BAB II HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA DAN AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI A.
Harta Benda Perkawinan dalam Hukum Positif Indonesia.
1.
Harta Benda Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan
mengakibatkan
suatu
ikatan
hak
dan
kewajiban,
juga
menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga atau somah (gezin atau household). 41 Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan.Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga 42.Harta tersebut ada yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan0yaitu 41
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal.
244 42
Sonny Dewi Judiasih, Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, (Bandung;PT.Refika Aditama,2015), hal. 23
Universitas Sumatera Utara
(3) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (4) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan pendapat ahli hukum lainnya, dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta kekayaan, yaitu : Pertama, a. Harta pribadi Suami ialah harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan. b. Harta pribadi istri ialah Harta bawaan istri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan. c. Harta bersama suami-istri ialah harta yang diperoleh baik sendirisendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 43 Mengenai pengurusan harta benda dalam perkawinan Selanjutnya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : (1) Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak ataspersetujuan kedua belah pihak. (2)
Mengenaihartabawaanmasing-masingsuamiisterimempunyai sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hak
hukum mengenai harta
bendanya. 43
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1998), hal 70.
Universitas Sumatera Utara
Secara normatif, terdapat perbedaan yang tajam antara penguasaan harta bersama dan penguasaan harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan selama perkawinan berlangsung. Harta bawaan, harta hadiah, harta warisan berada di bawah pengawasan masing-masing suami atau istri, artinya pihak yang menguasai harta tersebut dengan bebas dapat melakukan apa saja terhadap hartanya itu, tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. Sedangkan harta bersama berada di bawah penguasaan bersama suami-istri, sehingga jika salah satu pihak, suami atau istri, ingin melakukan perbuatan hukum atas hartanya itu, seperti menjual, menggadaikan, dan lain-lain, harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya (Pasal 35 dan 36 Undang Undang-Undang Perkawinan). Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan dari segi ekonomi berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur. 44 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang 44
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung; PT Citra Aditya, 1994), hal 9.
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut : 45 a.
b.
c.
d.
2.
Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan dimana letaknya tidak menjadi persoalan. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama. Suatu barang termasuk yurisdksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal-usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama, demikian pula penghasilan dari harta pribadi suami-istri juga masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala penghasilan pribadi suami-istri tidak terjadi pemisahan,bahkan dengan sendirinya terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami-istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.
Harta Benda Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan harta benda perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mempunyai ketentuan yang berlainan dengan Undang-Undang Perkawinan. Dalam pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri sepanjang tidak di tentukan lain”. Persatuan itu meliputi harta kekayaan 45
M. Yahya Harahap dalam Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju,
Universitas Sumatera Utara
suami dan istri, bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali si pewaris atau yang memberi hibah dengan tegas menetukan sebaliknya 46. Persatuan itu juga meliputi segala utang suami istri masing-masing yang terjadi baik sebelum maupun sepanjang perkawinan. 47. Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sejak dimulainya perkawinan terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algele gemeenschap van goederen). Ketentuan ini bersifat memaksa dan harus dipatuhi oleh suami istri tersebut, akan tetapi undangundang memberikan kesempatan untuk dapat disimpangi dengan adanya suatu perjanjian kawin. Luasnya kebersamaan (percampuran) harta kekayaan dalam perkawinan adalah mencakup seluruh aktiva dan pasiva, baik yang diperoleh suami-istri , sebelum atau selama masa perkawinan mereka berlangsung, yang juga termasuk di dalamnya adalah modal, bunga dan bahkan utang-utang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan yang melanggar hukum. 48 Terhadap persatuan bulat harta tersebut terdapat penyimpangan yaitu adanya harta pribadi disamping harta persatuan.Harta pribadi tersebut bisa diperoleh dengan adanya perjanjian kawin dan bisa juga karena adanya kehendak/syarat dari si 2006), hal 59-60. 46 Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 47 Pasal 121 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
penghibah atau si pewaris 49. Jadi menurut KUH Perdata, apabila suami dan istri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu ialah pencampuran kekayaan suami dan istri menjadi satu milik orang berdua bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh. 50 Kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan itu merupakan hak milik bersama yang terikat, yaitu kebersamaan harta yang terjadi karena adanya ikatan diantara para pemiliknya.Hak milik bersama yang terikat ini berbeda dengan hak milik bersama yang bebas, yaitu suatu bentuk hak milik, tetapi diantara pemiliknya tidak
ada
hubungan
hukum
kecuali
mereka
bersama-sama
merupakan
pemiliknya.Suami dan isteri yang memiliki hak atas kekayaan masing-masing, mereka tidak dapat melakukan kesalahan atau penyimpangan atas bagian mereka. 51 Mengenai harta perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu 52: 1.
Berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , pada asasnya semua harta suami dan istri, baik yang dibawa masuk ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh kedalam harta persatuan. Sedangkan Pasal 31 ayat (2) 48
Sonny Dewi Judiasih, op. cit, hal. 22 Fahmi Al Amruzi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Studi Komparatif Fiqh, KHI, Hukum Adat dan KUHPerdata), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), hal. 74 50 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Abadi, 2002), hal. 38-39 51 Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press), hal. 54-44 49
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa seorang istri sepanjang perkawinan tetap cakap untuk bertindak. 2.
Menurut Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengelolaan atas harta persatuan dilakukan oleh suami sendiri, sedangkan Pasal 35 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa harta bawaan istri dan suami, yang dibawa masuk kedalam perkawinan, dengan sendirinya menjadi harta pribadi masing-masing suami/istri yang membawanya ke dalam perkawinan. Bercampurnya harta tersebut melauli perjanjian perkawinan justru merupakan pengecualian.
3.
Menurut Pasal 105 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pengurusan atas harta pribadi istri, kalau ada, termasuk kalau ada hibah atau warisan yang jatuh pada si istri sepanjang perkawinan dan ditentukan tidak boleh masuk dalam harta persatuan, dilakukan oleh suami. Sedangkan menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa atas harta pribadi, masing-masing suami/istri berhak untuk mengambil tindakan hukum sendiri, tanpa kerjasamanya garwa yang lain (suami istrinya). Sedangkan tindakan atas harta bersama, suami harus mendapat persetujuan dari istri dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suamilah yang berhak mengurus harta bersama termasuk wewenang melakukan berbagai 52
J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
perbuatan terhadap harta tersebut. Isi Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut antara lain adalah : 1. Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu; 2. Dia boleh menjual, memindahtangankan dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 140; 3. Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah yang tertentu dan barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dan perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan; 4. Bahkan dia tidak boleh menetapakan ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa si suami sendiri yang mengurus persatuan harta kekayaan, hanya sisuami yang berwenang melakukan perbuatan-perbuatan
terhadap
harta
kekayaan
tersebut.
Namun
demikian
pengecualian, yakni suami tidak diperbolehkan menurus sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 140 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan, mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama
Universitas Sumatera Utara
perkawinan dan pihak istri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri. Dalam Pasal 140 ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami istri, namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mensyaratkan bagi dirinya penurusan harta kekayaan pribadi, baik barangbarang bergerak maupun barang-barang tak bergerak, disamping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. Perbuatan-pernuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) KUH Perdata tersebut sifatnya memutus, bukan dalam pengertian mengurus (seperti dalam Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata).Maksudnya perbuatan suami dibatasi, yaitu bahwa dia tidak berhak mengurusi harta-harta kekayaan diluar harta bersama, seperti harta bawaan dan harta perolehan karena kedua macam harta tersebut tetap menjadi wewenang masing-masing pasangan. Seorang istri dalam perkawinan mempunyai kewenangan untuk mengurus harta bersama, demikian pula membebani atau memindahkantangankan barangbarang persatuan dalam hal keadaan yang seperti diatur dalam pasal 125 KUH Perdata, yaitu jika suami tidak ada atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka istri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuatkan oleh pengadilan negeri.
Universitas Sumatera Utara
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menentukan bahwa istri mempunyai hak untuk melepaskan bagiannya dalam kebersamaan harta kekayaan perkawinan dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Isteri tidak berhak lagi atas bagiannya dari aktiva harta bersama, kecuali hak atas pakaian, selimut dan seprai. Hal ini diatur dalam Pasal 132 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak isteri untuk melepaskan bagiannya tidak dihapuskan oleh perjanjian antara isteri dan suami atau antara isteri dengan phak ketiga. Artinya segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal. 2. Isteri dibatasi kewajibannya dalam hal membayar utang-utang harta bersama. Hal ini diatur dalam pasal 132 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa dengan pelepasan ini, dia dibebaskan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Batas waktu yang ditentukan adalah sebulan setelah terjadinya pembubaran atas kebersamaan harta bersama. Dalam tempo tersebut istri juga dapat mengajukan hak pelepasan kepada Panitera pengadilan negeri di tempat kediaman suami-isteri terakhir.
3.
Harta Benda Perkawinan Menurut Hukum Adat. Hukum Perkawinan Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menetukan
prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
meneruskan keturunan 53. Menurut Hukum adat yang dimaksud Harta Perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami dan isteri selama mereka terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari warisan, hibah harta penghasilan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah. 54 Sedangkan Harta Perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut : 55 1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa kedalam perkawinan; 2. Harta yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta jasa diri sendiri sebelum perkawinanatau dalam masa perkawinan; 3. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama pada waktu pernikahan. Soerjono Soekanto membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 kategori yaitu : 56 53
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang tentang Perkawinan serta Peraturan Pelasananya, (Bandung: Tarsito, 1992), hal. 1 54 Hilman Hadi Kusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hal. 156 55 Muhammad Isna Wahyudi, Harta Bersama, antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan, (Jakarta: Jurnal MARI, 2008), hal. 4 56 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 204
Universitas Sumatera Utara
1. Harta kekayaan yang diperoleh dari suami dan isteri yang merupakan warisan atau hibah pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam perkawinan. 2. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami dan isteri yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan. 3. Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami dan isteri pada waktu perkawinan. 4. Harta kekayaan yang diperoleh suami dan isteri pada masa perkawinan. Pengelompokkan
harta
perkawinan
menurut
Hilman
Hadikusumah,
dikelompokkan sebagai berikut : 57 1. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam ikatan perkawinan, baik berupa hasil jerih payah masing-masing ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung. 2. Harta Pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami dan isteri, selama ikatan perkawinan berlangsung. 3. Harta Peninggalam 4. Harta pemberian seperti hadiah, hibah, dll Imam Sudrajat menggolongkan harta perkawinan ke dalam 4 macam yaitu : 58 57
Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 123-124 58 Imam Sudrajat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hal. 143-144
Universitas Sumatera Utara
1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan. 2. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian. 3. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. 4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan .
B.
Wewenang Suami Istri Terhadap Harta Benda Perkawinan. Wewenang suami istri terhadap harta benda dalam perkawinan ditentukan
oleh jenis harta kekayaan yang terdapat dalam rumah tangga. Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat beberapa kelompok harta benda dalam suatu perkawinan, yaitu : (1) harta bersama; dan (2) harta pribadi. Hal ini tentu berbeda dengan pengaturan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang pada prinsipnya hanya mengenal satu kelompok/ jenis harta dalam perkawinan, yaitu harta persatuan suami istri, sedang jenis / kelompok harta lain menurut Kitab Undag-Undang Hukum Perdata baru ada jika memang dikehendaki demikian oleh suami istri yang dituangkan dalam perjanjian kawin.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan 59.Artinya harta bersama tersebut diperoleh sejak peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik karena perceraian atau karena kematian. Dengan melihat rentang perolehan harta bersama tersebut , maka hartaharta yang diperoleh suami istri sebelum melangsungkan perkawinan dan dibawa masuk ke dalam perkawinan tidak termasuk harta bersama, tetapi merupakan harta pribadi masing-masing suami istri bersangkutan.. Dilihat dari tenggang waktu perolehan harta bersama, yakni sejak perkawinan diresmikan sampai berakhir (putus) maka harta bersama itu meliputi pendapatan suami, hasil pendapatan isteri, serta hasil pendapatan suami, hasil pendapatan isteri, serta hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami isteri selama perkawinan, meskipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, suatu harta benda perkawinan dianggap sebagai harta bersama, kecuali dapat dibuktikan lain. Harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah termasuk harta bersama. 60 Selanjutnya yang dimaksud dengan harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki oleh suami/isteri pada saat perkawinan dilangsungkan, atau harta yang diperoleh suami/isteri sebelum melangsungkan perkawinan. Harta pribadi tersebut tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka (suami isteri) memperjanjikan lain. Harta pribadi suami/isteri menurut Pasal 135 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 59
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri atas : (1) harta bawaan suami/isteri yang bersangkutan; dan (2) harta yang diperoleh suami/isteri sebagai hadiah atau warisan.
1.
Wewenang Suami Isteri Terhadap Harta Bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan
berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun 61. Terhadap harta bersama Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pada Pasal 31 ayat (2) UUP telah ditegaskan bahwa suami dan istri berhak melakukan perbuatan hukum.hal ini tidak sejalan dengan pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang wanita setelah kawin dianggap tidak mampu bertindak (handelingsonbekwaam) oleh karenanya hanya dengan bantuan suami yang bersangkutan baru dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum 62. Namun ketentuan pasal 108 KUH Perdata tersebut tidak berlaku lagi 63.Dari dua ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa suami dan istri, kedua-duanya berwenang untuk melakukan tindakan dan perbuatan hukum atas harta bersama. 60
Putusan Mahkamah Agung Nomor 681.K/Sip/1975, tanggal 18 Agustus 1979 Abdul Manan, op cit, hal. 108-109 62 Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 180-181 63 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 61
Universitas Sumatera Utara
Bertindak berasama-sama apabila dilihat dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2804K/Pdt/1986 tanggal 31 Januari 1989 yang menetapkan bahwa harus ada persetujuan dari suami/isteri secara tegas atas harta bersama. Pada kenyataanya harta bersama yang dimuat dalam UUP sebenarnya sudah lama dikenal di dalam masyarakat hukum adat Indonesia. Di Aceh dikenal dengan namaHareuta Sihareukat atau Hareuta Syarikat. Di Minangkabau disebut harta Suarang. Di Sunda diberi namaGuna Kaya atau Barang Sekaya atau Kaya Reujeung atau Raja Kaya (di Kabupaten Sumedang) atau Sarikat (di Kabupaten Kuningan) atau Harta Pencaharian (di Jakarta). Di Jawa dinamakan Barang Guna atau Gono Gini.Di Bali disebut Druwagabro.Di Kalimantan disebut Barang Perpantangan dan di Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) dikenal dengan namaBarang Cakara sedang di Madura dikenal dengan nama Ghuna Ghana. 64 Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri.Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa.Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. 65 Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat 64
H. Ismuha, Pencaharian Harta Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) hal. 153 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Pembimbing, 1961 ), hal. 31
65
Universitas Sumatera Utara
perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan. 66 Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak.Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama.Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan. 67 Berdasarkan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Desember 1959 No.424.K/SIP/1959, dimana dalam putusan tesebut dinyatakan bahwa harta bersama suami istri kalau terjadi perceraian maka masingmasing pihak mendapat setengah bagian. 66
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali, 1989 ), hal. 77 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,…hal. 109
67
Universitas Sumatera Utara
Kemudian ditegaskan lagi dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Nopember 1967 No.51K/Sip/1956 yang menegaskan bahwa : Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri. 68
2.
Wewenang Suami Istri Terhadap Harta Pribadi. Terhadap harta bawaan masing-masing suami/istri menurut Pasal 35 ayat (2)
UUP adalah berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena sifat dan asalnya adalah harta milik pribadi, baik berupa barang bawaan atau harta yang diperoleh sebagai hibah, hadiah atau warisan, maka penguasaan atas harta pribadi tersebut sepenuhnya berada di tangan suami atau isteri masing-masing.Sepanjang dan selama perkawinan, masing-masing suami atau istri berhak sepenunhya atas harta pribadi masing-masing. Penguasaan Suami atau isteri atas harta pribadinya adalah dalam artian penguasaan (beheer) dan beschikking (memiliki secara fisik).Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP harta pribadi adalah menjadi milik masing-masing suami atau istri. Konsekuensinya suami-isteri yang bersangkutan mempunyai kewenangan penuh (mandiri) untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya, tanpa harus memperoleh persetujuan dari pihak lain. Jadi, suami-isteri dapat bertindak sendiri untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadinya. Tentu saja suami atau istri 68
R Subekti dan R Tjitrosubidio, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Universitas Sumatera Utara
juga dapat memberikan kuasa kepada pihak lain termasuk salah seorang suami-isteri untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadi tersebut. Dalam hukum adat harta bawaan ini ada dinamakan harta pembujangan atau harta penantian, yaitu harta yang di bawa suami atau isteri ke dalam perkawinan, yang merupakan hasil usahanya sendiri sebelum menikah.Termasuk di dalamnya adalah hadiah perkawinan yang diperoleh suami/isteri atau keluarganya.Harta-harta tersebut sepenuhnya menjadi milik dan berada dalam penguasaan suami/isteri.Harta tersebut terbebas dari ikatan keluarga dan perkawinan, sehingga suami/isteri bebas menggunakannya.Suami dan isteri masing-masing leluasa untuk memakai atau menjual harta-harta tersebut. 69
C.
Tinjauan Umum tentang Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukum Putusnya Perkawinan. Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-
lamanya.Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 537 69 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia,(Bandung: Sumur, 1981), hal 112113
Universitas Sumatera Utara
PeraturanPemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1.
Kematian.
2.
Perceraian, dan
3.
Atas Keputusan Pengadilan.
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menerangkan putusnya perkawinan disebabkan: 1.
Karena meninggal dunia;
2.
Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas;
3.
Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini;
4.
Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.
Universitas Sumatera Utara
a)
Putusnya Perkawinan Karena Kematian. Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia.Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum.Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan. Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan. Namun demikian pembentuk undang-undang membuat suatu ketentuan bahwa kepentingan anak-anak belum dewasa tetap harus dilindungi sebagai akibat dari bubarnya persatuan harta karena kematian tersebut. Dalam waktu selama tiga bulan sejak meninggalnya salah satu pihak, maka suami atau isteri yang hidup terlama wajib menyelenggarakan pendaftaran harta benda persatuan. Ketentuan tersebut untuk melindungi kepentingan anak-anak yang belum dewasa agar tidak dirugikan. 70 Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris. b)
Putusnya Perkawinan karena Perceraian 70
Pasal 127 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974 Tentang
Perkawinan tidak
memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
Universitas Sumatera Utara
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala. Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
Universitas Sumatera Utara
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Kemudian
dalam Pasal
209 Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata
menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu: a. zinah, b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang lain. c)
Putusnya Perkawinankarena Putusan Pengadilan Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena adanya
seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan.Perceraian membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai.Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama. Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan harus diterima oleh para pihak.Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat
Universitas Sumatera Utara
tungga.Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua atas anak yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299). Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: 71 a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami, b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 71
Pasal 24Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya. 72 Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun. D.
Menggolongkan Harta yang Diperoleh Setelah Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukum Terhadap Harta Warisan yang Belum Dibagi. Dalam menggolongkan harta Nyonya B yang merupakan obyek perkara Pada
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 290/Pdt.G/2013/PN.Mdn yaitu harta yang diperoleh Nyonya B diperoleh setelah suaminya meninggal. Artinya bahwa dengan Kematian suami tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Sehingga ketika Nyonya B memiliki harta setelah suaminya meninggal dan hendak melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut tidak perlu persetujuan siapapun, karena perolehan harta tersebut merupakan harta pribadi nyonya B. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang 72
Pasal 41 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut : 73 1. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan dimana letaknya tidak menjadi persoalan. 2. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama. Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal-usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian. 3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. 4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama, demikian pula penghasilan dari harta pribadi suami-istri juga masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala penghasilan pribadi suami-istri tidak terjadi pemisahan,bahkan dengan sendirinya terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami-istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menerangkan putusnya perkawinan disebabkan: 1. Karena meninggal dunia; 2. Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas;
73
M. Yahya Harahap dalam Abdul Manaf, Op.cit.,hal. 59-60
Universitas Sumatera Utara
3. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini; 4. Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1. Kematian. 2. Perceraian, dan 3. Atas Keputusan Pengadilan. Berdasarkan Pasal 126 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang pembubaran (ontbinding) persatuan harta perkawinan menurut hukum (van rechtswege) dengan mengemukakan 5 buah alasan : 74 1. Karena kematian; 2. Karena berlangsungnya suatu perkawinan baru atas izin hakim berhubung dengan tidak hadirnya suami (afwezigheid); 3. Karena Perceraian; 4. Karena perpisahan meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed); 5. Karena perpisahan harta kekayaan (scheiding van goederen).
Harta yang diperoleh Nyonya B dan Tuan A selama perkawinan merupakan harta bersama. Pada saat Tuan A meninggal maka Nyonya B dan anak-anaknya merupakan ahli waris dari harta yang ditinggalkan si pewaris.Berdasarkan uraian
Universitas Sumatera Utara
diatas bahwa setelah pewaris meninggal maka persatuan harta perkawinan menjadi bubar, terhadap harta yang diperoleh Nyonya B setelah si pewaris meninggal dunia maka harta tersebut digolongkan menjadi harta pribadi Nyonya B. Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva orang yang meninggal dunia75Pewarisan hanya terjadi bilamana ada kematian (daripewaris). Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 830 Kitab UndangUndangHukum Perdata (Civil Code/Burgerlijke Wetboek). 76Seketika seseorang meninggaldunia, para ahli waris demi hukum akan menggantikan kedudukan pewaris sebagaipihak yang berwenang memiliki atau mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan. Mulai
terhitung
sejak
meninggalnya
pewaris,
maka
hak
dan
kewajibannyademi hukum akan beralih kepada para penerima waris. Dengan demikian,berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerimawaris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknyasebagai penerima waris dari pewaris. Klaim ini serupa dengan klaim kepemilikanlainnya dalam arti bahwa hak tersebut dapat ahli waris pertahankan terhadap siapapun 74
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 66 75 M.J.A Van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris, (Bandung: Eresco, 1993), hal. 1 76 Wilbert D. Kolkmanet.al.(eds),Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia,(Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hal.147
Universitas Sumatera Utara
juga (ahli waris lainnya) yang memiliki klaim sama.Harta kekayaan pewaris sebagaisatu kesatuan pada prinsipnya menjadi milik seluruh ahli waris bersamasama.Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa dalam hal pengalihan, semua ahli warisharus bersama-sama menyepakati pengalihan demikian. Berdasarkan pemaparan diatas disebutkan bahwa bubarnya persatuan harta perkawinan yaitu karena adanya kematian salah satu pasangan hidup, akan tetapi setelah meninggalnya pewaris belum ada diadakan pembagian terhadap harta warisan, hal ini yang menyebakan harta warisan tersebut terbengkalai. Istri yang merupakan salah satu ahli waris memiliki harta yang diperoleh setelah pewaris meninggal.
Pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
290/Pdt.G/2013/PN.Mdn hakim menetapkan bahwa harta yang diperoleh Nyonya B setelah meninggalnya pewaris merupakan harta bersama. Pengaturan terhadap putusnya perkawinan diatur pada pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjadi penyebab putusnya perkawinan salah satunya ialah kematian. Tuan A merupakan pasangan hidup yang meninggal dalam kasus ini sehingga dengan adanya peristiwa hukum yaitu berupa kematian maka persatuan harta perkawinan antara Tuan A dan Nyonya B menjadi bubar. Penggolongan harta benda dalam perkawinan dapat dilihat dari cara memperolehnya. Perolehan harta bersama terjadi sejak peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik karena perceraian atau karena kematian.
Universitas Sumatera Utara
Dengan melihat rentang perolehan harta bersama tersebut , maka harta-harta yang diperoleh suami istri sebelum melangsungkan perkawinan dan dibawa masuk ke dalam perkawinan dan setelah putus/berakhirnya perkawinan tidak termasuk harta bersama, tetapi merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri bersangkutan. Ketentuan
Pasal
1066
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
menyatakanbahwa pemegang hak waris tidak dapat dipaksa untuk membiarkan ataumempertahankan warisan dalam keadaan tidak terbagi.Pembagian waris dapatdituntut setiap saat, terlepas dari adanya kesepakatan bersama para ahli waris yangmelarang pembagian demikian. Sekalipun begitu, para ahli waris dapat membuatperjanjian atau kesepakatan untuk menunda pembagian atau pemberesan boedelatau kekayaan pewaris untuk sementara waktu. Perjanjian demikian akan berlaku danmengikat hanya selama 5 tahun, dan dapat diperbaharui setiap kali jangka waktutersebut terlampaui. Berdasarkan uraian Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setelah suami Nyonya B meninggal, belum pernah diadakan pembagian warisan sehingga akibat hukum terhadap harta benda perkawinan yang di tinggalkan si pewaris yang belum dibagi kepada ahli waris yaitu harta tersebut menjadi boedel atau kekayaan bagi para ahli waris.
Universitas Sumatera Utara