ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan, hak, dan kewajiban anak dalam perkawinan. Secara yuridis, kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian, menurut ketentuan limitatif dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.35 Bapak biologisnya tidak dibebani kewajiban alimentasi. Termasuk dalam hal pewarisan, anak tersebut hanya akan mewaris dari ibu dan keluarga ibunya. Di dalam akta kelahiran sebagai bukti asal usul anak, hanya akan dicantumkan nama ibunya. Ini berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait uji materiil terhadap Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang sebelumnya anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya kini menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya bila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
35
TESIS
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Loc. Cit.
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum. Anak luar kawin yang dimaksud di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, yaitu, anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tetapi perkawinan tersebut tidak dicatatkan sehingga tidak mengandung kekuatan hukum karena perkawinan itu tidak memenuhi segi-segi hukum secara formal, yaitu, dengan dicatatkannya perkawinan di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang bukan beragama Islam. Pada Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 juga diatur bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan. Hal ini dapat dilakukan apabila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Dan pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Dalam penjelasan Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah. Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Jadi, kewajiban orangtua memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini juga berarti bahwa meskipun anak sudah kawin, tetapi dalam kenyataannya belum dapat berdiri sendiri, masih tetap merupakan kewajiban orangtua untuk memelihara anak, walaupun terjadi pembatalan perkawinan yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orangtuanya.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sebaliknya, Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya bila orangtua memerlukan bantuan anak yang sudah dewasa tersebut. Jadi, kewajiban anak terhadap orangtuanya adalah menghormati oragtua dan menaati kehendak orangtua yang baik, meskipun terjadi perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orangtuanya. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, menurut Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, anak tersebut ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama tidak dicabut dari kekuasaannya. Kemudian menurut ayat (2) dari Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 itu, orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Rasio hukum dari ayat (2) Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah anak yang belum dewasa tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam lapangan hukum keperdataan, sehingga perbuatan hukum si anak tersebut diwakili oleh orangtuanya, dalam arti orangtuanya yang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama anaknya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kedudukan, hak, dan kewajiban anak dalam keluarga atau rumah tangga menurut KHI khususnya Pasal 98-Pasal 106. Pasal 98 KHI memuat ketentuan definitif bahwa batas usia anak yang mampu berdiri atau dewasa adalah 1 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kemudian Pasal 99 KHI memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Anak yang lahir di luar perkawinan menurut Pasal 100 KHI hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya, Pasal 101 KHI memuat ketentuan fakultatif bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an. Seorang suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, menurut Pasal 102 KHI, mengajukan gugatan kepada pengadilan agama dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sesudah lahirnya atau 360 (tiga ratus enam puluh) hari setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama. Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Pasal 104 KHI membebankan tanggung jawab atas semua biaya penyusuan anak kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Berikutnya, Pasal 106 KHI mewajibkan orang tua untuk merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuannya dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya, kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dari kewajiban tersebut.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pada dasarnya, anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah adalah anak sah. Dengan demikian anak itu memiliki kedudukan yang terpenting meskipun hubungan perkawinan orang tuanya telah putus. Anak tetap mempunyai hak mewaris dan tidak menghilangnya kewajiban alimentasi orang tua terhadap anak. b. Akibat hukum terhadap kedudukan, hak dan kewajiban anak dalam perkawinan yang dibatalkan. Dalam perkawinan yang telah dikarunia anak, maka mengenai kedudukan anak dalam hal perkawinan orangtuanya menjadi persoalan tersendiri karena antara orangtua dan anak ada kewajiban-kewajiban yang diatur oleh Undang Undang. Kewajiban tersebut terus berlangsung meskipun antara suami istri telah putus perkawinannya, dimana putusnya atau berakhirnya perkawinan itu karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Pembatalan perkawinan ditujukan agar tidak menimbulkan akibat suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak terlindungi oleh hukum. Dengan adanya kekurangan persyaratan atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah sehingga secara sepintas terkesan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum. Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka sah atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara ditentukan pula oleh sah tidaknya perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pada dasarnya, UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai masalah akibat hukum dari pembatalan perkawinan, begitu juga dalam PP No. 9 Tahun 1975 tidak diatur lebih lanjut pula mengenai akibat dari pembatalan perkawinan.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun dalam penjelasannya tidak terdapat bab atau bagian yang secara khusus mengatur secara jelas mengenai status anak yang dilahirkan dari akibat perkawinan yang dibatalkan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang status anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang dibatalkan. Apabila dalam perkawinan dilahirkan anak-anak, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang akibat putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya tetap merupakan anak sah walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Karena anak dan orang tuanya mempunyai hubungan kekeluargaan dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas diri anak tersebut. Undang-undang memberikan pengaturan terhadap status anak yang perkawinan orang tuanya dibatalkan oleh Pengadilan. Dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a UU No. 1 Tahun 1974 yang juga sama dengan yang terdapat pada pasal 95 BW, diatur mengenai kedudukan anak akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap terhadap pembatalan perkawinan. Dalam pasal tersebut di atas intinya menyebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Jadi walaupun perkawinan kedua orangtuanya oleh pengadilan telah diputuskan dibatalkan, akan tetapi putusan pengadilan tidak mempengaruhi kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dan mereka tetap dianggap anak sah yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah. Pengertian anak yang dimaksud dalam hal ini, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan36 adalah tidak hanya anak-anak yang dilahirkan saja akan tetapi juga anak yang dibenihkan sepanjang proses pembatalan hingga perkawinan dinyatakan batal oleh 36
TESIS
Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Op. Cit., h. 38-39.
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pengadilan, juga pengesahan anak-anak luar kawin menurut ketentuan Pasal 272 BW. Demikian juga apabila ada anak adopsi yang dilakukan oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka yang perkawinan mereka dinyatakan batal, anak adopsi tetap akan sah dan tidak menjadi batal karena adanya putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tua mereka. Pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan status dari anak dari perkawinan yang dibatalkan merujuk kepada Pasal 28 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa dengan adanya pembatalan perkawinan tidak menyebabkan anak-anak yang lahir di dalam perkawinan tersebut statusnya menjadi anak luar kawin. Sebab sesuai dengan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 (b) KHI yaitu keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan terhadap perkawinan tersebut. Dalam Pasal 76 KHI juga menyebutkan batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Maka dengan dibatalkannya perkawinan antara suami istri tersebut tidak akan memutuskan hubungan antara anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu dengan kedua orang tuanya. Baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI dengan tegas dinyatakan bahwa anakanak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan dinyatakan tidak berlaku surut, meskipun salah seorang dari orang tuanya beritikad buruk/ keduanya beritikad buruk. Ini berdasarkan rasa kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa sehingga patut untuk mendapatkan perlindungan hukum dan tidak seharusnya bila anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan orangtuanya. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan statusnya jelas anak sah sehingga ia berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris. Dalam Pasal 105 KHI disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak dari ibunya,
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dan ia berhak untuk memilih untuk tinggal dengan ayah atau ibunya setelah ia mumayyiz. Namun biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya, hal ini berlaku sampai dengan anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini berlangsung terus walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus.
2. Status Harta Benda Perkawinan dalam Perkawinan yang Dibatalkan a.
Harta benda dalam perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting terhadap manusia
dengan berbagai konsekuensi hukumnya.37
Apabila seorang pria dan wanita kawin maka
menimbulkan akibat hukum, karena kawin adalah suatu perbuatan hukum. Akibat hukumnya, yaitu pria menjadi suami dengan kedudukan sebagai kepala keluarga dan wanita menjadi istri yang bertindak sebagai ibu rumah tangga. Akibat hukum itu tidak hanya bagi mereka, tapi juga terhadap harta mereka. UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Adapun yang merupakan prinsip dasar tentang harta perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU NO. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut38 : 1. Harta bawaan ke dalam perkawinan menjadi hak masing-masing pribadi yang membawa harta tersebut ke dalam perkawinan; 2. Seluruh hasil dari harta bawaan menjadi hak pribadi dari pemilik harta bawaan tersebut; 3. Seluruh harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan, hibah atau wasiat menjadi hak pribadi dari penerima warisan, hibah atau wasiat tersebut;
37
Munir Fuady, Op. Cit., h. 10.
38
Ibid, h. 21-22.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4. Seluruh harta yang didapat oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak selama dalam perkawinan (kecuali harta yang diperoleh karena warisan, hibah atau wasiat) menjadi milik bersama suami istri (gono gini); 5. Para pihak dapat menentukan sendiri status hartanya dalam perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Dari prinsip-prinsip dasar di atas, pada intinya menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, terdapat 2 (dua) macam harta dalam perkawinan, yang pertama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan sebagai harta bersama, yang kedua adalah harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami dan istri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Pola terpisah di atas dibandingkan dengan BW jauh berbeda. Harta tersebut menyatu berdasarkan Pasal 119 BW, bahwa sejak perkawinan dilangsungkan, maka berlakulah persatuan harta kekayaan suami dan istri, tidak nampak lagi harta mana yang dibawa oleh pria atau wanita. Ketentuan ini dapat disimpangi dengan dibuatnya perjanjian kawin. Tentang kewenangan bertindak terhadap harta-harta semasa suami dan istri masih dalam status perkawinan adalah sebagai berikut39 : 1. Terhadap harta pribadinya, masing-masing suami atau istri dapat bertindak sendirisendiri tanpa perlu bantuan dari pihak lainnya; 2. Terhadap harta bersama (gono gini) masing-masing istri atau suami bertindak dengan persetujuan pihak lainnya; 3. Jika para pihak bercerai hidup, maka harta bersama (gono gini) dibagi sesuai dengan hukumnya masing-masing, yang umumnya dibagi dua sama besar. Kewenangan bertindak terhadap harta di atas tercermin dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974, mereka yang membawa harta bawaan tetap diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum atas harta yang dibawanya. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, wanita sebagai istri tetap dianggap berwenang melakukan perbuatan hukum.
39
TESIS
Ibid.
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 siapa yang membawa harta berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Misalkan, seorang istri berwenang menjual hartanya sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) yang menunjukkan kedudukan seimbang suami istri. Pola yang dianut dalam Pasal 36 UU No. 1 tahun 1974 adalah pola terpisah. Pola seperti ini dikenal dalam hukum adat sehingga ada harta gono gini. Bila perkawinan putus cara pembagian harta secara konkrit tidak ada. Menurut Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, harta bersama dibagi menurut hukumnya masing-masing dan harta bawaan akan kembali pada masingmasing. Arti dari hukum masing-masing adalah hukum agama, adat, dan hukum-hukum lainnya.
b.
Status harta benda perkawinan dalam perkawinan yang dibatalkan. Meskipun di dalam kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas mengenai perkara
pembatalan perkawinan tidak di singgung mengenai harta bersama oleh Majelis Hakim baik dalam pertimbangan hukum maupun dalam putusannya dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan seperti diuraikan di atas dapat diperoleh suatu kepastian bahwa dalam hal harta bersama sebagai akibat dari pembatalan perkawinan sejauh ini belum ada peraturan yang secara pasti mengatur mengenai status harta bersama tersebut, maupun bagaimana pembagiannya terhadap masing-masing pihak adalah merupakan hal yang penting. Menurut Pasal 85 KHI, dalam perkawinan ada harta bersama dan ada harta milik masingmasing suami atau istri. Terhadap harta kekayaan bersama (gono gini), tetap merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian termasuk bunga-bunga yang harus di tanggung. Harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan,
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad buruk dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik dianggap tidak pernah ada. Di dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan di dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 87 ayat (1) KHI disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Akibat hukum dari perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian, dalam hal status harta bersama perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian pengaturannya sudah cukup jelas bahwa terhadap harta bersama menjadi akibat hukumnya dan pembagiannya diatur dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yakni, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam hal pembagian harta bersama terhadap perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian, juga diatur dalam Pasal 97 KHI, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, dan untuk perkawinan yang putus karena kematian diatur dalam Pasal 96 KHI yakni apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Menurut analisa penulis, status harta bersama dalam pembatalan perkawinan apakah terhadap harta bersama tersebut dapat diberlakukan surut atau tidak. Status harta bersama
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah tetap menjadi hak kedua belah pihak dan pembagian harta setelah adanya pembatalan perkawinan dilakukan sebagaimana pembagian harta yang dilakukan dalam perkara putusnya perkawinan karena kematian maupun perceraian. Dan dalam hal ini pada hakikatnya harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung tanpa melihat siapa yang memperoleh harta tersebut, dan pembagian harta bersama dibagi dua secara adil kepada suami dan isteri karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban terhadap harta tersebut, hal ini seperti di tegaskan dalam pasal 89 dan 90 KHI. Maka dalam sengketa harta bersama terhadap perkara pembatalan perkawinan harta yang dihasilkan selama dalam waktu perkawinan yang kemudian perkawinannya dibatalkan tersebut dibagi, masing-masing seperdua terhadap suami istri dari harta yang dimiliki sebagaimana halnya peraturan terhadap harta bersama yang dibagi dalam perkara perceraian maupun kematian. Menurut Pasal 28 ayat (2) huruf b UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan suami atau istri dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama karena adanya alasan perkawinan yang lebih dahulu. Dari Pasal ini dapat dipahami bahwa pasal tersebut merupakan salah satu akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang tidak diberlakukan surut dalam hal harta bersama namun hal ini dikecualikan harta bersama yang pembatalan perkawinannya berdasarkan alasan adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka makna dari pasal tersebut jelas bahwasannya harta bersama menjadi akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang tidak berlaku surut dan harta bersama berlaku surut ketika pembatalan perkawinan berdasarkan alasan adanya perkawinan yang lebih dahulu. Harta bersama menjadi akibat hukum dari pembatalan perkawinan, karena pembatalan perkawinan merupakan perkawinan yang putus karena putusan pengadilan, maka penyelesaian
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
harta bersamanya sama dengan putusan perkawinan oleh sebab perceraian. Oleh karena itu apabila terdapat perselisihan antara suami istri terhadap harta bersama penyelesaiannya dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagaimana bunyi pasal 88 dalam KHI yaitu, “Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”. Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perselisihan harta bersama tersebut, sebagaimana bunyi pasal 49 undang-undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Ketentuan-ketentuan kewenangan Pengadilan Agama di atas yang dimaksud dengan bidang perkawinan cakupannya sangat luas yakni yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang salah satunya menyangkut soal harta bersama sebagai akibat hukum pembatalan perkawinan. Pembagian harta bersama dalam perkawinan yang dibatalkan dibagi sama halnya dalam harta bersama sebagai akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu masingmasing pihak berhak mendapatkan seperdua dari harta bersama, seperti yang ditegaskan dalam KHI pasal 97 yaitu Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3. Analisis Kasus Akibat Hukum Terhadap Status Anak dan Harta Benda Perkawinan dalam Perkawinan yang Dibatalkan Dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 75 huruf b KHI yaitu keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tersebut dan di dalam Pasal 76 KHI menyebutkan batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan antara anak dengan orang tuanya. Terhadap ketentuan-ketentuan ini, perundangundangan memandang anak memiliki kedudukan terpenting dengan berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak, bahwa kesalahan orang tua mereka tidak pantas ditanggung kepada anakanak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut. Oleh karena itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut status hukumnya adalah jelas dan kedudukannya adalah sah sebagai anak dari orang tua mereka. Dengan demikian pembatalan perkawinan tersebut tidak mengakibatkan hilangnya status anak. Dengan demikian dari kasus-kasus pembatalan perkawinan yang telah diuraikan dalam Bab II, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 1551/Pdt.G/2012/PA.Sby dan hasil perkawinan antara Jessica dan Ludwig adalah tetap berstatus anak sah, pembatalan tidak mengakibatkan hilangnya status anak. Anak tetap mempunyai hak mewaris dan tidak menghilangnya kewajiban alimentasi orang tua terhadap anak. Kasus pembatalan perkawinan antara Jessica dan Ludwig yang masih dalam proses belum diputus pengadilan, bila dalam perjalanan Ludwig tidak mengakui anak dari hasil perkawinan tersebut, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum sehingga Ludwig tidak dapat mengelak tanggung jawabnya terhadap kehidupan anak itu. Selain anak sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, mengenai harta benda perkawinan sejauh ini belum ada peraturan yang secara pasti mengatu mengenai status harta
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
benda tersebut maupun pembagiannya terhadap masing-masing pihak. Status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah tetap menjadi hak kedua belah pihak dan pembagian harta setelah adanya pembatalan perkawinan dibagi dua secara adil kepada suami dan istri karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban terhadap harta tersebut. Dalam hal pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri dalam kasus-kasus tertentu di kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ini ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini pembagian harta bersama tersebut dibagi berdasarkan porsi yang memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan.
TESIS
PUTUSNYA PERKAWINAN ...
INGGRID MARIA LAKE