PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA
TESIS
Oleh VINCENT 087011013/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 Vincent : Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa, 2010
PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh VINCENT 087011013/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010
Judul Tesis
: PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA Nama Mahasiswa : Vincent Nomor Pokok : 087011013 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N) Ketua
(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota
(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota
Ketua Program Studi
Dekan Fakultas Hukum
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N)
(Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum) NIP. 1956.1110198503.1022
Tanggal Lulus: 8 Januari 2010
Telah diuji pada Tanggal: 8 Januari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.
Anggota
:
1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. 2. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. 3. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. 4. Notaris Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.
ABSTRAK Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu mendapat hambatan melakukan pencatatan perkawinan pada Dinas Kependudukan, karena adanya pembatasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang hanya mengakui perkawinan dari 5 (lima) agama yang didasarkan pada penafsiran lima Direktorat Jenderal dalam Departemen Agama, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Padahal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 telah menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan, serta upaya yang dilakukan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan. Metode penelitian adalah bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencatatan perkawinan, dan wawancara dengan narasumber yang telah ditentukan, yaitu: Ketua MATAKIN Provinsi Sumatera Utara, Pengacara (Advokat) di Kota Medan, dan Pegawai/Staf Dinas Kependudukan Kota Medan. Hasil penelitian menunjukkan, problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah terkait dengan pemeluk agama Konghucu yang telah diakui sebagai agama menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 namun masih terjadi penolakan dari Dinas Kependudukan untuk mencatatkan perkawinan sesuai Undang-Undang Perkawinan yang tidak tegas mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Padahal Pemerintah belum pernah mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pengakuan agama Konghucu, dan juga melalui Permendiknas Nomor 48 Tahun 2008 agama Konghucu telah masuk sebagai kurikulum sekolah di Indonesia. Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan adalah tidak ada hubungan perkawinan antara suami isteri karena tidak dicatatkan maka perkawinan itu tidak pernah terjadi, hanya ada hidup bersama, sehingga anak yang lahir dari perkawinan itu secara hukum bukanlah anak yang sah, sehingga tidak ada hubungan keperdataan anak terhadap ayahnya, tetapi hanya hubungan keperdataan kepada ibunya. Upaya yang dilakukan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan adalah melakukan pencatatan perkawinan dan sekaligus guna melakukan pencatatan pengesahan anak jika pada saat pencatatan perkawinan telah mempunyai anak. Apabila pencatatan perkawinan itu tidak diikuti dengan pengesahan anak, maka status anak tetap menjadi anak di luar perkawinan. Akan tetapi upaya ini juga masih menemui kendala karena selain perbedaan penafsiran agama Konghucu, juga keengganan mencatatkan karena adanya cara pandang masyarakat Tionghoa sendiri yang menganggap perkawinan yang sudah dilangsungkan secara adat Tionghoa adalah sudah sah, walaupun tidak dicatatkan ke Dinas Kependudukan, namun negara Indonesia menganggap perkawinan itu tidak sah. Kemudian birokrasi yang berbelit-belit, dan biaya akta perkawinan yang mahal dan jangka waktu pengurusan lama dalam pelaksanaannya di Dinas Kependudukan Kota Medan. Disarankan kepada Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) untuk mendesak Pemerintah/Catatan Sipil untuk mengakui atau tidak terjadi penolakan perncatatan perkawinan agama Konghucu, karena agama Konghucu telah diakui di Indonesia. Kepada Dinas Kependudukan Kota Medan agar besarnya biaya pencatatan perkawinan diterapkan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan. Kemudian kepada Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk tidak lalai mencatatkan perkawinan pada Dinas Kependudukan guna sahnya perkawinan dan tidak berakibat hukum yang merugikan masa depan perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Kata kunci: Agama Konghucu; Pencatatan Perkawinan
ABSTRACT Any Indonesian citizens of Tionghoa descents who adhered Konghucu has always challenge in making a marital registry in the Demography Office due to the Article 2 verse (1) the Marital Laws that only accept the marital of 5 (five) religions bed on the exclamation of five Directorate General in Religion Department: Islamic, Catholic, Protestant, Hinduism and Buddhism. Whereas the Laws No. 1 /PNPS /1965 has stated that there are six religions adhered by the Indonesian people; Islamic, Catholic, Protestant, Buddhism and Hinduism. Therefore, a study of problematic marital registry of Indonesian citizens of Chine descents has been conducted as a consequence of the marital Law of Indonesian citizens of Tionghoa descents never been registered ‘d the effort made by the Indonesian citizens of Tionghoa descents still not registered. The method of the study is a descriptive analysis using a juridical normative approach based on the Statutory rules related to the marital registry and interview with the informants predetermined such as; the Chairman of MATAKIN of North Sumatra Province, Advocates in Medan and Officials/Staff of Municipal Demography Office of Medan. The result of the study showed that the problematic marital registry of Indonesian citizens of Tionghoa descents was related to the adherents of Konghucu that has been accepted to be a religion according to the Laws No.1 /PNPS /1965. In fact, however, it is still rejected by the Demography Office for marital registry associated with the lack of Marital Laws to accept the Konghucu as a legal religion in Indonesia. Whereas, the Government still not ever repeal the Laws No. 1 /PNPS/1965 regarding the recognition of Konghucu and also by the Pemendiknas No. 48 of 2008 that the Konghucu has been incorporated into the Curriculum of School in Indonesia. As a gal consequence of the unregistered marital law of Indonesian citizens of Tionghoa descents is that there is nothing a marital relationship between the couple and therefore the marital never occurs so that any child born under the unregistered marital is a illegal child by which there is nothing a civil relationship between child and his/her father but only civil relationship between the child with his/her mother. The effort made to deal with the problem of the unregistered marital registry of Indonesian citizens of Tionghoa descents is to make the marital registry and registry for acceptance of the child if the couple has a child when the acceptance s taking place. Therefore, the status of a child remains to be child out of the legal marital. However, the effort also still has challenge due to in spite of difference in exclamation of Konghucu, various factors of reluctance to register caused by the perspective of Tionghoa community to consider that the marital in Tionghoa traditional custom has been valid even though it is still not registered in the Demography Office, including intricate bureaucracy, and the relatively expensive cost of marital decree and the relatively prolonged duration of the implementation in the Municipal Demography Office of Medan. It is suggested that the Government to be more confirmative in giving an acceptance of Konghucu as one of the legal religions in Indonesia by which there is nothing challenge for any Konghucu people to adhere the marital registry. For the Municipal Demography Office of Medan, it is suggested that the cost of marital registry is determined according to the Municipal Rule of Medan. And then, for any Indonesian citizen of Tionghoa descent, it i suggested to have never been neglect to register their marital to the Demography Office for validation and acceptance of their individual marital and to avoid any legal consequence for their child born under the marital. Keywords : Konghucu, Marital Registry.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA KETURUNAN TIONGHOA”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn selaku dosen pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Notaris Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn., dan Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Chairrudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan
fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan. 6. Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini. 7. Bapak Syuhada, SH., M.Hum., Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini. 8. Ibu Elly Novita, SE., Staf Dinas Kependudukan Kota Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini. 9. Bapak Pantun Situmorang, S.H., Sp.N., Advokat Pengacara di Kota Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini.
10. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini. Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Suhendra dan Ibunda Leo Minawati yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada abang Johny, BBA dan kakak Shelley, SS serta tante dr. Leo Mery, atas motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini. Selanjutnya, kepada Ayahanda mertua (alm) Tan A Guan dan Ibunda mertua The Kui Liang, kakak ipar Santy, S.E dan abang ipar Wincent, S.E, serta isteri tercinta Tantri, S.E., dan buah hati tersayang anak-anakku Patrick Valensia dan Philbert Valensia, yang telah memotivasi penulis mulai masa pendidikan dan sampai pada penyelesaian tesis ini. Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen. Medan,
Januari 2010 Penulis,
Vincent
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama Tempat/ Tgl. Lahir Alamat Agama Jenis Kelamin Status
: : : : : :
Vincent Medan, 11 Juli 1984 Jl. Sabaruddin No. 71 B Medan Buddha Laki-laki Kawin
: :
Suhendra Leo Minawati
Pekerjaan Pegawai Swasta
III. Orang Tua Nama Ayah Ibu
III. Pendidikan 1. SD W.R Supratman 1 Medan 2. SMP W.R. Supratman 1 Medan 3. SMU W.R. Supratman 1 Medan 4. D-I Institut Teknologi Manajemen Indonesia Medan 5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung Medan 6. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan,
Tamat Tahun 1996 Tamat Tahun 1999 Tamat Tahun 2002 Tamat Tahun 2003 Tamat Tahun 2007 Tamat Tahun 2010
Januari 2010 Penulis,
Vincent
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .....................................................................................................
i
ABSTRACT...................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
DAFTAR ISI..................................................................................................
vii
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................
ix
BAB I.
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
10
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
11
D. Manfaat Penelitian .................................................................
11
E. Keaslian Penelitian ................................................................
12
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ..............................................
12
1. Kerangka Teori ...............................................................
12
2. Konsepsi ..........................................................................
18
G. Metode Penelitian ..................................................................
20
PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA ................................................................................
25
A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa........................
25
1. Sistem Kekerabatan Di Indonesia ...................................
25
2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa .........................................................................
28
3. Syarat-syarat Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa .........................................................................
30
BAB II.
4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Adat Tionghoa ........
35
5. Akibat Hukum Perkawinan dalam Adat Tionghoa .........
45
B. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan .............
69
C. Problematika Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa..............................................
56
1. Sekilas tentang Agama Konghucu di Indonesia .............
56
2. Problematika Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu dalam Pencatatan Perkawinan .....................................................................
61
BAB III. AKIBAT HUKUM PERKWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG TIDAK DICATATKAN ...........................................................................
69
A. Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah Perkawinan ......
69
B. Tanggung Jawab Suami Isteri dalam Perkawinan Tionghoa
75
C. Akibat Hukum Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Tidak Dicatatkan .......................
82
BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI MASALAH PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG BELUM DICATATKAN ...........................................................
100
A. Sekilas Tentang Lembaga Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan ......................................................................
100
B. Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Belum Dicatatkan .......................................
108
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
121
A. Kesimpulan ...........................................................................
121
B. Saran .....................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
124
BAB V.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH Confucius
:
Konghucu
Chia Ciak
:
Resepsi pernikahan dari pihak keluarga pria
Ciak Chin Ke Che Em
:
Jamuan makan antara para besan.
Curatele
:
Dalam pengampuan
Erfgenaam
:
Ahli waris
Erfiater
:
Peninggal warisan
Jujuran
:
Seorang isteri dibeli oleh keluarga suaminya dengan adanya sejumlah uang pembayaran kepada keluarga isteri sebagai harga pembelian (uang mahar). (Di daerah Tapanuli dinamakan jujuran atau parunjuk atau tuhor, boli). Di tanah Gayo dinamakan onjok.
Kong Tik Su
:
Rumah abu
Lau Thia
:
Resepsi pernikahan dari pihak keluarga wanita
law as it written in the book
:
Hukum sebagaimana yang tertulis dalam buku
lex dura, set tamen scripta
:
Undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya
Mamak kepala waris
:
Anak laki-laki paling tua dari keluarga isteri (di Daerah Minangkabau).
Matrilinial
:
Sifat Keibuan
Miao
:
Kelenteng-kelenteng
Nalatenschap
:
Harta warisan
Onderljke macht
:
Kekuasaan orang tua
Parental
:
Sifat Kebapak-Ibuan
Patrilinial
:
Sifat Kebapakan
Phang Te
:
Persembahan minum teh
Pheng kim
:
Uang pengganti bagi keluarga mempelai perempuan, yang terdiri dari leng bu lui (pengganti uang susu ibu), ci moy lui (pengganti uang saudari) dan lau pin lui (pengganti biaya cuci popok).
Ru Jiao
:
Agama Konghucu
Sang Jit
:
Pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari kedua calon mempelai
Shen Ming/Sin Beng/Konco
:
Leluhur
Shio
:
Zodiak Cina
Slice
:
Keluarga yang satu marga
Ta Pia
:
Pemberian hantaran atau mas kawin
Te Cu Ia Kong
:
Dewa Bumi
Teng hun
:
Pertunangan
Thi Kong
:
Dewa Langit
Tho Chin
:
Melamar
Tua Sun Teng Bol Kia
:
Cucu laki-laki tertua dianggap sebagai anak lakilaki terkecil (bungsu) dalam keluarga kakeknya.
Tul Sam Ciao
:
Membawa pulang calon mempelai wanita
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang tujuannya untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan), menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan disebutkan: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan di atas, memberikan pemahaman bahwa untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka perkawinan itu bukan saja mempunyai unsur rohani yang memegang peranan penting dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal yang pada hakikatnya merupakan tujuan dari perkawinan itu sendiri, tetapi juga mempunyai unsur yuridis, yaitu harus didaftarkan sesuai peraturan perundangundangan, yaitu bagi pasangan yang beragama Islam maka dicatat di Kantor Urusan Agama, sedangkan untuk agama selain Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Selama ini Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang banyak menganut ajaran dan kepercayaan Konghucu, mengalami kesulitan dalam mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, karena agama yang diakui di Indonesia hanya lima yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha. Anda masih ingat dengan kasus perkawinan Budi Wijaya dengan Lany Guito yang sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai instansi. Kasus itu terjadi tatkala Kantor Catatan Sipil (KCS) Surabaya pada tahun 1995 menolak mencatatkan perkawinan yang dilakukan pasangan itu di Klenteng Boen Bio Surabaya pada 23 Juli 1995 sebab berdasarkan tata cara, agama Konghucu dianggap bukan salah satu dari 5 agama resmi. KCS Surabaya merujuk pada Surat Keterangan Kanwil Depag Jatim. Kasus mulai mengembang ketika mereka melakukan gugatan. Pada gugatan di tingkat peradilan pertama (PTUN) dan tingkat kedua (PTTUN) mereka kalah, meskipun berbagai saksi ahli, pakar, dan tokoh agama telah memberikan kesaksian. Baru pada pemerintahan Reformasi, pada Maret 2000, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang memenangkan penggugat dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil Surabaya untuk mencatatkan perkawinan Budi Wijaya dan Lany Guito. 1 Dasar hukum yang dipakai dalam keputusan Mahkamah Agung di atas adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain keenam agama di atas, agama lainnya masih tetap mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (sekarang telah diamandemen), juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan lebih1
Yudi Marhadi, “Yang Menolak Tidak Memakai Nurani dan Logika”, Majalah Sinergi Indonesia, Edisi ke-24/Tahun II/Februari 2005.
lebih Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya. Selanjutnya, pengakuan Konghucu sebagai agama diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lahirnya Keputusan Presiden ini menimbulkan pandangan dan pendapat khususnya warga keturunan Tionghoa melalui Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) bahwa Konghucu diakui sebagai agama dan berdasarkan Undang-Undang Hak Azasi Manusia, mereka menuntut pengembalian hak-hak sipil umat Konghucu yaitu: a. Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu b. Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di KTP c. Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu. d. Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama. Bagi pemerintah, lahirnya Keputusan Presiden tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui sebagai agama, sebab Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang dicabut tersebut sedikitpun tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama, tetapi isi atau substansi Instruksi Presiden tersebut menyatakan bahwa, perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa untuk tidak dilakukan menyolok di depan umum. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, maka perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara
terbuka. Demikian pula penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional bukan berarti pengakuan Konghucu sebagai agama, karena penetapan suatu hari libur tidak selalu berhubungan dengan hari besar keagamaan. 2 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan dan peringatan Imlek tanggal 4 Februari 2006, menegaskan umat Konghucu akan dilayani sebagai penganut agama. Perkawinan secara Konghucu dinyatakan sah dan dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia. Menteri Agama Maftuh Basyuni meluruskan bahwa pelayanan yang diberikan pada Konghucu dan lima agama lain tidak berarti hanya keenam agama itu yang diakui negara. Menurut Maftuh, negara tidak pernah menetapkan agama resmi dan tidak resmi. Meskipun Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia, tapi tidak berarti hanya enam itu saja, karena masih ada agama lain. 3 Perdebatan ini muncul seiring dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 477/74054 tanggal 18 November 1978 yang menyiratkan pengakuan negara hanya pada lima agama. Ini menimbulkan kesan bahwa agama selain Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu adalah agama yang tak sah di Indonesia. Namun, surat edaran tersebut telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.
2
Henry Irawan, ”Pembuktian Agama Konghucu Adalah Agama”, http://asia.groups. yahoo.com/group/Junzigroup/message/288.html., hal. 5. 3 Gatra, Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan, edisi 7 Februari 2006, Jakarta, hal. 15.
Hal senada juga disampaikan Penasihat Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Rip Tockary, yang menyatakan bahwa jika pencatatan sipil tidak dikaitkan dengan agama maka urusan selesai, dan jika suatu agama tidak diakui maka penyelenggaraan pendidikan keagamaan untuk generasi muda secara resmi tidak bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Idealnya Kantor Catatan Sipil hanya mencatat saja, seperti dulu sebelum ada Undang-Undang Perkawinan, dimana orang yang tidak beragama pun bisa mencatatkan perkawinan. Agama harus dilepaskan sebagai identitas sipil. Presiden seharusnya mengeluarkan himbauan agar semua perkawinan, apapun agama dari pasangan, dapat dicatatkan. Hal ini untuk melindungi hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. 4 Staf ahli Menteri Agama Musdah Mulia menyatakan bahwa saat ini perkawinan Konghucu sudah dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan. Namun perjuangan umat Konghucu agar dapat mencatatkan perkawinannya memakan waktu yang lama dan tidak produktif. Padahal, banyak penduduk Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional. Oleh karena itu menurut Penasehat Matakin, akan sangat tidak produktif jika umat dari agama-agama tradisional itu harus menunggu bertahun-tahun agar Pemerintah bersedia mencatatkan perkawinan mereka. 5 Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda. Pemerintahan kolonialis
4 5
Ibid., hal. 15. Ibid., hal. 15.
menerapkan kebijakan penggolongan penduduk Indonesia atas 4 (empat) golongan ras/etnis ataupun agama sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling (IS), yaitu: Eropa (Staatsblad 1849), Tionghoa (Staatsblad 1917), Indonesia asli Kristen (Staatsblad 1933) dan Indonesia asli non-Kristen (Staatsblad 1920) yang masingmasing dibedakan perlakuan status perdatanya. 6 Setelah kurang lebih satu abad berlalu, kebijakan model kolonialisme tersebut justru masih diterapkan oleh pemerintahan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan, dengan dimensi yang lebih beragam dan terinstitusionalisasi. Memang, pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia pernah mencoba untuk memperbaharui pola kebijakan penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, dan ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemudes 51/1/3 dan Nomor J.A/2/25 tanggal 28 Januari 1967 tentang Pelaksanaan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966. 7 Namun, kebijakan tersebut tidak menghilangkan penggolongan etnis seperti yang diatur
dalam
Pasal
perkembangannya,
131
kebijakan
dan
163
warisan
Indische
Staatsregeling
kolonialisme
yang
(IS).
masih
Dalam
diterapkan
mengakibatkan implikasi diskriminasi yang semakin melembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan eskalasi sentimen dan rekayasa politik, yang ujungujungnya menimbulkan kesemerawutan dan inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara menjadi semakin kompleks. 6
Herman Prasetio, Kebijakan Penggolongan Penduduk Indonesia Pasca Kemerdekaan, Cempaka Karya, Jakarta, 2006, hal. 6. 7 Ibid., hal. 6.
Munculnya beberapa produk perundang-undangan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru seperti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan 8 yang mengatur pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia melalui sebuah dokumen formal terutama bagi Warga Negara Indonesia etnis Tionghoa, Undang-Undang Nomor 5/Pnps/1965 tentang Penodaaan Agama, yang menempatkan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam status pengawasan. 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berimplikasi pada pembatasan dan pengakuan perkawinan hanya bagi warga pemeluk lima agama “resmi” negara. Hal tersebut semakin memperkeruh status kewarganegaraan dan hakhak sipil warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik dalam bidang pencatatan sipil seperti pencatatan perkawinan. Peraturan pencatatan perkawinan pada catatan sipil pada hakikatnya bersifat administratif Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, yang dalam praktek mengakibatkan pembatasan hak-hak sipil terhadap sebagian Warga Negara Indonesia seperti yang dialami etnis Tionghoa yang beragama Konghucu. Pengertian agama dan kepercayaannya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya kepada lima agama resmi negara lebih didasarkan pada penafsiran Departemen Agama berdasarkan lima Direktorat Jenderal dalam Departemen Agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Akibat 8
Telah diubah dengan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 9 Herman Prasetio, Op. Cit., hal. 7.
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
telah mengakibatkan perbedaan penafsiran dalam pencatatan perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu mengalami hambatan dalam melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebagai sahnya suatu perkawinan bagi Warga Negara Indonesia yang beragam selain agama Islam menurut Undang-Undang Perkawinan, walaupun telah adanya pengakuan tentang agama Konghucu itu dalam berbagai peraturan. Akibatnya perkawinan yang telah dilangsungkan dan diakui sesuai
dengan
agama
Konghucu
itu
batal
secara
hukum
karena
tidak
dicatatkan/didaftar. Selain itu juga memberikan akibat hukum hubungan keperdataan antara anak dari hasil perkawinan dengan orangtuanya, baik hubungan status sebagai anak maupun kewarisan si anak terhadap orangtuanya. Berdasarkan Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk dilakukannya pembuktian atas suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dengan menyertakan bukti-bukti maupun saksi-saksi yang dapat membuktikan bahwa mereka dalam kehidupan sehari-hari dan tampak luarnya hidup sebagai suami isteri beserta anak-anaknya hidup serumah dan sebagai sebuah keluarga yang utuh. Untuk pengajuan pembuktian adanya perkawinan ini dapat diajukan bukti-bukti berupa Kartu Keluarga dan Surat Keterangan dari Kelurahan setempat yang mengetahui secara langsung bahwa mereka hidup serumah sebagai satu keluarga yang utuh. Selain itu juga dapat diajukan saksi-saksi yang mengetahui secara langsung dan pasti telah dilaksanakannya perkawinan itu secara agama yang dianutnya. Jadi, pembuktian
perkawinan ini tergantung sepenuhnya pada pertimbangan Hakim yang menilai cukup tidaknya bukti-bukti maupun saksi-saksi tersebut. Dalam hal ini posisi isteri dan/atau anak-anaknya sangat lemah karena posisi mereka sebagai ahli waris sepenuhnya
hanya
tergantung
kepada
pertimbangan-pertimbangan
hakim
sepenuhnya. Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan kata lain, anak yang dilahirkan tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan ayah biologisnya maupun dengan keluarga ayahnya, sungguh pun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tinggal serumah dan hidup layaknya ayah dan anak di dalam satu rumah dan sebagai seorang ayah tetap menjalankan kewajibannya sebagai orangtua dalam membiayai, merawat dan menafkahi anak-anaknya. Setiap perkawinan harus dicatatkan agar para pihak terhindar dari akibat batalnya perkawinan itu secara hukum. Namun demikian masih ada masyarakat agama Konghucu yang tidak mencatatkan atau enggan untuk mencatatkan perkawinannya ke Dinas Kependudukan Selain dari hambatan sering mendapat penolakan karena perbedaan penafsiran tentang pengakuan agama Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Juga adanya hambatan dalam pencatatan perkawinan karena proses (birokrasi) yang berbelit-belit, biaya pengurusan akta perkawinan yang mahal, dan jangka waktu pengurusan yang lama seharusnya hanya dalam jangka waktu satu minggu sudah
ditandatangani
dan
satu
minggu
kemudian
dapat
diambil
namun
dalam
pelaksanaannya sampai dengan satu bulan juga belum selesai. Kemudian keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini menjadi salah satu masalah yang sampai saat masih terjadi dalam masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya diakibatkan karena adanya anggapan dari masyarakat etnis Tionghoa tetap berpegang teguh kepada adatnya dan menganggap perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa, maka perkawinan tersebut dianggap tetap sah walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Dengan kata lain, fenomena sosial yang timbul jelas bukan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya faktor ekonomi, akan tetapi lebih cenderung timbul diakibatkan oleh karena sikap pandang masyarakat etnis Tionghoa yang enggan untuk mencatatkan perkawinan mereka yang tanpa mereka sadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan bagi mereka dan keluarga kelak. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian tentang pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa bentuk tesis, dengan judul: ”Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah pada latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: 1. Apakah yang menjadi problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa?
2. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan? 3. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah: 1. Untuk mengetahui problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. 2. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan. 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan?
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara Teoritis Penelitian ini secara teoritis menjadi suatu yang bermanfaat sebagai sumbangsih dalam Hukum Perkawinan di Indonesia yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa. 2. Secara Praktis Penelitian ini secara praktis manfaatnya dapat diterapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum perkawinan dalam kaitan pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada serta penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul ”Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan Rehbana, NIM 017011052 mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan: Pada Masyarakat Tionghoa Kota Medan”, yang memfokuskan penelitian tentang kewarisan, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu. Jadi permasalahan yang diteliti adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. 10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
10
J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M. Hisyam). FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. Lihat juga M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian. CV Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27, menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan. Tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidak kebenarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Sebagai kerangka teori dalam tesis yang membahas tentang problematika pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa ini digunakan Teori Kepastian Hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu perkawinan yang terjadi antara suami isteri harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum. 12 Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia. 13 Menurut Sudikno Mertoskusumo: Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. 14 Menurut Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra: Para penganut teori hukum positif menyatakan “kepastian hukum” sebagai tujuan hukum. Menurut anggapan mereka ketertiban atau keteraturan, tidak 11
Ibid, hal. 16 J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prennahlindo, Jakarta, 2001, hal. 120. 13 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 49-50. 14 Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 58. 12
mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis). 15 Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusumo: Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).16 Oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum dalam perkawinan, maka Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya mengatur tentang tata cara perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Syarat-syarat perkawinan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan adalah: (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
15
Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2003, hal. 184. 16 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 136.
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, secara tegas dalam ketentuan Pasal 2 bahwa sahnya suatu perkawinan tidak hanya telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya saja, tetapi juga harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam, sedangkan bagi pemeluk agama selain Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, yang dalam pelaksanaan menjadi problematika bagi umat Tionghoa yang beragama Konghucu, karena Undang-Undang Perkawinan yang hanya mengenal lima agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Sehingga Kantor Catatan Sipil menolak untuk mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan sesuai agama Konghucu. Padahal sebelumnya, menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain keenam agama di atas, agama lainnya masih tetap mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan lebih-lebih Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya. Selanjutnya, pengakuan Konghucu sebagai agama diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Penganut aliran kepercayaan, mempunyai penghulu atau pendeta. Pendeta mengesahkan menurut hukum agama atau kepercayaan mereka. Penganut kepercayaan agar melihat kepercayaan mereka sebagai agama. Kalau pemimpin
agamanya sudah mengesahkan, lalu membuat surat bahwa perkawinan antara keduanya adalah sah menurut hukum agama, maka harus dicatat Pengadilan yang akan mengukuhkan perkawinan itu Sebagian substansi dari Rancangan Undang-Undang tentang Catatan Sipil yang diusulkan oleh Konsorsium Catatan Sipil dianggap berpotensi menimbulkan bentrok antar umat beragama. Dewan Perwakilan Rakyat menyarankan agar Rancangan Undang-Undang tersebut dikaji ulang sebelum diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. 17 Rancangan Undang-undang Catatan Sipil serta naskah akademisnya yang mengakomodir perkawinan antara penganut Konghucu. Konghucu bukanlah salah satu dari lima agama besar yang diakui di negara Indonesia. Oleh karena itu, pengakuan negara terhadap perkawinan pasangan Konghucu telah menimbulkan bentrokan dengan lima agama besar yang diakui. Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil yang dianggap menjadikan kasus perkawinan antar pasangan Konghucu yang terjadi di Surabaya sebagai salah satu dasar pengaturan mengenai hal tersebut di dalam Rancangan Undang-Undang. Di dalam naskah akademis Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil memang disebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil di Surabaya pada 1997 pernah menolak mencatatkan perkawinan menurut agama Konghucu. Kasus ini kemudian berlanjut ke pengadilan dan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan kedua pasangan itu pada 2000. 17
Rapat dengar pendapat umum antara Panitia Kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies Sugondo dan sejumlah institusi lainnya.
Semangat disusunnya Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil adalah untuk menghapuskan diskriminasi di bidang pencatatan sipil. Terkait dengan perkawinan, bahwa kantor Catatan Sipil harus mencatatkan semua perkawinan tanpa melihat pada agama pasangan yang bersangkutan, dengan merujuk pada ketentuan dalam UndangUndang Perkawinan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 18 Pencatatan
perkawinan adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi
pihak yang melangsungkan perkawinan, dicatat dengan suatu akta otentik pada Kantor Catatan Sipil sebagai bukti yang sempurna atas terjadinya perkawinan tersebut yang sangat terkait dengan hubungan keperdataan baik bagi suami isteri maupun bagi anak dari hasil perkawinan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa harus mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil guna untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu perkawinan yang telah dilakukan.
2. Konsepsi Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari asbtrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
18
Lies Sugando, Problematika Penyusunan Rancangan Undang-undang Catatan Sipil, Warta Bangsa, Jakarta, 2007, hal. 15. 19 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 20 Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori. 21 Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif dari
konseptornya
untuk
sesuatu
penelitian
atau
penguraian
yang
akan
dirampungkan. 22 Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, sebagai berikut:
20
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, PPs – USU, Medan, 2002, hal. 35 21 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 5. 22 Ibid., hal. 5.
a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 23 b. Pencatatan perkawinan adalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa pada Kantor Catatan Sipil dalam suatu Akta Catatan Sipil yang merupakan alat bukti paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum dari perkawinan tersebut. c. Catatan Sipil adalah adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui. 24 d. Agama Konghucu adalah salah satu agama yang umumnya dianut etnis Tionghoa selain agama Buddha.
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai problematika pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di 23 24
hal. 6.
Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, Liberty, 1984, Yogyakarta,
Indonesia. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian dianalisa terhadap aspek hukum perkawinan. Pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian yuridis normatif tersebut juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 25
2. Sumber Data Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.
25
Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 2.
Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa: a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam penelitian ini yaitu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain: tulisan atau pendapat para pakar hukum dibidang Perkawinan dan Hukum Perdata c. Bahan hukum tersier yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti majalah, surat kabar, dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi relevan dengan penelitian yang dilakukan. Untuk menunjang kelengkapan data sekunder maka diambil melalui wawancara dengan narasumber yaitu: a. Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Provinsi Sumatera Utara. b. Pengacara (Advokat) yang pernah menangani pencatatan perkawinan agama Konghucu di Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang. c. Pegawai/Staf Dinas Kependudukan Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang.
4. Alat Pengumpul Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian: a. Studi Dokumentasi. Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Wawancara Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan narasumber yang telah ditentukan dengan mempergunakan pedoman wawancara.
5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode pendekatan deduktif. 26 Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
26
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univeristas Airlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yakni bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
BAB II PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa 1. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia Di Indonesia tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan di pelbagai daerah ada pelbagai sifat kekeluargaan, yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, yaitu: 1) Sifat Kebapakan (patrilinial); 2) Sifat Keibuan (matrilinial); 3) Sifat Kebapak-Ibuan (parental). 27 Dalam sistem kekeluargaan yang besifat kebapakan, seorang isteri oleh karena perkawinannya adalah dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orangtuanya, nenek moyangnya, saudara kandungnya dan keluarga Iainnya. Sejak perkawinannya, seorang isteri masuk ke lingkungan keluarga suaminya dan menjadi anggota keluarga dan keluarga suaminya. Demikian juga anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali dalam hal seorang anak perempuan yang sudah kawin. Ciri yang paling utama dari perkawinan yang bersifat kebapakan ini adalah perkawinan dengan jujuran, dimana seorang isteri dibeli oleh keluarga suaminya dengan adanya sejumlah uang pembayaran kepada keluarga isteri sebagai harga 27
Wirjono Podjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Vorkink-Van Hoeve, Bandung, 1968, hal. 15.
pembelian. Di daerah Tapanuli dinamakan jujuran atau parunjuk atau tuhor, boli. Di tanah Gayo dinamakan onjok. Sedangkan sistem kekeluargaan keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah saja, yaitu di Minang Kabau. Dalam sistem kekeluargaan keibuan ini, setelah perkawinan dilaksanakan, maka seorang suami tinggal di rumah keluarga isterinya atau keluarga isterinya. Suami tidak menjadi anggota keluarga dari si isteri, namun anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut dianggap kepunyaan dari ibunya dan seorang ayah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa terhadap anak-anaknya. 28 Kekayaan yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga suami isteri dan anak-anaknya, biasanya diambil dari milik keluarga isteri dan milik ini dikuasai oleh seseorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu anak laki-laki paling tua dari keluarga isteri. Sistem kekeluargaan Kebapak-Ibuan adalah yang paling banyak terdapat di seluruh wilayah Indonesia, yaitu antara lain di seluruh Jawa, Madura, Sumatera Selatan, Riau, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Dalam sistem kekeluargaan ini pada hakekatnya tiada perbedaan antara seorang suami dan seorang isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing, dimana sebagai akibat perkawinan, seorang suami menjadi anggota keluarga dari isteri dan seorang isteri menjadi anggota keluarga dari suami, sedang dalam kekeluargaan orangtuanya, mereka masing-masing juga mempunyai dua kekeluargaan, yaitu dari ayahnya dan
28
Ibid., hal. 15-16.
juga dari ibunya. Begitu juga seterusnya untuk anak-anak dan keturunannya, tiada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, antara cucu laki-laki dengan cucu perempuan. 29 Dalam sistem kekeluargaan kebapak-ibuan ini juga tidak dikenal adanya pengertian pembelian isteri oleh suami atau keluarga suaminya sebagaimana yang terdapat dalam sistem kekeluarga Iainnya. Dalam sistem kekeluargaaan ini, pada permulaan perkawinan, seorang suami memberi atau menyanggupi akan memberi sejumlah uang kepada seorang isteri, maka uang tersebut bukan merupakan suatu harga pembelian, melainkan uang untuk keperluan rumah tangga dari suami isteri atau uang penghibahan semata. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, uang tersebut dinamakan tukon (pembelian), tetapi arti dari pembelian disini bukan uang untuk membeli si isteri, tetapi uang untuk membeli barang-barang keperluan rumah tangga suami isteri pada permulaan perkawinan. Sering juga uang yang demikian disebut dengan istilah sri-kawin atau mas kawin, yang mana istilah ini menunjukkan pada pengertian mahar sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam. 30 Pada hakekatnya, pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan, suami isteri, selama perkawinan berlangsung, mempunyai kedudukan yang sama, baik mengenai harta benda masing-masing, harta benda milik bersama, maupun mengenai pergaulan hidup di antara mereka.
29
Ibid., hal. 16. Lihat, Jamaluddin, Hukum Perkawinan (Dalam Pendekatan Normatif), Pustaka Bangsa Press, 2009, hal. 44. menyatakan sebagai persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah perkawinan dalam syariat Islam adalah mahar dalam perkawinan. 30
2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat-istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang-ulang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hukum adat Tionghoa tidak terkodifikasi sebagaimana peraturanperaturan hukum yang ada di Indonesia, yang mana berarti hukum adat Tionghoa itu tidak tertulis dan diundangkan, namun hanya hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu apakah masih sesuai atau tidaknya suatu adat-istiadat tersebut diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. K. Ginarti B mengemukakan, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas margaIsuku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya. 31 Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Tionghoa adalah sistem kekeluargaan patrilinial, yang menentukan garis keturunan dari pihak laki-laki yang memegang peranan yang sangat penting dalam suatu keluarga. Dalam hal ini berarti, anak-anak laki-laki merupakan anak yang diistimewakan, bukan dalam hal perlakuannya, tetapi memang dalam posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga, karena merupakan penerus marga atau nama keluarga. Sedangkan anak
31
K. Ginarti B, “Adat Pernikahan”, Majalah Jelajah Vol.3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999, hal 12.
perempuan kedudukannya lebih rendah dan dipandang bukan sebagai penerus marga atau nama keluarga. Anggapan ini timbul karena pada saat anak perempuan tersebut dewasa dan pada akhirnya menikah, maka anak perempuan tersebut sudah keluar dari Iingkungan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga dari suaminya dan anak-anak yang lahir kelak juga akan mengikuti dan meneruskan marga atau nama keluarga dari sang suami. Ini merupakan sistem kekeluargaan yang berlaku sampai sekarang. Di dalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan pengertian secara gamblang mengenai defenisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari si ayah. Jadi ada atau tidaknya anak laki-laki yang lahir dari suatu perkawinan pada masyarakat etnis Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya marga atau nama keluarga dan si ayah, karena hanya anak laki-laki yang meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, karena pada saat anak perempuan besar dan menikah kelak, maka anak perempuan akan masuk ke dalam Iingkungan dan menjadi anggota keluarga dari suaminya dan anakanak yang lahir akan meneruskan marga atau nama keluarga suaminya. Selanjutnya menurut K. Ginarti B: Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam
di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat Iainnya pada masa lampau. 32 Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut hukum adat Tionghoa, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.
3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa Dalam adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada diatur secara tertulis mengenal syarat-syarat perkawinan sebagaimana syarat-syarat perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ditentukan secara pasti mengenai Syarat-syarat perkawinan, namun hanya dilaksanakan menurut adat-istiadat yang dilakukan secara terus-menerus dan turun temurun serta berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Demikian juga halnya orang-orang Tionghoa yang berimigrasi dari Republik Rakyat Cina atau biasa juga disebut “Tiongkok”. Umumnya orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dari tanah leluhur mereka, termasuk juga di dalamnya hukum adat perkawinan. Salah satu adat yang harus mereka taati adalah keluarga yang satu marga (slice) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah antara satu dengan Iainnya. Misalnya marga Hwang dilarang menikah dengan marga Hwang dari keluarga lain, sekalipun baik antara kedua calon mempelai maupun keluarga kedua 32
Ibid., hal. 12.
calon mempelai tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya antara lain, pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tetapi masih satu nenek moyang). Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik, namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat perkawinan, yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing. 33 Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan dari masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri. Hal ini terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai terhadap calon mempelai pria atau mempelai wanita dan anak mereka. Yang pasti, syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita. Hal ini wajar, karena masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia menganut asas kekeluargaan patrilinial, dimana seorang laki-laki bertindak sebagai seorang kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Semua kewajiban atas keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang suami atau seorang ayah. Sedangkan wanita sebagai seorang isteri hanya akan mengikuti kehidupan suaminya. Susah atau senangnya kehidupan seorang isteri tergantung sepenuhnya pada kemampuan suami untuk mencukupi kebutuhan dan membahagiakan isteri dan anak-anaknya.
33
Ibid., hal. 12.
Dari hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adapun syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah sebagai berikut: a. Adanya kesepakatan dari calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Mengenai kesepakatan dari kedua mempelai dalam hukum adat Tionghoa hanya berlaku apabila hubungan antara kedua calon mempelai disetujui oleh keluarga masing-masing. Dalam hukum adat Tionghoa, kesepakatan dari kedua calon mempelai bukan merupakan hal yang mutlak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga dan kepala rumah tangga sekaligus sebagai pemegang keputusan tertinggi yang memegang peranan paling penting. b. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai. Persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai merupakan faktor yang paling penting dan menentukan. Kadang kala, persetujuan dari orangtua dapat mengenyampingkan kesepakatan dari kedua calon mempelai. Hal ini timbul karena sebagai anak yang berbakti kepada orangtua dan supaya tidak dianggap sebagai anak durhaka, maka seorang anak wajib untuk menuruti kata dan permintaan dari orangtua, walaupun terkadang permintaan dari orangtua tersebut sangat bertentangan dengan kemauan dan anak. Dalam hal salah satu orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh orangtua calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki-laki tertua tidak ada, maka yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh
saudara laki-laki kandung yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu. c. Seorang calon mempelai pria harus mapan dari segi ekonomi maupun fisik dan mental untuk menghidupi keluarga. Menurut Aan Wan Seng: Tiada satu batasan (had) umur yang sesuai untuk seseorang itu untuk kawin. Semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Cina kawin pada umur yang agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk mengadakan kenduri kawin. Perkawinan orang Cina dikatakan adalah yang termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu, upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk “memberi muka” kepada ibu bapa kedua belah pihak. Orang Cina mempunyai suatu kebiasaan untuk bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan kemewahan dan kekayaan. Mengikut adat orang Cina, perkawinan anak lelaki sulung perlu dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan keluarga serta mendatangkan umpat keji (kata-kata hinaan) daripada saudara-mara. 34 Dalam hal ini, mapan atau tidaknya seorang calon mempelai pria itu dipandang oleh keluarga calon mempelai wanita dari kehidupan sehari-sehari. Mapan secara ekonomi mempunyai anti bahwa calon mempelai pria sudah bekerja atau memiliki penghasilan yang tetap, sehingga mampu membiayai dan mencukupi kebutuhan calon mempelai wanita. Mapan secara fisik dan mental mempunyai arti bahwa calon mempelai pria mempunyai fisik yang kuat, sehat akal dan pikirannya, sehingga mampu menjaga dan melindungi keluarganya, serta dapat meneruskan keturunan.
34
Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994, hal. 31.
d. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani, ini merupakan persyaratan yang penting, selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita juga harus sehat secara fisik, terutama dalam kemampuan untuk memberikan keturunan/anak, karena sebagaimana maksud dan tujuan dari perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan/anak, terutama anak laki-laki agar dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya. Kemandulan dari isteri akan dapat dijadikan alasan yang sah dari suami untuk menceraikan isterinya. e. Berperangai dan bertingkah laku baik. Hal ini dipandang dari kehidupan sehari-hari dari kedua calon mempelai, termasuk di dalamnya apa pekerjaannya, bagaimana sikap dan perlakuannya terhadap orangtua dan keluarganya. Semakin baik pandangan calon mertua terhadap sikap dan perangai calon mempelai, maka semakin mudah mendapatkan persetujuan atau restu dari calon mertua. Syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa masih sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat-istiadat dari suatu suku dan/atau keluarga. Jadi tidak ada syarat-syarat perkawinan yang tertulis dan terkodifikasi dalam bentuk peraturan maupun undangundang, namun hanya bersifat mengatur hal-hal umum saja. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melaksanakan perkawinan, tetapi hanya berupa sanksi sosial, baik yang datang dari keluarga maupun masyarakat.
4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. OIeh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa. 35 Perkawinan orang Tionghoa terpaksa melalui beberapa peringkat yang melibatkan enam proses. Adat Tionghoa meletakkan peraturan dimulai dengan merisik, meminang, bertunang, menghantar tanda, memberikan mas kawin dan mengadakan kenduri makan. 36 Secara lebih mendetail, dalam hal melaksanakan perkawinan menurut adatistiadat Tionghoa di Indonesia, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dari tahap awal sampai dengan selesai, sehingga suatu perkawinan itu dipandang sah menurut adat-istiadat Tionghoa. Adapun prosedur-prosedur yang pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kota Medan dalam melaksanakan suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Tho Chin (melamar) Rancangan mengatur upacara perkawinan perlu dibuat dengan teliti dan memerlukan waktu yang lama, termasuk melihat hari yang sesuai. Keluarga kedua belah pihak dimaklumi niat untuk kawin oleh anak-anak mereka. Selepas persetujuan
35 36
K. Ginarti B, Op.Cit., hal.13. Aan Wan Seng,, Op. Cit., hal. 31.
diperoleh, barulah diatur pertemuan di antara keluarga sebelah pihak wanita dengan keluarga pihak lelaki. 37 Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka Tho Chin ini dapat diartikan dengan melamar. “Selepas kedua-dua belah pihak berpuas hati dengan latar belakang masing-masing, ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil pihak lelaki dipilih dari kalangan emak saudaranya sendiri atau saudara-mara tua yang terdekat. Wakil ini mesti seorang perempuan”. 38 Hal di atas merupakan tahap pelamaran, dimana setelah ada kecocokan dari calon mempelai pria dan wanita, maka orangtua dan atau pihak keluarga dari calon mempelai pria akan mengutus seorang, biasanya seorang wanita, baik itu saudara atau sanak famili perempuan dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai perantara untuk mendatangi keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan untuk melamar anak perempuan mereka sebagai menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria melalui perantara/utusan untuk menyampaikan maksud dari keluarga calon mempelai pria dan sekaligus juga meminta persetujuan dari ketuarga calon mempelai wanita mengenai rencana pelaksanaan pernikahan anak-anak mereka. Pembicaraan antara kedua keluarga calon mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan kata sepakat untuk melaksanakan perkawinan antara kedua calon mempelai, namun belum ada tanggal pasti tentang kapan perkawinan akan dilaksanakan.
37 38
Ibid., hal. 31. Ibid., hal. 33.
Setelah lamaran dari keluarga calon mempelai pria diterima dan disetujui oleh keluarga calon mempelai wanita, maka kemudian dicari hari, bulan dan tahun yang baik untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan kepercayaan menurut adat-istiadat keluarga mereka masing-masing. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat akibat yang buruk terhadap pernikahan mereka. Biasanya semua serba muda, yaitu jam sebelum matahari tegak luas, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa dan bulan baik adalah bulan naik/menjelang purnama. 39 Penentuan hari pelaksanaan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa sangat
menentukan
sekali
terhadap
kelanggengan
perkawinan
yang
akan
dilaksanakan tersebut. Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari dan bulan yang tepat, maka akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkawinan tersebut di kemudian hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang lahir kelak. Demikian juga sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di jam, hari dan bulan yang kurang atau tidak baik, maka akan membawa pengaruh buruk terhadap kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang akan dilahirkan kelak. Penentuan jam, hari dan bulan perkawinan ditentukan berdasarkan hari, bulan dan tahun lahir serta shio (zodiak Cina) dari kedua belah calon mempelai. Sampal saat ini, hal penentuan jam, hari dan tanggal pelaksanaan perkawinan ini masih tetap dipraktekkan oleh hampir seluruh masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia, karena walaupun bersifat tahayul dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, namun masyarakat etnis Tionghoa sangat menyakini adat-istiadat ini dan takut untuk 39
Ibid., hal. 33.
menerima resiko yang tidak baik atau buruk di kemudian hari yang kemungkinan akan timbul apabila adat-istiadat ini tidak diikuti atau dilanggar. Dalam tahap ini juga dapat diikuti dengan acara teng hun, yang apabila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai pertunangan, dimana untuk mendukung kepastian dan keseriusan dari maksud pelamaran tersebut di atas, juga sebagai sarana untuk mengikat secara moral batin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita beserta juga dengan keluarga kedua belah pihak. Acara teng hun ini sebagai salah satu sarana untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan dari kedua calon mempelai serta dilaksanakan dengan acara tukar cincin yang melambangkan ikatan batin antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita dengan disaksikan oleh keluarga dari kedua calon mempelai. Namun acara ini bukan merupakan suatu keharusan dan tidak menjadi faktor penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Secara psikologis, acara teng hun biasanya dilaksanakan oleh calon mempelai pria atau diminta dilaksanakan oleh keluarga calon mempelai wanita dalam hal rencana pernikahan masih lama dilaksanakan, misalnya 1 tahun atau 2 tahun lagi, atau karena calon mempelai pria atau calon mempelai wanita harus berpergian ke tempat yang jauh, baik untuk pendidikan, pekerjaan maupun keperluan lainnya, namun ada kekhawatiran dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita atau demikian juga sebaliknya selama kurun waktu tersebut, hati calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita berubah kepada orang lain. Acara teng hun ini bertujuan tidak hanya mengikat calon kedua mempelai saja, tetapi juga mengikat keluarga dari kedua calon mempelai. Tentu saja atas ikatan yang dilaksanakan ini
menimbulkan suatu pertanggungjawaban moral yang mengikat kedua calon mempelai maupun seluruh keluarga calon kedua mempelai. b. Sang Jit (pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari kedua calon mempelai) Setelah acara tho chin selesai, maka kedua keluarga menyepakati satu waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan sang jit. Acara sang jit merupakan satu acara pertemuan kedua orangtua dan keluarga dari kedua calon mempelai dan biasanya kedua calon mempelai tidak hadir dalam pembicaraan tersebut. Dalam acara ini, kedua belah orangtua dan keluarga menetapkan tanggal dan hari pasti perkawinan, baik di pihak keluarga calon mempelai wanita maupun di pihak calon mempelai pria. Selain itu juga dibicarakan tentang permintaan dari pihak keluarga wanita dalam hal jumlah pia atau kue yang biasanya dibagikan oleh pihak keluarga wanita sekaligus juga dalam membagi undangan kepada para sanak keluarga, sahabat dan handai tolan. Hal ini khusus dilaksanakan dalam pembagian undangan untuk resepsi perkawinan di keluarga calon mempelai wanita. Selain itu juga ditentukan permintaan-permintaan lain dari pihak keluarga calon mempelai wanita jumlah undangan, barang-barang hantaran yang harus dibawa dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu.
c) Ta Pia (pemberian hantaran atau mas kawin) Pada masa dahulu, hantaran dan mas kawin diberikan dalam bentuk dua helai kulit rusa dan kain sutera. Adat penghantaran ini diamalkan di Negeri Cina karena kedua-dua benda/barangan itu mahal dan sukar diperoleh. Keadaan ini berbeda
dengan orang-orang Tionghoa di Malaysia yang telah mengubah sesuai adat lama ini mengikuti perubahan dan kemajuan yang dikecap oleh mereka. 40 Demikian juga dengan adat Tionghoa hantaran yang dilaksanakan oleh warganegara keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia pada umumnya, khususnya di Kota Medan, yang kesemuanya telah disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan saat ini. Acara ta pia merupakan tahap akhir sebelum dilaksanakannya resepsi pernikahan, baik di pihak keluarga wanita maupun pihak keluarga pria. Dalam bahasa Indonesia, ta pia ini dapat diartikan sebagai pemberian uang hantaran dari pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Acara ta pia ini merupakan acara pemenuhan permintaan atau syarat pihak keluarga perempuan sebagaimana yang diajukan dalam acara sang jit, seperti jumlah undangan dan pia atau kue yang diminta. Selain itu juga, pihak keluarga pria membawa samsu, sepasang ekor ayam, kaki babi dan kue sebagai persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam adatistiadat Tionghoa. Pihak keluarga pria juga menyediakan pheng kim, yang terdiri dari leng bu lui (pengganti uang susu ibu), ci moy lui (pengganti uang saudari) dan lau pin lui (pengganti biaya cuci popok), yang mana mengenai besar jumlahnya tergantung kepada keikhlasan hati dari pihak keluarga pria. Hal ini merupakan ganti rugi dari pihak keluarga calon mempelai pria atas jasa orangtuanya melahirkan, menyusui, serta membesarkan calon mempelai wanita. Hal ini juga mempunyai makna untuk memutus hubungan keluarga dari calon mempelai wanita dengan keluarganya. Hal tersebut di atas berfungsi sebagai uang pembelian atas calon mempelai wanita kepada keluarganya, sebagaimana sama halnya dengan uang tukur dalam 40
Ibid., hal. 36.
masyarakat Karo atau uang jujur, karena seperti yang diketahui bahwa masyarakat Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilinial, yaitu suatu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa sejumlah uang sebagaimana tersebut di atas secara tidak langsung sebagai uang pengganti atas calon mempelai wanita, dimana apabila perkawinan telah dilaksanakan, maka calon mempelai wanita akan masuk menjadi anggota keluarga dari calon mempelai pria. Selain itu, pihak keluarga calon mempelai pria juga mempersiapkan 2 (dua) buah cincin, masing-masing untuk calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Hal ini dilakukan pada saat acara ta pia, kedua calon mempelai belum melaksanakan teng hun (pertunangan). Proses ta pia ini ditutup dengan jamuan kepada pihak keluarga pria oleh pihak keluarga wanita. Dalam hal ini, sebagai balasan atas antaran yang diberikan oleh pihak keluarga pria, maka pihak keluarga wanita menyerahkan markisa, bakpau dan sepasang ayam kepada pihak keluarga calon mempelai pria.
d. Lau Thia (resepsi pernikahan dari pihak keluarga wanita) Dalam bahasa Indonesia, lau thia dapat diartikan sebagai acara resepsi pernikahan yang diadakan oleh pihak keluarga wanita. Keunikan dan lau thia ini adalah, pihak keluarga dari calon mempelai pria tidak diundang untuk hadir, karena menurut adat-istiadat Tionghoa, pihak keluarga calon mempelai pria dilarang untuk hadir dalam acara lau thia karena dianggap pantang dan dapat menimbulkan akibatakibat yang tidak baik terhadap perkawinan tersebut.
Jadi dalam lau thia ini, hanya calon mempelal pria saja yang hadir dan mendampingi calon mempelai wanita dan keluarganya sampai acara lau thia ini selesai. Setelah acara lau thia selesai, maka calon mempelai pria kembali ke rumah dan calon mempelai wanita juga kembali ke rumah orangtuanya.
e. Phang Te (persembahan minum teh) Phang Te merupakan salah satu acara yang paling penting dalam adat perkawinan
adat-istiadat
Tionghoa,
yang
mana
kedua
calon
mempelai
mempersembahkan teh sebagai rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan juga memohon doa restu dari keluarga. Dalam bahasa Indonesia, phang te dapat diartikan sebagai persembahan minum teh. phang te hanya dapat diberikan kepada mereka yang telah berkeluarga. Artinya walaupun usia jauh lebih tua dari kedua calon mempelai, namun apabila belum menikah, maka tetap tidak dibolehkan untuk phang te. Dalam hal ini, phang te harus terlebih dahulu dilaksanakan oleh pihak keluarga calon mempelai pria. Dalam hal ini, calon mempelai pria menjemput calon mempelai wanita menuju ke kediaman keluarga calon mempelai pria. Kemudian kedua calon mempelai sembahyang di depan altar Thi Kong (Dewa Langit) dan Te Cu Ia Kong (Dewa Bumi) dan yang terakhir menyembahyangi letuhur dari keluarga calon mempelai pria yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia seraya memohon doa restu agar perkawinan yang dilaksanakan bisa langgeng dan mendapatkan keturunan yang baik.
Setelah acara sembahyang ini selesai, dilanjutkan dengan acara Phang Te, dimulai dengan kakek nenek dari calon mempelai pria, kedua orangtua dari calon mempelai pria, diikuti oleh saudara-saudara kandung calon mempelai pria, saudarasaudara kandung dari pihak ayah calon mempelai pria, saudara-saudara kandung dari pihak ibu calon mempelai pria, dan ditutup dengan sanak keluarga dari calon mempelai pria. Biasanya sebagai imbalan atas minum teh kehormatan, maka keluarga yang diberikan teh tersebut masing-masing biasanya memberikan hadiah atau cindera mata, baik berupa angpao yang berisi sejumlah uang, maupun kalung, giwang, cincin, gelang tangan atau gelang kaki emas. Pemberian hadiah atau cinderamata ini juga berfungsi sebagai ucapan selamat sekaligus sebagai hadiah dari perkawinan mereka.
f. Tul Sam Ciao (membawa pulang calon mempelai wanita) Tul Sam Ciao merupakan suatu acara membawa pulang calon mempelai wanita ke rumahnya untuk yang terakhir kalinya dengan status sebagai anak dari kedua orangtuanya. Hal ini biasanya dilaksanakan setelah selesai acara phang te di pihak keluarga calon mempelai pria. Setelah selesai acara phang te di keluarga calon mempelai pria, maka kedua mempelai kembali ke rumah orangtua calon mempelai wanita. Kemudian kedua calon mempelai menyembahyangi altar “Thi Kong” (Dewa Langit) dan “Te Cu Ia Kong” (Dewa Bumi) serta menyembahyangi leluhur-leluhur dari keluarga calon mempelai wanita yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia seraya memohon doa restu dan diberikan kesehatan dan rejeki serta keturunan yang baik. Setelah selesai acara sembahyang, dilanjutkan dengan acara phang te kepada orangtua serta seluruh sanak keluarga dari pihak keluarga calon mempelai wanita.
Setelah acara phang te selesai, maka dilakukan pembagian hadiah kepada adik-adik dan keponakan-kepeonakan dari pihak keluarga calon mempelai wanita. Dengan selesainya pembagian hadiah, maka sudah saatnya bagi calon mempelai pria untuk membawa pulang calon mempelai wanita ke rumahnya. Tiba saat perpisahan calon mempelai wanita kepada kedua orangtuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri dan menantu keluarga lain dan tidak tinggal serumah lagi dengan orangtuanya. g. Chia Ciak (resepsi pernikahan dari pihak keluarga pria) Chia Ciak ini merupakan acara puncak dari pelaksanaan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa. Chia ciak merupakan acara resepsi perkawinan yang dilaksanakan oleh pihak keluarga dari calon mempelai pria. Bedanya dengan lau thia, dalam acara ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga turut diundang dalam meja tersendiri lain daripada meja para undangan lainnya. lstilah dalam bahasa hokkien adalah Ciak Chin Ke Che Em, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia berarti jamuan makan antara para besan. Di meja yang disediakan secara khusus itu dalam satu meja duduk kedua calon mempelai, orangtua dari calon mempelai pria, orangtua dari calon mempelai wanita, kakek dan nenek dari kedua mempelai, kalau masih ada, kalau tidak ada, maka digantikan oleh saudara kandung dari kakek atau nenek dari kedua mempelai, dan kalau memang tidak ada, digantikan oleh saudarasaudara kandung dari orangtua kedua calon mempelai. Di meja khusus lainnya ditempati oleh paman, bibi dan saudara-saudara kandung dari kedua calon mempelai. Dengan berakhirnya acara chia ciak ini, maka sah sudah kedua mempelai hidup serumah sebagai suami isteri.
h. Pencatatan perkawinan oleh Pejabat perkawinan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Pada dasarnya setelah resepsi perkawinan, maka telah terjadi pencatatan perkawinan yang dilakukan secara adat Tionghoa tersebut pada Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) setempat, karena pada salah satu prosesi pada perkawinan itu, maka pasangan pengantin melakukan sembahyang pengantin di hadapan pendeta sebagai pejabat dari Matakin untuk pengakuan tentang agama Konghucu, dan selesai acara maka apabila pejabat/pengurus Matakin yang berwenang untuk mengeluarkan surat perkawinan (secara tertulis) berada di tempat acara maka dapat segera dikeluarkan surat perkawinan itu. Hal ini dapat dilakukan karena sebelumnya memang calon pengantin telah melaporkan tentang akan melaksanakan perkawinan tersebut sehingga secara administrasi identitas calon pengantin sudah ada atau dicatat pada Majelis Matakin. 41
5. Akibat Hukum Perkawinan dalam adat Tionghoa Setiap perkawinan pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum kepada pihak-pihak yang melaksanakannya. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat Tionghoa pasti akan menimbulkan akibatakibat hukum. Namun perlu diketahui bahwa akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa akan sangat berbeda dengan akibatakibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan yang paling 41
Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
jelas adalah mengenai kepastian hukumnya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan suatu peraturan tertulis yang berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dimana di dalam undang-undang tersebut dengan jelas mengatur secara tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan kewajiban suami, isteri dan anak, serta harta benda perkawinan, yang lebih menjamin kepastian hukum demi terjaganya kepentingan dari para anggota keluarga. Akibatakibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa Iebih cendrung kepada pertanggungjawaban moral, karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak, serta harta benda perkawinan semuanya dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam adat-istiadat Tionghoa. Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Tionghoa akan menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut: a. Terhadap suami dan isteri Menurut hukum adat Tionghoa, seorang suami merupakan kepala keluarga dan kepala rumah tangga, serta sebagai pengambil keputusan mutlak dalam keluarga. Kedudukan seorang suami lebih tinggi dari seorang isteri. Hal ini sebagai pengaruh sistem kekeluargaan partrilinal yang dianut oleh masyarakat Tionghoa, yang mengutamakan garis keturunan dari pihak laki-laki sebagai kepala keluarga, kepala rumah tangga serta sebagai penerus marga atau nama keluarga. Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri, termasuk juga memenuhi segala keperluan isteri berdasarkan kemampuan ekonominya. Demikian juga sebaliknya, isteri juga berkewajiban untuk memenuhi
nafkah lahir dan batin dari suaminya, terutama dapat memberikan keturunan/ anak dalam hal ini anak laki-laki, karena apabila tidak ada anak laki-laki, maka tidak akan ada penerus marga atau nama keluarga dari suami, sehingga marga atau nama keluarga akan terhenti pada saat suami meninggal dunia. Dalam hal kewajiban isteri dalam memberikan keturunan/anak, maka kemandulan dari isteri dapat menjadi alasan yang sah dari suami untuk menikah lagi. Hal ini tentu saja sangat merugikan dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi seorang isteri. Posisi isteri yang lebih rendah membawa dampak yang negatif dan sering tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan tersebut di atas.
b. Terhadap anak Menurut hukum adat Tionghoa, anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat, maka anak-anak yang lahir tersebut dianggap sebagai anak sah. Orangtua berkewajiban semaksimal mungkin untuk memberi penghidupan yang tayak kepada anak-anaknya, termasuk juga pendidikannya. Namun semuanya kembali kepada tingkat kehidupan dan ekonomi keluarganya. Dalam hak-hak dan kedudukan anak dalam keluarga Tionghoa, dibedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana kedudukan dan hak anak lakilaki lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Terutama anak laki-laki paling tua. Menurut adat-istiadat Tionghoa, cucu laki-laki tertua (anak laki-laki tertua dari anak laki-laki tertua kakeknya) dipersamakan kedudukan dengan anak laki-laki paling kecil di dalam keluarga bapaknya. Dengan kata lain, cucu laki-laki tertua mempunyai kedudukan dan hak yang sederajat dengan bapak dan pamannya. Dalam
hal ini, kedudukan cucu tertua tidak lagi sebagai cucu, tetapi kedudukannya sebagai “anak”. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam adat-istiadat masyarakat Tionghoa, yaitu ”Tua Sun Teng Bol Kia”, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti cucu laki-laki tertua dianggap sebagai anak laki-laki terkecil (bungsu) dalam keluarga kakeknya. Demikian juga halnya dalam kedudukan dan untuk mewarisi warisan dari orangtuanya, hanya anak laki-laki yang berhak untuk mewarisi segala warisan dari orangtuanya, sedangkan anak perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi warisan dari orangtuanya, karena anak perempuan yang sudah menikah dianggap sudah keluar dari rumah mengikuti serta masuk dalam keluarga suaminya. Terutama rumah peninggalan leluhur dari keluarga yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Anak laki-laki, terutama anak laki-laki paling tua yang mengurusi dan menguasai secara bersama-sama dengan anak laki-laki yang lain. Selain itu, dalam setiap acara adat dan keluarga, maka pengambilan sebuah keputusan harus didasarkan pada keputusan dan kata sepakat dari para anak laki-laki. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang lahir dari suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat istiadat Tionghoa adalah menjadi bagian terpenting, terutama anak laki-laki. Anak laki-laki mendapat tempat yang lebih diistimewakan dari orangtua. Tempat yang istimewa yang dimaksud disini bukan terfokus pada perlakuan manja dan lebih disayang, tetapi memang karena kedudukan dan haknya di dalam keluarga. Hal ini timbul karena sistem kekeluargaan patrilinial yang mendukung timbulnya hal ini.
c. Terhadap harta Salah satu akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan adalah terhadap harta, baik harta bawaan masing-masing, maupun harta benda yang didapat selama perkawinan. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut adat-istiadat Tionghoa juga menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap harta. Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan dengan wawancara beberapa narasumber dari kalangan etnis Tionghoa yang ada di Kota Medan, dalam hukum adat-istiadat Tionghoa, mengenal akibat hukum terhadap harta dapat diuraikan sebagai berikut: a) Untuk harta bawaan suami yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak suami. b) Untuk harta bawaan isteri yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak isteri. c) Untuk harta benda yang didapat setelah dan selama berlangsungnya perkawinan menjadi hak suami dan isteri yang digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan seharihari suami, isteri serta anak-anak.
B. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh Undang-Undang ini, tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja tetapi sekaligus ikatan pertalian kebatinan antara suami isteri yang tujuannya untuk membangun keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya pengertian perkawinan dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut ini: Menurut Hukum Islam “Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz atau terjemahan dari kata-kata tersebut, jadi maksud pengertian tersebut adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga, keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu.” 42 Menurut K. Wantjik Saleh, “perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam pancasila.” 43 Menurut Victor Situmorang: Perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan timbal balik yang bebas yang tidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan timbal balik untuk hidup bersama, yang hakikatnya adalah sosial dan penting bagi pergaulan hidup manusia. Persetujuan bebas suami isteri mempunyai akibat- akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum, oleh sebab itu perkawinan dapat dipandang sebagai suatu kontrak, akan tetapi ia merupakan suatu kontrak tersendiri. 44
42
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, hal 11 43 K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta,1976, hal 15 44 Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, jakarta, 1998, hal 34
Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur mengenai hidup bersama ini. “Peraturan-peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.” 45
Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama sekali tidak
memberikan definisi tentang arti perkawinan. Pasal ini hanya menyebut
bahwa
“Perkawinan hanya ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum sipil.” 46 Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata” 47 . “Perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama, hidup bersama ini dimaksudkan untuk berlangsung selama- lamanya.”48
2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, ditentukan asas- asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : a. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan materil; b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap 45
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 7 M Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading; Medan, 1975, hal 12 47 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 4 48 Ali Afandi, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal 95 46
c.
d.
e.
f.
perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam pencatatan; Menganut asas monogami. Hanya apabila yang dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama orang tersebut mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan; Menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir kepada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah perkawinan antara suami isteri yang masih berada dibawah umur. Selain itu perkawinan juga mempunyai hubungan permasalahan dengan kependudukan, ternyata dengan batas umur yang lebih rendah dari seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang- Undang ini menentukan batas umur kawin bagi pria ialah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun; Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Harus dengan alasan tertentu serta dilakukan di depan pengadilan; Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kedudukan pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. 49
3. Syarat-Syarat Perkawinan Untuk dapat melakukan suatu perkawinan yang sah menurut ketentuan Undang-undang maka kedua calon mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan haruslah memenuhi syarat-syarat formil dan syarat-syarat materilnya. Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 49
Penjelasan Umum Nomor 4 Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 6: (1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (1) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolehnya dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7: (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan;
b. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, yang meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang; c. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan; d. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing; e. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan; f. Penerbitan akta perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan Syarat-syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal ini memuat dua ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan, yaitu: a. Pasal 2 ayat (1): ”Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”; b. Pasal 2 ayat (2): “setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.” Yang dimaksud dengan hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk pelaksanaan ketentuan perundangan menurut agama dan kepercayaannya itu asal tidak bertentangan dengan undang-undang Sah tidaknya suatu perkawinan semata- mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. “Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.” 50 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) membuat ketentuan “negara menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang “dipeluk” seseorang, jika disesuaikan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) di atas ialah agama dan kepercayaan bagi 50
M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 13
mereka yang akan melaksanakan perkawinan. Bagi mereka yang memeluk agama Islam, yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh kaidah Hukum Islam. Demikian juga dengan agama-agama lainnya. Bagi mereka yang belum memeluk agama dan kepercayaan, juga tidak ada kesulitan, misalnya sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan ethnograpi masih ada lagi dijumpai suku di negara Indonesia yang menganut kepercayaan animisme, maka kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara perkawinan yang terdapat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut. Selanjutnya, “pencatatan perkawinan bukanlah termasuk ketentuan yang menentukan sah tidaknya perkawinan, namun merupakan salah satu unsur esensial dalam persoalan sahnya perkawinan, sebab didalamnya tersangkut kepentingankepentingan yang menghendaki perlindungan negara.” 51 Pencatatan hanya tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat- surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 52 Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, antara lain: a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk; b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan oleh pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. 51 52
Wila Chandrawila Supriadi, Op.Cit., hal 12 M.Yahya Harahap,Op.Cit., hal 15
C. Problematika Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) secara tegas menyatakan syarat sah suatu perkawinan adalah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, dan pencatatan perkawinan tersebut pada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan untuk yang beragama selain agama Islam, seperti Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pada dasarnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah beragama Buddha dan Konghucu. Untuk yang beragama Buddha tidak ada kendala dalam pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan, akan tetapi berbeda dengan yang beragama Konghucu, yang masih ada anggapan Konghucu itu bukanlah agama yang diakui di Indonesia. Mencuatnya kembali pertanyaan Konghucu filsafat atau agama, maka hal ini telah mengganggu umat Konghucu di Indonesia, karena sangat terkait dengan pencatatan perkawinan dari agama Konghucu itu, yang dalam pelaksanaan terjadi penolakan dari Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan karena Konghucu dianggap bukan sebagai agama yang diakui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini tentunya menjadi problematika bagi umat Tionghoa,
karena
pencatatan
perkawinan merupakan
syarat
sahnya
suatu
perkawinan yang telah dilangsungkan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Sebelum dibahas tentang problematika agama Konghucu dalam pencatatan perkawinan, maka di sini terlebih dahulu dikemukakan latar belakang Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu di Indonesia. 1. Sekilas tentang Agama Konghucu di Indonesia Berdasarkan wawancara dengan Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), bahwa Agama Konghucu yang dulu disebut Ru Jiao atau agama bagi umat yang lembut hati (yang terbimbing atau terpelajar) adalah bimbingan hidup karunia Tian Tuhan yang Maha Esa yang diturunkan lewat Nabi dan Para Suci purba yang digenapkan,disempurnakan dengan ajaran Nabi Khongzi. 53 Ajaran Konghucu berdasarkan ajaran dan bimbingan pada keyakinan dan kepercayaannya kepada Thian,Tuhan Yang Maha Esa,dan FirmanNya yang harus dengan Satya dilaksanakan dalam hidupnya, melaksanakan ajaran Konghucu sebagai tata nilai etika moral tanpa disadari Keyakinan, Kepercayaan dan iman kepada Tian, itu dinamai “melupakan pokok” atau” kehilangan akar” ajaran Nabi Khongzi menggenapkan dan menyempurnakan Ru Jiao atau agama Konghucu didalam membimbing umatnya beriman kepada Tuhan. 54 Ru Jiao (Agama Konghucu) masuk ke bumi Nusantara bersama masuknya perantau Tiongkok yang mengarungi Samudra yang berdagang dan singgah serta menetap di beberapa kepulauan Indonesia maka dari masa kemasa, Ru Jiao tumbuh
53
Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 54 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
dan berkembang dan berdiri pula lembaga-lembaga agama Konghucu (Ru Jiao), ini seperti rumah abu untuk menghormati arwah-arwah leluhur dan kelenteng-kelenteng (Miao) yang dapat dilihat di seluruh penjuru tanah air. Seperti kelenteng Thian Ho Kiong di Makassar yang didirikan pada tahun 1688, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 , beserta rumah abu (Kong Tik Su) didirikan pada tahun 1839. 55 Pada tahun 1729 di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam Sekolah yang memberikan pendidikan tentang Ru Jiao. Nama sekolahnya bernama Ming Chen Shu Yuan yang artinya Taman Kitab. Pada tahun 1886 di Jakarta diterbitkan Kitab Hikayat Konghucu yang disusun oleh Lie Kim Hok (1853-1912). Pada tahun 1900 di Sukabumi diterbitkan Kitab Dan Xue, dan Zhong yang diterjemahkan oleh Tan Ging Ting. Kemudian di Solo pada tahun 1918, umat Ru mendirikan Kong Jiao Hui (Majelis Agama Konghucu), demikian juga di Bandung, Semarang, Ujung Pandang, Malang, dll. Pada tahun 1923 diselenggarakan Kongres di Jogjakarta dan dibentuk Kong Jiao Tjong Hui (Majelis pusat agama Konghucu). 56 Pada tahun 1940 di Surabaya juga diselenggarakan konferensi Kong Jiao Hui.pada tahun 1954 di Solo diselenggarakan Konferensi antar Tokoh-tokoh Agama Konghucu selanjutnya pada tanggal 15-16 April 1955 diselenggarakan Konferensi di
55
Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 56 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
Solo dalam Konferensi ini terbentuklah lembaga tertinggi Agama Konghucu di Indonesia atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). 57 Menteri Dalam Negeri RI, dalam suratnya tertanggal 24 Febuari 2006 No. 470/336/sj perihal pelayanan Administrasi Kependudukan penganut Agama Konghucu, di dalam surat ini disebutkan antara lain: a. Masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, Khususnya dalam penjelasan agama-agama yang dpeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam,Kristen, Katholik, Buddha, Hindu dan Konghucu. b. Selanjutnya berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masmg-masing agamanya dan kepercayaannya. dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Konghucu yang dipimpin oleh pendeta Konghucu adalah sah. c. Pelayanan
admmistrasi
kependudukan
dapat
mencatumkan
istilah
Agama Konghucu dalam KTP dan dokumen administrasi kependudukan lainnya. 58 Proses perkawinan secara agama Konghucu, umat yang bersangkutan wajib di Ligwan menjadi penganut Konghucu dengan prosesi doa, kemudian kedua mempelai menyatakan hendak menyelenggarakan pernikahan secara agama Konghucu, 57
Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 58 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
selanjutnya rohaniawan Konghucu akan melayani umatnya dengan memimpm upacara sembhayang pernikahan tersebut dihadapan saksi-saksi. 59 Kemudian dengan diterbitnya peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 47 dan 48 tentang Mata Pelajaran Agama Konghucu, sehingga ajaran tersebut sudah boleh dilaksanakan oleh guru-guru agama Konghucu disekolah sekolah Nasional maupun Swasta. Tempat ibadah agama Konghucu terdiri dari Lithang, Kelenteng dan Bio/ Miao bk Tik Tjeng Sin (Sin Beng/Shen Ming/Roh Suci/Malaikat sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam kitab Lixi). 60 Aliran dalam agama Ru Jiao/Konghucu pada dasarnya terbagi dua yaitu Li Xue (dengan Tokoh utamanya Zhu Xi) dan Sin Xue (dengan tokoh utamanya Wang Yang Ming ). Di Indonesia umat Konghucu terdiri dari dua kelompok besar, yaitu umat yang belajar kitab dan mengikuti tata agama serta umat tradisional yang mendapat pengajaran berdasarkan tradisi turun temurun dalam bentuk cerita dan persembhayang. Secara prodik umat Konghucu melakukan ibadah pada tanggal 1 dan 15 Imlek atau juga bisa di malam hari sebelum tanggal 1 dan 15 Imlek di tempat ibadah, biasanya dilakukan dengan bersembahyang kepada Ti Kong/Tian dengan menghadap ke langit lalu dilanjutkan dengan sembhayang kepada Shen Ming/Sin Beng/Konco (Leluhur). Ibah di rumah didahulu dengan sembhayang kepada Ti Kong
59
Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 60 Wawancara dengan Bapak Rudi, SE., Sekretaris Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
Tian Kung/Tian lalu dilanjutkan dengan sembhayang kepada leluhur (konco) di meja abu/hio lo, di beberapa daerah juga dilakukan kebaktian pada hari Minggu. 61
2. Problematika Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu dalam Pencatatan Perkawinan Keberadaan agama Konghucu adalah sebagai agama ini telah menjadi bahasan bagi umat agama Konghucu yang ada di Indonesia. Pembahasan atas bantahan kebenarannya disini adalah Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BD/BA.01.2/453/2002 tentang Kajian Konghucu. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya problematika pengakuan agama Konghucu tersebut dapat dilihat dari isi Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BD/BA.01.2/453/2002 tentang Kajian Konghucu antara lain: a. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Dalam laporan penelitian studi tentang Aplikasi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, dan Penjelasannya, antara lain dinyatakan bahwa masih belum jelasnya status Konghucu disebabkan masih simpang siurnya penafsiran terhadap undang-undang tersebut, khususnya pada Penjelasan Pasal 1 yang berbunyi: Agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confusius) ini (alinea l). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah 61
Wawancara dengan Bapak Rudi, SE., Sekretaris Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.
perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, maka mereka mendapat jaminan seperti yang dinyatakan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mereka juga mendapat bantuan dan perlindungan, ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, seperti: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoisme dilarang di Indonesia. Mereka juga memperoleh jaminan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya ini (alinea 3). Bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Sedangkan bagi pemerintah, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Karena pada jaman dahulu di sebuah negeri ada peraturan bahwa orang yang melintas perbatasan dengan menunggang kuda akan dikenai biaya masuk. Lalu ada seorang yang bernama Kongsun Lung karena tidak mau membayar biaya masuk lalu berdebat dengan penjaga perbatasan dan mengatakan bahwa “saya naik kuda putih dan kuda putih bukanlah kuda“. Kini di Indonesia, telah dilakukan sebuah penelitian oleh Ketua Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan yang
mengembangkan dalil “Agama yang dipeluk tapi bukan agama“ (ini pasti teori filosofis yang rumit sekali dan setara dengan dalil ”kuda putih bukan kuda”). 62 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 telah menyatakan agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confusius), berarti Konghucu adalah salah satu agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Kemudian pada alinea ke 2 disebutkan bahwa karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Ini lebih jelas lagi bahwa disebutkan ada 6 macam agama. Sanggahan kedua, dalam isi Undang-Undang PPNS Nomor 1 Tahun l965, baik secara tersirat maupun tersurat jelas dikatakan bahwa Konghucu adalah agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Agama itu bukan aliran kepercayaan dan lagi bukankah undang-undang ini juga suatu bentuk produk hukum yang sah (yuridis formal). Jadi kalimat bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Umat agama Konghucu adalah konsistensi pemerintah dalam mengakui produk hukum yang mereka buat sendiri. Ini demi terjaminnya kepastian hukum karena negara Indonesia adalah negara hukum Balitbang menyebutkan: Sedangkan bagi pemerintah, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap
62
Henry Irawan, Op. Cit., hal. 2
eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sehingga ada kesan Pemerintah plin-plan seperti halnya Ketua Balitbang Depag yang mengeluarkan dalil ‘Agama yang dipeluk tapi bukan agama”. 63 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dalam produk jaman Presiden Ir. Soekarno dan beliau diganti, tidak ada penyangkalan terhadap eksistensi agama Konghucu. Kalimat Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama. Padahal yang membuat adalah Pemerintah RI, bukan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), atau badan-badan lain bisa menghasilkan produk hukum dengan mengatasnamakan Undang-Undang PNPS. Jadi jelas bahwa undang-undang ini adalah produk pemerintah dan disana disebutkan bahwa "agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah... Konghucu”, dipertegas denqan kalimat ”hal ini dapat dibuktikan.... Kalimat-kalimat ini mengakui eksistensi (keberadaan) dari agama Konghucu di Indonesia sehingga bisa dipeluk oleh penduduknya. Jika agama ini tidak eksis berarti tidak mungkin ada yang memeluknya. Bantahan dari umat Konghucu (termasuk dari MATAKIN) juga merupakan bukti nyata bahwa agama Konghucu dan pemeluknya itu memang ada (eksis). Sehingga sangat tidak beralasan kalau Balitbang Depag mengingkari keberadaan Konghucu adalah agama.
63
Ibid., hal. 2.
b. Presiden RI dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 Presiden Republik Indonesia dalam sidang kabinet tanggal 27 Januari 1979 mengintruksikan: 1) Aliran Konghucu bukanlah agama 2) Aliran Konghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa. Ketentuan Instruksi Presiden di atas telah bertentangan dengan UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965.
c. Keputusan Presiden Nomor: 6 Tahun 2000 tentanq Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lahirnya Keputusan Presiden ini menimbulkan pandangan dan pendapat khususnya warga keturunan Tionghoa melalui MATAKIN bahwa dengan lahirnya Keputusan Presiden tersebut, Konghucu diakui sebagai agama dan berdasarkan Undang-Undang Hak Azasi Manusia, mereka menuntut pengembalian hak-hak sipil umat Konghucu yaitu: 1) Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu 2) Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di KTP 3) Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu. 4) Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama.
Bagi pemerintah, lahirnya Keputusan Presiden tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui sebagai agama, sebab Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
tentang Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang dicabut tersebut sedikitpun tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama, tetapi isi atau substansi Instruksi Presiden tersebut menyatakan bahwa, perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa untuk tidak dilakukan menyolok di depan umum. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, maka perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara terbuka. Demikian pula penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional bukan berarti pengakuan Konghuchu sebagai agama, karena penetapan suatu hari libur tidak selalu berhubungan dengan hari besar keagamaan. Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, memang tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama. Kemudian adanya tuntutan umat agama Konghucu pencantuman Agama Konghucu dalam KTP karena Undang-Undang PPNS Nomor 1 Tahun l965 tidak pernah dicabut, artinya undang-undang itu tetap berlaku. Bantahan sebelumnya yang diuraikan di atas (secara logika) mementahkan semua kesimpulan Balitbang Depag yang menyebutkan Konghucu bukan agama (kecuali
Balitbang
mengeluarkan
bantahan
baru
atau
tetap
bersikeras
mematerikan dalil agama yang dipeluk bukan agama). Jadi selama Undang-
Undang Nomor Nomor 1/PNPS/1965 belum dicabut, maka agama Konghucu sebagai salah satu dari 6 agama (yang eksistensinya) di Indonesia diakui dalam undang-undang tersebut, berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dengan 5 agama yang lain (sesuai Undang-Undang Dasar l945). 64 Perbedaan penafsiran Keputusan Presiden ini telah diduga sebelumnya, sehingga
Departemen
Agama
mengeluarkan
Surat
Edaran
Nomor
SJ/B.VII/HN.00/220/2000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Konghucu. Surat Edaran Nomor SJ/B.VII/J-IM.00/220/2000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Konghucu. Ini benar karena pengakuan Konghucu sebagai agama tidak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, melainkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan undang-undang ini tidak pernah dicabut. Terlihat dari uraian di atas, masih terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundangan yang berkaitan dengan Konghucu, sehingga diperlukan sikap tegas pemerintah mengenai hal ini misalnya dengan menindaklanjuti Perintah Presiden dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januani 1979 yang menyatakan aliran Konghucu
64
Ibid., hal. 3
bukanlah agama, dan aliran Konghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa.Sehingga Perintah Perintah dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 tersebut telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, yang telah secara tegas mencatumkan adanya 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di samping itu untuk bidang pendidikan atau mata pelajaran di sekolah, maka Departemen Pendidikan Nasional mengakui keberadaan agama Konghucu dengan Surat Edaran Nomor 52883/A5.1/HK/2008 tanggal 5 September 2008 tentang Penyampaian Salinan Praturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008, yang ditujukan kepada Ketua Komisi X DPR RI, dan instansi terkait dengan pendidikan, menyatakan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Agama Konghucu, dengan hormat bersama ini kami sampaikan salinan peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jadi telah ada pengakuan dari Pemerintah dalam bidang pendidikan untuk dimasukkan mata pelajaran agama Khonghuzu sebagai kurikulum di sekolah.
BAB III AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG TIDAK DICATATKAN A. Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah Perkawinan Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat (1) menentukan: "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu". Ketentuan yang sudah jelas ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan yang bunyinya, dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Kemudian Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, namun di dalam penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975, diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan tersebut. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menentukan tentang lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan nonIslam, yaitu bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai percatatan perkawinan. Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini, menentukan, dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau Instansi/Pejabat yang membantunya. Jadi kedua lembaga itu, berfungsi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya. Terdapat beberapa masalah tentang penentuan sahnya perkawinan yang membawa implikasi pada pencatatannya, yaitu tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu perkawinan itu dilangsungkan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu pencatatan? Masalah ini tentunya tidak ada, apabila waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan perkawinan dilakukan pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan yang dilakukan dengan tatacara masing-masing hukum agamanya dan kepercataannya itu, dengan waktu pencatatan perkawinan. 65 Mereka yang melangsungkan perkawinan menurut tatacara Agama Islam, hampir semuanya dilakukan oleh Kadi yang juga Pegawai dari Kantor Urusan Agama 65
Wila Chandrawila, “Syarat Sah dan Pencatatan Perkawinan”, archive.com/
[email protected]/info.html., hal. 2.
http://mail-
(KUA), yang kemudian akan mencatatkan perkawinan yang dilangsungkannya di Buku Daftar Pencatatan Perkawinan dan selanjutnya dikeluarkanlah "buku nikah" dan tercantum hari, tanggal dan tahun waktu perkawinan dilangsungkan, dalam arti tidak ada perbedaan antara waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan. Namun, bagi mereka yang bukan pemeluk Agama Islam, tentunya dapat saja terjadi perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan dan pecatatan perkawinan, karena dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, meskipun banyak yang dilakukan berbarengan, tetapi tidak kurang banyaknya yang dilakukan pada waktu yang berbeda. Justru karena dilakukan di dua lembaga yang berbeda, cenderung terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan di lembaga agama dan kepercayaan dengan lembaga pencatatan perkawinan. Apabila perbedaan waktu antara pelangsungan dan pencatatan hanya beberapa hari saja, tentunya pun tidak menimbulkan perbedaan yang besar, namun apabila perbedaannya sangat besar, bahkan ada yang bertahun-tahun, maka akan menimbulkan masalah. Terhadap anak-anak yang lahir dari pasangan yang telah melangsungkan perkawinan
secara
sah
menurut
masing-masing
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya itu tetapi belum dicatatkan, tidak menjadi masalah, sebab begitu bapak dan ibu dari anak-anak itu mencatatkan perkawinan, maka anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang disahkan dan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah. Akan timbul masalah apabila di dalam perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah itu tetapi belum dicatatkan, telah terbentuk harta bersama, ketentuan dari Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menentukan: harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kalau perkawinan itu diakui sah pada waktu pencatatan, maka perkawinan yang belum dicatat itu dianggap tidak sah secara hukum. Tetapi Pasal 2 ayat (1), menentukan sahnya perkawinan pada waktu dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. 66 Ketentuan ini membawa implikasi bahwa sahnya perkawinan pada waktu dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agama dan kepercayaannya itu. Memang Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menentukan: tiap-tiap perkawinan
dicatat
menurut
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Pertanyaannya apa fungsi dari pencatatan perkawinan? Kalau ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Perkawinan, yaitu poin 4 (b) ayat (2), ditentukan: "Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan". 67 Menafsirkan ketentuan di atas, maka perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, dalam arti waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat adminstratif. Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu
66 67
Ibid., hal. 3. Ibid., hal. 3.
terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung, yang dipakai sebagai "waktu lahir" dan "waktu mati". Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus diakui sebagai "waktu kawin", bukan kapan waktu perkawinan yang sah itu dicatatkan. 68 Selanjutnya bagaimana Pencatatan Perkawinan yang dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Merujuk pada Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil (d/h Kantor Catatan Sipil) Kota Bandung tertulis: "Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung pada tanggal 22 September 1999 telah "dilangsungkan" perkawinan antara X dan Y, Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999." Apa arti dari isi cuplikan di atas? Perkawinan "dilangsungkan" di Kantor Pencatat Perkawinan pada tanggal 22 September 1999. Jelas Akta Perkawinan ini, merujuk pada peraturan lama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni kewenangan Kantor Catatan Sipil cq Pegawai Kantor Catatan Sipil untuk "melangsungkan" perkawinan. Letak kerancuannya ada pada Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil, yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mempunyai wewenang untuk "melangsungkan" perkawinan, tetapi "hanya mencatatkan" perkawinan yang telah dilakukan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya 68
Ibid., hal. 3
itu. Seharusnya di dalam Akta Perkawinan, dituliskan: "Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung pada tanggal 30 Mei 1999 telah "dilangsungkan" perkawinan antara X dan Y, Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999." 69 Dalam arti, hanya terdapat 1 buah tanggal, bulan dan tahun (30 Mei 1999), bukan 2 buah tanggal, bulan dan tahun (30 Mei 1999 dan 22 September 1999), yaitu tanggal, bulan dan tahun pemberkatan (30 Mei 1999). Hari, tanggal dan tahun pencatatan bukanlah hari, tanggal dan tahun sahnya perkawinan. Sebaiknya Departemen Dalam Negeri cq Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil mau belajar dari kerancuan ini dan kembali kepada fungsinya semula yaitu "hanya mencatatkan" perkawinan, dan tidak merujuk kepada peraturan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yaitu mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan. Sekali lagi ditekankan di sini, Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil menurut Undang-Undang Perkawinan tidak mempunyai kewenangan untuk "melangsungkan" perkawinan, yang mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan adalah lembaga agamanya dan kepercayaannya itu, kewenangan Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil "hanya mencatatkan" perkawinan yang telah dilakukan secara masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Perubahan harus dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri selekasnya, sebab mempunyai arti yang sangat penting, selain akan sangat membantu terbentuknya kepastian hukum dan pada gilirannya akan mengurangi terjadinya perselisihan di 69
Ibid., hal. 4.
dalam masyarakat, sehingga supremasi hukum yang dicita-citakan menjadi kenyataan, juga bukan hanya masyarakat yang dibuat bingung, birokrat dan penegak hukum pun dibuat menjadi bingung. Karena dalam hal pencatatan perkawinan, tidak ada formulir yang diubah, yang perlu dilakukan pengetikan tanggal, bulan dan tahun konsisten hanya 1 buah tanggal yaitu tanggal pelangsungan perkawinan, tidak dua buah tanggal.
B. Tanggung Jawab Suami Isteri dalam Perkawinan Tionghoa Suami dan isteri selain bertanggung jawab atas hubungan hukum di antaranya, maka sebagai orangtua juga mempunyai tanggung jawab dalam merawat membesarkan, mendidik dan mencukupi segala kebutuhan dari anak-anaknya, baik dari segi materil maupun moril. Demikian juga halnya dengan tanggung jawab orangtua terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Secara umum, mengenai tanggung jawab orangtua ini sama dengan tanggung jawab orangtua sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan
(Undang-Undang
Perkawinan).
Yang
membedakan antara perkawinan yang dicatatkan dengan yang tidak dicatatkan dalam hal tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak adalah bahwa dalam perkawinan yang dicatatkan, segala sesuatunya diatur secara tertutis dalam Undang-Undang Perkawinan, sedangkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, tidak diatur secara tertulis dalam suatu bentuk peraturan yang baku. Dalam hal tanggung jawab orangtua yang diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dilanggar atau tidak dipenuhi, maka tentu saja akan menimbulkan sanksi
hukum terhadap orangtua yang melanggar atau tidak memenuhinya, baik itu berupa sanksi pidana maupun sanksi perdata dengan dicabutnya sebahagian maupun keseluruhan hak kekuasaan orangtua karena dipandang tidak mampu untuk merawat anak-anaknya melalui keputusan pengadilan dan untuk melindungi serta menjamin kepentingan atas hak anak-anak tersebut, maka anak-anak tersebut diletakkan di bawah perwalian, yang biasanya ditunjuk anggota keluarga terdekat dari anak-anak tersebut. Sedangkan dalam suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, karena tanggung jawab orangtua tidak ada diatur secara tertulis, maka sebagai akibat yang timbul dalam hal lalainya pelaksanaan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya adalah sanksi sosial yang berupa cercaan, hinaan serta dipandang rendah dari keluarga, kerabat keluarga, maupun dari masyarakat sekitarnya, yang mana sanksi sosial kadang-kadang lebih kejam daripada sanksi hukum. Tanggung jawab orangtua terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, pada dasarnya dalam praktek sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan. Pelaksanaan tanggung jawab orangtua baik yang tidak dicatatkan maupun yang dicatatkan tergantung kepada pribadi dan moral masingmasing orangtua dan bukan tergantung kepada peraturan tertulis yang mengatur tanggung jawab itu. Dengan kata lain, pertanggungjawaban moral dari orangtua yang memegang peranan paling penting. Kalau memang pada dasarnya moral orangtua kurang baik, maka tanggung jawab sebagai orangtua tidak dapat dilaksanakan dengan baik walaupun telah diatur dengan berbagai peraturan hukum yang tertulis. Demikian juga sebaliknya, apabila moral orangtua baik, walaupun tidak ada peraturan tertulis
yang mengatur, maka tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban sebagai orangtua akan mampu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Setiap orangtua pada dasarnya menghendaki anak-anaknya hidup serba berkecukupan dan layak, baik dari segi materil maupun moril. Orangtua rela bekerja keras demi untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga. Orangtua pasti berkehendaki agar kelak kehidupan anak-anaknya lebih baik dari kehidupan mereka sekarang. Orangtua pasti akan bangga melihat anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna dan sukses di kemudian hari. Demikian juga halnya dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Masyarakat etnis Tionghoa dikenal sebagai pekerja keras. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga serta meningkatkan taraf hidup keluarganya. Oleh karena itu, masyarakat etnis Tionghoa yang telah berkeluarga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluarga dan anak-anak mereka. Mereka akan berusaha dengan kerja semaksimal mungkin demi kemajuan anak-anak di kemudian hari. Mereka beranggapan bahwa kehidupan anak-anak harus jauh lebih baik dari mereka di kemudian hari. Sukses atau tidaknya kehidupan anak-anak merupakan tanggung jawab mereka. Masyarakat etnis Tionghoa akan berusaha agar kelak ada yang dapat diwariskan untuk anak-anak pada saat mereka meninggal dunia kelak, sehingga pada saat itu, anak-anaknya tidak akan mengalami kesulitan dari segi ekonomi. Warisan yang paling umum adalah usaha di bidang ekonomi, yang diharapkan usaha ini dapat dilanjutkan oleh anak-anak mereka. Jadi, yang menjadi kebanggaan masyarakat etnis Tionghoa, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat adalah
keberhasilan mereka dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka menjadi orang-orang yang berhasil dengan kemampuan dan usaha mereka sendiri. Tanggung jawab orangtua sudah dimulai pada saat seorang anak masih di dalam kandungan ibunya. Orangtua wajib untuk merawat dan menjaga bayi yang masih berada di dalam kandungan ibunya dengan sebaik-baiknya, termasuk orangtua wajib untuk menjaga kesehatan dan gizi dari anak di dalam kandungan sampai dengan saat anak tersebut dilahirkan dengan selamat. Tanggung jawab orangtua setelah anak lahir adalah dengan merawat, mengasuh, membesarkan, memberi pendidikan yang cukup serta memberi kehidupan yang layak kepada anak-anaknya. Hal ini berarti setiap orangtua berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan, papan dan pendidikan anak-anaknya, baik pendidikan formil maupun moril. Pada umumnya, tanggung jawab paling utama dari orangtua dalam membesarkan anak-anak adalah membentuk karakter anak-anak, serta mengajarkan mereka adat, pantangan serta larangan dari tradisi masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri. Tanggung jawab orangtua ini dipikul bersama antara seorang ayah dan seorang ibu, karena berhasil atau tidaknya orangtua mendidik anak-anaknya menjadi tanggung jawab orangtua. Biasanya hubungan antara seorang ayah dengan seorang anak dalam keluarga masyarakat etnis Tionghoa tidak sedekat hubungan antara seorang ibu dengan anaknya. Anak-anak yang nakal akan dihukum dan dipukul apabila kurang ajar dengan orangtua. Memukul anak-anak disifatkan sebagai bahagian daripada kasih
sayang sorang ayah yang bertujuan untuk membentuk pribadi murni anak. Seorang ibu berperan sebagai ibu rumah tangga. Seorang ibu lebih cendrung menjadi tempat anak untuk mencurahkan perasaan mereka. Seorang ibu mempunyai kewajiban untuk mengajarkan
sopan-santun,
adat,
pantangan
serta
larangan
kepada
anak
perempuannya supaya tidak luput dari kodratnya sebagai seorang wanita kelak. Anak perempuan diajarkan mengurus rumah tangga sebagai persiapan untuk berumah tangga kelak. Anak perempuan mendapat perhatian istimewa dari seorang ibu dan tidak dibenarkan untuk keluar rumah sesuka hati. Anak laki-laki mempunyai kebebasan yang Iebih. Seorang ayah memberikan perhatian lebih kepada anak lakilaki karena mereka bakal mewarisi nama keluarga atau marga dan harta pusaka keluarga. Orangtua pada masyarakat etnis Tionghoa mempunyai pandangan yang agak kolot dalam hal penjagaan anak. Semenjak bayi, anak-anak dijaga dengan baik dan diikuti berbagai adat, pantangan serta larangan. Anak bayl perlu dijaga supaya tidak sering terkejut karena dikhawatirkan akan berpengaruh kepada mental dan pertumbuhan si anak. Apabila anak sudah mulai agak besar, diajarkan adat, seperti sopan santun di meja makan, cara bertutur memanggil anggota keluarga yang lebih tua untuk makan. Setelah selesai makan, anak-anak juga diajarkan meminta izin kepada semua orang. Sewaktu makan, anak-anak tidak dibenarkan berbicara karena nasi yang mungkin terhambur keluar dan mengotori lauk-pauk. Anak-anak dilarang menggoyangkan kaki semasa duduk. Perbuatan ini tidak baik dilakukan karena dianggap dapat membuang rejeki atau mensia-siakan rejeki yang ada. Sebelum keluar rumah, anak-anak diwajibkan untuk permisi kepada
orangtuanya. Begitu juga sebaliknya apabila pulang ke rumah, semua anggota keluarga perlu ditegur dengan sopan, agar diketahui bahwa mereka telah berada di rumah. Adat yang tidak membenarkan anak perempuan bergaul dengan anak laki-laki masih berlaku sampai saat ini. Terlebih lagi apabila anak perempuan mulai meningkat remaja. Anak-anak diberi pengawasan yang ketat oleh orangtua untuk memastikan nilai-nilai hidup yang baik bisa dipraktekkan apabila telah dewasa kelak. Keluarga akan mendapat malu apabila anak menyela semasa orangtua berbicara. Keluarga akan dianggap tidak tahu mengajar anak, kurang ajar dan tidak sopan. Tradisi penjagaan anak-anak yang ketat melahirkan penghormatan dan ketaatan kepada orangtua. Beban dan tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk keluarga sepenuhnya dipikul oleh seorang ayah. Sebagai seorang kepala rumah tangga, seorang ayah bertanggung jawab penuh untuk mencari nafkah menghidupi keluarganya. Namun kadangkala, demi meningkatkan taraf hidup keluarga, seorang isteri juga turut bekerja dan ikut membantu menafkahi keluarga. Seorang ibu bertanggung jawab untuk mengatur. rumah tangga dengan sebaik-baiknya, termasuk juga dalam mendidik anak-anaknya, karena pada umumnya, seorang ibu lebih banyak mempunyai waktu bersama dengan anakanaknya. Pada dasarnya, beban dan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya menjadi tanggung jawab ayah dan ibu secara bersama, karena apabila gagal, maka kedua orangtua akan menanggung aib secara bersama pula.
Selain pendidikan moral, orangtua juga bertanggung jawab untuk menyekolahkan anak-anak. Biasanya orangtua akan menyekolahkan anak-anak mereka sesuai dengan keinginan anak-anak mereka berdasarkan kemampuan mereka. Terkadang malah mereka rela untuk membanting tulang siang malam dan makan seadanya demi pendidikan anak-anak mereka, harapan kehidupan anak-anak mereka kelak akan lebih baik dari mereka. Untuk anak-anak yang masih di bawah umur dan belum melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orangtua mereka, selama orangtua mereka cakap bertindak secara hukum dan tidak dalam pengampuan (curatele). Tanggung jawab orangtua terhadap kebutuhan anak-anaknya adalah dari mereka lahir sampal dengan mereka dewasa dan pada akhirnya menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Selama anak-anak dipandang belum mampu untuk berdiri sendiri, orangtua merasa tetap bertanggung jawab agar anaknya bisa mandiri. Orangtua tetap membantu secara materil maupun moril untuk anak-anak mereka selama mereka memandang anakanak belum mampu dan mereka mempunyai kemampuan untuk itu, baik dari segi materil maupun moril. Akibat yang timbul dari orangtua yang tidak mampu untuk mengurus, mengasuh, menafkahi dan membesarkan anak-anaknya, maka pengurusan dan kekuasaan anak tersebut akan jatuh ke tangan keluarga dari orangtuanya, baik keluarga dari suami maupun keluarga isteri yang merasa mampu dan bersedia untuk menerima tanggung jawab tersebut. Hal ini biasanya dilaksanakan berdasarkan hasil
musyawarah antara orangtua dengan keluarga mereka, baik dari keluarga suami maupun keluarga isteri. Namun kekuasaan sebagai orangtua tidak dicabut secara hukum dan mereka tetap menjadi orangtua dari anak-anak mereka. Artinya secara kewarisan anak tersebut tetap sebagai ahli waris dari orangtua kandungnya karena dalam hal ini tidak terjadi pengangkatan anak (adopsi). 70 Setiap orangtua menghendaki pada saat mereka meninggal dunia kelak, maka ada harta yang dapat mereka wariskan kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak mereka kelak dapat meneruskan usahanya maupun mempunyai modal untuk membuka usahanya dan dapat meningkatkan taraf hidup mereka kearah yang lebih baik lagi. Berhasil atau tidaknya anak-anak mereka kelak sudah sepenuhnya tergantung kepada diri mereka sendiri.
C. Akibat Hukum Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Tidak Dicatatkan Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suatu perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing harus dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang beragama selain agama Islam. Dengan tidak dilakukannya pencatatan perkawinan memberikan 70
Bagi etnis Tionghoa tunduk pada Staatsblad 1917 No.129 yang menyatakan anak angkat akan putus hubungan kewarisan kepada orang tua kandungnya, dan terjadi hubungan kewarisan dengan orang tua angkatnya, sehingga anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan. Hal ini berbeda dalam hukum Islam, dimana anak angkat sesuai Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak melepas nasab dari orang tua kandungnya, maka anak angkat dalam Islam tidak mewaris dari orang tua angkatnya dan sebaliknya, akan tetapi anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari orang tua angkatnya.
akibat hukum terhadap suami isteri dan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut. Adapun akibat hukum tidak tercatatnya perkawinan dapat dijelaskan berikut ini:
1. Sahnya Perkawinan Suami Isteri itu harus ditentukan oleh Hakim Kelalaian dalam mencatatkan perkawinan sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan mengakibatkan konsekuensi yuridis terhadap perkawinan suami isteri itu dapat batal secara hukum. Akan tetapi, terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan itu, menurut Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila ternyata, bahwa register-register itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau pula akta perkawinanlah yang tidak ada di dalamnya, maka terserahlah pada pertimbangan hakim soal cukup atau tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan itu, asal saja hubungan selaku suami-isteri jelas nampaklah adanya. Ketentuan Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas, membuka peluang bagi para untuk tidak mencatatkan perkawinan karena masih dapat diputuskan di depan pengadilan tetapi hal ini tentu merugikan para pihak yang tidak mencatatkan perkawinan mereka. Jadi, menurut penulis ketentuan ini lebih menekankan sebagai suatu upaya terhadap perkawinan yang telah terjadi dan tidak dicatatkan, maka harus ada penyelesaian hukumnya terkait dengan perkawinan atau hubungan keperdataan pada perkawinan tersebut, antara orang tua dengan anakanaknya.
2. Hubungan Perdata Anak hanya dengan Ibunya Undang-Undang Perkawinan menentukan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, yaitu telah dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dan telah dicatatkan perkawinan tersebut pada Kantor Catatan Sipil. Sehingga menurut Pasal 42 dan Pasal 43 UndangUndang Perkawinan, anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu, sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak di luar kawin. Hanya dijelaskan bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kedudukan luar kawin ini akan diatur secara tersendiri dalam peraturan pemerintah, tetapi sampai sekarang peraturan pemerintah dimaksud belum diterbitkan. 71 Oleh karena itu dalam hal hubungan anak dengan ibu atau keluarga itu adalah dalam kaitan dengan kewarisan si ibu dari keluarganya, artinya anak tersebut dapat menjadi pewaris dari harta warisan si ibu dari keluarga ibunya tersebut. Kepentingan-kepentingan yang timbul semasa orang tersebut hidup membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh anggota masyarakat lain yang masih hidup. Oleh sebab itu, pada setiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan 71
Iman Jauhari, (editor) Adem Panggabean, Advokasi Hak-Hak Anak (Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal.170.
hukum yang mengatur tentang cara kepentingan-kepentingan itu diselamatkan, agar masyarakat itu sendiri selamat juga sebagai tujuan dari segala hukum, seperti halnya pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan dalam hukum, yang terkait dengan hak keperdataan, antara lain hak kewarisan dari harta perkawinan tersebut terhadap para pihak dalam perkawinan tersebut yaitu suami isteri dan anak hasil perkawinan tersebut. Pengertian warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia. 72 Pengertian warisan, seperti yang telah dikatakan di atas, memperlihatkan 3 (tiga) unsur, yaitu: 1. Seorang peninggal warisan (erfiater), yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. 2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. 3. Harta warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu. 73 Tiap-tiap masyarakat di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan, dapat dikatakan bahwa sistem waris dalam suatu masyarakat tertentu berhubungan erat dengan sistem kekeluargaan serta pengaruhnya pada kekayaan dalam masyarakat itu. Demikian juga halnya pada masyarakat Tionghoa Kota Medan. 72 73
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983, hal. 12. Ibid., hal. 14.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat etnis Tionghoa adalah sistem kekeluargaan patrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut oleh masyarakat etnis Tionghoa Kota Medan ini tentu saja mempengaruhi pelaksanaan sistem pewarisan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hukum yang berlaku bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara keseluruhan ditambah dengan Kongsi Dagang dan Adopsi anak. Dalam hal hukum waris, masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia tunduk sepenuhnya kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku II Titel XII sampai dengan Titel XVIII, yang kemudian ditambah lagi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UndangUndang Perkawinan), yang khusus mengatur mengenai perkawinan sejak diundangkan pada tahun 1974. Pelaksanaan hukum waris dalam masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh hukum waris adat Tionghoa itu sendiri, yang mana pengaruhnya terkadang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh Kitab UndangUndang Hukum Perdata, namun selama penyimpangan itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Tetapi dalam hal penerapan hukum adat Tionghoa tersebut tidak dapat diterima oleh para pihak yang berkepentingan, maka untuk penyelesaian masalah warisan tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Demikian juga halnya dengan hak anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan.
Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan ayah biologisnya dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja. Hal ini semakin jelas apabila dilihat akta kelahiran dari anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, maka di dalam akta kelahiran tersebut tidak dicantumkan nama dan ayah biologisnya, tetapi hanya mencatumkan nama dari ibunya dan status perkawinannya yang dicantumkan adalah “tidak kawin”. Secara tidak langsung, secara hukum, anak yang dilahirkan tersebut dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar dari perkawinan yang sah, dengan demikian hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan: ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan kata lain, anak yang dilahirkan tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan ayah biologisnya maupun dengan keluarga ayahnya, sungguh pun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tinggal serumah dan hidup layaknya ayah dan anak di dalam satu rumah dan sebagai seorang ayah tetap menjalankan kewajibannya sebagai orangtua dalam membiayai, merawat dan menafkahi anak-anaknya. Dalam hal kedudukan anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap harta warisan yang ditinggalkan orangtuanya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu terhadap: a. Harta warisan yang ditinggalkan oleh ibunya. b. Harta warisan yang ditinggalkan oleh ayah biologisnya.
Dalam hal kedudukan anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh ibunya, maka kedudukan anak tersebut langsung sebagai ahli waris dalam hal ibunya selaku pewaris meninggal dunia, karena walaupun perkawinan tersebut tidak dicatatkan, namun anak tersebut mempunyai hubungan perdata langsung terhadap ibunya maupun keluarga ibunya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai kedudukan anak. Anak tersebut tetap dianggap sebagai anak sah dari ibunya dan kedudukannya sebagai ahli waris yang sah dari harta warisan yang ditinggalkan oleh ibunya, serta mendapat porsi yang sesuai dengan bahagian yang seharusnya diterima oleh seorang anak yang lahir dari suatu perkawinan yang dicatatkan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hak antara anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maupun anak yang lahir dari suatu perkawinan yang dicatatkan terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh ibunya, karena baik anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan maupun yang dicatatkan secara hukum tetap mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Dengan kata lain, meskipun anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan tetap mempunyai hak dan kedudukan sebagai ahli waris kelas satu terhadap harta warisan yang ditinggalkan ibunya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hak anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya, karena anak tersebut dipandang bukan sebagai anak sah dan tidak
mempunyai hubungan hukum apapun dengan ayah biologisnya. Dalam hal ini, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan sebagai ahli waris kelas satu sebagaimana yang digariskan dalam undang-undang, namun dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan ayah biologisnya. Berdasarkan hal di atas, undang-undang memandang tidak adanya ahli waris kelas satu, sehingga ahli waris kelas dua dan seterusnya ke bawah yang masih ada berhak untuk mewarisi harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Hal ini berarti orangtua kandung maupun saudara-saudara kandung dari pewaris yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia yang duduk sebagai ahli waris yang sah sesuai dengan yang digariskan oleh undang-undang. Keadaan ini sebenarnya sangat merugikan bagi pihak isteri dan anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dinyatakan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan, berakibat bagi mereka tidak berlaku hukum nasional, sehingga tidak ada hubungan warismewaris antara suami dan isteri maupun kepada anak-anak keturunannya. Karena tidak dicatatkan perkawinan itu, maka tidak ada persatuan harta antara suami dan isteri sesuai Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. 74 Penyelesaian mengenai hal tersebut di atas untuk menjaga serta melindungi kepentingan dari isteri dan anak-anaknya dalam kedudukannya sebagai ahli waris dari suami dan/atau anak-anaknya dapat diselesaikan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 74
Wawancara dengan Bapak Pantun Situmorang, S.H., Sp.N., Advokat Pengacara di Kota Medan, tanggal 18 Nopember 2009 di Medan.
1) Penyelesaian secara hukum. Dalam hal tidak tercapainya penyelesaian secara jalan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat guna menghindari akibat hukum yang merugikan kepentingan dari isteri dan/atau anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, maka dapat dilakukan pembuktian tentang adanya suatu perkawinan yang telah berlangsung untuk suatu waktu, namun belum dicatatkan di Dinas Kependudukan setempat. Berdasarkan Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih terbuka kemungkinan untuk dilakukannya pembuktian atas suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dengan menyertakan bukti-bukti maupun saksi-saksi yang dapat membuktikan bahwa mereka dalam kehidupan sehari-hari dan tampak luarnya hidup sebagai suami isteri beserta anak-anaknya hidup serumah dan sebagai sebuah keluarga yang utuh. Untuk pengajuan pembuktian adanya perkawinan ini dapat diajukan bukti-bukti berupa Kartu Keluarga dan Surat Keterangan dari Kelurahan setempat yang mengetahui secara langsung bahwa mereka hidup serumah sebagai satu keluarga yang utuh. Selain itu juga dapat diajukan saksi-saksi yang mengetahui secara langsung dan pasti telah dilaksanakannya perkawinan mereka secara adat dan/atau agamanya, baik itu saksi dari keluarga suami, saksi dari keluarga isteri maupun sanak saudara dan jiran tetangga yang menyaksikan secara langsung berlangsungnya perkawinan mereka. Pada akhirnya putusan final atas pembuktian perkawinan ini tergantung sepenuhnya pada pertimbangan Hakim yang menilai
cukup tidaknya bukti-bukti maupun saksi-saksi yang diajukan oleh isteri dan atau anak-anak dari pewaris. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini, posisi isteri dan/atau anak-anaknya sangat lemah dan riskan karena posisi mereka sebagai ahli waris sepenuhnya hanya tergantung kepada pertimbangan-pertimbangan hakim sepenuhnya. Dalam hal menurut pertimbangan hakim bukti-bukti serta saksi-saksi yang diajukan kepadanya belum cukup untuk membuktikan adanya suatu perkawinan, maka otomatis putusan hakim tersebut semakin menyudutkan dan menguatkan isteri dan/atau anak-anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan pewaris dan tidak dapat sebagai ahli waris dari pewaris. Hal ini tentu saja sangat merugikan isteri dan/atau anak-anak dari pewaris yang seharusnya tidak perlu terjadi seandainya akibat hukum yang tidak diinginkan ini disadai akan timbul dari dini, yaitu dengan mencatatkan perkawinan pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan maupun pada saat suamiisteri masih hidup dan dilakukan pengesahan anak.
2) Penyelesaian secara jalan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat Penyelesaian secara hukum akan membawa akibat hukum dan sosial dimana hasil akhirnya terkadang sangat bertolak belakang dengan keinginan para pihak yang berselisih dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Hal ini juga dapat memicu hancurnya hubungan baik keluarga antara satu pihak dengan pihak lainnya. Untuk menghindari hal tersebut di atas demi terjaganya hubungan baik di antara para pihak, ada baiknya suatu perselisihan dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat, sehingga hasil akhir yang
dicapai dapat memuaskan dan sesuai dengan harapan para pihak yang berselisih. Demikian juga halnya dalam hal perselisihan yang timbul dalam warisan, penyelesaian secara jalan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat hanya dapat dilakukan apabila adanya kesepakatan, itikad baik dan pertanggungjawaban moral dari para pihak yang ditinggalkan oleh pewaris. Dalam adat masyarakat etnis Tionghoa dikenal suatu pepatah tua yang mengatakan,“Janganlah pernah serakah terhadap segala sesuatu yang bukan merupakan hakmu”. Lebih mendalam lagi untuk masalah warisan ada pepatah mengatakan, “jangan pernah menipu atau menyelewengkan hak dari orang yang berhak, terutama dari amanat orang yang telah meninggal dunia”. Di dalam kedua pepatah tersebut tersirat rasa pertanggungjawaban moral yang tinggi untuk melaksanakan amanat atau pesan terakhir dari orang yang telah meninggal
dunia.
Dalam hal
ini,
pada
umumnya,
masyarakat
Tionghoa
enggan untuk menyelewengkan atau menipu hak yang telah diamanatkan oleh orang yang telah meninggal dunia, karena takut akan timbulnya akibat-akibat buruk yang akan timbul di kemudian hari sebagai “balasan” atas perbuatannya tersebut. Biasanya hal ini juga dapat membawa kesialan serta nasib buruk terhadap pelaku dan seluruh keluarganya. Selain itu juga, pelaku dan keluarganya juga akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat karena dianggap sebagai orang yang tidak bermoral, tidak bermartabat serta akan dikucilkan dari masyarakat. Selain itu, orangtua kandung dan saudara-saudara kandung dan pewaris sebagai kakek dan nenek maupun paman dan bibinya juga secara moral tidak ingin melihat cucu-cucu maupun keponakannya hidup
serba
kekurangan
dalam
kesusahan,
karena
itu
juga
merupakan
pertanggungjawaban moral yang akan mereka pikul di dalam masyarakat. Namun semuanya ini sepenuhnya terpulang kembali kepada moral dan pribadi masingmasing, yang jelas “siapa yang menabur benih, maka dia yang akan menuai hasilnya, siapa yang menabur angin, maka dia yang akan menuai badai, siapa yang menabur kebaikan, maka dia yang akan menuai kemuliaan”. Masalah warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dapat diselesaikan secara jalan kekeluargaan setelah sebelumnya antara isteri dan/atau anak-anak dari pewaris telah tercapai kata sepakat dengan orangtua kandung dan/atau saudarasaudara kandung dari si pewaris mengenai harta warisan yang ditinggalkannya, juga didukung dengan adanya hubungan yang baik antara kedua belah pihak selama ini, yang pada intinya, baik orangtua kandung maupun saudara-saudara kandung dari pewaris menyadari sepenuhnya dan mengakui bahwa isteri dan/atau anak-anak dari pewaris merupakan ahil waris yang sah secara adat Tionghoa. Adapun jalan penyelesaian yang dapat dilakukan adalah dengan cara: sebagai ahli waris yang sah sesuai dengan undang-undang dari pewaris, orangtua kandung dan saudara-saudara kandung sebagai menerima penyerahan harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris secara hukum, baru kemudian orangtua kandung dan saudara kandung dari pewaris membuat sebuah akta notariel yang isinya dengan ini menyerahkan seluruh warisan yang mereka terima sebagai pemberian kepada isteri dan/atau anak-anak yang ditinggalkan oleh pewaris. Jadi dalam hal ini, orangtua kandung dari saudara kandung tidak menguasai secara fisik keseluruhan dari harta warisan tersebut di atas, tetapi hanya menerima dan menguasai hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan kemudian
hak tersebut dialihkan kepada isteri dan/atau anak-anak yang ditinggalkan oleh pewaris untuk dikuasai secara penuh. Biasanya dalam hal ini, harta warisan tersebut langsung diatasnamakan kepada anak-anak yang ditinggalkan oleh pewaris dan isteri hanya diberi hak untuk menikmatinya. Untuk anak-anak yang masih di belum dewasa, maka hak anak tersebut di bawah kekuasaan ibunya dan akan dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk keperluan anak yang belum dewasa tersebut dan akan diserahkan kepada anak tersebut pada saat dia telah dewasa kelak. 75 Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan: Dalam hal diperlukannya tindakan hukum atas harta kekayaan anak di bawah umur, dapat dilangsungkan melalui lembaga perwakilan menurut undangundang berdasarkan kekuasaan orang tua (ooderljke macht) atau perwalian yang ditetapkan pengadilan kepada salah seorang dari kedua orang tuanya (voogd) atau perwalian menurut undang-undang oleh pihak lain (wettelijke voogdij). Akan tetapi, kekuasaan perwakilan atau perwalian tidak boleh digunakan untuk memindahtangankan, mengalihkan, atau membebankan harta kekayaan anak di bawah umur, kecuali dalam hal kepentingan si anak menghendaki. 76 Selain cara yang tersebut di atas, berdasarkan adat Tionghoa, biasanya untuk mencegah timbulnya perselisihan di antara anak-anak di kemudian hari atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, maka apabila harta warisan yang ditinggalkan lebih dari satu, maka harta warisan tersebut, setelah haknya dikuasai oleh orangtua kandung dan saudara-saudara kandung dari pewaris, maka mereka akan memberikan hak tersebut dalam bentuk hibah langsung atas nama anak-anak dan pewaris. Pada umumnya, berdasarkan adat Tionghoa, untuk anak perempuan akan 75
Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya belum kawin. 76 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, hal. 32.
diberikan uang tunai dan/atau perhiasan, karena mereka nantinya setelah menikah akan menjadi keluarga orang lain, sehingga mereka dapat membantu diri mereka sendiri apabila kelak mengalami kesusahan di kemudian hari. Sedangkan untuk anak laki-laki selaku penerus nama keluarga dari pewaris, biasanya akan diserahkan rumah dan usaha-usaha yang ditinggalkan pewaris sebagai bentuk tanggung jawab bagi anak-anak untuk meneruskan usaha dan mempertahankan harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Semua penyerahan hak tersebut, baik dalam bentuk hibah maupun hal lainnya biasanya dilakukan secara notariel untuk menjamin kepastian hukum bagi peristiwa hukum tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1126 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dipahami bahwa dalam hal meninggalnya seorang pewaris, tiada ahli waris yang sah yang menuntut maupun ahli waris menolak harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, maka harta peninggalan dari pewaris dianggap sebagai warisan yang tidak terurus. Untuk menjaga kepentingan umum dan demi tercapainya kepastian hukum atas harta peninggalan dari pewaris, maka harta peninggalan tersebut dikuasai dan diurus oleh Negara. Pengaturan harta di atas, sesuai dengan ketentuan Pasal 1127 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, bahwa yang sah menurut hukum untuk melaksanakan pengurusan atas harta peninggalan yang tidak terurus adalah Balai Harta Peninggalan dan pada sejak saat mulai pengurusan, Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Pemberitahuan secara tertulis dari Balai Harta Peninggalan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat adalah bersifat mutlak. Jika terjadi perselisihan antara negara
mengenai status dan hak sepenuhnya diserahkan kepada Pengadilan Negeri setempat maupun atas usulan dari Kejaksaan dapat memutuskan harta peninggalan tersebut dianggap sebagai harta peninggalan yang tak terurus atau tidak tanpa berdasarkan pertimbangan dari Pengadilan Negeri atau Kejaksaan setempat tanpa melalui proses peradilan. Mengenai kewajiban-kewajiban Balai Harta Peninggalan dalam pengurusan harta peninggalan yang tidak terurus dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan: a. Balai harta peninggalan, setelah mengadakan penyegelan yang dianggap perlu, wajib untuk mengadakan pemerincian harta peninggalan itu, dan mengurusnya serta membereskannya. b. Balai itu wajib untuk melacak para ahli waris, dengan cara memasang panggilan melalui surat-surat kabar resmi, atau dengan cara lain yang lebih tepat. c. Balai itu harus bertindak dalam pengadilan mengenai tuntutan-tuntutan hukum yang telah diajukan terhadap harta peninggalan itu, dan menjalankan serta melanjutkan hak-hak dari orang yang telah meninggal itu, dan memberikan perhitungan mengenai pengurusannya kepada orang yang seharusnya melakukan perhitungan itu. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Balai Harta Peninggalan, jika dianggap perlu berkewajiban untuk menyegel, melakukan pendaftaran dan mengurus serta menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris. Selain itu, Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk memasang panggilan-panggilan di suratkabar umum setempat maupun dengan melakukan
panggilan-panggilan lain yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya ahli waris yang secara hukum berhak atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris. Balai Harta Peninggalan juga bertindak mewakili kepentingan dari para ahli waris yang sah sebagai pengurus harta peninggalan dari pewaris di depan Hakim apabila ada tuntutan hukum yang diajukan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap harta peninggalan tersebut dan juga memberikan perhitungan-perhitungan atas biaya yang telah dikeluarkan dalam pengurusan harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang dapat membuktikan haknya kelak. Pasal 1129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: jika setelah lewatnya waktu tiga tahun, terhitung mulal terbukanya warisan, tidak seorang warispun memajukan diri, maka perhitungan penutup harus dilakukan kepada Negara, sedangkan Negara akan berkuasa sementara menguasai harta peninggalan. Dalam hal tenggang waktu, Pasal 1129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan tenggang waktu selama tiga tahun terhitung sejak pewaris meninggal dunia kepada para ahli waris untuk memajukan tuntutan mereka sebagai ahli waris yang sah menurut hukum, dimana apabila lewat waktu tiga tahun belum ada seorang ahli warispun yang memajukan diri mereka untuk menuntut atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, maka Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk melakukan perhitungan penutup kepada Negara atas harta peninggalan dari pewaris tersebut dan kemudian harta peninggalan tersebut dikuasai oleh Negara. Dalam hal pewaris yang meninggal dunia tersebut perkawinannya tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan pewaris juga merupakan anak yang lahir dari
suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, maka dalam hal ini, apabila ibu kandung dari pewaris telah meninggal dunia, pewaris tidak mempunyai hubungan hukum dengan saudara kandungnya maupun dengan isteri dan anak-anaknya dan dianggap tidak ada ahli waris yang sah dari pewaris. Dalam hal ini, besar kemungkinan harta warisan yang ditinggal oleh pewaris akan dikuasai oleh Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 1126 sampai dengan pasal 1130 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang harta peninggalan yang tidak terurus. Berdasarkan ketentuan Pasal 1126 sampai dengan Pasal 1130 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, bahwa harta peninggalan pewaris dapat dikuasai oleh Negara dalam hal pada saat terbukanya warisan, tidak adanya ahIi waris yang sah secara hukum, sehingga untuk menjaga ketertiban umum serta menjaga kepentingan dari pihak ketiga, Balai Harta Peninggalan yang berwenang untuk melakukan pengurusan terhadap harta peninggalan tersebut. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi apabila pewaris lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, kemudian ssetelah dia dewasa dan menikah juga tidak dicatatkan, sehingga dalam hal ini hukum memandang perkawinan tersebut tidak pernah ada, sehingga tidak adanya hubungan hukum antara pewaris dengan ahli waris kelas satu, kelas dua. Dengan tidak adanya ahli waris kelas satu dan kelas dua, maka otomatis pula tidak akan ada ahli waris kelas tiga dan seterusnya ke bawah. Tentu saja hal ini sangat merugikan bagi keluarga dari pewaris yang seharusnya berhak menjadi ahIi waris yang sah apabila perkawinan tersebut dicatatkan di Dinas Kependudukan di wilayah hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilaksanakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber dari Balai Harga Peninggalan dinyatakan proses pencatatan perkawinan perlu dilakukan karena ini menyangkut keabsahan hukum, bahkan hingga keturunannya. Apabila perkawinan dicatatkan maka akan timbul kaitannya warisan. Akta catatan sipil tentang pencatatan perkawinan merupakan suatu bukti formal oleh Balai Harta Peninggalan. Akan tetapi perkawinan agama Konghucu sama sekali tidak pernah Balai Harta Peninggalan menanganinya. Maka Balai Harta Peninggalan menyarankan bahwa apabila agama Konghucu telah ditetapkan sebagai agama, alangkah baik apabila Majelis-Majelis agama Konghucu melakukan terobosan hukum dengan membuat sebuah hukum waris agama Konghucu, jangan dipakai produk lama. 77
77
Wawancara dengan Bapak Syuhada, SH., M.Hum., Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan, tanggal 25 November 2009 di Medan.
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI MASALAH PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG BELUM DICATATKAN A. Sekilas tentang Lembaga Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan 1. Sejarah Berdirinya Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Lembaga Catatan Sipil atau yang dikenal dengan nama Burgerlijke Stand, sebenarnya sudah dikenal sejak lama, yaitu pada waktu sebelum revoluasi Perancis. Waktu itu dikenal adanya register-register untuk mencatat peristiwa-peristiwa kelahiran, perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi keadaan pada waktu itu masih belum selengkap dan setertib sekarang ini, sehingga sering menimbulkan kekisruhan. Keadaan berubah dengan dibentuknya Undang-Undang tentang Catatan Sipil tanggal 20 September 1792, dengan mana pemerintah-pemerintah Kotapraja yang ditugaskan mengadakan daftar-daftar, dalam mana yang harus dicatat kelahiran, perkawinan dan kematian para warga Kotapraja itu, sedang badan-badan atau orang-orang lain dilarang melakukan pekerjaan itu. 78 Peraturan tentang catatan sipil pertama kali dimuat dalam Code Civil Perancis, yaitu dalam Buku I Bab II, Pasal 34 sampai dengan Pasal 101 Code Civil 79 . Karena pada waktu itu negara Belanda merupakan salah satu negara jajahan Perancis, maka atas dasar konkordansi aturan-aturan hukum yang berlaku di Perancis, juga berlaku di Belanda termasuk di dalamnya aturan-aturan tentang catatan sipil. Di 78 79)
Lie Oen Hock, Catatan Sipil di Indonesia, Keng Po, Jakarta, 1961, hal. 2. Ibid., hal. 3.
negara Belanda aturan-aturan tentang catatan sipil dimuat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Belanda, yaitu dalam Buku I Bab III yang terdiri tidak kurang dari 61 pasal yang dibagi dalam 7 (tujuh) bagian. 80 Di Indonesia sendiri Lembaga Catatan Sipil itu mulai dikenal sejak tahun 1848, yaitu sejak mulai berlakunya Burgerlijk Wetboek di Hindia Belanda (tanggal 1 Mei 1848). 81 Peraturan-peraturan catatan sipil dimuat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
16
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
Indonesia,
dan
aturan
perlaksanaannya dimuat dalam Staatblaad 1849 Nomor 25. Pada waktu itu peraturan tentang catatan sipil dimaksudkan untuk kepentingan orang-orang Eropah, khususnya orang Belanda yang ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada saat itu di Indonesia dikenal adanya penggolongan penduduk ke dalam tiga golongan. Karena perkembangan kebutuhan sosial masyarakat maka penguasa pada waktu itu menganggap perlu memperluas berlakunya aturan tentang catatan sipil bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, lembaga catatan sipil merupakan lembaga Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat dari wewenang untuk mengangkat dan menunjuk pegawai catatan sipil maupun dalam hal menentukan aturan-aturan hukum bagi penyelenggaraan pencatatan sipil. Dalam kedua hal tersebut kewenangan itu ada di tangan Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi di Hindia Belanda (Wakil Kerajaan Belanda). Pegawai-pegawai Pangreh Praja yang ditunjuk sebagai pelaksana
80 81
Ibid., hal. 4. Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, Noor Komala, Jakarta, 1962, hal. 80.
tugas catatan sipil, melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal (Pemerintah Pusat). Setelah Indonesia merdeka, sudah tentu keadaan-keadaan dalam tata hukumpun mengalami perubahan sesuai dengan sifat negara yang merdeka dan berdaulat.
Di
bidang
catatan
sipil,
perubahan
baru
nampak
dalam
hal
kelembagaannya. Dalam hal ini penyelenggaraan urusan catatan sipil tetap merupakan urusan dari pemerintah pusat yang penyelenggaraannya diserahkan kepada daerah atas dasar tugas pembantuan. Pada mulanya urusan penyelenggaraan catatan sipil ada di tangan Kepala
Daerah
Provinsi,
akan
tetapi
dalam
perkembangan
selanjutnya
penyelenggaraan catatan sipil sudah ada di tiap Daerah Kabupaten/ Kota. Perkembangan yang merupakan era baru bagi Lembaga Catatan Sipil adalah ditetapkannya Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966. Dalam Instruksi tersebut yang sangat penting dicatat adalah terbukanya Lembaga Catatan Sipil bagi seluruh rakyat Indonesia serta adanya penghapusan penggolongan penduduk di Indonesia. Dengan berlakunya Instruksi tersebut, di Indonesia hanya dikenal Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Dengan berlakunya Instruksi tersebut merupakan awal tumbuhnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya Lembaga Catatan Sipil sebagai lembaga yang mampu memberikan kepastian hukum atas peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Catatan Sipil pada zaman Hindia Belanda yang hingga saat ini masih berlaku adalah:
a. Reglemen Catatan Sipil untuk golongan Eropah dan mereka yang hukumnya dipersamakan dengan hukum yang berlaku pada golongan Eropah, diatur dalam Staatsblad 1849 No.25. Mengenai kelahiran diatur dalam Pasal 37-53. b. Reglemen Catatan Sipil untuk golongan Cina, diatur dalam Staatsblad 1917 No.130. Mengenai kelahiran diatur pada Pasal 50-66. c. Reglemen Catatan Sipil untuk penduduk Indonesia Asli di Jawa dan Madura diatur dalam Staatsblad 1920 No.751 jo Staatsblad 1927 No.564. Mengenai kelahiran diatur pada Pasal 29-37. d. Reglemen Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia Nasrani diatur dalam Staatsblad 1933 No.75. Mengenai kelahiran diatur pada pasal 35-43. e. Daftar-daftar Catatan Sipil untuk perkawinan campuran, diatur dalam Staatsblad 1904 No.279. 82 Dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 yang antara lain menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman serta Kantor Catatan Sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan-penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., maka Kantor-kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Sebagai bahan pertimbangan dikeluarkannya Instruksi Presidium tersebut adalah masih berlakunya penggolongan penduduk yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perjuangan dan martabat bangsa Indonesia. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan, maka untuk mempertegas tugas dan wewenang dari lembaga Catatan Sipil dalam hal pencatatan perkawinan, perceraian, ditetapkan Keputusan 82
hal. 81.
Tjokrowisasto, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, Bina Aksara, Jakarta,
Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 1 Sub a dari Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut antara lain ditentukan, bahwa sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Catatan Sipil yang bersifat nasional, maka pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan di Kantor Catatan Sipil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bagi mereka yang pencatatan perkawinannya dilakukan berdasarkan: a. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropah, Staatsblad 1849-25 b. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Timur Asing Tionghoa, Staatsblad 1917130 jo Staatsblad 1919-81 c. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia Staatsblad 1933-75 jo Staatsblad 1936-607. d. Ordonansi Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran, Staatsblad 1904-279. e. Mereka yang tidak tunduk kepada Ordonansi tersebut dan mereka yang tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, yaitu Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001, dikeluarkanlah Keputusan Walikota Medan Nomor 60 Tahun 2001 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan Kota Medan. “Pembentukan Dinas Kependudukan Kota Medan
bertolak dari adanya kebutuhan untuk memberi solusi bagi persoalan kependudukan di Kota Medan. Untuk itu maka Dinas Kependudukan harus dapat berperan sebagai penyedia informasi kependudukan yang akurat, terpercaya dan terkini”.
2. Tujuan Pembentukan Dinas Kependudukan Tujuan pembentukan Dinas Kependudukan antara lain adalah: a. Untuk memungkinkan pencatatan yang selengkap-lengkapnya dan oleh karenanya memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seseorang, semua kejadian-kejadian itu dibukukan, sehingga orang yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang kejadian-kejadian tersebut. 83 b. Untuk menghimpun data-data mengenai status perorangan, untuk hal mana kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia dibukukan, misalnya kelahiran, kematian dan lain-lain. 84 c. 1. Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik. 2. Memperlancar aktivitas pemerintah di bidang kependudukan. 3. Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat,
misalnya
kelahiran,
perkawinan,
perceraian,
pengakuan,
kematian dan lainnya. 85
83
R. Entah Aloysius, Hukum Perdata (Suatu Studi Perbandingan Ringkas), Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 114. 84 R. Soeroso, Op. Cit., hal. 156. 85 Ibid., hal. 156.
3. Fungsi Dinas Kependudukan Fungsi lembaga Catatan Sipil (sekarang Dinas Kependudukan) di dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 telah ditentukan, bahwa Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan) mempunyai fungsi menyelenggarakan: a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian d. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian f. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan dan akta pengesahan anak dan akta kematian. g. Penyediaan
bahan
dalam
rangka
perumusan
kebijaksanaan
di
bidang
kependudukan atau kewarganegaraan.
4. Kegunaan Akta-Akta Catatan Sipil (Dinas Kependudukan) Kegunaan akta catatan sipil dapat dilihat dari beberapa pengertian catatan sipil dari beberapa pendapat para sarjana berikut ini: Lie Oen Hock mengemukakan, Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan serta pembukuan yang selengkaplengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberikan kepastian hukum yang sebesarbesarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan dan kematian. 86
86
Lie Oen Hock, Op. Cit., hal. 1.
Victor M. Situmorang berpendapat, Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintahan yang berfungsi untuk mencatat mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, ganti nama. 87 Menurut Departemen Kehakiman, pengertian Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan kematian dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status warga masyarakat dapat diketahui. 88 Dari pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa seluruh peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang mempunyai aspek hukum didaftarkan dan dibukukan sehingga baik yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang otentik tentang peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga memberikan kepastian hukum kedudukan seseorang. Apabila dilihat dari hukum Administrasi Negara, pengeluaran akta-akta oleh Catatan Sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang/berhak melakukan perbuatan administrasi negara, berupa ketetapan yang berbentuk akta Catatan Sipil dari peristiwa-peristiwa yang dilaporkan akta lembaga tersebut, yang pada prinsipnya memenuhi sifat-sifat konkrit, individual, formal dan final.
87)
Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 13. 88 Departemen Kehakiman dalam Nico Ngani, Op. Cit., hal. 6.
Dengan demikian, kegunaan akta-akta Catatan Sipil dalam kehidupan masyarakat adalah: a. Sebagai alat bukti paling kuat (akta otentik) dalam menentukan kedudukan hukum seseorang tentang kejadian mengenai kelahiran, perkawinan, pengakuan dan pengesahan anak, perceraian dan kematian. b. Dipergunakan sebagai tanda bukti yang otentik dalam pengurusan paspor, KTP, keperluan sekolah, bekerja, menentukan ahli waris dan sebagainya. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum/pejabat publik yang mempunyai kompetensi untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Selanjutnya Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa, suatu akta otentik dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi para pihak berikut para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
B. Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Belum Dicatatkan. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan di Catatan Sipil agar perkawinan itu sah menurut peraturan perundang-undangan di Negara Indonesia, sehingga terhindar dari akibat hukum baik hubungan antara suami isteri maupun hubungan hukum keperdataan antara suami dan isteri dan anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu bagi pihak Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam hal ini yang beragama Konghucu harus mencatatkan setiap perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai agama dan kepercayaan Konghucu tersebut. Tanggung jawab suami isteri sebagai orangtua terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan juga menimbulkan akibat negatif apabila dalam hal ini orangtua, terutama seorang suami dan/atau ayah mempunyai mental yang buruk dan tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada isteri maupun anak-anaknya, maka dalam hal ini tidak ada sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada suami dan/atau ayah yang tidak memenuhi tanggung jawabnya tersebut. Isteri dan anak-anak mempunyai kedudukan hukum yang lemah, karena secara hukum perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain, seorang suami dan/atau ayah tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan isteri maupun anak-anaknya, sehingga apabila tanggung jawab sebagai seorang suami dan/atau seorang ayah tidak dilaksanakan, baik sebahagian maupun seluruhannya, maka isteri dan anak-anaknya tidak dapat menuntut secara hukum kepada suami dan/atau ayahnya, karena memang secara hukum, perkawinan dipandang tidak pernah terjadi, karena tidak adanya bukti otentik yang dapat membuktikan telah terjadinya suatu perkawinan. Hal ini tentu sangat merugikan bagi isteri dan/atau anak-anak. Ini merupakan akibat negatif yang timbul dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu perlu adanya upaya suami isteri dalam suatu perkawinan selain tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari juga
harus dapat bertanggung jawab secara hukum atas perkawinan dengan melakukan pencatatan perkawinan tersebut. Menurut wawancara dengan advokat/pengacara di Kota Medan yang dijadikan narasumber, maka upaya hukum bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk mengatasi perkawinan yang belum dicatat, adalah dengan mematuhi isi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 89 Secara umum pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, maka para pihak yang akan mencatatkan harus melengkapi dokumen persyaratan sebagai berikut: 1. Surat keterangan Belum/Pernah Kawin dari Lurah/Kepala Kampung dan Dilegalisir oleh Camat Setempat. 2. Foto Copy KTP Masing-masing pihak yang dilegalisir oleh Camat Setempat. 3. Foto Copy Kartu Keluarga Orang Tua masing-masing pihak yang dilegalisir oleh Camat Setempat. 4. Foto Copy Akte Kelahiran yang dilegalisir dan menunjukkan aslinya. 5. Foto Copy Surat Baptis/Permandian, Surat Keterangan dari Wihara dilegalisir oleh Pimpinan Agama. 6. Surat Ijin Orang Tua bagi yang belum mencapai usia 21 Tahun. 7. Surat Ijin Pengadilan Negeri bagi :
89
Wawancara dengan Bapak Pantun Situmorang, S.H., Sp.N., Advokat Pengacara di Kota Medan, tanggal 18 Nopember 2009 di Medan.
a. Pria dibawah umur 19 tahun b. Wanita di bawah umur 16 tahun 8. Foto Copy Akte Perceraian / Akta Kematian bagi Suami / Isteri yang sudah pernah menikah menunjukkan aslinya. 9. Surat Dispensasi dari Camat apabila dikenhendaki Pencatatan perkawinan dilaksanakan kurang dari 10 (sepuluh) hari pengumuman. 10. Surat Perjanjian Perkawinan dari Instansi yang berwenang bagi yang menginginkan Pisah Harta. 11. Surat Ijin dari Komandan / Atasan Langsung bagi Anggota TNI / POLRI dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). 12. Pas Photo Gandeng (Foto Bersama) Ukuran 6 x 4 cm Hitam Putih / Warna sebanyak 3 lembar. 13. Akta Kelahiran Anak Luar Nikah yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan. 14. Surat Pengakuan Bersama 15. Imunisasi TT (Toksoid) dari dokter Puskesmas/Rumah Sakit untuk calon isteri. 16. Surat Bukti Kewarganegaraan a. Warga Negara Indonesia Keturunan 1) SKBRI 2) Surat Keterangan ganti nama dari Instansi berwenang 3) Foto Copy Akta Perkawinan Orang Tua (Asli dibawa serta) b. Warga Negara Asing 1) Foto Copy STMD ( Surat Tanda Melapor Diri) Asli dibawa serta
2) Foto Copy SKK (Surat Kterangan Kependudukan) Asli dibawa serta. 3) STP (Surat Tanda Pendaftaran) 4) KIMS (Kartu Ijin Menetap Sementara) 5) Pajak Bangsa Asing 6) Surat Keterangan dari Kedutaan / Konsul 7) Paspor 8) Foto Copy Surat Ijin dari Depnaker bagi tenaga kerja asing 9) Surat Keterangan dari perusahaan tempat kerja. Para pihak yang akan mencatatkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil harus melengkapi terlebih dahulu dokumen persyaratan sesuai kriteria yang telah ditentukan di atas. Kemudian dalam pencatatan perkawinan selanjutnya diatur dengan Peraturan Daerah masing-masing, di mana untuk pencatatan perkawinan di Kota Medan diatur dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 18 Tahun 2002
Tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk) Dan Akta Catatan Sipil Di Kota Medan. (selanjutnya ditulis Perda Kota Medan No.18/2002) Persyaratan pencatatan perkawinan sesuai Pasal 32 ayat (2) Perda Kota Medan No.18/2002, antara lain: a. Surat keterangan dari kepala kelurahan b. Surat pemberkatan perkawinan
c. Akta kelahiran calon mempelai pria/wanita d. Akta perceraian bagi yang pernah cerai hidup e. Akta kelahiran isteri/suami bagi duda/janda yang cerai mati f. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi Warga Negara Indonesia keturunan asing. g. Izin rekomendasi dari kedutaan atau perwakilan Negara yang bersangkutan bagi Warga Negara Asing h. Dokumen imigrasi bagi Warga Negara Asing Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber pada Dinas Kependudukan Kota Medan, tata cara dan dokumen persyaratan yang harus dilengkapi khusus untuk Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu untuk mencatatkan perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Para pihak atau suami isteri yang sudah melangsungkan perkawinan datang ke Dinas Kependudukan, dengan dokumen persyaratan: a. Untuk agama Buddha, dokumen persyaratannya adalah: 1) Surat Keterangan Lurah (kalau belum 1 KK, ambil masing-masing) 2) Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan isteri. 3) Foto Copy Kartu Keluarga suami dan isteri. 4) Foto Copy Akta Lahir suami dan isteri. 5) Foto Copy Warga Negara Indonesia/SBKN suami dan isteri. 6) Surat telah melangsungkan perkawinan dari Vihara 7) Pas Photo 4 x 6 sebanyak 2 lembar.
b. Sedangkan untuk agama Konghucu, pada dasarnya dokumen persyaratannya adalah sama hanya saja berbeda dalam hal surat keterangan kawin, kalau untuk agama Buddha surat kawin dari Vihara, maka untuk agama Konghucu surat kawin adalah dari Ketua/Pendeta Majelis Konghucu. 2. Apabila berkas sudah lengkap dan sesuai prosedur, maka penandatangan Buku Register dan sidang wawancara dapat dilakukan 10 hari setelah pendaftaran. 90 Pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan maka bagi para pihak akan dikenakan biaya atau retribusi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 44 Perda Kota Medan No.18/2002, dengan nama retribusi penyelenggaraan
pendaftaran
penduduk
dalam
kerangka
System
Informasi
Manajemen Kependukan (SIMDUK) dan akta catatan sipil dipungut penggantian biaya cetak. Objek Retribusi adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah daerah berupa pengadaan/pembuatan akta catatan sipil biaya cetak kartu tanda penduduk, akta catatan sipil dan surat-surat keterangan kependudukan lainnya. Sedangkan yang menjadi Subjek retribusi adalah orang pribadi yang menerima pelayanan yang disediakan pemerintah daerah berupa perolehan pemanfaatan kartu tanda penduduk, Akta Catatan Sipil atau Surat-surat Keterangan Kependudukan Lainnya (Pasal 45 dan Pasal 46 Perda Kota Medan No.18/2002).
90
Wawancara dengan Ibu Elly Novita, SE., Staf Dinas Kependudukan Kota Medan, tanggal 20 November 2009 di Medan.
Adapun besarnya biaya/retribusi untuk pencatatan perkawinan untuk, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 huruf r Perda Kota Medan No.18/2002, adalah sebagai berikut: a. Untuk Warga Negara Indonesia 1.
Didalam kantor sebesar ........................................................
Rp. 25.000
2. Diluar kantor sebesar ............................................................
Rp. 40.000
3. Kutipan akta perkawinan (satu set untuk suami dan isteri) sebesar 1 (satu) set untuk suami isteri ..................................
Rp. 20.000
b. Untuk Warga Negara Asing 1.
Didalam kantor sebesar.........................................................
Rp. 50.000
2. Diluar kantor sebesar ............................................................
Rp. 100.000
3. Kutipan akta perkawinan (satu set untuk suami dan isteri) sebesar 1 (satu) set untuk suami isteri. ..................................
Rp. 30.000
Biaya pencatatan perkawinan yang melebihi jangka waktu satu bulan sejak tanggal pengesahan perkawinan menurut agama: a. Untuk Warga Negara Indonesia 1. Didalam kantor sebesar .........................................................
Rp. 40.000
2. Diluar kantor sebesar ............................................................
Rp. 60.000
b. Untuk Warga Negara Asing 1. Didalam kantor sebesar..........................................................
Rp. 100.000
2. Diluar kantor sebesar ............................................................
Rp.200.000
Biaya kutipan sebesar akta perkawinan kedua dan seterusnya: a. Untuk Warga Negara Indonesia (satu set untuk suami isteri) sebesar Rp. 20.000 b. Untuk Warga Negara Asing (satu set untuk suami isteri) sebesar
Rp. 40.000
Selanjutnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang telah melaksanakan perkawinannya menurut hukum adat dan agamanya tetapi belum mencatatkan perkawinannya dan telah dilahirkan anak, maka jika ingin mencatatkan perkawinan mereka, sebaiknya turut disertai dengan Pengesahan Anak. Dengan adanya pencatatan perkawinan sekaligus juga diikuti dengan Pengesahan Anak, maka secara otomatis anak-anak yang lahir sebelum perkawinan dicatatkan disahkan menjadi anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk pencatatan perkawinan itu adalah sama dengan persyaratan pencatatan perkawinan biasa sebagaimana tersebut di atas. Apabila pencatatan perkawinan tersebut diikuti dengan pengesahan anak, maka persyaratan tambahan adalah akta kelahiran anak-anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Perda Kota Medan No.18/2002 biaya pencatatan pengesahan anak Warga Negara Indonesia adalah sebesar Rp. 35.000, (tiga puluh lima ribu rupiah), demikian juga biaya kutipan akta pengakuan anak keduanya dan seterusnya adalah sama. Jangka waktu proses dan bentuk akta sama dengan akta perkawinan biasa. Perbedaannya adalah dalam proses Pengesahan Anak, di mana untuk Pengesahan Anak di Dinas Kependudukan, akta kelahiran yang sebelumnya tercantum hanya sebagai anak ibu, kemudian distempel dan dinyatakan telah diikuti pencatatan perkawinan dengan menerakan nomor serta tanggal akta perkawinan orangtuanya,
lalu di dalamnya juga turut dicantumkan nama ayah dan ibu dari anak tersebut. Dengan adanya pengesahan anak ini, maka akan membawa akibat hukum, status anak menjadi anak yang disahkan dan dianggap dilahirkan dalam suatu perkawinan yang telah dicatatkan, serta di dalam akta kelahiran anak tersebut juga telah dicantumkan nama ayahnya, walaupun pada kenyataannya anak tersebut telah lahir sebelum perkawinan orangtuanya dicatatkan. Tujuan pencatatan kelahiran anak adalah untuk: a. Memberikan, menetapkan dan memastikan kedudukan hukum setiap orang. b. Mencapai tertib administrasi penduduk c. Mewujudkan perasaan aman dan ketenteraman dalam masyarakat. Di samping kurangnya pemahaman masyarakat tentang pencatatan kelahiran, masyarakat juga kurang memahami aspek perlindungan anak pada pencatatan kelahiran. Mereka hanya mengetahui kebutuhan anak pada masa sekarang, sedangkan masa depan anak belum terpikirkan. Seperti halnya bahwa pada masa si anak berumur dari nol tahun sampai keempat atau lima tahun belum terasa kegunaan pencatatan kelahiran. Mereka hanya beranggapan, bahwa bila anak mau sekolah, baru diurus akta kelahiran. Pendaftaran pencatatan kelahiran baru dilakukan saat si anak mau memasuki bangku sekolah. Dari sini dapat diketahui, bahwa orang tua kurang memahami aspek perlindungan anak. Bila anak berumur sampai empat atau lima tahun belum mempunyai akta karena orang tua anak, tidak melakukan pencatatan Kantor Catatan Sipil. Tetapi dalam hal ini orang tua anak, tidak dapat disalahkan seratus persen karena sebenarnya kesalahan juga ada pada pihak-pihak yang berkompeten, yaitu lembaga-lembaga yang berkaitan dengan catatan sipil. Karena
sebagaimana diketahui, masyarakat masih banyak yang buta hukum, atau tidak memahami peraturan-peraturan yang berlaku baginya sebagai warga negara. Masyarakat masih banyak belum mengerti hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 91 Dalam hal suatu perkawinan yang belum dicatatkan dan telah lahir anak, maka apabila pada saat pencatatan perkawinan tidak diikuti dengan Pengesahan Anak, maka akan membawa akibat hukum status anak tersebut tetap dipandang dilahirkan di luar dari perkawinan yang dicatatkan tersebut. Anak tersebut tetap sebagai anak ibunya saja dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja, serta tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan ayahnya. Untuk Pengesahan Anak, setelah perkawinan orangtuanya dicatatkan dan tidak diikuti dengan Pengesahan Anak, maka pada akhirnya pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Tentu saja hal ini memakan waktu dan biaya yang lebih besar. Akibat kelalaian dalam pendaftaran pencatatan perkawinan tersebut. Dengan demikian dari pembahasan di atas bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan agar para pihak terhindar dari akibat hukum karena batalnya perkawinan itu secara hukum.. Namun demikian masih ada masyarakat agama Konghucu yang tidak mencatatkan atau enggan untuk mencatatkan perkawinannya ke Dinas Kependudukan, baik itu pada masyarakat agama Konghucu ekonomi menengah ke bawah maupun pada ekonomi menengah ke atas.
91
Iman Jauhari, (editor) Adem Panggabean, Op. Cit., hal. 120-121.
Faktor keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini menjadi salah satu masalah yang sampai saat masih terjadi dalam masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya diakibatkan karena adanya anggapan masyarakat etnis Tionghoa tetap berpegang teguh kepada adatnya dan menganggap perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa, maka perkawinan tersebut dianggap tetap sah walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Dengan kata lain, fenomena sosial yang timbul jelas bukan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya faktor ekonomi, akan tetapi lebih cenderung timbul diakibatkan oleh karena sikap pandang masyarakat etnis Tionghoa yang enggan untuk mencatatkan perkawinan mereka yang tanpa mereka sadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan bagi mereka dan keluarga kelak. Selain itu, cara pandang di atas bahwa perkawinan yang sudah dilangsungkan secara adat Tionghoa tersebut adalah sudah sah, maka faktor lain yang membuat keengganan masyarakat Tionghoa untuk mencatatkan perkawinan karena pencatatan itu merupakan proses (birokrasi) yang berbelit-belit. Demikian juga mengenai ketentuan biaya pencatatan perkawinan. Di mana, ketentuan biaya pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Daerah Kota Medan No.18/2002 di atas adalah relatif murah, yaitu hanya sebesar Rp. 20.000,- s/d Rp. 40.000,-. Akan tetapi dalam kenyataannya biaya pencatatan perkawinan ini mencapai total Rp. 650.000,- terjadi perbedaan yang sangat menyolok, sehingga besarnya biaya pencatatan perkawinan ini juga menjadi alasan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu enggan untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil atau Dinas
Kependudukan Kota Medan. Kemudian juga jangka waktu pengurusan yang lama seharusnya hanya dalam jangka waktu satu minggu sudah ditandatangani dan satu minggu kemudian dapat diambil namun dalam pelaksanaannya sampai dengan satu bulan juga belum selesai.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah terkait dengan pemeluk agama Konghucu yang telah diakui sebagai agama menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 namun masih terjadi penolakan dari Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan untuk mencatatkan perkawinan sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang tidak tegas mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Padahal Pemerintah belum pernah mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pengakuan agama Konghucu tersebut, dan juga melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008 agama Konghucu telah masuk sebagai kurikulum mata pelajaran di sekolah di Indonesia. 2. Akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan menurut hukum Indonesia yang berlaku adalah tidak ada hubungan perkawinan antara suami isteri karena dengan tidak dicatatkan maka perkawinan itu tidak pernah terjadi, hanya yang ada hidup bersama, sehingga anak yang lahir dari perkawinan itu secara hukum bukanlah anak yang sah, sehingga tidak ada hubungan keperdataan anak terhadap ayahnya, tetapi hanya hubungan keperdataan kepada ibunya.
3. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan adalah melakukan pencatatan perkawinan dan sekaligus guna melakukan pencatatan pengesahan anak jika pada saat pencatatan perkawinan telah mempunyai anak. Apabila pencatatan perkawinan itu tidak diikuti dengan pengesahan anak, maka status anak tetap menjadi anak di luar perkawinan. Akan tetapi upaya pencatatan perkawinan ini masih menemui kendala karena selain perbedaan penafsiran yang sering dialami agama Konghucu, berbagai faktor keengganan untuk mencatatkan karena adanya cara pandang masyarakat Tionghoa sendiri yang menganggap perkawinan yang sudah dilangsungkan secara adat Tionghoa adalah sudah sah, walaupun tidak dicatatkan ke Dinas Kependudukan, namun negara Indonesia menganggap perkawinan itu tidak sah. Kemudian masalah birokrasi yang berbelitbelit, biaya akta perkawinan yang mahal dan jangka waktu yang lama dalam pelaksanaannya di Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan Kota Medan.
B. Saran 1. Kepada Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) untuk mendesak Pemerintah/Catatan Sipil untuk mengakui atau tidak terjadi penolakan pencatatan perkawinan agama Konghucu, karena telah ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bahwa Konghucu adalah agama yang diakui di Indonesia. 2. Kepada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan untuk memberikan nasihat hukum atau pemahaman kepada pemohon pencatatan perkawinan Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang sudah mempunyai anak untuk sekaligus melakukan pencatatan pengesahan anak, demikian juga mengenai besarnya biaya dan jangka waktu selesainya akta perkawinan dapat diterapkan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan. 3. Kepada masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan kalau mungkin diwajibkan untuk tidak lalai mencatatkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan guna sahnya perkawinan tersebut secara hukum dan tidak berakibat hukum yang merugikan masa depan perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena apabila tidak dicatatkan akan sia-sia upaya kerja keras secara ekonomi untuk kesejahteraan keluarga demi masa depan anak-anak yang dilakukan orangtua Tionghoa selama ini kalau pada akhirnya si anak tidak mempunyai hubungan keperdataan kepada ayahnya.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Afandi, Ali, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Aloysius, R. Entah, Hukum Perdata (Suatu Studi Perbandingan Ringkas), Liberty, Yogyakarta, 1989. Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996. Daliyo, J.B., Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prennahlindo, Jakarta, 2001. Gatra, Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan, edisi 7 Februari 2006, Jakarta. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Harahap, M Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading; Medan, 1975. Hock, Lie Oen, Catatan Sipil di Indonesia, Keng Po, Jakarta, 1961. Jamaluddin, Hukum Perkawinan (Dalam Pendekatan Normatif), Pustaka Bangsa Press, 2009. Jauhari, Iman, (editor) Adem Panggabean, Advokasi Hak-Hak Anak (Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian. CV Mandar Maju, Bandung, 1994. Mertoskusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988. Ngani, Nico, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, Liberty, 1984, Yogyakarta. Podjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan d Indonesia, Penerbit Vorkink-Van Hoeve, Bandung, 1968. Prasetio, Herman, Kebijakan Penggolongan Penduduk Kemerdekaan, Cempaka Karya, Jakarta, 2006.
Indonesia
Pasca
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983. Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1981. Rasjidi, Lili , dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2003. Saleh, K Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta,1976. Seng, Aan Wan, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994. Situmorang, Victor Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, jakarta, 1998. ________, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995. Sugando, Lies, Problematika Penyusunan Rancangan Undang-undang Catatan Sipil, Warta Bangsa, Jakarta, 2007. Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, Noor Komala, Jakarta, 1962. Tjokrowisasto, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, Bina Aksara, Jakarta. Wuisman, J.J.J M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Hisyam). FE UI, Jakarta, 1996.
(Penyunting: M.
B. Makalah, Artikel, Jurnal dan Internet B, K. Ginarti, “Adat Pernikahan”, Majalah Jelajah Vol.3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999. Chandrawila, Wila, “Syarat Sah dan Pencatatan Perkawinan”, archive.com/
[email protected]/info.html.
http://mail-
Irawan, Henry, ”Pembuktian Agama Konghucu Adalah Agama”, http://asia.groups. yahoo.com/group/Junzigroup/message/288.html. Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, PPs – USU, Medan, 2002. Marhadi, Yudi, “Yang Menolak Tidak Memakai Nurani dan Logika”, Sinergi Indonesia, Edisi ke-24/Tahun II/Februari 2005.
Majalah
Nasution, Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003. Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univeristas Airlangga, Surabaya. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Agama Konghucu. Surat Edaran Nomor 52883/A5.1/HK/2008 tanggal 5 September 2008 tentang Penyampaian Salinan Praturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008.