ORIENTASI AKULTURASI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG TINGGAL DI JAKARTA (BERDASARKAN INTERACTIVE ACCULTURATION MODEL)
Clara Moningka dan Steven Wijaya Universitas Bunda Mulia
Abstrak Sebagai warga di Indonesia, keturunan Tionghoa telah mendapatkan perlakuan diskriminatif sejak zaman kolonial. Bentuk diskriminasi berkembang menjadi ketidaksadaran kolektif dan mencapai puncaknya pada kerusuhan Mei 1998 yang berpusat di Jakarta. Penelitian ini ditujukan sebagai landasan pembuatan program intervensi terhadap diskriminasi dengan menggunakan mix methods. Pengukuran orientasi akulturasi menggunakan Interactive Acculturation Scale, focus group discussion dan open ended questionnaire. Sampel penelitian ini adalah keturunan Tionghoa yang berusia 20 – 60 tahun. Hasil penelitian menunjukkan skor 563 untuk orientasi integrationism, skor 471 untuk orientasi separatism, skor 369 untuk individualism, skor 295 untuk assimilationism, dan skor 273 untuk marginalisation. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden lebih menyetujui untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism pada dimensi budaya. Mayoritas sampel setuju untuk melakukan pembauran dengan budaya Indonesia namun tetap mempertahankan budaya asli mereka. Kata Kunci: akulturasi, keturunan Tionghoa, interactive acculturation model
Pendahuluan Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak abad kesembilan, tepatnya pada kerajaan Dinasti Tang (618-907), di mana saat itu banyak orang Tionghoa berdatangan ke Indonesia untuk tujuan berdagang, namun karena faktor jarak dan waktu tempuh yang cukup panjang, banyak dari mereka menetap di Indonesia. Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia sebanyak 1.2% dari jumlah seluruh penduduk yang ada (Badan Pusat Statistik, 2010). Meskipun menjadi kelompok minoritas, namun peranan etnis Tionghoa di Indonesia tidaklah sedikit. Peranan-peranan ini dapat terlihat dari, sekitar 90% perekonomian di Indonesia dikendalikan oleh etnis Tionghoa (Adidharta, 2013). Meskipun sudah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi negeri ini, namun etnis Tionghoa tetap mendapatkan perlakuan diskriminasi dari kelompok pribumi. 94
Diskriminasi tersebut sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda di mana orang Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal, mereka akan dihukum sesuai dengan undang-undang yang sama bagi warga pribumi. Dalam hal dagang, hutang piutang dan harta warisan orang Tionghoa dikenakan peraturan yang digunakan kepada warga Eropa (Pardede dkk, 2002). Perlakuan diskriminasi ini semakin meluas seiring dengan mencuatnya gerakan antikomunis di Indonesia. Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang merupakan kumpulan dari berbagai organisasi Tionghoa dianggap sebagai bagian dari gerakan komunis sehingga perlu diberantas keberadaannya. Secara tidak langsung orang-orang dari etnis Tionghoa yang tidak terlibat dalam Baperki ikut terkena imbasnya (Purdey, 2006). Peristiwa ini kemudian membuat masyarakat pribumi mulai membangun dan memiliki prasangka bahwa semua etnis Tionghoa adalah komunis dan karena prasangka tersebut muncul lah sikap-sikap diskriminasi (Pardede dkk, 2002). Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto identitas orang Tionghoa sebagai warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan diskriminasi, di mana semua WNI Keturunan Tionghoa tidak diperkenankan untuk menggunakan nama Tionghoa, sehingga mereka harus mengubah nama mereka dengan nama barat atau nama Indonesia. Tidak hanya nama Tionghoa yang tidak boleh digunakan, Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa pun diwajibkan untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia yang merupakan kartu identitas tambahan yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah benar merupakan warga negara Republik Indonesia (Gusti, 2010). Perlakuan diskriminasi ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada kerusuhan Mei tahun 1998, yang diawali dengan krisis finansial. Kerusuhan tersebut mengakibatkan banyak properti milik warga negara keturunan Tionghoa dirusak dan dihancurkan oleh massa. Hal yang paling mengerikan adalah banyak ratusan wanita keturunan Tionghoa yang menjadi korban pelecehan seksual sampai korban pemerkosaan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia asli atau pribumi. Sampai saat ini perlakuan diskriminasi yang diterima oleh warga negara keturunan Tionghoa masih terjadi, karena diskriminasi ini sangatlah sulit untuk dihilangkan. Diskriminasi terjadi karena adanya stereotype terhadap seseorang atau kelompok orang. Stereotype itu sendiri akan aktif secara otomatis; tanpa
95
disadari (Bargh, Chartrand, Greenwald & Banaji dalam Sanderson, 2010). Stereotype merupakan hasil dari pembelajaran sosial (Sanderson, 2010). Meskipun sulit untuk dihapuskan, namun diskriminasi masih dapat ditekan dengan menambah jumlah interaksi, memberlakukan kesetaraan, menciptakan identitas yang lebih umum, belajar untuk melihat dari sudut pandang orang lain, dan mempelajari informasi tentang orang lain (Sanderson, 2010). Terlepas dari permasalahan pelakuan diskriminasi yang diterima oleh etnis Tionghoa, akulturasi tetap terjadi. sebagai contohnya kebaya encim di mana sudah terdapat pengaruh dari pakaian khas Betawi, makanan peranakan dan lain sebagainya. Selain dari segi budaya, akulturasi pun terlihat dari segi bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di mana mereka juga menggunakan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, pada keseharian mereka (Coppel, 2003). Hal ini mengindikasikan adanya akulturasi. Berdasarkan fenomena akulturasi yang terjadi diiringi dengan perlakuan diskriminasim peneliti tertarik untuk mengetahui orientasi akulturasi apakah yang terjadi dengan menggunakan acuan dari The Interactive Acculturation Model (IAM), dengan memfokuskan kepada
The
Immigrant
Acculturation
Scale
(IAM)
skala
yang
khusus
diperuntukan untuk melihat sikap akuturasi dari kelompok minoritas.
Etnis Tionghoa Berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan pada tahun 1930, keturunan Tionghoa di Indonesia tersebar di beberapa wilayah seperti: Jawa dan Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan di beberapa pulau lainnya. Namun sebagian besar terdapat di pulau Jawa (Ong dalam Tan, 2008).Tan (2008) menyebutkan bahwa etnis Tionghoa sendiri dibagi menjadi dua berdasarkan asalnya, yakni: Tjina Peranakan dan Tjina Totok (dalam bahasa Jawa berarti: baru, murni). Tjina peranakan ditujukan kepada mereka yang merupakan keturunan dari Tionghoa namun lahir di Indonesia, sedangkan Tjina Totok ditujukan bagi mereka keturunan Tionghoa yang lahir di Tiongkok ataupun mereka yang merupakan pendatang dari Tiongkok langsung.Sedangkan jika berdasarkan segi bahasa, terdapat empat buah bahasa yang digunakan, yakni: Hokkiens (Fnjianese), Hakkas, Cantonese, dan Teochews.
96
Akulturasi Berdasarkan American Psychology Association Dictionary of Psychology (2007), akulturasi adalah sebuah proses pengintegrasian nilai-nilai sosial budaya, ide, kepercayaan, dan perilaku antara budaya asli dengan budaya asing yang terjadi pada individu maupun kelompok. Menurut Bourhis & Carignan (2013), akulturasi merujuk pada proses di mana kebudayaan dari kelompok minoritas dan kelompok mayoritas dipengaruhi dan diubah oleh karena adanya kontak interkultural dan mereka diharapkan untuk melakukan modifikasi pada beberapa aspek kebudayaan mereka masing-masing. Menurut Berry (dalam Bourhis & Montreuil, 2013), akulturasi terjadi pada kedua belah pihak, baik pihak minoritas maupun pihak mayoritas dan hal ini ditujukan agar mereka dapat beradaptasi terhadap keberagaman. Menurut Matsumoto dan Juang (2013) akulturasi adalah sebuah proses bagaimana seseorang mengadopsi budaya yang berbeda dengan budaya asli orang tersebut dan memahami proses dari akulturasi itu sangatlah penting bagi setiap individu dewasa ini karena dengan itu mereka dapat mempertahankan dan menyesuaikan diri di lingkungan mereka yang baru.
The Interactive Acculturation Scale (IAM) Skala pengukuran ini berisikan gambaran mengenai bagaimanakah proses akulturasi yang terjadi pada kelompok nasionalis/warga negara mayoritas, kelompok nasionalis/warga negara minoritas maupun imigran (Bourhis & Montreuil, 2013). Terdapat lima kategori sikap yang terdiri dari: a.
Integration, para kelompok minoritas memandang diri mereka sebagai
invidu yang memiliki dua buah kebudayaan yang mana diperoleh dari kebudayaan asli mereka dan juga hasil adaptasi dari budaya tempat mereka berada dan juga mereka berkeinginan melakukan kontak dalam kelompok maupun di luar kelompok budayanya. b.
Individualism, sama seperti sikap yang terjadi pada kelompok mayoritas
yang mana menandang seorang individu bukan karena dari kelompok mana seseorang itu berasal. Dalam hal ini kelompok minoritas mempertimbangkan nilai-nilai
kebudayaan
dari
kelompok
mayoritas
sebagaimana
kebudayaan aslinya yang akan dijadikan nilai-nilai dalam hidupnya.
97
juga
c.
Assimilationism, kelompok minoritas diharuskan untuk mengadopsi
kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya kurang mereka sukai dari kelompok mayoritas. d.
Separation, adalah sikap yang bertolak belakang dengan prinsip
integrasionism
yang
mana
kelompok
minoritas
akan
berusaha
mempertahankan keaslian dari nilai-nilai budaya mereka tanpa mau diusik oleh kebudayaan dari kelompok mayoritas. e.
Marginalization, adalah sikap acuh dari kelompok minoritas yang mana
mereka tidak mau mempertahankan kebudayaan asli mereka dan juga tidak mau mengadaptasi budaya dari kelompok mayoritas.
Metode Rancangan Penelitian Desain penelitian ini menggunakan strategi metode campuran (mixed method) dengan menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan
guna
memperkaya
perolehan
data.
Dengan
menggunakan
pendekatan psikologi indigenous.
Subyek Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta dengan usia minimal 21 tahun. Total partisipan dalam peelitian ini berjumlah 176 orang, yang terdiri dari 110 laki-laki dan 66 perempuan dengan rentang usia dari 21 sampai dengan 57 tahun.
Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner hasil adaptasi dari skala IAM yang terdiri dari 25 aitem yang terbagi menjadi lima dimensi yaitu culture (budaya),
endogamy/exogamy
(perkawinan),
housing
(tempat
tinggal),
employment (pekerjaan), dan language (bahasa), dan menggunakan skala likert dengan 4 pihan jawaban dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju. Serta menambahkan 2 aitem open ended questionaire (OEQ) yang diperoleh dari hasil focus group discussion (FGD) dalam bentuk pertanyaan terbuka.Nilai
98
reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini diperoleh dengan cara inter-rater dengan meminta dua orang expert judgement untuk melakukan penilaian terhadap kuesioner pada penelitian in, sehingga diperoleh nilai sebesar 0.80 yang mana berdasarkan standar reliabilitas dari Altman yang mana nilai tersebut tergolong baik. Sedangkan validitas dalam penelitian ini diperoleh dengan cara uji content validity, yang 24 aitem dari 25 aitem yang ada dinyatakan valid oleh expert judgement sedangkan hanya satu aitem yang dianggap perlu dilakukan revisi. Hasil & Analisis Hasil yang diperoleh dari kuesioner pada dimensi budaya sebagai berikut: untuk orientasi integrationism sebesar 563 poin, orientasi separatism sebesar 471 poin, individualism sebesar 369 poin, assimilationism sebesar 295 poin, dan marginalisation sebesar 273 poin. Hasil ini berarti mayoritas responden lebih menyetujui untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism pada dimensi budaya yang mana mayoritas setuju untuk melakukan pembauran dengan budaya Indonesia namun tetap mempertahankan budaya asli mereka.
Gambar 1. Grafik Hasil Skor Setiap Orientasi Akulturasi Pada Dimensi Budaya
Akulturasi ϲϬϬ ϱϬϬ ϰϬϬ ϯϬϬ ϮϬϬ ϭϬϬ Ϭ
^ĐŽƌĞ
Pada dimensi pernikahan diperoleh skor sebesar 548 poin untuk orientasi separatism, 485 poin untuk orientasi individualism, 483 poin untuk orientasi integrationis, 295poin untuk orientasi marginalisationdan 287poin untuk orientasi assimilationism.Orientasi separatism memperoleh skor yang lebih tinggi, dengan
99
kata lain mayoritas responden lebih memilih untuk menikah dengan sesama keturunan Tionghoa. Meski demikian, terdapat cukup banyak pula responden yang bersedia untuk memiliki pasangan hidup yang bukan dari etnis Tionghoa. Gambar 2. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Pernikahan
Pernikahan ϲϬϬ ϱϬϬ ϰϬϬ ϯϬϬ ϮϬϬ ϭϬϬ Ϭ
^ĐŽƌĞ
Pada dimensi tempat tinggal diperoleh skor sebesar 532 poin untuk orientasi integrationism, 507 poin untuk orientasi individualism, 484poin untuk orientasiseparatism, 328poin untuk orientasi assimilationismdan 287poin untuk orientasimarginalisation. Orientasi integrationismmemperoleh skor yang lebih tinggi, dengan kata lain mayoritas responden lebih memilih untuk bertempat tinggal di lingkungan yang terdapat etnis Tionghoanya maupun kelompok pribuminya.
Gambar 3. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Tempat Tinggal
Tempat Tinggal ϲϬϬ ϱϬϬ ϰϬϬ ϯϬϬ ϮϬϬ ϭϬϬ Ϭ
^ĐŽƌĞ
100
Pada dimensi employment atau pekerjaan, orientasi yang dominan adalah integrationism dengan skor 544. Hasil ini cukup signifikan perbedaannya dengan orientasi lainnya, seperti: individualismdengan skor yang dihasilkan adalah sebesar 476 poin. Pada orientasi separatism hanya sebesar 426 poin. Orientasi marginalisationdengan skor sebesar 335 poin. Sedangkan untuk orientasi assimilationism mendapatkan poin terendah, yakni sebesar 334. Sehingga hasil pada dimensi ini menunjukkan bahwa responden memilih untuk bekerja dengan rekan yang berasal dari etnis Tionghoa maupun kelompok pribumi. Gambar 4. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Pekerjaan
Pekerjaan ϲϬϬ ϱϬϬ ϰϬϬ ϯϬϬ
^ĐŽƌĞ
ϮϬϬ ϭϬϬ Ϭ /ŶƚĞŐƌĂƚŝŽŶŝƐŵ
/ŶĚŝǀŝĚƵĂůŝƐŵ
^ĞƉĂƌĂƚŝƐŵ
DĂƌŐŝŶĂůŝƐĂƚŝŽŶ ƐƐŝŵŝůĂƚŝŽŶŝƐŵ
Pada dimensi yang terakhir, yakni language atau dimensi bahasa diperoleh hasil bahwa responden lebih mengarah kepada orientasi individualism di mana sebanyak 96 responden lebih menjawab setuju dan 52 lainnya menjawab sangat setuju dengan orientasi individualism pada dimensi languange atau bahasa dan mendapat skor sebesar 547, orientasi integrationism dengan skor sebesar 482 dengan selisih 65 poin, assimilationism sebesar 441 dengan selisih 106 poin, separatism sebesar 378 dengan selisih 169 poin, dan marginalisation sebesar 282 dengan selisih 265.Hal ini menunjukkan bahwa bahasa apa pun yang digunakan tidaklah menjadi masalah karena yang terpenting adalah kepribadian dari orang tersebut.
101
Gambar 5. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Bahasa
Bahasa ϲϬϬ ϱϬϬ ϰϬϬ ϯϬϬ
^ĐŽƌĞ
ϮϬϬ ϭϬϬ Ϭ /ŶĚŝǀŝĚƵĂůŝƐŵ
/ŶƚĞŐƌĂƚŝŽŶŝƐŵ ƐƐŝŵŝůĂƚŝŽŶŝƐŵ
^ĞƉĂƌĂƚŝƐŵ
DĂƌŐŝŶĂůŝƐĂƚŝŽŶ
Pada pertanyaan OEQ yang pertama, diperoleh tema-tema mengenai hubungan sosial antara WNI etnis Tionghoa dengan pribumi, sebagai berikut: 62.50% memberikan gambaran bahwa etnis Tionghoa merasakan adanya hambatan untuk dapat benar-benar membaur atau diterima, karena selalu mengaitkan unsur SARA ketika terjadi perselisihan. Meski demikian, ada beberapa responden yang merasa bahwa mereka merasa sudah diterima dan ada pula yang beranggapan bahwa sikap dari masing-masing individulah yang memberikan pengaruh terhadap proses terjadinya pembauran. Sebanyak 18.75% menggambarkan perlakuan yang didapatkan etnis Tionghoa dalam menjalin hubungan sosial dengan orang pribumi di Jakarta. Perlakuan tersebut berupa penolakan, merasa dimanfaatkan secara ekonomi, sering mendapatkan kekerasan verbal. Namun ada beberapa responden yang berpandangan bahwa perlakuan tersebut bergantung pada status ekonomi dan pendidikan dari warga pribumi, di mana mereka merasa bahwa warga pribumi yang berstatus ekonomi lebih baik dan pendidikan yang tinggi cenderung lebih terbuka dan menerima keberadaan etnis Tionghoa, sebaliknya warga pribumi yang tingkat ekonominya rendah dan tingkat pendidikan yang kurang baik memiliki kecenderungan menolak keberadaan etnis Tionghoa. Sebanyak 5.68% responden memberikan gambaran bahwa warga pribumi memiliki anggapan terhadap keberadan etnis Tionghoa adalah sebuah ancaraman, karena dipandang sebagai bangsa yang hendak merampok kekayaan negeri ini dan kelompok pendatang yang menindas dan mendominasi.
102
Pada hasil pertanyaan OEQ yang kedua mengenai perlu tidaknya akulturasi.
Sebanyak
65.52%
responden
menyetujui
tema
Assimilation/Integrationism, yang mana responden menyatakan bahwa akulturasi perlu dilakukan baik dengan orientasi Assimilationataupun Integrationism. Sedangkan 23.75% responden merasa bahwa hal tersebut tidaklah perlu. Sebesar 2.3% beranggapan bahwa perlu tidaknya itu tergantung dari pribadi masing-masing, jika dirasakan perlu maka berakulturasilah namun jika tidak ya tidak perlu dilakukan dan hal ini berlainan dengan pandangan lainnya yang mana mereka merasa bahwa pandangan tersebut harus berlaku pada semua WNI etnis Tionghoa. Berdasarkan hasil pertanyaan OEQ yang pertama terlihat bahwa warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta lebih banyak yang merasakan perlakuan yang kurang menyenangkan, di mana berdasarkan pernyataan (diskriminasi)
Berry
bahwa
kemungkinan
seseorang akan
yang
sulit
mengalami
untuk
perlakuan
berbaur
dan
buruk
menerima
lingkungannya, dan mungkin akan membuang identitas asli mereka, namun hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan pernyataan tersebut. Kesimpulan Warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk menerima dan ingin berbaur serta menjalankan aspek-aspek yang terdapat di Indonesia, hal ini terlihat pada tiga dari lima buah dimensi akultrasi yakni budaya, tempat tinggal, dan pekerjaan mereka cenderung memilih untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism yang mana berarti mereka hendak menerima aspek-aspek dari Indonesia sekaligus tetap mempertahankan aspek-aspek dari leluhur mereka. Hal ini juga diperkuat oleh hasil dari pertanyaan OEQ yang kedua, di mana sebanyak 60% responden yang menjadi sampel pada penelitian ini menyatakan bahwa pencampuran budaya itu perlu. Hanya pada aspek pernikahan saja di mana orientasi separatism atau penolakan terhadap aspek/pencampuran asing muncul pada warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta. Sedangkan aspek bahasa, mayoritas responden lebih bersikap individualis yang artinya menilai segala sesuatunya berdasarkan pribadi dari masing-masing individu tersebut bukan karena atribut tertentu yang mereka miliki.
103
Daftar Pustaka
American Psychology Association. (2007). APA Dictionary of Psychology (Ed. Vandenbos, G.R.). Washington: American Psychology Association Anastasi, A., & Urbina, S. (2007). Tes Psikologi (7th ed.). Jakarta: PT Indeks.
Berstein, K.S., Park, S.Y., Shin, J., Cho, S., & Park, Y. (2011). Acculturation, Discrimination and Depressive Symptoms Among Korean Immigrants in New York City. Community Ment Health J, 47, 24-34
Berry, J.W., Phinney, J.S., Sam., D.L., Vedder, P. (2006).Immigrant Youth: Acculturation Identity, and Adaptation. Applied Psychology: An International Review, 55 (3), 303-332
Bourhis, R.Y., Barrette, G., El-Geledi, S., & Schmidt, R. (2009). Acculturation Orientation and Social Relation Between Immigrant and Host Community Members in California. Journal of Cross-Cultural Psychology, 20, 10.
Bourhis, R.Y., & Carignan, N. (2013). Materials for: Theme 4. Majority relation with majority comunities: Acculturation, orientations, and social cohesion.
Bourhis, R.Y. & Montruil, A. (2013). Methodological issues related to the Host Community Acculturation Scale (HCAS) and the Immigrant Acculturation Scale (IAS): An update. UQAM Working Paper, Département de Psychologie, Université du Quéabec à Montréal. (Update: January 2013).
Badan Pusat Statistik. (2012). Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Coppel, C.,A. (2003). Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural. Antropologi Indonesia, 71, 13-22.
104
Creswell, J.W. (2009). Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches (3rd ed). In California: SAGE publications. Matsumoto, D. & Juang, L. (2013). Culture and Psychology (5th ed.). Canada: Wadsworth Cengage Learning
Montreuil, A., & Bourhis, R.Y. (2004). Acculturation orientations of competing host communities toward valued and devalued immigrants. International Journal of Intercultural Relations, 28, 507-532.
Narbuko, C., dan Achmadi, H. A. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Poewanto, H.(2005). Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Purdey, J. (2006). Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Honolulu: University of Hawai'i Press.
Sanderson, C.A. (2010). Social Psychology. United States: Wiley.
Sam, D.L., & Berry, J.W. (2006). Acculturation: conceptual background ad core components. Cambridge Handbook of Acculturation.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B.N. (2008). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks
Setiadi, B.N. (2012). Pengantar Psikologi Lintas-Budaya dan Psiklogi Indigenous. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Shiraev, E.B., & Levy, D.A. (2010). Cross-cultural Psychology: Critical Thinking and Contemporary Applications (4th ed.). Boston: Pearson/Ally Bacon.
Setiono, B.G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia
105
Sontosudarmo, A., & Tukiran. (2003). Keragaman Etnis dalam Pengelolaan Wilayah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Spector, P.E. (2008). Industrial and Organizational Psychology (5th Ed.). United States: Wiley Publisher.
Tan, M.G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Website Adidharta, S. (2013). Etnis China Tionghoa Masih Nomor Satu Kuasai Bisnis dan Ekonomi Indonesia.Retrieved from http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/10/04/etnis-china-tionghoamasih-nomor-satu-kuasai-bisnis-dan-ekonomi-indonesia-595596.html
Ahira, A. (n.d.). Peranan Etnis Tionhoa dan Sejarah Kemerdekaan RI. Retrieved from: http://www.anneahira.com/sejarah-kemerdekaan.htm
Daniel. (2012). Saatnya WNI Keturunan Tionghoa Memberi Bukti.Retrieved from: http://politik.kompasiana.com/2012/01/24/saatnya-wni-keturunantionghoa-memberi-bukti-433404.html?ref=signin
Gusti. (2010). SBKRI Masih Diterapkan di Daerah. Retrieved from: http://www.ugm.ac.id/id/berita/2263-sbkri.masih.diterapkan.di.daerah
Jasmeena. (2012). Mereka Turut Mengibarkan Merah Putih: Atlet-atlet Keturunan Tionghoa. Retrieved form: http://mjeducation.co/mereka-turutmengibarkan-merah-putih-atlet-atlet-keturunan-tionghoa/
Kambali, A. (2011). Menelusuri Jejak Tionghoa di Jakarta. Retrieved from: http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/10/menelusuri-jejak-tionghoa-dijakarta-363698.html
106
Medcal. (2014). Inter-rater agreement (kappa). Retrieved from: http://www.medcalc.org/manual/kappa.php
NASW. (2001). NASW Standards for Cultural Competence in Social Work Practice. Retrieved from: http://www.naswdc.org/practice/standards/NAswculturalstandards.pdf.
Prasetijo, A. (2009). Keberagaman Budaya Indonesia. Retrieved from: http://etnobudaya.net/2009/07/24/keberagaman-budaya-indonesia/
Sulistyawati dan Hadi, C.W. (2011). Meneladani Etos Kerja Warga Tionghoa. Retrieved from: http://profsuli.files.wordpress.com/2011/07/meneladanietos-kerja-warga-tionghoa.pdf
Wikipedia. (2014). Tionghoa-Indonesia. Retrived from: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.
Wikipedia. (2014). Tionghoa Benteng. Retrieved from: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa_Benteng.
Yuwanto, L. (2013). Etnis Tionghoa (juga) Penyebar Agama Islam Di Indonesia. Retrieved from: http://www.ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/105/Etnis-Tionghoa-juga--Penyebar-Agama-Islam-di-Indonesia.html
107