BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN
A. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara lakilaki dan perempuan bersuami isteri.31 Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.32 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.33 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti
kata
nikah
mempunyai dua
makna,
yaitu
perjanjian/akad
dan
bersetubuh/berkumpul. Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku 31
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453. 32 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468. 33 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.
35
Universitas Sumatera Utara
36
III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan. Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.34 34
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
37
Masyarakat manapun di berbagai daerah memiliki aturan dan pola kebiasaan mengatur seksualitas, kelahiran dan mengasuh anaknya. Institusi untuk melingkupi aturan dan pola kebiasaan ini adalah melalui perkawinan. Institusi ini dengan berbagai bentuknya telah ada sepanjang peradaban manusia, misalnya dengan bentuk monogami, poligami, eksogami, endogami dan lain-lain. Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan. Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia dan pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya UUP, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin
Universitas Sumatera Utara
38
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu :”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual. Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing
Universitas Sumatera Utara
39
agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.35 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Adapun
yang
dimaksud
dengan
hukum masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”. Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orangorang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
35
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, 1990, hal.26-27.
Universitas Sumatera Utara
40
perkawinan,
kecuali
apabila
dilakukan
menurut
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin. 6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;
Universitas Sumatera Utara
41
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masingmasing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu : Pasal 3 (1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2)Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3)Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Universitas Sumatera Utara
42
Kemudian menurut Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan. Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel.36 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.37 Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa : Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau ibuan atau keibubapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem kekerabatan antar suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk 36
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,
37
Ibid, hal. 6.
hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
43
lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upaya perkawinannya berbeda-beda”. Amir Syarifuddin juga menjelaskan bahwa : Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.38 Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Pasal 45 UU Perkawinan menentukan bahwa hubungan hukum antara orang tua dengan anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri. Dalam pelaksanaan perkawinan di tengah masyarakat, dikenal beberapa istilah yang menjadi model perkawinan yaitu :
38
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996,
hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
44
1. Perkawinan Monogami Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya. 2. Perkawinan Poligami Perkawinan Poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama. Perkawinan bentuk poligami ini merupakan lawan dari monogamy. 3. Perkawinan Bigami Perkawinan Bigami adalah bentuk perkawinan, dimana seorang laki-laki mengawini dua perempuan atau lebih dalam masa yang sama dan semuanya bersaudara. 4. Perkawinan Poliandri Perkawinan Poliandri adalah bentuk perkawinan, dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan.39 Dua istilah model perkawinan di atas yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukum/perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam, Sementara istilah model perkawinan bigami dan poliandri sama sekali tidak dibenarkan.
B. Poligami dalam Sistem Hukum Indonesia 1. Pengertian dan Sejarah Poligami di Indonesia Poligami yang merupakan salah satu perkawinan yang dikenal dalam masyarakat dan dibenarkan oleh ketentuan UU Perkawinan. Perkataan poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua pokok kata, yaitu “polu” dan 39
Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami, Wihdah Press, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 23-29
Universitas Sumatera Utara
45
“gamein”. “Polu” berarti “banyak”; “gemein” berarti “kawin”. Jadi poligami berarti perkawinan yang banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut “permaduan”.40 Dalam teori Ilmu Pengetahuan Hukum, poligami lazimnya dirumuskan sebagai suatu bentuk perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita. Secara umum poligami secara luas biasanya dipraktekkan oleh bangsa/ suku-suku nomaden yang hidup di alam yang keras dan gemar berperang. Di kalangan seperti ini poligami adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau tidaknya suku mereka ditentukan oleh berapa banyak keturunan yang dapat dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam komunitas ini dianggap sebagai komunitas militer. Sementara perempuan dianggap hanya sebagai asset untuk memproduksi keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu harta rampasan perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan alat pertukaran demi perdamaian antar suku. Di
kalangan
bangsa/suku-suku yang
menetap
serta
tidak
banyak
mengalami ancaman militer, poligami umumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja yang biasanya kalangan elite dan berkuasa dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu simbol demi meningkatkan status dan sarana 40
Soetoyo Prawirohamijoyo R., Pluralism Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
46
memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Sementara poligami di kalangan rakyat kebanyakan biasanya sangat jarang dilakukan.Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana
praktek
poligami
di
kalangan
rakyat
kebanyakan
tidak
umum dilakukan. Pada masa pra kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan praktek poligami di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan elite masyarakat saja diantaranya kaum priyayi dan elite agama seperti para kyai. Menurut pengamatan Koentjaraningrat ada perbedaan antara praktek poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan kalangan kyai yaitu kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan Islam abangan biasanya menyatukan istri-istrinya dalam satu rumah sementara kalangan kyai/santri sebagian besarnya membuatkan rumah yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya, sebagai bagian dari aturan fiqh.41 Memasuki era Indonesia modern praktek poligami semakin ditinggalkan oleh masyarakat, bahkan akhirnya menjadi sebuah praktek yang tidak lazim. Hal ini mengakibatkan pelaku poligami umumnya tidak melakukan praktek ini secara demonstratif seperti pada masa lalu. Praktek poligami dianggap sebagai praktek yang memalukan dan dapat merusak nama baik pelakunya. Itulah sebabnya sebagian besar perkawinan poligami di Indonesia di era ini dilakukan 41
Jurnal Perempuan No 31, Menimbang Poligami, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003, 75.
Universitas Sumatera Utara
47
secara sembunyi-sembunyi/sirri terutama di kalangan menengah. Di kalangan santri tradisionalis terutama di pedesaan praktek poligami masih marak dilakukan tapi jumlahnya jauh lebih menurun daripada pada era sebelumnya. Munculnya gerakan garis keras Islam yang berkembang di Indonesia sejak era 70-80 an dan mempunyai hubungan dengan kelompok serupa di Timur Tengah menimbulkan sebuah fenomena baru dimana kelompok ini memiliki kecenderungan untuk mempropagandakan poligami bahkan menganggapnya sebagai salah satu solusi untuk mengatasi persoalan bangsa dan masyarakat. Dalam propagandanya kelompok ini kerap melempar tuduhan bahwa kalangan yang menolak wacana poligami sebagai kalangan yang pro pelacuran atau perzinahan bahkan secara lebih jauh lagi menuduh mereka sebagai penentang hukum agama. Jadi secara umum mereka menyederhanakan wacana poligami sebagai bentuk pertarungan antara "orang baik" melawan (versus) "orang jahat" dimana pendukung poligami diposisikan sebagai "orang baik" sementara penentangnya "orang jahat". Akan tetapi karena secara umum pengikut gerakan ini utamanya kalangan menengah diperkotaan praktek poligami hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja dari mereka. Tapi tidak seperti yang dilakukan kalangan Islam tradisonalis, praktek poligami yang dilakukan kalangan ini condong meniru pola
Universitas Sumatera Utara
48
yang dilakukan kaum priyayi/golongan Islam abangan pada masa lalu yaitu menyatukan istri-istri mereka dalam satu rumah. Selain golongan di atas, poligami ditemukan dalam jumlah kecil di kalangan masyarakat bawah, pekerja keras, atau mata pencariannya mengharuskan
mereka
sering
berpindah
tempat
seperti
pelaut,
sopir
bus antar kota dan lain-lain. Pelaku poligami dari kalangan ini kebanyakan bukan
dari
kalangan
agamis
bahkan
jauh
dari
nilai-nilai
agama
seperti suka mabuk-mabukkan, judi, pergi ke pelacuran dan lain-lain. Akan
tetapi
poligami
yang
mereka
menarik selalu
adalah
ketika
mengangkat
mereka
isu
melakukan
praktek
sebagai
alasan
agama
pembenarannya.42 2. Perkembangan Hukum masalah Poligami di Indonesia Di
dalam
Hindia-Belanda Demikian
pula
Undang-undang masalah pada
Perkawinan
poligami masa
awal
sama
pada sekali
kemerdekaan
masa
penjajahan
tidak
diatur.
dimana
masalah
Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 yang kemudian disempurnakan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 yang hanya mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk.
42
Herri Permana, Poligami Dalam Sistim Hukum di Indonesia, LPPKS-BKPRMI Wilayah Jawa Barat, 1997-2000, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
49
Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada Kongres Wanita Indonesia pertama yang diadakan pada bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh sekitar 30 anggota organisasi perempuan. Selain isu poligami, isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa juga menjadi perhatian anggota kongres. Istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut dalam kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya untuk berkompromi dalam isu poligami.43 Memasuki era kemerdekaan, wacana anti poligami mendapat batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia saat itu melakukan praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini pada tahun 1954. Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya sangat menentang hal ini bahkan menolak segala bentuk kompromi dalam isu poligami, ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya kepada sosok Soekarno, bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami dalam
isu
pembuatan
RUU
Perkawinan
akhirnya
semakin
melemah,
bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan.44 43
Saskia Wieringa, Organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia Sesudah 1950, Kalyamitra, Jakarta , 1998, Jakarta, 1999, hal 26. 44 Ibid., hal 28.
Universitas Sumatera Utara
50
Salah satu organisasi perempuan yang secara keras menentang perilaku presiden Soekarno adalah Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang notabene adalah sebuah organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya kebanyakan adalah istri-istri para pejabat sipil dan militer dimana mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan Soekarno. Beberapa organisasi perempuan terutama yang berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan Soekarno dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan ini dibayar dengan dicabutnya berbagai fasilitas yang sebelumnya dinikmati mereka dari pemerintah.45 Bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai gerakan Kontra-Revolusioner. Ketua umum Gerwani pada pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari itu sebagai sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi Soekarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk upaya KontraRevolusioner.46 Sementara itu, gerakan perempuan Islam condong mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut. Perkawinan Soekarno ini adalah 45 46
Herri Permana, Op.Cit., hal 5. Saskia Wieringa, Op.Cit., hal 29.
Universitas Sumatera Utara
51
tamparan kedua bagi kelompok perempuan kontra poligami setelah pada Tahun 1952 pemerintah mengeluarkan Keputusan No 19 Tahun 1952 yang memberi gaji dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang dibagikan secara merata kepada masing-masing janda. Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang menyusun draft RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya diizinkan dengan persyaratanpersyaratan yang keras. Keputusan pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili oleh Masyumi dan Partai NU. Organisasi perempuan Islam seperti Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya. Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto, pembahas RUU Perkawinan yang tertunda akibat gejolak politik pada pemerintahan sebelumnya akhirnya diteruskan.Pembahasan RUU ini memanas ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak RUU versi kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia. Inti penolakan mereka adalah Pasal 11 ayat (2) RUU itu yang mengadopsi Pasal 7 Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op Gemeng de Huwelijken/ RGH S.1898 No. 158) yang membolehkan perkawinan antar agama. Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung Parlemen ketika sidang
Universitas Sumatera Utara
52
akan mengesahkan RUU tersebut. Jenderal Soemitro pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto dengan membawa draft RUU versi PPP yang kemudian ditandatangai dan disyahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang berlaku sekarang. Yang menarik adalah dalam UU tersebut masalah poligami diatur lebih ketat dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno. Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya. Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosein yang dikutip Herri Permana menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama jadi hukumnya mubah tetapi penguasa sebagai pihak yang memiliki peranan untuk membentuk hukum Islam dapat merubahnya menjadi wajib atau haram.47 Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok Islam terhadap tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya pasal poligami dalam RUU Perkawinan. Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran aturan dalam UU Perkawinan Pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah poligami ini maka aturan itu seringkali diabaikan. Bahkan dari 4500 kasus poligami yang 47
Herri Permana, Op.Cit., hal .5-7.
Universitas Sumatera Utara
53
ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 % nya dilakukan oleh kalangan pejabat dan pegawai negri sipil.48 Hal
inilah
yang
kemudian
mendorong
sejumlah
ibu-ibu
pejabat
mendesak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang mengatur masalah Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dimana pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan Pegawai Negri Sipil semakin diperketat. Dengan diterbitkannya PP No 10 Tahun 1983 ini, maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi istri pegawai negeri makin kokoh.49 Keberadaan PP Nomor 10 Tahun 1983 yang kemudian juga lengkapi dengan PP No. 45 Tahun 1990 dengan sendirinya merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan poligami dalam praktek di Indonesia khususnya bagi kalangan pegawai negeri sipil sedangkan bagi kalangan masyarakat umum bentuk pengawasan tetap didasarkan pada ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengharuskan adanya syarat izin dari isteri maupun izin pengadilan. Akan tetapi, masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991, di mana dalam Pasal 59 KHI yang menyatakan "Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang 48
Ibid. Ibid.
49
Universitas Sumatera Utara
54
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi". Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk memberi izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya. Tapi kelemahan utama dari undang-undang maupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah tangan. Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya melakukannya secara bawah tangan/sirri dan ini juga menyebabkan mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur UU Perkawinan.50 Beranjak dari model perkawinan sebagaimana dikemukakan pada sub bab terdahulu, di atas maka UU Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
55
Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama (Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Di samping itu, si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa izin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini secara jelas ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan bahwa seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
56
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 UU Perkawinan yang menentukan: (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil
Universitas Sumatera Utara
57
oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 51 Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istriistrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan : 1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja. 2. Surat keterangan pajak penghasilan. 3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.52 Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.53 Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
51
A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2003, hal. 65 52 Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 53 Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
58
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tuntutan Pembatalan Poligami Tanpa Izin Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada asasnya perkawinan itu monogami, suami masih dimungkinkan untuk berpoligami
dengan ketentuan
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya suami menghendaki perkawinan dengan wanita lain itu, sedangkan istri tidak keberatan atas perkawinan tersebut dengan alasan yang sifatnya alternatif, artinya hanya perlu dipenuhi salah satu saja, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila salah satu alasan di atas dipenuhi, maka suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 5 UUP, yang bersifat kumulatif, artinya semua syarat itu harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah (1) adanya persetujuan dari istri/istri-istri, (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan (3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Mengenai persetujuan dari istri/istri-istri, untuk menyatakan ada atau tidak ada persetujuan tersebut harus dibuat tertulis. Jika hanya persetujuan lisan, maka persetujuan itu harus diucapkan di muka persidangan pengadilan. Persetujuan ini tidak diperlukan apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan
Universitas Sumatera Utara
59
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, misalnya karena sakit ingatan (gila), atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim. Mengenai syarat kedua yaitu kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, suami harus memperlihatkan
surat
keterangan
mengenai
penghasilan
suami
yang
ditandatangani oleh bendahara tempat ia bekerja, atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. Mengenai ada atau tidak jaminan berlaku adil, suami membuat pernyataan atau janji dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Dalam praktek walaupun poligami menjadi hal yang ditentang oleh kaum wanita tetapi tetap saja ada yang telah merelakan suami untuk menikah lagi, isteri yang semula merestui dan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selain itu, ditemukan pula adanya perkawinan poligami tanpa izin dari pihak isteri seperti halnya yang terjadi di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Medan, dimana pihak suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin baik oleh pihak isteri maupun pengadilan sehingga menyebabkan pihak isteri mengajukan pembatalan perkawinan. Pengajuan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin tersebut dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan. Dalam hal ini UU perkawinan
Universitas Sumatera Utara
60
menentukan siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 yang untuk singkatnya dapat disebut sebagai berikut: a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri b. Suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang d. Pejabat yang ditunjuk e. Jaksa.54 Di samping itu, sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam Pasal 24 UU Perkawinan salah satu dari kedua pihak dalam perkawinan yang masih terikat dapat juga mengajukan pembatalan ini dengan ketentuan bahwa isi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan diperhatikan. Di lain pihak, para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri dapat memintakan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.55 Maksud dari ketentuan ini adalah oknum yang dapat memberi izin menjadi wali terhadap calon mempelai.56 54
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 31. 55 Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. 56 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, CV. Zahir, cet. I, Medan 1975, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
61
Akan tetapi di dalam Pasal ini tidak menentukan apa macamnya garis keturunan itu (patrilinealkah, matrilinealkah atau bilateralkah) sehingga jika kepercayaan atau agama yang dianut tidak menentukannya maka masih berlaku garis keturunan menurut adat setempat.57 Khusus dalam hubungan suami atau isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yang disebabkan karena keadaan-keadaan yang disebut dalam Pasal 27 UU Perkawinan yaitu; dalam perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, tetapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya, untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.58 Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan. Kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Apabila salah satu dari syarat perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah (batal) demi hukum.59 57
Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974,: Tintamas Indonesia, Jakarta cet. I, 1975, hal. 25. 58 Lihat ayat 2 Pasal 26 dan ayat 1,2 dan 3 Pasal 27 Undang-undang Perkawinan. 59 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
62
UU Perkawinan Pasal 22 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya.60 Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori: a. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam b. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh hukum Islam. c. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam undang-undang, misalnya: - Pasal 8 tentang larangan perkawinan - Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain - Pasal 10 tentang ruju’/kembali setelah talak tiga.61 Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan Pasal 27 dapat dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan, antara lain: 60
R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya Amin Surabaya, 1985, hal. 70. 61 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
63
a. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang b. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah c. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi. d. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Sebagai Contoh : seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya.62 Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan. 62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
64
e. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri.63 Salah sangka yang dimaksud disini adalah mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan. Dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i; b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya; c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu : 1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas; 63
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, Hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
65
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoran dengan saudara neneknya; 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri; 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami li’an; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Hasil penelitian pada Pengadilan Agama Medan diketahui bahwa pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
66
Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.64 Hal ini ditunjukkan dari penelaahan pada kasus yang dipilih sebagai sampel diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan poligami tanpa izin yaitu putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan (lihat Lampiran), di mana dalam hal ini pihak isteri mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan adalah perkawinan poligami dilakukan tanpa izin baik izin isteri maupun izin pengadilan dan dalam perkawinan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur tersebut telah mempunyai seorang anak. Dari hasil penelaahan terhadap perkara tersebut kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, memutuskan membatalkan perkawinan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur karena Tergugat I melakukan pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka. Hal ini selanjutnya juga diikuti, dengan dibatalkannya Kutipan Akta Nikah Nomor 113/06/IV/2006 Tanggal 4-3-2002 yang dikeluarkan KUA Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.65 64 65
Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Medan, Juni 2010. Putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan No. 260/Pdt.G/2004/ PA.Medan
Universitas Sumatera Utara
67
Hafifullah mengatakan bahwa dalam kasus tersebut pihak Tergugat I melakukan tanpa adanya izin dari isteri dan juga izin pengadilan. Bahkan ia telah memanipulasi statusnya yang mengaku jejaka padahal Tergugat I, padahal ia telah terikat perkawinan dengan isterinya (Penggugat) dengan Akta Nikah Nomor 292/1987 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Labuhan Deli. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan tuntutan penggugat untuk membatalkan perkawinan kedua yang dilakukan Tergugat I.66 Jadi dalam hal ini pada kasus tersebut faktor yang paling mendorong dilakukan tuntutan pembatalan adalah melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya. Pendapat ini juga dibenarkan oleh penggugat sebagai pihak isteri yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang dilakukan suaminya yang telah melakukan pernikahan dengan tergugat kedua tanpa terlebih dahulu meminta izin darinya dan telah merkayasa statusnya sebagai jejaka padahal suaminya (Tergugat I) jelas telah bukan lagi seorang jejaka karena telah memiliki seorang isteri yang sah telah terikat perkawinan dengan isterinya (Penggugat) yang dibuktikan dengan adanya Akta Nikah Nomor 292/1987 dan telah memiliki dua orang anak.67
66
Hasil Wawancara dengan, Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010 67 Sugiyem, Penggugat dalam Perkara Pembatalan Perkawinan No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan
Universitas Sumatera Utara
68
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa apabila dikaitkan dengan pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.
Universitas Sumatera Utara