KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PE RKAWINAN CAMPURA N
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Sat u Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : SYAFA ATUL UZMA 111 00 441 00 00 6
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PE RKAWINAN CAMPURA N
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Sat u Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : SYAFA ATUL UZMA 111 00 441 00 00 6
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ii
ABSTRAK Syafa Atul Uzma. NIM: 1110044100006. Kepemilikan Tanah Warga Negara Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran. Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal alSyakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. Xii + 75 halaman + 30 halaman lampiran. Skripsi yang berjudul “Kepemilikan Tanah WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran” ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan ketentuan yang berlaku dengan fakta yang terjadi di masyarakat terkait kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris (sosiologi hukum) adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat. Di samping itu, pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan model pendekatan “satu tembakan” (one shoot model), yaitu model pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data pada suatu saat. Dikatakan demikian, dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali pengumpulan data pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di Indonesia secara terpadu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa kepemilikan tanah bagi WNI akibat perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan adalah dipersamakan dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Kepastian hukum bagi WNI saat ini agar berhak atas tanah dengan status hak milik, yaitu dengan mendapatkan “Penetapan Pengadilan Pisah Harta”.
Kata Kunci
: Perkawinan Campuran, WNI, Harta Bersama dan Hak-hak atas Tanah.
Pembimbing
: Nahrowi, SH., MH.
Daftar Pustaka
: Tahun 1996 s.d Tahun 2013.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw beserta kerabat dan para sahabatnya. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Azizah Noor dan Ayahanda Zainudin Qosim yang selalu memberikan dukungan baik materil ataupun moril serta bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Somoga Allah senantiasa membalas kasih sayang tulus mereka serta memberikan kesehatan, panjang umur dan senantiasa memberikan perlindungan kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan. Namun, syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah dan izin-Nya, serta kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. H. J.M. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. dan Ibu Hj. Rosdiana, MA. selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Nahrowi, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Khususnya kepada Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. yang senantiasa memperlakukan mahasiswanya selayaknya anak sendiri, sehingga tanpa kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi kepada penulis serta memberikan saran ataupun kritik yang membangun demi kebaikan penulis. 5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Ibu Melva Nababan selaku Ketua Umum Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan data-data yang diperlukan sebagai bahan rujukan skripsi.
viii
7. Do’a dan harapan senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT untuk adinda tersayang Nur Sabrina dan Widad Zahra Adiba yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat-sahabat tersayang serta teman suka duka penulis : Wardhatul Jannah, Rizki Amalia, Astri Damayanti, Riana Maharani, Widya Utami Syafaat, dan Hanifa Farhana. 9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Sena Siti Arafiah, Gita Dwi Annesa, Sainah, Neneng Khosyatillah, Yulianti, Arini Zidna, Inayah Maily Ridho, Khoirunnisa, Rena Soraya, M. Fauzan, dan Rifki Abdurrahman. 10. Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memeberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan, kebaikan dan kasih sayang yang telah mereka berikan kepada penulis dengan balasan yang setimpal. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini. Ciputat, 03 Juli 2014
Penulis ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iv LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... v ABSTRAK .............................................................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7 D. Kerangka Metode Penelitian ......................................................... 8 E. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II
:
PERKAWINAN
CAMPURAN
DALAM
HUKUM
PERKAWINAN
DI
INDONESIA ........................................................................................................... 16 A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ...... 16 B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 .................................................................. 20
x
C. Kedudukan Suami dan Isteri dalam Perkawinan Campuran ......... 28 D. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran .................................. 29 BAB III
MASYARAKAT PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA .. 45 A. Profil Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia .................... 45 B. Fakta Terkait Harta Benda Perkawinan dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran .................................................................. 49
BAB IV
:
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN ............................................................................. 54 A. Faktor Penghalang Kepemilikan Tanah Suami atau Isteri WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran ................... 54 B. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Bagi Suami atau Isteri WNI Akibat Pekawinan Campuran ........................................................ 60 C. Analisis Penulis ............................................................................. 65 BAB V
PENUTUP .......................................................................................... 68 A. Kesimpulan ................................................................................... 68 B. Saran .............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 72
xi
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara 3. Pedoman dan Hasil Wawancara Skripsi
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami-isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”.1 Pada hakikatnya, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti sekarang ini, komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Bagi Indonesia, sejak dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat.
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. I, h. 1.
1
2
Sejalan dengan kemerdekaannya, bangsa Indonesia mulai ikut serta secara langsung dalam pergaulan bersama di antara bangsa-bangsa yang merdeka pula, seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bisa mempererat hubungan antar bangsa atau antar warga negara. Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Di samping itu, manusia memiliki cita rasa yang universal, tidak mengenal perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia dengan kewarganegaraan yang berbeda, yaitu antara warga negara Indenesia (selanjutnya disebut WNI) dengan warga negara asing (selanjutnya disebut WNA). Perkawinan seperti ini di Indonesia dikenal dengan perkawinan campuran.2 Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan, bahwa : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam perkawinan campuran, yaitu :3 1) Perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia; 2
Lawskripsi, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”, artikel diakses pada 16 Oktober 2013 dari http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92&Itemid=92. 3
Diah Utari Ayudhistiarini, “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan Akibat Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Pasundan Bandung, 2011), h. 53.
3
2) Masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dikarenakan aturan tersebut di atas yang menyatakan kebolehan perkawinan campuran, seiring berjalannya waktu semakin banyak perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya, dengan terjadinya perkawinan campuran akan timbul beberapa permasalahan akibat terjadinya perkawinan tersebut. Salah satu masalah krusial yang sekarang ini vokal dibicarakan, yakni terkait kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama akibat terjadinya perkawinan campuran. Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dinyatakan, bahwa : Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undangundang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika dalam jangka tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Undang-undang di atas mengatur status hak atas tanah bagi WNA, dimana WNA yang memperoleh hak milik karena warisan wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Begitu pula hak milik yang diperoleh WNA karena percampuran harta (tanpa adanya perjanjian perkawinan) akibat perkawinan campuran. Selain itu, bagi WNI yang mempunyai hak milik kemudian kehilangan kewarganegaraannya, wajib pula
4
melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak ia kehilangan kewarganegaraannya. Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang tersebut di atas, jelas bahwa setiap WNI tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun, pada kenyataannya hak atas tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran sangat dipengaruhi dengan adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dinyatakan bahwa : (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami, bahwa bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan status hak atas tanahnya menjadi dipersamakan dengan pasangan WNAnya, yakni hanya sebatas
5
hak pakai. Dikarenakan terjadi percampuran harta dengan pasangan WNAnya. Yang mana WNA dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah pemegang hak atas tanah dengan status hak pakai. Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini di Indonesia sudah ada Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia, yang berdiri dengan misi dapat menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkawinan campuran secara terpadu. Persatuan ini menaungi aspirasi pelaku perkawinan campuran serta membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan krusial yang tengah mereka hadapi, yakni larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis, yakni skripsi yang berjudul “KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah penulis uraikan, bahwa perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang berbeda
6
kewarganegaraan, yaitu antara orang Indonesia dengan orang Asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistesi bangsa dan negara Indonesia yang tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan atau internasional.4 Sehubungan dengan adanya aturan di negara ini yang telah mengatur tentang kebolehan perkawinan campuran, selanjutnya akan timbul beberapa permasalahan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, yakni sebagai berikut : (1) Keabsahan perkawinan; (2) Pencatatan perkawinan; (3) Harta benda dalam perkawinan; (4) Status kewarganegaraan WNI dan anak (hasil perkawinan campuran); (5) Perceraian; dan (6) Warisan. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan fokus terhadap Kepemilikan Tanah Warga Negara Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran. 2. Rumusan Masalah Menurut peraturan, hanya WNI yang dapat mempunyai hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya WNI yang melakukan perkawinan campuran
4
Nawawi. N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”, artikel diakses pada 16 Oktober 2013 dari http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartikel.pdf.
7
tanpa perjanjian perkawinan tidak dapat mempunyai hak atas tanah ketika melakukan perkawinan tersebut. Maka berdasarkan rumusan permasalahan di atas, penulis merincinya ke dalam 2 (dua) bentuk pertanyaan, yakni: a. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan? b. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran
berdasarkan
pengalaman
langsung
pelaku
perkawinan campuran pada persatuan MPCI dan apakah ada kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. b. Memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. 2. Manfaat Penelitian Secara lebih spesifik manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah : a. Memperbaiki praktik-praktik yang telah berlangsung di masyarakat terkait status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
8
b. Bagi penulis, manfaat penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan sebagai wujud kontribusi positif dan dedikasi yang dapat penulis berikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. c. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bentuk karya ilmiah yang bermanfaat dan bahan rujukan bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. D. Kerangka Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian terapan (applied research), bila dilihat dari aspek kebutuhan dan pemakaian penelitian. Penelitian terapan dilakukan berkenaan dengan pemecahan masalah dan kenyataan-kenyataan praktis, penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian dasar dalam kehidupan nyata. Penelitan terapan berfungsi untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Tujuan penelitian terapan tidak semata-mata untuk mengembangkan wawasan keilmuan, tetapi juga untuk pemecahan masalah praktis, sehingga hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, baik secara individu atau kelompok, mungkin
9
juga untuk keperluan kelembagaan.5 Secara umum, tujuan penelitian terapan ini adalah sebagai berikut :6 a. mengungkapkan praktik-praktik yang sudah ada; b. memperbaiki praktik-praktik yang telah berlangsung. Selanjutnya, setelah hasil studi dipublikasikan dalam periode waktu tertentu, pengetahuan tersebut akan memengaruhi pola berpikir dan persepsi para praktisi.7 Sedangkan bila dilihat dari aspek proses (pendekatan), penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan secara wajar dan natural sesuai dengan kondisi objek di lapangan tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif.8 Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap yakni persepsi orang mengenai suatu peristiwa.9 Kajian utama penelitian kualitatif adalah fenomena atau kejadian yang berlangsung dalam suatu situasi sosial tertentu. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan (lokasi) untuk membaca, memahami, dan mempelajari situasi. Penelitian dilakukan ketika proses interaksi sedang berlangsung secara alami
5
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 33. 6
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, 2010), h. 23.
7
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 33.
8
Ibid, h. 140.
9
Ibid, h. 142.
10
di tempat penelitian. Kegiatan peneliti adalah mengamati, mencatat, bertanya, dan menggali sumber yang erat hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi saat itu.10 Di samping itu, jenis penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif, bila dilihat berdasarkan metode. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab persoalanpersoalan tentang fenomena atau peristiwa yang terjadi saat ini, baik tentang fenomena sebagaimana adanya maupun analisis hubungan antara berbagai variable dalam suatu fenomena. Salah satu pola penelitian deskriptif ini yaitu studi kasus. 11 Dimana penulis melakukan studi kasus terhadap pelaku perkawinan campuran yang tergabung dalam Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI). Dalam melakukan studi kasus, penulis melakukan penelitian secara mendalam dengan melacak dan menemukan berbagai faktor terkait perkawinan campuran dan akibat yang ditimbulkan setelahnya. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi
10
Ibid, h. 141.
11
Ibid, h. 41.
11
objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.12 3. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat.13 Pendekatan ini menggunakan suatu prosedur yang mana untuk dapat memecahkan masalah penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan penelitian pada data sekunder kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. Di samping itu, pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan model pendekatan “satu tembakan” (one shoot model), yaitu model pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data pada suatu saat.14 Dikatakan demikian, dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali pengumpulan data pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di Indonesia secara terpadu, yakni Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI).
12
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Ed. I, Cet. I, h. 105-106. 13
14
Ibid, h. 105.
Munawaroh, Panduan Memahami Metodologi Penelitian, (Malang, Jawa Timur : Intimedia, 2012), h. 32.
12
4. Sumber Data Sumber data yang digunakan: Pertama sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara maupun observasi yang kemudian diolah oleh peneliti.15 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa narasumber terpercaya terkait permasalahan dalam skripsi ini, yakni pelaku perkawinan campuran, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut BPN RI), dan Ahli Hukum Keluarga. Kedua sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian, skripsi dan Peraturan Perundang-undangan. Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi:16 a. Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Peraturan Perundangundangan yang terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini PeraturanPerundang-undangan yang dimaksud, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 15
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 106.
16
Ibid, h. 106.
13
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau sekunder, yang berasal dari kamus, ensiklopedia, surat kabar, dan sebagainya. 5. Metode Pengumpulan Data Data penelitian ini diperoleh melalui data kepustakaan dan wawancara atau interview. Data kepustakaan merupakan data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, publikasi, dan hasil penelitian. 17 Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya-jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapai tujuan tertentu. 18 Selama ini metode pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap efektif, dikarenakan interviewer dapat bertatap muka langsung dengan responden (narasumber) untuk menanyakan perihal pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat ataupun persepsi diri responden atau bahkan saran-saran 17
Ibid, h. 107.
18
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 233.
14
responden. 19 Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan metode wawancara tak terstruktur (open-ended), yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden dapat secara bebas menjawab pertanyaan tersebut.
20
Wawancara dilakukan secara mendalam dengan
beberapa pelaku perkawinan campuran dalam Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI) terkait hak milik WNI akibat perkawinan tersebut serta BPN RI selaku pelaksana dari pada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kepemilikan tanah bagi WNI dan Ahli Hukum Keluarga terkait kepemilikan harta bersama dalam perkawinan, dengan harapan agar didapati suatu informasi dan data yang lebih mendalam, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. 6. Metode Analisa Data Berdasarkan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analitis, maka metode analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi dan makna dari aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek penelitian.21
19
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), Ed. I, Cet. II, h. 57. 20
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 233.
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 107.
15
E. Sistematika dan Teknik Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan teknik penulisan yang mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas mengenai Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, kewarganegaraan, perkawinan dan kedudukan anak menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan campuran, dan harta benda dalam perkawinan campuran. Bab ketiga, bab ini akan memuat tentang profil Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia serta fakta terkait harta benda perkawinan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. Bab keempat, pada bab ini penulis akan menguraikan faktor penghalang kepemilikan tanah suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran serta kepastian hukum kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI akibat perkawinan campuran. Bab kelima, bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian serta saran bagi Perumus Undang-Undang, Pemerintah, Ahli Hukum dan WNI.
BAB II PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Pengertian Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti yang termuat dalam Pasal 1 (ayat 2), perkawinan didefinisikan sebagai :1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Sahnya Perkawinan Sahnya perkawinan harus berdasarkan pada Pasal 2 undang-undang perkawinan, yang berbunyi : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Syarat-syarat Perkawinan Orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan yang terdiri dari Pasal 6 s.d Pasal 12 undangundang perkawinan.
1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ‘Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 /1974 sampai KHI’, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. III, h. 42-43.
16
17
4. Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29, yang isinya sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.2 5. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya Dalam hal putusnya perkawinan serta akibatnya berdasarkan undangundang perkawinan, hal tersebut diatur secara khusus dalam Bab VIII yang terdiri dari Pasal 38 s.d Pasal 41. 6. Kedudukan Anak Masalah anak sah diatur dalam undang-undang perkawinan pada Bab IX tentang Kedudukan Anak dalam Pasal 42 s.d 44. Ketentuan lebih lanjut perihal asal-usul anak diatur dalam Bab XII tentang Ketentuan-ketentuan Lain dalam Pasal 55.3 7. Perkawinan Campuran Berdasarkan
undang-undang
perkawinan,
pengertian
perkawinan
campuran diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari 2
Ibid, h. 137.
3
Ibid, h. 281-282.
18
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata (Pasal 59 ayat 1). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini (Pasal 59 ayat 2). Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran dan perkawinan tersebut sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dipenuhi, artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya tersebut. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.4 Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa : Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.
4
Nawawi. N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”.
19
Sebelum dilangsungkannya perkawinan, kedua belah pihak terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum (negara asal) masing-masing pihak. Bagi WNI yang hendak melangsungkan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 ayat (1), yang menyatakan bahwa :5 Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI yang hendak melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagiamana telah diuraikan sebelumnya. Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing yang berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (Pasal 60 ayat 2). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (Pasal 60 ayat 3). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3) (Pasal 60 ayat 4). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi, jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan(Pasal 60 ayat 5). Tata cara pencatatan perkawinan campuran diatur dalam pasal selanjutnya, yakni Pasal 60 s.d Pasal 62 Undang-undang tersebut di atas.
5
Tafonao, “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”, artikel diakses pada 10 Oktober 2013 dari http://lucasmem.blogspot.com/2012/11/perkawinan-campuran.html.
20
B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 I. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 1. Kewarganegaraan Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan bahwa yang dikatakan Warga Negara Republik Indonesia : a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjianperjanjian dan/atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warganegara Republik Indonesia; b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warganegara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indoaesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun; c. Anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warganegara Republik Indonesia; d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya; e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya; f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui; g. Seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya; h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui; i. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya, dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu;
21
j. Orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini. Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 5 s.d Pasal 6. Selanjutnya, pengaturan tentang kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 17 s.d Pasal 19. Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali, diatur dalam Pasal 11, 12, 14, dan 16 Undang-undang tersebut di atas. 2. Perkawinan Dalam memori penjelasan mengenai Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan, bahwa dalam suatu perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama. Pada dasarnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan itu suami. Berhubung dirasakan berat untuk mengasingkan seorang warganegara karena perkawinannya, maka menurut undang-undang ini seorang perempuan WNI
yang
kawin
dengan
seorang
asing
tidak
kehilangan
kewarganegaraannya karena perkawinan tersebut, kecuali ia melepaskan sendiri kewarganegaraannya dan dengan melepaskan itu ia tidak akan menjadi tanpa kewarganegaraan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 8. Meskipun pada dasarnya kewarganegaraan suami yang menentukan, undang-undang ini memberi kesempatan juga kepada laki-laki WNI untuk melepaskan kewarganegaraannya karena mungkin hanya dengan jalan demikian tercapai kesatuan kewarganegaraan. Maka dari itu, seorang
22
perempuan asing yang kawin dengan seorang laki-laki WNI tidak selalu memperoleh
kewarganegaraan
RI.
Ia
memperoleh
kewarganegaraan
suaminya seketika ia menyatakan keterangan untuk itu dalam waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung atau apabila tidak ada pernyataan serta keterangan yang sah dari suaminya untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesianya 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7. Keterangan
melepaskan
kewarganegaraan
Republik
Indonesia
sebagaimana telah diuraikan di atas, hanya boleh dinyatakan apabila tidak akan menjadikan seorang tanpa kewarganegaraan. Sedangkan keterangan untuk menjadi warganegara Indonesia, tidak boleh dinyatakan apabila dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia ia masih mempunyai kewarganegaraan lain. 3. Kedudukan Anak Dalam hal kedudukan anak berdasarkan memori penjelasan UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pada umunya yang dikatakan anak yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 18 tahun dan atau belum kawin. Kewarganegaraan RI diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan dan berdasarkan kelahiran di dalam wilayah RI, untuk mencegah adanya orang yang tanpa kewarganegaraan.
23
Dalam hal kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu. Hubungan kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah atau apabila anak itu (lahir di luar perkawinan yang sah) diakui secara sah oleh ayahnya. Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka kewarganegaraan ayah yang menentukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf b dan c). Akan tetapi, apabila sang ayah tidak mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui, maka kewarganegaraan ibu yang menetukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf e). Begitu pula, apabila tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka yang menentukan adalah kewarganegaraan ibunya (Pasal 1 huruf d). Selanjutnya, kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia sebagi dasar untuk memperoleh kewarganegaraan RI, hanya dipakai untuk menghindarkan adanya orang tanpa kewarganegaraan yang lahir di dalam wilayah RI dan hanya dipakai selama perlu untuk menghindarkan hal tersebut (Pasal 1 huruf f, g, h, dan i). Seorang anak adakalanya karena suatu aturan turut kewarganegaraan ayahnya, sedangkan sesungguhnya ia merasa lebih berdekatan dengan ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Hendaknya kepada anak itu diberi kesempatan untuk memeperoleh kewarganegaraan RI, apabila ia dianggap
24
sudah bisa menentukan kewarganegaraannya sendiri. Pemberian kesempatan itu hendaknya dibatasi pada anak di luar perkawinan yang sah, karena anak dalam perkawinan yang sah pada prinsipnya kewarganegaraannya turut ayahnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3. Negara yang memperkenankan orang dari luar bertempat tinggal menetap di dalam wilayahnya, pada suatu saat negara tersebut sudah selayaknya menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewargaanya. Namun, dikarenakan kewarganegaraan itu janganlah dipaksakan kepada orang yang sudah mempunyai kewarganegaraan lain, maka pemasukan dalam lingkungan kewarganegaraan RI itu hendaknya datang dari keinginan orang itu sendiri. Dikarenakan alasan-alasan tersebutlah (dan sebagaimana yang terdapat pula dalam Pasal 3), maka kesempatan yang diberikan itu berupa “permohonan”. Pengaturan mengenai permohonan tersebut diatur dalam Pasal 4. II. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 1. Kewarganegaraan Menurut
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
Kewarganegaraan RI, yang di maksud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
25
Siapa warga negara Indonesia (WNI)? Menurut Undang-undang tersebut di atas mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia adalah :6
a.
b. c. d. e.
f.
g. h.
i. j. k.
l.
Pasal 4 Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan /atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; Anak yang lahir dari perkawinaan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; Anak yang lahir dari perkawianan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing; Anak-anak lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dari Warga Negara Asing dan ibu dari Warga Negara Indonesia; Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; Anak yang lahir diluar perkawianan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; Anak yang lahir diwilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; Anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; Anak yang dilahirkan diluar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang besangkutan;
6
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Ed. III, Cet. VI, h. 91.
26
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 8 s.d Pasal 18. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan memperoleh kewarganegaraan RI diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 22). Selanjutnya, pengaturan tentang kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam ketentuan Pasal 23, 24, 28, 29, dan 30. Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 31 s.d Pasal 34. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 35). 2. Perkawinan Dalam hal terjadi perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing baik laki-laki ataupun perempuan, menyebabkan seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya atau tetap berkewarganegaraan Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19, 26, dan 27. 3. Kedudukan Anak Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
27
Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride)
ataupun
tanpa
kewarganegaraan
(apatride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Dalam undang-undang ini, dimuat pengaturan mengenai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan terhadap anak tentang status kewarganegaraannya saja. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Undang-undang ini menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas. Asas tersebut memiliki pengertian, bahwa undang-undang ini memberikan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6. Selanjutnya, kewaraganegaraan RI yang diperoleh ayah atau ibu menyebabkan anaknya secara otomatis berkewarganegaraan RI, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 21. Sebaliknya, ayah atau ibu yang kehilangan kewarganegaraan
Republik
Indonesianya
tidak
secara
otomatis
menghilangkan kewarganegaraan RI anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25.
28
C. Kedudukan Suami dan Isteri dalam Perkawinan Campuran Mengenai akibat hukum perkawinan, dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) berkembang beberapa asas yang menyatakan akibat hukum perkawinan tunduk pada :7 a) Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan/dilangsungkan (lex loci celebrationis). b) Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warganegara setelah perkawinan (join nationality) c) Sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama-sama setelah perkawinan (join residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan. Berdasarkan asas HPI di atas, maka menyangkut kedudukan suami isteri dalam perkawinan campuran sebagai salah satu akibat hukum perkawinan tunduk pada asas lex loci celebrationis, dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara WNI dengan WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka dari itu, kedudukan suami isteri dalam perkawinan campuran harus merujuk kepada hukum perkawinan di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan sebagaimana tedapat dalam Pasal 59 ayat (2) : Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini. Yang dimaksud kedudukan suami-isteri adalah dimana di dalamnya terdapat pengaturan hak dan kewajiban suami-isteri. Hak dan kewajiban suami-
7
Ridwan Khairandy, dkk, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 1999), Ed. I, Cet. I, h. 137.
29
isteri diatur secara tuntas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam satu bab yaitu Bab VI yang terdiri dari Pasal 30 s.d Pasal 34, yang berbunyi :8 Pasal 30 Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. D. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan campuran sebagai salah satu akibat hukum perkawinan, sebagaimana telah diuraikan di atas dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) tunduk pada asas lex loci celebrationis, dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara WNI dengan WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka dari itu, pengaturan harta benda perkawinan dalam perkawinan campuran merujuk pada hukum perkawinan di 8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), Ed. I, Cet. III, h. 164-165.
30
Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) : Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini. Selanjutnya, pengertian dan pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam Bab VII yang terdiri dari Pasal 35 s.d Pasal 37, yakni : Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing- masing. Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35 s.d Pasal 37 sebagaimana tersebut di atas itu adalah sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia.9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) harta benda perkawinan atau harta bersama dikatakan sebagai harta carian (gana-gini), yakni harta yang diperoleh suami isteri selama hidup bersama. Sedangkan, harta
9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. I, h. 106.
31
bawaan dalam KBBI dikatakan sebagai harta sendiri, yakni harta yang di bawa dalam perkawinan yang bukan harta bersama.10 Menurut Muhammad Amin Suma : bahwa “harta kekayaan yang dihasilkan setelah terjadinya perkawinan disebut dengan harta gono-gini atau „harta bersama‟, yaitu harta yang diperoleh atas usaha bersama oleh suami isteri terhitung sejak dilangsungkannya perkawinan. Itulah yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia atau bisa disebut juga dengan „harta serikat‟”.11 Abdul Manan berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan siapa di antara suami isteri yang mencarinya dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar”. Adapun yang dikategorikan menjadi „harta milik pribadi suami‟ isteri adalah :12 1) Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka dilaksanakan. 2) Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan.
10
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), Ed. III, Cet. IV, h. 390. 11
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.
32
Zainuddin Ali berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan”.13 Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang mengutip perkataan Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia, harta benda dalam perkawinan disebut juga dengan harta pencaharian. Yang dimaksud harta pencaharian adalah harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan berlangsung, baik atas usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka.14 Subekti berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “sejak dimulainya perkawinan, terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri, jikalau tidak diadakan perjanjian perkawinan. 15 Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masingmasing pihak ke dalam perkawinan, maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan”. 16 Menurut KUHPerdata (Pasal 119), prinsip harta benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami isteri.17
13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h.
56. 14
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Ed. I, Cet. IV, h. 29. 15
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet. XXXI, h. 31.
16
Ibid, h. 32.
17
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2009), Ed. Rev, Cet IV, h. 49.
33
Secara lebih khusus lagi pengaturan mengenai harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang mana KHI merupakan pegangan bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam mengenai hukum Islam yang berlaku baginya, juga sebagai pegangan bagi para hakim Peradilan Agama (PA) dalam
memeriksa
dan
mengadili
perkara-perkara
yang
menjadi
kewenangannya.18 Apabila kita berbicara wujud dan makna harta bersama berdasarkan sudut pandang Hukum Islam, maka ada baiknya diutarakan pendapat yang dikemukakan Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya “Pencaharian Bersama Suami Isteri di Aceh Ditinjau dari Sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam”. Menurut beliau: “Pencaharian bersama suami isteri, mestinya masuk dalam rub’ul mu’amalah. Tapi ternyata secara khusus tidak ada dibicarakan, lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut (fiqh) adalah orang Arab, yang mana adat Arab tidak mengenal adat mengenai pencaharian bersama suami isteri itu. Akan tetapi, di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah. Maka apabila melihat pada macam-macam perkongsian atau syarikat, dapat disimpulkan bahwa harta bersama dalam perkawinan masuk dalam golongan syarikah ‘abadan muwafadhah. Kesimpulan itu beliau ambil
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2010), Ed. I, Cet. IV, h. 60.
34
berdasarkan fakta, bahwa pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk menafkahi hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka. Hal penting yang perlu dicatat dari uraian di atas adalah kenyataan doktrin hukum fiqh tidak ada membahas masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinan. Hal tersebut diakui oleh para ulama Indonesia pada saat mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan KHI. Namun, mereka sepakat untuk mengambil syarikat ‘abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan harta bersama. Maka dalam merumuskan masalah harta bersama yang terdapat dalam Bab VIII yang terdiri dari Pasal 85 s.d Pasal 97, panitia perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur aturan syarikat ‘abdan dan hukum adat. Dan dari penggabungan antara keduanya lah pasal-pasal dalam KHI yang mengatur harta bersama dirumuskan. Selanjutnya, apabila ditinjau dari hukum adat dalam hal ini pendapat yang dikemukakan Prof. Dr. R. Vandijk, bahwa segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat.19 Terbentuknya
harta
bersama
ditentukan
oleh
faktor
selama
beralngsungnya perkawinan antara suami isteri, dengan sendirinya barang atau harta yang dihasilkan selama perkawinan tersebut termasuk ke dalam harta 19
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama ‘UU No. 7 Tahun 1989’, (Pustaka Kartini; anggota IKAPI jaya, 1997), h. 296-297.
35
bersama suami isteri. Kecuali, jika harta yang diperoleh berupa „warisan‟ atau „hibah‟ oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tapi jatuh menjadi harta pribadi si penerima.20 Semula, terdapat kesan bahwa dalam hukum adat lama; “keikutsertaan isteri aktif membantu pekerjaan suami” merupakan syarat utama terbentuknya harta bersama. Isteri yang hanya tinggal mengurus rumah tangga saja, dianggap tidak berhak atas harta yang diperoleh suami. Dalam kasus yang demikian diartikan, bahwa dianggap tidak pernah terbentuk harta bersama antara suami dan isteri. Namun, pada zaman sekarang ini klausula “isteri harus ikut aktif membantu suami secara nyata” sudah tidak layak dipertahankan, dikarenakan pekerjaan suami juga yang tidak memungkinkan isteri untuk ikut turut serta secara nyata dan langsung dalam usaha mata pencaharian suami. Sejak tahun 1950, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru dan mulai lahirlah berbagai yurisprudensi yang tidak lagi berpegang pada patokan klausula “isteri harus ikut aktif membantu suami secara nyata”. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi harta bersama yang terdapat dalam Pasal 35 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 85 KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) yang mana dikatakan, bahwa harta bersama antara suami isteri adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah kaidah atau definisi yang dipegangi sekarang ini untuk
20
Ibid, h. 300.
36
menentukan pengertian hukum harta bersama. Klausula tersebut di atas tidak lagi menjadi syarat utama dalam terbentuknya harta bersama.21 Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak, dan suratsurat berharga. Sedangkan yang tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.22 Benda berwujud, yaitu benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Yang dikategorikan benda berwujud, yakni benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sedangkan, yang dimaksud benda tidak berwujud yaitu hak-hak subyektif. 1. Benda Bergerak Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya : kendaraan, surat-surat berharga, dan sebagainya. Dengan demikian, kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUHPer). 2. Benda Tidak Bergerak Benda tidak bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan pemakaiannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya : tanah, bangunan, dan sebagainya.23 21
Ibid, h. 300-302.
22
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.
23
Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, h. 206.
37
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tanah termasuk dalam kategori benda tidak bergerak. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti, maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut (tanah) digunakan. Dalam Hukum Tanah, kata sebutan „tanah‟ dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dalam Pasal 4 (ayat 1) jo Pasal 1 (ayat 4) UUPA dinyatakan, bahwa : Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah (Pasal 4 ayat 1)…. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat 4). Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.24 Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/ atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.25
24
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ‘Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya’, (Jakarta : Djambatan, 2008), Ed. Rev, Cet. XII, h. 18. 25
Urip Santoso, Hukum Agraria ‘Kajian Komprehensif’, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), Ed. I, Cet. I, h. 10.
38
Hukum tanah merupakan suatu sistem yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.26 Hukum tanah dapat juga dikatakan sebagai hukum agraria secara teoritis, hukum agraria adalah keseluruhan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya berisi objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.27 Boedi Harsono berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. „Sesuatu‟ yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak penguasaan yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.28 Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Lembaga Hukum Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.29
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 17.
27
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), Ed. I, Cet. I, h. 171. 28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 24.
29
Ibid, h. 25.
39
Ketentuan-ketentuan
Hukum
Tanah
yang
mengatur
hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah sebagai berikut :30 a. memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; b. menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya; c. mengatur hal-hal mengenai subyeknya, yakni siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya; d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 2) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Hubungan Hukum yang Konkret Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut „hak‟), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.31 Ketentuan-ketentuan
Hukum
Tanah
yang
mengatur
hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai suatu hubungan hukum yang konkret adalah sebagai berikut :32 a. mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas; b. mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; c. mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain; 30
Ibid, h. 26.
31
Ibid, h. 25.
32
Ibid, h. 26-27.
40
d. mengatur hal-hal mengenai hapusnya; e. mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya. Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional adalah sebagai berikut :33 1) hak bangsa Indonesia atas tanah; 2) hak menguasai negara atas tanah; 3) hak ulayat masyarakat Hukum Adat; 4) hak perseorangan atas tanah, meliputi: a. hak-hak atas tanah; b. wakaf tanah hak milik; c. hak tanggungan; d. hak milik atas satuan rumah susun; Berdasarkan hierarki di atas, maka pembahasan selanjtunya hanya akan dibatasi hanya pada ruang lingkup hak-hak atas tanah yang mana termasuk ke dalam hak perseorangan atas tanah. Dalam UUPA diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum, sehingga penerima hak akan dapat mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Meskipun demikian, pemilik hak tidak dapat secara sewenang-wenang mempergunakan haknya tersebut. Untuk itulah, dalam UUPA dilarang menggunakan hak atas tanah itu apabila :34 1) dipergunakan bertentangan dan merugikan orang lain;
33
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 77.
34
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, h. 175.
41
2) dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukkannya, misalnya; hak untuk pertanian dipakai untuk bangunan atau sebaliknya. Macam-macam hak atas tanah : (1) Hak Milik Hak milik yaitu hak turun-temurun yang dapat diteruskan pada ahli warisnya. Hak ini merupakan hak tertua dan terkuat karena memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dan merupakan induk dari hak-hak lainnya. Adapun yang berhak atas hak milik adalah warganegara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang ditentukan UUPA.35 Ketentuan mengenai Hak Milik (HM) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus hak milik diatur dalam Pasal 20 s.d Pasal 27 UUPA. Selanjutnya, hak milik diatur juga di dalam Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 UUPA.36 (2) Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna usaha pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat 1 UUPA). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.
35
Ibid.
36
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 92.
42
Adapun subjek hukum hak guna usaha adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia). Ketentuan mengenai hak guna usaha (HGU) disebutkan Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d Pasal 34 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, yang secara khusus diatur dalam Pasal 2 s.d Pasal 18.37 (3) Hak Guna Bangunan Pasal 35 UUPA memberikan pengertian hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Adapun subjek hukum hak guna bangunan adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia). Ketentuan mengenai hak guna bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UUPA. secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d 34 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah 37
Ibid, h. 101.
43
Nomor 40 tahun 1996 yang secara khusus diatur dalam Pasal 19 s.d Pasal 38.38 (4) Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari lahan yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau pengolahan tanah. Subjek hukum dari hak pakai adalah warganegara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Departemen, lembaga pemerintah non departemen dan Pemerintah Daerah, Badanbadan keagamaan dan sosial serta Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional.39 Ketentuan mengenai hak pakai (HP) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal 43 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pakai berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 s.d Pasal 58.40
38
Ibid, h. 109.
39
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, h. 177.
40
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 118.
44
(5) Hak Sewa untuk Bangunan Menurut Pasal 44 ayat (1), dikatakan bahwa : Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Berdasarkan pasal di atas dapat disimpulkan, bahwa hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. Dalam hal ini, negara tidak dapat menyewakan tanah dikarenakan negara bukanlah pemilik tanah.41 Subjek hukum hak sewa untuk bangunan adalah warganegara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Ketentuan mengenai hak sewa untuk bangunan (HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e. Secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45. Pengaturan mengenai hak sewa untuk bangunan diatur pula dalam Pasal 53 jo Pasal 10 ayat (1) UUPA.
41
Ibid, h. 130.
BAB III MASYARAKAT PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA “MPCI” A. Profil MPCI 1. Visi dan Misi VISI Membangun peran penting masyarakat perkawinan campuran bagi Indonesia. MISI Menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkawinan campuran secara terpadu.1 2. Tujuan MPCI a. Mengukuhkan peran dan posisi masyarakat perkawinan campuran secara aktif dan positif di dalam kehidupan bermasyarakat secara luas di Indonesia; b. Memperjuangkan perbaikan hukum yang lebih mendukung perlindungan dan kesejahteraan kita; c. Melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat perkawinan campuran sekaligus membawa manfaat bagi masyarakat luas;
1
Perca Indonesia, “Tentang Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia”, Artikel diakses pada 24 Juni 2014 dari http://percaindonesia.com/tentang/.
45
46
d. Menggali dan mengaktualisasikan potensi masyarakat perkawinan campuran seutuhnya.2 3. Sasaran MPCI a. Secara Idiil Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan WNI dalam perkawinan campuran, anak, dan keluarga perkawinan campuran. b. Secara sosial Meningkatkan kesadaran, baik di kalangan Perkawinan Campuran sendiri maupun masyarakat umum bahwa kita adalah satu dan merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan mengisi. c. Secara budaya Meningkatkan kerjasama lintas budaya dengan mengembangkan potensi kekayaan dan keanekaragaman melalui interaksi, pemahaman serta membangun sikap saling menghormati berbagai budaya bangsa yang berbaur dalam masyarakat yang rukun dan harmonis, serta dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan secara nasional dan global.3 4. Landasan kegiatan MPCI a. Untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus menjadi wadah pemersatu masyarakat perkawinan campuran;
2
Ibid.
3
Ibid.
47
b. Untuk mengangkat isu aktual tentang perkawinan campuran melalui kegiatan formal maupun informal secara konstruktif dan informatif dengan senantiasa memperhitungkan momentum yang tetap untuk setiap diskursus publik; c. Untuk mewujudkan peran aktif masyarakat perkawinan campuran secara positif di dalam kiprahnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang lebih luas.4 5. Arti Logo
Logo MPCI merupakan identitas organisasi yang mengandung filosofi pendirian organisasi ini. Dasar warna adalah Merah dan Putih, yang merupakan warna agung negara kita. Merah yang artinya berani dan putih yang bermakna suci. Perkumpulan yang beranggotakan para pelaku perkawinan campuran, baik laki-laki dan perempuan Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing ini, walaupun telah tergabung dalam unit keluarga 4
Ibid.
48
dengan campuran unsur, bahasa dan budaya asing, namun anggota dan perkumpulan MPCI tetap mengedepankan rasa nasionalisme dan bangga bertanah air Indonesia. Keluarga adalah esensi kehidupan, yang tersimbolisasikan dalam bentukan utama logo, berupa dahan yang berasal dari pohon yang kokoh. Bentukan ini juga menggambarkan tangan yang memberi. Tiga helai daun, yang melambangkan keluarga perkawinan campuran, di kemudian hari diharapkan dapat menghasilkan tunas bangsa untuk menyongsong masa depan yang sejahtera dan bahagia.5
6. Struktur Organisasi
5
Perca Indonesia, “Makna Logo Perca Indonesia”, Artikel diakses pada 24 Juni 2014 dari http://percaindonesia.com/arti-logo/.
49
B. Fakta Terkait Harta Benda Perkawinan dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran 1. Kepemilikan Harta Benda Perkawinan bagi Isteri WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran a. Kepemilikan tanah dan rumah Kendala yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah, sudah jelas Notaris-PPAT pasti akan mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan campuran (perkawinan antara WNI dengan WNA) tanpa perjanjian perkawinan tidak memungkinkan bagi mereka untuk kepemilikan rumah di atas tanah. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak milik. Akan tetapi, karena pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT menganjurkan begitu dibeli sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka status kepemilikannya diturunkan menjadi hak pakai karena kepemilikan rumah di atas tanah tersebut terjadi dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. Apabila tidak ingin melakukan hal yang demikian, biasanya notaris itu akan memberikan kiat-kiat atau alternatif, seperti; KTP single, Nominee agreement atau yang lebih unik lagi melakukan perceraian terlebih dahulu – membuat prenup (perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali. Salah satu alternatif lainnya yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas sebidang tanah tersebut dilakukan dengan atas nama orang tua WNI –
50
kemudian orang tua WNI tersebut membuat akta hibah yang di dalamnya menyatakan, bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah tersebut bukanlah termasuk ke dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah dihibahkan kepada seseorang yakni salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin campur). Namun, ada pula alternatif lainnya yang paling aman dan terbaik untuk saat ini, yaitu penetapan pengadilan „pisah harta‟. Dimana suami isteri pelaku perkawinan
campuran
(tanpa
perjanjian
perkawinan)
mengajukan
permohonan kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut di atas), untuk mengeluarkan penetapan pengadilan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan. Lain halnya dengan rumah di atas tanah yang berstatus hak milik, status hak atas bangunan/gedung (apartement/rumah susun) bisa berbentuk hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP). Apabila statusnya adalah hak pakai, maka orang asing setara dengan orang Indonesia yang berhak atas apartement/rumah susun dengan status hak pakai (termasuk subjek atas hak pakai). Akan tetapi, apabila statusnya masih berupa hak guna bangunan (HGB), orang asing belum berhak atas apartement/rumah susun di atas tanah tersebut. Jadi, seorang yang melakukan perkawinan campuran (WNI ataupun pasangan WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian dilakukan dengan hak milik kemudian dalam jangka waktu setahun dilepaskan hak milik atas tanahnya – kemudian diturunkan menjadi hak pakai.
51
b. Kepemilikan Kendaraan Tidak ada kendala terkait kepemilikan benda bergerak dalam hal ini kendaraan, tidak dipermasalahkan kepemilikannya baik itu atas nama isteri WNI ataupun atas nama suami WNA. Ketika pembelian kendaraan dilakukan secara kredit, pembelian harus atas nama pasangan WNI. Tidak ada kaitannya dengan perkawinan campuran yang dilakukan tanpa perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan benda bergerak.6 Namun, suatu ketika ada kasus dimana seorang isteri WNI (dalam perkawinan campuran) ingin mengajukan kredit kepemilikan sebuah kendaraan kepada bank, pihak bank mempertanyakan tentang ada/tidaknya perjanjian perkawinan. Jadi, tanpa adanya perjanjian perkawinan bahkan untuk mengajukan kredit kepemilikan kendaraan isteri WNI mendapatkan kesulitan karena ketiadaan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran, karena pihak bank merasa khawatir akan proses pencicilan yang nantinya akan berlangsung dan suami (dari isteri WNI tersebut) yang berkedudukan sebagai kepala keluarga, yang sudah seharusnya bertanggung jawab atas perbuatan hukum isterinya adalah berkewarganegaraan asing.7
6
Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan, Jakarta, 22 Mei 2014.
7
Wawancara Pribadi dengan Juliani Luthan, Jakarta, 08 Mei 2014.
52
2. Kepemilikan Harta Benda Perkawinan bagi Suami WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran a. Kepemilikan tanah dan rumah Pada dasarnya kepemilikan itu berada di tangan suami. Kepemilikan tanah atas nama suami WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran tetap terjadi. 8 Hal tersebut dikarenakan hukum di Indonesia menyatakan, bahwa perempuan yang telah kawin pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk dalam golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri.9 Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebaliknya terhadap suami. Suami diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum tanpa harus dibantu oleh isterinya. Dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, status kepemilikan atas tanah dalam perkawinan tersebut semua atas nama suami WNI. Suami WNI dalam perkawinan campuran tidak mengetahui adanya aturan yang mengatur tentang kepemilikan dalam percampuran harta akibat perkawinan campuran. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan/isteri WNI turut terkena imbas aturan tersebut di atas. Lain halnya dengan lakilaki/suami WNI, mereka tidak turut terkena imbas aturan tersebut. Yang 8
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Fuad, Depok, 06 Juni 2014.
9
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 20.
53
mana berdasarkan aturan di atas tidak hanya WNA saja yang harus melepaskan hak miliknya dalam percampuran harta akibat perkawinan campuran. Akan tetapi, pasangan WNI-nya (isteri/suami) juga harus melepaskan hak miliknya. Tanpa adanya perjanjian perkawinan (terjadi percampuran harta) ternyata, jika itu suami WNI walaupun dalam perkawinan campuran tetap bisa memiliki rumah di Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan pembelian rumah tidak dipertanyakan warga negara pasangannya, apakah warga negara Indonesia atau asing. Dikarenakan yang melakukan transaksi tersebut adalah suami WNI, yang mana kedudukan laki-laki atau suami itu kuat berdasarkan hukum Indonesia yang bersifat patriarkat (kedudukan lakilaki lebih kuat dari pada perempuan). b. Kepemilikan Kendaraan Sedangkan
terkait
kepemilikan
kendaraan
di
Indonesia,
tidak
dipermasalahkan status kepemilikannya, baik itu dimiliki oleh saya (sebagai suami) yang berkewarganegaraan Indonesia ataupun oleh isteri yang seorang warga Negara asing.10
10
Ibid.
BAB IV KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN A. Faktor Penghalang Kepemilikan Tanah Isteri atau Suami WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran 1. Perjanjian Perkawinan Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa : (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Berdasarkan undang-undang di atas, bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan ketika sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Setelah disahkannya suatu perkawinan tidak lagi dapat dilakukan/dibuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan berlaku sejak disahkannya perkawinan dan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak.
54
55
Seharusnya perjanjian perkawinan dapat dilakukan/dibuat baik sebelum ataupun setelah disahkannya perkawinan. Dikarenakan konteks dalam undang-undang tersebut adalah „perjanjian perkawinan‟ dan bukan „perjanjian pra perkawinan‟. Di samping itu, perjanjian perkawinan bukanlah suatu hal yang lazim dalam budaya Indonesia karena perjanjian perkawinan merupakan pilihan bagi pihak yang melakukan perkawinan. Walaupun pada prinsipnya diatur dalam Undang-undang Perkawinan (dimuat dalam Lembar Negara), tetap saja masyarakat yang mafhum hukum sering kali alpa akan hal tersebut belum lagi masyarakat awam. Perjanjian perkawinan baru dirasa perlu ketika perkawinan sudah disahkan dan suami isteri telah menjalani biduk rumah tangga. Dimana mereka dalam suatu keadaan yang merasa perlu atau bahkan harus untuk membuat perjanjian perkawinan. Ketiadaan perjanjian perkawinan dalam perkawinan sesama WNI mungkin tidak terlalu pengaruh. Namun, lain halnya dengan perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA (perkawinan campuran). Dalam perkawinan campuran yang terjadi tanpa perjanjian perkawinan, menyebabkan WNI tidak dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak milik. 2. Hak Milik dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran Ketentuan mengenai hak milik, sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya diatur dalam Pasal 20 s.d Pasal 27 UUPA. Yang mana ketentuan mengenai hak milik dalam harta bersama (percampuran harta) akibat
56
perkawinan campuran secara khusus diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan, bahwa : (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik; (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya; (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pecampuran harta karena perkawinan, demikan pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung; (4) Selama orang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Berdasarkan undang-undang di atas, yang dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu. Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat dan/ atau yang memperoleh hak milik karena percampuran harta dalam perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Begitu pula WNI yang mempunyai hak milik – kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun setelah kehilangan kewarganegaraannya. Selanjutnya, orang yang mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan
57
Indonesianya memperoleh hak milik, maka wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Undang-undang di atas mengatur, bahwa yang berhak atas tanah dengan hak milik adalah warga negara Indonesia. Namun, faktanya WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa perjanjian perkawinan tidak berhak atas tanah dengan hak milik, dikarenakan terjadi percampuran harta dengan warga negara asing. Akan tetapi, mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada undangundang tersebut di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.1 Jadi, yang tidak berhak atas tanah dengan hak millik hanyalah warga negara asing baik karena pewarisan tanpa wasiat ataupun percampuran harta dalam
perkawinan
dan
warga
negara
Indonesia
yang
kehilangan
kewarganegaraannya.
1
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia : Tinjauan Hukum Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.
58
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing tetap menjadi warga negara Indonesia tunggal/ atau tidak mengikuti kewarganegaraan pasangannya selama hukum negara asal pasangannya tidak mengharuskan demikian berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Tidak seperti yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI yang lama, bahwa warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing memiliki pilihan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesianya atau tetap berkewarganegaraan Indonesia. Mengenai kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, sekalipun terjadi percampuran harta akibat perkawinan campuran dan kepemilikan atas harta apapun menjadi kepemilikan bersama, isteri/suami WNI seharusnya tetap berhak atas tanah dengan hak milik karena kedudukannya tetap sebagai WNI. Lain halnya dengan suami/isteri WNA-nya yang hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai. Kepemilikan atas tanah tersebut tetap kepemilikan bersama, hanya status atas tanah tersebutlah yang berbeda. Dikarenakan hak atas tanah tergantung pada pemegang haknya atau subyek pemiliknya. 3. Kedudukan Suami Isteri di Muka Hukum Menurut B.W (Burgelijk Wetboek), seorang perempuan yang telah kawin pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi
59
harus dibantu oleh suaminya. Perempuan yang telah kawin termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri.2 Perempuan yang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum, hanya khusus dalam hal :3 a. membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau ijin dari suami (Pasal 108 KUHPerdata); b. menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUHPerdata). Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dilihat, bahwa aturan yang dahulu berlaku sangatlah bersifat patriarkat. Dimana kedudukan laki-laki/suami selalu di atas atau lebih kuat dari pada perempuan/isteri, dikarenakan suami yang berkedudukan sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam KBBI, patriarkat (patriark: bapak/kepala keluarga) diberi pengertian yakni sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak.4 Sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPerdata di atas telah dicabut dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 3 Tahun 1963.
2
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 20.
3
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, h. 24-25.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 837.
60
Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :5 Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Namun, sayangnya yang terjadi di lapangan dalam praktik perbankan, ketika isteri berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran ingin mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR), persetujuan suami merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Sedangkan suami yang berkedudukan sebagai kepala keluarga adalah warga negara asing dan tanpa adanya perjanjian perkawinan menjadi semakin bermasalah, dikarenakan terjadi percampuran harta dalam perkawinan campuran tersebut. B. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah bagi Isteri atau Suami WNI Akibat Perkawinan Campuran 1. Penetapan Pengadilan Pisah Harta Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, bahwa sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dipersamakan status hak atas tanahnya dengan pasangan WNA-nya yakni hanya sebatas hak pakai. Dikarenakan tanah dengan status hak milik tersebut
5
Simanjuntak, h. 25.
61
turut dimiliki pula oleh pasangan WNA-nya karena percampuran harta akibat perkawinan campuran.6 Lain halnya, dengan pendapat salah satu Ahli Hukum Keluarga, yakni Muhammad Amin Suma. Menurutnya, WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya (tetap menjadi warga negara Indonesia). Walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas tanahnya. Warga negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, sedangkan pasangan warga Negara asingnya hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai.7 Menurut
Notaris-PPAT,
sebagaimana
telah
diuraikan
pada
bab
sebelumnya, mengenai kepemilikan atas tanah dengan hak milik bagi WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran masih dapat diusahakan. Namun, dengan cara-cara ilegal, seperti; menggunakan KTP belum kawin atau memanfaatkan perjanjian bawah tangan (nominee agreement) yang berisiko tinggi. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan "kebiasaan" ini. Menurutnya, masalah yang nyata di tengah-tengah masyarakat ini 6
Wawancara Pribadi dengan Sutoro, Jakarta, 30 Juni 2014.
7
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
62
seharusnya tidak ada lagi di era globalisasi. "Harus ada kebijakan, perhatian, insentif, dan disentif mengenai pernikahan campur. Di balik ini ada masalah yang lebih serius, yaitu interkultural. Ini merupakan hal penting, kita perlu merinci apa saja yang mau disampaikan. Penyamaan persepsi di antara pelaku, yaitu Notaris-PPAT, Bankir, Pejabat Pertanahan, dan Ahli Hukum. Mungkin saja masih ada kesulitan karena tidak tertulis dengan jelas di undang-undang". Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk berpikir dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang.8 Solusi terbaik saat ini yang juga merupakan dasar hukum yang kuat agar dapat digunakan untuk kepemilikan tanah dengan status hak milik, yakni „penetapan pengadilan pisah harta‟.9 Penetapan pengadilan pisah harta adalah penetapan pengadilan tentang pemisahan harta bersama suami isteri setelah dikabulkannya permohonan pisah harta atau dikeluarkannya penetapan pengadilan ini. Yang tadinya dalam perkawinan campuran tersebut terjadi percampuran harta/harta bersama, setelah berlakunya penetapan ini menjadi terpisah. Apa yang dihasilkan oleh suami setelah penetapan ini adalah hanya menjadi milik suami dan begitu juga sebaliknya, apa yang dihasilkan isteri adalah hanya menjadi milik isteri 8
Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari, http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/Keliru.Tafsir.Turunkan.Status.Hak.Milik. 9
Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan, dkk, Jakarta, 08 Mei 2014.
63
seutuhnya. Namun, suami yang berkewarganegaraan asing sebagai kepala keluarga akan dan harus tetap bertanggung jawab sepenuhnya untuk biaya hidup keluarga dan juga pendidikan anak-anak yang telah dan akan dilahirkan oleh isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia. Salah satu pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan pengadilan pisah harta ini adalah Pengadilan Negeri Bekasi, yakni Penetapan No. 67/PDT.P/2014/PN.Bks. 2. Dasar Putusan Hakim Dalam Penetapan No. 67/PDT.P/2014/PN.Bks, hakim mempertimbangkan beberapa hal tentang hukumya. Menurut pertimbangan hakim, berdasarkan surat-surat bukti yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon yang diberi tanda P-1; Kutipan Akta Nikah tanggal 24 Februari 2001 No. 155/54/II/2001 adalah benar Pemohon I sebagai WNA dan Pemohon II sebagai WNI terbukti sebagai suami isteri yang sah, P-2; Passport Pemohon I; P-3; foto copy kartu tanda penduduk (KTP) Pemohon II. Hakim menimbang, bahwa berdasarkan hukum pertanahan di Indonesia yang
diatur
dalam
Undang-Undang
Pokok
Agraria
dan
Peraturan
Pelaksanaannya dinyatakan, bahwa hanya warga negara Indonesia yang bisa mempunyai hak milik atas tanah. Menurut pertimbangan hakim, bahwa Pemohon II sebagai seorang isteri adalah warga negara Indonesia sedangkan Pemohon I sebagai seorang suami
64
adalah warga negara asing dan apabila para pemohon akan membeli atau memiliki harta berupa tanah dalam masa perkawinan tanpa adanya perjanjian perkawinan sebelumya, yakni sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, maka Pemohon II tidak dapat mempunyai hak atas tanah yang kelak akan dibelinya dengan status hak milik, karena harta bersamanya bercampur dengan harta Pemohon I yang seorang warga negara asing. Hakim menimbang, oleh karena perkawinan antara Pemohon I dan II telah dilangsungkan pada tanggal 24 Februari 2001 dan sampai saat ini sudah berlangsung kurang lebih 13 tahun, maka pemisahan harta bersama berdasarkan penetapan yang akan dimohonkan adalah untuk harta yang akan diperoleh di kemudian hari setelah adanya penetapan ini. Namun demikian, Pemohon I sebagai kepala keluarga akan dan harus tetap bertanggung jawab sepenuhnya untuk biaya hidup keluarga dan juga pendidikan anak-anak yang telah dan akan dilahirkan oleh pemohon II. Menurut pertimbangan hakim, berdasarkan pengakuan para pemohon dan keterangan saksi-saksi, para pemohon belum membuat perjanjian perkawinan di kantor Notaris tentang pemisahan harta bersama sebelum perkawinan dilangsungkan karena kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon, sehingga baru saat ini para pemohon berniat mengajukan permohonan penetapan pisah harta bersama. Dan berdasarkan kutipan akta nikah, para pemohon ternyata tidak terdapat catatan tentang perjanjian perkawinan.
65
Hakim menimbang, bahwa Pengadilan tidak menemukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma hukum, agama, dan kesusilaan terhadap alasan yang diajukan oleh para pemohon, maka permohonan para pemohon patut dikabulkan seluruhnya. C. Analisis Penulis Mengenai perkawinan campuran, berdasarkan perspektif al-Quran Islam tidak mengenal perkawinan campuran, dikarenakan kedudukan sesama muslim adalah sama dan orang yang mulia di sisi Allah SWT. Ukurannya adalah menunjukan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah bukan berdasarkan batas wilayah atau negara. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran surat al-Hujuraat (49) ayat 13 : Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.{QS. AlHujurat (49) : 13}
66
Mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang sudah berumur kurang lebih 40 tahun ini dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan, dikarenakan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.10 WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya (tetap menjadi warga negara Indonesia). Walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas tanahnya. Warga negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, sedangkan pasangan warga negara asingnya hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai. Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya masyarakat kita diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang 10
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.
67
sedang berlaku di Indonesia sehingga sebagai warga Negara Indonesia tidak lagi terlanggar hak-haknya dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum.11
11
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Mengenai status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, berdasarkan undang-undang adalah dipersamakan haknya dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Hal tersebut, tidaklah sesuai dengan semangat sesungguhnya yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria. Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam
Pasal 21 ayat (1)
undang-undang tersebut di atas, jelas bahwa setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun, pada kenyataanya mengenai kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, hanya di titik beratkan pada Pasal 21 ayat (3).
68
69
Mengenai hak milik WNI yang di dasarkan pada undang-undang tersebut di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada pemegang haknya atau subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai. 2. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, hak Milik masih dapat diusahakan oleh WNI pelaku perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, tetapi dengan cara-cara ilegal, seperti; menggunakan KTP belum kawin atau memanfaatkan perjanjian bawah tangan (nominee agreement) yang berisiko tinggi. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan "kebiasaan" ini. Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk berpikir dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang. Kepastian hukum/solusi terbaik saat ini untuk memperoleh hak atas tanah dengan status hak milik, yakni dengan mengajukan permohonan dan mendapatkan penetapan pemisahan harta kekayaan kepada pengadilan yang berwenang mengadili hal tersebut.
70
B. Saran-saran Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut : 1. Kepada Perumus Undang-undang, diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam merumuskan undang-undang. Diharapkan dapat menggunakan kata-kata yang jelas dalam perumusan dan tidak banyak mengandung makna yang tersirat di dalamnya yang membutuhkan penafsiran. Sehingga tidak akan terjadi banyak kekeliruan penafsiran ke depannya dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Dikarenakan undang-undang berlaku untuk seluruh warga Indonesia, tidak hanya untuk orang-orang yang mafhum hukum/ahli hukum, tetapi juga warga Indonesia yang awam. Bahkan tidak sedikit para ahli hukum dan/ atau pejabat pemerintah yang berwenang, keliru dalam penafsiran pasalpasal dalam peraturan perundang-undangan. 2. Kepada
Pemerintah,
harus
memberikan
perhatian
lebih
dalam
sosialisasi/penyebarluasan peraturan perundang-undangan. Sehingga seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, mengetahui undang-undang apa yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Kurangnya sosialisasi dapat menyebabkan warga Indonesia kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia yang seharusnya mendapat perlindungan penuh dari pemerintah. Pejabat pemerintah diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam menerapkan hukum yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus memerhatikan jangka
71
waktu berlakunya suatu undang-undang agar dapat terus mengikuti dinamika yang terjadi masyarakat. 3. Kepada Ahli Hukum, harus lebih cermat lagi dalam menafsirkan undangundang yang ada. Sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang kehilangan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, yang mana sudah seharusnya tidak terjadi demikian. 4. Kepada Warga Negara Indonesia (WNI), diharapkan agar berperan aktif dalam mencari tahu undang-undang apa yang sedang berlaku di Indonesia. Di zaman sekarang ini teknologi sudah semakin maju, sehingga informasi sudah dapat diakses dengan mudahnya melalui media apapun, kapanpun dan dimanapun berada. Jangan sampai hanya karena kurangnya informasi dan pengetahuan terhadap undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia menyebabkan hilangnya hak-hak sebagai WNI. Jadi, seorang warga negara Indonesia haruslah aktif agar bisa melindungi hak-haknya. Ketika kita pasif, maka kita akan kehilangan hak kita “once you are pasif, you loose everything”.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2010). Ed. I. Cet. IV.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Ed. I. Cet. I.
___________ . Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007).
Asikin, Zainal. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Jakarta : Rajawali Pers, 2012). Ed. I. Cet. I. Ayudhistiarini, Diah Utari. “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan Akibat Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Pasundan Bandung, 2011.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 2007). Ed. III. Cet. IV.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989). (Pustaka Kartini ; anggota IKAPI jaya, 1997).
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya). (Jakarta : Djambatan, 2008). Ed. Rev. Cet. XII.
Khairandy, Ridwan, dkk. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. (Yogyakarta : Gama Media. 1999). Lawskripsi. “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”. Artikel 72
73
diakses pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id =92&Itemid=92.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. I.
Munawaroh. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang, Jawa Timur : Intimedia, 2012. N, Nawawi, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”. Artikel diakses pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartik el.pdf.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia ‘Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 /1974 sampai KHI’. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. III. Perca Indonesia. “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum Terhadap Status Kepemilikan Properti”. Arikel diakses pada hari Senin Tanggal 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006). Ed. I. Cet. IV.
Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012). Ed. I. Cet. I.
Simanjuntak. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta : Djambatan, 2009). Ed. Rev. Cet IV.
74
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, 2010.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 2003). Cet. XXXI.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009). Ed. I. Cet. III. Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel diakses pada hari Senin Tanggal 21 Oktober 2013 dari, http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/Keliru.Tafsir.Turunkan.Status .Hak.Milik.
Tafonao. “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”. Artikel diakses pada hari Kamis Tangal 10 Oktober 2013 dari http://lucasmem.blogspot.com/2012/11/perkawinan-campuran.html.
Ubaedillah, A, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Ed. III. Cet. VI.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996). Ed. I. Cet. II.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma selaku Ahli Hukum Keluarga dan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta, 02 Juli 2014.
Wawancara Pribadi dengan Sutoro selaku Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI. Jakarta, 07 Juli 2014.
Wawancara Pribadi dengan Juliani Luthan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan campuran dan Wakil Ketua Umum MPCI. Jakarta, 08 Mei 2014.
Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan campuran dan Ketua Umum MPCI. Jakarta, 22 Mei 2014.
75
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Fuad selaku Suami (WNI) dalam perkawinan campuran. Depok, 6 Juni 2014. Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I.
HASIL WAWANCARA KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN Nama Lengkap
: Melva Nababan Sullivan, Juliani Luthan, dkk
Hari/Tanggal
: Kamis, 08 Mei 2014
Tempat
: Sekretariat MPCI
Pertanyaan: 1. Menurut Ibu, fakta apa yang mendasari seorang WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah ketika melakukan perkawinan campuran? Faktanya adalah Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria mengacu kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI (lama) yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang status kewarganegaraan WNI yang melakukan perkawinan campuran yang menyatakan, bahwa apabila seorang wanita WNI menikah dengan warga negara asing, maka dalam periode 1 tahun setelah pernikahannya ia harus menentukan kewarganegaraannya (Pasal 8 ayat 1). Dan dalam Pasal 21 ayat 3 secara implisit disebutkan, bahwa ketika melakukan perkawinan campuran seharusnya dibuat perjanjian perkawinan agar tidak terjadi percampuran harta. Sementara dalam budaya Indonesia perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang tidak wajib (merupakan pilihan bagi calon pasangan suami isteri).
2. Menurut Ibu, apakah semua WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah ketika melakukan perkawinan campuran atau yang termasuk kriteria tertentu saja? Pada umumunya, secara hukum seorang WNI berhak atas hak milik. Lain halnya, ketika seorang WNI melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Misalnya; seorang WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan membeli tanah secara cash – mendapat sertifikat hak milik (SHM). Akan tetapi, ketika menjual itu harus mendapatkan persetujuan suami karena termasuk dalam harta bersama. Pada saat melakukan penjualan atas tanah tersebut ada 2 (dua) hal yang mungkin terjadi di lapangan; Pertama, WNI terkena masalah karena persetujuan atas nama suami seorang WNA yang mana hak milik tersebut berarti termasuk dalam percampuran harta. Kedua, BPN tidak mempermasalahkan persetujuan atas nama suami WNA/tergantung pada pejabat, yang penting ada persetujuan dari suami bahwa isterinya yang namanya tertera dalam buku tanah akan melakukan penjualan atas tanah dengan hak milik. Sebenarnya ketika melakukan penjualan si WNI pasti terkena masalah, karena faktor persetujuan suami WNA – WNA dalam undang-undang pokok agraria adalah tidak berhak atas hak milik hanya berhak atas hak pakai. Dan dikarenakan persetujuan WNA tersebut menandakan hak milik terjadi dalam harta bersama, yang mana ketika terjadi percampuran harta maka dalam jangka waktu 1 tahun WNA harus menurunkannya menjadi hak pakai – berimbas pula kepada si WNI yang harus melepaskan hak miliknya dan menurunkannya menjadi hak pakai.
3. Penolakan seperti apa yang dikemukakan BPN RI terkait kepemilikan tanah WNI dalam perkawinan campuran? BPN tidak pernah melakukan penolakan – perpanjangan tangan dari BPN adalah Notaris-PPAT yang mana mereka memiliki konsepnya masing-masing. Yang pasti adalah kebanyakan pembelian rumah itu tidak pakai uang cash/ melalui KPR di bank – pihak bank dalam proses KPR itu harus berdasarkan kepada perjanjian perkawinan ketika perkawinan campuran tidak ada perjanjian perkawinan maka terjadi percampuran harta, hal tersebut yang dipermasalahkan. Ketika pembelian rumah dilakukan secara cash, kontrol BPN sebatas pada kartu keluarga (KK) yang mana suami asing tidak nampak di KK, kemudian KTP; di KTP terlihat status kawin, tidak dipertanyakan apakah suami/isteri WNA atau bukan. Selama sudah dilakukan akad jual-beli dan dilakukan pembayaran, maka terjadi peralihan hak milik kepada si WNI sebagai pemilik atas tanah/rumah. Yang menjadi konsen BPN – Notaris-PPAT adalah ketika WNI mengajukan KPR ke bank, Notaris-PPAT pasti akan menanyakan pasangan dari suami/isteri WNI, orang asing atau WNI. Ketika pasangan si WNI adalah orang asing, selanjutnya akan dipertanyakan ada/tidak perjanjian perkawinan. 4. Upaya apa yang telah dilakukan WNI dalam perkawinan campuran guna memperjuangkan hak miliknya? Salah satu upaya yang telah dilakukan yaitu permohonan penetapan pisah harta. Jadi, permohonan penetapan pengadilan pisah harta itu diawali dari tesis
seorang notaris tentang perjanjijan pisah harta, perjanjian pisah harta itu didasarkan pada undang-undang PT (perseroan terbatas) – undang-undang tersebut
menyatakan,
apabila
seorang
direktur
(laki-laki/perempuan)
perusahaannya bangkrut, maka seluruh aset pribadinya atau bahkan aset suami/isterinya akan turut ikut digunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga. Untuk mengamankan aset pribadi tersebut dilakukanlah pisah harta. Saat ini, penetapan pengadilan pisah harta bisa dikatakan menjadi solusi terbaik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, untuk dapat memiliki rumah di atas tanah dengan status hak milik. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan salah satu WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dalam mengajukan KPR ke salah satu bank di Indonesia. Pihak bank tersebut menerima penetapan pengadilan pisah harta tersebut sebagai dasar hukum yang kuat menggantikan perjanjian perkawinan (yang dapat memisahkan harta kekayaan bersama), sehingga bank tersebut menerima pengajuan KPR oleh WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Ketiadaan perjanjian perkawinan digantikan dengan penetapan pengadilan pisah harta.
HASIL WAWANCARA KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN Nama Lengkap
: Melva Nababan Sullivan
Selaku/Jabatan
: Isteri WNI/Ketua Umum MPCI
Hari/Tanggal
: Kamis, 22 Mei 2014
Tempat
: Sekretariat MPCI
Pertanyaan : 1. Kepemilikan tanah dan rumah Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan tanah dan rumah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran? Kendala yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah, sudah jelas Notaris-PPAT pasti akan mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan campuran (perkawinan antara WNI dengan WNA) tanpa perjanjian perkawinan tidak memungkinkan bagi mereka untuk kepemilikan rumah di atas tanah. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak milik. Akan tetapi, karena pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT menganjurkan begitu dibeli sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka status kepemilikannya diturunkan menjadi hak pakai karena kepemilikan rumah di atas tanah tersebut terjadi dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
Apabila tidak ingin melakukan hal yang demikian, biasanya notaris itu akan memberikan kiat-kiat atau alternatif, seperti; KTP single, Nominee atau yang lebih unik lagi melakukan perceraian terlebih dahulu – membuat prenup (perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali. Salah satu alternatif lainnya yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas sebidang tanah tersebut dilakukan dengan atas nama orang tua WNI – kemudian orang tua WNI tersebut membuat akta hibah yang di dalamnya menyatakan, bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah tersebut bukanlah termasuk ke dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah dihibahkan kepada seseorang yakni salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin campur). Namun, ada pula alternatif lainnya yang paling aman dan terbaik untuk saat ini, yaitu penetapan pengadilan ‘pisah harta’. Dimana suami isteri pelaku perkawinan campuran (tanpa perjanjian perkawinan) mengajukan permohonan kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut di atas), untuk mengeluarkan
penetapan
pengadilan
pemisahan
harta
kekayaan
dalam
perkawinan. Lain halnya dengan rumah di atas tanah yang berstatus hak milik, status hak atas bangunan/gedung (apartement/rumah susun) bisa berbentuk hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP). Apabila statusnya adalah hak pakai, maka orang asing setara dengan orang Indonesia yang berhak atas apartement/rumah susun dengan status hak pakai (termasuk subjek atas hak pakai). Akan tetapi,
apabila statusnya masih berupa hak guna bangunan (HGB), orang asing belum berhak atas apartement/rumah susun di atas tanah tersebut. Jadi, seorang yang melakukan perkawinan campuran (WNI ataupun pasangan WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian dilakukan dengan hak milik kemudian dalam jangka waktu setahun dilepaskan hak milik atas tanahnya – kemudian diturunkan menjadi hak pakai. 2. Kendala dalam kepemilikan Kendaraan Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan kendaraan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran? Tidak ada kendala terkait kepemilikan benda bergerak dalam hal ini kendaraan, tidak dipermasalahkan kepemilikannya baik itu atas nama isteri WNI ataupun atas nama suami WNA. Ketika pembelian kendaraan dilakukan secara kredit, pembelian harus atas nama pasangan WNI. Tidak ada kaitannya dengan perkawinan campuran yang dilakukan tanpa perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan benda bergerak.
HASIL WAWANCARA KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN Nama Lengkap
: Sutoro, SH., Msi
Jabatan
: Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI
Hari/Tanggal
: Senin, 07 Juni 2014
Tempat
: Ruang Sub Direktorat Pembebanan Hak dan PPAT
Pertanyaan: 1. Bagaimana penafsiran BPN RI atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Pasal 21 khususnya ayat 3? a. Undang-Undang: Orang asing yang mempunyai hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan dan warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangya kewargaanegaraan itu. b.
Penafsiran BPN: Ketika terjadi perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan (percampuran harta/harta bersama), apabila WNI dalam perkawinan tersebut ingin melakukan pembelian tanah dengan status hak milik sementara tidak dibutuhkan persetujuan dari pasangan WNA-nya, seperti; pembelian yang dilakukan secara cash, maka WNI tersebut bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status hak milik. Walaupun berdasarkan undang-undang tidak dapat demikian. Akan tetapi, dikarenakan
BPN RI dalam melakukan tugasnya hanya bersifat formil, yakni hanya memproses berkas (yang sudah memenuhi persyaratan pendaftaran tanah) yang sampai kepadanya, maka WNI tersebut di atas menjadi berhak atas tanah dengan status hak milik. Sedangkan, apabila WNI dalam perkawinan tersebut di atas ingin melakukan pembelian tanah dengan status hak milik, sementara dibutuhkan persetujuan dari pasangan WNA-nya, seperti; mengajukan KPR di bank, maka WNI tersebut tidak bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status hak milik atau hanya berhak atas hak pakai. Dikarenakan persetujuan pasangan WNA-nya mengindikasikan terjadi percampuran harta WNI dengan WNA, yang mana WNA dalam aturan pertanahan di Indonesia hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai. 2. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Pasal 21 Ayat 1, hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Apakah WNI yang dimaksud dalam pasal tersebut berdasarkan pengertian WNI yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI? Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 21 ayat (1): “Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Benar, difinisi warga negara Indonesia sekarang ini merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Yang mana yang dapat mempunyai hak milik adalah warga Indonesia , baik warga negara pribumi maupun orang asing yang masuk menjadi warga negara Indonesia berdasarkan proses naturalisasi dan lain-lain.
3. Apakah WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan tidak berhak atas kepemilikan tanah, dikarenakan kepemilikan atas tanah tersebut turut dimiliki pula oleh pasangan WNA-nya dalam harta bersama? WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa perjanjian perkawinan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) – Inpres Nomor 1 Tahun 1991, tetap terjadi harta pribadi dalam perkawinan tersebut, yakni harta dari hasil salah satu pihak (suami/isteri) yang diperoleh dari hadiah, hibah, dan warisan – tetap di bawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menetukan lain dalam perjanjian. Mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara WNI dengan WNA, hak yang dapat diberikan kepada WNI tersebut adalah hak pakai, tidak dapat diberikan hak milik karena terjadi percampuran harta WNI dengan WNA 4. Bagaimana penerapan yang dilakukan BPN RI terhadap pasal tersebut di atas? Bila melihat pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, seharusnya WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA, hanya diberikan hak pakai. Namun, pada kenyataannya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pelaksanaan tugasnya hanya bersifat formil, yakni BPN hanya memproses berkas (yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran tanah) yang sampai/ atau diajukan kepadanya. Jadi, tetap saja apabila tidak ada kejujuran dari pihak yang mengajukan pendaftaran tanah, bahwa tanah dengan hak milik
tersebut termasuk harta bersama dalam perkawinan campuran, maka BPN tidak akan punya kontrol lebih lanjut (untuk proses pelepasan/ atau penurunan hak) atas tanah dengan status hak milik tersebut. 5. Kontrol seperti apa yang dilakukan oleh BPN RI terhadap kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran serta terhadap proses pelepasan dan/ atau penurunan hak atas tanah WNI dengan hak milik dalam harta bersama akibat perkawinan campuran? Kontrol BPN RI, apabila tanah tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat nikah dan akta yang dibuat ada persetujuan suami/isteri berkewarganegaraan asing, maka secara langsung tidak dapat diberikan hak milik – hanya dapat diberikan hak pakai dengan jangka waktu.
LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 Tahun 2010 TANGGAL : 25 Januari 2010 STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN
I.
PELAYANAN PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI 1. Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak Dasar Hukum
Persyaratan
Biaya
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/2000 3. PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996 4. PP No. 24/1997 5. PP No. 13/2010 6. PMNA/KBPN No. 3/1997 7. Peraturan KBPN RI No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat 5. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB) 6. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
- 10 -
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Waktu 98 (sembilan puluh delapan) hari
Keterangan Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
2. Pemberian Hak: a. Hak Milik 1) Hak Milik Perorangan DASAR HUKUM
PERSYARATAN
BIAYA
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo. 20/2000 3. PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996 4. PP No. 24/1997 5. PP No. 13/2010 6. PMNA/KBPN No. 3/1997 7. PMNA/KBPN No. 3/1999 8. PMNA/KBPN No. 9/1999 9. Peraturan KBPN RI No. 3/2006 10. Peraturan KBPN RI No. 4/2006 11. Peraturan KBPN No.7/2007 12. KMNA/KBPN 2/1998 13. KMNA/KBPN 6/1998 14. SE KBPN No. 6001900 tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Asli Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Asli Surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah (Rumah Gol III) atau rumah yang dibeli dari pemerintah 6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
WAKTU • 38 (tiga puluh delapan) hari untuk: - Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha - Tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 • 57 (lima puluh tujuh) hari untuk: - Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha - Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2 s.d. 5.000 m2 • 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk: - Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 5.000 m2
- 11 -
KETERANGAN Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik 5. Pernyataan menguasai tanah tidak lebih dari 5 (lima) bidang untuk permohonan rumah tinggal Catatan: 1. Tidak termasuk tenggang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran sesuai SK 2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
b. Hak Guna Bangunan 1) Hak Guna Bangunan Perorangan DASAR HUKUM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
UU No. 5/1960 UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/2000 PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996 PP No. 40/1996 PP No. 24/1997 PP No. 13/2010 KEPPRES No. 32/1979 PMNA No. 3/1997 PMNA/KBPN No. 3/1999 PMNA/KBPN No. 9/1999 Peraturan KBPN RI No. 3/2006 Peraturan KBPN RI No. 4/2006 Peraturan KBPN RI No. 7/2007
PERSYARATAN
BIAYA
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang dan status tanahtanah yang telah dimiliki 6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
- 13 -
WAKTU • 38 (tiga puluh delapan) hari untuk luasan tidak lebih dari 2.000 m2 • 57 (lima puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 2.000 m2 sampai dengan 150.000 m2 • 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 150.000 m2
KETERANGAN Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik Catatan: 1. Tidak termasuk tenggang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran sesuai SK 2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
c. Hak Pakai 1) Hak Pakai Perorangan WNI DASAR HUKUM
PERSYARATAN
BIAYA
WAKTU
KETERANGAN
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/2000 3. PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996 4. PP No. 40/1996 5. PP No. 24/1997 6. PP No. 13/2010 7. KEPPRES No. 32/1979 8. PMNA/KBPN No. 3/1997 9. PMNA/KBPN No. 3/1999 10. PMNA/KBPN No. 9/1999 11. Peraturan KBPN RI No. 3/2006 12. Peraturan KBPN RI No. 4/2006 13. Peraturan KBPN RI No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang dan status tanahtanah yang telah dimiliki 6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
• 38 (tiga puluh delapan) hari untuk:
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
- Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha - Tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha) • 57 (lima puluh tujuh) hari untuk: - Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha - Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2 s.d. 150.000 m2 • 97 (sembilan puluh tujuh) hari tanah non pertanian untuk luasan lebih dari 150.000 m2
- 15 -
Catatan: Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
2) Hak Pakai Perorangan WNA DASAR HUKUM 1. UU No. 5/1960 2. UU No.16/1985 3. UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/2000 4. PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996 5. PP No. 40/1996 6. PP No. 41/1996 7. PP No. 24/1997 8. PP No. 13/2010 9. PMNA/KBPN No. 7/1996 10. PMNA/KBPN No. 3/1997 11. PMNA/KBPN No. 3/1999 12. PMNA/KBPN No. 9/1999 13. Peraturan KBPN RI No. 3/2006 14. Peraturan KBPN RI No. 4/2006 15. Peraturan KBPN RI No. 7/2007
PERSYARATAN
BIAYA
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Fotocopy identitas pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, Surat Ijin Tinggal Tetap/Kartu Ijin Menetap (KIM) yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 3. Surat Kuasa apabila dikuasakan 4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 6. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
- 16 -
WAKTU • 38 (tiga puluh delapan) hari untuk luasan tidak lebih dari 2.000 m2 • 57 (lima puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 2.000 m2 sampai dengan 150.000 m2 • 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 150.000 m2
KETERANGAN Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik Catatan: 1. Hak Pakai ini khusus diberikan untuk rumah tinggal/hunian 2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
HASIL WAWANCARA KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN Nama Lengkap
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM
NIP
: 195505051982031012
Selaku
: Ahli Hk. Keluarga/Guru Besar Fak. Syariah dan Hukum
Hari/Tanggal
: Rabu, 02 Juli 2014
Tempat
: Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
Pertanyaan: 1. Apa yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia? Pada dasarnya, seorang calon suami dan calon isteri memiliki harta kekayaannya masing-masing. Bagi calon suami ketika sebelum terjadi perkawinan memiliki harta kekayaan, baik itu pemberian orang lain ataupun atas usahanya sendiri disebut dengan ‘harta gono’. dan bagi calon isteri apabila sebelum terjadi perkawinan memiliki harta kekayaan, baik itu pemberian orang lain ataupun atas hasil usahanya sendiri disebut dengan ‘harta gini’. Sedangkan, harta kekayaan yang dihasilkan setelah terjadinya perkawinan disebut dengan ‘harta gono-gini’ atau ‘harta bersama’, yaitu harta yang diperoleh atas usaha bersama oleh suami isteri terhitung sejak dilangsungkannya perkawinan. Itulah yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia atau bisa disebut juga dengan ‘harta serikat’.
2. Menurut Bapak, apa saja yang termasuk ke dalam harta bersama? Harta bersama yakni bisa dalam bentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, dan benda yang bisa ditaksir dengan nilai mata uang. Hal tersebut sudah bisa dikatakan termasuk dalam kategori harta bersama. Jadi, harta bersama bisa dalam bentuk benda bergerak dan benda tidak bergerak. 3. Menurut Bapak, bagaimana kepemilikan atas harta bersama tersebut? Kepemilikan atas harta bersama adalah kepemilikan bersama suami isteri dan segala perbuatan hukum terkait harta bersama harus atas persetujuan kedua belah pihak (suami isteri). Lain halnya dengan harta pribadi suami isteri, dimana dalam melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi tersebut tidak memerlukan persetujuan suami atau isterinya. 4. Menurut Bapak, apakah dengan terjadinya harta bersama dalam perkawinan campuran mengakibatkan WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah dikarenakan kepemilikan atas tanah tersebut nantinya akan turut juga dimiliki oleh pasangan WNA nya? Kepemilikan atas tanah bagi WNI dalam perkawinan campuran sangat bergantung dengan peraturan pertanahan di Indonesia. Dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA di daerah hukum Indoesia, otomatis hukum yang berlaku bagi pasangan perkawinan campuran adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, seharusnya tidak dipermasalahkan ketika terjadi kepemilikan tanah dengan status hak milik dalam harta bersama (percampuran harta) akibat
perkawinan campuran. Hal tersebut bisa diatasi, selama kedua belah pihak ada itikad baik dalam menyelesaikan hal tersebut. Yang terjadi di lapangan, memang kepemilikan atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran menjadi dipermasalahkan ketika tidak ada perjanjian perkawinan. WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan hak atas tanahnya dipersamakan dengan pasangan WNAnya, yakni hanya sebatas hak pakai. Padahal, faktanya pasangan perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian perkawinan, biasanya dikarenakan ketidaktahuan mereka dan/ atau kurangnya sosialisasi pemerintah tentang adanya undang-undang perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan – yang mana ketiadaan perjajian tersebut dapat menghilangkan hak-hak WNI dalam perkawinan campuran tersebut, yang seharusnya tidak terjadi demikian. Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) Undangundang No. 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya masyarakat kita diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia sehingga sebagai warga negara Indonesia tidak lagi terlanggar hakhaknya dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum. Jadi, walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas tanahnya. Selama seorang istri atau suami masih berstatus warga negara Indonesia, tetap berhak atas hak milik. Sedangkan pasangan warga negara asingnya hanya berhak atas status hak pakai. Namun, jika
terjadi persengketaan di kemudian hari, tanah dengan hak milik dalam kepemilikan bersama tersebut dibagi sama rata kepada suami dan isteri tidak dibedakan jumlah untuk salah satu dari pada keduanya.
HASIL WAWANCARA KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN Nama Lengkap
: Muhammad Fuad
Selaku/Jabatan
: Suami WNI/Dosen Satra Inggris Fak. Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI)
Hari/Tanggal
: Jum’at, 06 Juni 2014
Tempat
: Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI)
Peranyaan : 1. Kepemilikan tanah dan rumah Kendala apa saja yang Bapak hadapi sebagai suami WNI terkait kepemilikan tanah dan rumah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran? Tidak ada kendala yang saya hadapi sampai saat ini, karena pada dasarnya kepemilikan itu berada di tangan suami. Kepemilikan tanah atas nama suami WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran tetap terjadi. Hal tersebut dikarenakan hukum di Indonesia menyatakan, bahwa perempuan yang telah kawin pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk dalam golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebaliknya terhadap suami. Suami diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum tanpa harus dibantu oleh isterinya.
Dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, status kepemilikan atas tanah dalam perkawinan tersebut semua atas nama suami WNI. Suami WNI dalam perkawinan campuran tersebut tidak mengetahui adanya aturan yang mengatur tentang kepemillikan dalam percampuran harta akibat perkawinan campuran. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan/isteri WNI turut terkena imbas aturan tersebut di atas. Lain halnya dengan laki-laki/suami WNI, mereka tidak turut terkena imbas aturan tersebut. Yang mana berdasarkan aturan di atas tidak hanya WNA saja yang harus melepaskan hak miliknya dalam percampuran harta akibat perkawinan campuran. Akan tetapi, pasangan WNI-nya (isteri/suami) juga harus melepaskan hak miliknya. Tanpa adanya perjanjian perkawinan (terjadi percampuran harta) ternyata, jika itu suami WNI walaupun dalam perkawinan campuran tetap bisa memiliki rumah di Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan pembelian rumah tidak dipertanyakan warga negara pasangannya, apakah warga negara Indonesia atau asing. Dikarenakan yang melakukan transaksi tersebut adalah suami WNI, yang mana kedudukan laki-laki atau suami itu kuat berdasarkan hukum Indonesia yang bersifat patriarkat. Namun, saya belum mengetahui bagaimana nantinya ketika melakukan penjualan atas tanah dan rumah yang saya miliki dalam perkawinan saya, apakah saya turut terkena imbas/tidak dari aturan tersebut di atas.
2. Kendala dalam kepemilikan Kendaraan Kendala apa saja yang Bapak hadapi sebagai suami WNI terkait kepemilikan kendaraan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran? Begitu pula terkait kepemilikan kendaraan, sampai saat ini belum ada kendala yang saya alami ketika ingin melakukan pembelian kendaraan setelah saya
melakukan
perkawinan
campuran
dengan
isteri
saya
yang
berkewarganegaraan asing. “Terkait kepemilikan kendaraan di Indonesia, tidak dipermasalahkan status kepemilikannya, baik itu dimiliki oleh saya (sebagai suami) yang berkewarganegaraan Indonesia ataupun oleh isteri yang seorang warga Negara asing”.