1
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA Oleh: Hj. Fitriyani Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DPK STAINU Jakarta Email:
[email protected] Abstrak: Marriage in Islam is a contract or binding agreement between a man and a woman to justify sexual intercourse between the two sides voluntarily. Medium siri marriage is a marriage conducted by the guardian of women with a man and witnessed by two witnesses, but not reported or not recorded in the Offic of Religious Affairs(KUA). The legal consequences of marriage siri against women in this case the wife is as follows: By law: a) The wife is not considered a legal wife; b) The wife is not entitled to make a living and the legacy of her husband when he died; c) The wife is not entitled to the treasure-gini Gono in case of separation, because by law you are considered a marriage never took place. Socially: Wife will be difficult to socialize because women who do marriage siri is often considered to have been living at home with men without marriage. The legal consequences of marriage siri on the status of children. A child who is legal according to the legislation is the result of a legitimate marriage. It is listed in the Act 1 of 1974 on Marriage, Article 42 Paragraph 1: Children who are legitimate children who were born in or as a result of legal marriage. It refers to that status a child has a blood relationship with both parents. In some cases about the rights of children unofficial marriages are the result of difficulty in handling legal rights such as income, inheritance, or birth certificate. Ithbat register marriages with the marriage but could not prove the marriage with a marriage certificate, can apply for a marriage ithbat (determination / approval of marriage) to the religious court as stipulated in Islamic Law Compilation. Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela. Sedang perkawinan siri adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang lakilaki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Akibat hukum nikah siri terhadap perempuan dalam hal ini istri adalah sebagai berikut: Secara hukum: a) Istri tidak dianggap sebagai istri sah; b) Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; c) Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial: Istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan siri sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan. Akibat hukum nikah siri terhadap status anak. Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum
2
dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orang tuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran. Adapun solusi yang bisa ditempuh jika ingin pernikahannya sah diharapkan dengan cara melakukan itsbat nikah di Pengadilan. Kata Kunci: Akibat, Hukum, Perkawinan Siri, Perempuan I. Pendahuluan Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya pernikahan, baik itu pria ataupun wanita, karena manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan dan pernikahan itu adalah suatu yang sangat sakral sehingga orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam memepersiapkan pernikhanannya, berbicara jauh masalah pernikahan ada beberapa versi dalam pengartian atau pengertian pernikahan itu sendiri diantanya sebagi berikut: Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhloi Allah swt.1 Namun jika dilihat dari segi agama perkawinan itu memiliki, dua cara pengartiannya yaitu: 1) Pengertian secara bahasa, Al-nikah yutlaq Kata al-nikah secara umum digunakan dalam makna persetubuhan, namun juga bermakna akad tanpa persetubuhan. 2) Pengertian secara istilah 1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1. (Cet. VII; Pustaka Setia: Bandung, 2009), h. 9.
3
Secara umum Fuqaha’ memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “Sebuah akad yang menghalalkan bagi kedua belah pihak untuk bersenang-senang sesuai dengan syariat.”2 Meskipun terdapat definisi lain yang berbeda redaksinya, semua definisi itu memberikan pengertian yang sama, bahwa obyek akad perkawinan adalah memberikan hak untuk bersenang-senang sesuai dengan syariat, sehingga perkawinan itu dipandang oleh manusia dan syariat- menjadikan bersenang-senang itu sebagai perbuatan yang halal. Namun jika di tinjau menurut undang-undang adalah sebagai berikut: Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Pada hakekatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin manusia untuk hidup brsama antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah meneruskan generasi-generasi keluarga mereka. Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin bawa lari, kawin di bawa tangan dan juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin yang skarang paling popular dimasyarakat yakni kawin 2
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. (Cet. II; Pustaka Kautsar: Jakarta Timur, 2011), h. 29. 3
Undang-Undang Perkawinan Indonesia dilengkapi dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga dan Kompilasi Hukum Islam. (Cet. I; WIPRESS: tt, 2007), h. 2.
4
siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan nikah (KUA). Menurut hukum Islam bagaimanapun bentuk dan model suatu perkawinan, jika selama masih atau telah memenuhi syarat sah dan rukun perkawinan maka perkawinan itu dianggap sah namun jika menurut hukum perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaanya, suatu perkawinan akan ada kekuatan hukum bila dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu di KUA bagi muslim dan di KCS bagi non muslim. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Nikah Siri Pengertian dari nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).4 Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat
4
Mukhobar dkk, Glosarium Perkawinan, Istilah-Istilah dalam Perkawinan, (Cet. I; Dar ElIkhsan: Bambu Apus Pamulang, Tangerang Selatan, 2013), h. 31.
5
resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.5 Nikah siri adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia saat ini. Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka yang melaksanakan pernikahan siri ini tidak melaporkan pernikahan mereka kepada pihak yang berkompeten dalam bidang tersebut yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beagama non muslim. Perkawinan siri biasanya dilakukan dihadapan tokoh masyarakat atau ustadz sebagai penghulu, atau ada juga yang dilakukan secara adat-istiadat saja kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwewenang untuk dicatatkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 6 Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, perkawinan siri banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah tangga. Akibat hukumnya bagi perkawinan yang tidak memiliki
5
Abdullah Jayadi, Fenomena Nikah Sirri Presfektif Makna Pelaku Nikah Sirri, (Cet. I; Putra Media Nusantara, Surabaya: 2012), h. 4. 6
Loc. cit., h. 2.
6
akte nikah, secara yuridis suami/istri serta anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anakanaknya hanya akan diakui oleh Negara sebagai anak diluar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri dan anak yang ditelantarkan oleh suami dan ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama. B. Akibat hukum nikah siri terhadap perempuan (istri) dan anak. Perkawinan siri berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. a.
Secara hukum: 1.
Istri tidak dianggap sebagai istri sah;
2. Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; 3. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;7 b. Secara sosial Istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau istri tersebut dianggap menjadi istri simpanan. C. Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Anak Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah8. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah 7
Abdullah Jayadi, op.,cit. h. 7. Op. Cit., h. 12-13.
8
7
dengan kedua orang tuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran. Status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka status anak dikatakan di luar nikah. Secara agama, status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah berdasarkan agama yang tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya9. Sehingga risiko akibat ketidaktahuan perempuan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia menyebabkannya termasuk golongan yang merugi akibat dari kebodohannya sendiri. D. Solusinya Adapun yang dapat dilakukan bila perkawinan siri sudah terjadi. 1.
Bagi yang Beragama Islam Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah namun tak dapat membuktikan
terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7).10 Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
9
Ibid., 13.
10
Ibid., 176.
8
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi untuk perkawinan siri, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang. Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin. Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan. 2. Bagi yang beragama non-Islam Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan
9
harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara). 3. Pengankatan anak Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata. III. PENUTUP Berdasarkan uraian tentang akibat hukum pernikahan siri terhadap perempuan dan anak di Indonesia, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). 2. Akibat hukum nikah siri terhadap perempuan dalam hal ini istri adalah sebagai berikut: Secara hukum: a) Istri tidak dianggap sebagai istri sah; b) Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; c) Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial: Istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan siri
10
sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan. 3. Akibat hukum nikah siri terhadap status anak. Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah11. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orang tuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran. 4. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). DAFTAR RUJUKAN Ahmad Saebani Beni, Fiqh Munakahat 1. Pustaka Setia, Bandung, 2006. Hasan Ayyub Syaikh, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. Pustaka Kautsar, Jakarta Timur, 2011. Isna Wahyudi Muhammad, Pembaharuan Hukum Perdata Islam Pendekatan dan Penerapan, Mandar Maju, Bandung: 2014. Jayadi Abdullah, Fenomena Nikah Sirri Presfektif Makna Pelaku Nikah Sirri, Cet. I; Putra Media Nusantara, Surabaya: 2012. Mukhobar dkk, Glosarium Perkawinan, Istilah-Istilah dalam Perkawinan, Cet. I; Dar El-Ikhsan: Bambu Apus Pamulang, Tangerang Selatan, 2013. Osman El-Khosht Mohamed, Fiqh Wanita Dari Klasik Sampai Mosern. Tinta Media, Solo, 2013.
11
Ibid., h. 12.
11
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2006. Undang-Undang Perkawinan Indonesia dilengkapi dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga dan Kompilasi Hukum Islam. WIPRESS, tt. 2007. Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. 2006.