FENOMENA NIKAH SIRI DI INDONESIA DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM DAN KAITANNYA DENGAN LEGISLASI PENCATATAN PERKAWINAN Zulfan Lecturer of Syariah Faculty at IAIN Imam Bonjol Padang Jl. Jendral Sudirman, No. 15, Padang, Sumatera Barat 25132 Email :
[email protected]
Abstract Sirri marriage is also known under the hand of the marriage is marriage practices that occurred in some communities in Indonesia are carried out by an employee is not recorded through marriage registrar. the practice of marriage Sirri in society is a matter that dilemma. This is because by jurisprudence, marriage Sirri done with harmony and fulfill the requirements of marriage is a valid marriage in religion, however, legally valid marriage in Indonesia, Sirri marriage is not a legally recognized marriage. Keywords: Nikah Siri; Sociology of Law; Marriage Registration Abstrak Pernikahan sirii juga dikenal pernikahan bawah tangan, pernikahan ini adalah praktek pernikahan yang terjadi di sebagian masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh seorang karyawan yang tidak dicatat melalui Panitera pernikahan. Praktik pernikahan sirri di masyarakat adalah masalah dilema itu. Hal ini karena dengan yurisprudensi, pernikahan sirri dilakukan dengan harmoni dan memenuhi persyaratan pernikahan adalah pernikahan yang sah dalam agama, namun, secara hukum perkawinan yang sah di Indonesia, Sirri pernikahan bukanlah pernikahan diakui secara hukum. Kata Kunci: Nikah Siri; Sosiologi Hukum; Pencatatan Perkawinan. PENDAHULUAN Nikah sirri
atau yang disebut juga dengan pernikahan bawah tangan, atau
pernikahan tidak tercatat merupakan fenomena sosial yang cukup marak terjadi di masyarakat saat. Praktek nikah siri tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam, tetapi juga dilakukan publik figur. Diantara praktek nikah sirri yang dilakukan oleh publik figur adalah pernikahan yang dilakukan oleh Rhoma Irama dengan Richa Rahim dan juga Angel Lelga, pernikahan yang dilakukan oleh Syech Puji dengan gadis belia, pernikahan yang dilakukan oleh Moerdiono dengan Machica Muchtar, dan yang paling hangat akhir-akhir ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pejabat bupati Garut yang bernama Aceng Fikri, yang terkenal dengan pernikahan kilat, yang hanya berjalan selama 4 hari. Ketentuan tentang wajibnya mencatatkan pernikahan kepada pejabat yang berwenang sudah jelas dalam peraturan perundang-undangan. Di samping itu praktek 281
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
nikah sirri ini juga akan berakibat buruk bagi rumah tangga pelakunya, terutama bagi pihak isteri dan anak-anak, namun demikian, dalam kenyataannya, praktek nikah siri tersebut masih sangat marak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tentunya banyak yang menyebabkan tetap maraknya praktek nikah sirri di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, pada makalah ini akan akan dibahas fenomena nikah siri yang terjadi di tengah-tengan masyarakat, berikut faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya nikah sirri tersebut dalam masyarakat. KETENTUAN
PERNIKAHAN
DALAM
KITAB
FIKIH
DAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Kata pernikahan dan perkawinan merupakan dua istilah yang sering digunakan dengan makna yang sama. Kata pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqih disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( )نكاحdan zawaj ( ) زواج. Kedua kata inilah yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis nabi.1 Secara bahasa, nikah berarti ‚ bergabung‛ ( berarti ‚akad‛ (
عقد
).2
ضم
), ‚hubungan kelamin‛ (
وطء
menurut syara’ adalah ‚ akad yang ditetapkan
) dan juga syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki ‛.3 Menurut Hasan al-Ayyubi dalam buku Fikih Keluarga mengatakan nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi (metafora).4 Hal ini di dasarkan pada firman Allah S.W.T dalam surat an-Nisa ayat 25 sebagai berikut:
ۡ ۡ ۡ تو ۡ ۡ ۡ ِ ِ َت ۡٱلم ۡؤِمَٰن ِ َومن ۡمَّل ي ۡستَ ِط ۡع ِمن ُك ۡم طَ ۡواًل أَن ينكِح ۡٱلم ۡحصَٰن ُ ُكم ت فَ ِمن ما َملَ َكت أَيََٰنُ ُكم ِّمن فَتَ َٰيَتِ ُك ُم ٱل ُمؤِمَٰنَ ِ َ م ُ ۡۡ ََ ٱَّلُ أَعلَ ُم ِِِيََٰن ُكم َ ُ َ َۡ ۡ َ ََ ُ ۡ ِ ۡ ِۡ ۡ صن فِإن أَت ۡ ت أ َۡخدان فِإذا أ ۡ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ َٰ ِِ ِ َٰ ي ُح ذ مخ ت م ًل و ت ح ف س م ر ي غ ت ن ص ُم وف ر ۡ م ٱل َ ن ى ور ج ُ أ ن وى ت ا ء و ن ه ل َى أ ن ذ ِ ن وى ح ٱنك ف ض ۡۡ ََ ِّم ۢن َٰ َ ُ ََ َ ََٰ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ م َ َ ُ ُ م ُ َ ُ م ََ َ م َ ََ َم ُ ُ ۡ ِ ۡ ِ ِ َٰ ِ ۡ ِ ِ ۡ ۡ ۡ ۡ ِۡ ۡ ِ ٥٢ ٱَّلُ غَ ُفور مرِحيم ت ِمن ُك ۡم َوأَن تَصِبُواْ َخۡي لم ُك ۡم َو م َ صَٰنَت م َن ٱل َۡ َذاب ذَل ُ َِ ََٰفح َشة فَ َۡلَي ِه من نص َ َك ل َمن َخش َي ٱل َۡن َ ف َما َعلَى ٱل ُمح Artinya: maka nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka (an -Nisa 25) Dalam bahasa Indonesia perkawinan itu berasal dari kata kawin yang berarti
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.5 Sedangkan menurut istilah terjadi perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam mendefenisikan pengertian perkawinan ini. Menurut Wahbah al-Zuhaily perkawinan itu adalah:
ابلوطء واملباشرة والتقبيلوالُم،عقد يتُمن اابحة اًل ستمتاع ابملراة .اوصهر
اذا كانت املراة عۡي ُمرم َنسب اورضاع،و غۡي ذالك
1 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana. 2006) hlm. 35 2 Ibid, hlm. 35 3 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana. 2003) hlm. 8 4 Syek Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), Cet. 5, hlm 3 5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. 3, edisi kedua, hlm. 456
282
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
Artinya : Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi dan berkumpul dengan wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturun atau persusuan Pendapat ini menitikberatkan pernikahan kepada kebolehan melakukan hubungan persetubuhan dengan seorang wanita yang wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan secara syar’i. Defenisi lain dikemukakan oleh Abu Yahya Zakaria al Ansary dalam kitab Fath al-Wahhab, yaitu:
انكح شرعاىو عقد تُمن اابحة وطئ َفط انكاح او حنوه Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.6 Menurut Hanabilah nikah adalah:
ىو عقد َلفظ انكاح اوتزويج على منفۡة اًلستمتاع وىم يريُون ابملنفۡة األنتفاع وكغۡيىم ألن املراة الىت وطۡت َشبهة اوَزن Artinya: Akad yang mengunakan lafaz inkah yang bermakna dengan tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk besenang -senang.7 Abu Zahrah dalam kitabnya al-ahwal al-syaksiah mendefenisikan nikah dengan: . ٔيحد يا انكهيًٓا يٍ حقٕق ٔيا عهيّ ٔاجباث، ٔحعا ًَٔٓا،عقد يفيد حم انعشر بيٍ انرجم ٔ انًرأة Artinya: Nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan hubungan persetubuhan antara laki -laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.8 Dalam redaksi yang berbeda juga diungkapkan oleh Imam Taqiyudin dalam kitab Kifayat al-Akhyar nikah adalah:
ويطلق على الۡقد وعلى الوطء،عباره عن الۡقد املشهور املشتمل على اًل ركان والشروط
Artinya: Nikah adalah, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wata’.9 Selain dari ulama fikih di atas, ulama Indonesia dan undang -undang hukum positif Indonesia juga ikut memberikan defenisi tentang perkawinan ini. Diantaranya pendapat yang diungkapkan Zakiah Drajat yang mengatakan bahwa perkawinan itu adalah:
عقد يتُمن اابحة وطئ َلفظ النكاح او التز ويج او مۡنا مها Artinya: Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual denga lafas nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.10 Menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan membentuk keluarga yang 6 Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab,Syarah Minhat al-Thullab, (Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t.), Juz 2, hlm. 30 7 Abdul Rahman al -Jaziri, Kitab’ ala Mazhahib al-Arba’ah, (Mesir: Dar al –Irsyad, 1986), Juz IV, hlm.3 8 Muhammad Abu Zahrah, al -Ahwal al -Syaksiah, (Qahira: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), hlm, 19 9 Imam Taqiyuddin, Kifayat al -Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t), Juz II, hlm. 36 10 Zakiah Drajat(et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1950), jilid 2, hlm. 37
283
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.11 Selain dari itu Hazairin juga mendefenisikan bahwa inti dari perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah tanpa hubungan seksual.12 Menurut Ibrahim Hosen perkawinan adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Secara lebih tegas dapat didefenisikan perkawinan sebagai hubungan seksual (bersetubuh).13 Pendapat yang menarik juga diungkapkan oleh Tahir Mahmood yang mendefenisikan perkawinan adalah sebagai sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita masingmasing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Illahi.14 Seiring dengan defenisi perkawinan di atas, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Sedangkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Hal yang senada juga dikatakan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnahtullah yang berlaku kepada semua makhluk Tuhan.16 Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia untuk beranak pinak, berkembangkan biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing -masing siap melakukan peranya yang postif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Demi menjaga hal ini Allah menetapkan hukum sesuai dengan martabat dan kemulian manusia itu sendiri. Adapun dasar pensyariatan nikah banyak terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya adalah17: 1)
Surat ar-Rum ayat 21
ٍ وِمن آَيتِِو أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزواجا لِتس ُكنُوا إِلَي ها وجۡل َ ي نَ ُكم مومدةا ور ْحةا إِ من ِِف ذَلِك آلَي ت لَِق ْوٍم َ َ َ َ َ ْ َْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َْ ْ َ ا 18 يَتَ َف مكُرو َن
Artinya: ‚ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah ia menciptakan untuk kamu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadaya dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. 11 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang -Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1996), Cet. 5, hlm.2 12 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas,1961), hlm.2 13 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), hlm. ke. 65. 14 Taher Mahmood, Personal Low In Islamic Countries, (New Delhi: Academy Of Low and Religion, 1987), hlm. 209 15 Tim Citra Umbara, Undang-Undang Repuplik Indonesia No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Citra Umbara, 2001), Cet. 1, hlm. 2 16 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, PT. Pundi Aksara, t.t), hlm. 426 17 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih......2003, hlm. 12 18 Departemen Agama. Al-qur’an dan terjemahannya (Jakarta :PT.Intermasa.1974) hlm.645
284
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui ‛. 2)
Surat an-Nisa’ ayat 3. 19
ِ ِ ِ ِ ث ورابع فَِإ ْن ِخ ْفتم أمًَل تَۡ ِدلُوا فَو ِ ِ ِ ِ اح َد اة أ َْو َ َ ُ َ َ اب لَ ُك ْم م َن النّ َساء َمثْ ََن َوثََُل ْ َ ََوإ ْن خ ْفتُ ْم أمًَل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَتَ َامى فَانْك ُحوا َما ط ُْ َ ِ .َد ََن أمًَل تَُۡولُو ا ْك أ َ ت أ َْيَانُ ُك ْم ذَل ْ َما َملَ َك
Artinya: ‚ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya‛. 3)
Surat an-Nur ayat 32 َّ َٔ ِّ ض ِه َّ صانِحِ يٍَ ي ٍِْ ِعبَا ِد ُك ْى َٔإِ َيائِ ُك ًْإ ِ ٌْ يَ ُكَُٕٕا فُقَ َراء يُ ْغُِ ِٓ ُى .عهِي ٌى ْ ََاَّللُ يِ ٍْ ف َّ َٔأ َ َْ ِك ُحٕا األيَا َيٗ يِ ُْ ُك ْى َٔان َ اَّلل ُ َٔا ِس ٌع Artinya: ‚ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orangorang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memeberikan kemampuan kepada mereka dengan karunianya Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.‛20. Dalam hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibnu Mas’ud memberikan anjuran pernikahan kepada umatnya melalui hadisnya yang berbunyi sebagai berikut : َ َ شبَابُ َي ٍِ ا ْسخ َّ يا َ َي ْعش َُران َُّص ْٕ ِو فَ ِا ََُّّ ن َّ صٍُ ن ِْهف َْرجِ فَ ًَ ٍْ نَ ْى يَ ْسخَطِ ُع فَعَهَ ْي ِّ بِا ُ ع يِ ُْ ُك ُى نبَأ َءةِ فَا ْنيَخ َزَ َّٔ ُج فَ ِاََُّّ ا َ ْغ َ طا َ ص ِر َٔ ا َ ْح َ َض ن ِْهب .)ِّٔ َجاء ً(رٔاِ جًع Artinya: ‚ Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari segi ‚al-baah‛ hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu ‚.21 Para ulama telah sepakat bahwa nikah itu diperintahkan, namun, mereka berbeda
pendapat mengenai hukumnya. Dalam hal ini para ulama terbagi dalam tiga kelompok: Pertama, nikah itu wajib bagi setiap orang yang sudah mampu untuk melakukannya sekali seumur hidup sebagaimana pendapat Dawud ad-Dhahiry, ibn Hazm dan lainnya. Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah dari nash-nash, baik berupa ayat al-Qur’an, maupun hadis Nabi yang memerintahkan pernikahan. Kelompok ini memahami secara tekstual bahwa semua perintah tersebut menggunakan sighat amar (bentuk perintah) dan setiap perintah menunjukkan wajib karenanya, nikah juga adalah wajib, al-aslu fil amr lil wujub,
Departemen Agama. Al-qur’an dan....1974. hlm. 862 Ibid. hlm. 549 21 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia......2006, hlm. 44 19 20
285
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
pada dasarnya perintah itu menunjukkan kepada wajib22. Pendapat kedua, mengatakan bahwa nikah itu hukumnya adalah sunnah saja. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua ini memahami perintah nikah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah kepada hukum sunnah bukan wajib. Firman Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 3, yang berbunyi :
ِ ِ ع َ اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َساء َمثْ ََن َوثََُل َ ث َوُرَاب َ َفَانْك ُحوا َما ط
Artinya :‛Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga dan empat‛.
Ayat di atas, menurut pendapat kedua ini bukanlah menunjukkan wajib. Karena dalam ayat di atas Allah mengaitkan nikah dengan kemampuan. Artinya, barang siapa yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sedangkan yang belum mampu untuk menikah, maka tidak mengapa ia tidak menikah. Karena itu menikah bukanlah wajib tetapi sunah saja. Pendapat ketiga, adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum menikah itu berbeda-beda, tergantung kondisi seseorang. Pendapat ini adalah pendapat kuat pada mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Hukum pernikahan tersebut adalah : a.
Wajib adalah bagi orang yang telah mempuyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin.
b.
Sunnat adalah bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
c.
Haram bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya.
d.
Makruh bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya akan tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e.
Mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera23.
f. 22 23
http://www.fiqih munakahat pdf.com.php?uid=180302496991&topic=11852 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih......2003, hlm.18-21
286
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
1. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan Rukun adalah sesuatu yang mesti ada dan yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat.24 Adapun syarat yaitu suatu yang mesti ada, yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sahlat. Sementara sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang telah memenuhi rukun dan syarat. Berdasarkan ketentuan agama, jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan atau perkawinan itu terdiri atas25 : a.
Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan
b.
Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW : )اَيُّ ًَا ا ْي َرا َ ٍة َِ َك َحجْ ِبغَي ِْر اِ ْذ ٌِ َٔ ِنيُّ َٓا فَ ُِكَا ُح َٓا َبا طِ ٌم (اخرجّ ال ربعت اال نهُسائ ا ‚ Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal ‚. Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda : )ٍس َٓا (رٔاِ ابٍ يا جّ ٔ اندارقط َ ج ْان ًَ ْراَة ُ ََ ْف ِ ِٔ ّ َج ْان ًَ ْراَة َ َٔالَ حُز ِ ِٔ ّ َالَ حُز ‚ Janganlah seorang permpuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri ‚.
c.
Adanya dua orang saksi Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW : ) ع ْد ٍل ( رٔاِ احًد َ ٖ ْ َٗ َٔ شَا ِْد ِّ الَ َِكَا َح اِالَّ ِب َٕ ِن ‚ Tidak akan sah suatu pernikahan tanpa ada wali dan dua orang saksi yang adil ‚.
d.
Sighat akad nikah Yaitu ijab dan qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Adapun yang menjadi syarat-syarat pernikahan menurut hukum Islam dan juga
menurut Undang-undang perkawinan terdiri dari :26 a.
Calon mempelai dengan syarat-syaratnya : 1) Calon mempelai harus telah mencapai umur yang sudah ditetapkan dalam Pasal 7 Undanng-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Ibid hlm.46-47 Ibid. hlm.47 26 Kompilasi Hukum Islam................... hlm. 232-236 24 25
287
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
2) Bagi calon yang belum mencapai umur harus mendapat izin terlebih dahulu. 3) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon memepelai. 4) Tidak adanya terdapat halangan perkawinan antara kedua calon mempelai. b. Wali nikah terbagi dalam dua bentuk, yaitu wali nasab dan wali hakim dengan syarat-syaratnya terdiri dari : 1) Wali nasab yang terbagi pada empat kelompok yaitu : a)
Kelompok kerabat saudara laki-laki lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
b)
Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
c)
Kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
d) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. 2) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. c. Saksi nikah syarat-syaratnya adalah : 1)
Laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan atau tidak tuna rungu atau tuli.
2)
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
d. Ijab dan kabul juga syarat-syaratnya adalah : 1) Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. 2) Akad nikah nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang besangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain. Apabila ketentuan yang terkait dengan rukun dan syarat pernikahan di atas sudah terpenuhi pada suatu pernikahan, maka menurut hukum Islam, pernikahan yang telah dilakukan tersebut merupakan suatu pernikahan yang sah menurut agama. Islam menganjurkan Perkawinan dan menggembirakan kawin, karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Hikmah pernikahan tersebut antara lain 27 : 1. Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut 27
adanya
jalan
keluar.
Bilamana
jalan
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah (Bandung : P.T Alma’arif 1980) hlm. 18-21
288
keluar
tidak
dapat
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan pernikahan inilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. 2. Pernikahan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih. 4. Menyadari
tanggung
jawab
beristeri
dan
menanggung
anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekeja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami dan isteri dalam menangani tugas-tugasnya. 6. Dengan pernikahan diantaranya dapat membuahkan
tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang dalam Islam direstui, ditopang dan ditunjang. 7. Dalam salah satu pernyataan Perserikatan Bangsa-bangsa yang disiarkan oleh harian Nasional terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan : ‚ Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang ‚. Pernyataan PBB ini didasarkan kepada hasil penelitian dan statistik. 2.
Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan merupakan ketentuan di bidang
perkawinan yang
mengharuskan bagi setiap pasangan yang ada di Indonesia yang melangsungkan perkawinan untuk mencatatkannya di KUA bagi yang beragama Islam dan di kantor catatan sipil. Bagi pasangan suami isteri yang telah melangsungkan pencatatan perkawinan ini akan memperoleh akta nikah. Akta
Nikah
adalah
bukti otentik sahnya suatu perkawinan seseorang di
Indonesia. Akta nikah ini adalah sangat bermanfaat dan memiliki maslahat bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anak-anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan), dan juga untuk melindungi dari fitnah dan qadzaf zina (tuduhan zina), maka jelaslah bahwa pencatatan 289
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
nikah untuk mendapatkan akta tersebut sangat penting untuk ‚Saddduz Zari’ah‛ (Preventive Action) dan juga ‚Maslahah Mursalah‛ (Good Interest).28 Selain berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pencatatan pernikahan ini juga diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 5 yang berbunyi : (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan salah satu peristiwa penting. Pasal 1 angka 17 merumuskan bahwa : ‚ Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan ‚.29 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan Akta Nikah dan masing-masing suami isteri mendapatkan salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Neng Djubaidah adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian
hukum, kemudahan hukum, di
samping sebagai salah satu alat bukti perkawinan.30 Oleh karena itu, jika terjadi pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut agama, karena itu telah sah pula menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1), tetapi belum dicatat, maka menurut Bagir Manan cukup dilakukan pencatatan. Akta Nikah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan seseorang yang sangat bermanfaat dan maslahat bagi diri dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk menolak dan menghindari kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinan itu ( harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan) dan juga untuk melindungi
Mimbar Hukum No. 62 Thn. XIV 2003 (Jakarta : al-hikmah dan DITBINPERA) hlm.68 Neng Djubaidah. ............. hlm. 376 30 Neng Djubaidah.............. hlm.159 28 29
290
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
dari fitnah dan qadzaf zina (tuduhan zina). Maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan Akta Nikah tersebut adalah sangat penting. Namun dari praktek pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ada beberapa bentuk persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat antara lain :31 1. Sebagian kecil masyarakat tidak melaksanakan perkawinan menurut hukum agamanya. permasalahan ini timbul antara lain karena adanya pasangan yang melangsungkan perkawinan berbeda agama (walaupun persentasenya sangat kecil), sementara itu UUP/1974 tidak mengatur perkawinan beda agama. 2. Sejumlah masyarakat yang melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum agama, tetapi tidak mencatatkannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Adanya gejala samen leven, terutama di daerah perkotaan, yaitu pasangan priawanita yang hidup bersama tanpa pencatatan Negara. Gejala ini antara lain adalah akibat dampak samping modernisasi di Indonesia yang diikuti dengan menurunnya pegangan hidup kepada nilai-nilai moral dan agama. Perkawinan yang sudah memenuhi rukun dan syarat secara syari’at Islam tetapi tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam artian sah menurut syar’i akan tetapi belum mendapatkan bukti atau pengakuan secara yuridis maka dapat diajukan itsbat atau penetapan nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan : a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b.
Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dan d.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut.32 Varia Peradilan Tahun Ke XXII No.271 Juni 2008 (Jakarta : IKAHI), hlm.9. Kompilasi Hukum Islam. ......hlm.359
31 32
291
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
Peradilan Agama yang memiliki beberapa kewenangan dalam bidang perkawinan, secara rinci telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 49 ayat 2 UndangUndang nomor 7 Tahun 1989 bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai kewenangan
Peradilan Agama antara lain adalah : 1. Izin beristri lebih dari seorang. 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orangyang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. 3. Dispensasi perkawinan 4. Pencegahan perkawinan 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 6. Pembatalan perkawinan 7. Gugatan kelalaian atas kewajiba suami atau istri 8. Perceraian karena talak 9. Gugatan perceraian 10. Penyelesaian harta bersama 11. Mengenai penguasaan anak-anak 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan anak dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya. 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak. 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. 16. Pencabutan kekuasaan wali 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya. 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20. Penetapan asal usul anak 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran. 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.33 Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan itu sudah merupakan ‚ Kesepakatan Nasional ‚ yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan hukum. Oleh karena itu terhadap pelanggaran atas aturan ini dikenakan sanksi pidana.
33
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.. hlm. 22
292
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau disebut juga dengan pernikahan sirri/kawin sirri/nikah sirri, adalah34 : a. Terhadap isteri Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Kerugian tersebut adalah : 1. Dianggap sebagai isteri yang sah. 2. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. 3. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. 4. Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi. 5. Secara sosial akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan lakilaki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan. b. Terhadap Anak Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: a) Status
anak
yang
dilahirkan
dianggap
sebagai
anak
tidak
sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya ( Pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Administrasi Kependudukan tepatnya pada Bab IV Pasal 35 yang berbunyi : (1) Catatan peristiwa penting merupakan data pribadi penduduk; (2) Catatan peristiwa penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a.
Anak lahir di luar perkawinan, yang dicatat adalah nama anak, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu, dan tanggal kelahiran ibu; dan
b.
Pengangkatan anak, yang dicatat adalah mengenai nama ibu dan bapak kandug.
34
http://www.facebook.com/topic.php?uid=180302496991&topic=11852
293
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. b) Ketidak jelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. c. Terhadap laki-laki atau suami Hampir tidak ada dampak yang sangat mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan, yang terjadi justru malah lebih banyak menguntungkan bagi suami. Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain. Namun kerugiannya hanyalah jika dalam perkawinan tersebut sang isteri lah yang mempunyai harta dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka seorang suami juga tidak bisa menuntut apa-apa kepada sang isteri. Bentuk hukuman bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan adalah : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Pasal 3 telah menentukan hukuman denda bagi seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan tidak di hadapan Pegawai Pencatat nikah, sebanyak-banyaknya Rp.50,00 (lima puluh rupiah). Dalam undang-undang ini orang yang dapat dikenakan hukuman denda hanya suami. 2. Kemudian Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menentukan bahwa perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman denda setinggitingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Yang dimaksud dengan pihak yang melanggar peraturan pencatatan nikah adalah pihak mempelai, yaitu suami dan isteri. 3. Pasal 143 RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun 2007 menetukan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dipidana
294
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
dengan pidana denda paling banyak Rp.6.000.000,00 atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam ) bulan penjara.35 3. Fenomena Nikah Sirri Di Indonesia Nikah Sirri merupakan suatu persoalan yang cukup banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Masalah nikah sirri ini sangatlah fenomenal di Indonesia, karena pelakunya tidak saja masyarakat awam, tetapi juga banyak dilakukan oleh publik figur seperti artis, dan bahkan sampai pada pejabat pemerintahan. Diantara nikah sirri yang dilakukan oleh publik figur adalah pernikahan Si Raja Dangdut Rhoma Irama ketika menikahi Richa Rahim, ataupun pernikahan Rhoma Irama dengan Angel Elga. Demikian pula halnya dengan pernikahan Syekh Puji yang menikahi gadis di bawah umur, dan yang masih hangat adalah pernikahan yang dilakukan oleh Aceng HM Fikri ketika menjabat sebagai Walikota Garut yang juga menikahi gadis belia
Fani Oktora secara sirri dan
selanjutnya menceraikannya setelah empat hari pernikahan. Peristiwa ini pada akhirnya berujung dengan pemakzulan Aceng HM Fikri dari jabatan Walikota Garut berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Walaupun
ketentuan
tentang
wajibnya
melakukan
pencatatan
perkawinan,
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, baik pencatatan perkawinan melalui KUA bagi yang beragama Islam, ataupun melalui catatan sipil bagi yang lainnya, namun kenyataannya di masyarakat kasus terjadinya pernikahan sirri cukup banyak ditemui. Baik yang dilakukan oleh masyarakat awam, ataupun oleh publik figur sehingga menjadi sorotan masyarakat banyak sebagaimana beberapa kasus yang dikemukakan di atas. Melihat kepada kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut, dipahami adanya beberapa problem yang terjadi terkait dengan masalah pencatatan pernikahan ini, diantaranya adalah problem sosiologis. Problem sosiologis adalah kondisi dan praktek masyarakat yang menyimpang dari rumusan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Adanya sebagian masyarakat yang tidak mengurus administrasi pencatatan perkawinannya. Berkaitan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan muncul berbagai istilah yang terlanjur populer di kalangan masyarakat, seperti sebutan kawin liar, kawin lari, Kawin Sirri atau perkawinan di bawah tangan, ada yang menyebut kawin syar’i dan ada juga yang menyebut kawin modin dan kawin kiyai.36 Berbagai istilah dimaksud masih perlu dikritisi untuk menyebutkan bahwa semua perkawinan itu maksudnya adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara Agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut 35
Neng Djubaidah. op. cit. hlm.354. lihat jugaPeratutaran Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Op. cit. hlm.
60 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002), hal.
36
110.
295
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
peraturan perundang-undangan yang berlaku.37 Secara yuridis, berbagai istilah yang terlanjur populer itu tidak ditemukan dasar hukumnya, oleh sebab itu, Istilah yang lebih tepat dikedepankan adalah perkawinan yang tidak melalui prosedur peraturan perundangundangan yang berlaku. Walaupun masalah pencatatan perkawinan telah disosialisasikan cukup lama, dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Pasal 5 dan 6 KHI, tetapi sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Di antara penyebabnya adalah sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif Fikih tradisional. Menurut pemahaman mereka perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di KUA dan tidak perlu Surat Nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman Rasulullah dan merepotkan saja.38 Selain problem yuridis dan sosiologis, menurut hemat penulis ada problem idealis. Problem idealis dimaksudkan bahwa berkembang berbagai ide, pemikiran, gagasan yang antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan dan di antaranya ada yang bertolak belakang. Perbedaan tersebut terdapat dalam upaya menafsirkan berbagai rumusan aturan hukum maupun menterjemahkan atau membahasakan praktek yang berkembang di tengahtengah masyarakat. Berhubung itsbat nikah sangat erat kaitannya dengan pencatatan perkawinan, maka pemikiran yang ada setidaknya dapat dipolakan menjadi dua kelompok, yaitu; pertama, kelompok yang berpendapat pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan; kedua, kelompok yang berpandangan bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi umumnya dari kalangan umat Islam, tidak mempengaruhi sah/tidak sahnya perkawinan.39 Kelompok yang berpendapat pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan di antaranya adalah kelompok sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum perdata dan ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan berdasarkan pasal 100 BW.40 Mereka berpendapat, saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan.41 Kelompok yang berpandangan bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi umumnya dari kalangan umat Islam dan banyak juga ahli-ahli hukum, bahwa Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal.
37
87. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 47. Pendapat berkaitan alah pendapat Masjufuk Zuhdi, A. Mukti Arto, Saidur Sahar, dan K. Wadjik Saleh, lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), hal. 109-110. 40Pasal100 BW. Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 4, 92; BS. 1, 7, 61; S. 1847-64 pasal 5.) 41Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, (Bandung: PT. Alumni, 1981), hal. 18-19. 38
39
296
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
saat mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaran/pencatatan, pendaftaran tersebut hanya berfungsi sebagai administrasi saja. Sedang saat mulai sah perkawinan adalah setelah terjadi ijab dan qabul.42 Khusus dalam kaitannya dengan itsbat nikah, Neng Djubaidah menyatakan hendaknya: pertama, itsbat nikah tidak dibatasi pada alasan tertentu saja, tetapi tentukanlah peluang seluas-luasnya bagi para pihak yang berkepentingan, yaitu suami, istri, anak-anak, atau anggota keluarga lain yang mempunyai hubungan darah atau hubungan semenda (perkawinan), terutama dalam memperoleh kedudukannya sebagai ahli waris atau dalam melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya sebagai ahli waris terhadap kewajiban pewaris ketika ia masih hidup. Kedua, hak untuk mengajukan permohonan itsbat nikah hendaknya tidak dibatasi ketika suami atau istri bersangkutan masih hidup. Ketiga, itsbat nikah juga hendaknya dapat dilakukan oleh istri yang lain, dalam hal suami berpoligami, untuk mempermudah tuntutan istri terdahulu dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Keempat, alat bukti nikah, jika dalam perkara sengketa (contentiosa) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan sah tidak/belum dicatat, hendaknya tidak hanya berupa alat bukti akta nikah semata, tetapi juga dapat digunakan alat bukti lain, misal saksi-saksi dan/atau pengakuan para pelaku perkawinan yang sah sesuai hukum Islam tetapi belum/tidak dicatat, yaitu pengakuan yang memang tidak menjadi penghalang sahnya perkawinan, baik dalam hal rukun perkawinan maupun syarat-syarat perkawinan.43 Berdasarkan beberapa kasus nikah sirri yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dapat diketahui bahwa diantara faktor
penyebab terjadinya nikah sirri di tengah
masyarakat adalah: 1) Hamil Diluar Nikah Budaya barat yang merebak dan ditelan mentah-mentah, mempunyai pengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahkan norma dan kaidahkaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas, seperti hamil diluar nikah. Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga, yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan lakilaki yang menghamilinnya, dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga, dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim atau Kyai tanpa melakukan pencatatan. 2) Kurangnya Pemahaman Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan Pernikahan
Ibid. Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 374-375. 42 43
297
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim, akibatnya kesadaran masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja. 3) Sulitnya Aturan Berpoligami Tidak
terpenuhinya
syarat-syarat
untuk
berpoligami,
terutama
tidakadanya
persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan siri, cukup dihadapan pemuka agama. 4) Faktor Ekonomi Sebagian masyarakat, khususnya yang ekonominya menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi. 5) Faktor Harta Dalam sebagian suku masih mengakar adat jual mahar, sehingga menjadi medan kebanggan bagi mereka, dan tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan siri ini, karena khawatir diejek oleh masyarakatnya. 6) Faktor Tempat Kerja Aturan-aturan tempat kerjanya atau kantornya yang tidak membolehkan menikah selama dia bekerja, atau menikah lebih dari satu istri. 7) Faktor Sosial Masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi. Dan ada juga karena tidak direstui oleh keluarganya. 8) Faktor Agama Sebagian orang berkeyakinan tidak perlu melakukan pencatatan, tapi cukup kepada Kyai dan karena pencatatan bukan syarat atau rukun nikah. Setelah melihat dari beberapa faktor di atas, tidak dapat dihindarkan akan menimbulkan akibat-akibat buruk. Kehidupan perkawinan siri walaupun persyaratan menurut agama terpenuhi, akan menimbulkan akibat yang buruk bagi kelangsungan perkawinan tersebut, apabila tidak dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah.44 4. Pencatatan Perkawinan dengan Itsbat Nikah Itsbat Nikah berasl dari bahasa arab yaitu ( )اثباثyang berarti tetap atau menetapkan45. Menurut Iskandar Ritonga Itsbat Nikah adalah sebuah permohonan yang diajukan pemohon kepada Pengadilan Agama dengan maksud agar suatu pernikahan ( nikah yang tidak dicatat atau nikah yang tidak mempunyai akta nikah ) dinyatakan sah dan berdasarkan penetapan 44 45
Ibid Mahmud Yunus. Kamus Bahasa Arab – Indonesia (Jakarta :PT. Hidakarya Agung. 1989) hlm. 80
298
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
Pengadilan Agama tersebut, pejabat berwenang yang dalam hal ini adalah PPN atau KUA kecamatan itu sekaligus memberikan kutipan Akta Nikah.46 Dasar hukum itsbat nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI ) berasal dari pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut : a) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. b) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. c) Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah c.Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan. d) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.47 Aturan mengenai pengesahan perkawinan/itsbat nikah juga telah diatur dalam Buku II sebagai buku pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan agama yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI, aturan tersebut antara lain : a) Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.48 b) Perkawinan yang dicatatkan oleh PPN banyak berindikasi penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum dan memperoleh hak-hak lain atas. Oleh Karena itu Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah. Agar proses pengesahan nikah/itsbat nikah tidak dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum. c) Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang
46 Iskandar Ritonga. Hak-hak Wanita Dalam Putusan Peradilan Agama ( Jakarta : Departemen Agama RI. 2003 ) hlm.80 47 Kompilasi Hukum Islam., (Bandung : Citra Umbara, 2007), hlm. 229-230 48 Mahkamah Agung, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta:2009), hlm.142-147
299
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
diatur dalam Pasal 8 s/d pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Kegunaan dari itsbat nikah itu sendiri adalah untuk menutupi akibat hukum yang timbul dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, kegunaan itsbat nikah tersebut pada prinsipnya adalah untuk mengsahkan pernikahan yang belum memiliki Akta Nikah sebagai bukti yang memiliki kekuatan hukum. Secara rinci kegunaan dari itsbat nikah yang dilakukan di Pengadilan Agama tersebut adalah: 1. Untuk menjelaskan status hukum dari suatu pernikahan yang tidak mempunyai kutipan Akta Nikah dari KUA atau sebagai pegangan untuk suami atau istri.49 Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. 2. Anak akan mempunyai hubungan keperdataan dengan sang bapak Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.50 3. Anak dan ibunya akan berhak kembali atas nafkah dan warisan Dalam penyelesaian perkara itsbat nikah atau pernyataan tentang sahnya suatu perkawinan Peradilan Agama juga memiliki ketentuan, karena tidak semua penikahan yang tidak memiliki Akta Nikah dapat diajukan permohonan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Ketentuan ini telah diatur pada buku II yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, menetapkan bahwa : Aturan pengesahan nikah atau itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang.51 Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syari’at Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.52 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa itsbat dapat memberikan peluang terhadap permasalahan perkawinan yang tidak memiliki akta Iskandar Ritonga. Ibid. hlm. 80 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, hlm. 17 Mahkamah Agung, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,(Jakarta:2006) hlm.
49
50 51
207 52
Ibid. hlm. 212
300
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
nikah. Berbagai permasalahan dan kerugian yang mungkin terjadi karena perkawinan yang tidak memiliki akta nikah apabila mereka mengupayakan upaya permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, dengan syarat pernikahan yang telah dilangsungkan pada masa dahulunya dilakukan sesuai dengan ketentuan agama.
Hal ini sesuai dengan
pedoman teknis yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada point (c) yang menegaskan bahwa ‚Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.‛ Walaupun sudah ada solusi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap orang-orang tidak memiki akte nikah dengan mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, namun di sisi lain, ketentuan terkait dengan itsbat nikah ini terlihat paradok dengan ketentuan pencatatan perkawinan yang mengaharuskan adanya pencatatan perkawinan terhadap setiap peristiwa perkawinan, baik melalui KUA, maupun catatan sipil. Pertentangan permasalahan pencatatan perkawinan dengan itsbat nikah ini terlihat bahwa di satu sisi undang-undang mewajibkan adanya pencatatan perkawinan pada setiap peristiwa perkawinan, bahkan sudah dibuat rancangan undang-undang yang memuat ancaman pidana bagi setiap pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada KUA atau catatan sipil. Sebaliknya di sisi lain, juga ada peluang yang diberikan oleh aturan yang memungkinkan bagi pasangan suami isteri yang tidak memiliki akta nikah untuk melakukan itsbat nikah. Hal ini tentunya membuat masyarakat untuk tidak khawatir melanggar ketentuan wajibnya mencatatkan perkawinan, dan tidak juga khawatir dengan segala efek negatif dari perkawinan yang tidak tercatat karena masih mungkin untuk mengajukan itsbat nikah ketika dibutuhkan. Dengan demikian, pelaku nikah sirri di negara ini akan sering ditemui tanpa adanya kekhawatiran akan efek negatif dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut. Eksistensi kepastian hukum istbat nikah terhadap status perkawinan dalam hubungannya dengan pencatatan perkawinan dapat ditinjau dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974 Mahkamah Konstitusi menyimpulkan (1) pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan (2) pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban administrasi tersebut dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu; pertama dari prespektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi 301
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai prinsip negara hukum sebagaimana yang dimuat pada Pasal 281 ayat 4 dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan tersebut dianggap pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi.53 Sebagai upaya mengurai missing link pemahaman tentang sah perkawinan menurut peraturan perundang-udangan, sangat menarik untuk dikemukakan fatwa Mantan Syekhul Azhar (Guru Besar) DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al-zawaj al‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syekh Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifat al-tawtsiqiy.54 Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masingmasing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan hukum syara’. Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap sah,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, hal. 33-34. Fatwa ini dikutip oleh Satria effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta: Prenada Media, 2010), hal. 33-37. 53 54
302
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat dilindungi
dari
adanya
upaya-upaya
negatif
dari
pihak-pihak
yang
tidak
bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari adanya pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk itu. Menurut UndangUndang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931 menyatakan tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya dekumen resmi pernikahan. Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundangundangan itu, secara syar’iy nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur dalam Syari’at Islam. Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu negara, sebab dalam fatwa beliau tetap mengingatkan pentingnya pencacatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga menegaskan bahwa perauran perundangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mesti dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris. Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian hari. Syarat tawtsiqiy tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu 303
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarat tawtsiqiy.55 Contoh syarat tawtsiqiy dalam al-Qur’an adalah syarat pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 282, ‚Ya ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh‛ dan pada ayat setelahnya dinyatakan ‚wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu katiban farihanumm maqbuudlah‛ Apabila penggalan dua ayat ini, dipahami secara tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada ayat berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak dicatatkan dan atau tidak ada barang jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan dengan pemahaman para ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan para ulama, kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti belaka dan sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai waktu yang dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah karena pemahaman ayat di atas dihubungkan dengan ayat setelahnya ‚fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin falyuaddi alladzi u’tumina amanatahu‛ ayat terakhir ini menunjukan pancatatan dan barang jaminan adalah alat tawtsiqiy, apabila tautsiqiy atau kepercayaan itu telah ada pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang jaminan itu tidak diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah yang wajib dibayar.56 PENUTUP Ketentuan tentang wajibnya pencatatan pernikahan telah jelas ditetapkan dalam peraturan perundangan. Namun realitannya di tengah-tengah masyarakat, masih banyak ditemui praktek nikah sirri oleh masyarakat. Disamping karena longgarnya regulasi tentang pencatatan perkawinan ini, praktek nikah sirri di tengah-tengan masyarakat juga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah karena faktor ; 1) Hamil Diluar Nikah; 2) Kurangnya Pemahaman Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan
Pernikahan; 3)
Sulitnya Aturan Berpoligami; 4) Faktor Ekonomi; 5) Faktor Harta; 6) Faktor Tempat Kerja; 7) Faktor Sosial; 8) Faktor Agama. Maraknya kasus nikah sirri yang terjadi di Indonesia disamping faktor sosiologis masyarakat yang memahami bahwa pernikahan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan menurut ketentuan agama tanpa dicatatkan, juga menunjukkan bahwa legislasi ketentuan pencatatan perkawinan di Indonesia telah upayakan dalam peraturan perundang-undangan, namun belum dapat dilaksanakan. Disamping itu juga terlihat adanya paradok ketentuan yang berlaku. Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-fikr, 1985), Juz VIII, hal. 36. Ibid.
55 56
304
Fenomena Nikah Siri Di Indonesia Dari Aspek ………Zulfan
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 Abu Zahrah, Muhammad, al -Ahwal al -Syaksiah, Qahira: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995. al- Jaziri, Abdul Rahman, Kitab’ ala Mazhahib al-Arba’ah, Mesir: Dar al –Irsyad, 1986, Juz IV Al-Zuhaily, Wahbah, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Bairut: Dar Al-fikr, 1985, Juz VIII. Ayyub, Syek Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional ‚Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas dan Kepastian Hukum‛ di Jakarta 1 Agustus 2009. Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Drajat, Zakiah, (et al), Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1950, jilid 2, Ghazaly, Abd.Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana. 2003 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Jakarta: Tintamas,1961 Hosen, Ibrahim Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2005. M. Satria effendi Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, Jakarta: Prenada Media, 2010. Mahmood, Taher, Personal Low In Islamic Countries, (New Delhi: Academy Of Low and Religion, 1987 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesa, Jakarta: PT. Hidayakarta, 1989. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang -Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1996), Cet. 5 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002. Nasional, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Riduan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Bandung: PT. Alumni, 2009. Ritonga, Iskandar, Hak-hak Wanita Dalam Putusan Peradilan Agama ( Jakarta : Departemen Agama RI. 2003 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 2, Jakarta: Pustaka Firdaus, PT. Pundi Aksara, t.th 305
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014 Simorangkir, J.C.T., dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Syahar, Saidus, Undang-undang dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Bandung: PT. Alumni, 1981. Tim Citra Umbara, Undang-Undang Repuplik Indonesia No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Citra Umbara, 2001 Zakariya al-Anshary, Abu Yahya Sulaiman Mar’iy, t.t.), Juz 2
Fath al-Wahhab,Syarah Minhat al-Thullab, (Singapura:
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 Peraturan Pemerntah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan.
306