminan hari tua untuk memberhentikan. 8. Berisi suatu pengaturan mengenai bunga dari uang pensiun/ jaminan hari tua yang tidak dapat dibagi-bagi (harus diberikan secara utuh /bulat)107. 9. Kepentingan lainnya108. Upaya untuk melindungi kepentingan para pihak diluar pihak-pihak yang menanda tangani Binding Financial Agreements tersebut. Berdasarkan hukum Australia Binding Financial Agreement dapat diakhiri bilamana dikehendaki demikian. Binding Financial Agreements dapat berakhir atau diakhiri dengan cara109: a. Dibuatnya Financial Agreement yang baru yang mana dalam Financial Agreement yang baru tersebut dinyatakan bahwa Finacial Agreement yang terdahulu dianggap sudah berakhir atau tidak berlaku lagi. b. Kedua belah pihak membuat pernyataan tertulis mengenai kesepakatan bersama untuk mengakhiri Financial Agreements yang pernah mereka buat sebelumnya.
106
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90K(1)(f), section 90UM(1)(i). 107 Ibid, section 90K9(1)(g), section 90UM(1)(g). 108 Ibid, section 90K(1)(ab), section 90UM(1)(c) and (d). 109 Farmers, Pre-Nuptial Agreements Australia, Welcome to Pre-Nuptial Agreements Australia, http://www.pre-nuptialagreements.com.au/Pre-Nuptial-Laws, Australia, 2009.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
75
D. Analisis Kasus tentang Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia untuk Perkawinan di Australia (New South Wales). 1. Status Personal para Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan. Dalam tesis ini penulis meneliti kasus perkawinan campuran dimana calon pasangan suami dan calon pasangan isteri memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Pihak isteri berkewarganegaraan Indonesia dan pihak suami berkewarganegaraan Australia. Pasangan tersebut berencana untuk melakukan pernikahannya
di
New
South
Wales
–
Australia.
Jauh
sebelum
berlangsungnya pernikahan, baik pihak isteri maupun pihak suami telah mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan-persyaratan untuk dapat dilakukannya perkawinan beda kewarganegaraan di Australia. Sudah tentu pihak isteri yang berkewarganegaraan Indonesia harus menyiapkan dokumendokumen mengenai dirinya untuk dibawa ke Australia. Calon istreri yang berkebangsaan Indonesia ini harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut
hukum nasionalnya, yaitu Indonesia. Hal ini sesuai dengan
pengaturan Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie). Sekitar 2 (dua) bulan sebelum pasangan ini menikah, pihak keluarga suami sudah melaporkan dan memilih celebrant (pejabat yang berwenang secara hukum untuk menikahkan pasangan calon suami – isteri). Pihak calon suami harus mengisi formulir permohonan perkawinan yang disebut Notice of Intended Marriage yang diisi lengkap dan ditanda tangani oleh pemohon disertai dengan semua dokumen asli yang menunjukkan identitas pemohon, yaitu calon mempelai wanita dan calon mempelai pria. Pihak isteri juga harus melampirkan akta lahir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan di legalisir oleh Notaris untuk menjamin kebenaran terjemahannya tersebut. Selain itu pihak istri juga meminta surat keterangan dari kepolisian bahwa pihak istri tidak memiliki gugatan perceraian ataupun sedang dalam perkawinan. Notice of Intended Marriage dan Marriage Certificate nantinya
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
76 akan di daftarkan oleh si celebrant ke kantor pencatatan perkawinan di Sydney, Australia yang disebut “Registry of Births Deaths & Marriages”. Kantor inilah yang mengurus semua pendaftaran yang berhubungan dengan kelahiran, kematian dan perkawinan di negara bagian New South Wales Australia110. Setelah dilangsungkannya pernikahan celebrant diberi waktu untuk mendaftarkan pernikahan yang ia sahkan dalam waktu 14 hari setelah ceremony dilangsungkan. Setelah perkawinan pasangan ini didaftarkan dan dinyatakan sah secara hukum negara Australia, pihak istri melaporkan tindakan hukum perkawinannya ke Kantor Konsulat Indonesia yang berada di Sydney, New South Wales – Australia. 2. Tinjauan Terhadap
Akta Perjanjian Perkawinan Indonesia dalam
Hukum Australia.
Pasangan tersebut melakukan pernikahannya dengan sah di negara
Australia (suami) yaitu bagian New South Wales (NSW) di kota Sydney pada tanggal 17 May 2009. Setelah berlangsungnya perkawinan maka pasangan tersebut sudah jelas masuk ke dalam suasana hukum perkawinan campuran yang bersifat internasional, maka beberapa akibat hukumnya pun akan mengikuti. Sebagai gambaran adalah bahwa mereka akan memasuki hukum harta benda perkawinan internasional, jika mereka tidak bisa mempertahankan perkawinannya maka akan memasuki hukum perceraian internasional, atau jika salah satu dari mereka meninggal maka mereka akan memasuki hukum waris internasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang telah memasuki hukum perkawinan campuran yang bersifat internasional, maka akibat-akibat hukum yang bernuansa internasional pun akan mengikuti juga111. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya mengenai alasan-alasan 110
New South Wales Government, Registry of Birth Deaths & Marriages, Attorney General & Justice, http://www.bdm.nsw.gov.au/marriages/marriages.htm. 111 Mutiara Hikkmah, Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi Kodifikasi Hukum Perdata Internasional bagi Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 6, tahun 2002, hal 67.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
77 pasangan kawin campur membuat perjanjian perkawinan, tidak terkecuali pada pasangan dalam kasus tesis ini. Pasangan ini membuat perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia berdasarkan hukum Indonesia. Alasan kedua belah pihak
membuat
perjanjian
perkawinan
dikarenakan
pihak
isteri
yang
berkewarganegaraan Indonesia tidak ingin kehilangan hak nya untuk dapat menguasai atau memiliki harta benda yang berada di Indonesia, baik itu yang ia peroleh secara pewarisan maupun yang akan ia peroleh dikemudian harinya. Pasangan ini membuat perjanjian perkawinan di Indonesia saja, sedangkan di Australia, pasangan ini tidak membuat perjanjian perkawinan, di Australia disebut dengan Binding Financial Agreement.
Perjanjian perkawinan yang
dibuat di Indonesia tidak didaftarkan di Australia, sebab Australia tidak mengakui adanya foreign prenuptial agreement (perjanjian pra nikah) atau marriage contract (perjanjian kawin) kecuali, foreign prenuptial agreement tersebut dibuat dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan Australia. Foreign Agreement hanya dapat diperhitungkan dalam penentuan pembagian property diantara para pihak dalam hal perceraian, dan dalam keadaan tertentu akan menjadi bahan pertimbangan pengadilan Family Court Australia112. Jadi kedudukan Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh Notaris di Indonesia, hanya akan diberlakukan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam hal memutuskan pembagian harta benda / gono-gini perkawinan yang berada di Australia. Dalam kasus tesis ini bilamana dikemudian hari terjadi perceraian maka perceraian pasangan ini diperbolehkan dilakukan di Indonesia dan negara Australia akan mengakui keabsahan perceraian tersebut. Sebab secara fakta bahwa salah satu pihak adalah berkewarganegaran Indonesia (pihak isteri) dan pihak suami (Australia) telah berdomisili di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Jadi mereka memiliki hubungan yang cukup dengan negara Indonesia. Perceraian di luar negeri / foreign divorces (di luar Australia) yang dilakukan 112
Ian Keneddy, International Issue for Pre-Nuptial Agreements and Marriage Contracts – Making them work under Australian Law, Paper for IAML Capetown Annual Meeting, September 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
78 berdasarkan hukum dimana perceraian tersebut diajukan dan memenuhi syarat yang telah diatur dalam hukum negara tersebut, diakui oleh negara Australia, selama salah satu pihak atau kedua belah pihak (suami-isteri) memiliki hubungan yang cukup dengan negara tersebut. Foreign divorce ditolak pengakuannya oleh negara Australia bilamana113: a. Salah satu pihak dalam perkawinan telah ditolak dalam hal hak nya untuk mendengar alasan atas putusan yang dijatuhkan kepadanya. Yaitu tidak diberikannya
pemberitahuan
mengenai
hal
persidangan
atau
tidak
diberikannya kesempatan untuk melakukan pembelaan dalam persidangan. b. Pengakuan perceraian akan bertentangan dengan peraturan umum Australia. Tempat terjadinya perceraian akan berpengaruh terhadap pilihan kekuasaan hukum dalam hal penyelesaian / keputusan mengenai pembagian harta benda / gonogini dan hak asuh anak. Perkawinan yang dilakukan di Australia dan tunduk pada hukum perkawinan Australia, bilamana perceraiannya dilakukan menurut hukum Indonesia, meskipun perceraiannya diakui oleh Australia, namun dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan yang mengatur harta gono-gini tidak dapat diterapkan. Australia tidak ikut dalam konvensi internasional apapun yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan luar negeri (foreign judgement) yang berhubungan dengan perubahan dalam kepentingan property diantara pasangan suami-isteri114. Australia juga tidak memiliki hubungan hukum timbal-balik dan paksaan penegakkan hukum (Reciprocal Recognition and Enforcement of Judgements),dengan Indonesia seperti halnya dengan Inggris. Hanya keputusan yang dibuat dalam kekuasaan hukum tertentu yang dapat didaftarkan, diakui serta dapat dilaksanakan keputusannya di Australia. Putusan seperti ini memiliki kekuatan hukum yang sama seperti keputusan hukum pengadilan Australia. 113
Shepherds, The Law Society of NSW, International Family Law, http://shepherdsfamilylaw.com.au/international-family-law/, 2007 114 Amanda Humphreys, Kennedy Partners Lawyers, International Family Law, International Recognition and Enforcement of Property Orders and Maintenance and Child Support Obligations, 7th Family Law Conference 2011, Merbourne, 22 March 2001, Page 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
79
Pengecualian ini diatur dalam Part 2 dalam Australian Foreign Judgement Act 1991115. Pembagian harta perkawinan / gono-gini dalam kasus tesis ini dapat diajukan di pengadilan Keluarga Australia / Australian Family Court, dikarenakan salah satu pihak yaitu suami, memenuhi salah satu kriteria ini: a) Warga negara Australia, atau b) Bertempat tinggal di Australia, atau c) Berada di Australia Australian Family Court memiliki kebebasan yang luas untuk membuat putusan apapun yang dapat memaksakan pelaksanaan binding financial agreement. Sebab itu, dalam pembuatan perjanjian perkawinan di Australia sangatlah penting untuk memperhatikan asas-asas dan dasar-dasar hukum perjanjian,
untuk dapat
terlaksananya kesepakat yang diatur dalam perjanjian sehingga perjanjian berlaku layaknya sebuah keputusan pengadilan. Mengikatnya suatu perjanjian sangat berpengaruh semata-mata terhadap keabsahannya suatu perjanjian dalam memenuhi persyaratan formal. 3. Pengaruh terhadap Kewarganegaraan Isteri Pernikahan yang dilangsungkan oleh pasangan beda kewarganegaraan dalam kasus tesis ini, tidak mengakibatkan perubahan kewarganegaraan terhadap kewarganegaraan si isteri. Departement of Immigration dan Citizenship (DIAC) Australia mengatur bahwa menikah dengan pria berkewarganegaraan Australia tidak mengakibatkan pihak isteri memiliki kewarganegaraan Australia secara otomatis. Untuk menjadi warga negara Australia pihak isteri harus mengajukan permohonan terlebih dahulu116. Hal permohonan untuk menjadi warga negara Australia dengan 115
Keputusan hakim luar negeri (foreign judgement) yang dapat didaftarkan hanya Foreign Judgement yang berupa “Money Judgement”. 116 Australian Government, Department of Foreign Affair and Trade, http: www.smartraveller.gov.au/tips/marriage.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
80
alasan menikah dengan pria berkebangsaan Australia memiliki tahapan yang cukup panjang. Dimulai dengan permohonan visa dengan klasifikasi “Partner Visa”. Selama masa proses partner visa, si isteri akan diberi visa dengan klasifikasi Temporary Partner Visa. Dalam kebanyakan kasus, temporary partner visa ini baru akan diganti dengan Permanent Partner Visa setelah 2 tahun lamanya. Setelah 5 tahun memegang Permanent Partner Visa baru si istri bisa mengajukan permohonan Citizenship Secara rinci hal ini diatur dalam Australian Migration Act 1958117.
117
Migration Act 1958, Act No. 62 of 1958 as amended, prepared by Office of Legislative Drafting and Publishing, Attorney-General’s Department, Canberra.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
81 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam BAB II maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama
tidak
melanggar
kesusilaan,
ketertiban
umum
dan
undang-
undang. Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah atau lazimnya disebut juga Perjanjian Kawin adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan calon isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak. Peliknya masalah yang mungkin akan dihadapi oleh pasangan campuran yang menikah di luar negeri. Notaris harus memperhatikan mengenai isi yang tertuang ataupun yang diatur dalam akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Notaris harus memahami apa yang diharapkan oleh pasangan campuran tersebut dari akta perjanjian kawin yang mereka buat. Dengan demikian notaris dapat mengubah isi akta perjanjian standart agar sesuai dengan apa yang ingin diatur dan disepakati. Selama apa yang diatur dan disepakati tidak bertentangan dengan peraturanperaturan yang berlaku di Indonesia. Notaris juga harus memberikan pengertian kepada klien nya bahwa sampai sejauh mana akta perjanjian kawin yang dibuat di Indonesia dapat diberlakukan di negara asing. 2. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia hanya memiliki kekuatan hukum yang kuat di Indonesia. Australia tidak mengakui adanya foreign prenuptial agreement (perjanjian pra nikah) atau marriage contract
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
82 (perjanjian kawin) kecuali, foreign prenuptial agreement tersebut dibuat dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan Australia. Namun, foreign agreement dapat diperhitungkan dalam penentuan pembagian property diantara para pihak dalam hal perceraian, dan dalam keadaan tertentu akan menjadi bahan pertimbangan pengadilan Australia. Jadi sudah Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh Notaris di Indonesia, hanya akan di berlakukan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam hal memutuskan pembagian harta benda/ gono-gini perkawinan yang berada di Australia.
B. Saran Setelah menarik kesimpulan berdasrkan data-data yang ada, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi pasangan perkawinan campur sangat disarankan untuk membuat perjanjian perkawinan di Indonesia oleh notaris di Indonesia. Dan setelah diberlangsungkannya
perkawinan
tersebut
di
negara
asing,
segera
mendaftarkan pernikahannya agar perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dapat berlaku efektif dan mengikat secara hukum di Indonesia. Sebab hal ini akan sangat menguntungkan pihak istri yang berwarganegaraan Indonesia. 2. Pasangan perkawinan campur sudah seharusnya mempelajari atau memahami juga seluk beluk tentang prenuptial di negara pasangannya. Dengan demikian dapat mempertimbangkan untuk membuat prenuptial agreement di negara mana perkawinan akan dilaksanakan. 3. Konsultasikan keinginan anda kepada pengacara atau penasihat hukum. Sehingga pada saat pembuatan perjanjian perkawinan dimana para pihak menghadap notaris pasangan calon suami-isteri sudah tau apa yang ingin diatur dalam perjanjian perkawinan, sehingga notaris dapat menambah pasal-pasal yang berisikan kesepakatan atas keinginan kedua belah pihak. 4. Untuk para notaris yang hendak membuatkan perjanjian perkawinan untuk perkawinan campuran, pastikan pada klien anda mengerti batasan-batasan apa
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
83 yang dapat diatur oleh perjanjian perkawinan di Indonesia. Dan dalam wilayah serta kapasitas seperti apa perjanjian perkawinan tersebut dapat diberlakukan di negara asing. Sehingga klien anda tidak salah pengertian.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
84 DAFTAR PUSTAKA
Attorney General & Justice. (t.thn.). New South Wales Goverment. Dipetik January 2013, dari Registry of Birth Death & Marriages: http://www.bdm.nsw.gov.au Australian Goverment. (t.thn.). Diambil kembali dari Departement of Foreign Affair and Trade: http://smartraveller.gov.au Basuki, Z. D. (2010). Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Budiono, H. (2009). Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan (Cetakan I ed.). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Budiono, H. (2008). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Nakti. Darmabrata, W. (2009). Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda Perkawinan (Vol. I). Jakarta: Rizkita. Darmabrata, W., & Sjarif, S. (2004). Hukum Perkawinan dan keluarga di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Darusalam, R. S. (2011, Desember 6). Perkawinan Campuran dan Permasalahan Hukumnya. Dipetik 2012, dari Dharma Wanita Persatuan KJRI Dubai: http://www.dwp.ae Dowd, J., McCray, W., & Tindale, A. (2011). Binding Financial Agreement: A frickle Friend. 12th Australian Family Lawyers's Confrence. Singapore. Farmers. (t.thn.). Welcome to Pre-Nuptial Agreements Australia . Dipetik Juni 5, 2012, dari Pre-Nuptial Agreements Australia: http://prenuptialagreements.com.au Galloway, R., Emerson, M., & Daykin, S. (2011). Binding Financial Agreement : Do the Reforms Make any Difference? CPD Essential Confrence, Family Law. Television Education Network. Gautama, S. (1996). Hukum Antar Tata Hukum (Cetakan ke 1 ed., Vol. II). Bandung: Alumni. Gautama, S. (1988). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid ke 2 bagian ke 2 cetakan ke III ed., Vol. III). Bandung: PT. Eresco.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
85
Gautama, S. (1981). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bagian 1 ed., Vol. III). Bandung: Alumni. Gautama, S. (1987). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III, Cetakan ke-3 ed., Vol. VII). Bandung: Binacipta. Gautama, S. (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Cetakan ke 5 ed.). Bandung: Binacipta. Gautama, S. (1987). Warga Negara dan Orang Asing (Vol. 4). Bandung: Penerbit Alumni. Girsang, M. (2008, April 2008). Perkawinan Campuran. Kenali Lebih Dekat Sistem Hukum dan Budaya Caln Pasangan . Jakarta, Indonesia. Hadikusuma, H. (2003). Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju. Hikmah, M. (2002). Artikel Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi Kodifikasi Hukum Perdata Internasional bagi Indonesia. Jurnal Keadilan , 2 (6). Humpreys, A., & Partners Lawyers, K. (2011). International Family Law, International Recognition and Enforcement of Property Orders and maintenance and Child Support Obligations. 7th Family Law Confrence, (hal. 1). Melbourne. Kennedy, I. (2000). Financial Agreement Under the Family Law Act. 9th National Family Law. Sydney. Kennedy, I. (2008). International Issue for Pre-Nuptial Agreements and Marriage Contracts - Making Them Work under Australian Law. IAML Capetown Annual Meeting. Capetown. Kuhn, A. (1973). A Choice between Two or more System of Laws. Comparative Commentaries On Private International Law of Conflict of Laws. New York. Kuswanto, H. (2002). Perjanjian Kawin Hukum Perkawinan. Diambil kembali dari Modul Hukum Perkawinan: http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id Legal, A. (t.thn.). Financial Agreement. Dipetik 1012, dari Family Law: http://www.amstronglegal.com.au Legal, I. (t.thn.). Binding Financial Agreements. Dipetik 2012, dari Family Law: htttp://www.inveiss.com Lejap, B. D. (2010, October 19). Hukum Perdata Internasional. Dipetik November 2012, dari dogelblast.blogspot.com: http://dogelblast.blogspot.com
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
86
Moliala, D. S. (2006). Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga. Bandung: Nuansa Aulia. Morley, J. D. (t.thn.). International Prenuptial Agreement. Diambil kembali dari The Premier Resource for International Divorce & Custody Law: http://www.international-divorce.com Muchsin. (2008, Agustus). Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional. (No. 273). Prawirohamidjojo, S. (1986). Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. Purbacaraka, P., & Susilo, A. B. (1997). Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. R, V. (2011, April 23). Hukum Perdata Internasional, Status Personel dan Renvoi. Dipetik January 6, 2013, dari Insirasi Hukum: http://insirasihukum.blogspot.com Rahayu, S. (2010, June). Pengertian Hukum Perdata Internasional. Dipetik January 2013, dari Syaiful-Rahayu.com: http://semutuyet.blogspot.com Rini, M. (2000). Will You Say "Ido" to Prenuptial Agreement. Dipetik Juni 2012, dari Perlukah Perjanjian Pranikah?: http://www.perencanakeuangan.com Saleh, K. W. (1980). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Satrio, J. (1993). Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Seto, B. (2001). Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Shepherds. (2007). International Family Law. Dipetik 2012, dari Shepherds The Family Law Specialist: http://shepherdsfamilylaw.com Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum (Vol. 3). Jakarta: UI-Press. Soerjono Soekanto, S. M. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Subekti. (1996). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. Susanto, H. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya Perceraian. Jakarta: Visimedia. The Norton Law Group. (t.thn.). Are Prenutial Agreements Binding? Diambil kembali dari The Law Society of New South Wales: http://www.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
87
The Norton Law Group. (t.thn.). Are Prenutial Agreements Binding? Dipetik 2012, dari The Law Society of New South Wales: http://www.thenortonlawgroup.com.au Peraturan Australia Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended. Foreign Judgement Act 1991, Act No.112 of 1991 as amended. Marriage Act 1961, Act No 12 of 1961 as amended. Guidelines on the Marriage Act 1961 for Marriage Celebrants. Migration Act 1958, Act No. 62 of 1958 as amended. Peraturan Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan republik Indonesia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013