BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. ______________________________ A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik
agama maupun negara. Ha ini
menunjukkan betapa perkawinan bukan hanya ritual dan budaya semata, tetapi perkawinan adalah ikatan suci yang menyangkut kehidupan pasangan suami istri dan anak yang perlu dilindungi sehingga tujuan dan prinsip perkawinan sebenarnya bisa terwujud. Bab ini akan dibahas berbagai masalah perkawinan yang telah tertuang dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan (UUP) Nomor 1 Tahun 1974 sebagai rujukan utama peraturan perundangan tentang perkawinan yang berlaku di masyarakat Indonesia. B. Pengertian Perkawinan Menurut UUP, Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatra seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
Konseling Perkawinan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasaskan Ketuhanan yang Maha Esa. C. Syarat-syarat perkawinan Syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 UU NO. 1 tahun 1974. syarat-syarat tersebut antara lain : 1. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. ada ijin dari orang tua, bila orang tua telah meninggal cukup menndapatkan ijin dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. jika orang tua sudah meninggal dapat meminta ijin wali atau orang yang memiliki hubungan darah dalah gais keturunan lurus. 5. jika orang tua dan keluarga yang dimaksud tidak ada, maka
dapat meminta ijin dari pengadilan hukum daerah, tempat perkawinan akan berlangsung. Berbagai ketentuan di atas berlaku selama agama dan kepercayaan yang dianut tidak menenukan yang lain. D. Pencegahan perkawinan Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Masalah
107
Konseling Perkawinan
ini diatur pada BAB II yaitu pasal 13 sampai dengan 21. point terpenting adalah perkawinan dapat dicegah oleh : 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-piha yang berkepentingan. 2. Mereka di atas juga berhak mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang dari calon mempelai berda di bawah pengampunan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan keluarga sebagaimana disebut di atas. E. Batalnya Perkawinan Batalnya perkawinan diatur dalam BAB IV yaitu dari pasal 22 samapai dengan pasal 28. secara lengkap berbunyi : Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan , apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu ; a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
b.
Suami atau istri;
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
108
Konseling Perkawinan
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 UnndangUndang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru , dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang- Undang ini. Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Pasal 26 1. Perkawinan
yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang , wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri , jaksa dari suami atau istri. 2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alas an dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan
109
Konseling Perkawinan
yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 1. Seorang
suami
atau
istri dapat
mengajukan
permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang
suami
atau
istri dapat
mengajukan
permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. 3. Apabila ancaman telah berhenti , atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya , dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih mempergunakan
tetap hidup sebagai suami istri , dan tidak haknya
untuk
mengajukan
permohonan
pembatalan , maka haknya gugur. Pasal 28 1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap ; a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan .
b.
Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik , kecuali terhadap harta bersama , bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
110
Konseling Perkawinan
c.
Orang- orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
F. Perjanjian Perkawinan Sebelum perkawinan berlangsung calon suami dan calon istri dapat melakukan dan membuat kesepakatan-kesepatan tertentu yang nantinya harus ditaati ketika perkawinan telah disyahkan. Masalah ini dikenal dengan perjanjain perkawinan sebagaimana diuraikan pada BAB V yaitu pasal 29 secara lengkap berbunyi : Pasal 29 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan . setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan . 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah , kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
111
Konseling Perkawinan
Harta Benda Dalam Perkawinan Kekayaan suami atau istri juga menjadi bagina penting yang diatur dalam UUP yaitu pada BAB VII dari pasal 35 sampai dengan 37. secara lengkap berbunyi. Pasal 35 1.
Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan , adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36
1. Menganai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing , suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian , harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. G. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya Pada dasrnya setiap orang menginginka pernikahan sekali seumur hidup namun kemungkinan terburuk tidak bisa dielakan dari kekuasaan manusia. Masalh putusnya perkawinan menjadi bagian tak
112
Konseling Perkawinan
terpisahkan dari UPP, dimana hal ini di atur pada BAB VIII yaitu pasal 38 sampai dengan 41. Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena; a.
Kematian
b.
Perceraian; dan
c.
Atas keputusan pengadilan Pasal 39
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di hadapan. Sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan , bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Pasal 40 1.
Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
2.
Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundang- undangan tersendiri. Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana
113
Konseling Perkawinan
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan. b.
Bapak yang bertanggung dan biaya pemeliharaan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut , pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi suami istri.
H. Kedudukan Anak Anak menjadi satu unsur terpenting setelah perkawinan berangsung. Karenanya dalam UPP hal ini secara khusus dibahas dalam BAB IX yaitu Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintahan. Pasal 44
114
Konseling Perkawinan
1.
Seorang suami dapat menyangkal sahnyaanak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
2.
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
I. Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak-Anak Kehadiran
anak
dalam
sebuah
perkawinan
pada
akhirnya
menimbulkan hak dan kewajiban bagi orang tua dan anak itu sendiri. Pada BAB X
UPP yaitu pasal 45 sampai dengan 49, mengatur
tentang hal, sebagaimana tercantum dibawah ini : Pasal 45 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46 1. Anak-anak meghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. 2. Jika anak
telah
dewasa, Ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
115
Konseling Perkawinan
Pasal 47 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya. 2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecualiapabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan orang dalam hal-hal : a.
Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.
Ia berkelakuan buruk sekali
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya , mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
116
Konseling Perkawinan
Demikian secara garis besar masalah perkawinan diatur dalam UUP No. 1 tahun 1974. disamping berlaku pula beberapa peraturan perundang-undangan yang lain seperti PP No. 10/1983 dan Surat edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), yaitu No. 08/SE/1983. aturan-aturan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Dan bagi umat Islam sendiri beraku pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang perkawinan bagi umatnya.
117