KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Faizal Kurniawan dan Erni Agustin*
Abstract The focuses of this article are characteristics of prenuptial agreement, limitation of the prenuptial agreement’s substance based on Act No. 1/1974 on Marital and legal effect of breaching the prenuptial agreement to marriage. The prenuptial agreement as regulated in the article 29, Act No. 1/1974 can be classified as a domestic contract. Through the article 66, Act No. 1/1974 on Marital, the parties may use other regulation of family law in Indonesia such as Civil Code (Burgerlijk Wetboek) and Compilation of Islamic Law, as references for the parties to arrange the prenuptial agreement. In some cases, those regulation give different border about the prenuptial agreement. The legal effect of breaching the prenuptial agreement cannot be used as a reason to divorce. The prenuptial agreement regarding with matrimonial assets is binding to the third party. Besides the matrimonial assets, the clauses are only binding to the parties internally. Keywords: prenuptial agreement, domestic contract. I.
PENDAHULUAN Salah satu aspek penting dalam perkawinan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1/1974) adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian tertulis yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Banyak anggapan bahwa membuat perjanjian perkawinan bagi para calon suami istri yang ingin melangsungkan perkawinan berkesan sangat tidak romantis, tidak saling percaya, materialistis, bertentangan dengan adat istiadat orang Timur dan juga egois karena kelihatannya layaknya memproteksi aset pribadi. Perjanjian perkawinan dianggap juga sebagai budaya barat. Padahal seharusnya perjanjian *
Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabata. Kritik terhadap tulisan ini dapat disampaikan kepada penulis melalui:
[email protected] dan
[email protected]. 1
perkawinan ini digunakan sebagai sarana untuk mencegah terjadinya sengketa mengenai harta benda perkawinan diantara suami istri. Sengketa mengenai harta perkawinan biasanya terjadi setelah putusnya perkawinan. Perkawinan sendiri dapat putus karena tiga hal, yaitu kematian, perceraian, atau putusan hakim. Sengketa mengenai harta perkawinan paling sering terjadi
setelah
adanya
perceraian.
Suami
istri biasanya
saling
memperebutkan porsi pembagian harta bersama dan hak milik atas masing-masing harta bendanya. Contoh kasus-kasus yang terkenal adalah Dewi Made Hughes vs Alvin, Eddy Sud vs Itje Trisnawati, Tamara Blezynski vs Teuku Rafli dan masih banyak lagi. Oleh karena itu keberadaan perjanjian perkawinan dianggap perlu sebagai “rule of the game” bagi suami istri khususnya mengenai pengaturan harta benda perkawinan. Dalam perkembangannya, perjanjian perkawinan ditafsirkan tidak hanya terbatas mengatur mengenai harta belaka, namun lebih luas lagi merambah mengenai hal-hal lain, misalnya seputar tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Contoh, ketika menikah, sang istri yang seorang wanita karier, ingin tetap berkarier meskipun sudah menjadi ibu rumah tangga, maka sang suami tidak boleh melarang si istri tetap berkarier. Contoh lainnya, Rieke Diah Pitaloka, pemeran Oneng ini membuat perjanjian perkawinan dengan calon suaminya Donny Gahral Adian yang isinya mengacu pada Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) No. 23/2004.1 Kebebasan para pihak dalam menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut terkadang bisa dikatakan terlalu berlebihan. Lebih jauh lagi, banyak juga yang mengkaitkan isi perjanjian perkawinan dengan perceraian. Pelanggaran atau sengketa mengenai perjanjian perkawinan biasanya juga digunakan sebagai alasan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan perceraian. Seperti yang telah dipaparkan di atas, perjanjian perkawinan ini dalam praktiknya banyak menimbulkan permasalahan. Hal ini disebabkan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam UU No. 1/1974 hanya diatur dalam satu 1
Kompas.Com, “Perlu Tidaknya Perjanjian Pranikah Dibuat”, 17/01/2006, diakses melalui < www.kompas.com/kesehatan/news/0601/17/095113.htm> (17 Januari 2008). 2
pasal saja, yakni pada pasal 29. Ini dapat ditafsirkan bahwa para calon suami isteri diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut. Berbeda dengan BW yang mengatur perjanjian perkawinan dalam 50 pasal. Di dalam praktik, perjanjian perkawinan itu tidak hanya mengatur hanya mengenai harta benda perkawinan. Munculnya regulasi yang diprakarsai para alim ulama Indonesia yang dimuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991 yang isinya menginstruksikan
kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, menambah kerumitan pengaturan hukum perkawinan di Indonesia. Pengaturan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam sangatlah berbeda dari UU No. 1/1974 dan BW. Hal ini mengakibatkan inkonsistensi pengaturan perjanjian perkawinan serta implementasinya. Banyak masyarakat dan praktisi-praktisi hukum dalam membuat perjanjian perkawinan ini masih mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam BW ataupun yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, disebabkan keterbatasan pengaturan UU No. 1/1974. Jika kita bandingkan ketiga peraturan tersebut, terlebih lagi mengatur mengenai perkawinan satu dan yang lain saling bertolak belakang. UU No. 1/1974 yang merupakan kesatuan hukum untuk seluruh wilayah Indonesia dan berlaku bagi semua warga negara, mengemban semangat unifikasi untuk menghadapi permasalahan yang terjadi dalam lingkup hukum perkawinan. Sehingga untuk memberlakukan dan mengadopsi kembali ketentuan-ketentuan yang terdahulu, termasuk BW haruslah ekstra hati-hati. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Apa karakteristik yuridis perjanjian perkawinan? 2. Apa limitasi pengaturan isi perjanjian perkawinan menurut UU No. 1/1974? 3. Apa akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan?
3
II. KARAKTERISTIK YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN Perjanjian perkawinan termasuk dalam lapangan hukum keluarga yang tunduk pada ketentuan dalam Buku I BW. Perjanjian perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, seperti yang diatur dalam Buku III BW. Namun, prinsip dasar Buku III BW juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan. Keabsahan suatu perjanjian perkawinan juga tunduk pada ketentuan syarat sah perjanjian pada umumnya. Berdasarkan pasal 1320 BW suatu perjanjian harus dibuat dengan memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan 4. suatu sebab yang diperbolehkan. Keabsahan perjanjian perkawinan juga harus mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1/1974 yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya. Para pihak (suami istri) yang akan membuat perjanjian perkawinan haruslah sepakat mengenai isi perjanjian. Kesepakatan ini menjadi syarat pertama dan utama dalam membuat perjanjian perkawinan. Kesepakatan tidak akan terjadi apabila terdapat kekhilafan/kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog), seperti yang diatur dalam pasal 1321 BW. Ukuran kecakapan seseorang dalam membuat suatu perjanjian adalah 18 tahun, berdasarkan pasal 47 jo. 50 UU No. 1/1974. Apabila perkawinan berlangsung sebelum seseorang berumur 18 tahun, maka dalam hal dibuatnya suatu perjanjian perkawinan harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian perkawinan yang dibuatnya asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Berdasarkan UU No. 1/1974, batasan tersebut ditambah lagi dengan batasan norma agama. Pembahasan lebih lanjut mengenai isi perjanjian akan dijabarkan tulisan ini. Perjanjian perkawinan ini dalam lapangan hukum kontrak dapat dikategorikan sebagai “domestic contract”. Domestic contract merupakan suatu 4
perjanjian yang meskipun telah terjadi kesepakatan tidak dimaksudkan bagi para pihak untuk terikat ke dalam perjanjian tersebut atau menciptakan suatu hubungan hukum. Biasanya perjanjian-perjanjian yang dikategorikan sebagai domestic contract adalah perjanjian-perjanjian yang terjadi dalam lingkup hukum keluarga. Apabila terjadi pelanggaran terhadap domestic contract tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan gugat (actie) kepada pihak lainnya tidak dapat ditegakkan oleh hakim (cannot be enforced by the courts). Kasus yang terkenal adalah Balfour v Balfour (1919)2, dimana hakim yang memutus perkara tersebut menekankan dalam pertimbangan hukumnya bahwa: “…… They are not sued upon, not because the parties are reluctant to enforce their legal rights when the agreement is broken, but because the parties, in the inception never intended that they should be sued upon. Agreements such as these are outside the realm of contracts altogether”. Kasus yang serupa antara Jones v Padavatton (1969), hakim dalam pertimbangannya juga berpendapat bahwa:3 “…… The second agreement was only a family arrangement and there was no intention to create legal relations”. Berbeda halnya dengan perjanjian pada umumnya yang lazim disebut kontrak (contract/commercial contract). G.H. Treitel mendefinisikan kontrak sebagai suatu perjanjian yang dapat dipaksakan atau diakui oleh hukum sebagai konsekuensi adanya kewajiban-kewajiban hukum yang dibuat oleh para pihak.4 Kontrak merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Perikatan dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban.5 Kontrak pada intinya adalah pertukaran kewajiban antara pihak-pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak
2
Richard Stone, Principles of Contract Law, Cavendish Publishing Limited, London, 4 th Edition, 2000, h. 83. 3 D G Cracknell, Obligations: Contract Law, Old Bailey Press, London, 4th Edition, 2003, h. 69. 4 G.H. Treitel, An Outline of The Law of Contract, Oxford University Press, United States, 6 th Edition, h. 1. 5 J.H. Nieuwenhus, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, h.1. 5
melaksanakan kewajiban kontraktualnya, maka pihak tersebut berada dalam keadaan wanprestasi. Petitum yang dipunyai oleh seorang kreditor, apabila si debitor wanprestasi adalah: (vide pasal 1267 BW). Petitum tersebut bersifat alternatif dan dapat digunakan sebagai senjata oleh kreditor untuk meminta haknya. Karakteristik kontrak (commercial contract) tersebut tidak serta merta berlaku pada perjanjian perkawinan, meskipun prinsip dasar atau syarat sahnya suatu perjanjian berlaku juga terhadapnya. Apabila suatu perjanjian tidak dikategorikan sebagai commercial contract, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut tidak mempunyai akibat hukum dan karenanya para pihak yang membuatnya tidak terikat (not to be legally bound). Domestic contract lebih mengarah pada hubungan-hubungan pribadi (the subject matter) daripada hubungan hukum diantara para pihak yang membuatnya. Hal terpenting adalah perjanjian perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai kontrak komersial (commercial contract). Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan terdapat pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan gugatan atas dasar wanprestasi. Kelima alternatif petitum sebagaimana diatur dalam pasal 1267 BW di atas, juga tidak tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam sengketa perjanjian perkawinan. Sanksi terhadap suami atau istri yang tidak melaksanakan kewajibannya hanyalah berupa sanksi moral.
III.
Limitasi Pengaturan Isi Perjanjian Perkawinan Menurut UU No. 1/1974 Salah satu azas yang terkandung dalam UU No. 1/1974 terkait dengan
perjanjian perkawinan adalah hak dan kedudukan suami istri yang seimbang (azas equalitas) yang terlihat dalam pasal 31 UU No. 1/1974. Menurut azas ini masingmasing pihak dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri begitu pula terhadap harta bendanya.6 6
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006, h. 24. 6
Kedudukan harta benda dalam perkawinan, Pasal 35 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa: 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Beranjak dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pada azasnya kedudukan harta benda perkawinan adalah terpisah, artinya harta benda masingmasing pihak pada dasarnya menjadi milik suami atau istri secara pribadi dan dibawah pengawasan masing-masing bahkan suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya (beschikkingbevoegd)7 untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 UU No. 1/1974). Konsekuensi yuridis dibuatnya suatu perjanjian perkawinan menurut UU No. 1/1974, mempunyai dua implikasi, yakni pemisahan harta bersama ataupun penyatuan harta bawaan suami istri. Istilah yang digunakan dalam UU No. 1/1974 adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V dan ditempatkan hanya dalam 1 (satu) pasal yaitu pasal 29 UU No. 1/1974 yang terdiri dari 4 (empat) ayat, bahwa: (1) pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; (2) perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; (3) perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; (4) selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
7
Beschikkingbevoegd mempunyai arti bahwa sebagai pemilik, suami atau istri mempunyai kewenangan untuk mengasingkan benda miliknya. Mengasingkan berarti berwenang mengalihkan hak milik atas benda-benda miliknya pada orang lain. Pengalihan tersebut bisa dilakukan dengan cara menjual, menghibahkan ataupun menukar dengan milik orang lain. 7
Pada prinsipnya perjanjian perkawinan ini yang menjadi sumber dari berbagai bentuk harta benda dalam perkawinan.8 Pengaturan perjanjian perkawinan ini seharusnya diletakkan setelah pengaturan hak dan kewajiban suami istri dan pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan. Berkaitan dengan substansi perjanjian perkawinan, pasal 29 UU No. 1/1974 tidak mengatur secara tegas bahwa perjanjian perkawinan hanya terbatas pada harta perkawinan, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja. Dapat dilihat juga esensi perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU No. 1/1974 lebih luas daripada makna perjanjian perkawinan yang terdapat dalam BW. Sebenarnya satu pasal ini hanya menjadi dasarnya saja. Sebagai catatan pula bahwa dalam penjelasan pasal 29 UU No. 1/1974, menyatakan bahwa perjanjian perkawinan ini tidak termasuk taklik-talak. Batasan terhadap isi perjanjian perkawinan hanya disebutkan bahwa isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, agama dan kesusilaan. Hal yang terpenting juga bahwa isi dari perjanjian perkawinan ini yang mengenai harta perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga. UU No. 1/1974 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, ini berarti bahwa mengenai isinya diserahkan sepenuhnya kepada penafsiran pejabat-pejabat umum misalnya notaris atau para pihak sebagai pembuatnya dan hakim apabila terjadi sengketa dikemudian hari.9 Keterbatasan pengaturan perjanjian perkawinan ini membuat para pihak memiliki kebebasan untuk menyusun isinya serinci dan selengkap mungkin, misalnya: apakah mereka sama sekali mengatur tidak akan terjadi kebersamaan harta (peniadaan setiap kebersamaan harta); kebersamaan harta seluruhnya (termasuk harta bawaan masing-masing pihak). Klausula perjanjian perkawinan yang mengatur hal selain harta perkawinan tidak boleh melanggar hak dan membatasi kewajiban para pihak (suami istri), misalnya dalam perjanjian 8
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, Cet. IV, h. 58. (selanjutnya disebut R. Soetojo I). 9 R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, Cet III, 2000, h.64 (selanjutnya disebut R. Soetojo II). 8
perkawinan diatur bahwa suami tidak menjadi kepala keluarga dan tidak berkewajiban menafkahi istri. Klausula semacam ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 UU No. 1/1974. Klausula perjanjian perkawinan yang melanggar hukum, kesusilaan, dan agama adalah batal demi hukum. Perjanjian yang melanggar norma-norma tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak ketiga, bahkan yang tidak terkait sekalipun. Pada prinsipnya, substansi perjanjian perkawinan terbatas mengenai kedudukan harta benda perkawinan. Meskipun suami atau istri tidak mengatur secara tegas hal-hal di luar harta benda perkawinan, norma agama, kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang juga mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Namun dengan catatan, bahwa pihak ketiga juga terikat dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri sebatas hanya mengenai harta benda. Hal-hal lain di luar pengaturan mengenai harta benda perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang ditimbulkannya. Pihak ketiga juga dapat mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan tersebut, terhadap seluruh isi atau sebagian klausula yang merugikan pihak ketiga. Perjanjian perkawinan dapat diubah selama perkawinan berlangsung dengan syarat atas dasar kesepakatan antara suami istri dan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Apabila perubahan perjanjian perkawinan itu merugikan pihak ketiga maka pihak ketiga tidak terikat terhadap perubahan perjanjian perkawinan tersebut. Waktu pembuatan perjanjian perkawinan ini dalam UU No. 1/1974 secara implisit ditentukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, begitu pula terhadap pihak ketiga. Bentuk dari perjanjian perkawinan tidak ditentukan secara tegas. Hal ini dapat ditafsirkan, dapat dibuat dengan akta otentik atau cukup dibawah tangan. Namun, yang perlu mendapat perhatian meskipun perjanjian perkawinan tersebut dibuat dalam salah satu bentuk di atas, perjanjian perkawinan harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya. Pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yaitu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk atau Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang 9
membantunya (penjelasan PP No. 9/1975). Bagi mereka yang beragama Islam harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam maka harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan adalah batal (nieteg van rechtwege), perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga berlakulah prinsip kedudukan harta benda dalam perkawinan (pasal 35 UU No.1/1974). Dengan demikian berarti terjadilah “pemisahan harta” atau kebersamaan harta benda hanya terbatas pada harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang bukan berasal dari hadiah/hibah atau warisan.10 Prinsip kedudukan harta perkawinan inilah yang sangat berbeda dengan kedudukan harta kekayaan menurut BW. Pengaturan perjanjian perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1/1974 serta peraturan pelaksananya dirasa kurang lengkap ini, sehingga menimbulkan multi interpretasi terutama mengenai substansi dari suatu perjanjian perkawinan. Hal ini mengakibatkan para pihak mengacu pada ketentuan lain yang berlaku sebelum UU No. 1/1974 melalui celah hukum yakni Pasal 66 UU No. 1/1974 yang menyebutkan: “untuk perkawinan dan segala sesuatu berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undangundang ini, ketentuan yang diatur dalam BW (Burgerlijk Wetboek), HOCI (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers), GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”. Pasal 66 ini dengan menggunakan metode penafsiran a-contratrio, menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No. 1/1974 maka segala ketentuan tentang perkawinan sebelumnya berlaku kembali, kecuali yang telah diatur dalam UU No. 1/1974. Hadirnya Pasal 66 melahirkan kembali pluralisme dalam hukum 10
R. Soetojo berpendapat bahwa kebersamaan harta yang terbatas dapat disamakan dengan pengertian kebersamaan untung dan rugi seperti yang diatur dalam BW. 10
perkawinan dengan menghidupkan kembali peraturan-peraturan yang ada sebelum UU No. 1/1974. Pasal 66 ini bersifat ambiguitas, disatu sisi mencabut ketentuanketentuan yang ada sebelum lahirnya UU No. 1/1974, namun disisi lain jika belum diatur maka pasal ini pula yang menghidupkan kembali keberlakuan BW, HOCI dan GHR. Jika BW, HOCI dan GHR diberlakukan kembali untuk masalahmasalah yang belum diatur dalam UU No. 1/1974, maka peraturan-peraturan tersebut hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang tunduk pada peraturan tersebut. Berikut ini limitasi-limitasi terhadap perjanjian perkawinsebagaimana diatur dalam BW dan Kompilasi Hukum Islam:
1. Perjanjian Perkawinan Menurut BW Perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I, Bab ketujuh sampai Bab kedelapan, mulai pasal 139 – 185 BW. Berdasarkan BW, pada azasnya sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah kebersamaan harta perkawinan secara bulat sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam suatu perjanjian kawin (pasal 119 BW). Inilah perbedaan esensial dengan UU No. 1/1974, bahwa lingkup perjanjian perkawinan yang terdapat dalam BW adalah menyimpangi ketentuan mengenai kebersamaan harta dan hanya terbatas mengenai harta perkawinan asalkan penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 139 BW). Menurut sejarahnya, pengertian “Kebersamaan Harta Perkawinan” (gemeenschap van goederen) berasal dari Hukum Germania kuno (Oud Germaansrecht) dari abad pertengahan. Hukum Romawi sendiri tidak mengenal kebersamaan harta, artinya suami istri masing-masing memiliki harta privenya sendiri.11 Ada kemungkinan bahwa barang-barang tertentu yang diperoleh suami atau istri secara cuma-cuma, misalnya karena pewarisan, pemberian hadiah atau hibah tidak termasuk dalam kebersamaan harta itu, tetapi menjadi milik suami atau istri secara pribadi apabila secara tegas ditentukan oleh pewaris dan penghibah (pasal 120 BW). Namun BW mengatur bahwa wanita dianggap tidak
11
R. Soetojo I, Op.cit., h. 53. 11
cakap untuk melakukan perbuatan hukum setelah ia kawin, haruslah ia mendapat izin dari suaminya (pasal 1330 jis 108, 110 BW).12 Untuk itu para pihak berhak untuk mengadakan penyimpanganpenyimpangan terhadap ketentuan yang mengatur mengenai kebersamaan harta perkawinan dengan membuat perjanjian perkawinan. Maksud dari dibuatnya perjanjian perkawinan adalah :13 1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain; 2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar; 3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut; 4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung gugat sendiri-sendiri. Ada dua kemungkinan konsekuensi dari isi perjanjian perkawinan dalam hal menyimpangi ketentuan kebersamaan harta menurut BW, yaitu: 1. Pemisahan harta secara keseluruhan; 2. Pemisahan harta terbatas (kebersamaan yang terbatas). Kebersamaan harta yang terbatas, yaitu: kebersamaan untung dan rugi (gemeenschap van winst en verlies) dan kebersamaan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten). Apabila isi perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta secara keseluruhan, para pihak leluasa menentukan isinya asal tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum serta limitasi yang diberikan oleh undangundang. Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi harus secara tegas ditentukan dalam akta perjanjian perkawinan (pasal 155 BW). Menurut Pitlo, pada kebersamaan untung dan rugi yang menjadi milik dan beban bersama 12
Pasal 1330 BW dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berlakunya pasal 31 UU No. 1/1974 dan juga pasal 108 jo 110 BW yang dihimbau kepada para hakim untuk tidak menerapkannya melalui SEMA 3/1963. 13 R. Soetojo I, Op.Cit., h. 58. 12
adalah untung yang diperoleh selama perkawinan dan rugi yang diderita selama perkawinan.14 Apabila hutang tersebut dibuat oleh suami atau isteri sebelum perkawinan dilangsungkan maka hutang tersebut menjadi tanggung gugat masingmasing pihak yang membuatnya, tidak dapat dilunasi dari harta dihasilkan dari persatuan untung rugi. Mengenai pembagian kebersamaan untung dan rugi ini hanya dapat dilakukan apabila perkawinan itu putus (pasal 128 jo 126 BW). Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan juga harus ditentukan secara tegas dalam akta perjanjian perkawinan. Perbedaan dengan kebersamaan untung dan rugi adalah apabila dalam kebersamaan itu terjadi keuntungan maka suami yang mengurus kebersamaan itu, berlaku vice versa. Apabila dalam kebersamaan tersebut menimbulkan keuntungan, maka keuntungan ini dibagi antara suami dan isteri. Namun, para pihak dapat menyimpangi atau menentukan lain di perjanjian perkawinannya. Calon suami isteri juga dapat menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut diikuti dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya dalam perjanjian perkawinan diikuti dengan syarat bahwa perjanjian perkawinan yang mereka buat baru akan berlaku bila sudah dikaruniai anak. Maka perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku secara intern, pihak ketiga dalam hal ini tidak terikat dan tetap menganggap terjadi kebersamaan secara bulat antara mereka. Hal ini demi melindungi kepentingan atau hak pihak ketiga. Selain para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian perkawinan yang mereka buat, namun ada limitasi yang diberikan oleh undang-undang, bahwa isi perjanjian perkawinan juga tidak boleh: a. mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami (maritale macht): hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan (pasal 140 ayat 1 BW); b. hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Misalnya hak untuk mengurus harta kekayaan anak-anak dan mengambil keputusan mengenai pendidikan atau hak untuk mengasuh anak (pasal 140 ayat 1 BW) ;
14
R. Setojo II,Op.Cit., h. 90. 13
c. hak-hak yang ditentukan oleh Undang-Undang bagi suami atau istri yang hidup terlama (langstlevende echtgenoot), misalnya untuk menjadi wali dan wewenang untuk menunjuk wali dengan testament (pasal 140 ayat 1 BW); d. tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah (afkomelingen) (pasal 141 BW jis 1063 BW, 1334 ayat 2 BW); e. tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada hartanya (pasal 142 BW); f. tidak dibuat janji-janji bahwa harta perkawinan mereka tunduk pada hukum asing ataupun hukum adat (pasal 143 BW). Perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 147 BW). Apabila perjanjian perkawinan dibuat setelah perjanjian perkawinan, maka akibat hukumnya perjanjian tersebut batal (nieteg van rechtwege). Sehingga berlakulah kebersamaan harta secara bulat. Bentuk dari Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 147 BW). Konsekuensi tidak dibuatnya perjanjian perkawinan dengan akta notaris adalah batal (nieteg van rechtwege). Hal ini berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU No 1/1974 yang tidak menyebutkan secara jelas apakah perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris ataukah cukup hanya di bawah tangan saja, yang terpenting adalah mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal ini dilakukan selain sebagai syarat keabsahan juga:15 a. untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup; b. untuk adanya kepastian hukum; c. sebagai satu-satunya alat bukti yang sah; d. untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga.
15
R. Soetojo II, Op.Cit., h. 59. 14
Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan ini masih dapat diubah. Perubahan ini harus juga dibuat dengan akta notaris dan harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh calon suami istri dan juga harus mendapat izin dari orangorang yang dahulu ikut serta sebagai pihak dalam mewujudkan perjanjian perkawinan misalnya orang yang telah menghibahkan/memberi hadiah pada calon suami atau istri. BW tidak menentukan jangka waktu dibuatnya perjanjian perkawinan sampai perkawinan dilangsungkan. Calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan setelah bertahun-tahun membuat perjanjian, tidak akan mengakibatkan batalnya perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Namun, perjanjian perkawinan akan gugur (tidak berlaku) bila calon suami isteri yang bersangkutan tidak jadi melangsungkan perkawinan.
2. Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Peraturan lain mengenai perkawinan yang dapat dijadikan pedoman mengenai hukum perkawinan khusus bagi pemeluk agama Islam yakni Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam ini diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi Hukum Islam. Dalam konsiderannya, bahwa Kompilasi Hukum Islam ini dapat digunakan sebagai pedoman dan aturan oleh instansi pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam bidang perkawinan, pewarisan dan perwakafan bagi yang beragama Islam. Reaksi dari Inpres ini adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 yang berisi agar seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dan menerapkannya dalam masalahmasalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Pengadilan Agama dalam praktiknya menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa. Kompilasi 15
Hukum Islam ini diharapkan dapat sebagai pedoman dan acuan untuk menyelesaikan sengketa bagi yang beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam mengatur pada azasnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya demikian juga suami (pasal 86 Kompilasi Hukum Islam). Namun, para pihak dapat mengadakan perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan dengan membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I Bab VII mulai dari pasal 45 – 52. Istilah yang digunakan juga sama yaitu perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa kedua calon suami istri (dalam Kompilasi Hukum Islam disebut mempelai) dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1. Taklik Talak; dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pengaturan perjanjian perkawinan ini sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dalam UU No. 1/1974 dan BW. UU No. 1/1974, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak seperti yang telah disinggung di atas. Sedangkan BW juga tidak pernah mengenal apa itu taklik talak. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Bentuk dari perjanjian perkawinan, Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan harus dalam bentuk tertulis. Pengesahannya pun dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Para calon mempelai juga dapat mengatur mengenai keberadaan harta perkawinan. Isi perjanjian tersebut dapat meliputi: 1. percampuran harta pribadi; dan 2. pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam; 3. menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
16
Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Apabila isi perjanjian adalah memisahkan keseluruhan harta, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan limitasi bahwa perjanjian yang mengatur mengenai keberadaan harta juga tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsekuensi apabila hal ini dilanggar dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Isi perjanjian perkawinan yang terpenting adalah tidak melanggar atau bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pe-gawai Pencatat Nikah. Selanjutnya, perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami-isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan.
3.
Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kewajiban Dalam Perjanjian Perkawinan terhadap Perkawinan Perjanjian perkawinan yang telah dibuat maka mengikat para pihak yang
membuatnya untuk memenuhi isi dari perjanjian perkawinan tersebut. Pada prinsipnya isi dari perjanjian perkawinan yaitu apa yang telah diatur, tidak dapat ditarik atau diubah oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Menurut UU No. 1/1974 perjanjian perkawinan dapat diubah jika telah disepakati dan tidak merugikan pihak ketiga. Apabila terdapat suatu klausula perjanjian perkawinan yang menyebutkan bahwa dengan tidak dipenuhinya isi perjanjian perkawinan maka dapat mengakibatkan putusnya perkawinan, maka klausula semacam ini batal (nieteg). Hal ini disebabkan karena pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tidak bisa dijadikan sebagai alasan perceraian sebagaimana diatur dalam bagian penjelasan pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974 jo pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
17
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengenai alasan-alasan perceraian antara lain: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka dapat dilihat bahwa tidak dipenuhinya suatu klausula perjanjian perkawinan tidak dapat menjadi alasan perceraian. Hal ini sejalan dengan salah satu azas yang terkandung dalam UU No. 1/1974 yang menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Apabila tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian perkawinan oleh suami/istri dapat menyebabkan perselisihan terus menerus diantara mereka, maka suami/istri dapat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan sebagaimana yang tercantum dalam huruf (f) pasal 39 (2) UU No. 1/1974 jo pasal 19 PP 9/1975. Alasan perceraian, khususnya huruf (f) ini sangat luas interpretasinya. Akan tetapi, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam suatu perjanjian perkawinan tidak semata-mata dapat menjadi alasan dilakukannya perceraian, terlebih lagi bila diperjanjikan bahwa tidak dipenuhinya isi dari perjanjian perkawinan tersebut mengakibatkan putusnya perkawinan. Taklik Talak sebagai salah satu bentuk perjanjian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Perjanjian taklik talak ini bukan perjanjian yang harus dibuat oleh setiap orang Islam yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi perjanjian taklik talak yang telah diperjanjikan tidak dapat dicabut. Taklik talak merupakan perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa datang. Berbeda dengan UU No 18
1/1974 tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan taklik talak sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam mengakibatkan isteri dapat mengajukan alasan tersebut ke Pengadilan Agama supaya dijatuhkan talak terhadap perkawinannya. Hal ini diatur dalam Pasal 46 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan perceraian diatur juga bahwa pelanggaran taklik talak oleh suami dapat menjadi alasan terjadinya perceraian. Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Seperti yang telah disinggung di pembahasan sebelumnya, bahwa UU No 1/1974 menegaskan dalam penjelasannya bahwa perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Hal ini konsisten dengan salah satu azasnya yakni mempersukar terjadinya perceraian. Oleh karena itu, akibat hukum yang diatur dalam UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam ini tampak berbeda. Apabila dalam UU No. 1/1974 diatur bahwa tidak dipenuhinya isi perjanjian perkawinan tidak dapat menjadi alasan perceraian sedangkan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan, dalam hal ini taklik talak sebagai alasan perceraian. Lebih dalam lagi, Kompilasi Hukum Islam ini dijadikan pedoman dan diterapkan oleh para hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Pengadilan Agama, sesuai dengan Keputusan Menteri Agama tentang pelaksanaan Inpres yang mengatur tentang Kompilasi Hukum Islam. Keberadaan Kompilasi Hukum Islam berlaku hanya sebagai pedoman bagi orang Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Sedangkan jika dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Kompilasi Hukum Islam yang dibungkus dengan Inpres tidak termasuk didalamnya. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Inpres tidak termasuk dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Inpres tersebut hanya mengikat secara 19
kelembagaan, dalam hal ini menteri agama. Instruksi adalah suatu bentuk keputusan yang bersifat hirarkis (top-down). Berlaku bagi jajaran tata usaha negara di bawah pembuat instruksi.16 Apabila terjadi pertentangan norma antara UU No. 1/1974 di satu sisi dan Inpres di sisi lain, maka berdasarkan azas lex superior derogat legi inferior, Kompilasi Hukum Islam yang notabene dibungkus dengan Inspres tidak dapat mengalahkan UU No. 1/1974. Hakim tidak dapat menerapkan norma dalam Kompilasi Hukum Islam yang bertentangan dengan norma yang diatur dalam UU No. 1/1974 yang lebih tinggi kedudukannya. Namun, hakim dapat menerapkan azas ius contra legem, yakni hakim dapat menerobos aturan perundang-undangan dalam kasus tertentu sehingga dapat menerapkan prinsip hukum Islam dalam putusannya. Berdasarkan BW, apabila dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan terdapat pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan gugat wanprestasi. Menurut R. Soetojo perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami istri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. Perjanjian perkawinan ini lebih bersifat hukum keluarga (familierechtelijk), sehingga tidak semua ketentuan hukum perjanjian yang terdapat dalam Buku III BW berlaku, misalnya suatu aksi (gugat) berdasarkan suatu kekhilafan (dwaling/error) tidak dapat dilakukan.17 Upaya hukum lain yang dapat dilakukan istri terhadap tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian perkawinan adalah melakukan gugat pemisahan harta dengan dasar pasal 186 BW, yakni: 1. jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan karena itu menghadapkan segenap keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan; 2. jika karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin si istri dan guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak istri, akan menjadi 16
Febrian, Hirarki Aturan Hukum di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004. 17 Ibid. 20
kabur atau, jika karena suatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si istri, kekayaan ini dalam keadaan bahaya. Gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan dan harus diumumkan secara terang-terangan. Pemisahan harta atas kesepakatan suami istri sendiri adalah dilarang. Namun, upaya hukum pemisahan hanya dapat dilakukan apabila terjadi persatuan harta sebagian diantara suami istri. Upaya hukum tersebut juga hanya dipunyai oleh si istri sebagai “senjata” untuk menuntut pemisahan harta. Berdasarkan BW, salah satu pihak juga tidak dapat menggugat cerai pihak lainnya dengan alasan pelanggaran ini. Alasan perceraian telah diatur secara limitatif dalam BW, yakni dalam Pasal 209 BW dan tidak diperbolehkan ada alasan lain di luar itu. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, konsekuensi yuridis terjadinya perkawinan terhadap harta benda menurut BW, UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam berbeda. Jiwa atau tujuan dibentuknya Undang-undang ini adalah dengan maksud untuk melakukan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Namun dalam praktiknya, ketidaklengkapan pengaturan dalam UU No. 1/1974 mengakibatkan terjadinya pluralisme dalam hukum perkawinan. Keberadaan pasal 66 UU No. 1/1974 sebisa mungkin hanya dijadikan sebagai “jalan terakhir” apabila UU No. 1/1974 benar-benar tidak dapat menyelesaikan problematika hukum tersebut.
III. KESIMPULAN 1. Perjanjian perkawinan dapat dikategorikan sebagai domestic contract, sehingga tidak semua prinsip-prinsip dalam commercial contract dapat diterapkan. Akibat hukum tidak dipenuhinya suatu perjanjian perkawinan oleh suami atau istri, tidak mengakibatkan suami atau istri dalam keadaan wanprestasi, sehingga tidak ada gugat wanprestasi di antara mereka. Sanksi dari tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan hanya bersifat sanksi moral. 2. Terdapat batasan yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian perkawinan yakni tidak melanggar ketentuan hukum, agama, kesusilaan dan ketertiban umum. Pada prinsipnya, esensi dari suatu perjanjian perkawinan adalah kesepakatan mengenai harta benda perkawinan. Perjanjian perkawinan 21
tersebut juga mengikat pihak ketiga sebatas hanya mengenai harta benda perkawinan. 3. Berdasarkan UU No. 1/1974 adanya pelanggaran oleh salah satu pihak, tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan gugatan cerai. Dalam UU No. 1/1974 telah diatur alasan-alasan perceraian, yang bersifat limitatif. Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap taklik talak yang menurut Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk perjanjian perkawinan, dapat menjadi alasan untuk mengajukan gugatan cerai. Apabila terjadi pertentangan norma antara UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam maka digunakanlah azas hukum “lex superior derogat legi inferior”. Namun, dalam kasus-kasus tertentu hakim dapat menerapkan azas ius contra legem dengan menggunakan prinsip hukum Islam dalam putusannya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006. D.G. Cracknell, Obligations: Contract Law, Old Bailey Press, London, 4th Edition, 2003 Febrian, Hirarki Aturan Hukum di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004. G.H. Treitel, An Outline of The Law of Contract, Oxford University Press, United States, 6th Edition. J.H. Nieuwenhus, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1985. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999. K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, 1976. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, Cet III, 2000. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, Cet. IV, 2006. Richard Stone, Principles of Contract Law, Cavendish Publishing Limited, London, 4th Edition, 2000. Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1978, h. 19. Kompas.Com, Perlu Tidaknya Perjanjian Pranikah Dibuat, 17/01/2006, diakses melalui < www.kompas.com/kesehatan/news/0601/17/095113.htm> (17 Januari 2008). Peraturan Perundang-undangan: Burgerlijk Wetboek (Staatblad 1847 Nomor 23), diterjemahkan sebagai Kitab Undangundang Hukum Perdata oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (LNRI No. 1, TLNRI No. 3019). Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (LNRI No. 53 TLNRI No. 4389).
23
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (LNRI No. 95 TLNRI No. 4419). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (LNRI No. 49 TLNRI No. 3400). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (LNRI No. 22 TLNRI No. 4611). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Yahun 1974 Tentang Perkawinan (LNRI No. 12, TLNRI No. 3050).
24