PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI
TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh: DEBORA DAMPU B4B 007 044
PEMBIMBING: H. Mulyadi, SH., MS. Yunanto, SH., M.Hum.
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG © Debora Dampu 2009
LEMBAR PENGESAHAN TESIS PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI
Disusun Oleh : DEBORA DAMPU B4B 007 044
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 10 Maret 2009 Tesis ini telah diterima Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Pembimbing I
Pembimbing II
H. MULYADI, SH. MS. NIP. 130 529 429
YUNANTO, SH. M.Hum. NIP. 131 689 627
Mengetahui : Ketua Program
H. KASHADI, SH. MH. NIP. 131 124 438
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini nama : DEBORA DAMPU, dengan ini menyatakan hal – hal sebagai berikut : 1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi / lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka. 2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan sarana apapun,baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan akademik / ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang, 10 Maret 2009 Yang menyatakan,
DEBORA DAMPU
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah –Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan
Tesis
ini
yang
berjudul
“
PELAKSANAAN
PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI“ pada waktunya. Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi sebagian syarat – syarat untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan Strata Dua (S-2) pada program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro di Semarang. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan, sehingga tidak menutup untuk menerima kritikan dan saran. Walaupun demikian penulis tetap berharap Tesis ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis, rekan mahasiswa serta semua pihak. Tesis ini dapat diselesaikan penulis dengan baik berkat dukungan, bantuan serta bimbingan dari para pihak, sehingga pada kesempatan kali ini dengan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yaitu kepada beliau : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS., Med., Sp., And., selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang.
2. Bapak Prof. Drs. Warella, MPA., Ph.D., selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. 3. Bapak H. Kashadi, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 4. Bapak Dr. Budi Santoso, SH., MS., selaku Sekretaris I Bidang Akademik Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 5. Bapak Dr. Suteki, SH., M.Hum., selaku Sekretaris II Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 6. Bapak H. Mulyadi, SH.,MS., selaku Dosen Pembimbing I, atas nasehat, saran dan waktu yang diberikan untuk perbaikan serta penyempurnaan Tesis ini. 7. Bapak Yunanto, SH., M.Hum., selaku Dosen Wali dan Dosen pembimbing II, yang telah memberikan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. 8. Ibu Dewi Hendrawati, SH., M.Hum., selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. 9. Tim Review Proposal dan Tim Penguji Tesis yang telah meluangkan waktu untuk meneliti kelayakan proposal dan menguji Tesis dalam rangka menyelesaikan Studi di Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 10. Para Guru Besar, staff pengajar dan staff akademik Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, yang secara
langsung
maupun
tidak
langsung
memberikan
bantuan
dalam
menyelesaikan pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. 11. Para Narasumber yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuannya dan telah memberikan keterangan dalam penulisan tesis. 12. Suamiku tercinta dan anakku tersayang, yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 13. Kedua orang Tuaku yang sangat kucintai dan kubanggakan, yang tidak henti – hentinya memberikan Do’a, dorongan dan semangat yang tulus ikhlas dan kasih sayangnya sampai penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 14. Saudara kandungku yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 15. Rekan – rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang angkatan 2007, atas persaudaraan dan persahabatan kalian selama ini. 16. Buat teman – teman kos. Akhir kata semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi perkembangan hukum Perdata khususnya dalam bidang hukum Perkawinan. Semarang, 10 Maret 2009 DEBORA DAMPU
PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI
Oleh : Debora Dampu ABSTRAK
Perkawinan campuran antar WNI dan WNA yang dilakukan di Indonesia khususnya di Kota Denpasar Provinsi Bali beberapa tahun terakhir ini menjadi sebuah perbincangan yang menarik, di satu sisi perkawinan campuran dilatarbelakangi oleh adanya harta yang lebih dari salah satu pasangan, kemudian yang kedua faktor keinginan untuk lebih mendalami mengenai budaya setempat dan ketiga adalah faktor keturunan. Dalam faktor yang ketiga inilah banyak akibat hukum yang lahir dalam konteks keperdataan termasuk di dalamnya bagaimana pelaksanaan perkawinan campuran (prosedur perkawinan campuran itu dilaksanakan) dan bagaimana akibat hukum perkawinan campuran dilihat dari hubungan suami dan istri, anak dan orang tua, serta bagaimana status harta perkawinan tersebut, Data yang digunakan dalam metode ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara, dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka melalui studi dokumen. Penelitian ini menggunakan metode non random sampling, artinya tidak semua populasi diberi kesempatan untuk dijadikan sampel, sedangkan teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling yaitu berdasarkan tujuan tertentu dengan pertimbangan dan kriteria yang sudah ditentukan dalam penelitian yaitu pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan Berdasarkan penelitian diketahui bahwa, pertama Pelaksanaan Perkawinan Campuran di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengaturnya secara khusus dan Akibat terhadap status kewarganegaraan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran, oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memberikan kebebasan bagi kedua belah pihak untuk menentukan sikapnya, yang mengakibatkan anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut memiliki dwi kewarganegraan. Sedangkan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh mereka merupakan penyimpangan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan. Implikasi adanya perjanjian perkawinan di antara mereka percampuran harta kekayaan bersama secara keseluruhan menurut hukum tidak akan terjadi. Kata kunci : Perkawinan campuran, WNI, WNA
EXECUTION OF MARRIAGES BETWEEN INDONESIAN CITIZENS AND FOREIGN CITIZENZ AFTER THE LEGALIZATION OF ACT NUMBER 1 YEAR 1974 CONCERNING MARRIAGE IN DENPASAR CITY BALI PROVINCE By : Debora Dampu ABSTRACT Mixed marriages between Indonesian citizens and foreign citizens conducted in Indonesia especially in Denpasar City Bali Province in the last several years become an interesting discussion. On one side, the mixed marriages have the background of, firstly, one person in a couple has mor wealth, secondly, a factor of desire to deepen the local culture more, and thirdly, the factor of desendant. In this third factor, there are many legal consequences emerging from Civil Law context, including how the execution of mixed marriages are (executed mixed marriage procedure) and what the legal consequences of mixed marriages are viewed from the ralationships of husband and wife, children and parents, and the status of assets obtained from those marriages. The used data in this research are primary data, which are the data collected from from the site by conducting interviews, and secondary data collected from literature materials by conducting a documentation study. This research uses the non-random sampling method, which means, not all population is given a chance to be the samples. Meanwhile the sample collection technique uses the purposive sampling technique, which bases on the particular purpose with the consideration and criterion that have been established in this research, which is, husband-wife couples conducting mixed marriages. Based on the research, it is found that: first, the execution of mixed marriages is not regulated in Act Number 1 Year 1974 in particular. The consequence concerning citizenship status for those conducting mixed marriages is that, Act Number 1 Year 1974 concerning Marriages and Act Number 12 Year 2006 concerning citizenship give freedom to both parties to determine their decision, causing the children born from such marriages have double citizenship. Meanwhile, the marriage agreements created by them are deviations of legal terms concerning collective property in a marriage. The implication of marriage agreements between them is that, the mixing of collective assets on the whole never takes place according the law. Keywords : mixed marriages, Indonesian citizens, foreign citizens
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….
i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………
iii
PERNYATAAN …………………………………………………………………
vii
ABSTRAK ………………………………………………………………………
viii
ABSTRACT ……………………………………………………………………..
ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….
x
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..
xii
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………..
1
1. Latar Belakang ………………………………………………………..
1
2. Perumusan Masalah …………………………………………………..
7
3. Tujuan penelitian ……………………………………………………..
7
4. Kegunaan penelitian ………………………………………………… .
8
5. Kerangka Pemikiran……………………………………………………
8
6. Metode Penelitian……………………………………………………… 12 7. Sistematika Penulisan …………………………………………………
18
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..
19
1. Pengertian Perkawinan ……………………………………………….
19
2. Syarat – Syarat Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan………………………….
22
3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan………………………….
28
4. Sahnya Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……………………………………..
32
5. Akibat Hukum Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan…………………………..
34
6. Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……………………………………. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………
40 50
1. Pelaksanaan Perkawinan Campuran Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali Setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan …………………………………………………..
50
2. Akibat Perkawinan Campuran Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali Setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……………………........................................... .
62
BAB IV : PENUTUP ……………………………………………………………. 99 1. Kesimpulan ……………………………………………………………
99
2. Saran …………………………………………………………………. 101 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 103 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Jumlah Akta Perkawinan Yang dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar Tahun 2002 - 2007........................................................................... 57 Tabel 2 perkawinan campuran dengan perjanjian kawin............................
59
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Keturunan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi masyarakat, dimana masyarakat adalah suatu wadah dari bentuk kehidupan bersama yang di dalamnya individu dan atau kelompok sebagai anggotanya saling mengadakan interaksi untuk kelangsungan hidupnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles manusia sebagai Zoon Politikon, yaitu manusia sebagai mahluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia lainnya, sehingga manusia dikatakan disamping sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk social, dan untuk melangsungkan kehidupannya itu manusia mempunyai kebutuhan – kebutuhan baik yang bersifat lahir maupun kebutuhan yang bersifat batiniah. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai suatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah – kaedah perkawinan dengan kaedah – kaedah agama. Kecuali agama Islam, semua agama mensyaratkan peneguhan dan pemberkatan oleh pejabat sebagai syarat sahnya
perkawinan menurut hukum agama. Sedangkan menurut agama Islam pernikahan sudah dianggap sah bila sudah diucapkan ijab Kabul oleh mempelai laki – laki dihadapan saksi – saksi dan pegawai pencatat nikah. Semua agama umumnya mempunyai hukum perkawinan yang tekstular. Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki – laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati, penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka. Hidup bersama antara seorang laki – laki dan perempuan sebagai pasangan suami isteri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah perkawinan. Perkawinan (pernikahan) pada hakekatnya adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.1
1
http: // perkawinan campuran dalam hukum positif di Indonesia, 20 Desember 2008.
Di era globalisasi dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sangat pesat tanpa mengindahkan lagi batas – batas Negara dan Bangsa. Kemajuan tersebut membawa pengaruh semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan. Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan – hubungan hukum khususnya dalam hukum perdata Internasional yang salah satu diantara nya adalah perkawinan campuran. Jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melangsungkan perkawinan campuran antara lain adalah
perkenalan melalui
internet, bekas teman kerja / bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah / kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari Negara lain. 2 Hubungan – hubungan perdata yang mengandung unsur asing merupakan cakupan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional mengatur peristiwa – peristiwa yang mengandung unsur asing dimana masing – masing Negara memiliki sistem hukum sendiri – sendiri. Masing – masing Negara yang merdeka dan berdaulat memiliki sistem Hukum Perdata Internasional yang berbeda. Dengan demikian, banyak Negara banyak pula sistem Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional Indonesia adalah merupakan sistem Hukum
Perdata Internasional Indonesia.
Istilah Internasional tersebut hanya memperlihatkan adanya hubungan – hubungan
2
http : // jurnalhukum.blogspot.com, 20 Desember 2008.
yang bersifat Internasional. Karena unsur dari luar atau unsur asing inilah yang menjadikan hubungan – hubungan tersebut bersifat Internasional. Hukum asing perlu diperhatikan mengingat hubungan – hubungan keperdataan semakin meningkat di Indonesia terutama menyangkut perkawinan yang melibatkan dua stelsel hukum dari dua Negara atau lebih. Perkawinan campuran ini akan membawa konsekuensi tersendiri yaitu berlakunya peraturan dari masing – masing stelsel hukum yang berlaku terhadap masing – masing pihak yang terlibat. Peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai perkawinan campuran terdapat dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 57 yang menyatakan sebagai berikut : “ yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang – Undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia ”.3 Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan meneruskan keturunan. Di dalam Pasal 59 (1) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “ kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat dari perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai Hukum Publik maupun Hukum Perdata “. Dari ketentuan tersebut, sangat jelas dalam pekawinan campuran akan menimbulkan konsekuensi yuridis menyangkut kewarganegaraan para pihak.
3
Saidus Syahar, Undang – Undang perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1976, hlm 198
Pada masyarakat Bali hubungan – hubungan keperdataan tersebut meningkat dengan sangat pesat terutama mengenai perkawinan campuran. Orang – orang asing yang datang ke Bali berasal dari berbagai Negara dan kebudayaan yang berbeda. Orang – orang asing ini juga dapat bergaul dekat dengan penduduk setempat. Dari pergaulan inilah terjadi hubungan antara mereka yang tidak jarang berakhir pada jenjang perkawinan. Perkawinan antara orang – orang yang melintasi batas wilayah Negara ini disebut dengan perkawinan campuran. Pada saat ini sudah banyak terjadi perkawinan campuran antara warga Negara Indonesia dengan orang asing. Perkawinan beda kewarganegaraan memang seringkali menimbulkan kesulitan terlebih lagi apabila masing – masing pihak tetap pada agamanya. Konsep perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlainan dengan konsep perkawinan campuran dalam Staatblad 1898 Nomor 158. Menurut Staatblad 1898 Nomor 158 Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang – orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Maksud hukum yang berlainan adalah karena perbedaan
kewarganegaraan,
tempat
golongan,
dan
agama.
Sedangkan
perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menekankan pada perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang – Undang Kewarganegaraan yang lama (Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958) menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua putus, tentu ibu akan kesulitan mendapatkan hak pengasuhan anaknya yang berkewarganegaraan asing. Dengan lahirnya Undang – Undang kewarganegaraan yang baru (Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006) sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang – undangan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik menyusun tesis dengan judul :“ PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI“.
2. Perumusan Masalah Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana pelaksanaan perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di kota Denpasar Provinsi Bali setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2.
Bagaimana akibat perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di kota Denpasar Provinsi Bali setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.
Untuk mengetahui akibat perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
4. Kegunaan Penelitian 1. secara teoritis, diharapkan
hasil penelitian ini dapat berguna dan
bermanfaat serta meningkatkan khasanah pengetahuan bagi kalangan akademis dalam mempelajari hukum perkawinan campuran.
2. secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat serta dapat untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan bagi para pihak dibidang hukum perkawinan campuran.
5. Kerangka Pemikiran Di dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa“.4 Ada beberapa perbedaan pengertian mengenai istilah Perkawinan campuran diantaranya yang dinyatakan dalam PerUndang – Undangan dan yang sering dinyatakan oleh anggota masyarakat sehari – hari. Khususnya di dalam perUndang – Undangan, Seperti kita ketahui, bahwa sebelum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif di Indonesia terdapat beraneka ragam hukum perkawinan, antara lain : tentang perkawinan campuran atau Regeling Op de Gemengde Huwelijken Stb. 1898 Nomor 158 selanjutnya disebut GHR. Mengenai Perkawinan campuran, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Berdasarkan Pasal 66 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan GHR dinyatakan tidak berlaku.
4
K.wantjik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari bunyi Pasal 57 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan campuran Internasional (perkawinan yang dilakukan oleh warganegara Indonesia dengan warganegara asing). Untuk mengungkap problematika yang telah diajukan pada bagian perumusan masalah, diajukan beberapa konsep yang terkait dengan judul tesis ini. Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan didasarkan pada dua konsep yang berbeda, yaitu konsep tentang ramalan – ramalan mengenai akibat (Prediction of consequences) yang dikemukakan oleh Lunberg dan Leansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek – aspek rangkap dari suatu peraturan hukum. Berdasarkan konsep Lunberg dan Leansing, serta konsep Hans kelsen tersebut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang – undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama, faktor – faktor tersebut dapat : 1) Bersifat
yuridis
normatif
(menyangkut
pembuatan
peraturan
perundang – undangannya); 2) Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah); 3) Serta
faktor
yang
bersifat
yuridis
sosiologis
(menyangkut
pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis);
4) Konsistensi dan harmonisasi antara politik hukum dalam konstitusi dengan produk hukum di bawahnya.5 Faktor bersifat yuridis normatif (menyangkut peraturan perundang – undangannya) dalam hal ini Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, faktor penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah) dalam hal ini pegawai catatan sipil, serta faktor bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis) adalah perantara (makcomblang) sebagai perantara dalam mempertemukan wanita Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dengan pria Taiwan, yang meraup keuntungan dari perjodohan itu. Faktor – faktor tersebut di atas saling berkaitan, hukum tidak dapat terlepas dari faktor penegakannya dan kultur (masyarakat) agar suatu peraturan dapat dilaksanakan dengan baik dan bertujuan dari dibuatnya peraturan tersebut dapat tercapai. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa, pertama Pelaksanaan Perkawinan Campuran di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengaturnya secara khusus dan Akibat terhadap status kewarganegaraan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran, oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memberikan kebebasan bagi kedua belah pihak untuk menentukan sikapnya, yang mengakibatkan anak – anak yang 5
dilahirkan
dari
perkawinan
campuran
tersebut
Suteki, Hak Atas Air (di Tengah Liberalisasi Hukum dan Ekonomi dalam Kesejahteraan), Pustaka Magister Kenotariatan, Semarang, 2007, hlm 59 -60
memiliki
dwi
kewarganegraan. Sedangkan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh mereka merupakan penyimpangan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan. Implikasi adanya perjanjian perkawinan di antara mereka percampuran harta kekayaan bersama secara keseluruhan menurut hukum tidak akan terjadi. 6. Metode Penelitian Dimaksud dengan metode adalah proses, prinsip – prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati – hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip – prinsip dan tata cara untuk mencegah masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.6 Sesuai dengan tujuan penelitian hukum ini, maka dalam penelitian hukum kita mengenal adanya penelitian secara yuridis empiris. Penelitian yuridis atau Penelitian hukum empiris dilakukan dengan wawancara kepada responden sebagai nara sumber, dan meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga disebut penelitian kepustakaan. Menurut Sutrisno Hadi dalam bukunya bahwa metode penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana caranya atau langkah – langkah yang harus diambil dalam suatu penelitian secara sistematis dan logis
6
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm 6
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :7 1. Metode pendekatan Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti di lapangan dengan wawancara kepada responden sebagai nara sumber yang merupakan data primer, dan meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga disebut penelitian kepustakaan.8 Penelitian mengenai pelaksanaan perkawinan antar warganegara setelah berlakunya undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di kota Denpasar provinsi Bali adalah merupakan penelitian empiris, karena penelitian ini menitik beratkan pada penelitian di lapangan yang menjelaskan situasi serta Hukum yang terjadi dan berlaku dalam masyarakat secara menyeluruh, sistematis, faktual, akurat mengenai fakta – fakta yang semuanya berhubungan dengan penelitian ini.
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Biasanya, penelitian diskriptif seperti ini menggunakan metode survey.9 Dikatakan deskriptif, maksudnya dari penelitian
7
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset Nasional. Jakarta. Rineka Cipta, 2001, hlm 46 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 9 9 Altherton & klemmack dan Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik 8
ini diharapkan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematik mengenai pelaksanaan perkawinan antar warganegara setelah berlakunya undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di kota Denpasar provinsi Bali.
3. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.10 Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan perkawinan antar warganegara setelah berlakunya undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di kota Denpasar propinsi Bali. Untuk menentukan sample ini, metode penentuan sample yang digunakan adalah Purposive sampling atau sample bertujuan. Adapun mengenai sample yang akan diambil menurut Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan pendapat bahwa secara prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat secara mutlak berapa persen sample tersebut harus diambil populasi.11
4. Teknik Penentuan Sampel Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakan oleh penulis adalah teknik Purposive (non random sampling) maksud dari
Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Lainnya, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, hlm 63 10 Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2001, hlm 57 11 Ronny Hanitijo Soemitro, Op Cit, hlm 47
digunakannya teknik ini agar diperoleh subyek – subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka subyek yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah para pihak yang terkait dengan pelaksanaan perkawinan antar warganegara setelah berlakunya undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di kota Denpasar provinsi Bali, yaitu : Pejabat Kantor catatan sipil, Pejabat Pengadilan Negeri Denpasar Provinsi Bali, dan pihak yang melakukan kawin campur.
5. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua antara lain : a. Data primer, data yang diperoleh dari penelitian lapangan yaitu data secara langsung diperoleh dari responden dan nara sumber sebagai subyek penelitian. Wawancara dilakukan dengan responden dan nara sumber yang terlibat langsung dengan pelaksanaan perkawinan antar warganegara setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di kota Denpasar propinsi Bali. b. Data sekunder, yaitu penelitian kepustakaan yang memiliki tujuan mencari, mempelajari dan mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian dengan melakukan studi dokumen terhadap buku – buku, literatur, perundang – undangan, dan dokumen yang terdiri dari : - Bahan Hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikatkan
khususnya mengenai perkawinan campuran, terdiri dari : 1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ; 2. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ; 3.Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan; 4.Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana undang – undang Nomor 1 Tahun 1974. - Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan – bahan yang
memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai hal – hal yang telah dikaji bahan – bahan hukum primer yaitu : 1. Buku – buku yang membahas tentang kawin campur; 2. Makalah – makalah yang berhubungan dengan perkawinan. - Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari : 1. kamus Hukum ; 2. kamus Inggris Indonesia ; 3. Berbagai majalah dan surat kabar.
6. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif.
Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.12 Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan menginterpretasikan secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif – induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan – laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis penelitian selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.13Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
7. Sistematika Penulisan Dalam penulisan tesis ini, diperlukan adanya suatu sistematika penulisan, sehingga dapat diketahui secara jelas kerangka dari tesis ini.
12
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, hml 14 13 H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1988, hlm 37
Bab I
pendahuluan, dalam bab ini berisi tentang latar
belakang,
permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan sistematika penulisan. Bab II
Tinjauan Pustaka, dalam bab ini
berisi tentang pengertian
perkawinan, syarat – syarat perkawinan, tata cara perkawinan, sahnya perkawinan, akibat perkawinan dan perkawinan antar warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bab III Hasil penelitian dan pembahasan, dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan pembahasannya. Bab IV Penutup, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis yang berisi kesimpulan dan saran – saran. Daftar Pustaka Lampiran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Perkawinan
Di dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa“.14 Pengertian perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing – masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.15 Menurut Pasal 26 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan “ Undang – Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan Perdata “ dan dalam Pasal 81 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung Pasal 81 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ini diperkuat pula oleh Pasal 530 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
yang menyatakan “ seorang
petugas agama yang melakukan upacara perkawinan yang hanya dapat dilangsungakan di hadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan
14
K.wantjik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14 15 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm 9
kepadanya bahwa pelangsungan di hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak Rp. 4.500,- (empatribu lima ratus rupiah) “. Kalimat “ yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat catatan sipil “ tersebut menunjukan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Buddha-Hindu, dan Hukum Adat, yaitu orang – orang yang dahulu disebut pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) tertentu di luar orang Cina.16 Selain kesimpang siuran perkawinan yang berlaku di zaman Hindia Belanda itu, jelas bahwa menurut perUndang - Undangan yang tegas dinyatakan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata , perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan falsafah Negara Pancasila yang menempatkan ajaran keTuhanan Yang Maha Esa di atas segala – galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama / kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi juga unsur rohani/batin mempunyai peranan yang penting. Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya sebagai “ hubungan keperdataan “ sedangkan perkawinan menurut undang – Undang Nomor 1 16
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum adat, Hukum agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 7
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan “ perikatan keagamaan “.
17
Hal mana
dilihat dari tujuan
perkawinan yang dikemukakan dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perlu dipahami benar – benar oleh masyarakat. Oleh karena ia merupakan landasan pokok dari aturan Hukum Perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan.
2. Syarat – Syarat Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat – syarat yang ditentukan Undang – undang. Berhubung syarat – syarat perkawinan telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, maka
17
Loc - Cit
syarat
- syarat perkawinan yang diatur dalam ketentuan perundang –
undangan lama dinyatakan tidak berlaku.18 Perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut, agar suami dan isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.19 Adapun syarat – syarat yang diatur di dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai ;
2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua ;
3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya ;
18
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm 11 19 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 42
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya ;
5.
Dalam hal ada perbedaan pendapat – pendapat antara orang – orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan izin setelah lebih dahulu mendengar orang – orang tersebut dalam ayat (2), (3) , dan (4) ;
6.
ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan (5), berlaku sepanjang hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.20 Disamping itu Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternative lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Dalam hal ini Pasal 7 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur sebagai berikut : 1.
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun ;
20
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 40 – 41
2.
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain untuk ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun pihak wanita ;
3.
Ketentuan – ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang – Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).21
Menurut Ko Tjay Sing, syarat – syarat untuk melangsungkan perkawinan ada 2 , yaitu :22 1.
Syarat – syarat materiil Yaitu syarat mengenai orang – orang yang hendak kawin dan izin – izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditentukan oleh Undang – Undang. Selanjutnya syarat – syarat materiil dibagi 2 yaitu: a. syarat – syarat mutlak yaitu, syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin, dengan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin. b. syarat – syarat relatif yaitu, syarat – syarat bagi pihak yang hendak dikawin. Seorang yang telah memenuhi syarat – syarat materiil multlak diperbolehkan kawin,
21 22
Ibid, hlm 41 – 42 Mulyadi, Op – Cit, hlm 11 -12
tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa hendak kawin, harus memenuhi syarat – syarat materiil relatif. Syarat – syarat tersebut adalah : a. Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a) Berhubungan darah dalam garais keturunan ke bawah atau ke atas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya ; c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu – bapak tiri ; d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan ; e) berhubungan saudara dengan isteri, atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang ; f) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang (Pasal 8 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 9 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
c. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 2.
Syarat – syarat formil Syarat – syarat formil terdiri dari formalitas – formalitas yang mendahului perkawinannya. Syarat – syarat formil diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, yaitu terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1.
Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan ;
2.
Penelitian syarat – syarat perkawinan ;
3.
Pengumuman
tentang
pemberitahuan
untuk
melangsungkan
perkawinan.23 Adapun maksud dari pengumuman ini ialah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan itu, karena alasan – alasan tertentu. Sebab dapat saja terjadi bahwa suatu hal yang menghalangi suatu perkawinan lolos dari perhatian pegawai catatan sipil dan pengumuman tadi mempunyai maksud untuk berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan oleh khalayak ramai.24
23 24
Ibid, hlm 24 Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm 110
3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dewasa ini perUndang – Undangan telah mengatur tata cara perkawinan secara jelas dan rinci, dimana keadaan ini dapat menjamin adanya kepastian hukum dibidang hukum perkawinan. Dalam hubungan ini ditegaskan bahwa “ tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan peraturan perUndang – Undangan tersendiri (Pasal 12 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) ”. Ketentuan mengenai tata cara perkawinan diatur dalam Bab III, Pasal 8 dan 10 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, yang menetapkan sebagai berikut :25 1.
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 ;
2.
Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu ;
3.
Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing – masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi;
25
Mulyadi, Op Cit, hlm 33 - 34
4.
Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan, akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan lalu ditandatangani oleh : a. Kedua mempelai ; b. Kedua orang saksi yang menghadiri berlangsungnya perkawinan itu; c. Pegawai pencatat perkawinan ; d. Khusus bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan harus ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakili ; Apa yang tercantum dalam sub d, tidak berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya tidak berdasarkan agama Islam ;
5.
Dengan menandatanganinya akta perkawinan oleh pihak – pihak yang ditentukan dalam Pasal 11 (2) Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, maka perkawinan secara resmi sudah dicatat. Menurut Hilman Hadikusuma, tata cara perkawinan adalah mengenai
pencatatan dan pemberitahuan perkawinan, tentang tata cara perkawinan dan akta perkawinan.26 Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 3 (1) yang menyatakan “ setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan “. Menurut Pasal 2 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa
“
pencatatan
perkawinan
dari
mereka
yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan dilakukan oleh pegawai
26
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hlm 81
pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perUndang – Undangan mengenai pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975). Dengan adanya akta perkawinan, maka akta perkawinan inilah yang merupakan bukti otentik akan adanya perkawinan. Dalam akta perkawinan harus memuat :27 a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal kediaman suami isteri ; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan pula nama isteri dan / atau suami terdahulu ; b. Nama, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka ; c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; d. dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; e. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 27
Mulyadi, Op Cit, hlm 34
f. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; g. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM, PANGAB, bagi anggota Angkatan Bersenjata ; h. Perjanjian kawin apabila ada ; i. Nama, unsur, agama / kepercayaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan dengan melalui kuasa. Akta perkawinan ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan itu berada. Kepada suami – isteri masing – masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975). Dari uraian dimuka dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya sekedar hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya, mereka yang melangsungkan perkawinan.
4. Sahnya Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku kala perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka
perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagi berikut :28 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya ; 2. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing – masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi : 1.
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa ;
2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing – masing pemeluknya. Setelah
28
Ibid, hlm 35
perkawinan dilangsungkan menurut tata cara masing – masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan.29 Dengan adanya akta perkawinan, maka suami isteri yang bersangkutan mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Jadi suatu perkawinan itu sah menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 adalah semenjak perkawinan itu didaftarkan. Bagaimana dengan perkawinan yang dilakukan hanya dihadapan pegawai pencatatan sipil ? perkawinan tersebut sah menurut perundang udangan sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. artinya sah menurut KUH Perdata yang hanya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina. Namun sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan tersebut tidak sah menurut perundang – undangan yang berlaku, oleh karena tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama, perkawinan itu tidak sah dan keturunannya disebut dengan istilah adat anak “ haram jadah “.
5. Akibat Hukum Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
29
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 88
Suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah menurut hukum akan menimbulkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan itu pada pokoknya menyangkut 3 (tiga) hal penting, yaitu : 1. Timbulnya Hubungan antara suami isteri ; 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan ; 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dengan anak . Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut :30 1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat ; 2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat ; 3. Suami isteri berhak melakukan perbuatan hukum ; 4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Disamping itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik – baiknya ; 5. Suami isteri wajib saling cinta – mencintai, hormat – menghormati, setia menyetiai dan memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain ;
30
Mulyadi, Op Cit, hlm 41
6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama. Tentang akibat hukum perkawinan terhadap harta benda suami isteri diatur dalam Bab VII yang terdiri dari 3 (tiga) Pasal yaitu : Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37. Di dalam pasal 35 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama ; 2. Harta bawaan dari masing – masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, pada asasnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa dalam suatu perkawinan itu ada dua kelompok harta yaitu harta bersama dan harta bawaan termasuk di dalamnya harta benda yang diperoleh masing – masing suami isteri berupa hadiah atau warisan. Mengenai luas batas harta bersama dengan jelas telah ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang hanya diperlukan satu syarat, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Oleh karena itu, menurut M. Yahya Harahap yang termasuk harta bersama suami isteri adalah :
a. segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang – barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri ; b. demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing – masing ataupun hasil perolehan masing – masing pribadi sebagai pegawai.31 Pada dasarnya pengertian harta bawaan tidak diatur secara tegas dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dari pengertian secara harfiah, harta tersebut harus sudah dimiliki oleh masing – masing suami atau isteri sebelum perkawinan. Adapun harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut tentulah hadiah atau warisan yang diperoleh masing – masing suami isteri selama dalam ikatan perkawinan. Namun apabila harta diterima sebelum perkawinan maka termasuk dalam pengertian harta bawaan. Untuk menentukan harta bawaan menjadi harta bersama, suami isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi :
31
M. Yahya Harahap, Pembahasan Undang – Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading co, Medan, 1975, hlm 121
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut ; 2. Perjanjian tersebut tidak akan disahkan bilamana melanggar batas – batas hukum agama dan kesusilaan ; 3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan ; 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Berhubung Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, sehingga belum dapat diberlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal – hal itu diperlukan ketentuan – ketentuan hukum dan Perundang – undangan lama, yaitu hukum agama (kaedah agama), hukum adat dan KUH Perdata.32 Selanjutnya akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik. Jika dalam perkawinan itu lahir anak – anak, mengenai kedudukan anak serta hubungan orang tua dengan anak – anaknya itu diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Bab X dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 49.
32
Mulyadi, Op Cit, hlm 44
Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan sebagai berikut :33 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak sebaik – baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus ; Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena putusan pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau isteri, pengadilan akan menyerahkan anak – anak tersebut kepada suami isteri yang benar – benar beritikad baik, untuk dipelihara dan dididik secara baik ; 2. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada dibawah pengawasan kedua orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya ; 3. orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan ; 4. orang tua boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
sebelumnya.
Kecuali
kalau
untuk
kepentingan
anak
itu
menghendaki; 5. kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, untuk jangka waktu tertentu atas
33
Ibid, hlm 45
permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Sebaliknya anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya. Kewajiban anak terhadap orang tuanya, yaitu :34 1. anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik ; 2. jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.
6. Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Setelah Berlakunaya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dari uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa keadaan hukum perkawinan di Indonesia adalah bercorak ragam sifatnya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan persoalan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum perkawinan yang manakah yang akan diberlakukan terhadap suatu perkawinan antara dua orang yang berbeda golongan penduduk dan hukumnya.
34
Ibid, hlm 46
Dengan
maksud
memecahkan
persoalan
itulah
kemungkinan
Pemerintah Hindia Belanda dahulu dengan penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23 (Staatblad 1898 Nomor 15) telah mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran (Religion op de Gemengde Huwelijken) yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian telah dirubah dan ditambah yang dimuat dalam beberapa Staatblads (Lembaran Negara Hindia Belanda).35 Pasal 1 dari Religion op de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa yang dinamakan perkawinan campuran ialah “ Perkawinan antar orang – orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum – hukum yang berlainan”. Menurut pendapat kebanyakan ahli hukum dan Yurisprudensi yang dimaksudkan diatur selaku “ perkawinan Campuran” itu ialah perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang masing – masing pada umumnya tunduk / takluk pada hukum yang berlainan. Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi orang – orang yang melakukan perkawinan campuran, GHR (Religion op de Gemengde Huwelijken) selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal seorang perempuan melakukan perkawinan campuran, maka ia selama pernikahan itu belum putus, tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik dilapangan hukum publik maupun hukum sipil (Pasal 2 Religion op de Gemengde Huwelijken). Dengan kata lain perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya menjadi mengikuti status pihak suaminya. Jadi
35
http:// Perkawinan Campuran Dalam Hukum Positif di Indonesia, 20 Desember2008.
ada penggantian hukum, dari hukumnya sendiri menjadi tunduk kepada hukum sang suami dengan melakukan pemilihan hukum. Mengenai pemilihan hukum disini, S. Gautama (Gouw Giok Siong) mengatakan bahwa walaupun anasir memilih hukum tak demikian kentara, tetapi anasir memilih ini dapat dikatakan nampak pula, karena adanya syarat “toestemmnino” (persetujuan) dari pihak perempuan yang selalu disyaratkan sebelum
dapat
dilangsungkan
suatu
perkawinan
campuran.36
Pihak
perempuan dapat dikatakan mengetahui apa yang hendak diperbuatnya dengan segala akibat – akibat yang dikehendakinya juga. Hal ini yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam perkawinan campuran ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) GHR (Religion op de Gemengde Huwelijken), perbedaan agama, bangsa atau asal, sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan. Setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian, pembuat Undang – Undang tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk Negara Indonesa dan karenanya masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat kita jumpai pengaturannya dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagaimana yang diatur dalam bagian ketiga dari bab XII, ketentuan – ketentuan lain.
36
Ibid, 20 Desember 2008.
Bagian ketiga dari bab XII Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdiri dari 6 Pasal, yaitu dimulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pasal 57 memberikan pengertian tentang apa yang dimaksudkan dengan perkawinan campuran yaitu “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari rumusan Pasal 57 di atas, kita melihat bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperjelas pengertian perkawinan campuran dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Dengan demikian perkawinan antar sesama Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak temasuk ke dalam rumusan Pasal 57 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal demikian itu adalah sejalan dengan pandangan Pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian penduduk atau warga negara dengan bukan warga negara dan sejalan juga dengan cita – cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuan – ketentuan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal pertama yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa rumusan perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, membatasi diri hanya pada perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Sedangkan perkawinan antara
sesama Warga Negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antara agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ada beberapa perbedaan pengertian mengenai istilah perkawinan campuran diantaranya yang dinyatakan dalam perundang – undangan dan yang sering dinyatakan oleh anggota masyarakat sehari – hari. Khususnya didalam perundang – undangan, Seperti kita ketahui, bahwa sebelum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif di Indonesia terdapat beraneka ragam hukum perkawinan, antara lain : tentang perkawinan campuran atau Regeling Op de Gemengde Huwelijken Stb. 1898 Nomor 158 selanjutnya disebut GHR (Regeling Op de Gemengde Huwelijken). Mengenai perkawinan campuran, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya didalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Berdasarkan Pasal 66 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan GHR dinyatakan tidak berlaku. Adapun pengertian perkawinan campuran adalah sebagai berikut : 1. Pasal 1 GHR S. 1898 Nomor 158 Perkawinan campuran yaitu perkawinan antara orang – orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Dengan demikian yang termasuk perkawinan campuran yaitu :
a. Perkawinan Internasional ; b. perkawinan antar golongan ; c. Perkawinan antar tempat (antar adat) ; d. Perkawinan antar agama. 2. Pasal 57 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan campuran yaitu, perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu berkewarganegaraan Indonesia.37 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari bunyi Pasal 57 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan campuran Internasional (perkawinan yang dilakukan oleh warganegara Indonesia dengan warganegara asing). Dari 2 (dua) Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih sempit daripada GHR, Karena Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membatasi pada “ karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia” , sedangkan menurut GHR “ antara orang – orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum – hukum yang berlainan “ dengan tidak ada pembatasan. Yang dimaksud dengan hukum yang berlainan adalah karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama. Dengan adanya
37
Ibid, hlm 64 – 65
pembatasan pada perbedaan kewarganegaraan itu, maka perkawinan antara dua orang yang berlainan golongan (umpamanya : Bumi Putra dan Timur Asing) atau berlainan agama (umpamanya : Islam dan Kristen) tetapi sama – sama warganegara Indonesia, tidak merupakan perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan menurut GHR adalah perkawinan campuran. Jadi perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :38 1. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita warganegara asing ; atau 2. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria warganegara asing. Sehubungan dengan masalah kewarganegaraan tersebut, maka ditentukan dalam Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa orang yang melakukan perkawinan campuran itu, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami / isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara – cara yang telah ditentukan dalam Undang – Undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah berlaku. Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran menurut hukum positif Indonesia saat ini mengacu kepada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pada prinsipnya Undang – 38
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 46
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menganut asas persamaan kedudukan yang mana wanita atau laki – laki yang kawin dengan orang asing dapat kehilangan kewarganegaraan indonesianya akibat perkawinan tersebut. Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi sebagai berikut : 1. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut ; 2. Laki - laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan Perempuan Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal isterinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan isteri sebagai akibat perkawinan tersebut ; Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran tidak dengan sendirinya menentukan isteri takluk pada status kewarganegaraan suami, artinya tidak dengan sendirinya isteri takluk pada hukum yang berlaku bagi suami. Jadi dari ketentuan tersebut, baik laki – laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama yang mana akan dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan campuran tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mana laki – laki atau wanita yang melakukan perkawinan campuran akan mengikuti status isteri atau suami apabila Negara dari isteri atau suami menghendaki demikian. Namun apabila tidak, Undang – Undang memperbolehkan masing – masing pihak mempertahankan kewarganegaraannya. Perkawinan antara bangsa yang terjadi di Indonesia, Undang – Undang memberikan
kesempatan
bagi
suami
dan
isteri
untuk
memilih
kewarganegaraannya, yang berarti suami dapat memperoleh kewarganegaraan isteri jika ia memilih mengikuti kewarganegaraan isterinya, demikian juga isteri dapat memperoleh kewarganegaraan suami jika isteri dengan kehendak sendiri menentukan mengikuti kewarganegaraan suami.39 Apabila dalam perkawinan campuran tersebut baik suami maupun isteri masing – masing tetap pada kewarganegaraan semula atau antara suami dan isteri menganut kewarganegaraan yang berbeda, maka akan timbul masalah pada saat terjadi perceraian.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
39
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Sahir co, Medan, 1975, hlm 240
1. Pelaksanaan Perkawinan Campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di kota Denpasar Provinsi Bali setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.40 Jalur perkenalan yang membawa pasangan beda kewarganegaan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja / bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah / kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam Perundang – Undangan di Indonesia. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
hukum
perkawinan
yang
berlaku
di
Indonesia.
Untuk
melaksanakan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat – syarat materiil dan syarat formil. Syarat formil ditentukan berdasarkan hukum personal para pihak (sesuai Pasal 16 AB), misalnya kewenangan atau kemampuan untuk kawin (batas usia minimum untuk kawin, ijin orang tua dan sebagainya) untuk membuktikan semua syarat materiil untuk melaksanakan 40
http: // Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia, 20 Desember 2008.
perkawinan campuran telah dipenuhi, maka para pihak harus memiliki surat ijin kawin dan surat keterangan tidak ada halangan untuk kawin dari kantor catatan sipil atau pengadilan dan negara yang bersangkutan. Untuk syarat formal, formalitas perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut ketentuan hukum perkawinan Indonesia (Pasal 59 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Untuk keabsahan perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia harus dilakukan menurut perkawinan yang berlaku di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (sesuai Pasal 18 AB) dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 56 ayat (2).41 Secara khusus tempat dan tata cara pencatatan Perkawinan campuran tidak ada diatur di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan tetapi sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 1 ayat (1) AB, menegaskan bahwa bentuk suatu perbuatan hukum dilakukan menurut hukum dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Oleh karena itu tata cara dan pencatatan perkawinan campuran itu dilakukan menurut hukum Nasional Indonesia. Tata cara dari pada perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, termasuk di dalamnya perkawinan campuran menyangkut tata cara yang mendahului perkawinan dan tata cara pada saat pencatatan dan perkawinan dilangsungkan, tata cara ini harus didukung oleh syarat – syarat 41
http: // Keabsahan dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran oleh Perempuan Warga Negara Indonesia Menurut Hukum Indonesia, 20 Desember 2008.
perkawinan yang diperlukan yang ditentukan agar perkawinan dapat dilangsungkan. Mengenai tempat pencatatan perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah dilakukan pada pegawai pencatatan perkawinan pada kantor Catatan Sipil di wilayah tingkat II dimana perkawinan itu dilangsungkan. Pada umumnya mereka yang melangsungkan perkawinan campuran pertama – tama dilakukan adalah dengan upacara keagamaan dan adat istiadat yang mereka anut khususnya bagi masyarakat Bali, bagi mempelai yang beragama Hindu bahwa perkawinan dilakukan dengan upacara Mebeakala dan Widhi Widana, sedangkan mempelai yang beragama Kristen perkawinan mereka dilakukan secara Grejani dengan upacara di Gereja, dan bagi mempelai yang beragama Islam perkawinan mereka dilakukan dihadapan penghulu.42
Setelah dilakukan upacara agama barulah mereka mencatatkan perkawinan di kantor Catatan Sipil. Disamping itu sebagian lagi dalam melangsungkan perkawinan campuran prosedur yang lebih dahulu ditempuh adalah mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil, setelah itu barulah mereka melakukan upacara perkawinan sesuai dengan agamanya masing – masing berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (bagi mempelai yang berbeda 42
agamanya),
tetapi
ada
juga
diantara
mereka
yang
I Ketut Mandra, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1986, hlm 15
hanya
melangsungkan perkawinan dan sekaligus mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil saja tanpa disertai dengan upacara keagamaan. Dalam
hal
para
mempelai
melangsungkan
dan
mencatatkan
perkawinannya di kantor Catatan Sipil prosedur yang ditempuh mereka adalah: Tahap Pertama : Pemberitahuan kehendak kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan dengan cara bersama – sama datang menghadap ke kantor Catatan Sipil bagian pencatatan perkawinan, untuk memberitahukan maksudnya itu. Selanjutnya pegawai pencatatan perkawinan memberitahukan kepada kedua calon mempelai agar mengisi formulir yang telah disediakan oleh kantor Catatan Sipil, kemudian formulir yang telah diisi itu diserahkan kepada pegawai pencatat perkawinan disertai dengan syarat – syarat yang diperlukan yakni :43 1. Surat permohonan dan pernyataan bersama kedua mempelai ; 2. Akte kelahiran / Paspor bagi Warga Negara Asing ; 3. Kartu Tanda Penduduk (identitas) atau surat keterangan domisili ; 4. Surat bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan ; 5. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian ; 6. Surat ijin atau keterangan dari konsulat / kedutaannya yang dinamakan Certificate Of Ability to Marry ;
43
Wawancara dengan Bapak Drs. I Made Sukarya, R , Kepala Kantor Catatan sipil Kota Denpasar, tanggal 22 Desember 2008.
7. Surat keterangan tidak / belum kawin atau surat perceraian dari Pengadilan Negeri setempat (bagi mempelai yang sudah pernah kawin) ; 8. Surat keterangan
/
ijin orang tuanya bagi mempelai yang belum
berumur 21 (duapuluh satu) tahun ; 9. Surat keterangan sehat dari dokter ; 10. pas photo. Adapun tujuan pemberitahuan di atas adalah dimaksudkan untuk mengetahui dan mengecek apakah syarat – syarat materiil perkawinan telah dipenuhi atau tidak. Cara pengawasan ini dilakukan antara lain dengan mengadakan penelitian terhadap surat – surat yang dilampirkan oleh para pihak pada waktu menyatakan pemberitahuan itu, dengan demikian dapat kiranya dihindarkan adanya perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan. Tahap Kedua : Pada tahap ini mengenai pengumuman akan dilangsungkannya perkawinan oleh pejabat kantor Catatan Sipil agar diketahui oleh umum. Pengumuman ini untuk memberi kesempatan kepada pihak lain atau keluarganya untuk mencegah atau menghalangi dilangsungkannya perkawinan campuran tersebut. Apabila ternyata ada syarat – syarat yang dipalsukan oleh salah satu pihak yang akan melangsungkan perkawinan, maka pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dapat membatalkan perkawinan campuran tersebut dengan melaporkan kepada pejabat Catatan Sipil. Pengumuman dapat dilakukan di dua tempat yakni :
a.
Di kantor Pencatatan perkawinan ditempat pernikahan akan dilangsungkan ;
b.
Dikantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing – masing calon mempelai.44
Tahap Ketiga : Jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak pengumuman itu ditempelkan dan diumumkan ternyata tidak ada sanggahan atau keberatan dari kalangan publik atau masyarakat, keluarga ataupun pihak lain, maka pejabat kantor Catatan Sipil memberikan ijin untuk melangsungkan perkawinan Tahap Keempat : Pada tahap ini merupakan tahap pelaksanaan atau dilangsungkan perkawinan oleh calon mempelai sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing – masing. Dalam hal ini hukum adat dan kebiasaan adat masing – masing mempunyai peranan di dalam melangsungkan perkawinan khususnya perkawinan campuran di Bali. Tahap Kelima : Mengenai pencatatan / pendaftaran serta pembuatan akta perkawinan di kantor Catatan Sipil menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu harus dicatatkan, masing – masing pihak (suami – isteri) harus menandatangani akta perkawinan dan dilanjutkan 44
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 98
penandatanganan oleh saksi – saksi dan disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan. Dengan dibuatnya akta perkawinan tersebut maka perkawinan yang mereka lakukan dianggap sah dan telah tercatat secara resmi, dengan demikian apa yang dikehendaki oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama Pasal 2 baik ayat (1) dan (2) telah dipenuhi.
TABEL 1 Jumlah Akta Perkawinan Yang dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar Tahun 2002 - 2007 Bulan
WNI
WNA
Campuran
Total
Januari
235
18
19
272
Februari
265
14
7
286
Maret
258
19
11
288
April
275
29
11
315
Mei
419
33
10
462
Juni
213
31
6
250
Juli
359
40
11
410
Agustus
292
51
8
351
September
226
52
11
289
Oktober
178
38
9
225
November
349
25
15
389
Desember
272
38
13
323
2007
3.341
388
131
3.860
2006
2.609
208
97
2.914
2005
2.563
210
99
2.872
2004
2.298
144
83
2.525
2003
2.551
87
69
2.707
2002
2.553
243
0
2.796
Total
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar Dari tabel di atas dapat dilihat dari 5 (lima) tahun terakhir yaitu tahun 2002 – 2007 menunjukkan adanya peningkatan jumlah Warga Negara Indonesia
yang melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara
Asing, yaitu tahun 2002 sejumlah 0 (nol), tahun 2003 sejumlah 69 (enampuluh sembilan) pasangan, tahun 2004 sejumlah 83 (delapanpuluh tiga) pasangan, tahun 2005 sejumlah 99 (sembilanpuluh sembilan) pasangan, tahun 2006 sejumlah 97 (sembilanpuluh tujuh) pasangan, dan tahun 2007 sejumlah 131 (seratus tigapuluh satu) pasangan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkawinan campuran bagi Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing menjadi Trend khususnya bagi masyarakat di Kota Denpasar Bali yang sering kali melakukan perkawinan campuran tersebut. Dari hasil wawancara penulis dengan para responden yang melakukan perkawinan campuran, dapat disimpulkan bahwa menurut mereka merupakan suatu kebanggaan dapat menikah dengan Warga Negara Asing. Selain didasari
perasaan cinta dan kecocokan diantara mereka, adapun yang menjadi faktor atau alasan mereka melakukan perkawinan campuran adalah sebagai berikut :45 1. Untuk memperbaiki keturunan; 2. Dapat berkunjung ke negara asal pasangan mereka; 3. Untuk mengenal budaya negara asal pasangan mereka; 4. Untuk memperluas bisnis ke negara asal pasangan mereka; 5. beranggapan bahwa Warga Negara Asing banyak uang ( untuk memperbaiki ekonomi keluarga). Berdasarkan faktor atau alasan yang disebut di atas, terutama yang menyangkut masalah ekonomi, maka bagi pasangan yang akan melaksanakan perkawinan campuran biasanya membuat perjanjian kawin, hal ini untuk menjaga harta yang telah mereka miliki apabila terjadi hal – hal yang tidak diinginkan. Dari pernyataan tersebut di atas, berikut responden yang melakukan perkawinan campuran dengan perjanjian kawin dan tanpa perjanjian kawin, terlihat dalam tabel berikut di bawah ini : TABEL 2 No
45
Dengan Perjanjian
Tanpa Perjanjian
Kawin
Kawin
Nama
1
I Wayan Simpen (Pria)
-
I
2
Diana Sari Sinaga
I
-
Kesimpulan hasil wawancara dengan para responden, 23 Desember 2008.
3
I Ketut Saras Dewi
I
-
4
Laurine Cokrosurya
-
I
5
Ni Nyoman Sukarwati
-
I
2
3
Jumlah
Sumber data : hasil wawancara dengan responden tanggal 23 Desember 2008
Berikut hasil wawancara penulis dengan Notaris Rosalia Marlina, SH, bahwa pembuatan akta perjanjian kawin dibuat atau dilakukan sehari sebelum pernikahan / perkawinan dilaksanakan kemudian didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri setempat agar dapat mengikat pihak ketiga, dan baru dicatatkan pada kantor Catatan Sipil setempat bersamaan dengan pencatatan perkawinannya, berikut
syarat - syarat pembuatan akta Perjanjian kawin,
adalah sebagai berikut :46 1. Identitas diri KTP bagi WNI; 2. Identitas diri Pasport bagi WNA; 3. Kartu Keluarga bagi WNI. Notaris Rosalia Marlina, SH menambahkan, adapun yang sering diperjanjikan dalam akta perjanjian kawin adalah sebagai berikut: 1. Mengenai pemisahan harta (tidak terjadi percampuran harta); 2. Mengenai pengeluaran rumah tangga dan biaya pendidikan anak ditanggung oleh calon suami;
46
Wawancara dengan Rosalia Marlina, SH, Notaris Bali, tanggal 23 Desember 2008.
3. Calon suami atau isteri tetap memegang hak dan kuasa untuk mengurus sendiri harta benda masing – masing; 4. Mengenai barang perhiasan dan pakaian yang ada pada waktu perkawinan terputus atau pisah meja dan tempat tidur, dianggap sebagai milik masing – masing; 5. Mengenai barang – barang yang diperoleh karena warisan, hibahan atau dengan jalan lain jatuh pada salah satu pihak harus dinyatakan secara tegas, jika tidak maka pengetahuan umum dapat dianggap dan diterima sebagai bukti yang sah. Mengenai perjanjian kawin yang sering dibuat khususnya yang mengatur masalah harta kekayaan adalah perjanjian pemisahan harta secara mutlak atau tidak ada percampuran harta sama sekali, sedangkan perjanjian kawin mengenai persatuan terbatas yaitu persatuan untung – rugi dan persatuan hasil dan pendapatan jarang diperjanjikan oleh mereka yang akan melakukan perkawinan dengan membuat perjanjian kawin. Hal ini disebabkan karena, perjanjian dengan persatuan terbatas dipandang atau dinilai kurang adil bagi pihak calon suami yang merasa diberatkan dengan adanya perjanjian persatuan terbatas tersebut. Khususnya mengenai persatuan hasil dan pendapatan tidak pernah dipakai atau diperjanjikan.
2. Akibat Perkawinan Campuran antar Warga Negara Indoensia Dan Warga Negara Asing Setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan campuran adalah hubungan perdata yang merupakan bagian dari cakupan Hukum Perdata Internasional. Hal ini dikarenakan perkawinan campuran mengandung unsur asing dimana akan terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda. Unsur asing inilah yang menjadikan hubungan tersebut
bersifat
Internasional
sehingga
menjadi
hubungan
Perdata
Internasional. Perkawinan campuran ini akan membawa konsekuensi tersendiri yaitu berlakunya peraturan dari masing – masing stelsel hukum yang berlaku terhadap masing – masing pihak yang terlibat. Peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai perkawinan campuran terdapat dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam pasal 57 yang menyatakan sebagai berikut : “ yang dimaksud perkawinan campuran dalam Undang – Undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk
pada
hukum
yang
berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.47
47
Saidus Syahar, Loc – cit.
Sebelum berlakunya Undang – Undang Kewarganegaraan, berdasarkan ketentuan perkawinan campuran Staatblad 1898 Nomor 158, isteri mengikuti status hukum suami dan dengan sendirinya isteri mengikuti status kewarganegaraan suami. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 Staatblad 1898 Nomor 158 yaitu : “ seorang perempuan (isteri) yang melakukan perkawinan campuran selama perkawinan itu belum putus, si perempuan (isteri) tunduk pada hukum yag berlaku bagi suaminya baik hukum publik maupun hukum sipil”. Jadi tidak ada kesulitan dalam menentukan status hukum perempuan (isteri) karena dengan sendirinya takluk pada status hukum suami. status personil dapat diartikan sebagai peraturan – peraturan hukum mengenai person (seseorang) yaitu kaedah – kaedah hukum yang mengikuti seseorang dimanapun orang itu berada atau kemanapun orang yang bersangkutan pergi, sehingga kaedah – kaedah yang termasuk di dalam status personil mempunyai lingkungan kuasa berlaku tidak terbatas pada wilayah suatu negara tertentu. Di dalam hukum Perdata Internasional, kita melihat adanya 2 (dua) konsepsi mengenai status personil ini, yakni : 1.
Konsepsi yang luas yaitu bahwa yang termasuk di dalam status personil, ialah : a. Dalam bidang hukum Perorangan seperti wewenang untuk mempunyai hak – hak hukum pada umumnya, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum ; b. Dalam hukum kekeluargaan, demikian juga dalam hal perwalian dan kuasa ;
c. Pewarisan dalam arti yang seluas – luasnya. 2.
Konsepsi yang sempit yaitu bahwa yang termasuk di dalam status personil ialah semua yang termasuk di dalam konsepsi status personil yang luas, kecuali mengenai pewarisan.48 Dari kedua konsepsi tersebut baik yang luas maupun yang sempit menempatkan perkawinan adalah termasuk di dalam status personil. Selanjutnya persoalan yang timbul adalah hukum manakah yang harus
diperlukan terhadap status personil sehubungan dengan adanya peristiwa hukum yang termasuk ke dalam hubungan Hukum Perdata Internasional. Sehubungan dengan hal ini maka di dalam Hukum Perdata Internasional kita mengenal adanya 2 (dua) aliran atau prinsip mengenai hukum yang berlaku terhadap status personil ini, yaitu : 1. Prinsip personalitas yang menentukan bahwa status personil dari pada seseorang baik Warga Negara Indonesia maupun warga Negara Asing adalah ditentukan oleh hukum nasionalnya. Jadi dimanapun seseorang itu berada, maka status personil berlaku hukum nasionalnya; 2. Prinsip Teritorialitas yang menentukan bahwa hukum yang berlaku bagi status personilnya seseorang dimana orang tersebut berada atau hukum dimana ia berdomisili.49 Dalam hubungannya dengan pengertian domisili, maka corak utama yang terdapat dalam konsepsi domisili yang dikenal dimana – mana dan 48
Sudargo Gautama, Aneka masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985, Hlm 1 - 6 49 Ibid, hlm 8
pengertian ini adalah sama di dalam setiap stelsel hukum, dimana dengan istilah domisili diartikan yaitu : Negara yang menurut hukum sebagai pusat dari kehidupan seseorang ini tidak dinilai secara sama, artinya berbagai cara yang berbeda digunakan untuk menentukan tempat dimanakah merupakan tempat pusat kehidupan itu. Domisili adalah merupakan pusat kehidupan seseorang yang ditentukan oleh ketentuan – ketentuan hukum. Sedangkan dilain pihak kita mengenal adanya tempat kediaman atau tempat tinggal seseorang, dimana hal yang terakhir ini merupakan fakta – fakta yang sama sekali tidak dipengaruhi
oleh hukum. Akan tetapi tempat
tinggalnya seseorang itu berhubungan erat dengan domisili sebab tempat tinggalnya seseorang kadang – kadang dipakai sebagai dasar untuk menentukan domisili orang yang bersangkutan. Di dalam Hukum Perdata Internasional yang dipentingkan ialah domisili seseorang di dalam suatu negara, artinya di negara manakah seseorang mempunyai domisili sehingga dengan demikian dapat ditentukan hukum yang berlaku baginya, misalnya hukum dimana ia berdomisili. Sehubungan dengan hal tersebut maka kita melihat pengertian domisili yang terdapat di dalam stelsel hukum tertentu yaktu hukum Inggris yang merupakan konsep domisili yang paling unik, dimana domisili menurut hukum Inggris dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : 1. Domicilie Of Origin, yaitu tempat tinggal yang diperoleh karena kelahiran.
Lembaga
kewarganegaraan ;
ini
lebih
condong
kepada
paham
2. Domicilie
Of
Choise,
yaitu
domisili
yang
dipilih
dengan
memperlihatkan bahwa orang yang bersangkutan mempunyai suatu hasrat untuk terus menetap di negara yang baru dipilihnya ; 3. Domicilie by Operation Of law, yaitu domisili bagi anak – anak yang belum dewasa, perempuan – perempuan dalam perkawinan dan mereka yang ditaruh di bawah perwalian.50 Dari kedua prinsip yang menentukan hukum yang berlaku bagi status personil masih terdapat adanya negara - negara yang menganut kombinasi atau campuran antara kedua prinsip tersebut di atas. Adapun kombinasi tersebut sebagai berikut : a. Kombinasi menurut sistem USSR (Uni Soviet), yaitu untuk orang – orang asing yang terdapat di dalam negeri diberlakukan prinsip domisili, sedangkan untuk Warga Negara yang bersangkutan yang berada di luar negeri diberlakukan prinsip personalitas tanpa memperhatikan sama sekali bagaimana pendirian dari negara dimana Warga Negara tersebut berdomisili. b. Kombinasi dalam sistem hukum Swiss, yaitu untuk orang – orang asing yang berada di luar negara Swiss diberlakukan Hukum Perdata Swiss, sedangkan kepada Warga Negara Swiss yang berada di luar negeri diberlakukan hukum dimana mereka berdomisili. Akan tetapi apabila hukum dari negara dimana mereka berdomisili menganut asas personalitas maka yang berlaku adalah Hukum Perdata Swiss. Jadi
50
Ibid, hlm 301 – 307
sistem campuran ini terjadi apabila Warga Negara Swiss itu berdomisili pada negara – negara yang menganut asas personalitas, sedangkan apabila Warga Negara Swiss yang berdomisili di negara – negara yang menganut prinsip teritorialitas, maka tidak akan terjadi kombinasi antara kedua prinsip tersebut, jika kita lihat lebih lanjut maka negara – negara yang menganut sistem kombinasi atau campuran ini pada dasarnya didorong oleh hasrat yang dinamakan “ Juristischem Chauvinismus “ yaitu hasrat untuk mengutamakan hukum negara sendiri dianggap yang paling baik.51 Selanjutnya diantara prinsip – prinsip yang ada dan berlaku tersebut maka prinsip yang dianut di Indonesia yang mana akan dipakai. Untuk mengetahui hal tersebut maka kita tidak dapat terlepas dari pasal 16 AB. Adapun pasal 16 AB menentukan bahwa : bagi Penduduk Hindia Belanda (sekarang Warga Negara Indonesia), peraturan – peraturan perundang – undangan yang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku terhadap mereka apabila mereka berada di luar negeri. Pasal ini berlaku sesuai dengan status personil yang mencakup : 1. Hukum perseorangan termasuk hukum keluarga dan hukum perkawinan ; 2. Peraturan – peraturan mengenai benda – benda yang tidak tetap.52 Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Hukum Perdata Internasional Indonesia menganut prinsip personalitas terhadap status personil, 51 52
Ibid, hlm 83 – 87 Sunaryati Hartono, Pokok – Pokok Hukum Perdata Internasional, cet I, Bandung, 1976, hlm 12
jadi dimanapun Warga Negara Indonesia berada maka untuk tatus personilnya tetap berlaku Hukum Nasional Indonesia. Prinsip nasionalitas ini nyatanya berlaku secara analogi bagi orang – orang asing (Warga Negara Asing) yang berada diwilayah Republik Indonesia. Dimana hal ini merupakan pendirian yang tetap dari Yurisprudensi. Adapun Yurisprudensi yang dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal tersebut di atas ialah: 1. Putusan Raad Van Justitie di Medan tanggal 8 Oktober 1925, yang menerima hukum Jepang yang berada di Indonesia, yang hendak minta pailismen tanpa bantuan suaminya ; 2. Putusan Hoogerchtshof tanggal 25 Juni 1936, telah mempergunakan hukum harta benda perkawinan Tionghoa untuk suami isteri yang telah menikah di Tiongkok pada tahun 1910.53 Demikianlah bahwa Hukum Perdata Internasional Indonesia menganut prinsip personalitas dan dengan demikian kemungkinan pemakaian hukum asing lebih banyak apabila sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang telah dirubah dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menganut asas Ius Sanguinis, yaitu seseorang
yang
mendapatkan
Kewarganegaraan
Republik
indonesia
berdasarkan atas keturunan. Sehingga dengan kenyataan yang demikian itu akan lebih banyak orang – orang asing di dalam negeri, akan tetapi bagi orang – orang asing tersebut
53
Sudargo Gautama, op –cit, hlm 179 – 180
tidak ditutup kemungkinan untuk masuk menjadi Warga Negara Indonesia yaitu melalui naturalisasi dan perkawinan campuran. 2.1. Hubungan Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran menurut hukum positif Indonesia saat ini mengacu pada Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Sebelum Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, diatur berdasarkan Undang - Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Pada prinsipnya
Undang
-
Undang
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
Kewarganegaraan menganut asas persamaan kedudukan yang mana wanita atau laki – laki yang kawin dengan orang asing dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesianya akibat perkawinan tersebut. Hal ini sesuai dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran tidak dengan sendirinya menentukan isteri takluk pada status kewarganegaraan suami, artinya tidak dengan sendiri isteri takluk pada hukum yang berlaku bagi suami. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “ bagi orang – orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara – cara yang telah ditentukan dalam Undang – Undang Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku”. Jadi dari ketentuan tersebut, baik laki – laki maupun perempuan
memiliki kedudukan yang sama yang mana akan dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan campuran tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mana laki – laki atau perempuan yang melakukan perkawinan campuran akan mengikuti status isteri atau suami apabila negara dari isteri atau suami menghendaki demikian. Namun apabila tidak, Undang – Undang memperbolehkan masing – masing pihak mempertahankan kewarganegaraannya. Dengan demikian, dalam perkawinan antara bangsa yang terjadi di Indonesia, Undang – Undang memberikan
kesempatan
bagi
suami
dan
isteri
untuk
memilih
kewarganegaraannya, yang berarti suami dapat memperoleh kewarganegaraan isteri jika ia memilih mengikuti kewarganegaraan isterinya, demikian juga isteri dapat memperoleh kewarganegaraan suami jika dia dengan kehendak sendiri menentukan mengikuti kewarganegaraan suami.54 Apabila dalam perkawinan campuran tersebut baik suami maupun isteri masing – masing tetap pada kewarganegaraan semula atau antara suami dan isteri menganut kewarganegaraan yang berbeda, maka akan menimbulkan masalah pada saat terjadi perceraian. Secara teoritis menurut Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, ada 3 (tiga) kemungkinan pengaruh yang ditimbulkan (konsekuensi / akibat hukum) dari perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga NegaraAsing, yaitu :
54
M.Yahya Harahap, Loc – cit.
1. Bagi Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga negara Indonesia dihadapan Pejabat. Kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan indonesia bagi Warga Negara asing tersebut diatur oleh ketentuan Pasal 19 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, hal ini berbeda, dimana dalam penjelasan umum maupun penjelasan Pasalnya tidak menentukan secara jelas dan tegas tentang Prosedur atau tata cara memperoleh Kewarganegaraaan Indonesia bagi Warga Negara Asing karena Perkawinan. Disamping itu Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
ini
juga
tidak
mengharuskan
peralihan
Kewarganegaraan bagi Warga Negara Asing yang kawin dengan Warga
Negara
Indonesia,
untuk
mengikuti
Kewarganegaraan
Pasangannya. Jadi
Undang
–
Undang
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
Kewarganegaraan tersebut melalui Pasal 19, dapat ditafsirkan bahwa peralihan Kewarganegaraan Bagi Warga Negara Asing yang bersangkutan bukanlah merupakan kewajiban atau keharusan, melainkan merupakan suatu hak. Ini berarti hak untuk memperoleh Kewarganegaraan
Indonesia
bersifat
alternatif,
artinya
dapat
dipergunakan atau tidak oleh Warga Negara Asing yang bersangkutan. Dengan kata lain Warga Negara Asing itu dapat mempertahankan Kewarganegaraan asalnya. 2. Si isteri yang berkewarganegaraan Indonesia dapat beralih mengikuti kewarganegaraan suaminya (Warga Negara Asing), hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menentukan bahwa : “ Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 5 (lima) persen wanita Warga Negara Indonesia yang beralih menjadi Warga Negara Asing karena perkawinan campuran, sedangkan sebagian besar dari mereka yaitu 95 (sembilanpuluh lima) persen tetap mempertahankan Kewarganegaraan Indonesianya.55 3. Si suami yang berkewarganegaraan Indonesia dapat beralih mengikuti kewarganegaraan isterinya (Warga Negara Asing), hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menentukan bahwa : “laki - laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal isterinya, kewarganegaraan
55
Wawancara dengan Bapak Drs. I Made Sukarya, R , Kepala Kantor Catatan sipil Kota Denpasar, tanggal 22 Desember 2008.
suami mengikuti kewarganegaraan isteri sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Mengenai status kewarganegaraan perempuan dan laki – laki dalam perkawinan campuran, Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran pada prinsipnya menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tidak memperkenankan adanya kewarganegaraan ganda. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran menyatakan bahwa “ perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”. Kemudian dalam Pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa “ laki – laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan Perempuan Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum
negara
asal
isterinya,
kewarganegaraan
suami
mengikuti
kewarganegaraan isteri sebagai akibat perkawinan tersebut”. Pasal 26 ayat (3) menyatakan bahwa “ perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki – laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau laki – laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.
Dari penjelasan Pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran menganut asas kewarganegaraan tunggal dalam perkawinan campuran. Bagi Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki atau perempuan Warga Negara Asing harus mengikuti kewarganegaraan isteri atau suami apabila hukum negara asal isteri atau suaminya menentukan seperti tersebut. Namun jika perempuan atau laki – laki yang kawin dengan Warga Negera Asing tersebut ingin tetap berkewarganegaraan Republik Indonesia
dapat mengajukan
permohonan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggalnya sepanjang permohonan tersebut tidak mengakibatkan kewarganegaraaan ganda. Jadi dalam perkawinan campuran masih
diperbolehkan
masing
–
masing
pihak
mempertahankan
kewarganegaraan masing – masing sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional yang dianutnya. Dalam hal terjadinya perceraian perkawinan campuran, tidak akan berpengaruh terlalu besar terhadap kewarganegaraan suami atau isteri. Walaupun masing – masing mempertahankan kewarganegaraan. Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan Indonesia dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada intinya bahwa perceraian perkawinan campuran tidak akan mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan para pihak. Berdasarkan hasil penelitan di lapangan, ternyata tidak ada peralihan Kewarganegaraan dari suami yang mengikuti kewarganegaraan isterinya. Hal
ini ditunjukkan bahwa pengaruh asas, bahwa isteri mengikuti suami masih tetap dominan dalam perkawinan campuran dan dalam keadaan yang demikian akan terjamin adanya kesatuan hukum dalam keluarga.56 Dengan terjadinya perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, maka timbul suatu permasalahan terhadap status Kewarganegaraan masing – masing pihak terhadap hal itu, maka kita berpatokan pada ketentuan Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“ bagi orang – orang yang berlainan kewarganegaraan yang melangsungkan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan nya menurut cara – cara yang telah ditentukan di dalam Undang – Undang kewarganegaraan Republik Indonesia”.57
Dari rumusan Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut maka tidak ada keharusan bagi para pihak untuk mengikuti Kewarganegaraan pasangannya, akan tetapi disini baik suami ataupun
isteri
diberikan
kebebasan
untuk
menentukan
status
Kewarganegaraan nya masing – masing atau pihak yang satu akan mengikuti Kewarganegaraan pihak lainnya, asalkan saja sehubungan dengan hal itu tidak bertentangan dengan Undang – undang yang ada dan berlaku. Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas menyerahkan pengaturannya mengenai kewarganegaraan dari seseorang karena perkawinan campuran kepada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 56 57
Kesimpulan wawancara dengan responden, tanggal 23 Desember 2008. KH. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1978, hlm 17
2006 tentang Kewarganegaraan. Di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ditentukan bahwa salah satu cara untuk memperoleh atau mendapatkan Kewarganegaraan Indonesia adalah melalui Perkawinan Campuran. Jika kita bandingkan kembali dengan Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958, Undang – Undang tersebut hanyalah menekankan peralihan Kewarganegaraan seorang isteri yang melakukan Perkawinan campuran, sehingga dalam hal ini hanya dapat kita lihat dalam hal seorang perempuan Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran dengan pria Warga Negara Indonesia, ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan yang berbunyi : “seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang Warga Negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan”.58
Dengan demikian akibat hukum perkawinan campuran yang dilakukan oleh laki – laki Warga Negara Indonesia terhadap status kewarganegaraan isteri dan anaknya menurut Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaran ialah isteri diharapkan mengikuti kewarganegaraan suami demi terciptanya kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan. Namun isteri juga dapat mempertahankan status Warga Negara Indonesianya dengan
58
I Gst. Kt Sutha dan Putu Sudarma Sumadi, Hatah, Setia Kawan, Denpasar, 1987, hlm 107 – 108
konsekuensi terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam perkawinan. Dan anak hasil perkawinan campuran oleh perempuan Warga Negara Indonesia otomatis berkewarganegaraan asing sesuai warga negara ayahnya, kecuali ayahnya tidak diketahui kewarganegaraannya, maka anak tersebut baru bisa menyandang status Warga Negara Indonesia dari ibunya. Sedangkan akibat hukum perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan Warga Negara Indonesia terhadap status kewarganegaraan isteri dan anak menurut Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran
ialah
isteri
tidak
lagi
diharapkan
mengikuti
kewarganegaraan suami karena Undang – Undang ini tidak lagi menganut asas kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan yang mengacu pada suami. Isteri dapat menentukan sendiri apakah ia mempertahankan status Warga Negara Indonesianya dan mengikuti kewarganegaraan suami. Dan anak hasil perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas sampai ia berumur 18 (delapanbelas) tahun atau sudah kawin. Setelah ia berumur 18 (delapanbelas) tahun atau sudah kawin, ia dapat memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau berkewarganegaraan asing sesuai kewarganegaraan salah satu orang tuanya. Khusus mengenai wanita Warga Negara Asing yang kawin dengan pria Warga Negara Indonesia, Surat Edaran Menteri Kehakiman Kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, tanggal 5 Januari 1959, Nomor JB 3/2/25, memberikan petunjuk sebagai berikut :
Apabila si wanita Warga Negara Asing itu membuat pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia, pernyataan tersebut akan hanya diterima setelah pemohon dapat membuktikan bahwa perkawinannya itu sah dan belum melampaui satu tahun. Ia juga harus membuktikan bahwa suaminya adalah Warga Negara Indonesia. Sementara itu ia juga tidak akan mempunyai kewarganegaraan lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia. Kemudian surat pernyataan atau permohonan yang dibuat pemohon harus melampiri :
1. Akte Perkawinan mereka ; 2. Akte Perkawinan pemohon ; 3. Bukti kewarganegaraan suami ; 4. Bukti kewarganegaraan (asing) pemohon ; 5. Pas photo pemohon ; 6. Surat keterangan perwakilan negara asal, yang menerangkan bahwa pemohon telah melepaskan kewarganegaraannya.59 Surat permohonan ini dibuat oleh si pemohon dan ditandatangani oleh pemohon dan juga oleh pasangan pemohon, dan diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat dan wilayah hukumnya meliputi dimana mereka berdomisili. Kemudian pada hari yang telah ditetapkan Ketua Pengadilan Negeri memanggil yang bersangkutan untuk disidangkan, yang kemudian sepanjang 59
Wawancara dengan Bapak I Nyoman Winggra, Panitera Kepala Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 23 Desember 2008.
hal – hal yang ditentukan di dalam Undang – Undang telah dipenuhi, maka Pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan Warga Negara Asing tersebut, sehingga ia menjadi Warga Negara Indonesia. Dalam praktek bila terjadi hal yang demikian, maka permohonan untuk mendapatkan
kewarganegaraan
Indonesia
bagi
pemohon
yang
berkewarganegaraan asing bukanlah diajukan kepada pengadilan Negeri, akan tetapi menurut keterangan Bapak I Nyoman winggra, Panitera Kepala Pengadilan Denpasar,60
Maka permohonan itu ditujukan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Pengadilan Negeri setempat dimana mereka berdomisili. Surat permohonan yang diajukan harus pula dilampiri dengan surat – surat sebagaimana lampiran pada surat permohonan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hanya saja dalam hal ini harus ditambah dengan alasan – alasan keterlambatan mengajukan permohonan tersebut. Tentang dikabulkannya atau tidak permohonan tersebut tergantung dari pertimbangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dengan adanya Pasal 19 ayat (3) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh Kewarganegaraan ganda, yang bersangkutan dapat diberikan izin tinggal tetap sesuai dengan Peraturan Perundang – undangan.
60
Ibid, tanggal 23 Desember 2008.
Sanksi hukum yang ditimbulkan apabila tenggang waktu di dalam mengajukan permohonan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu paling singkat 5 (lima) tahun berturut – turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut – turut tidak dipenuhi, maka Warga Negara Asing yang kawin dengan Warga Negara Indonesia tidak dapat diterima menjadi Warga Negara Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditolaknya surat permohonan pewarganegeraan yang telah diajukan di Pengadilan Negeri setempat. Bagi Warga Negara Asing yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraaan Pasal 19 ayat (2) yaitu paling singkat 5 (lima) tahun berturut – turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut – turut, menyatakan kehendaknya dengan sebuah pernyataan melepaskan kewarganegaraan asalnya. Untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, bagi Warga Negara Asing yang kawin dengan Warga Negara Indonesia yang maksudnya untuk mengikuti status kewarganegaraan pasangannya setelah jangka waktu yang telah ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraaan Pasal 19 ayat (2) tidak bisa diterima menjadi Warga Negara Indonesia dikarenakan Pengadilan Negeri setempat tidak dapat menyelesaikan hal tersebut sebagaimana mestinya, sebagai akibat dari surat pernyataan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena
perkawinannya telah lewat jangka waktunya, yang telah ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Maka upaya hukum yang berkenaan dengan maksud dari pada Warga Negara Asing untuk ikut status kewarganegaran pasangannya adalah setelah surat permohonan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia itu diterima dan diperiksa tentang Pelaksanaan kelengkapan dari pada surat permohonan tersebut oleh Pengadilan Negeri setempat, Pengadilan Negeri mengirimkan berkas permohonan pewarganegaraan tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan permohonan pewarganegaraan Republik Indonesia yang permohonannya sudah ditolak oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat
mengajukan
permohonan
kembali
dengan
menunjukkan
dan
memberitahukan nomor dan tanggal surat penolakan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tanpa kewarganegaraan. Setelah mendapatkan keputusan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berupa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri setempat, menyerahkan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang dikirim oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada orang yang bersangkutan setelah yag bersangkutan membubuhkan tanda tangan dan sidik ibu jari tangan kiri pada tempat yang sudah disediakan.61
61
Loc cit.
Dari apa yang diuraikan di atas, maka dapat kita lihat bahwa mereka yang melakukan perkawinan campuran berhak dengan bebas menentukan sikapnya untuk memilih kewarganegaraan yang berlaku baginya sehubungan dengan terjadinya perkawinan campuran yang dilakukan. Dalam hal ini apakah si isteri mengikuti kewarganegaraan suami atau suami mengikuti kewarganegaraan
isterinya
atau
mereka
tetap
mempertahankan
kewarganegaraan nya sendiri. Dengan adanya kebebasan bagi para pihak adalah hal menentukan kewarganegaraan mereka, ini menimbulkan 2 (dua) kemungkinan dalam hubungannya dengan hokum yang berlaku bagi mereka, sebab Pasal 59 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menentukan bahwa : “ Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan campuran maupun sebagai akibat putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku bagi mereka baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata”.62 Kemungkinan – kemungkinan tersebut, yaitu apabila suami isteri tetap mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, dimana satu pihak tetap kewarganegaraan Indonesia dan dipihak lain tetap berkewarganegaraan asing, maka di dalam keluarga tersebut berlaku hukum yang berbeda. Sedangkan apabila suami isteri mempunyai kewarganegaraan yang sama disebabkan karena misalnya si isteri yang beralih kewarganegaraan, maka disini akan terjadi kesatuan hukum yang berlaku di dalam keluarga tersebut maka
62
KH. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1978, hlm 17
kesulitan – kesulitan yang ditimbulkan sebagai akibat dari berlakunya hukum yang berbeda di dalam satu keluarga diharapkan akan dapat dihindarkan. 2.2.Hubungan Antara Orang Tua dengan Anak – Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Campuran Dimuka telah disinggung bahwa suatu perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat – akibat hukum yang sah pula, demikian juga halnya dengan suatu perkawinan termasuk perkawinan campuran yang sah mengakibatkan sahnya anak – anak yang terlahir dari perkawinan campuran tersebut. Oleh karena perkawinan campuran di Indonesia melibatkan salah satu pihak Warga Negara Asing, maka disini timbul permasalahan, bagaimana status kewarganegaraan dari anak – anak yang lahir dari perkawinan campuran, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak banyak menyinggung hal ini, hanya di dalam Pasal 62 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa : Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini.63 Ini berarti bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memberikan petunjuk kewarganegaraan dari seorang anak menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
63
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 65
Oleh karena orang tua mereka pada mulanya berkewarganegaraan yang berbeda, yaitu salah satu pihak Warga Negara Indonesia dan pihak yang lain Warga Negara Asing dan dengan perkawinan yang mereka langsungkan tidak ada suatu keharusan bagi pihak yang satu untuk mengikuti kewarganegaraan pihak yang lain, melainkan kedua pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kewarganegaraan ini. Dengan demikian untuk melihat bagaimana status kewarganegaraan anak – anak mereka maka dapat kita lihat : 1. Dalam hal salah satu pihak beralih kewarganegaraan nya, sehingga disini terdapat kesamaan kewarganegaraan antara suami isteri. Dalam keadaan seperti ini timbul 2 (dua) kemungkinan yaitu : a. suami isteri tersebut menjadi berkewarganegaraan Indonesia, bila hal ini terjadi maka anak – anak yang lahir sudah tentu berkewarganegaraan Indonesia. Dari segi hukum keadaan yang demikian memberikan dampak positif. Ini sesuai dengan memori penjelasan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan antara lain yaitu : keturunan adalah dipakai sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan, adalah suatu hal yang wajar apabila suatu negara menganggap seorang anak sebagai warganegaranya, dimanapun ia dilahirkan apabila orang tua dari anak itu Warga Negara dari negara tersebut. b. Jika
suami
mengikuti
berkewarganegaraan
asing
kewarganegaran maka
hal
isteri
yang
tersebut
menjadi
berkewarganegaraan asing. Oleh karena Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menganut asas Ius Sanguinis (asas keturunan) sebagai dasar untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, maka sudah tentu anak – anak yang terlahir dari orang tua yang berkewarganegaraan asing adalah termasuk Warga Negara Asing pula. Kecuali bila Undang – Undang Kewarganegaraan dari negara orang tuanya tidak dapat menerima anak tersebut menjadi warga negaranya, misalnya karena Undang – Undang tersebut mengandung asas tempat kelahiran untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Dan jika anak tersebut lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, maka menurut Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
anak
tersebut
menjadi
Warga
Negara
Indonesia. Kenyataan dalam hal ini di Indonesia jarang sekali terjadi, bahkan hampir tidak ada karena anak bagi orang tua merupakan
buah
hati
sehingga
apabila
mereka
masuk
kewarganegaraan lain, maka setelah nantinya orang tua tiada maka segala harta milik orang tua tidak dapat dimiliki oleh anak tersebut. 2. Dalam
hal
suami
isteri
masing
–
masing
pihak
tetap
mempertahankan kewarganegaraannya, sehingga dalam hal ini antara suami isteri tetap mempunyai kewarganegaraan yang berbeda,
dalam keadaan seperti itu maka timbul akibat hukum sebagai berikut : a. Timbul perbedaan kewarganegaraan dan sistem hukum yang berlaku dalam keluarga yang bersangkutan. b. Jika status kewarganegaraan anak – anak mereka menjadi dwi kewarganegaraan, anak – anak tersebut diberi kesempatan sampai anak tersebut berumur 18 (delapanbelas) tahu dan dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun setelah berusia 18 (delapanbelas) tahun, anak tersebut harus menyampaikan kehendaknya untuk memilih salah satu kewarganegaraan yaitu memilih atau melepaskan Kewarganegaraan
Indonesia
dengan
menyampaikan
surat
pernyataan kepada Pejabat yang berwenang. c. Harta benda baik yang merupakan harta bawaan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan, bercampur secara bulat sebagai harta bersama. Pada hakekatnya perbedaan kewarganegaraan dalam keluarga menimbulkan banyak permasalahan dan ketidak pastian hukum, sehingga jalan yang paling ideal untuk mengatasinya adalah dengan menyatukan kewarganegaraan suami isteri yang bersangkutan. Namun kita seolah – olah berada dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal, karena pada satu sisi perbedaan kewarganegaraan itu menimbulkan permasalahan tetapi pada sisi lainnya perbedaan kewarganegaraan (mempertahankan kewarganegaraan masing – masing) tidak dilarang bahkan merupakan suatu hak setiap individu.
Dalam keadaan seperti itu, oleh karena Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 66 masih memungkinkan untuk berlakunya GHR dalam hubungannya dengan perkawinan campuran sehingga dalam hal ini kita lihat ketentuan Pasal 11 GHR yang menyatakan bahwa : “ anak – anak yang lahir dari perkawinan campuran mempunyai kedudukan hukum menurut hukum bapak mereka, baik terhadap hukum publik maupun hukum sipil.64 Karena kedudukan hukum si anak baik terhadap hukum publik maupun terhadap hukum perdata mengikuti hukum bapaknya dan jika kemudian ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 59 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka status kewarganegaraan bapaknya menurut keterangan Bapak Drs. I Made Sukarya R, kepala kantor catatan sipil kota Denpasar65 di dalam kenyataannya bahwa ada beberapa orang yang melakukan perkawinan campuran setelah mempunyai anak maka anak mereka mengikuti kewarganegaraan ibunya. Tetapi pada umumnya dari sekian banyak orang yang melakukan perkawinan campuran
maka
anak
–
anak
mereka
lebih
banyak
mengikuti
kewarganegaraan bapaknya (Kewarganegaraan Indonesia), khususnya di Bali juga di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia dan hubungan ini terjadi sebelum anak itu berumur 18 (delapanbelas) tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah
64
KH. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1978, hlm 64 65 Wawancara dengan Bapak Drs. I Made Sukarya R, kepala kantor catatan sipil kota Denpasar, tanggal 22 Desember 2008.
18 (delapanbelas) tahun, maka anak ini mengikuti kewarganegaraan bapaknya sehingga dalam hal ini ia berkewarganegaaan Indonesia. Jelas di dalam suatu perkawinan yang dimaksud disini ialah perkawinan campuran yang sah menurut hukum yang berlaku, sehingga anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut adalah sah pula, atau setidak – tidaknya anak tersebut diakui oleh ayahnya dan disahkan menurut hukum sehingga mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, walaupun kewarganegaraan dari ayah dan ibunya tetap berbeda. Dalam hal tiada perkawinan yang sah antara seorang laki – laki Indonesia dengan perempuan asing baik menurut hukum adat maupun hukum nasional kita, maka anak – anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut dianggap tidak mempunyai bapak akan tetapi anak tersebut tetap mempunyai itu yang sah yaitu perempuan yang melahirkannya dan anak tersebut mempunyai hubungan hukum yang sah pula dengan ibunya. Sehingga dengan demikian si anak mengikuti kewarganegaraan ibunya (Warga Negara Asing). Hal ini banyak terjadi di Bali karena semakin pesatnya perkembangan Pariwisata. Salah satu contoh yaitu perkawinan I Wayan Simpen dengan perempuan berkewarganegaraan Australia yang bernama Melyne. Menurut keterangan I Wayan Simpen66 ketidaksahannya perkawinan mereka karena : a. Tidak mendapatkan surat ijin pernikahan dari Kantor Kepala Desa karena belum ada surat keterangan dari kedutaan / konsulat Australia; b. Si isteri tidak mau mengikuti upacara adat setempat. 66
Wawancara dengan I Wayan Simpen, pasangan perkawinan campuran di kota Denpasar, tanggal 24 Desember 2008.
Walaupun belum sahnya perkawinan mereka tetapi setelah beberapa bulan lamanya si isteri melahirkan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan yang dilahirkan itu mengikuti status kewarganegaraan ibunya yaitu Berkewarganegaraan Australia. Terhadap anak yang seperti itu Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memberikan peluang terhadap orang asing yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan asas Ius Soli atau berdasarkan Naturalisasi. Demikian banyaknya akibat – akibat yang ditimbulkan adanya perkawinan campuran antara Pria Warga Negara Indonesia dan Wanita Warga Negara Asing, namun semua permasalahan yang ada bisa diatasi dengan ketentuan – ketentuan yang ada dan berlaku di Indonesia dan yang terpenting bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan merupakan pedoman dalam mengatasi bagi orang – orang yang melakukan perkawinan campuran. Namun kita juga tetap memperhatikan ketentuan – ketentuan lama seperti GHR sepanjang belum diatur dalam ketentuan yang baru.
2.3. Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh suami isteri selama suami isteri dalam ikatan perkawinan.67 Berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 35 ayat (1) 67
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi – Sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1977, hlm 171
dinyatakan bahwa “ harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dapat dikatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memandang bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, tidak peduli siapa yang memperoleh harta tersebut. Pengertian harta bersama menurut KUH Perdata berbeda dengan pengertian yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta bersama menurut KUH Perdata disebut Gameenschap atau persatuan harta kekayaan yang diatur dalam Bab VI KUH Perdata yaitu Pasal 119 sampai dengan Pasal 138. Menurut KUH Perdata, sejak saat dilangsungkan perkawinan maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan – ketentuan dalam perjanjian kawin. Harta bersama itu selama perkawinan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu perjanjian antara suami isteri hal ini diatur dalam Pasal 119 KUH Perdata. Bersamaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang –barang bergerak dan barang tidak bergerak suami isteri, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang – barang yang mereka peroleh secara Cuma – Cuma, kecuali
bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang
menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas (Pasal 120 KUH Perdata).
Dalam Pasal 119 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa terhitung sejak mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami isteri sejauh tidak diadakan perjanjian kawin tentang hal tersebut. Jadi dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah persatuan harta kekayaan seluruhya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata maupun berupa piutang sebelum perkawinan serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama dalam perkawinan. Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami atau isteri masing – masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37. Dalam Pasal 35 disebutkan sebagai berikut : 1. Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2. Harta Bawaan masing – masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kemudian dalam Pasal 36 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa : 1. Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; 2. Mengenai harta bawaan masing – masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Mengenai pengurusan seperti tercantum dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, apabila suami atau isteri mau melakukan penjualan atau perbuatan hukum lainnya seperti membebaninya, memindah tangankan dilakukan atas persetujuan bersama. Sedangkan mengenai harta bawaan, untuk melakukan perbuatan hukum tidak perlu adanya persetujuan dari suami atau isteri, masing – masing dapat bertindak sendiri – sendiri demikian pula terhadap harta lainnya seperti hadiah, warisan, sejauh tidak ditentukan lain oleh masing – masing. Artinya sejauh tidak dibuat suatu perjanjian perkawinan sesuai dengan Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan : 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga;
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas – batas hukum, agama, dan kesusilaan; 3 Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; 4. selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Perjanjian perkawinan dibuat untuk menghindari atau pengecualian terhadap sistem percampuran harta bersama menurut KUH Perdata maupun harta bersama menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi perjanjian perkawinan ini merupakan penyimpangan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, dengan sendirinya percampuran harta kekayaan bersama secara kesuluruhan menurut hukum tidak akan terjadi. Mengenai hukum yang berlaku terhadap harta benda perkawinan jika terjadi perceraian di Indonesia diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatkan “ bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing – masing”. Setiap negara di dunia memiliki kaidah – kaidah hukum yang berbeda menyangkut harta benda dalam perkawinan. Ada yang menganggap hukum harta benda perkawinan seperti benda tidak bergerak yang mask dalam status riil. Ada pula yang
menganggap bahwa hukum harta benda perkawinan
termasuk dalam status personal, dengan demikian dianut sistem kesatuan
hukum yang mengatur harta benda perkawinan, tanpa membedakan antara benda bergerak dan tidak bergerak. Ada yang memandang hukum harta benda perkawinan merupakan suatu kontrak antara mempelai, oleh karena itu kehendak para pihaklah yang menentukan hukum yang harus dipergunakan. Para pihak dapat membuat syarat – syarat perkawinan dan digunakan hukum yang telah mereka pilih.68 Apabila suami isteri mempunyai Kewarganegaraan yang berbeda, maka bagi negara yang menganut prinsip nasionalitas timbul berbagai kesulitan dalam hal menentukan hukum harta benda perkawinan, namun saat ini banyak mempergunakan hukum dari domisili bersama pertama atau tempat kediaman sehari – hari yang pertama setelah perkawinan sebagai hukum yang berlaku terhadap harta benda perkawinan.69 Pasal 37 menyebutkan bahwa “ bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur oleh hukumnya masing – masing “. Dari pasal – pasal di atas dapat dikatakan bahwa mengenai harta benda perkawinan di Indonesia menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi 3, yaitu :
1. Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan; 2. Harta bawaan yaitu hart benda yang dibawa oleh masing – masing suami isteri ketika terjadi perkawinan;
68
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1995, Hlm232 – 233 69 Ibid, hlm 266
3. Harta perolehan yaitu harta benda yang diperoleh masing – masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan.70 Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, apabila suami atau isteri mau melakukan penjualan atau perbuatan hukum lainnya dilakukan atas persetujuan bersama. Sedangkan mengenai harta bawaan, untuk melakukan perbuatan hukum tidak perlu adanya persetujuan dari suami atau isteri, masing – masing dapat bertindak sendiri – sendiri.
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan
70
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 102
Dari uraian pada pembahasan yang dikemukan dalam tesis ini, sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkawinan
campuran
yang
dilakukan
di
Indonesia
dilaksanakan
berdasarkan Hukum perkawinan Indonesia yaitu Undang – Undang Nomor 1 Tahhun 1974 tentang Perkawinan. Untuk melaksanakan perkawinan harus memenuhi syarat materiil dan syarat formiil. Pada umumnya ada 3 (tiga) kemungkinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran yaitu : pertama melakukan upacara keagamaan dan adat istiadat yang mereka anut, setelah itu perkawinan tersebut dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Kedua perkawinan dicatatkan di kantor Catatan Sipil terlebih dahulu baru melakukan upacara keagamaan. Ketiga hanya melangsungkan perkawinan sekaligus mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil tanpa disertai upacara keagamaan. Dalam pelaksanaan perkawinan campuran ada yang menghendaki perkawinan mereka dibuat dengan Perjanjian kawin dan sebaliknya tanpa perjanjian kawin tergantung kesepakatan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan campuran. 2. Perkawinan campuran yang dilakukan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing menimbulkan akibat hukum yaitu : pertama adanya hubungan antara suami dan isteri, isteri tidak lagi diharuskan mengikuti kewarganegaraan suami karena Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan
tidak
lagi
menganut
asas
kesatuan
kewarganegaraan dalam perkawinan yang mengacu kepada suami. Kedua hubungan antara orang tua dan anak, anak dari hasil perkawinan campuran
memperoleh
kewarganegaraan
ganda terbatas
sampai berumur
18
(delapanbelas) tahun atau sudah kawin, setelah berumur 18 (delapanbelas) tahun atau sudah kawin ia dapat memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau berkewarganegaraan asing sesuai dengan kewarganegaraan salah satu orang tuanya. Ketiga mengenai harta bersama yang ditimbulkan dari perkawinan campuran, perkawinan campuran yang dilakukan dengan membuat perjanjian kawin, mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi harta pribadi masing – masing, sedangkan perkawinan campuran yang dilakukan tanpa membuat perjanjian kawin mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan maupun kerugian yang ditimbulkan selama perkawinan menjadi tanggung jawab bersama.
2. Saran – saran 1. Karena perkawinan campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengandung pengertian jauh lebih sempit dari pengertian perkawinan campuran menurut GHR, maka kepada aparat desa serta tokoh – tokoh masyarakat dan pemerintah harus tanggap terhadap istilah perkawinan campuran dan sekaligus memahami kehendak dari Undang – Undang agar tidak terulang lagi kasus perkawinan Warga Negara Asing dengan Warga Negara Asing di wilayah kita khususnya di Bali yang melecehkan adat istiadat kita yang sudah dianggap sakral. Apabila
masyarakat mengetahui akan dilangsungkannya suatu perkawinan oleh sesama orang asing dan akan dilangsungkan di Bali menurut adat istiadat kita, agar masyarakat yang mengetahui hal itu segera melaporkannya kepada yang
berwenang.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mencegah
adanya
penyelundupan hukum dan memakai adat istiadat kita yang sakral hanya digunakan sebagai iseng – iseng atau semata – mata untuk kepuasan batin. 2. Demi lebih efektivitasnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka kepada masyarakat perlu diberikannya penyuluhan hukum tentang peranan dan akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap status kewarganegaraan para pihak, sehingga akibat hukum yang timbul dari perkawinan campuran beralih kewarganegaraan dan status anak – anak mereka benar – benar dapat dipahami oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku - buku Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung. Ali Afandi, 2000, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Altherton & klemmack dan Irawan Soehartono, 1999, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Lainnya, Remaja Rosda Karya, Bandung. H.B Sutopo, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta. Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.
_________________,2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung. I Gst. Kt Sutha dan Putu Sudarma Sumadi, Hatah, Setia Kawan, Denpasar I Ketut Mandra, 1986, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana. K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta . KH. Hasbullah Bakry, 1978, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan. M. Yahya Harahap, 1975, Pembahasan Undang – Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading co, Medan. _______________, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, Sahir co, Medan. Mulyadi, 2008, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1977, Sendi – Sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Yumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Saidus Syahar, 1976, Undang – Undang perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari segi Hukum Islam, Alumni, Bandung. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta : UI Press. _______________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta.
Sudargo Gautama, Aneka masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985. ______________,1995,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni,
Bandung. Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Sugiono, 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Sunaryati Hartono, 1976, Pokok – Pokok Hukum Perdata Internasional, cet I, Bandung. Suteki, 2007, Hak Atas Air (di Tengah Liberalisasi Hukum dan Ekonomi dalam Kesejahteraan), Pustaka Magister Kenotariatan, Semarang.
Sutrisno Hadi, 2001, Metodologi Riset Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksana Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974.
INTERNET
http : // jurnalhukum.blogspot.com http : // Keabsahan dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran oleh Perempuan Warga Negara Indonesia Menurut Hukum Indonesia. http : // perkawinan campuran dalam hukum positif di Indonesia. http: // Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia.