KEPEMILIKAN HARTA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM PERKAWINAN INDONESIA (SUATU PENDEKATAN METODOLOGIS) Suhairi
STAIN Jurai Siwo Metro E-mail :
[email protected] Abstrak Jika pengajaran fiqh dilaksanakan secara konsisten, maka hak pasangan suami istri untuk mendapatkan pembagian harta perkawinana harus diperhitungkan. Dan sebagai konsekuensi prinsip keberadaan properti masyarakat, maka harta tersebut harus dibagi menjadi dua, setengah untuk kedua pasangan itu dan setengahnya lagi sebagai warisan. Dan perhitungan pembagian harta perkawinan ini harus juga dilakukan apabila terjadi perceraian atau poligami. Dengan terjadinya poligami, berarti telah terbentuk satu keluarga baru dengan istri kedua, ketiga atau keempat, selain keluarga yang telah dibentuk dengan istri pertamanya. Harta pernikahan juga harus dihitung dan dibagi pada terjadinya perceraian. Karena perceraian memiliki efek yang sama dengan kematian, yaitu memutus tali pernikahan. Perbedaannya adalah, pada kasus kematian, harta yang dibagi adalah untuk pewaris. Sementara pada terjadinya perceraian, harta hanya dibagi untuk mantan suami dan istri itu, dan anak-anak masih menjadi tanggungan kedua pasangan tersebut. Kata kunci : harta perkawinan, poligami, perceraian Abstract If fiqh teaching is executed consistently, rights to get the marriage estate need to be reckoned to couple which above the ground. And as consequence of principle existence of community property, that estate have to be divided into two, half for the couple of which above the ground and its again as heritage. And calculation division of this marriage estate shall also be conducted on the happening of divorce or polygamy. On the happening of polygamy, meaning that one new family have been formed with both, third or is fourth, beside family which has been formed with first wife. Marriage estate also has to be reckoned and divided on the happening of divorce. Because, divorce has effect of which is equal to death, that is breaking of marriage string. The difference, on the happening of death, ommission estate is divided by for all heir. While on the happening of divorce, estate is only divided to husband secondhand and that wife, and children still become their fellow. Keyword : marriage estae, polygamous, divorce
1
Pendahuluan Status kepemilikan harta perkawinan merupakan persoalan yang masih perlu pengkajian lebih mendalam. Hal ini karena masih terdapat keragaman dan kesimpangsiuran dalam ranah fiqh di satu sisi dan hukum perkawinan Indonesia di sisi yang lain. Dalam hukum perkawinan Indonesia1 diatur dengan jelas mengenai harta perkawinan. Hukum perkawinan Indonesia menganut asas, bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup di masyarakat. Sebagai perwujudan asas keseimbangan ini keduanya diberikan hak yang sama dalam melakukan tindakan hukum (Ps. 31 UU Nomor 1 Tahun 1974) dan harta-harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta milik bersama. Terhadap harta bersama ini suami atau istri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak (Ps. 35-36). Meskipun demikian, undang-undang tidak menjelaskan secara tegas mengenai asal-usul harta-harta tersebut. Apakah harus atas usaha bersama suami istri
ataukah
termasuk
harta-harta yang
diperoleh
sendiri-sendiri
selama
perkawinan, misalnya hanya suami saja atau istri saja yang bekerja. Undang-undang Perkawinan juga tidak mengatur dengan kongkrit mengenai pembagian harta bersama jika perkawinan putus. Dalam hal perkawinan putus karena perceraian ditentukan, bahwa harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Ps. 37), yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Ketidakjelasan aturan inilah yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dan sering menimbulkan sengketa hukum yang sulit pemecahannya. Penetapan adanya harta bersama dalam perkawinan ini merupakan hal baru dalam perspektif fiqh. Karena dalam kitab-kitab fiqh istilah harta bersama tidak dikenal, atau minimal tidak jelas. Kitab-kitab munakahât sepanjang pembahasan
1 Yang dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan Indonesia adalah peraturan perundangundangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaannya, Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku I), dan petunjuk pelaksanaan lainnya yang masih berlaku.
2
mengenai harta yang berkaitan dengan perkawinan hanya dikenal istilah mahar,2 nafkah, mut‟ah3, iwâdh4, dan tirkah. Dari ketidakjelasan tentang status kepemilikan harta perkawinan menurut fiqh di satu sisi dan adanya perbedaan pandangan antara fiqh dengan undangundang di sisi lain inilah, perlu kiranya dilakukan kajian mendalam. Sehingga melalui kajian kritis ini, diharapkan terjadi saling koreksi dan melengkapi, sehingga antara fiqh dengan undang-undang tidak lagi dirasakan sebagai dua konsep yang berhadap-hadapan, tetapi berjalan seiring bersama. Dalam tulisan ini akan dibahas harta-harta yang berkaitan dengan perkawinan dan hukum kepemilikannya melalui kajian metodologis (istidlâl) dan pembagiannya jika perkawinan putus. Pembahasan. A. Harta-harta Perkawinan dalam Wacana Fiqh Dalam kitab-kitab fiqh tidak ditemukan pembahasan khusus tentang harta perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh hukum perkawinan Indonesia. Pembahasan yang berkaitan dengan harta dalam perkawinan ini dibicarakan dalam konteks mahar, kewajiban nafkah, upah menyusui, mut‟ah, iwâdh dan tirkah. Oleh karena itu dalam bagian ini akan dibicarakan hal-hal tersebut dalam konteks kepemilikannya. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui mana-mana harta yang menjadi milik istri dan mana yang merupakan milik suami. Perlu dibicarakan juga sebelumnya tentang apakah perkawinan menyebabkan percampuran harta atau tidak. 1. Percampuran harta Pada prinsipnya akad nikah tidak menyebabkan terjadinya percampuran harta. Harta-harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum akad nikah tidak akan menjadi harta bersama setelah akad nikah. Harta-harta bawaan akan tetap menjadi
Mahar adalah pemberian wajib berupa sesuatu yang bernilai (harta) dari suami kepada istrinya dan menjadi milik istri dan bukan menjadi milik walinya sebagaimana yang berlaku dalam tradisi sebelum Islam. Ibnu Mas‘ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i as-Shana‟i, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, tt.), IV: 15. Lihat juga, Ibnu Rusyd, Bidayah a- Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), II: 39. 3 Pemberian semacam hadiah kenang-kenangan berupa harta kepada bekas istrinya atas budi baiknya selama masa perkawinannya masih baik. 4 Uang tebusan dalam kasus perceraian atad permintaan istri (khulu‘). 2
3
milik masing-masing. Artinya, suami tidak halal mengambil harta bawaan istrinya tanpa seijinnya, dan demikian juga sebaliknya. Kesimpulan demikian bisa dipahamkan dari ayat poligami yang diturunkan dalam konteks pembicaraan harta anak yatim. Pada masa-masa pra-Islam, terdapat tradisi mengawini gadis-gadis yatim. Karena kelemahannya itu para laki-laki dapat menguasai tubuh dan hartanya. Tradisi ini kemudian ditegur oleh al-Qur`an: “Berikanlah kepada para anak yatim harta-harta mereka dan janganlah kalian menyodorkan yang buruk sebagai pengganti yang baik. Janganlah pula kamu memakan harta mereka (dengan jalan menggabungkannya) kedalam harta kalian. Yang demikian itu dosa besar. Bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil dalam (pemeliharaan) anak-anak yatim, maka nikahi sajalah perempuan (lain) yang cocok bagian kalian, dua, tiga maupun empat” (Qs.An-Nisa‘ [4]: 2-3). Yang penting dari ayat ini adalah anjuran untuk menikahi perempuan lain saja, dan bukan anak yatim itu sendiri untuk menjaga agar jangan sampai memakan harta warisan si yatim, sebagai mana telah menjadi kebiasaan waktu itu.5 Ayat ini meskipun dikhususkan untuk harta anak yatim, tetapi dapat disimpulkan, bahwa tidak terjadi percampuran harta dengan adanya akad nikah. Ayat tersebut dengan tegas menunjukkan, bahwa harta anak yatim yang dibawa ke dalam perkawinan itu tetap menjadi miliknya dan suaminya tidak diperbolehkan mengambilnya. Tidak terjadinya percampuran harta sebab perkawinan ini –menurut fiqh— berlangsung terus menerus. Harta-harta yang diperoleh sebagai hasil kerja suami misalnya, akan tetap menjadi miliknya. Sebaliknya harta-harta yang diperoleh istri juga tetap menjadi miliknya. Dari pemikiran inilah, maka dalam fiqh tidak dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan, yang ada adalah harta masing-masing. Sebagai konsekuensinya, suami tidak boleh mengambil harta istrinya tanpa seijinnya, dan demikian juga sebaliknya. Pemisahan harta dalam perkawinan ini cukup jelas karena didasarkan atas beberapa dalil, baik dari Riwayat maupun dari al-Qur`an. Dalam beberapa riwayat yang konon disandarkan pada Nabi, misalnya terdapat hadits yang artinya bahwa ―perempuan mana saja yang mengambil harta suaminya dengan tanpa ijinnya, maka 5
Tantawi Jauhari, Al-Jawahir, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halab wa Auladih, 1350H), II: 10.
4
dosanya sama dengan 70.000 pencuri”.6 Sebagai kewajiban seorang istri dalam hal ini adalah, istri wajib amanah ketika suami tidak ada di rumah, wajib memelihara diri dan menjaga harta-harta suaminya.7 Sebaliknya, seorang suami juga tidak boleh mengambil kembali pemberianpemberian kepada istrinya. Hal ini diungkapkan secara jelas oleh beberapa ayat alQur`an. Misalnya, “tidak halal bagi kamu (para suami) mengambil kembali sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka”8 (Qs.al-Baqarah [2]: 229). Dalam ayat yang lain disebutkan: ‖Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang nyata” (Qs. an-Nisa‘ [4]: 19). Dalam ayat pertama, larangan itu dalam konteks talak secara ihsân (secara baik). Artinya jika seorang suami hendak mentalak istrinya, maka tidak boleh mengambil barang-barang yang sudah diberikan dulu ketika masih baik. Sedangkan ayat kedua, adalah dalam konteks pergaulan yang baik antara suami istri (mu‟asyarah bil ma‟rûf). Yaitu seorang suami tidak boleh membuat-buat alasan agar dapat mengambil barang-barang yang pernah diberikan dulu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pemberian menurut para mufassir adalah pemberian secara umum, baik berupa mahar maupun pemberian-pemberian yang bukan wajib. Dan bahkan dianjurkan kepada suami untuk memberikan semacam uang pesangon sebagai tambahan dari hak-haknya yang oleh al-Qur`an disebut sebagai mut‟ah.9 Dari beberapa dalil di atas dapat dipahami, bahwa apa-apa yang telah diberikan oleh suami kepada istrinya adalah menjadi miliknya, dan oleh karenanya suami tidak boleh mengambil kembali. Ketentuan fiqh tentang tidak terjadinya percampuran milik akibat perkawinan ini, satu sisi sama dengan ketentuan hukum perkawinan Indonesia, tetapi berbeda pada sisi yang lain. Hukum perkaiwnan Indonesia juga mengakui tidak terjadi percampuran milik terhadap harta-harta yang diperoleh sebelum 6
Syaikh Nawawi al-Bantani, Syarh Uqud ad-Dulujain, (Surabaya: Dar al-Ihya‘ al-Kutub, tt), h.
10. 7 DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409H/1989M), III: 337. 8 9 Qs al-Ahzab []: 33; Lihat juga Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr al Mu‘ashir, tt), h. 335. Bandingkan juga al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr lit Thiba‘ah, 1414H/1993M), I: 533
5
perkawinan atau harta-harta yang diperoleh dengan jalan warisan atau hadiah (Ps. 36 [2]). Harta-harta demikian menjadi milik masing-masing suami istri. Tetapi hartaharta yang diperoleh selama perkawinan akan bercampur menjadi harta bersama. Sedangkan fiqh berpendapat, bahwa tidak terjadinya percampuran harta itu berjalan terus menerus. 2. Kepemilikan Mahar Mahar sesuai dengan fungsinya memiliki beberapa sebutan atau nama, seperti shadâq (pemberian sebagai bukti kebenaran cinta), farîdhah (pemberian wajib), ajr (upah atau ganti rugi), „alâ‟iq (sebagai bukti adanya hubungan suami istri), dan sebagainya. Mahar sebagai bentuk pemberian calon suami kepada calon istrinya ini telah berlangsung jauh sebelum Islam datang. Di zaman Jahiliyah, mahar diberikan kepada wali si gadis, dan oleh karenanya si gadis tidak menerima apa-apa dari perkawinanya itu.10 Tradisi demikian kemudian diluruskan oleh Islam yang tetap mengakui adanya mahar dalam perkawinan tetapi menjadi hak penuh si gadis yang dinikahi itu dan bukan diberikan kepada si wali. Hal ini dengan jelas diungkapkan oleh al-Qur`an: “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib” (Qs. An-Nisa` [4]: 4). Pengertian ayat tersebut adalah, berikanlah mahar itu kepada para istri, bukan kepada para walinya, sebagai pemberian wajib. Pemberian wajib ini maksudnya adalah bukan sebagai harga pembelian atau sebagai ganti rugi. Karena yang mewajibkan adalah Syâri‟ dan oleh karenanya tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun selain oleh Syâri‟ sendiri. Dalam hal ini termasuk tidak boleh membuat kesepakatan perkawinan tanpa mahar. Dengan kata lain, kewajiban memberikan mahar adalah kewajiban yang dituntut oleh agama, seperti kewajiban salat, haji, dan sebagainya yang tidak bisa diubah dengan kesepakatan manusia. Di sinilah terdapat perbedaan prinsip antara akad jual beli dengan akad nikah. Jual beli merupakan perjanjian antar manusia (mu‘amalah), sedangkan akad nikah selain mengandung unsur mua‘malah, juga mempunyai muatan ibadah yang lebih kuat. Murtadha Muththahari, Nizam Huquq al-Mar‟ah fi al-Islam, (Teheran: Sa‘ihar, 1405H/1985M), h. 174; Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 52 10
6
Perintah memberikan mahar kepada wanita ini bisa dipahami sebagai pemilikan. Ayat tersebut bisa diartikan: “Milikkanlah mahar itu kepada wanita yang kamu nikahi, dan jangan kamu berikan kepada selain mereka”.11 Jadi dari ayat ini dapat dipahami, bahwa mahar menjadi milik sah istri dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh walinya. Sebagai milik sah, maka istri bebas melakukan tasarruf, seperti menjual, menyewakan atau memindahmilikkan kepada siapa saja yang ia sukai, asal tidak melanggar ketentuan syara‘. Mahar sebagai milik istri disyaratkan harus jelas batasannya, baik disebut dalam akad nikah (mahar musamma) maupun tidak disebut (mahar mitsil), misalnya 100 gram emas, satu unit rumah tipe A, dan sebagainya. Para fuqaha juga sepakat, meskipun mahar itu boleh dihutang (tidak dibayar kontan pada saat akad), tetapi harus ditentukan tenggang waktu pelunasannya, dan harus lunas setelah terjadi persetubuhan.12 Ketentuan ini sebenarnya tidak didasarkan pada dalil yang kuat, tetapi umumnya fuqaha memandangnya secara analogi, bahwa mahar itu tidak beda dengan harga dalam jual beli. Dalam hal ini mahar itu sebagai harga atau ganti dari kenikmatan yang telah diberikan oleh istri. Jika terjadi talak sebelum persetubuhan, maka wajib dibayar separoh dari jumalah yang telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada ayat al-Baqarah [2]: 238. Istri sebagai pemilik mahar dapat membebaskan suaminya dari kewajiban melunasi mahar, sebagian atau seluruhnya. Tetapi ini harus atas kekuasaan istri, dan bukan karena rekayasa dari suami. Selain itu, mahar juga bisa gugur karena terjadinya perceraian sebelum persetubuhan yang datang dari pihak istri. Misalnya istri murtad, atau minta fasakh karena suami miskin, atau suami cacat, atau istri yang cacat dan dan suami minta fasakh. Ini sama dengan jual beli, jika seorang penjual tidak jadi menyerahkan barangnya, maka pembeli juga gugur kewajibannya untuk menyerahkan harga.
11 12
Murtadla Muththahari, Nizam Huquq al-Mar‟ah, h. 172 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, II: 394
7
Inilah beberapa ketentuan mahar, yang pada intinya merupakan pemberian wajib dari suami kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya dan menjadi milik sah istri. Dalam prakteknya, mahar ini sangat bervariasi dalam bentuk, kadar dan cara pembayarannya, sesuai dengan tradisi yang berlaku. Bahkan tidak jarang, mahar itu lebih merupakan hal yang bersifat simbolis yang oleh karenanya yang penting bukan nilai ekonomisnya atau besar kecilnya, atau mahal mjrahnya, tetapi lebih dipentingkan nilai khasnya. Misalnya mahar dengan sebuah mushaf al-Qur`an dan seperangkat alat salat, seperti yang banyak dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Meskipun mahar tidak mempunyai nilai ekonomis yang tinggi yang dapat dijadikan harta milik istri, tetapi biasanya juga diikuti dengan pemberianpemberian yang lain yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti perhiasan, pakaian, rumah, sejumlah uang, dan sebagainya. Pemberian atau hadiah-hadiah (dalam istilah Jawa: Tukon) yang dikaitkan dengan pelaksanaan perkawinan juga menjadi milik istri sepenuhnya. 2. Kepemilikan Nafkah Salah satu kewajiban suami yang bersifat material adalah memberikan nafkah berupa segala kebutuhan hidup kepada istrinya. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dan telah menjadi ijma‘ kaum muslimin. Yang menjadi masalah dalam pembicaraan ini adalah, apakah pemberian nafkah itu bersifat pemilikan atau hanya manfaat saja ? Jika bersifat pemilikan, maka sandang dan tempat tinggal sebagai nafkah adalah milik si istri dan dikuasai sepenuhnya dan selamanya, meskipun ikatan perkawinan telah putus. Tetapi jika hanya manfaat, maka seperti pakaian dan rumah itu harus ditinggalkan menjadi milik suaminya ketika perkawinan putus, kecuali harta-harta yang memang telah dihadiahkan. Dalam hal ini si istri hanya menerima hak manfaat selama perkawinan masih utuh. Dengan kata lain, jika terjadi perkawinan putus, siapakah yang harus meninggalkan rumah dan barang-barang isinya, suami atau istri? Persoalan ini penting dikemukakan, karena berkaitan dengan hak penguasaan aset-aset keluarga.
8
Mengenai pemilikan nafkah ini, figh tidak memberikan pemecahan yang kongkrit, meskipun nafkah ini mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas dalam semua kitab fiqh. Oleh karena itu, penulis akan mencoba menganalisis prinsip-prinsip nafkah ini dari sisi teori kepemilikan. Nafkah istri yang wajib dipenuhi oleh suami meliputi; makanan (tha‟am), pakaian (kiswah), tempat tinggal (maskan), pembantu (jika istri dari kalangan yang terbiasa menggunakan pembantu), peralatan kebersihan, peralatan rumah tangga, dan beaya pengobatan.13 Nafkah tha‘am dan perlengkapannya wajib diberikan suami dalam kadar yang cukup dan pantas menurut kebiasaan setempat. Menurut sebagian fuqaha, kadar kecukupan tersebut diukur menurut keadaan dan kebutuhan si istri. Hal ini didasarkan atas Hadits Nabi saw; “khud li ma yakfiki wa waladaki bi al-ma‟ruf” (ambillah [dari harta suamimu] apa-apa yang mencukupi kamu dan anak-anakmu dengan jalan yang makruf).14 Menurut penulis, yang lebih sesuai adalah pendapat yang mengatakan, bahwa kadar kecukupan itu diukur menurut keadaan kemampuan suami, dan bukan menurut ukuran istri. Karena ini selain lebih rasional, juga didukung oleh dalil-dalil yang lebih kuaaik al-Qur`an (lihat Qs. At-Talaq: 7) maupun beberapa riwayat dari Nabi. Misalnya Sabda Nabi saw.: ―Berikanlah makan kepada mereka (istri-istrimu) seperti yang kamu makan, berikanlah pakaian mereka seperti pakaianmu, dan janganlah kamu memukul mereka dan menjelek-jelekkan mereka”.15 Nafkah makanan ini bisa diserahkan secara harian, bulanan atau tahunan sesuai dengan kemampuan suami.16 Ulama juga sepakat, bahwa suami sesuai dengan kemampuannya wajib memberikan nafkah berupa pakaian kepada istrinya menurut ukuran kebiasaan yang berjalan. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, sekurang-kurangnya adalah setahun sekali pada awal tahun. Sedangkan menurut Syafi‘iyyah dan Hanafiyah, adalah setiap semester sekali (6 bulan).17
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, VII: 798 HR. Jama‘ah kecuali At-Tirmizi, dari Aisyah ra. Lihat, Nail al-Authar, VI: 323. 15 Ibid., h. 322. 16 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, VII: 802 17 Ibid., h. 803 13 14
9
Sebagaimana nafkah
makanan
dan
pakaian,
suami juga
wajib
menyediakan tempat tinggal kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya. Tempat tinggal ini harus juga meliputi kamar tidur, dapur, kamar mandi dan sarana-sarana yang mendukung terciptanya suasana pergaulan suami istri secara baik (mu‟asyarah bi al-ma‟ruf). Termasuk dalam hal ini adalah menyediakan pemabntu rumah tangga, karena sebenarnya pekerjaan-pekerjaan seperti memasak, mencuci, mengurus rumah dan sebagainya tidaklah termasuk kewajiban istri, dan oleh karenanya harus diupahkan.18 Di antara jenis-jenis nafkah material tersebut, menurut mazhab Syafi‘i barang-barang yang bersifat istihlaki (sekali pakai), seperti makanan dan minuman adalah pemilikan. Sedangkan barang-barang yang bersifat isti‟mali (tidak habis ketika dipakai), seperti pakaian, perhiasan dan tempat tinggal adalah pemanfaatan selama masih ada ikatan perkawinan dan bukan pemilikan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa menurut fiqh, nafkah yang berupa benda-benda isti‘mali, seorang istri hanya memperoleh hak manfaat saja. Kecuali jika secara tegas suaminya menghadiahkan, atau barang-barang yang memang secara khusus untuk perempuan, seperti perhiasan, alat-alat kecantikan, dan sebagainya, adalah milik istri. Meskipun demikian, nafkah tetap mempunyai nilai ekonomis dan menjadi salah satu sebab pemilikan yang ditetapkan oleh syara‘. Perincian nafkah sebagaimana yang digambarkan oleh kitab fiqh adalah sekedar
mencukupi
kebutuhan
pokok
dengan
contoh-contoh
sesuai
perkembangan kebutuhan manusia saat kitab-kitab fiqh itu ditulis. Jika dilihat dengan ukuran sekarang, maka kebutuhan manusia telah mengalami perubahan yang jauh, seperti kebutuhan transportasi (mobil), komunikasi (telpon), peralatan hiburan, kebutuhan olah raga, rekreasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman modern yang tidak pernah tergambarkan oleh kitab fiqh. Maka selayaknya ukuran nafkah juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
18
Ibid., h. 805; Lihat juga, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. II: 463.
10
Nafkah sebagai hak istri dan sebagai salah satu jalan untuk memiliki harta ini dibuktikan ketika suami dalam keadaan sulit dan tidak dapat memberi nafkah. Menurut Jumhur fuqaha, kewajiban nafkah ini tidak bisa gugur, dan dianggap sebagai hutang sah yang harus dibayar ketika suami sudah mampu. Bahkan menurut Mazhab Hanafi, hakim boleh menjual paksa harta suami yang membangkang tidak mau membayar nafkah, dan jika sengaja hartanya disembunyikan, maka harus ditahan (dipenjara) sampai mau membayar. Lebih lanjut, ketika suami dalam keadaan sulit dan tidak memberi nafkah, maka istri dapat meminta fasakh (pembatalan nikah) kepada hakim. Dari ketentuanketentuan ini, maka dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah salah satu jalan pemindahan milik dari milik suami kepada milik istri, selama istri masih memenuhi syarat-syarat untuk menerima nafkah.19 3. Penghasilan Istri yang bekerja Sampai sejauh ini sebanarnya kitab-kitab fiqh tidak mempunyai gambaran tentang seorang perempuan bekerja di luar rumah. Ini disebabkan karena perempuan berada dalam jaminan suaminya dan tidak diperkenankan pergi kemanapun, termasuk ke masjid untuk jamaah tanpa ijin suaminya. Jika terpaksa keluar rumah, maka ia harus disertai seorang mahram atau dengan serombongan perempuan lain dalam
keadaan yang benar-benar aman.20
Ketentuan ini dipengaruhi oleh lingkungan dan zaman ketika hukum-hukum fiqh itu dirumuskan, yang memang secara keseluruhan tidak menyediakan tempat yang damai bagi perempuan di luar rumah. Tetapi yang perlu diingat di sisi –dalam masalah perempuan bekerja—bahwa pada dasaranya kehidupan seorang istri ditanggung oleh laki-laki. Jadi, meskipun ia bekerja atau seorang kaya, tetap tidak bisa mengambil oper tugas suaminya dalam membeayai nafkah keluarga.
19 Syarat-syarat istri dapat nafkah dari suami, menurut jumhur adalah karena adanya ikatan pernikahan yang sah, istri menyerahkan diri sepenuhnya dan dapat dinikmati suaminya, serta harus tinggal di rumah yang disediakan suaminya. Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah , II: 76. 20 Sa‘di Abu Habieb, Al-Maushu‟ah fi al-Fiqh al-Islami, Terj. KH. Sahal Mahfudz, “Ensiklopedi Ijma”, (Jakarta: Pustaka Fiedaus, 1987), h. 663.
11
Pembicaraan perempuan berkerja di luar rumah dalam beberapa kitab fiqh hanya berkaitan dengan pembahasan nafkah istri yang nusyuz. Jika seorang istri bekerja di luar rumah, seperti menjadi dokter, karyawan, guru, atau profesiprofesi lainnya, dan suami mengijinkan, maka wajib bagi suami tetap memberi nafkahnya. Tetapi jika suami tidak mengijinkannya dan si istri tetap bekerja, maka gugurlah kewajiban nafkah, karena dalam hal ini istri dianggap nusyuz. 21 Jika istri bekerja ini telah disyaratkan ketika akad nikah, misalnya seorang perempuan mau dikawini asal diijinkan tetap bekerja, maka ada beberapa pendapat. Menurut Hanafiyah, syarat seperti ini adalah fasid dan sia-sia, tetapi akadnya tetap sah. Menurut Malikiyah, syarat yang demikian ini makruh hukumnya dan tidak wajib dipenuhi. Sedangkan menurut Hanabilah, syarat tersebut sah, dan suami tidak boleh melarang istrinya untuk tetap bekerja.22 Fuqaha juga membuat klasifikasi tentang pekerjaan seorang istri kepada; pekerjaan-pekerjaan yang dapat mengurangi hak-hak suami dan yang tidak. Pekerjaan jenis yang pertama disepakati tidak bolehnya, dan yang kedua boleh, temasuk pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban kifayah, seperti menuntut ilmu. Persoalannya sekarang adalah, apabila bekerja di luar rumah itu telah menjadi kebiasaan, seperti yang terjadi pada zaman modern sekarang ini, bagaimana hukumnya dan penghasilannya menjadi milik siapa, dia sendiri atau suaminya yang menjamin dirinya?. Menurut penulis, dalil-dalil yang melarang seorang wanita keluar rumah, termasuk bekerja itu perlu dikaji ulang keabsahannya. Sebab wanita bekerja sesungguhnya telah ada sejak masa Nabi, dan bahkan masa-masa jauh sebelumnya. Khadijah sendiri sebagai istri Nabi adalah seorang saudagar yang sukses, dan oleh karenanya dapat menopang dakwah Nabi. Demikian juga Aisyah, tidak hanya pernah keluar rumah, tetapi menjadi penglima perang Jamal, dan meskipun kalah tidak ada seorangpun sahabat lain yang mencela. Barangkali larangan perempuan keluar rumah sebagaimana yang digambarkan fiqh itu lebih merupakan pengaruh kultur Arab 21 22
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, VII: 798. Ibid., 793
12
dan duania saat itu yang memang sangat patrilineal, dan bukan dari ajaran Islam itu sendiri. Kenyataan sekarang ini, perempuan sebagai istri bekerja di luar rumah tidak hanya sebagai gejala atau trend baru, tetapi telah menjadi pemandangan umum. Dan hal ini tidak dirasakan sebagai mengurangi hak-hak suami – sebagaimana yang dikhawatirkan oleh fiqh--, bahkan dirasakan sebagai kebaikan untuk menunjang ekonomi keluarga. Jika yang dikhawatirkan adalah, bahwa istri yang bekerja akan membuka peluang rusaknya tali perkawinan, karena dengan kemandiriannya dalam bidang ekonomi misalnya, menjadi tidak lagi tergantung kepada suami dan tidak hormat lagi, maka kebenaran hipotesa ini juga masih perlu dibuktikan dengan penelitian yang cermat. Dan jika yang dikhawatirkan adalah tentang keamanannya –agar tidak diganggu oleh laki-laki lain misalnya--, maka kondisi sekarang ini jauh berbeda dengan zaman abad pertengahan, di mana perempuan umumnya adalah orang-orang yang bodoh dan lemah. Jadi sebenarnya tidak ada dalil atau alasan yang kuat untuk melarang perempuan bekerja di luar rumah, selama pekerjaan itu tidak mengurangi dan tidak menghalangi hubungan baik dalam keluarga (mu‟asyarah bil ma‟ruf). Tentu saja pekerjaan tersebut haruslah pekerjaan yang halal, tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya, dan harus dilaksanakan dengan memperhatikan etika-etika yang digariskan oleh Islam, seperti tetap menurut aurat dan tidak melalampui batas dalam pergaulan. Adapun upah atau penghasilan dari pekerjaannya itu akan menjadi milik istri sendiri, atau milik bersama suami istri. 4. Upah Penyusuan dan Pengasuhan Tugas-tugas seorang istri menurut fiqh tampaknya tidak lebih dari sekedar tidur bersma suaminya. Lebih dari itu, seperti pekerjaan memasak, mencuci pakaian suami, dan sebagainya bukanlah kewajiban istri, tetapi dihukumi boleh dikerjakan si istri sebagai jasa baik atau sadaqah kepada
13
suaminya.23 Termasuk yang masih diperselisihkan oleh fuqaha mengenai penyusuan dan pengasuhan, apakah termasuk kewajiban istri ?. Mazhab Syafi‘i, Hanbali dan Imamiyah berpendapat, perempuan yang mengasuh berhak mendapatkan upah, baik ia berstatus sebagai ibu kandungnya atau orang lain. Upah itu diambilkan dari harta anak tersebut, tetapi jika tidak ada, maka menjadi kewajiban ayahnya atau orang yang wajib memberi nafkah kepadanya.24 Menurut Imam Malik, dalam penyusuan dibedakan antara atas wanita biasa yang rendah taraf hidupnya dengan wanita kelas tinggi. Bagi wanita biasa wajib menyusui anaknya, sedangkan bagi wanita kelas tinggi tidak wajib, kecuali bayinya hanya mau dari teteknya saja.25 Menurut Hanafi, pengasuh wajib memperoleh upah jika tidak ada lagi ikatan nikah dengan bapaknya dan tidak mendapatkan nafkah lagi. Upah diambil dari harta si anak, jika tidak ada, maka diambilkan dari orang yang bertanggung jawab atas nafkahnya.26 Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena masing-masing berangkat dari dalil yang berbeda. Syafi‘i dan para pengikutnya berangkat dari ayat: Dan jika kamu ingin anakamu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa apabila kamu memberikan bayaran menurut yang patut” (Qs. alBaqarah [2]: 233). Ayat ini dapat dipahami bahwa seorang anak adalah milik bapaknya, karena khithab ini ditujukan kepada suami/bapak. Maka berdasarkan mafhum ayat ini juga dapat dipahami, mengasuh anak bukanlah kewajiban istri (ibunya), dan oleh karenanya ia dapat meminta upah kepada suaminya, seperti ketika orang lain yang menyusukannya. Apalagi penyusuan itu pada hakikatnya adalah pemberian makan atau nafkah dan bukan pengasuhan yang menjadi kewajiban ayah. Sedangkan Hanafi dan para pendukungnya berangkat dari dalil ayat:
Sa‘di Abu Habieb, h. 662 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr li at-Thiba‘ah, tt), h. 124, Bandingkan juga; Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Basrie Press, 1414H/1994M), h. 418. 25 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, III: 465. 26 Muhammad Jawad Mughniyah, h. 419 23 24
14
“Jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) maka berikanlah kepada mereka upahnya” (Qs. At-Talaq : 2). Menurut ayat ini, upah itu hanya untuk istri yang telah diceraikan, dan bukan untuk yang masih dalam ikatan nikah dan masih mendapat nafkah. Pendapat terakhir yang diikuti oleh mayoritas ulama inilah, menurut penulis yang lebih sesuai. Sebab janggal kiranya jika menyusui dan mengasuh anak itu bukan termasuk kewajiban seorang istri. Karena pada saat-saat pertumbuhan dan perkembangan jiwa si anak yang menentukan, maka peran seorang ibu sangat dibutuhkan. Bahkan suatu kemestian, bahwa seorang ibu lebih dekat secara psikologis kepada anak-anaknya dari pada dengan bapaknya. Inilah sebabnya oleh hadits Nabi penghormatan kepada seorang ibu diberikan tiga kali dari pada bapak. Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, apakah penyusuan dan pengasuhan anak menjadi kewajiban ayah atau ibunya, tetapi setidaknya dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan, bahwa penyusuan dan pengasuhan itu oleh fiqh dipandang mempunyai nilai ekonomis bagi si istri, kecuali jika perkawinan telah putus. 5. Kepemilikan Mut‟ah dan Iwadl Mut‘ah adalah pemberian semacam pesangon kepada istri yang ditalak untuk menyenangkan hatinya sesuai dengan kemampuan suami. Sedangkan iwadh adalah semacan uang kembalian atau dari istri kepada suaminya sebagai tebusan melepaskan dirinya, yang dalam istilah fiqh disebut dengan khulu‟. Anjuran untuk memberikan nafkah ini didasarkan atas beberapa ayat alQur`an. “kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut‟ah menurut yang ma‟ruf sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Qs. al-Baqarah [2]: 243).27
27
Perhatikan ayat-ayat yang lain, Qs. al-Baqarah [2]: 236, al-Ahzab []: 49, dll.
15
Dari zahir ayat ini disimpulkan oleh ulama, bahwa memberikan mut‘ah adalah wajib, atau minimal sunnah hukumya, sebagai rangkaian dari proses talak yang ihsan atau ma‟ruf. Mut‘ah ini bisa berupa barang, uang atau apa saja menurut kemampuan suami dan kebiasaan yang berlaku. Jika mut‘ah adalah pemberian dari suami kepada istrinya yang ditalak, maka sebaliknya jika yang menghendaki talak datang dari pihak istri, pemberian yang sama disebut dengan iwadh. Dasar kebolehan iwadh adalah ayat, “Dan jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS.Al Baqarah : 229). Dan dalil dari hadits Nabi saw, “terimalah kebun itu dan talaklah ia satu kali”.28 Dalil-dalil ini menerangkan, bahwa suami boleh mengambil apa yang pernah diberikan kepada istrinya sebagai fida‟ atau tebusan talak atas dirinya, ketika istri tidak cocok lagi dengan suaminya. Pengambilan itu bisa berupa mahar atau harta-harta lain yang pernah diberikan, tetapi tidak boleh melebihi pemberiannya. Selain itu disyaratkan bahwa inisiatif talak itu harus benar-benar datang dari istri, sehingga pengembaliannya didasarkan atas sukarela. Dari pembahasan di atas mengenai harta-harta yang berkaitan dengan adanya perkawinan dalam konteks kepemilikannya, maka kiranya dapat disimpulkan, meskipun fiqh tidak mengenal adanya percampuran milik dalam perkawinan atau yang disebut oleh hukum perkawinan Indonesia sebagai harta bersama, tetapi sebenarnya fiqh menyediakan pos-pos yang cukup banyak bagi seorang istri untuk memiliki harta sendiri dari suaminya. Pos-pos pemilikan itu adalah melalui mahar, nafkah, upah penyusuan dan pengasuhan, mut‘ah, penghasilan-penghasilan yang diperolehnya secara sendiri, dan pemberianpemberian suami yang tidak termasuk ketegori tersebut, seperti hadiah-hadiah maupun hibah. Pos-pos ini harus diperhitungkan ketika perkawian putus, baik karena talak atau karena kematian. Jika terjadi kematian suami misalnya, maka harus dihitung dan dibedakan terlebih dahulu harta-harta yang menjadi milik 28 Hadits Tsabil bin Qais, HR. Bukhari, An-Nasa`i, dari Ibnu Abbas, Lihat Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, I: 242-44, Ibnu al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al Ilmiah, tt.), h. 264-465, AsSabuni, Tafsir ayat al-Ahkam, (Cairo: Dar al-Fikr, tt.), h. 338
16
istri secara pribadi dengan harta-harta tirkah yang akan dibagi. Dengan demikian, pengertian tirkah yang akan diwariskan itu adalah harta-harta peninggalan si mati setelah dikurangi beaya tajhiz (pengurusan jenazah), pelunasan hutang-hutang, pelaksanaan wasiat, dan harta-harta milik janda atau dudanya. Termasuk juga harus diperhitungkan misalnya hutang-hutang nafkah dan mahar jika belum dibayarkan.
C. Hukum Harta Bersama Pada pembicaraan yang lalu disimpulkan,bahwa dalam kitab-kitab fiqh tidak dikenal istilah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana yang diakui oleh Hukum Perkawinan Indonesia. Hal ini berangkat dari pandangan yang berbeda tentang kedudukan suami istri dalam keluarga. Fiqh berpandangan bahwa suamilah yang memiliki perkawinan sehingga ia mempunyai kedudukan lebih tinggi, terutama dalam menanggung nafkah keluarga. Sedangkan Hukum Perkawinan Indonesia memandang,bahwa suami istri adalah ibarat tubuh yang satu dalam memiliki perkawinan, sehingga mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang, termasuk dalam memiliki harta perkawinan. Persoalannya adalah, bagaimana status hukum harta bersama itu menurut Islam? Yang dimaksudkan hukum di sini adalah boleh atau tidaknya serta jalan metodologinya. Jika boleh misalnya, apakah secara otomatis sebagai akibat dari akad nikah yang sah, ataukah diperlukan perjanjian baru di luar akad nikah? Masalah-masalah inilah yang akan dibicarakan dalam sub ini. Menghadapi hukum harta bersama yang belum ada dalilnya ini, ulama Indonesia dan para pemerhati fiqh umumnya menyimpulkan hukumnya mubah, dan agaknya tidak ada yang berpendapat sebaliknya. Dengan demikian kebolehan hukum terhadap harta bersama dalam perkawinan bisa kita katakan telah menjadi ijma‟, minimal untuk wilayah Indonesia. Metode yang dipakai untuk sampai pada
17
kesimpulan tersebut adalah, bahwa mereka pada umumnya memandang harta bersama itu pada prinsipnya adalah Syirkah abdan dan telah menjadi adat.29 Syirkah adalah bentuk akad kerja sama (perkongsian) untuk mendapat keuntungan harta yang diperbolehkan dalam Islam, bahkan bisa sampai pada hukum sunnah (dianjurkan). Meskipun demikian tidak ditemukan penjelasan dan alasan yang memadahi, mengapa kebolehan harta bersama itu diqiyaskan dengan syirkah. Apakah secara otomatis akad nikah itu berarti syirkah, sehingga harta-harta yang diperoleh selama perkawinan juga sekaligus menjadi harta milik bersama; ataukah perlu diadakan akad syirkah tersendiri antara suami dan istri di luar akad nikah? Jika kemungkinan pertama, maka pola yang dipakai adalah qiyas. Sedangkan jika yang kedua, adalah akad baru. Menurut penulis, adalah kurang tepat mengqiyaskan akad nikah dengan akad syirkah. Sebab qiyas sebagai jalan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum bagi masalah-masalah yang belum ditentukan hukumnya oleh nass sebagaimana yang didefinisikan oleh ushuliyyin memerlukan persyaratan-persyaratan yang rumit.30 Melihat pola qiyas yang demikian ketat ini, agaknya sulit mengqiyaskan akad nikah dan akad syirkah dalam konteks harta bersama. Sebab kedua akad tersebut mempunyai tujuan pokok yang berbeda. Tujuan dari akad nikah adalah kehalalan hubungan dengan lawan jenis. Sedangkan akad syirkah adalah kerja sama untuk mendapatkan keuntungan harta. Dengan demikian tidak bisa terpenuhi persyaratan qiyas karena tidak ditemukan kesamaan illah. Kedua akad tersebut bahkan berbeda dalam segi-segi yang lain, dan oleh karenanya Syara‘ juga mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda. Syirkah memang diatur secara panjang lebar dalam semua kitab fiqh muamalah. Tetapi dalam pembahasannya tidak pernah menyinggung sedikit pun mengenai harta-harta dalam perkawinan. Apalagi sampai menyimpulkan bahwa 29 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri di Aceh Ditinjau dari Sudut UUP 1974 dan Hukum Islam, Disertasi, Tahun 1984, h. 295; Lihat juga Suyuti Talib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 79-85 30 Perhatikan rukun dan syarat-syarat qiyas dalam berbagai kitab Ushul Fiqh, di antaranya; Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) III: 601; Syaifuddin al-Amidi, Al Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983), h. 170.
18
akad nikah dan hubungan suami itu termasuk syirkah. Jadi menyimpulkan kebolehan harta bersama dalam perkawinan itu dengan dalil qiyas kepada syirkah abdan adalah kurang tepat. Jika kepemilikan harta bersama itu dianggap syirkah abdan, maka ia harus masuk dalam perjanjian perkawinan atau harus dibuat akad tersendiri antara suami dan istri. Persoalan yang muncul adalah, apakah boleh akad nikah itu disertai dengan persyaratan, bahwa harta-harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama? Dalam kitab-kitab fiqh, banyak dibicarakan tentang ijab qabul dalam akad nikah yang disertai dengan syarat, baik syarat itu dari pihak istri atau datang dari pihak suami. Adapun syarat-syarat yang wajib dipenuhi adalah yang termasuk dalam rangkaian dan tujuan perkawinan, serta tidak menyalahi hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Adapun syarat-syarat yang menyalahi hukum perkawinan tidak wajib dipenuhi, tetapi akad nikahnya tetap sah.31 Jika seorang istri mensyaratkan kepada suaminya, bahwa harta-harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, menurut hemat penulis, syarat demikian ini adalah sah dan wajib dilaksanakan. Jika tidak, maka istrinya boleh minta fasyakh kepada hakim karena suami menyalahi perjanjian perkawinan. Karena selain tidak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan, pengakuan adanya harta bersama dapat memperkokoh tali hubungan suami istri. Wajibnya memenuhi syarat ini juga diisyaratkan oleh alqur‘an sendiri misalnya: “Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janjimu”. (Qs. al-Mai`dah [4]: 1). Nabi juga bersabda: “orang-orang Islam itu terikat dengan syarat mereka,kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.32 Alternatif kedua selain dengan perjanjian perkawinan untuk menjadiakan harta bersama dalam perkawinan adalah dengan cara mengadakan akad syirkah abdan antara suami dan istri sebagai aggotanya. Syirkah abdan ini sering disebut 31 32
Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 71 Ibid., h. 73
19
dengan syirkah a‟mal, atau syirkah shana‟i, atau syirkah taqabbul. Para fuqaha mendifinisikan sebagai kesepakatan dua orang atau lebih dari pemilik jasa atau profesi tertentu untuk bekerja sama menerima suatu pekerjaan, di mana keuntungan atau upah dari pekerjaan tersebut dibagi berdasarkan kesepakatan di antara mereka.33 Dengan demikian yang
menjadi obyek akad dalam syirkah abdan ini
adalah pekerjaan atau tenaga badan atau keahlian profesi.34 Kebolehan syirkah abdan sendiri masih diperselisihkan di antara fuqaha. Pada prinsipnya jumhur fuqaha yang terdiri dari mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syi‘ah
Zaidiyah,
membolehkan
meskipun
dalam
persyaratannya
masih
diperselisihkan. Sedangkan yang tidak membolehkan syirkah abdan adalah mazhab Syafi‘i, mazhab zahiriyah, Syi‘ah Ja‘fari dan Imamiyah.35 Ulama‘ Syafi‘i berargumen, bahwa syirkah itu hanya berkaitan dengan harta atau modal, dan bukan pada pekerjaan. Karena pekerjaan itu tidak bisa ditentukan batas-batasnya, masing-masing orang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri. Oleh karena itu syirkah abdan ini adalah hal yang tidak mungkin. Syafi‘i juga membantah, pendapat yang membolehkan syirkah abdan ini didasarkan pada kebolehan mudharabah, karena mudharabah sendiri telah keluar dari aturan-aturan pokok, dan oleh karenanya tidak bisa dijadikan tempat mengqiyaskan. Sedangkan menurut jumhur, kebolehannya didasarkan pada hadis, bahwa Amar, Sa‘ad dan Ibnu Mas‘ud pernah berserikat untuk mendapatkan ghanimah dalam perang badar, dan nabi tidak melarangnya.36 Hal ini berarti diperbolehkan syirkah dengan pekerjaan. Imam Malik mensyaratkan dalam syirkah abdan ini, harus ada kesamaan macam pekerjaan dan tempat bekerja. Kalau tidak terpenuhi kedua syarat ini maka tidak boleh. Sedangkan menurut Hanafi, tidak harus sama macam pekerjaanya.37 Misalnya, sekelompok orang berserikat untuk mengerjakan rumah,
33 DR. Yusuf Mahmud Abdul Maqsud, Ahkam asy-Syarikat fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran, (Al-Azhar : Dar at-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1980M/1400H), h. 46 34 Selain syirkah abdan ini, dalam fiqh dikenal juga jenis-jenis syirkah yang lain, seperti syirkah „inan dan syirkah muwafadlah (kerjasama modal), syirkah wujuh (kerjasama yang didasarkan pada kepercayaan). Di antara jenis-jenis ini yang diperbolehken secara ijma‘ adalah syirkah modal, sedangkan yang lain masih diperselisihkan. Lihat Yusuf Mahmud Abdul Maqsud, h. 6 35 Ibid., h. 48; Lihat juga, Al-Mabsuth, XI: 154; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, III : 270 36 Abdul Maqsud, h. 46; Sayyid Sabiq, Juz 13, h. 170 37 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, III : 170
20
ada yang menjadi tukang kayu, ada yang menjadi tukang batu, tukang cat, dan sebagainya. Menurut penulis, pendapat Hanafi inilah yang lebih luwes dan dapat mengikuti perkembangan kemajuan. Sebab seperti pendapat Syafi‘i yang melarang secara mutlak atau pendapat Imam Malik yang mensyaratkan harus sama jenis pekerjaan dan tempat kerja, maka muamalah umat Islam akan menemui kesulitan. Karena bentuk-bentuk kerja sama yang demikian ini telah menjadi sendi-sendi kehidupan masyarakat umum dan berlaku sejak dulu. Dan bahkan kerja sama pekerjaan dan profesi ini dianjurkan oleh Islam berdasarkan keumuman ayat: ―Dan tolong-menolonglah kamu dalam urusan kebaikan dan taqwa “ (Qs. alMaidah [4]: 2). Dalam konteks kepemilikan harta bersama suami istri ini, kiranya dapat diakui sebagai syirkah abdan dalam versi Imam Hanafi. Dan pengertian kerja itu tidak harus diartikan kerja di luar rumah, sehingga yang sebagian besar mendapatkan tugas yang berkaitan dengan urusan kerumahtanggaan, seperti mengurus anak, mengurus rumah, mengurus aset-aset keluarga di rumah dan sebagainya, harus dihargai sebagaimana kerja suami di luar rumah. Dalam hal ini, rumah tangga itu dapat diibaratkan sebagai proyek kerja, di mana suami dan istri sebagai pelaksana proyek tersebut. Proyek tersebut akan terlaksana dengan baik sesuai dengan yang direncanakan sejak awal, jika ada kerja sama dan pembagian tugas dengan baik, sehingga masing-masing bekerja menurut bidang tugasnya. Tujuan dari proyek rumah tangga adalah terciptanya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, termasuk di dalamnya adalah tercukupinya kebutuhan harta benda. Dengan demikian tidak ada yang paling berperan dalam mewujudkan tujuan keluarga, semuanya mempunyai andil yang sama, meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Jadi untuk menjadikan harta-harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta-harta yang lain ke dalam harta bersama suami istri, maka menurut fiqh bisa ditempuh dengan dua cara; yaitu dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian perkawinan pada saat akad nikah, atau dengan cara dibuat akad tersendiri antara
21
suami istri yang disebut dengan syirkah abdan. Sebab dengan akad nikah saja tidak otomatis harta-harta yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi harta bersama. Metode istidlal untuk menjelaskan hukum harta bersama ini menurut hemat penulis lebih tepat dengan pendekatan „urf dan maslahah mursalah. Sebab dengan dianggap telah menjadi „urf atau maslahah, maka harta-harta yang diperoleh selama perkawinan secara otomatis menjadi harta bersama. Dan ini lebih praktis, sebab tidak perlu upaya hukum yang bersifat aktif, seperti membuat perjanjian perkawinan maupun dengan membuat akad tersendiri. „urf menurut akar katanya berarti yang baik (ma‟ruf). Sedangkan menurut ulama‘ ushul adalah: ‖Kebiasaan mayoritas suatu masyarakat, baik berupa perkataan atau perbuatan”.38 „urf ini dalam pandangan syara‘, adakalanya sahih dan adakalanya yang fasid. Sahih jika kebiasaan itu tidak bertentangan dengan nass dan maslahat. Sedangkan dikatakan fasid jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan dalil syara‘ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‘. Ulama Ushul sepakat, bahwa hanya „urf yang sahih saja yang dapat dijadikan dalil hukum. Kebolehan berhujjah dengan „urf ini didasarkan pada prinsip-prinsip umum syari‘ah. Ayat-ayat al-Qur`an sendiri misalnya banyak yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Dari prinsipprinsip umum syari‘ah ini, maka dirumuskan beberapa kaidah fiqh yang berkaitan dengan „urf. Di antaranya adalah: “Al-adat muhakkamah” (Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum). Kaidah lain berbunyi: “As-Sabitu bi al-„„urfi ka al sabiti bi an-nass” (Apa yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan dengan nass). Para ahli ushul sepakat, bahwa hukum-hukum yang didasarkan kepada „urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman, tempat dan keadaan tertentu.39 Dilihat dari konsep „urf ini, tidak berlebihan kiranya bahwa praktek harta bersama itu telah menjadi „urf amali yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam hukum adat yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia, selain dikenal harta pribadi suami istri, juga dikenal harta bersama dengan nama yang berbeda38
Musthafa Ahmad Zarqa‘, Al-Fiqh al-Islam fi Saubihi al-Jadid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), II:
39
Jalaluddin as-Suyuti, Asybah wa an-Nadzair, (Semarang: Thoha Putra, tt.), h. 122.
840.
22
beda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing. Harta pribadi yaitu harta yang diperoleh dari warisan, di Jawa misalnya, disebut harta gawan, di Minangkabau disebut pusaka, di Sulawesi disebut sisila, dan sebagainya. Di ambon harta semacam ini adalah berupa tanah yang berasal dari membuka hutan atau membeli. Di Minahasa, dikenal dengan nama barang kelakaran. Harta-harta pribadi demikian ini biasanya tidak bisa dibagi perorangan.40 Sebagaimana harta pribadi, harta bersama juga mempunyai beberapa istilah sesuai dengan daerah masing-masing. Di Jawa disebut dengan istilah harta gono gini, di Aceh disebut dengan hareuta sihareukat, dan sebagainya. Harta peninggalan dalam konteks harta bersama ini adalah harta-harta pribadi ditambah dengan separoh dari harta bersama. Di Aceh -menurut penelitian Ismuha pada tahun 1984- harta bersama itu dibagi menjadi 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri.41 Di Jawa, pembagian harta bersama dikenal dengan istilah sepikul segendongan, sepikul (dua bagian) untuk suami dan segendongan (satu bagian) untuk istri.42 Tetapi pembagian harta bersama dengan model 2:1 ini –yang barangkali sebagai pengaruh dari hukum Islam- mulai bergeser menuju keseimbangan 1:1. Hal demikian disebabkan karena semakin majunya kaum perempuan, di samping semakin mengakarnya pengaruh hukum perkawinan Indonesia yang menganut sistem keseimbangan suami istri. Dengan demikian langkah pembaharuan hukum yang ditempuh oleh HPI, termasuk oleh Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan adanya harta bersama itu lebih banyak mengadopsi kebiasaan-kebiasaan yang berjalan di masyarakat, dan demikian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Penetapan adanya harta bersama suami istri ini, juga bisa didekati dengan metode
maslahah
mursalah/istislah,
yaitu
menetapkan
hukum
berdasarkan
kemaslahatan, karena tidak ditemukan komentar dari nass juz‟i (nass yang kongrit) atau ijma‘. Menurut al-Ghazali, maslahat itu pada prinsipnya adalah menarik manfaat dan menolak mafsadat (bahaya) dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syari‘at.43 Penetapan adanya harta bersama ini, meskipun tidak ada komentar dari Ismail Muhammad Syah, h. 320 Ismail Muhammad Syah, h. 320 42 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1981) h. 39-40. 43 Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi al-Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 286 40 41
23
nass tentang sah tidaknya, tetapi dapat memperkuat tali perkawinan dan dapat mendukung hubungan yang harmonis antara suami istri, sebagaimana yang diperintahkan oleh al-Qur`an dengan istilah mu‟asyarah bi al-ma‟ruf. Akad nikah, sebagaimana dikatakan oleh al-Qur`an sendiri merupakan misaqan ghalizhan (perjanjian yang kuat),44 dan bukan akad biasa seperti jual beli, atau akad-akad muamalah yang lain, yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan. Oleh karena itu, menjaga tali perkawinan adalah suatu keharusan, dan sebaliknya, segala hal yang dapat mengancam keutuhan tali perkawinan adalah sesuatu yang harus dihindari. Dalam hubungan suami istri, meskipun kitab-kitab fiqh terkesan enggan mensejajarkan kedudukan keduanya dalam kehidupan rumah tangga, karena suami masih dianggap mempunyai peran yang besar, tetapi sebenarnya semangat alQur`an adalah tidak demikian. al-Qur`an memandang, bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang. Hal ini bisa dipahamkan oleh zhahir nass: “Bagi laki-laki adalah bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahan” (Qs. An-Nisa` [4]: 32). Kedudukan yang seimbang ini dirasa lebih manfaat, karena suami istri akan turut bertanggung jawab terhadap keutuhan, kelanggengan dan keberhasilan suatu perkawinan, dari pada perkawinan itu hanya dimiliki oleh salah satu pihak saja. Suami istri dalam perkawinan hendaknya seperti tubuh yang satu, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat: Mereka para istri adalah pakaian bagi kalian, dan kalian juga menjadi pakaian bagi mereka” (Qs. al-Baqarah [2]: 187). Dengan demikian, keberhasilan suami adalah kebahagiaan istri, dan sebaliknya kegagalannya adalah kesedihannya. Suasana demikian akan sulit tercipta jika misalnya harta benda yang dihasilkan selama perkawinan itu hanya dikuasai oleh suami saja. Sedangkan istri untuk mempergunakannya harus mendapat persetujuan formal dari suami, sebagaimana yang diajarkan oleh kitab-kitab fiqh.
44
Qs. An Nisa‘ [2]: 21.
24
Dari pembicaraan di atas tentang hukum harta bersama, kiranya dapat disimpulkan, bahwa ditetapkannya harta bersama terhadap harta-harta yang diperoleh selama perkawinan, di samping harta-harta pribadi, -sebagaimana yang dianut oleh hukum perkawinan Indonesia- adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun terbentuknya bisa dengan cara aktif dan dengan cara pasif. Secara aktif bisa disepakati dalam perjanjian perkawinan atau dibuat akad tersendiri antara suami istri dalam bentuk syirkah abdan. Adapun secara pasif (otomatis) adalah didasarkan pada „urf dan pertimbangan maslahat
D. Pembagian Harta Bersama Arti penting dari ditetapkannya harta bersama dalam perkawinan adalah pada penguasaan dan pembagiannya. Penguasaan dan pemanfaatan dalam hal perkawinan masih masih berlangsung. Sedangkan pembagian harta bersama harus dilakukan ketika terjadi perubahan struktur keluarga, baik karena perkawinan putus atau terjadi poligami. Hukum
perkawinan
Indonesia
yang
menganut
asas
keseimbangan
kedudukan suami istri, mengatur dengan jelas penguasaan dan pembagian harta bersama. Harta bersama dikuasai secara bersama suami istri, masing-masing dapat bertindak terhadap harta tersebut atas persetujuan pihak yang lain. Sedangkan terhadap harta bawaan, masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk menguasai harta bendanya itu. Mengenai pembagian harta bersama, meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam pasal 37 UUP 1974, yaitu jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, tetapi dirumuskan dengan tegas dalam Kompilasi Hukum Iislam. Menurut KHI, apabila perkawinan putus, baik karena cerai mati atau cerai hidup, harta bersama dibagi dua, masing-masing dapat separoh. Dalam kitab-kitab fiqh yang memang tidak mengenai harta bersama, juga tidak ditemukan gambaran mengenai penguasaan dan pembagiannya. Menurut fiqh, dalam perkawinan tidak terjadi percampuran harta. Yang ada adalah hartaharta pribadi dan dikuasai oleh masing-masing. Istri tidak boleh membelanjakan harta suaminya tanpa ijin, dan demikian sebaliknya.
25
Tentang pembagian harta perkawinan, fiqh hanya mengisyaratkan bahwa hal itu dilakukan ketika perkawinan putus karena salah satu pihak meninggal, yaitu pembagian dengan cara pewarisan. Itupun tidak ditentukan secara definitif kapan pembagian itu harus dilakukan, misalnya berapa bulan atau berapa tahun setelah kematian muwarris. Adapun ketika perkawinan putus karena perceraian, fiqh tidak mengatur pembagian harta-harta perkawinan. Dalam sistem kewarisan Islam, sebelum harta peninggalan dibagi kepada ahli waris yang berhak, harus ditunaikan terlebih dahulu hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan tersebut. Yaitu biaya-biaya pengurusan jenazah, pelunasan hutang-hutang si mati, dan pelaksanaan wasiat yang tidak boleh melebihi 1/3 dari harta si mati.45 Dalam sistem pembagian seperti ini, suami (duda) mendapat bagian ½ jika tidak ada anak dan mendapat ¼ jika ada anak. Sedangkan istri (janda) mendapat bagian ¼ jika tidak anak dan 1/8 jika ada anak. Ketentuan ini telah menjadi ijma‘ ulama.46
Simpulan Jika ajaran fiqh dilaksanakan secara konsisten, seharusnya tidak hanya tiga hal-biaya tajhiz, pelunasan hutang-hutang dan wasiat yang diperhatikan sebelum harta peninggalan dibagikan. Tetapi harus diperhitungkan juga hak-hak bagi pasangan yang masih hidup. Misalnya, seorang suami meninggal, sebelum harta warisan dibagi, selain terlebih dahulu dikurangi untuk tiga hal tersebut, maka harus dihitung hak-hak istrinya, seperti mahar yang belum lunas, nafkah-nafkah yang terhutang, dan hadiah-hadiah khusus yang telah diberikan suaminya. Demikian juga sebagai akibat dari prinsip adanya harta bersama, maka harta peninggalan itu harus dibagi menjadi dua, separoh untuk pasangan yang masih hidup dan separohnya lagi sebagai harta warisan. Dengan konsep seperti ini, maka perolehan pasangan yang masih hidup adalah ½ dari harta bersama ditambah bagian warisannya.
Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Mawaris, (Beirut: ‗Alamul Kutub), h. 30. Ibid., h. 46. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, III: 470; Bandingkan juga dengan pasal 179-180 Kompilasi Hukum Islam. 45 46
26
Perhitungan dan pembagian harta-harta perkawinan ini hendaknya juga dilakukan ketika terjadi poligami atau perceraian. Ketika terjadi poligami, berarti telah terbentuk satu keluarga baru dengan istri-istri kedua, ketiga atau keempat, di samping keluarga yang telah terbentuk dengan istri pertama. Harta perkawinan juga harus diperhitungkan dan dibagi ketika terjadi perceraian. Karena perceraian mempunyai akibat yang sama dengan kematian, yaitu putusnya tali perkawinan. Bedanya, ketika terjadi kematian, harta-harta peninggalan dibagi untuk semua ahli waris. Sedangkan ketika terjadi perceraian, harta hanya dibagi kepada bekas suami dan istri itu, dan anak-anak masih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Alasan perlunya diadakan pembagian ini adalah untuk menghindari terjadinya percampuran harta. Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Ibnu Mas‘ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i as-Sana‟i, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub alIlmiyah, tt.). Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid (Beirut: Dar al-Fikr, tt.). Tantawi Jauhari, Al-Jawahir, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi wa Auladihi, 1350H). Syaikh Nawawi al-Bantani, Syarkh Uqud ad-Dulujain, (Surabaya: Dar al-Ihya‘ alKutub, tt). Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409H/1989M). Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘ashir, tt). Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, (Beirut : Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah, 1414H/1993M). Murtadha Muththahari, Nizamu Huquq al-Mar‟ah fi al- Islam, (Teheran: Sa‘ihar, 1405H/1985M).
27
Sa‘di Abu Habieb, Al-Maushu‟ah fil Fiqh Al-Islami, Terj. KH. Sahal Mahfudz, ―Ensiklopedi Ijma‖, (Jakarta : Pustaka Fiedaus, 1987). Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqh „ala Madzahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr lit Thiba‘ah, tt). Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta : Basrie Press, 1414H/1994M), hlm. 418 Suyuti Talib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986). Syaifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiah, 1983). Yusuf Mahmud Abdul Maqsud, Ahkam Al-Syarikat fil Fiqh al-Islami Al-Muqaran, (AlAzhar : Ddar at Thiba‘ah Al-Muhammadiyah, 1980M/1400H). Musthafa Ahmad Zarqa‘, Al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi Al-Jadid, Juz 2, (Beirut : Dar alFikr, 1976). Jalaluddin al Suyuthi, Asybah wa Nadzair, (Semarang : Thoha Putra, tt.). Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma‟arif, 1981). Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ilmi Al-Ushul, Juz 1, (Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1983). Muhammad Ali As Shabuni, Al-Mawarits, (Beirut : ‗Alamul Kutub).
28