PELAKSANAAN ISBAT NIKAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011)
SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh: ASA MAULIDA SULHAH NIM 21108011
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
PELAKSANAAN ISBAT NIKAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011)
SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh: ASA MAULIDA SULHAH NIM 21108011
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara : Nama
: Asa Maulida Sulhah
NIM
: 21108011
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhshiyyah
Judul
:
PELAKSANAAN
ISBAT
NIKAH
PASCA
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 20092011) Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 31 Juli 2012 Pembimbing
Evi Ariyani, MH NIP. 197311172000032002
SKRIPSI PELAKSANAAN ISBAT NIKAH PASCA BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011) DISUSUN OLEH ASA MAULIDA SULHAH NIM: 21108011 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 31 Agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana S1 Hukum Islam Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
__________________
Sekretaris Penguji : Abdul Aziz, N.P,MM
__________________
Penguji I
: Luthfiana Zahriani, M.H
__________________
Penguji II
: Ilyya Muhsin, M.Si
__________________
Penguji III
: Evi Ariyani, M.H
__________________
Salatiga, 31 Agustus 2012 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Asa Maulida Sulhah
NIM
: 21108011
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 31 Juli 2012 Yang menyatakan,
Asa Maulida Sulhah
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jadilah Orang Baik, Jangan Sekedar Kelihatan Baik …
PERSEMBAHAN Untuk kedua orang tuaku, Untuk teman curhatku (adikku), Para Dosenku dan staf Kampus 2 STAIN Salatiga, Sahabat-sahabat Syurban yang kusayang (AS’08), Dan teman spesialku yang memotivasiku dalam menjalani kehidupan ini.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamiin… Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat – Nya, kesabaran dan ketelitian. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 20092011)”, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S1 Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Mubassirun, S.HI, M.Si selaku Ketua Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah (AS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 4. Ibu Evi Ariyani, MH selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama (PA) Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di PA Salatiga.
6. Para Dosen Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do’a selama penulis menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 7. Sahabat-sahabatku yang selalu mendukung penulis selama menyusun skripsi ini dan teman-teman sejawat yang memberikan kesempatan kepadapenulis untuk menyusun skripsi ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga amal kebaikan dari beliau semua mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Salatiga, 28 Juli 2012
Penulis
ABSTRAK
Sulhah, Asa Maulida. 2012. Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, MH. Kata Kunci: Pelaksanaan Isbat Nikah dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Isbat Nikah pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Pengadilan Agama. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) faktor apa yang mendorong masyarakat untuk melakukan isbat nikah?, (2) bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama?, dan (3) apakah pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memutuskan permohon isbat nikah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yurisprudensi Normatif yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Temuan penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat khususnya masyarakat Salatiga untuk melakukan isbat nikah. Selain itu juga untuk mengetahui cara pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama (PA) khususnya di PA Salatiga. Dan untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan isbat nikah. Berdasarkan hasil penelitian, faktor pendorong masyarakat Salatiga melakukan isbat nikah adalah karena buku akta nikahnya hilang. Sedangkan pelaksanaan isbat nikah di PA Salatiga jarang terjadi, hanya tujuh permohonan yang diajukan dari tahun 2009-2011. Dan dalam memutus permohonan isbat nikah, pertimbangan hakim sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
DAFTAR ISI
JUDUL
i
LEMBAR BERLOGO
ii
JUDUL
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
iv
PENGESAHAN KELULUSAN
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
vii
KATA PENGANTAR
viii
ABSTRAK
x
DAFTAR ISI
xi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Fokus Penelitian
5
C. Tujuan Penelitian
5
D. Kegunaan Penelitian
6
E. Penegasan Istilah
6
F. Metode Penelitian
7
G. Sistematika Penulisan
BAB II
11
KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan
13
a. Pengertian
13
b. Dasar Hukum Perkawinan
15
c. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
20
d. Bentuk Perkawinan yang Dibatalkan Islam
22
B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan
25
C. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Perkawinan
27
D. Isbat Nikah
30
E. Pencatatan Perkawinan
33
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
40
B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga
41
C. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga
41
D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
42
E. Permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama Salatiga
44
F. Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Salatiga
45
G. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Permohonan Isbat Nikah
BAB IV
50
PEMBAHASAN A. Faktor Pendorong Masyarakat Melakukan Isbat Nikah B. Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama
54 58
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Permohonan Isbat Nikah
BAB V
60
PENUTUP A. Kesimpulan
64
B. Saran
65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
66
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial yang disebutkan Aristoteles sebagai Zoon Politicon, sudah wajar dan menjadi tuntutan bahwa manusia senantiasa memerlukan manusia lain dalam kehidupannya untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia mempunyai kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan makan, olahraga, istirahat, dll. Sedangkan kebutuhan rohani diperoleh dari spiritual dan kebutuhan biologis. Kebutuhan biologis ini bisa terpenuhi dengan melakukan perkawinan yang sah di mata hukum. Dengan demikian manusia bisa melahirkan keturunan agar jenisnya tidak punah. Perkawinan ini tidak dilakukan dengan sesuka hati manusia, karena manusia hidup dalam masyarakat yang tentunya ada kaidah dan norma yang mengaturnya. Selain itu suatu perkawinan adalah hal yang sangat penting keberadaannya. Hal ini bisa kita cermati melalui beberapa sudut pandang. Menurut ahli hukum diantaranya Sayuthi Thalib (1929-1992) dan Mohd. Idris Ramulyo, perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu: 1. Perkawinan dari segi sosial; 2. Perkawinan dari segi agama; 3. Perkawinan dari segi hukum. (Thalib, 1986:47-48)
Segi sosial dari suatu perkawinan ialah bahwa dalam setiap masyarakat (bangsa), ditemui suatu penilaian umum bahwa orang yang berkeluarga dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin (Ramulyo, 1999:18). Sedangkan dari sudut pandang keagamaan, perkawinan merupakan sesuatu hal yang dipandang suci (sakral). Selain itu, perkawinan akan semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek hukum. Dari segi hukum, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan (peristiwa) hukum (rechts feit), yakni: “Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subjek hukum atau karena subjek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum” (Soeroso, 1993:251). Sebagai negara hukum, Indonesia pun mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Sebelum merdeka, di Indonesia masalah perkawinan diatur berdasarkan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) dalam Buku II tentang Orang. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. LN Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor 3019/1974. Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan dalam pasal 2 (2) undangundang ini disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasar pasal 2 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini berarti bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan. Karena pencatatan itu merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara. Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suatu akta resmi (surat keterangan) yang dimuat dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu (Thalib, 1974:75). Pencatatan perkawinan ini dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang bertugas mencatat perkawinan dan perceraian pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non Islam. Setelah perkawinan tersebut dicatat oleh PPN, maka pasangan suami isteri tersebut memperoleh akta perkawinan. Akta tersebut menjadi bukti diakuinya suatu perkawinan. Adanya pengakuan dari Negara atas suatu perkawinan akan mempermudah pasangan suami isteri untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan administrasi Negara. Misalnya untuk
pembuatan akta kelahiran anak, untuk pembuktian pembagian warisan, dan untuk pembuktian dalam perceraian. Sedangkan konsekuensi dari perkawinan yang tidak diakui oleh Negara adalah sulitnya mengurus halhal yang berkaitan dengan hukum dan administrasi Negara. Misalnya anak hasil perkawinan tersebut tidak bisa mempunyai akta kelahiran, suami atau isteri kesulitan dalam hal pembagian warisan karena tidak ada bukti hubungan keluarga, dan tidak bisa melakukan perceraian yang berkekuatan hukum karena dianggap tidak pernah terjadi suatu perkawinan. Di Indonesia, keharusan melakukan pencatatan perkawinan baru ada setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengakuan atas perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat ditempuh dengan cara mengajukan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi orang yang beragama Islam. Untuk orang yang beragama non Islam, bisa mengajukan permohonan penetapan perkawinan di Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Agama dalam melaksanakan isbat nikah juga tidak sembarangan.
Mereka
harus
menyelidiki
apa
alasan
masyarakat
melakukan isbat nikah tersebut. Karena dalam era globalisasi seperti sekarang ini masih ada oknum yang tidak mencatatkan perkawinannya karena mungkin perkawinan yang dilakukan itu bermasalah. Misalnya saja kawin kontrak, kawin sirri, atau melakukan poligami. Padahal dari
perkawinan tersebut pasti akan timbul permasalahan yang berkaitan dengan anak dan harta. Jadi mereka harus tetap mencari pengakuan atas perkawinan tersebut untuk memperoleh hak mereka yang berkekuatan hukum. Maka dari itu penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama setelah berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Adapun judul penelitian ini adalah “PELAKSANAAN ISBAT NIKAH PASCA BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011).”
B.
Fokus Penelitian Penelitian ini terfokus pada permasalahan-permasalahan yang melingkupi orang-orang yang mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama serta para hakim yang menangani masalah isbat nikah tersebut. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor apa yang mendorong masyarakat Salatiga untuk melakukan isbat nikah? 2. Bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama Salatiga? 3. Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan isbat nikah tersebut?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukan isbat nikah. 2. Mengetahui cara pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. 3. Mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan isbat nikah.
D.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru yang lebih komprehensif mengenai fungsi dan pentingnya isbat nikah. Karena memang masalah perkawinan ini sangat riskan, karena tidak hanya menyangkut kehidupan pasangan suami istri tetapi juga menyangkut masalah anak hasil perkawinan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, agar menerapkan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Karena sudah cukup banyak masalah hukum perkawinan yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatat ini.
E.
Penegasan Istilah Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah :
1. Isbat adalah penyungguhan, penetapan, ketetapan (Poerwadarminta, 2006:453). 2. Isbat Nikah adalah penetapan atau pengesahan nikah oleh Pengadilan Agama (KHI pasal 7).
F.
Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundanganundangan yang berlaku atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal tentang pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angkaangka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan terjun langsung ke Pengadilan Agama. Sehingga data yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong, 2008:6).
2.
Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrument sekaligus menjadi pengumpul data. Instrument lain yang digunakan
penulis adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrument ini hanya sebagai pendukung tugas penulis sebagai instrument. Oleh karena itu kehadiran penulis di lapangan mutlak diperlukan. Selain itu, penulis juga berperan sebagai partisipan penuh, yang mana penulis membaur dengan obyek penelitian. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.
3.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Salatiga. Karena para masyarakat yang beragama Islam yang ingin mengajukan isbat nikah memang harus ke Pengadilan Agama setempat. Dan masyarakat Salatiga dan sekitarnya banyak yang mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama Salatiga.
4.
Sumber Data Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian penulis menggunakan obyek penelitian berupa populasi (Arikunto, 1987:115). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah para informan yaitu para hakim Pengadilan Agama Salatiga. Selain itu penulis juga akan meneliti permohonan isbat nikah yang masuk ke Pengadilan Agama Salatiga untuk lebih memperjelas data yang dibutuhkan.
5.
Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Dalam observasi penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan yang akan diteliti. b. Wawancara Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis
data
dengan
teknik
komunikasi
secara
langsung
(Surakhmad, 1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah para hakim Pengadilan Agama Salatiga. c. Dokumentasi Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari Pengadilan Agama. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data. d. Studi pustaka Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya.
6.
Analisis Data Setelah seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode : a. Deskriptif Penyelidikan
yang
menuturkan,
menggambarkan,
menganalisa dan mengklasifikasikan penyelidikan dengan teknik survey, interview, dan observasi (Surakhmad, 1990:139) b. Kualitatif Penelitian
yang
tidak
mengadakan
perhitungan
(J.
Moleong, 2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses siklus. Penulis dalam menyusun data tidak menggunakan rumus-rumus statistik tetapi menggunakan bentuk tabulasi, yaitu penyusunan dalam bentuk tabel. Lewat tabulasi data lapangan akan tampak ringkas dan tersusun ke dalam satu tabel yang baik, data dapat dibaca dengan mudah serta maknanya akan mudah dipahami (Koentjaraningrat, 1994: 280). 7.
Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa
teori. Teori-teori ini nanti digunakan penulis sebagai bahan untuk pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian, dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya. 8.
Tahap-tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga untuk mencari data awal mengenai kasus isbat nikah. Kemudian penulis melakukan pengembangan desain dari data awal tadi dan selajutnya penulis melakukan penelitian yang sebenanya. Setelah itu penulis melakukan penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
G.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : BAB I
: Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
penegasan istilah, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II
: Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang Perkawinan,
Undang-Undang
Perkawinan,
Pencatatan
Perkawinan, dan Isbat Nikah. BAB III
: Dalam bab ini berisi paparan data dan temuan penelitian.
BAB IV
: Dalam bab ini berisi faktor pendorong masyarakat Salatiga melakukan isbat nikah, pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama Salatiga, dan permohonan hakim dalam memutus permohonan isbat nikah.
BAB V
: Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.
Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhtumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembangbiak dan melestarikan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhtumbuhan, hewan dan manusia dan menunjukan proses generatif yang alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat-istiadat, dan terutama menurut hukum agama. Adapun menurut syarak, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah
serta
masyarakat
yang
sejahtera
(Tihami,
2009:8).
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 Bab
I pasal I “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Demikian pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II disebutkan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dengan demikian, pernikahan merupakan suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral. Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan yang telah disebutkan diatas terutama dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974, dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Tampak bahwa definisi dari UU No 1 tahun 1974 lebih representatif dan lebih jelas serta tegas dibandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam. Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan tersebut dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksudkan adalah: Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin keharusan ada ijab kabul pada sebuah perkawinan seperti tersurat dalam anak
kalimat “Ikatan lahir batin”. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam meskipun didalamnya disebutkan kata “akad yang sangat kuat” dan mitsaqan
ghalidzan
yang
terdapat
sesudahnya
yang
tidak
menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukan kepada sebutan atau julukan dari sebuah akad nikah. Kedua, kata-kata “antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan ada perkawinan antara sesama pria (gay) atau antara sesama wanita (lesbian) di negara hukum Indonesia. Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh UndangUndang Perkawinan. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni “membentuk keluarga (rumah tangga) bahagian dan kekal,” sementara KHI yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.
2. Dasar Hukum Perkawinan Hukum nikah (perkawinan) yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunnatullah hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh tumbuhtumbuhan sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur’an Surat AlDzariat:49 :
ÇÍÒÈ tb rã©.x‹ s? ÷/ä3 ª=yès9 Èû÷üy` ÷ry— $oYø)n=yz >äóÓx« Èe@ à2
` ÏBur
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. Firman-Nya pula Al-Qur’an Surat Yasin:36
óO ÎgÅ¡ àÿRr& ô` ÏBur ÞÚ ö‘F{ $# àM Î7/Yè? $£J ÏB $yg¯=à2
yl ºurø—F{ $# t, n=y{ “ Ï%©!$# z` »ys ö6ß™ ÇÌÏÈ
tb qßJ n=ôètƒ Ÿw $£J ÏBur
Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasanganpasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembangbiak dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Firman Allah surat Al-Hujurat:13
Ÿ@ ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öN ä3 »oYù=yèy_ ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ ` ÏiB /ä3 »oYø)n=yz $¯RÎ) ⨠$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÊÌÈ ×ŽÎ7yz îLìÎ=tã ©! $#¨b Î)4öN ä3 9s)ø?r&«! $#y‰ YÏã ö/ä3 tBtò2 r&¨b Î)4(#þqèùu‘$yètGÏ9 Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Firman Allah Q.S An-Nisa’:1
$pk÷]ÏB t, n=yz ur ;oy‰ Ïn ºur <§ øÿ¯R ` ÏiB /ä3 s)n=s{ “ Ï%©!$# ãN ä3 /u‘ (#qà)®?$# ⨠$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ ¾ÏmÎ/ tb qä9uä!$|¡ s? “ Ï%©!$# ©! $# (#qà)¨?$#ur 4[ä!$|¡ ÎSur #ZŽÏWx. Zw %y` Í‘ $uKåk÷]ÏB £] t/ur $ygy_ ÷ry— ÇÊÈ $Y6ŠÏ%u‘ öN ä3 ø‹n=tæ tb %x. ©! $#¨b Î)4tP%tn ö‘F{ $#ur Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya;
dan
dari
pada
keduanya
Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. Perkawinan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat kemaslahatannya. Oleh karena itu
Imam Izzaudin Abdussalam membagi maslahat
menjadi tiga
(Qardhawi, 2001:26-27), yaitu: a. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi hambaNya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat,terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama), dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan. b. Maslahat yang disunnahkan oleh syar’i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan samoai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah. c. Maslahat mubah bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadat. Dengan demikian meskipun perkawinan itu asalnya mubah, namun dapat berubah menurut perubahan keadaan: a. Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi yang telah mampu yang akan menambah takwa, nikah yang wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.
b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tahu dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumh tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. c. Nikah sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang mempu tetapi masih sanggup mengendalikan diri dari perbuatan haram. Dalam hal ini nikah lebih baik daripada membujang d. Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan nikah dan dorongan nikah belum membahayakan dirinya. Ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. Berdasarkan hal di atas, Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluarinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkhi, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabat manusia tersebut. 3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut Hukum Islam Rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah : 1) Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. 2) Wali dari mempelai perempuan.
3) Dua orang saksi. 4) Ijab dan qabul. Syarat sahnya perkawinan menurut Hukum Islam adalah : 1) Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya. Perempuan yang tidak halal dinikah adalah perempuan yang ada hubungan dengan calon suaminya karena nasab ( yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan kandung, bibi, dan kemenakan perempuan ); hubungan susuan ( yaitu ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, kemenakan perempuan susuan, dan saudara perempuan susuan); hubungan semenda ( yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu tiri); atau perempuan yang dikenai sumpah li’an yaitu suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup dan kemudian melakukan sumpah kepada Allah bahwa ia benar dalam tuduhannya hingga lima kali. 2) Dihadiri dua orang saksi laki-laki. berakal, baligh, dan merdeka, Islam, dan adil. Selain itu para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad. Jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan berdasarkan Q. S. Al-Baqoroh : 282.
3) Ada wali dari mempelai perempuan yang melakukan akad. Wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan. Bahkan menurut Imam Syafi’i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak perempuan. Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat, dewasa, beragama Islam, dan adil. b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Rukun perkawinan menurut KHI dinyatakan dalam Pasal 14 yang secara keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam Hukum Islam. Syarat sahnya perkawinan menurut KHI dalam Pasal 4 adalah dinyatakan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Rukun perkawinan menurut UU No.1/1974 tidak diatur secara tegas.
Akan
persyaratan
tetapi sahnya
undang-undang suatu
tersebut
perkawinan
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut.
Syarat sahnya perkawinan menurut UU No.1/1974 diatur dalam pasal 2 yaitu : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. 4. Bentuk Perkawinan Yang di Batalkan Islam Perkawinan yang dibatalkan dalam Islam, yaitu: a. Nikah Akhdan Nikah Akhdan atau pergundikan selama dilakukan secara tersembunyi, maasyarakat menganggap tidak apa-apa, tetapi kalau dilakukan secara terang-terangan dianggap tercela. b. Nikah Badal Seorang laki-laki mengatakan kepada temannya “ambilah istriku dan kuambil istrimu dengan kutambahkan sekian.” Selain dua macam tersebut di atas perkawinan pada masa jahiliyah ada beberapa macam : 1) Perkawinan pinang yaitu Seorang laki-laki meminang melalui seorang yang menjadi wali anak perempuannya sendiri lalu ia berikan maharnya kemudian menikahinya.
2) Perkawinan Istibdha’ yaitu Seorang suami berkata kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidnya “pergilah kepada polan untuk berkumpul dengannya”, sedang suaminya sendiri berpisah darinya sampai ternyata istrinya hamil, sesudah hamil dapat pula mengumpulinya, jika ia suka. Perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan. 3) Nikah Mut’ah adalah pernikahan dengan menyebutkan batas waktu tertentu dalam akadnya dengan tujuan pemuasan nafsu atau pelampiasan syahwat. 4) Nikah Syighar adalah pernikahan dua pasang (empat orang) dengan menjadikan dua wanita sebagai maharnya untuk masing-masing suami, dengan kata lain, nikah Syighar adalah dua orang laki-laki tukar-menukar perempuan (anaknya atau adiknya sendiri) untuk dijadikan istri dengan tanpa mahar. 5) Nikah Muhallil adalah nikah dalam rangka menghalalkan pihak lain (mantan suami) dapat menikahi lagimantan istrinya. Istilah lain disebut nikah cina buta. 6) Nikah silang adalah pernikahan oleh seorang muslim dengan orang non-muslim. Lelaki muslim dilarang menikahi wanita non-muslim, sedangkan menikahi wanita Ahli Kitab menurut Asy-Syafi’i, Malik, ahmad adalah dilarang, sedang Abu
Hanifah memperbolehkannya. Dan wanita muslim dilarang menikah dengan lelaki non-muslim. 7) Nikah Rahth adalah Sejumlah laki-laki (dibawa 10 orang) sacara bersama-sama mengumpuli seorang perempuan. Jika nantinya dia hamil dan melahirkan setelah berlalu beberapa malam, ia kirimkan anak nitu kepada salah seorang laki-laki diantara mereka dan laki-laki tersebut tidak boleh menolaknya. 8) Nikah Baghaya yaitu Perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak laki-laki, mereka ini disebut pelacur. 9) Pernikahan Sirri adalah Pernikahan
yang
dipandang
bertentangan dengan aturan UU Perkawinan No.1 Tahun1974, sehingga dihukum haram, di samping tidak sesuai dengan kaidah Maslahah Mursalah (Sabiq, 1980:10).
B.
Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan UndangUndang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut
selain berisi tentang pelaksanaan UU No 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya. Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih
dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin. Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973. Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974. Dan semenjak itulah di Indonesia berlaku Undang-Undang Perkawinan yang baru bagi Warga Negara Indonesia.
C.
Asas-Asas dalam Undang-Undang Perkawinan 1.
Asas Sukarela Suatu perkawinan harus dilaksanakan dengan baik dan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia dan sejahtera, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih
dahulu. Perkenalan yang dimaksud adalah perkenalan yang tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Sesuai prinsip hak asasi manusia, orang tua dilarang memaksa anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. 2.
Asas Partisipasi Keluarga Penetapan keharusan ada wali dalam pelaksanaan suatu akad nikah, baik dalam konteks hukum Islam maupun undangundang perkawinan Islam, membuktikan arti penting dari asas partisipasi keluarga ini. Demikian pula dengan keharusan ada izin dari wali terutama bagi anak yang belum mencapai usia nikah, di samping keharusan ada saksi dalam setiap penyelenggaraan akad nikah. Hubungan perkawinan pada akhirnya
tidak hanya
melibatkan hubungan antara suami dengan isteri, akan tetapi juga berakibat pada hubungan kekeluargaan yang lebih luas dari itu. 3.
Asas Perceraian Dipersulit Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak tetapi terutama anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken home telah membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problem anak-anak nakal (Sosroatmodjo, 1975:32). Oleh karena itu Undang-undang ini
menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding Pengadilan. 4.
Asas Monogami Perkawinan menurut Undang-undang ini adalah monogami, yaitu seorang suami mempunyai seorang isteri. Akan tetapi apabila seorang suami ingin beristeri lebih dari satu orang atau berpoligami, dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Undang-undang ini mengatur bagaimana caranya untuk melakukan poligami sebagaimana pasal 4 dan 5, yaitu : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan; b. Adanya persetujuan dari isteri; Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan ank-anaknya. Serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya. c. Izin dari Pengadilan. Mengingat cara-cara pengaturan yang ketat itu, maka diharapkan angka poligami akan dapat ditekan serendah-rendahnya beserta segala akibat buruknya.
5.
Asas Kedewasaan Calon Mempelai Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik (Manan, 2006:11). Batas umur untuk melakukan perkawinan menurut Undang-undang ini adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Selain itu adanya pembatasan umur ini diharapkan laju kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat terlaksana.
6.
Asas Memperbaiki dan Meningkatkan Derajat Kaum Wanita Sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini diberlakukan, banyak kaum wanita memperoleh tindakan yang tidak bertanggung jawab dari suaminya. Akan tetapi setelah lahirnya Undang-undang ini diharapkan suami dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap isteri dan anak-anaknya di dalam hal pemeliharaan dan perlindungannya.
7.
Asas Legalitas Asas
legalitas
dalam
perkawinan
seyogianya
tidak
dipahami dalam konteks administratif semata-mata, akan tetapi idealnya juga memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat
dalam
pengertian
pencatatan
perkawinan
akan
menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilangsungkan sepasang laki-laki dan perempuan (Summa, 2005:188). Dengan demikian kemungkinan praktik nikah di bawah tangan atau nikah sirri di masyarakat dapat dikurangi.
D.
Isbat Nikah Isbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Isbat berasal dari bahasa arab yaitu ﺎت
اﻻﺛﺒyang berarti penetapan,
pengukuhan, pengiyaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang
(Keputusan
KMA/032/SK/2006
Ketua
tentang
Mahkamah
Pedoman
Agung
Pelaksanaan
RI
Nomor
Tugas
dan
Administrasi Pengadilan). Isbat nikah atau pengesahan nikah, dalam kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah merupakan perkara voluntair. Yaitu jenis
perkara yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan dan tidak ada sengketa. Landasan yuridis dari isbat nikah adalah ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 undang-undang tersebut diatur tentang pengesahan perkawinan bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) Wakaf dan shadaqah. Yang dimaksud dengan Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain : 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Kemudian dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Kemudian pada pasal 7 ayat (3), hal-hal yang dapat diminta isbat nikahnya, yaitu :
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, b. hilangnya akta nikah, c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974, dan e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974. Kepastian hukum isbat nikah terhadap status perkawinan ini erat kaitannya dengan pencatatan perkawinan. Berkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan tersebut, ada dua pandangan yang berkembang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan
administratif
sebagai
bukti
telah
terjadinya
sebuah
perkawinan. Karena sahnya suatu perkawinan itu menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan. Karena perkawinan yang tidak dicatatkan tidak akan memperoleh perlindungan dan kekuatan hukum dari Negara.
E.
Pencatatan Perkawinan 1.
Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk, mengatakan bahwa:
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal ini berarti bahwa nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam harus dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala sesuatu yang menyangkut kependudukan seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan perlu dicatat untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan.
b. Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat 2 menyatakan:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku."
c. PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Bab II Pasal 2
Ayat 1:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk."
Ayat 2:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatn Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan."
Ayat 3:
"Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan
yang
berlaku,
tatacara
pencatatn
perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 samapai Pasal 9 Peraturan Pemerintah."
Pasal 6;
Ayat 1:
"Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-sayart perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
Ayat 2:
"Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat meneliti pula:
1) Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; 2) Keterangan
mengenai
nama,
agama/kepercayaan,
pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; 3) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; 4) Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri; 5) Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; 6) Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; 7) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; 8) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alas an yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
2.
Lembaga Pencatat Perkawinan Di Negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan, perceraian, dan ruju’, yaitu :
a. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju’ bagi orang beragama Islam (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946). b. Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada : 1)
Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan Pencatatan Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dan Ambonia.
2)
Stb. 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849 Nomor 25 yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa.
3)
Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang Peraturan Pencatatan Sipil Campuran.
4)
Pencatatan
Sipil
untuk
Perkawinan
Campuran
sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279. 5)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor
Catatan Sipil berdasarkan ketentuan pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepadapetugas pencatat perkawinan tersebut.
3.
Tujuan Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun dampak lain dari perkawinan itu sendiri seperti masalah harta dalam perkawinan. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah akan mendapatkan
Akta
Nikah
sebagai
bukti
otentik
telah
dilangsungkannya sebuah perkawinan. Jadi, “akta perkawinan adalah syarat wajib yang ditetapkan oleh Negara” (Nuruddin, 2006:137).
4.
Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan a. Perkawinan dianggap tidak sah Meskipun
perkawinan
dilakukan
menurut
agama
dan
kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut
dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak dicatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. 5.
Pengesahan Perkawinan Bagi umat
Islam,
tersedia prosedur
hukum untuk
mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Isbat Nikah. Dalam KHI pasal 7 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Sedangkan bagi umat non Islam, bisa mengajukan permohonan setempat.
penetapan
perkawinan
ke
Pengadilan
Negeri
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.
Profil Pengadilan Agama Salatiga Alamat Kantor Pengadilan Agama Salatiga adalah di Jl. Lingkar Selatan Dusun Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gedung Pengadilan Agama berdiri di atas tanah seluas 5425 m2 dengan status milik sendiri, dan luas bangunan 1300 m2. Telp/ Fax ( 0298 ) 322853 / 325243. Website : www.pa-salatiga.go.id Email :
[email protected] Dasar Hukum pembentukan Pengadilan Agama Salatiga adalah : 1. Staatsblaad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. 2. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun 1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan wilayah Hukum Pengadilan Agama / Mahkamah Syar?iah Propinsi dan Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama / Mahkamah Syar?iah Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Salatiga adalah : 1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Magelang dan Kab. Semarang. 2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Semarang. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Grobogan dan Kab. Boyolali. 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Boyolali dan Kab. Magelang.
B.
Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga 1. Visi Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan berwibawa. 2. Misi a. Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati nurani. b. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen, bebas dari campur tangan pihak lain. c. Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan. d. Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan proposional. e. Mewujudkan
institusi peradilan
yang
efektif,
efisien dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas.
C.
Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga 1.
Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Salatiga melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi syari’ah. 2.
Kewenangan Relatif Dan wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan yaitu : a. Yang masuk wilayah Kota Salatiga ada 4 Kecamatan : 1)
Kecamatan Sidorejo
2)
Kecamatan Sidomukti
3)
Kecamatan Argomulyo
4)
Kecamatan Tingkir
b. Yang masuk wilayah kabupaten Semarang ada 9 Kecamatan : 1)
Kecamatan Bringin
2)
Kecamatan Bancak
3)
Kecamatan Tuntang
4)
Kecamatan Getasan
5)
Kecamatan tengaran
6)
Kecamatan Susukan
7)
Kecamatan Suruh
8)
Kecamatan Pabelan
9)
Kecamatan kaliwungu
D.
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
E.
Permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama Salatiga Permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama di kalangan masyarakat khususnya Salatiga dan sekitarnya memang jarang terjadi. Hal ini terbukti dari tahun 2009-2011 di Pengadilan Agama Salatiga hanya sebanyak 7 (tujuh) perkara permohonan isbat nikah yang diajukan. Masyarakat yang mengajukan permohonan isbat nikah ini pun mempunyai bermacam-macam alasan. Dan berikut ini adalah data perkara isbat nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Salatiga : Tabel 3.1
Perkara Isbat Nikah di Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2009-2011 Nomor Perkara
Pemohon
Tanggal Pernikahan
Alasan Permohonan
Tujuan Penetapan
Penetapan
0011/Pdt. P/2009/P A.SAL
Istri
30 September 1969
Kutipan Mengesahkan akta nikah perkawinan hilang untuk mengurus administrasi di PT. Taspen
0019/Pdt. P/2009/P A.SAL
Istri
02 Pebruari Kutipan Mengesahkan Dikabul1955 akta nikah perkawinan kan hilang untuk mengurus administrasi pensiun janda dan dana wafat
0022/Pdt. P/2009/P A.SAL
Suami
10 Agustus Kutipan Mengesahkan Dikabul1974 akta nikah perkawinan kan hilang untuk mengurus administrasi pinjaman ke Bank Mandiri
Dikabulkan
0023/Pdt. P/2009/P A.SAL
Suami
02 Nopember 1969
0009/Pdt. P/2010/P A.SAL
Suami
29 Agustus Kutipan Mengesahkan Dicabut 1975 akta nikah perkawinan oleh hilang untuk pemohon membuat akta kelahiran anak
02/Pdt.P/ 2011/PA. SAL
Suami
Tahun 1962
0043/Pdt. P/2011/P A.SAL
Suami
16 Pebruari Pernikahan 1984 belum didaftarkan di KUA setempat
F.
Kutipan Mengesahkan akta nikah perkawinan hilang untuk mengurus perceraian
Kutipan Mengesahkan akta nikah perkawinan hilang untuk mengurus pensiun Veteran
Dicabut oleh pemohon
Dikabulkan
Mengesahkan Tidak perkawinan diterima untuk membuat akta kelahiran anak
Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Salatiga 1. Pihak yang Bisa Mengajukan Isbat Nikah Pihak yang bisa mengajukan isbat nikah adalah : a. Suami b. Istri c. Ahli waris dari pasangan suami istri d. Pihak yang berkepentingan dengan pernikahan tersebut
2. Hal-hal yang Boleh Diajukan Isbat Nikah Di Pengadilan Agama Salatiga, hal-hal yang bisa diajukan isbat nikah sesuai dengan pasal 7 ayat (3) KHI, yaitu: a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, b. hilangnya akta nikah, c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974, dan e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.
3. Panjar Biaya Perkara Tabel 3.2 Panjar Biaya Perkara di Pengadilan Agama Salatiga No 1.
2.
Tingkat Pertama
Banding
Uraian
Radius I
Radius II
Radius Khusus
Pendaftaran (HHK.1)
Rp 30.000
Rp 30.000
Rp 30.000
Proses
Rp 50.000
Rp 50.000
Rp 50.000
Panggilan dan Rp Pemberitahuan 250.000
Rp 300.000
Rp 450.000
Redaksi (HHK.2)
Rp 5.000
Rp 5.000
Rp 5.000
Materai
Rp 6.000
Rp 6.000
Rp 6.000
Jumlah
Rp 341.000
Rp 391.000
Rp 541.000
Pendaftaran (HHk.1)
Rp 50.000
Rp 50.000
Rp 50.000
3.
4.
Kasasi
Peninjauan Kembali (PK)
Pemberitahuan (7 X)
Rp 350.000
Rp 420.000
Rp 630.000
Biaya Banding
Rp 150.000
Rp 150.000
Rp 150.000
Pemberkasan dan ongkos kirim
Rp 75.000
Rp 75.000
Rp 75.000
Jumlah
Rp 625.000
Rp 695.000
Rp 905.000
Pendaftaran (HHK.1)
Rp 50.000
Rp 50.000
Rp 50.000
Pemberitahuan (7 X)
Rp 350.000
Rp 420.000
Rp 630.000
Biaya Kasasi
Rp 500.000
Rp 500.000
Rp 500.000
Pemberkasan dan Rp 75.000 ongkos kirim
Rp 75.000
Rp 75.000
Jumlah
Rp 975.000
Rp 1.045.000
Rp 1.255.000
Pendaftaran (HHK.1)
Rp 200.000
Rp 200.000
Rp 200.000
Pemberitahuan (4 X)
Rp 200.000
Rp 240.000
Rp 360.000
Biaya pembiayaan kembali (PK)
Rp 2.500.000
Rp 2.500.000
Rp 2.500.000
Pemberkasan dan Rp 75.000 ongkos kirim
Rp 75.000
Rp 75.000
Jumlah
Rp 3.015.000
Rp 3.135.000
Rp 2.975.000
Keterangan : a. Untuk perkara cerai talak ditambah 2 X panggilan untuk sidang ikrar talak. b. Ongkos panggilan atau pemberitahuan keluar menyesuaikan permintaan PA yang bersangkutan. c. Ongkos sita, eksekusi, dan desente sesuai SK Ketua PA Salatiga. Dasar penentuan panjar biaya perkara ini adalah SK Ketua PA Salatiga tanggal 31 Agustus 2010, No : WII-A13/1088/KU.03.2/VIII/2010. Panjar biaya perkara ini berlaku untuk semua jenis perkara yang masuk ke PA Salatiga. Apabila biaya perkara kurang dari panjar yang diberikan oleh pemohon, maka sisa biaya perkara akan dikembalikan.
4. Langkah-langkah Mengajukan Permohonan Isbat Nikah a. Mendaftar ke Kantor Pengadilan Agama Ketika mendaftar, pemohon membuat surat permohonan isbat nikah. Surat permohonan ini dibuat sendiri oleh pemohon atau kuasa hukumnya. Apabila tidak bisa membuat, pemohon bisa datang
ke
petugas
permohonannya
Pra
kepada
Meja petugas.
untuk
memberitahukan
Kemudian
petugas
isi akan
membuatkan surat permohonan isbat nikah (seperti terlampir) sesuai keterangan dari pemohon. Selain itu pemohon juga harus membawa surat-surat yang diperlukan sebagai bukti, misalnya
surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya belum dicatat atau kutipan akta nikahnya hilang, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK). Setelah membuat surat permohonan, pemohon membawa surat permohonan tersebut ke Meja I untuk ditaksir biaya perkaranya. Kemudian petugas akan membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). b. Membayar panjar biaya perkara Pembayaran panjar biaya perkara ke kasir di Meja II. Petugas kasir akan memcatat panjar biaya perkara yang diterima dalam jurnal keuangan. Setelah itu petugas akan memberikan Surat Permohonan kepada calon pemohon tadi. Kemudian pemohon membawa Surat Permohonan tersebut ke Meja III untuk mendapatkan nomor perkara, nomor ini terdiri dari 4 digit angka yaitu: nomor/Pdt.P/ tahun/ kode pengadilan yaitu PA.Sal. Nomor perkara ini akan dicatat di buku induk Register Perkara dan berkas perkara tersebut diserahkan kepada wakil panitera untuk penentuan hari sidang, penentuan majelis hakim, dan penunjukan panitera pengganti. c. Menunggu panggilan sidang Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan kepada pemohon ke alamat yang tertera dalam surat permohonan yang dibuat oleh pemohon.
d. Menghadiri persidangan Setelah menerima Surat Panggilan dari Pengadilan, pemohon diharapkan hadir pada persidangan sesuai waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Pengadilan. Adapun agenda persidangannya adalah mediasi, pembacaan permohonan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan putusan. Dalam persidangan tidak menutup kemungkinan pemohon diminta untuk menghadirkan saksi untuk pembuktian. e. Menerima penetapan dari Pengadilan Agama Jika Pengadilan mengabulkan permohonan pemohon, maka Pengadilan akan mengeluarkan Penetapan Isbat Nikah. Dan jika permohonan tidak diterima, maka pernikahan pemohon dianggap tidak sah. G.
Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Permohonan Isbat Nikah 1. Permohonan Dikabulkan Seperti Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2009/PA.SAL, Perkara Nomor 0019/Pdt.P/2009/PA.SAL, Perkara Nomor 0022/Pdt.P/2009/PA.SAL, dan Perkara Nomor02/Pdt.P/2011/PA.SAL pada Pengadilan Agama Salatiga. Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan, hakim akan melihat apakah tata cara pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. b. Permohonan telah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 4 dan 7 ayat (3) huruf (c) KHI. c. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan pemohon, surat bukti (diberi simbol P), dan keterangan saksi-saksi yang saling berkaitan. 2. Permohonan Tidak Diterima Seperti Perkara Nomor 0043/Pdt.P/2011/PA.SAL pada Pengadilan Agama Salatiga, Majelis Hakim dalam memutuskan isbat nikah tidak dapat diterima mempertimbangkan hal-hal berikut : a. Surat bukti tidak terbukti. b. Alasan permohonan isbat nikah tidak terpenuhi baik pada huruf a, b, c, d, dan e seperti diatur dalam pasal 7 ayat (3) KHI. 3. Permohonan Dicabut oleh Pemohon Seperti Perkara Nomor 0023/Pdt.P/2009/PA.SAL dan Perkara Nomor 0009/Pdt.P/2010/PA.SAL pada Pengadilan Agama Salatiga, Majelis Hakim dalam memutuskan permohonan dicabut oleh pemohon mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk dapat mencabut permohonannya. b. Permohonan pencabutan tersebut dilakukan oleh pemohon sebelum pemeriksaan pokok perkara. Menurut pandangan hakim Pengadilan Agama Salatiga, semua alasan permohonan isbat nikah yang diajukan harus sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) KHI, yaitu : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, b. hilangnya akta nikah, c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974, dan e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi untuk perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974, permohonan isbat nikah yang bisa diajukan adalah dengan alasan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Adapun isbat nikah yang dilakukan untuk perceraian, permohonannya dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan.
Dalam sidang isbat nikah perlu adanya bukti-bukti. Bukti tersebut bisa bukti surat dan bukti saksi. Akan tetapi menurut pendapat Bapak Drs. H. Noer Hadi, MH salah satu hakim PA Salatiga mengatakan : “Jika di dalam persidangan permohonan isbat nikah ada 1000 saksi dari pemohon tetapi tidak ada kutipan akta nikah dari KUA maka pernikahan itu dianggap tidak sah oleh negara, karena fungsi pencatatan perkawinan adalah untuk mendapat pengakuan dan perlindungan hukum dari negara.” Pengadilan Agama dengan isbat nikah mempunyai andil yang besar dan penting dalam upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Akta Nikah, setelah adanya penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga (KK) dan Akta Kelahiran anak-anak mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah haji yang tidak mempunyai Akta Nikah sangat terbantu dengan isbat nikah oleh Pengadilan Agama untuk mengurus paspor.
BAB IV PEMBAHASAN
A.
Faktor Pendorong Masyarakat Salatiga Melakukan Isbat Nikah Isbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri. Isbat nikah pada dasarnya adalah upaya untuk memperoleh Akta Nikah. Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Seperti misalnya permohonan isbat nikah yang diajukan ke PA Salatiga mempunyai bermacam-macam tujuan, yaitu : 1. Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2009/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk megurus administrasi di PT. Taspen. Pemohon yang merupakan seorang janda sudah pasti sangat membutuhkan tunjangan dari PT. Taspen tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Dan salah satu syarat untuk mendapat tunjangan tersebut dengan menyertakan akta nikah. 2. Perkara Nomor 0019/Pdt.P/2009/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk mengurus administrasi pensiun janda dan dana wafat. Pemohon merupakan seorang janda yang sudah pasti sangat membutuhkan dana pensiun dan dana wafat tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan salah satu syaratnya harus menyertakan akta nikah. 3. Perkara Nomor 0022/Pdt.P/2009/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk mengurus administrasi pinjaman ke Bank Mandiri. Karena prosedur dari Bank Mandiri salah satu persyaratan untuk meminjam uang harus menyertakan akta nikah. 4. Perkara Nomor 0023/Pdt.P/2009/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk mengurus perceraian. Karena perceraian bisa terjadi karena adanya suatu pernikahan dan bukti adanya pernikahan tersebut adalah dengan kutipan akta nikah. 5. Perkara Nomor 0009/Pdt.P/2010/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk membuat akta kelahiran anak. Karena akta kelahiran anak sangatlah penting untuk anak tersebut. Yaitu untuk
memperoleh perlindungan hukum dan hak-hak hukum dari orang tuanya, seperti biaya hidup sampai harta warisan. 6. Perkara Nomor 02/Pdt.P/2011/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena kutipan akta nikah hilang. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk mengurus pensiun veteran. Pemohon merupakan mantan tentara Indonesia yang oleh pemerintah diberikan tunjangan untuk hari tuanya yaitu berupa dana pensiun. Dana tersebut berguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan salah satu syarat untuk mencairkan dana pensiun tersebut adalah dengan menyertakan akta nikah. 7. Perkara Nomor 0043/Pdt.P/2011/PA.SAL, pemohon mengajukan isbat nikah karena pernikahannya belum dicatatkan di KUA setempat. Adapun tujuan permohonan tersebut adalah untuk membuat akta kelahiran anak. Karena akta kelahiran anak sangatlah penting untuk anak tersebut. Yaitu untuk memperoleh perlindungan hukum dan hakhak hukum dari orang tuanya, seperti biaya hidup sampai harta warisan. Dari semua permohonan isbat nikah tersebut, sebagian besar karena kutipan akta nikah hilang. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan
lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan sarat sahnya perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1), Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun sebagai alat bukti, tetapi bukanlah sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan tersebut. Akan tetapi di Indonesia sebagai negara hukum, ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat.
B.
Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Salatiga Pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama (PA) Salatiga jarang terjadi. Karena memang masyarakat yang melakukan permohonan isbat nikah sangat sedikit, hanya tujuh perkara yang masuk ke PA Salatiga dari tahun 2009-2011. Berbeda dengan perkara perceraian yang masuk ke PA Salatiga sekitar 100 perkara setiap tahunnya. Isbat nikah merupakan perkara voluntair, maka dari itu pihak yang mengajukan adalah pemohon. Karena memang dalam perkara ini tidak ada sengketa. Sebagian besar pemohon dalam isbat nikah ini adalah suami atau isteri yang bersangkutan. Padahal selain suami dan isteri, pihak lain yang bisa mengajukan isbat nikah adalah anak-anak dari pasangan suami isteri atau pihak lain yang berkepentingan dengan pernikahan tersebut. Adapun hal-hal yang bisa diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) KHI, yaitu : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, b. hilangnya akta nikah, c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974, dan e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sedangkan untuk pelaksanaan sidang isbat nikah sama dengan sidang lainnya. Yaitu dengan melakukan pendaftaran terlebih dahulu dengan membawa permohonannya. Kemudian membayar panjar biaya perkara untuk pelaksanaan sidang. Setelah itu dilaksanakan persidangan yang diawali dengan pembacaan permohonan isbat nikah, keterangan pemohon, dan dilanjutkan dengan pembuktian. Bukti yang dapat disampaikan dalam persidangan adalah bukti surat dan saksi. Dari rangkaian persidangan ini, Majelis Hakim akan memperoleh fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan permohonan tersebut. Setelah itu Majelis Hakim akan memperoleh kesimpulan dan bisa memberikan penetapan berdasarkan fakta-fakta hukum tadi. Setelah penetapan isbat nikah dikabulkan oleh Majelis Hakim, pemohon akan memperoleh akta nikah dari KUA setempat. Akat Nikah ini merupakan bukti otentik bahwa telah terjadi suatu perkawinan. Maka dari itu perkawinan tersebut dianggap sah menurut hukum. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata, yaitu adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Sehingga para pemohon yang telah melakukan pencatatan perkawinan akan memperoleh akta nikah untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum dari pemerintah. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya
hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.
C.
Pertimbangan Hakim dalam Memutus Permohonan Isbat Nikah Dalam memutus perkara permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama, Majelis Hakim memerlukan berbagai pertimbangan. Agar nantinya keputusan yang diberikan itu adil dan bijaksana. Seperti beberapa pertimbangan Majelis hakim Pengadilan Agama Salatiga mengenai beberapa perkara permohonan isbat nikah sebagai berikut :
1. Permohonan dikabulkan Suatu permohonan dikabulkan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan, hakim akan melihat apakah tata cara pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. b. Permohonan telah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 4 dan 7 ayat (3) KHI. c. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan pemohon, surat bukti, dan keterangan saksi-saksi yang saling berkaitan. 2. Permohonan tidak diterima a. Surat bukti tidak terbukti. b. Alasan permohonan isbat nikah seperti dalam pasal 7 ayat (3) KHI tidak terpenuhi. 3. Permohonan dicabut oleh pemohon a. Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk dapat mencabut permohonannya. b. Permohonan pencabutan tersebut dilakukan oleh pemohon sebelum pemeriksaan pokok perkara.
Dari
semua
pertimbangan
Majelis
Hakim
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa dalam memutus suatu permohoann isbat nikah, Majelis Hakim mengacu pada bunyi Undang-Undang. Terutama pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selain itu Majelis Hakim juga mengacu pada BAB II KHI tentang Dasar-dasar Perkawinan. Isbat nikah yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama adalah karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Isbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hakhaknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri. Dasar pelaksanaan isbat nikah oleh Pengadilan Agama ini adalah BAB II Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Padahal KHI tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Itsbat nikah menurut peraturan perundang-undangan hanya dimungkinkan terhadap perkawinan yang memenuhi syarat syar’i baik pelaksanaannya sebelum maupun
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan 1. Faktor pendorong masyarakat Salatiga melakukan isbat nikah adalah karena akta nikah hilang. Karena memang tujuan dari isbat nikah adalah untuk mendapatkan penetapan nikah. Dengan penetapan nikah dari Pengadilan, KUA akan mengeluarkan akta nikah. Akta nikah ini merupakan bukti otentik adanya perkawinan. Dengan bukti ini maka pasangan suami isteri bisa memperoleh perlindungan dan kepastian hukum dari pemerintah, karena Indonesia merupakan Negara Hukum. Sedangkan keabsahan suatu perkawinan itu sesuai hukum agamanya masing-masing (Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Dan pencatatan perkawinan merupakan syarat tambahan untuk menentukan keabsahan perkawinan. 2. Pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama jarang terjadi. Karena dari tahun 2009-2011 di Pengadilan Agama Salatiga hanya ada tujuh perkara yang masuk. Isbat nikah merupakan perkara voluntair, hanya ada pihak pemohon, karena perkara ini tidak ada sengketa. Untuk mengajukan permohonan isbat nikah, pemohon harus mendaftar ke PA setempat dengan membawa surat permohonan isbat nikah. Setelah itu membayar panjar biaya perkara dan menunggu panggilan sidang. Tatacara persidangannya pun sama dengan persidangan lainnya, yaitu
pembacaan
permohonan,
keterangan
pemohon,
pembuktian,
kesimpulan, dan penetapan. 3. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus permohonan isbat nikah adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan BAB II KHI tentang Dasar-dasar Perkawinan. Selain itu Majelis Hakim juga melihat fakta-fakta hukum yang timbul dari keterangan pemohon, surat bukti, dan keterangan saksi.
B.
Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk Pengadilan Agama Salatiga adalah : 1. Untuk Pengadilan Agama Salatiga agar lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan nikah serta prosedur permohonan isbat nikah bagi masyarakat yang belum mencatatkan perkawinannya pada KUA setempat. Karena masyarakat banyak yang belum mengetahui tentang prosedur isbat nikah tersebut. Hal ini terbukti dengan sedikitnya jumlah pasangan suami isteri yang mengajukan permohonan isbat nikah di PA Salatiga. 2. Pengadilan Agama Salatiga harus menggunakan prinsip kehati-hatian dalam memeriksa perkara isbat nikah untuk mencegah terjadinya tindakan masyarakat yang berupaya untuk melakukan penyelewengan hukum. Karena masyarakat banyak yang belum mengetahui prosedur beracara di Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara. J. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Koentjaraningrat.
1994.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama M. Amirin, Tatang. 2006. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. Manan, Dr. h. Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Mukhtar, Erna Widodo. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz. Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI). Jakarta: Kencana. Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ramulyo, Mohd. Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Sabiq, Sayyid. 1981 Fikih Sunnah Jilid VI. Bandung: PT Al-Ma’arif. Soeroso, R. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Sosroatmodjo, H. Arso dan H. A. Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Summa, Prof. MuhammadAmin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada. Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi VII. Bandung: CV. Tarsito. Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press. Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. Qardhawi, Yusuf. 2007. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia.