PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 32/Pdt.G/2009/PN. Sal)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: TITIK KHUMAIROH 21106011
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 32/Pdt.G/2009/PN. Sal)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: TITIK KHUMAIROH 21106011
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................
ii
PENGESAHAN KELULUSAN ..........................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...........................................................
iv
MOTTO ...............................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .........................................................................................
vii
ABSTRAK ...........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................
6
E. Penegasan Istilah ............................................................................
7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................
9
G. Metode Penelitian ...........................................................................
14
H. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Umum Tentang Hukum Waris Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata ............................................................................................
19
1. Pengertian Hukum Waris .........................................................
19
2. Unsur Hukum Waris ................................................................
20
3. Golongan Ahli Waris ...............................................................
22
4. Tidak Patut Mewarisi ................................................................
24
B. Kajian Umum Tentang Jual Beli Warisan Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata ...............................................................................
27
1. Pengertian Jual Beli Warisan ...................................................
27
x
2. Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Warisan ..................................
28
3. Masalah Hukum Penjualan Warisan ........................................
33
BAB III PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Negeri Salatiga ................
38
1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga .........................................
38
2. Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga ................................
41
3. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga ......................
44
B. Putusan Hakim Terhadap Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga ............................................
45
C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga .
82
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA A. Analisis Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi Putusan No. 32/Pdt-G/2009/PN.Sal .............................................................
87
B. Analisis Dasar dan Pertimbangan Hakim Terhadap Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga ..........
93
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................... 101 B. Saran ............................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dari seluruh hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat penting. Hal ini disebabkan hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia. (Ramulyo, 2000:93) Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang, sekaligus menimbulkan akibat hukum. Diantaranya adalah tentang bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan, dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan serta bagaimana cara-caranya. (Basyir, 1995:7) Hukum yang mengatur tentang harta peninggalan orang yang sudah meninggal dunia dinamakan Hukum Waris. Hukum waris menduduki tempat yang sangat penting dalam hukum Islam. Al-qur’an mengatur hukum waris secara jelas dan terperinci, diantaranya dalam surat An-Nisaa’ (4) ayat 7 yang berbunyi:
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
1
dari harta peninggalan ibu- bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Depag RI, 1976:79) Hal ini dapat dimengerti sebab masalah waris pasti dialami setiap manusia. Selain itu, hukum waris juga menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan yang pasti, maka akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Pengertian hukum waris itu sendiri adalah suatu rangkaian ketentuanketentuan yang mengatur tentang akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal kepada ahli waris, baik dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. (Affandi, 1997:7) Namun dalam pembagian harta warisan ini tentunya tidak dengan tergesagesa setelah pewaris meninggal, serta tidak dalam waktu yang singkat dalam membicarakan tentang harta peninggalan antara ahli waris dan anggota keluarga yang lain. Karena ini kurang etis dan tentunya membutuhkan waktu serta pemikiran yang tepat karena ini menyangkut semua anggota keluarga yang menjadi ahli waris agar semuanya mendapatkan bagian sesuai bagiannya. Dalam proses penerusan dan pengoperan harta benda inilah, terdapat harta benda orang tua yang nantinya akan menjadi harta warisan yang akan dibagi kepada para ahli waris yang mempunyai hak waris. Harta benda yang dimaksud di sini adalah sebidang tanah beserta dua buah rumah. Karena harta warisan belum dibagi, masing-masing ahli waris (dalam hal ini adalah anak-anaknya) masih mempunyai hak yang sama atas harta warisan itu. Jika ada lebih dari seorang ahli waris maka warisan itu merupakan mede eigendom (hak milik
bersama). Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seseorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. (Muhammad, 1993:143-144) Namun diantara para ahli waris itu disinyalir ada yang mempunyai itikad buruk untuk sekedar memperoleh bagian warisan yang lebih banyak dibanding dengan yang lainnya. Walaupun cara yang ditempuh Tergugat untuk itu menimbulkan suatu konflik atau pertentangan tersembunyi yang masih tertutup dan belum timbul menjadi suatu pertentangan terbuka yang bisa diketahui oleh umum dengan jalan berperkara di pengadilan diantara para Penggugat. Cara yang dimaksud adalah menjual harta warisan yang belum dibagi, berupa beberapa meter tanah yang nantinya akan menjadi harta warisan yang akan dibagi, tanpa rembugan atau persetujuan atau pertimbangan dengan para Penggugat yang lain. Padahal harta warisan yang dijual itu masih hak milik bersama dan belum diketahui siapa yang akan menerima bagian dari tanah tersebut sebagai hak warisnya. Hal seperti tersebut di atas, dapat menjadikan para Penggugat merasa dilangkahi, tidak dihormati dan menganggap para Penggugat itu tidak ada, sehingga ada perasan tidak senang dan menimbulkan rasa jengkel serta rasa iri terhadap perbuatan Tergugat itu. Sedangkan uang hasil penjualan itu hanya dipergunakan
untuk
kepentingan
pribadi
Tergugat
yang
tidak
jelas
penggunaannya untuk kepentingan apa, yang mana diketahui tidak ada
kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi dengan membutuhkan uang banyak. Padahal dari segi ekonomi Tergugat kedudukannya sama cukupnya dengan para Penggugat. Penyebab lain yang dapat menyebabkan rasa tidak senang, jengkel dan iri adalah karena berkurangnya bagian harta warisan yang akan dibagi akibat telah dijual Tergugat, maka akan berkurang pula bagian harta warisan yang akan diperoleh para Penggugat atau ahli waris yang lainnya. Bukan hanya bagian si Tergugat yang menjual tanah warisan tersebut saja yang berkurang, tapi bagian para Penggugat atau ahli waris yang lain juga ikut berkurang. Jika uraian kejadian di atas penyelesaian masalahnya masih belum bisa diselesaikan
dengan
jalan
musyawaroh
keluarga,
maka
dengan
jalan
menyerahkan perkara ke pengadilan masalah dapat terselesaikan. Akhirnya perkara tersebut diputus oleh Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 25 Januari 2010, dengan nomor perkara : 32 / Pdt.G / 2009 / PN.Sal. Dalam perkara Gugat Waris mengenai penjualan harta warisan yang belum dibagi oleh para ahli waris. Perbedaan pemahaman tiap-tiap orang dalam memahami suatu persoalan atau permasalahan mengenai penjualan hak waris yang belum dibagi yang dilakukan oleh salah seorang ahli waris, memang bisa menimbulkan konflik dalam suatu pertalian keluarga. Anggapan adanya suatu kecurangan dalam proses menjual hak waris itu perlu dilihat dari sisi mana atau pandangan yang bagaimana penjualan hak waris yang belum dibagi itu dianggap ada kecurangan. Apakah dari sisi etika moral sopan santun, apakah dari sisi pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan ataukah dari sisi lainnya yang belum kita ketahui.
Dari hasil putusan Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 25 Januari 2010 dengan nomor perkara : 32/Pdt.G/2009/PN.Sal. dalam perkara gugat waris mengenai penjualan harta warisan yang belum dibagi, ternyata Majelis Hakim telah menolak gugatan para Penggugat. Mengapa demikian ? kenapa Majelis Hakim tidak menerima gugatan Penggugat ? padahal dalam pasal 1334 ayat 2 KUHPer menjelaskan “Melarang jual beli warisan yang belum dibagi”. Maksudya, jika ada seseorang yang menjual warisan yang belum dibagi, maka perbuatanya dinyatakan melawan hukum. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih mendalam lagi mengenai cara atau solusi yang tepat untuk mengatasi atau menyelesaikan suatu konflik yang masih tertutup agar tidak menjadi suatu konflik terbuka dalam hal harta warisan keluarga, menurut tinjauan hukum Islam dan hukum perdata. Oleh karena itu perlu adanya persamaan persepsi atau pandangan mengenai persoalan penjualan harta warisan yang belum dibagi. Untuk itu dalam penelitian ini penulis memilih judul PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal).
B. Rumusan Masalah Berpangkal tolak pada uraian latar belakang masalah tersebut, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana Putusan Hakim dalam perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga ?
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dimaksudkan untuk memberikan arah yang tepat dalam proses dan pelaksanaan penelitian, agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Putusan Hakim mengenai perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga. 2. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian diharapkan dapat dipergunakan baik secara teoritik maupun praktis. 1. Kegunaan Teoritik : a. Dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum secara umum. b. Khususnya digunakan sebagai tambahan wacana di bidang hukum perdata. c. Lebih khusus lagi dapat digunakan sebagai literatur dalam hukum waris Islam.
2. Kegunaan Praktis : a. Bagi Progdi AHS Sebagai masukan agar progdi AHS sering-sering memberikan tugas-tugas penelitian kepada mahasiswa. Tugas penelitiannya yang berkaitan dengan jurusan kita, baik perdata Islam maupun perdata nasional. b. Bagi Pengadilan Dapat dipergunakan dalam mengambil kebijaksanaan yang lebih baik bagi pihak-pihak yang terkait, misalnya bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara gugat waris. c. Bagi Masyarakat Diharapkan dapat berguna sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah dan menghindarkan sengketa yang timbul, agar tidak menjadi lebih parah dalam kehidupan bermasyarakat.
E. Penegasan Istilah 1. Penjualan :
adalah hasil usaha menyerahkan sesuatu dengan harapan mendapatkan ganti rugi uang. (Fajri, hal:404)
2. Harta warisan :
adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi dengan semua hutangnya (Muhammad, 1993:292). Harta warisan sering disebut dengan warisan saja. Harta warisan menjadi hak ahli waris.
3. Tinjauan :
adalah merupakan kata benda yang mengacu pada arti dari hasil meninjau atau memberikan pendapat sesudah menyelidiki. (Fajri, hal:821)
4. Hukum Islam :
adalah kaidah, asas, prinsip atau aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam baik berupa ayat al qur’an, hadits nabi Mukhammad SAW, pendapat para sahabat dan tabi’in maupun pendapat yang berkembang di suatu masa dalam kehidupan umat Isalam. (Ensiklopedi, 1996: 575)
5. Hukum perdata :
Merupakan terjemahan dari “ Burgelijk Wetboek” yaitu salah satu kitab undang-undang yang berasal dari zaman pemerintahan Belanda. Burgelijk Wetboek ini memuat 1993 Pasal yang merupakan seperangkat peraturan hukum perdata dan sekarang masih berlaku bagi sebagian penduduk Indonesia. (Subekti, 1983:4)
6. Studi :
Pemikiran
untuk
memperoleh
ilmu
pengetahuan.
(Purwodarminto, 1982:965) 7. Putusan :
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. (UU RI, 1981:5)
8. PN. Salatiga :
Pengadilan tingkat pertama bagi perkara perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri dibentuk oleh Menteri
Kehakiman Agung. Daerah hukumnya meliputi satu daerah tingkat dua. (Simongkir, 2000:124)
F. Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap masalah kewarisan sebenarnya, telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa STAIN Salatiga dalam menyelesaikan masa studi yang diambil khususnya mahasiswa Jurusan Syari’ah S-1 Hukum Islam diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama, Skripsi Isti Hariyanti dengan judul Bagian Anak Dari Proses Bayi Tabung. Skripsi ini menjelaskan bagian waris terhadap anak dari proses bayi tabung dalam Hukum Islam adalah sama seperti halnya pembagian secara umum dalam Hukum Islam (bagian anak dari proses bayi tabung adalah sama dengan anak alami dari pasangan suami istri yang sah menurut hukum) (Haryanti, 2004). Oleh karena itu, dalam skripsi ini apabila seperma dari bayi tabung berasal dari orang lain dianggap sebagai anak tidak sah dan tidak mendapatkan waris. Kedua, Skripsi Ambar Setyowati dengan judul Bagian Warisan Anak Dalam Kandungan Menurut Hukum Islam (Studi Analisis Pasal 42 UU Waris Mesir No. 77 th 1946). Pembahasan dalam skripsi ini dijelaskan tentang seorang anak yang masih berada dalam kandungan tetap mendapatkan bagian harta waris, akan tetapi berapa besarnya bagian tidak disebutkan pasti karena belum diketahui secara jelas jenis kelaminnya. Oleh sebab itu, dalam analisa skripsi tersebut dijelaskan tentang pembagian harta warisan terhadap bayi yang masih berada
dalam kandungan, yaitu tetap dengan cara membagi harta waris tanpa menunggu bayi lahir terlebih dahulu, dengan ketentuan tetap ada bagian yang disisihkan untuk bayi ketika lahir. (Setyowati, 2006) Ketiga, Skripsi Zaedun dengan judul Fitnah Sebagai Penghalang Mendapatkan Hak Waris (Studi Analisis KHI Pasal 173). Penjelasan dalam skripsi ini, bahwa seorang dengan sengaja memfitnah pewaris lain dengan maksud untuk menguasai semua harta waris, maka orang tersebut dapat kehilangan hak waris dari pewaris. Selanjutnya dijelaskan tentang hukum seorang pemfitnah jika fitnah tersebut tidak terbukti, dalam Hukum Islam dianggap sebagai seorang fasik yang kesaksiannya tidak dapat diterima sampai kapanpun. (Zaedun, 2006) Keempat, Skripsi Muhammad Abduh dengan judul Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Keluarga (Studi Analisis KHI Pasal 185). Skripsi ini menjelaskan tentang ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka hak waris yang diperoleh dapat digantikan oleh anaknya demi alasan kemaslahatan ahli waris. (Abdullah, 2006) Kelima, Skripsi Hartati dengan judul Bagian Warisan Anak Luar Nikah (Studi Komparatif Antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Perdata). Dalam skripsi ini dipaparkan bahwa bagian waris anak di luar nikah dalam Hukum Islam tidak ada hak untuk mewarisi harta dari bapak, akan tetapi hanya mewarisi terhadap harta ibu kandungnya. Kemudian dalam Hukum Perdata, anak di luar nikah tetap berhak untuk mendapatkan harta waris baik dari ayah maupun ibu. (Hartati, 2002)
Keenam, Skripsi Siti Zumrotun dengan judul Faktor-faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga Mengajukan Perkara Waris Di Pengadilan Agama (Studi Kasus di Kelurahan Pulutan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga). Skripsi ini menjelaskan tentang faktor-faktor penyebab keengganan masyarakat Muslim khususnya di Desa Pulutan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga untuk mengajukan perkara pembagian harta waris di Pengadilan Agama. Penjelasan dalam skripsi tersebut diantara penyebab keengganan mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama adalah pertama, masyarakat tidak pernah terlibat langsung dalam pembagian waris, sehingga penyelesaian waris diserahkan kepada perwakilan keluarga. Kedua, masyarakat lebih memilih membagi harta warisan dengan sistem kekeluargaan. Ketiga, adanya harta waris yang dibagi terlebih dahulu sebelum pewaris meninggal dunia. Keempat, masyarakat menerima apa adanya terhadap bagian yang diterima. Kelima, anggapan tentang penyelesaian harta waris di Pengadilan Agama sangat sulit. (Zumrotun, 2007) Ketujuh, Skripsi Abdul Wahid dengan judul Pembagian Harta Warisan Antara Laki-laki Dan Perempuan Di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Munawir Syadzali). Dalam skripsi ini diuraikan tentang bagian antara laki-laki dan perempuan adalah sama 1 : 1, kesetaraan ini didasarkan terhadap peranan seorang perempuan pada zaman sekarang terkadang banyak menjadi tulang punggung bagi keluarga (pencari nafkah) dan laki-laki berganti posisi menjadi bapak yang mengurusi rumah tangga. Konsep pembagian ini di latar belakangi rasa keadilan dalam hal kemanusiaan. (Wahid, 2005)
Kedelapan, Skripsi Selamet Ariyanto dengan judul Pembagian Warisan Dengan Jalan Hibah Menurut Pandangan Islam (Studi Kasus di Desa Japar Kecamatan Tegalrejo Kabupaten Magelang). Dalam skripsi ini dipaparkan tentang pembagian warisan yang dilakukan masyarakat di Desa Japar Kecamatan Tegalrejo Kabupaten Magelang adalah dengan jalan hibah sebelum pewaris meninggal dunia dengan tujuan tidak terjadi pertengkaran, pertentangan, percekcokan, dan perebutan harta waris dalam keluaraga. (Ariyanto, 2009) Kesembilan, Skripsi Muhammad Ali As’ad dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Masyarakat Islam (Studi Kasus Atas Pelaksanaan Pembagian Waris di Kelurahan Tinggkir lor Kecamatan Tinggkir Kota Salatiga). Dalam skripsi ini dipaparkan tentang teori pembagian warisan dua banding satu (2 : 1) dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 dihubungkan terhadap praktek langsung pembagian harta waris yang dilakukan di dalam masyarakat, khususnya di Kelurahan Tingkir lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga). (As’ad, 2010) Kesepuluh, Skripsi Siti Nurkhayah dengan judul Syarat Dan Wewenang Wali Waris (Studi Komparatif KHI dan Perdata). Skripsi ini membahas tentang syarat dan wewenang wali waris. Syarat wali waris adalah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, berkelakuan baik, dan tidak berada di bawah pengampuan orang lain. Dan wewenang wali waris adalah memelihara, menjaga, mengawasi, mengayomi, mendidik anak yang berada di bawah perwaliannya, serta memelihara dan mengelola harta benda anak tersebut dengan sebaik-baiknya. (Nurkhayah, 2004)
Kesebelas, Skripsi Noor Fuad Zen dengan judul Wasiat Wajibah Sebagai Alternatif Waris Anak Angkat (Studi Analisis Pasal 209 KHI). Skripsi ini menerangkan bahwa wasiat wajibah itu sebagai alternatif dalam kewarisan anak angkat, walaupun dalam Al-Qur’an telah menetapkan orang yang berhak menerima wasiat, akan tetapi demi kemaslahatan dan menjamin kelangsungan hidup anak yang diangkat, orang yang mengangkat dapat mengeluarkan sebagian hartanya untuk mewujudkan hal tersebut. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 209 KHI ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam serta kemaslahatannya adalah maslahat yang hakiki yang sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan, serta bukan hanya kemaslahatan untuk seseorang namun merupakan kemaslahatan secara umum. Bagi orang tua angkat tidak terhalang untuk memberikan sebagian hartanya kepada anak angkatnya walaupun bukan sebagai ahli waris, dengan jalan memberikan sebagian hartanya sewaktu masih hidup atau memberikannya dengan jalan wasiat, yang tidak lebih dari sepertiga harta. (Fuad Zen, 2004) Kedua belas, Skripsi Hanif Adityasari dengan judul Pembagian Harta Warisan Bagi Keturunan Punah atau kalalah (Studi Kasus di Manggal, Simo, Boyolali). Skripsi ini menjelaskan proses pembagian harta warisan kalalah di Manggal, Simo, Boyolali
adalah melalui cara musyawaroh dengan tanpa
menggunakan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an maupun yang ada dalam KHI. Pembagian warisan hanya dengan sekedar membagi harta warisan kepada ahli waris yang ada dan tidak sesuai dengan bagian-bagian yang telah difirmankan oleh Allah SWT dibolehkan dalam Islam asalkan dibagi dengan adil
dan masing-masing ahli waris dapat menerima bagiannya dengan ikhlas dan tidak iri dengan bagian ahli waris yang lain. Sedangkan pada kasus seorang meninggal secara kalalah (keturunan punah) yang tidak meninggalkan ahli waris, harta peninggalannya diurus oleh masyarakat setempat dan hartanya digunakan untuk keperluan daerah setempat. (Adityasari, 2009) Selanjutnya penelitian yang penulis lakukan dalam hal penjualan harta warisan ini terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengkaji tentang putusan hakim Pengadilan Negeri Salatiga No. 32 /Pdt. G/2009/PN. Sal. Tentang penjualan harta warisan yang belum dibagi ditinjau dari hukum Islam dan hukum perdata.
G. Metode Penelitian Penelitian membutuhkan data-data yang dapat memberikan kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan. Dimana penelitian itu sendiri mempunyai arti suatu usaha untuk mengembangkan, menemukan, dan menguji kebenaran sesuatu pengetahuan usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah. (Hadi, 1986:4) Metode-metode tersebut sangatlah penting untuk menunjang hasil yang nantinya diperoleh dari penelitian yang dilakukan, sehingga mendapatkan data dengan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti. Suatu penelitian agar menghasilkan data-data yang akurat dan tidak meragukan mesti dilakukan secara sistematis, sehingga penentuan metode yang
akan dipakai merupakan langkah awal dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah : 1. Pengumpulan Data a. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomenafenomena yang diselidiki. (Muhtar, 2000:79) b. Wawancara yaitu sebuah dialok yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer)
untuk
memperoleh
informasi
dari
terwawancara
(interviewer). (Arikunto, 1998:145) c.
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Ibid, hlm:236). Dokumentasi yang dimaksud di sini adalah mengambil sejumlah data mengenai gugat waris tentang penjualan warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga yaitu putusan Nomor 32/Pdt.G/2009/PN.Sal.
d. Studi Pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori). (Amirin, 1990:135) e. Subyek Penelitian dalam mengumpulan data Penulis wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga yaitu Hasbullah Idris, SH.MH., Laurensius Bapa, SH.MH., Endang Wudiati, SH. Dan Ahmad, SH. Untuk memberikan informasi khususnya berupa pertimbangan dan dasar putusan Hakim mengenai kasus penjualan warisan yang belum dibagi.
2.
Metode Analisis data Analisis data yaitu analisis pada tehnik pengolahan datanya dan melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen (Hasan. 2004:30). Analisis yang dimaksud di sini adalah menganalisis informasi yang menitik beratkan pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan putusanputusan hakim. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan: a. Pendekatan Analisis (Analicical Appoach) yaitu mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundangundangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. (Ibrahim, 2006: 310) b.
Pendekatan Kasus yaitu mempelajari pendekatan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum (Ibid, hlm:321). Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.
H. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mempermudah dalam memahami skripsi serta mengikuti petunjuk penulisan skripsi yang ada, maka penulisan skripsi ini penulis susun secara sistematis sebagai berikut : 1. Bagian muka
Dalam bagian ini terdiri dari halaman sampul, lembar berlogo, halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman abstrak, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. 2. Bagian isi Pada bagian ini disusun beberapa bab yaitu : Bab I Pendahuluan, dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Kajian Pustaka, dalam kajian pustaka ini menguraikan berbagai teori-teori yang diambil dari berbagai literatur mengenai penjelasan singkat kajian pustaka tentang hukum waris, diantaranya (pengertian hukum waris, unsur hukum waris, hak mewarisi, dan tidak patut mewarisi) dan penjelasan singkat perihal jual beli warisan, diantaranya (pengertian jual beli warisan, syarat sah perjanjian jual beli warisan, dan masalah hukum penjualan warisan) dalam tinjauan hukum Islam dan hukum perdata. Bab III Putusan dan pertimbangan Hakim terhadap perkara penjualan warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga Perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. Dalam bab ini penulis kemukakan mengenai gambaran umum tentang Pengadilan Negeri Salatiga yang meliputi (sejarah, kewenangan, dan strukturnya), putusan Hakim terhadap perkara penjualan warisan di Pengadilan Negeri Salatiga, serta pertimbangan dan dasar putusan
Hakim mengenai perkara gugat waris penjualan warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga. Bab IV Analisis putusan Hakim terhadap penjualan warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga. Analisis penjualan warisan yang belum dibagi, analisis putusan dan pertimbangan Hakim terhadap penjualan warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga. Bab V Penutup, dalam bab ini penulis sampaikan kesimpulan dan saran-saran dari hal-hal yang penulis dapatkan pada bab terdahulu. 3. Bagian akhir Bagian ini berisi daftar pustaka, daftar riwayat hidup, dan lampiranlampiran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Umum Tentang Hukum Waris Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata 1. Pengertian Hukum Waris Dalam Hukum Islam, secara terminologi Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak. Dalam redaksi yang lain Hasby Ash-Shiediqy sebagaimana dikutip Ahmad Rofiq, mengemukakan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerima setiap ahli waris dan cara pembagiannya. (Rofiq, 1983:2) Dalam Hukum Perdata, menurut Prof. Wiryono Projodikoro, SH., Hukum Waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain. (Reksopradoto, 1983:2) Definisi dari Mr. A. Pitlo adalah sebagai berikut : Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga. (Afandi, 1986:7) Pengertian dari warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan hukum dalam masyarakat, tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
19
seseorang yang meninggal dunia tentang kekayaannya yang ditinggalkan dan cara-cara peralihannya kepada orang yang masih hidup. (Reksopradoto, 1983:1) Jadi menurut ulasan penulis, Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur mengenai beralihnya hak dan kewajiban dalam hal kebendaan mengenai lapangan harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia dan orang tersebut meninggalkan harta kekayaan kepada yang ditinggalkan (ahli warisnya). Dan juga mengatur mengenai bagaimana cara peralihan harta kekayaan si pewaris kepada ahli warisnya setelah dikurangi dengan hutanghutangnya. 2. Unsur Hukum Waris Dalam Hukum Islam, unsur hukum waris sama halnya dengan rukunrukun mewarisi. Rukun mewarisi disini terdapat 3 (tiga) unsur diantaranya: a. Mewaris atau Pewaris, dalam Kompilasi Hukum Islam dinamakan pewaris. Pewaris adalah yang pada saat meninggal atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peniggalan. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau karena keputusan hakim dinyatakan mati karena beberapa sebab dan meninggalkan sesuatu untuk keluarganya yang masih hidup. (Yustisia, 2004:25) b. Ahli Waris, adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan si
meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggalkan mati oleh seseorang (pewaris). (Ramulya, 1994:103) c. Mauruts, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Oleh karena itu, harta peninggalan tersebut haruslah harta yang sepenuhnya merupakan milik pewaris. Harta warisan tersebut yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat, mengurusi jenazah pewaris, dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Dalam Hukum Perdata, proses penerusan dan pengoperan harta benda ada tiga unsur yang timbul yaitu : a. Ada orang yang meninggal dunia, sebagai peninggal warisan (pewaris) yang pada waktu meninggal dunia meninggalkan harta benda atau kekayaan kepada orang lain. b. Ada orang atau beberapa orang yang disebut sebagai ahli waris yang berhak
menerima
harta
warisan
yang
ditinggalkan
itu
untuk
menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian tertentu. c. Ada harta warisan, yaitu segala wujud harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua hutangnya yang beralih kepada ahli waris. Adapun warisan itu sendiri adalah kekayaan yang berupa keseluruhan hak-hak (aktiva) dan kewajiban (pasiva) yang
mempunyai nilai uang dari yang meninggal dunia (pewaris) yang berpindah kepada para ahli waris. 3. Golongan Ahli Waris Dalam Hukum Islam, pertalian hubungan keluarga yang diatur di dalam Hukum Waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari pewaris terdapat 4 (empat) golongan yaitu : a. Anak-anak (walad) beserta keturunan dari si meninggal dunia baik lakilaki maupu perempuan. b. Orang tua yaitu ibu dan bapak dari yang meninggal dunia. c. Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan. d. Suami atau istri yang hidup terlama. Di dalam pasal 174 ayat (1) dan (2) KHI, menjelaskan kelompokkelompok ahli waris, diantaranya : a. Menurut Hubungan darah: 1)
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudar laki-laki, paman dan kakek.
2)
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. (Depag, 2000:83) Dalam Hukum Islam, seorang meninggal secara kalalah (keturunan punah) yang tidak meninggalkan ahli waris, maka harta peninggalan diurus
oleh masyarakat setempat dan hartanya digunakan untuk keperluan daerah setempat. Dalam Hukum Perdata pertalian hubungan keluarga yang diatur di dalam Hukum Waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari pewaris dibagi dalam empat golongan, yaitu: a. Golongan pertama (ketentuan pasal 852 KUHPer) Dimasukkan anak-anak beserta turunan-turunan dalam garis lenceng ke bawah, dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Hak mewarisi oleh suami atau istri dari si meninggal, dipersamakan dengan seorang anak yang sah. b. Golongan kedua (ketentuan pasal 854 dan 855 KUHPer) Dimasukkan orang tua (ayah dan atau ibu) mewaris bersama saudarasaudara dari orang yang meninggal dunia, apabila meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri. c. Golongan ketiga (ketentuan pasal 853 KUHPer) Dimasukkan sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (pasal 853 KUHPer). Yang dimaksud di sini adalah kakek dan atau nenek dari orang yang meninggal dunia. Dengan catatan, sesudah golongan pertama dan golongan kedua tidak ada lagi. d. Golongan keempat (ketentuan pasal 858 KUHPer)
Dimasukkan
sanak
saudara
dalam
garis
yang
lain
(garis
menyimpang) yaitu para paman dan bibi serta sekalian keturunan dari paman dan bibi (saudara sepupu) Juga dimasukkan anak-anak atau keturunan dari saudara yang meninggal lebih dulu dari si pewaris (keponakan). (Reksopradoto, 1983:33) Pasal 832 KUHPer menyatakan bahwa menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Hak waris dari keluarga sedarah dari garis menyimpang dibatasi oleh pasal 861 alinea 1 KUHPer, yang menentukan bahwa mereka yang berada dalam derajat keenan (ke-6) dari yang meninggal tidak dapat mewaris. Kalau tidak ada suami atau istri dan keluarga lainnya dalam suatu derajat yang dapat mewaris, maka harta peninggalan akan jatuh kepada negara (pasal 832 KUHPer alinea terakhir). 4. Tidak Patut Mewarisi Menurut Hukum Islam, keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris terhalang atau tidak dapat memperoleh harta warisan, diantaranya : a. Perbudakan Para fuqoha sepakat perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris, budak tidak dapat mewaris dan tidak dapat pula mewariskan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak. Ia tidak dapat mewaris karena dianggap tidak dapat
mengurusi harta pusaka, dan tidak dapat mewariskan karena ia dianggap melarat. Dengan kata lain seorang budak tidak dapat menjadi subyek hukum. Menjadi budak orang lain, budak tidak berhak memiliki sesuatu, oleh karenanya tidak berhak mewaris (praktisi penghalang ini tidak perlu mendapatkan perhatian karena perbudakan sudah lama hilang. b. Karena Pembunuhan Rasulullah SAW bersabda :
)(روه التزمذي.ان القاتل ال يزث كان القتل عمدااوخطأ Artinya : “Sesungguhnya pembunuh tidak mendapatkan warisan, baik dengan sengaja membunuh atau tidak. (Tirmizi, hlm:370) c. Berlainan Agama Berlainan agama berarti agama pewaris berlainan dengan agama ahli waris. Misalnya, pewaris beragama Islam, sedangkan ahli waris beragama kristen, demikian juga sebaiknya. Hal ini didasarkan pada Hadits Rasulullah yang artinya : “Orang Islam tidak dapat mewaris harta orang kafir, dan orang kafirpun tidak dapat mewaris harta orang Islam”. (HR. Bukhori dan Muslim) d. Murtad Orang yang keluar dari agama Islam tidak mendapat waris dari keluarga dan sebaliknya harta waris ia pun tidak diwarisi hartanya oleh orang
Islam. Alasannya karena salah satu faktor terjadinya pewarisan adalah hubungan keagamaan (Islam) diantara individu. e. Beda Negara Beda Negara berarti beda tempat dan berbeda kewarganegaraan. Berbeda di sini dapat digolongkan dalam 2 (dua) macam : 1) Berbeda Negara antara orang-orang non muslim 2) Berbeda Negara antar orang-orang non muslim / keluarga non muslim. Selain ada ahli waris yang mempunyai hak waris, tentu ada ahli waris yang tidak berhak menerima warisan. Ahli waris ini adalah orang yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris, tetapi oleh undang-undang (pasal 838 KUHPer) telah ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya dianggap tidak patut (onwaardig) menjadi waris yaitu: a. Mereka yang dengan putusan hakim telah dihukum dalam perkara pembunuhan atau mencoba membunuh (percobaan pembunuhan) terhadap pewaris. b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan dan telah terbukti bahwa ia telah memfitnah dengan mengajukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan yang nyata telah mencegah atau menghalang-halangi si pewaris untuk membuat atau mencabut testamen (surat wasiat). d. Mereka yang telah menggelapkan, memusnahkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris. Kalau ahli waris menjadi tidak patut menerima warisan, maka pengalihan dan pengoperan harta warisan dengan sendirinya akan batal.
B. Kajian Umum Tentang Jual Beli Warisan Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata 1. Pengertian Jual Beli Warisan Jual beli secara etimologis berarti pertukaran mutlak. Kata-kata al-ba’i (jual) dan asy-syiraa (beli) penggunannya disamakan antara keduanya, yang masing-masing mempunyai pengertian lafadz yang sama dan pengertian berbeda. Dalam syari’at Islam, jual beli merupakan pertukaran semua harta (yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan) dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya, atau dengan pengertian lain memindahkan hak milik dengan hak milik orang lain berdasarkan persetujuan dan hitungan materi. (Sabiq, 1988:45) Jual beli warisan adalah jual beli dari semua hak terhadap warisan, dengan kewajiban untuk melakukan semua kewajiban yang dilahirkan bagi si penjual dari kedudukannya sebagai ahli waris.
Menjual hak waris dapat diartikan, menjual hak yang dapat dilakukan oleh si ahli waris sebagai pengganti si pewaris atas aktiva warisan dengan syarat bahwa si pembeli mengikat diri terhadap si ahli waris untuk atas tanggungannya sendiri melunasi hutangnya si ahli waris yang menjadi kewajiban si ahli waris itu sebagai pengganti dalam kewajiban hukum si pewaris. (Soerjopratiknjo, 1982:48) 2. Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Warisan Dalam Hukum Islam, hal yang berkaitan dengan muamalah jual beli harus memenuhi syarat dan rukun jual beli. Syarat sahnya perjanjian jual beli warisan sama halnya dengan syarat jual beli pada umumnya. Dalam hal ini dijelaskan rukun jual beli adalah sebagai berikut : a. Ada penjual dan pembeli b. Ada aqad (ijab dan qabul) c. Ada barang (ma’kud alaih) Sedangkan syarat-syarat bagi setiap rukun-rukun tersebut adalah penting dan mesti dipenuhi. Karena jual beli dinyatakan syah apabila telah memenuhi syarat-syarat atas pelaku akad, barang yang akan diakadkan, atau tempat berakad, barang yang akan dipindah kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga. Adapun syarat-syarat pelaku akad adalah berakal dan mempunyai kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil tidak bisa dinyatakan syah. Bagi anak kecil yang sudah mampu membedakan yang
benar dan yang salah maka akadnya syah, tapi tergantung walinya. Lebih lengkapnya berikut 3 (tiga) hal persyaratan untuk kedua penjual dan pembeli yaitu : a. Keduanya saling ridha, seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW berkata : 1) Dari Abu Sa’id Al-Khudi bahwa Rasulullah SAW berkata: “ Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (Al-Baihaqi, 1992:975) 2) Nabi SAW bersabda:“Sesungguhnya jual beli itu karena keridhoan”. (Ibnu Hibban, 1992: 575) b. Keduannya adalah orang yang sudah diperbolehkan mengambil sikap masing-masing (Aqil baligh) c. Berhak dan memiliki barang yang dijual atau mewakili sang pemiliknya, hal ini berdasrkan sabda Nabi SAW kepada Hakim bin Hizam: “Jangan engkau menjual apa-apa yang bukan milikmu”. (At-tirmidzi, 1992:875) Sedangkan syarat-syarat barang akad adalah sebagai berikut : a. Suci, bukan barang-barang yang mengandung unsur-unsur najis dan dilarang oleh syara’ (halal dan baik). Ini didasarkan atas hadits Rasulullah SAW “sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung-patung”. Mengambil manfaat dari lemak bangkai, bukan untuk diperjual belikan hukumnya boleh. Contoh memberi minyak pada kulit, dijadikan bahan bakar penerangan. Ibnu Qoyyim berpendapat atas hadits tersebut bahwa semua perbuatan tersebut adalah haram, dan menjual belikannya,
sekalipun si pembeli menggunakannya untuk kepentingan yang sama. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa semua jenis barang najis berlaku ketentuan haram. Sedangkan Hanafi dan Zhahiri mengecualikan barang yang mempunyai manfaat dan halal untuk diperjual belikan. b. Bermanfaat Transaksi jual beli serangga, ular dan tikus tidak diperbolehkan kecuali untuk sesuatu yang bermanfaat. Demikian dengan yang lainnya. c. Milik orang yang melakukan akad atau yang diberi izin oleh pemilik (jika tanpa izin disebut ba’i al-fudhali). Akad fudholi dianggap akad yang sah, akan tetapi keabsahan haknya tergantung izin pemilik sah atau wakilnya. Jika si pemiliknya membolehkannya maka sah akadnya, jika tidak maka batal akadnya. d. Barang tersebut dapat diserahkan dalam majlis akad. Sesuatu yang tidak dapat diserahkan secara konkrit maka tidak sah hukumnya, seperti ikan dalam air, burung yang terbang. e. Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitinya, barang dan nilainya diketahui (setatusnya jelas). Hal ini untuk menghindarkan penipuan. Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan perkiraan atau taksiran. Untuk barang zimmah (barang yang dihitung dan ditimbang), maka jumlah dan sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak.
Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat, nilai pembayaran, jumlah maupun masanya. f. Masa penyerahannya telah ditetapkan. g. Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan. Ijab dan qabul, adalah ketetapan syariat dalam mengungkapkan secara verbal yang menjadi standar atas isi hati atau niyatnya. Ijab adalah ungkapan awal yang diucapkan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad dan qabul adalah pihak kedua. Tidak ada perbedaan diantara keduanya dalam hal mengijab atau mengqabul. Dikecualikan untuk barang-barang yang kecil yang hanya cukup dengan mu’athaah (saling memberi) sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Tidak diperlukan kata-kata khusus dan dalam jual beli diharuskan adanya kerelaan yang diwujudkan dalam bentuk mengambil dan memberi, atau dengan cara lain yang dapat menunjukkan akan sikap ridha. (Zuhri, 1996:65) Buku III KUHPer mengatur tentang perikatan yang menganut sistem terbuka, artinya orang bebas mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur oleh undang-undang maupun yang tidak diatur oleh undang-undang, dengan ketentuan sepanjang perjanjian yang dibuat tersebut tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dasar hukum dari berlakunya perjanjian bagi para ahli waris dan mereka yang memperoleh hak terdapat dalam pasal 1318 KUHPer, yang menyatakan jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu
adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan bahwa tidak sedemikianlah maksudnya. Suatu perjanjian jual beli warisan pada hakekatnya mempunyai syarat sah sama dengan syarat sahnya perjanjian pada umumnya. Menurut pasal 1320 KUHPer suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah bila dipenuhi syaratsyarat : a. Bahwa perjanjian itu didasarkan atas kesepakatan para pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan melainkan berdasarkan kebebasan semata-mata b. Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harusnya orang-orang yang cakap untuk membuat suatu perikatan c. Adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan d. Adanya suatu sebab yang halal (yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh undang-undang serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi) yang mendasari perjanjian itu. Orang yang dinyatakan atau dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu perikatan (pasal 1330 KUHPer) ialah : a. Anak yang belum dewasa b. Orang dewasa yang beradah di bawah curatele atau pengampuan c. Wanita yang masih terikat perkawinan atau orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. Sebab yang mendasari suatu perjanjian jual beli itu dikatakan tidak halal kalau : a. Dilarang oleh
undang-undang,
misalnya
sebab
perjanjian
yang
bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan, moral, sopan santun dan larangan-larangan hukum tertentu b. Tidak masuk akal (tidak mungkin) untuk dilaksanakan atau dipenuhi, misalnya barang yang diperjanjikan atau yang akan diadakan ialah benda bergerak (mobil, motor) apabila dipakai atau dipergunakan secara terus menerus tidak akan pernah mengalami kerusakan untuk selamanya (bersifat kekal atau abadi). (Halim, 1984:148) Bila perjanjian jual beli itu dibuat tanpa kesepakatan semua pihak (misalnya dengan paksaan, penipuan atau sepakat karena khilaf) atau bila perjanjian itu melibatkan orang atau orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan perikatan, maka perjanjian ini dapat dituntut untuk dibatalkan. Bila perjanjian yang dibuat itu tidak didasarkan atas suatu hal tertentu atau tidak didasarkan atas suatu sebab yang halal, maka perjanjian tersebut dengan sendirinya menjadi batal (batal demi hukum). 3. Masalah Hukum Penjualan Warisan Dalam Hukum Islam menjelaskan bahwa hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram. Jual beli dapat dikatakan syah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi. Hukum penjualan warisan sama halnya dengan
hukum penjualan pada umumnya. Penjualan warisan dapat dikatakan syah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya jual beli. Sedangkan warisan yang
dimaksud
adalah
warisan
yang
sudah
jelas,
yaitu
sudah
dilaksanakannya hak-hak pewaris. Misalnya setelah dikurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat, mengurusi jenazah pewaris,dan setelah digunakan
untuk
melaksanakan
wasiat.
Setelah
hak-hak
pewaris
terlaksanakan baru kewajiban pewaris dilaksanakan. Kewajiban pewaris di sini maksudnya, harta peninggalan pewaris dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya. Semua ahli waris harus mendapatkan bagian warisan sesuai bagiannya masing-masing. Jika ahli waris sudah mendapatkan bagiannya masing-masing, maka ahli waris bebas dan berhak atas hartanya tersebut. Warisan yang belum dibagi tidak syah untuk diperjual belikan. Dengan alasan karena di dalam warisan tersebut masih terdapat hak ahli waris yang lain dan belum jelas siapakah yang akan menjadi pemilik barang tersebut. Dalam rukun jual beli yang dijelaskan dalam persyaratan untuk kedua penjual dan pembeli dalam melaksanakan transaksi diantaranya yaitu menerangkan bahwa penjual yang menjual barang tersebut adalah pemilik asli atau pemilik mutlak dari barang tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Hakim bin Hizam “Jangan engkau menjual apa-apa yang bukan milikmu” (At-tirmidzi, 1992:875) Sedangkan dalam syarat jual beli, barang yang diakadkan dalam jual beli dijelaskan bahwa barang yang diperjual belikan adalah milik orang yang melakukan akad atau yang diberi izin oleh pemilik. Jika si pemiliknya
membolehkan maka syah akadnya, jika tidak maka batal akadnya. (Sabiq, 1987:56) Menjual warisan yang belum dibagi sama halnya menjual milik orang lain, yaitu menjual tanpa sepengetahuan si pemilik. Agama Islam melindungi harta. Karena harta adalah bahan pokok untuk hidup. Islam juga melindungi hak milik individu manusia, sehingga hak mutlak tersebut benar-benar merupakan hak milik yang aman. Dengan demilian, Islam tidak menghalalkan seseorang merampas hak milik orang lain dengan dalih apa pun. Islam menyamakan orang yang mengambil hak orang lain disebut pencuri atau penghasab harta orang lain. Islam telah mengharamkan mencuri dan menghasab. Islam menganggap segala perbuatan mengambil hak milik orang lain sebagai perbuatan yang batal. Dan memakan hak milik orang lain itu berarti memakan barang barang haram. (Sabiq, 1988:213) Menurut KUHPer jika ada penjualan suatu warisan, maka yang dijual adalah hak dan kewajiban yang terkumpul bersama karena suatu ikatan, yaitu fakta bahwa itu merupakan bagian dari harta peninggalan orang tertentu. Warisan yang dimaksudkan tentunya warisan yang sudah terbuka (sudah dibagi). (Soerjopratiknjo, 1982:47) Dalam KUHPer menjelaskan tepatnya dalam pasal 1334 ayat 2 KUHPer yaitu melarang jual beli warisan yang belum terbuka, dengan melarang seseorang membikin suatu perjanjian tentang barang-barang yang akan masuk hak warisnya, kalau seseorang lain akan meninggal dunia, meskipun dengan izin orang yang akan meninggalkan barang-barang warisan
itu. Kalimat “akan masuk hak warisnya” mengandung maksud atau arti bahwa suatu harta kekayaan tersebut belum menjadi hak miliknya atau hak warisnya. Dalam pasal 1334 ayat 2 KUHPer dengan adanya anak kalimat “juga tidak dengan izin dari si peninggal warisan” , dapat dilihat bahwa ayat 2 ini hanya mengenai persetujuan dari dua orang tentang bakal warisan dari seorang ketiga. Pasal 1471 KUHPer yang menyatakan bahwa jual beli barang orang lain adalah batal, dan serta secara eksplisit menyangkut pasal 1083 KUHPer yang pada intinya bahwa setiap ahli waris dianggap seketika menggantikan si pewaris dalam hal barang-barang yang dibagikan kepadanya. Hal tersebut di atas menggambarkan ketidakmungkinan menyerahkan hak kebendaan yang masih menjadi milik bersama, dan belum diadakan pembagian untuk menjadi milik perseorangan. Sehingga tidak bisa dianggap menjual bagiannya atau haknya dalam sesuatu barang sebagai ahli waris. Jikalau si pewaris belum meninggal, maka yang berhak menjual harta kekayaan yang akan menjadi harta warisan adalah si pewaris sendiri. Sebab harta kekayaan si pewaris belum merupakan harta warisan, masih hak sepenuhnya dari si pewaris, sehingga belum dibagikan kepada ahli waris. Kalau si penerima waris hendak menjual harta kekayaan si pewaris, hendaknya meminta kepada si perwaris (tentunya ketika si pewaris masih hidup) untuk menjualkan harta kekayaannya itu, atau meminta lebih dahulu harta kekayaan yang kelak akan menjadi harta warisan bagiannya (kalau ia tega memintanya).
Pasal 1121 KUHPer menyatakan bahwa pembagian dan pemisahan harta warisan pada waktu pewaris masih hidup itu diperbolehkan. Seandainya dulu ketika si pewaris masih hidup membolehkan menjualnya, itu berarti dapat dianggap pewaris telah memberikan hak warisnya kepada si penjual warisan tersebut. Sehingga ahli waris tersebut telah mempunyai kedudukan yang kuat untuk menjual bagian harta warisan itu. Karena dalam jual beli suatu warisan penyerahannya (leveringnya) tidak dapat dilakukan dengan satu perbuatan, melainkan masing-masing unsur-unsurnya harus diserahkan (dilever) kepada pembelinya dengan cara yang ditentukan dalam Buku II KUHPer. Oleh karena itu untuk sementara ini, perlu adanya suatu penjelasan atau diberi pengertian mengenai peraturan perundangan yang terkait dengan masalah ini kepada para ahli waris yang terkait dengan masalah ini, melalui pendekatan secara damai dan kekeluargaan. Sehingga ahli waris yang belum tahu dan paham akan peraturan perundangan itu menjadi tahu dan paham. Hal tersebut diupayakan agar masing-masing ahli waris mempunyai persamaan persepsi dalam mengetahui dan memahami problem yang timbul dalam penjualan hak waris tersebut.
BAB III PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENJUALAN HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA
A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Negeri Salatiga 1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga Pengadilan Negeri Salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu tahun 1896 berupa Landraad untuk keperluan Warga Negara Asing dan Belanda. Pemerintah Daerah pada masa itu berupa Kabupaten Semarang dan Kawedanan Salatiga yang berpusat di Salatiga berbentuk Gamanto yang pada perubahannya setelah kemerdekaan menjadi kota Pbebek dan kini berbentuk Kotamadya. Pada waktu berbentuk Landraad hakim-hakim di Salatiga terdiri atas tokoh Ahli Hukum pada jaman itu yaitu: 1) Mr. Whirlmink 2) Mr. Carnalis 3) Mr. Peter 4) Mr. Ter Haar 5) Mr. Lekkerkarkar 6) Mr. Sebeeler 7) Mr. Rykee 8) Mr. Cayauk 9) Mr. Dr. Gondo Koesoemo 10) Mr. Shoot
38
11) Mr. Wiednar 12) Mr. R. Soeprapto Pada masa Pendudukan Jepang (Tihoo-Ho-In) 1) Mr. Lio Oen Hok 2) P. Salamoon Pada Jaman Revolusi kemerdekaan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga adalah: 1) Mr. Trank 2) Mr. Kresno Setelah Indonesia Merdeka, yang pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Salatiga adalah: 1) Mr. Soebiyono 2) Mr. Woeryanto 3) Soehono Soedjo, SH. 4) Soenarso, SH. 5) Soeharto, SH. 6) Acmadi, SH. 7) Imam Soetikno, SH. 8) H. Mohammad Hatta, SH. 9) Soetopo, SH. 10) Djautan Purba, SH. 11) Agus Air Guliga, SH. 12) Sarwono Soekardi, SH. 13) Sabirin Janah, SH.
14) Suhartati, SH. 15) Tewer Nussa Steven, SH 16) Winaryo, SH.MH. (sekarang). Dalam perkembangannya Wilayah daerah Pemerintahan mengalami perubahan demikian juga daerah Hukum Pengadilan Negeri Salatiga. Untuk mengatur Wilayah Kabupaten Semarang yang begitu luas pada tahun 1963 Pengadilan Negeri Salatiga terpecah menjadi dua yaitu: 1) Pengadilan Negeri Salatiga dengan Wilayah Hukum Kabupaten Semarang bagian Selatan dan Kotamadya Salatiga 2) Pengadilan Negeri Ambarawa dengan wilayah Hukum Kabupaten Semarang bagian Utara. Setelah pembagian wilayah Hukum tersebut, maka pada tahun 1983 berdasarkan proses pengurangan Wilayah Hukum maka Kejaksaan Negeri Salatiga mempunyai 2 (dua) wilayah hukum, yaitu: 1) Kejaksaan Negeri Salatiga sebagai penuntut umum di Wilayah Kotamadya Salatiga yang terdiri atas 1 (satu) Kecamatan. 2) Kejaksaan Ambarawa dengan Wilayah Hukum Kabupaten Semarang bagian Selatan, namun setelah Pengadilan Negeri Kabupaten Ungaran diresmikan, Wilayah Pengadilan Negeri Salatiga yang tadinya meliputi Kabupaten Semarang bagian Selatan, maka Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Salatiga tinggal 1 (satu) Kecamatan terdiri dari 9 (sembilan) Kelurahan. Dan dalam perkembangannya saat ini Wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Salatiga meliputi 4 (empat) Kecamatan terdiri dari 22 (dua puluh dua) Kelurahan.
2. Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga a. Tugas dan wewenang Ketua Pengadilan 1) Menetapkan atau menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan persidangan perkara. 2) Menetapkan panjar biaya perkara. Dalam hal Penggugat atau Tergugat tidak mampu, ketua dapat mengizinkannya untuk beracara secara prodeo. 3) Membagi perkara gugatan dan permohonan kepada Hakim untuk disidangkan. 4) Dapat mendelegasikan wewenang kepada Wakil Ketua untuk membagi perkara permohonan dan menunjuk Hakim untuk menyidangkannya. 5) Menunjuk Hakim untuk mencatat gugatan atau permohonan secara lesan. 6) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melakukan pemanggilan, agar terhadap termohon eksekusi dapat dilakukan teguran (anmaning) untuk memenuhi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan serta merta, putusan provisi dan melaksanakan eksekusi lainnya. 7) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melaksanakan somasi.
8) Berwenang menangguhkan eksekusi untuk jangka waktu tertentu dalam hal ada
gugatan perlawanan. Berwenang memerintah,
memimpin, serta mengawasi eksekusi sesuai ketentuan yang berlaku. 9) Menetapkan biaya Jurusita dan menetapkan biaya eksekusi. 10) Menetapkan: -
Pelaksanaan lelang
-
Tempat pelaksanaan lelang
-
Kantor lelang Negara sebagai pelaksanaan lelang
11) Melaksanakan putusan serta merta -
Dalam hal perkara dimohonkan banding wajib meminta izin kepada Pengadilan Tinggi
-
Dalam hal perkara dimohonkan kasasi wajib meminta izin kepada Mahkamah Agung
12) Menyelesaikan permohonan kewarganegaraan 13) Melakukan penyumpahan terhadap permohonan kewarganegaraan yang telah memperoleh Surat Keputusan Presiden. 14) Menyediakan buku khusus untuk anggota Hakim Majelis yang ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua anggota Hakim Majelis lainnya dalam memutuskan perkara serta merahasiakannya 15) Mengawasi pelaksanaan court calender dan mengumumkannya pada pertemuan berkala para Hakim. Meneliti court calender yang membina Hakim agar memutus perkara yang diserahkan kepadannya paling lama 6 (enam) bulan.
16) Mengevaluasi laporan mengenai penanganan perkara yang dilakukan Hakim dan Panitera Pengganti, selanjutnya mengirimkan laporan dan hasil evaluasinya secara periodik kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. 17) Memberikan izin berdasarkan ketentuan undang-undang untuk membawa keluar dari ruang Kepaniteraan: daftar, catatan, berita acara serta berkas perkara. 18) Meneruskan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung), PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) dan surat-surat dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi yang berkaitan dengan hukum dan perkara kepada para Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Jurusita. b. Tugas dan Wewenang Wakil Ketua Pengadilan a. Melaksanakan tugas Ketua apabila Ketua berhalangan. b. Melaksanakan tugas yang didelegasikan oleh Ketua kepadanya. c. Dalam hal Ketua mendelegasikan wewenang pembagian perkara permohonan, harus membagikannya kepada Hakim secara merata. c. Tugas dan wewenang Hakim atau Ketua Majelis a. Menetapkan hari sidang b. Metetapkan sita jaminan c. Bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan.
3. Struktur Pengadilan Negeri Salatiga
B. Putusan Hakim Terhadap Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga Dalam penelitian langsung di Pengadilan Negeri Salatiga, penulis menemukan kasus gugat waris mengenai penjualan harta warisan yang belum dibagi yang pernah terjadi di wilayah Kodya Salatiga. Kasus tersebut sudah diputus
oleh
Pengadilan
Negeri
Salatiga
dengan
putusan
No.
32/Pdt.G/2009/PN.Sal. salinan atau kutipan putusan perkara terlampir. PUTUSAN Nomor 32/Pdt.G/2009/PN.Sal Pengadilan Negeri Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata pada peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara perdata antara : 1. SLM Umur : 51 th, Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga, Alamat : Jl. Plongkowati 4 Rt. 02/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Penggugat I 2. SNT Umur : 49 th, Pekerjaan : PNS, Alamat : Bulu Tegalrejo Rt. 01/06 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Penggugat II 3. SBG, B. Sc. Umur : 47 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Bulu Tegalrejo Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga.
Sebagai Penggugat III 4. SGPN Umur : 44 th, Pekerjaan : Buruh, Alamat : Bulu Tegalrejo Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Penggugat IV 5. SLTW Umur : 41 th, Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga, Alamat : Jl. Nyiur IV Rt. 01/09 Kel. Kunciran Indah Kec. Pinang Kota Tangerang. Sebagai Penggugat V 6. SPT Umur : 40 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Perum Sambak Indah Jl. Kepodang No. 4 Rt. 02/06 Kel. Dayang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan. Sebagai Penggugat VI 7. SLS Umur : 38 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Tegalrejo Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Penggugat VII 8. SAM Umur : 36 th, Pekerjaan : Wiraswasta, Alamat : Tingkir Tengah Rt. 01/07 Kel. Tingkir Tengah Kec. Tingkir Kota Salatiga. Sebagai Penggugat VIII 9. SBD, S.Hut. Umur : 33 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Tegalrejo II Rt. 03/04
Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Penggugat IX Kuasa Hukumnya bernama : Oni Noviani, SH dan Soetopo, SH. Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Agustus 2009, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Para Penggugat. Melawan : 1. SGT Umur : 45 th, Pekerjaan : Buruh, Alamat : Tegalrejo I, Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Tergugat I 2. SKR Umur : 31 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Tegalrejo I, Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Tergugat II 3. ISB Umur : 28 th, Pekerjaan : Karyawan Swasta, Alamat : Tegalrejo I, Rt, 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Tergugat III 4. SYT Umur : 41 th, Pekerjaan : Swasta, Alamat : Tegalrejo I Rt, 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga. Sebagai Tergugat IV
5. BHN, SH Umur 51 th, Pekerjaan : Notariat PPAT, beralamat di Jl. Jenderal Sudirman No. 383, Kota Salatiga. Sebagai Turut Tergugat I 6. Kantor BPN Kota Salatiga sebagai Turut Tergugat II Pengadilan Negeri Salatiga, telah mendengar kedua belah pihak yang berperkara (kecuali Tergugat II dan Turut Tergugat I). Duduk Perkara : Menimbang, bahwa Para Penggugat dalam surat gugatannya yang ditanda tangani oleh Kuasanya tertanggal 13 Agustus 2009 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 13 Agustus 2009 dengan Register
Perkara
Nomor
:
32/Pdt.G/2009/PN.Sal,
kemudian
diadakan
perbaikan/perubahan gugatannya pada tanggal 27 Agustus 2009, telah menggugat Para Tergugat dan Turut Tergugat dengan dalil-dalilnya sebagai berikut : 1. Bahwa, dulu hidup bersama alm. SJSD dan almh. LGY sebagai suami istri. 2. Bahwa alm. SJSD meninggal dunia pada tahun 2003 dan almh. LGY meninggal dunia pada tahun 2008. 3. Bahwa alm. SJSD dan almh. LGY
mempunyai keturunan atau anak
sebanyak 12 orang anak yakni : 1) SLM
(Penggugat I)
2) SNT
(Penggugat II)
3) SBG, B.Sc.
(Penggugat III)
4) SGPN
(Penggugat IV)
5) SLTW
(Penggugat V)
6) SPT
(Penggugat VI)
7) SLS
(Penggugat VII)
8) SAM
(Penggugat VIII)
9) SBD, S.Hut.
(Penggugat IX)
10) SGT
(Tergugat I)
11) SKR
(Tergugat II)
12) ISB
(Tergugat III)
4. Bahwa selain meninggalkan 12 anak alm. SJSD dan almh. LGY meninggalkan harta warisan berupa sebidang tanah sertifikat identitas HM. Luas ± 1448 m2 atas nama alm. SJSD yang terletak di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo Kodya Salatiga dengan batas-batas sebagai berikut :
Timur
: Sumi
Barat
: Yamah, Karsini, Tukiyem
Utara
: Jalan
Selatan : Jurang / Sungai
5. Bahwa tanah identitas HM. 232 atas nama alm. SJSD setelah Bpk. SJSD meninggal dunia dialihkan menjadi atas nama 12 (dua belas) orang anaknya sebagai pemegang haknya berdasarkan surat keterangan waris. 6. Bahwa tanah sertifikat identitas HM. 232 atas nama alm. SJSD yang terletak di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo Kodya Salatiga kemudian di
atas namakan pada sertifikat HM. 232 sebagai pemegang hak kepada ke-12 (dua belas) orang anak sebagai pewaris alm. SJSD dan almh. LGY tersebut. 7. Bahwa Tergugat I, II dan III adalah juga sebagai ahli waris dari pewaris alm. SJSD dan almh. LGY. 8. Bahwa pada tahun 2006 oleh Tergugat I, II dan III membagi tanah tersebut, dipecahkan menjadi tiga bagian tanpa sepengetahuan ahli waris lain sebagai pemegang hak atas tanah sertifikat identitas HM. 232 yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. 9. Bahwa tanah identitas HM. 232 atas nama SJSD
yang mana sebagai
pemegang haknya adalah 12 (dua belas) anak alm. SJSD dan almh. LGY terletak di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo Kodya Salatiga yang dipecah menjadi tiga bagian yakni masing-masing menjadi : a) Tanah identitas HM. 3530 luas ± 501 m2 a.n. SGT terletak di Jl. Sawojajar Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Salatiga dengan batas-batas : -
Timur : HM. 3531 a.n. ISB
-
Barat : Tugiman, Lastro dan Mathari
-
Utara : Kelik, Buang
-
Selatan: Saluran
Dikuasai oleh Tergugat I (SGT) yang selanjutnya disebut tanah sengketa I. b) Tanah identitas HM. 3531 Luas ± 460 m2 a.n. ISB terletak di Jl. Sawojajar Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Salatiga dengan batas-batas :
-
Timur : HM. 3532 a.n. SKR
-
Barat
-
Utara : Jalan
-
Selatan : Saluran
: HM. 3530 a.n. SGT dan Jalan kecil
Dikuasai oleh Tergugat III (ISB) yang selanjutnya disebut tanah sengketa II. c) Bahwa tanah identitas HM. 3532 luas ± 487 m2 a.n. SKR terletak di Jl. Sawojajar Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Salatiga dengan batas-batas : - Timur : Topo - Barat
: HM. 3531 a.n. ISB
- Utara
: Jalan Sawojajar
- Selatan : Saluran Dikuasai oleh Tergugat II (SKR) yang selanjutnya disebut tanah sengketa III. 10. Bahwa tanah sengketa I, II, III adalah harta waris peninggalan alm. SJSD dan almh. LGY yang belum dibagi waris. 11. Bahwa kemudian diketahui oleh ahli waris lain tanah identitas HM. 232 telah dipecah menjadi 3 (tiga) bagian yakni menjadi HM. 3530 atas nama Tergugat I / SGT, HM. 3531 atas nama Tergugat III / ISB, dan HM. 3532 atas nama Tergugat II / SKR. 12. Bahwa terbitnya sertifikat atas tanah yang berasal dari pecahan tanah sertifikat identitas HM. 232 tersebut berdasarkan causa yang cacat karena tidak disertai atau persetujuan dari ahli waris lain yang merupakan pemegang hak.
13. Bahwa untuk itu sudah jelas menurut hukum bahwa pemecahan tanah identitas HM. 232 yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan sertifikat yang diterbitkan atas nama Tergugat I, II dan III adalah cacat hukum oleh karena diterbitkan berdasarkan causa yang cacat dan untuk itu sudah sepatutnya sertifikatsertifikat tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. 14. Bahwa atas tanah identitas sertifikat HM. 3532 atas nama SKR/ Tergugat II yang terletak di Jl. Sawojajar Rt. 04/03 Kel. Tegalrejo Kec. Argomulyo Salatiga dialihkan dengan cara dijual kepada SYT/ Tergugat IV. 15. Bahwa perbuatan jual beli yang dilakukan SKR/ Tergugat II dengan SYT/ Tergugat IV merupakan perbuatan melawan hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum jual beli tersebut. 16. Bahwa sertifikat yang dialihkan menjadi atas nama SYT/ Tergugat IV harus pula dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bahwa, berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, Para Penggugat mohon dengan hormat kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Salatiga untuk berkenan memeriksa perkara ini dan mengadili serta menjatuhkan putusan yang dianggap adil dan bijaksana. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Para Penggugat hadir bersama kuasanya yang bernama : Oni Noviani, SH dan Soetopo, SH. Untuk Tergugat I dan Tergugat III hadir bersama kuasanya yang bernama : M.M Samuel Ngefak, SH berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 24 Agustus 2009. Untuk Tergugat IV hadir bersama kuasanya yang bernama : Dwi Heru Wismanto Sidi, SH., DKK berdasarkan Surat Khusus tertanggal 16 September 2009. Untuk Turut Tergugat II hadir bersama kuasanya yang bernama : Suhodo, A.Ptnh dari Kantor Pertanahan Salatiga berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 24 Agustus 2009 No. 600.14/33.73/458/2009, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat I tidak hadir dan juga tidak pernah menyuruh orang lain sebagai wakil/kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara patut sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Menimbang, bahwa selanjutnya setelah Majelis Hakim telah berusaha agar para pihak menyelesaikan perkara ini dengan jalan mediasi akan tetapi tidak berhasil, selanjutnya di dalam persidangan dibacakan surat gugatan Para Penggugat beserta perubahannya, dimana Para Penggugat menyatakan tetap pada isi gugatannya/perubahannya. Menimbang, atas gugatan Para Penggugat tersebut, Para Tergugat serta Para Turut Tergugat mengajukan jawabannya secara tertulis sebagai berikut : Jawaban Tergugat I-III, tertanggal 17 September 2009 I. Dalam Eksepsi 1. Bahwa mencermati dengan seksama dalil gugatan Para Penggugat, Tergugat I dan III, menganggap bahwa gugatan Para Penggugat tidak jelas, dasar hukum yang mendasari gugatan waris (obscuri libeli), dengan alasan: dasar peralihan hak atas tanah kepada Tergugat I, II dan III adalah Akta Pembagian Hak Bersama tanggal 13 Desember
2006 No.234/AGMY/2006 yang mana telah diketahui dan ditanda tangani oleh para Penggugat, serta Tergugat I, II dan III juga merupakan pewaris yang bersetatus sama dengan para Penggugat dan berhak atas tanah milik alm. SJSD dan almh. LGY. 2. Bahwa untuk itu gugatan para Penggugat tentang harta waris terlihat kabur/ tidak jelas dalil-dalil gugatannya dan sangat membingungkan untuk itu sudah selayaknya dinyatakan “tidak dapat diterima” II. Dalam Konpensi/ Pokok Perkara 1. Bahwa Tergugat I dan III mohon agar apa yang telah disampaikan dalam Eksepsi dianggap termuat dan terbaca kembali dalam Konpensi/Pokok perkara 2. Bahwa berdasarkan uraian dalam surat gugatan para Penggugat, Tergugat I dan III mengakui bahwa tanah sengketa benar, berasal dari tanah identitas Hak Milik 232 atas nama alm. SJSD orang tua para Penggugat dan Tergugat I dan III 3. Bahwa Tergugat I dan III tidak mengetahui dan tidak mau mencampuri prihal adanya jual beli tanah milik Tergugat II kepada Tergugat IV Pada akhirnya dengan segala hormat kuasa hukum, Tergugat I dan III memohon kepada Yth. Majelis Hakim memeriksa perkara ini berkenan memberikan putusan. Jawaban Tergugat IV, tertanggal 17 September 2009 I. Dalam Eksepsi
Bahwa gugatan Penggugat merupakan gugatan yang kabur dan tidak jelas dan salah alamat (obscur libeli) sehingga gugatannya cacat formil sehingga haruslah dinyatakan tidak dapat diterima hal tersebut tampak dari : 1. Tentang Kewenangan Pengadilan Bahwa Pengadilan Negeri Salatiga tidak berwenang memeriksa perkara ini karena gugatan Para Penggugat merupakan gugatan warisan dan dalam salah satu petitum gugatannya telah memohon untuk ditetapkan sebagai ahli waris dari alm. SJSD dan alm. LGY serta ahli warisnya adalah orang yang beragama Islam maka menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama Salatiga hal tersebut sesuai dengan pasal 49 UU No.7 th 1998 yang diubah dengan UU No.3 th 2006 2. Bahwa Penggugat dalam gugatannya telah menggabungkan 2 masalah yang berbeda yaitu masalah kewarisan dan masalah perbuatan melawan hukum tanpa menyebutkan kerugian apa saja yang telah diderita para Tergugat dengan digabungkan 2 masalah yang berbeda tuntutannya dalam satu gugatan maka gugatan tersebut menjadi kabur dan tidak jelas II. Dalam Konpensi 1. Bahwa Tergugat IV mohon segala sesuatu yang termuat dalam eksepsi dibaca kembali dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konpensi
2. Bahwa Tergugat IV menolak seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat kecuali yang diakui secara tegas kebenarannya dalam jawaban ini 3. Bahwa tidak ada hubungan hukum antara Tergugat IV dengan Penggugat sehingga tidak ada dasar hukum bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ini kepada Tergugat IV. III. Dalam Rekonpensi 1. Bahwa Tergugat IV dalam Konpensi mohon disebut sebagai Penggugat Rekonpensi sedangkan Penggugat dalam Konpensi mohon disebut sebagai Para Tergugat Rekonpensi 2. Bahwa para Tergugat Rekonpensi secara tanpa dasar alasan hukum telah mengajukan gugatan kepada Penggugat Rekonpensi sehingga akibat gugatan itu Penggugat Rekonpensi mengalami kerugian baik materiil dan imateriil dengan perincian sebagai berikut : Kerugian Materiil : Mengurus surat-surat dan akomodasi sejumlah Rp. 10.000.0000,(sepuluh juta rupiah) Kerugian Imateriil : Perasaan tidak tenang akibat adanya gugatan apabila dihitung dengan uang sejumlah Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) 3. Bahwa kerugian yang diderita oleh Penggugat Rekonpensi di atas haruslah dibebankan kepada Para Tergugat Rekonpensi secara bersama-sama atau tanggung renteng.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas sudilah kiranya Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan menjatuhkan putusan yang seadiladilnya (et aequo ex bono). Jawaban Turut Tergugat II , tertanggal 17 September 2009 Dalam Pokok Perkara 1. Bahwa Turut Tergugat II menolak seluruh gugatan Penggugat kecuali yang diakui Turut Tergugat. 2. Bahwa HM. No. 232/ Tegalrejo atas nama SJSD, diterbitkan sertifikatnya oleh Kantor Pertanahan Kota Salatiga pada tanggal 27 Februari 1982 berdasarkan konversi dari C Desa No.401 P. 12 AD.1 luas ± 1.448 m2 3. Bahwa pada tahun 2005 berdasarkan Surat Keterangan Waris tanggal 23 November 2005 yang dibuat oleh para ahli waris dan almh. LGY, yang disaksikan dan dibenarkan oleh Muhadi Lurah Tegalrejo No.590/155/XI/05
tanggal
24
November
2005,
HM.
No.
232/Tegalrejo diwaris oleh 12 (dua belas) orang adalah : istrinya dan 11 (sebelas) anaknya, yang tidak ikut adalah SKR (Tergugat II) karena orangnya pergi jauh yang tidak diketahui keberadaannya. 4. Bahwa pada tahun 2007 Hak Milik No.232/Tegalrejo diajukan permohonan pemecahan atas bidang tanah menjadi 3 (tiga) bidang yaitu : 4.1. HM. No. 3530/Tegalrejo luas 501 m2, dengan batas-batas: - Utara
: Jalan
- Timur
: Tanah HM. No.3531 (ISB)
- Selatan : Saluran/ Jurang - Barat
: Tanah Tukiyem
4.2. HM. No. 3531/ Tegalrejo luas 460 m2, dengan batas-batas: - Utara
: Jalan
- Timur
: Tanah HM. No.3532 (SKR)
- Selatan : Saluran/ Jurang - Barat
: Tanah HM. No.3530 (SGT)
4.3. HM. No. 3532/Tegalrejo luas 487 m2, dengan batas-batas: - Utara
: Jalan
- Timur
: Tanah Sumi
- Selatan : Saluran/ Jurang - Barat
: Tanah HM. No.3531 (ISB)
5. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Salatiga menerbitkan Sertifikat HM. No.3530/Tegalrejo pada tanggal 27 April 2007 atas nama SGT, berdasarkan Akta Pembagian Hak Bersama tangal 13 Desember 2006 No.234/AGMY/2006 yang dibuat oleh BHN, SH selaku PPAT Kota Salatiga 6. Bahwa Sertifikat HM. No.3531/Tegalrejo tercatat atas nama ISB, berdasarkan Akta Pembagian Hak Bersama tanggal 13 Desember 2006 No.234/AGMY/2006 yang dibuat oleh BHN, SH selaku PPAT Kota Salatiga
7. Bahwa Sertifikat HM. No.3532/Tegalrejo tercatat atas nama SKR, berdasarkan Akta Pembagian Bersama tangal 13 Desember 2006 No.234/AGMY/2006 yang dibuat oleh BHN, SH selaku PPAT Salatiga, kemudian oleh SKR tanah tersebut dijual kepada SYT berdasarkan
Akta
Jual
Beli
tanggal
24
September
2008
No.327/AGMY/2008 yang dibuat dan dihadapan BHN, SH selaku PPAT Salatiga. 8. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Salatiga menerbitkan Hak Milik No. 3530, 3531 dan 3532/Tegalrejo sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka dengan ini Turut Tergugat II mohon kepada Majelis Hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini untuk memutuskan seadil-adilnya. Menimbang bahwa atas jawaban Tergugat I, III, IV dan Turut Tergugat II tersebut, Para Pengugat telah mengajukan Repliknya tangal 7 Oktober 2009 yang pada pokoknya menyatakan tetap pada gugatannya, demikian pula Tergugat IV dan Turut Tergugat II dalam dupliknya tertanggal 14 Oktober 2009 yang pada pokoknya menyatakan tetap pada jawabannya semula sedangkan Tergugat I, III tidak mengajukan dupliknya. Menimbang bahwa atas jawaban Tergugat IV sepanjang menyangkut eksepsi kewenangan mengadili absolut, Majelis telah menjatuhkan Putusan Sela tertanggal 14 Oktober 2009, yang untuk selengkapnya termuat dalam Berita Acara Persidangan yang amarnya pada pokoknya : menolak eksepsi
Tergugat IV sepanjang menyangkut kewenangan mengadili absolut, dan memerintahkan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan serta biaya perkara ditangguhkan sampai dengan adanya putusan tentang materi perkara ini. Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Para Penggugat telah mengajukan foto copy surat-surat buktinya yang bermaterai cukup dan telah dicocokkan sama dengan aslinya. Beserta mengajukan 2 (dua) orang saksi diantaranya : 1. Saksi
RDKN
(sebagai
Ketua
RT)
menjelaskan
bahwa
yang
dipermasalahkan dalam perkara ini setahu saksi adalah jual beli tanah dan rumah yang ditempati Tergugat I. Tanah dan rumah tersebut dijual oleh Tergugat II kepada Tergugat IV sekitar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah), namun kapan dijual dan dimana jual belinya saksi tidak tahu karena hanya diberi tahu dan diperlihatkan foto copy Akta jual beli oleh Tergugat IV kepada saksi selaku Ketua RT. 2. Saksi KRW (sebagai Sekertaris Notaris BHN, SH) menjelaskan bahwa Tergugat II datang ke Notaris/PPAT BHN, SH sendirian tanpa didampingi para penggugat yang lain dengan maksud untuk dibuatkan Akta jual beli. Saksi pernah disuruh Turut Tergugat I membawa akta kepada Tergugat II untuk dimintai tanda tangan ahli waris yang lain, dimana saat itu sudah ada tanda tangannya Tergugat II sedangkan para ahli waris yang lainnya belum tertera tanda tangannya. Kapan dan dimanakah para pihak tanda tangan Akta saksi tidak tahu.
Menimbang bahwa untuk mempertahankan dalil bantahannya, Tergugat IV telah mengajukan foto copy surat-surat buktinya yang telah dicocokkan dengan
aslinya dan bermaterai cukup. Serta Tergugat IV
mengajukan 3 (tiga) orang saksinya. Diantaranya STP, JKSP dan TGM yang setelah disumpah, masing-masing memberikan keterangan yang pada pokoknya menjelaskan : kalau memang benar tanah sengketa III yang dijual oleh Tergugat II kepada Tergugat IV dengan harga Rp. 120.000.000,(seratus dua puluh juta). Mengenai keterangan yang lain-lainnya saksi kurang tahu. Menimbang bahwa untuk mempertahankan dalil sangkalannya, Turut Tergugat II telah mengajukan foto copy surat-surat buktinya yang telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup. Menimbang bahwa Tergugat I dan III/kuasanya dan Turut Tergugat II/kuasanya tidak mengajukan saksi-saksinya kendatipun telah diberi kesempatan oleh Majelis untuk itu. Menimbang bahwa Tergugat I dan III /kuasanya tidak mengajukan kesimpulan, sedangkan para Penggugat dan Tergugat IV/kuasanya serta Turut Tergugat II/kuasanya telah mengajukan kesimpulan masing-masing pada tanggal 6 Januari 2010, selanjutnya kedua belak pihak mohon putusan. Menimbang bahwa untuk ringkasnya uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang termuat dalam berita acara sidang ini dianggap termuat dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini.
Pertimbangan Hukum : Dalam Konpensi Dalam Eksepsi : Menimbang bahwa terhadap Eksepsi yang diajukan Tergugat I, III dan Tergugat IV setelah diteliti, Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut : 1. Untuk Eksepsi Tergugat IV tentang kewenangan mengadili absolut dalam perkara ini telah dipertimbangkan dan diputus Majelis melalui Putusan Sela tanggal 14 Oktober 2009 dengan menolak Eksepsi Tergugat IV
tersebut
sehingga
tidak
perlu
untuk
dipertimbangkan
dan
dikesampingkan. 2. Untuk Eksepsi Tergugat I dan III mengenai dalil gugatan Penggugat tidak jelas dasar hukum yang mendasari gugatan waris akan dipertimbangkan dalam pemeriksaan materi perkara dalam hal ini harus dibuktikan terlebih dahulu dan tidak bisa secara sepintas menyatakan kabur atau tidak jelas, gugatan Penggugat tersebut. 3. Untuk Eksepsi Tergugat IV mengenai gugatan Penggugat merupakan gabungan beberapa masalah hukum yang berbeda dan campur aduk, namun ternyata masalah yang satu dengan masalah lain berkaitan erat dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan maka tidak terjadi kumulasi yang terlarang, sehingga gugatan tersebut tidak cacat formil (kabur)
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas tersebut, Majelis berpendapat bahwa : Eksepsi Tergugat I, III, IV tidak beralasan dan karena itu harus ditolak. Dalam Pokok Perkara : Menimbang bahwa terlebih dahulu Majelis menyatakan dapat menerima perubahan gugatan para Penggugat, karena perubahan tersebut tidak menyimpang dari kenyataan materiil yaitu: posita yang menjadi dasar tuntutan, lagi pula diajukan masih dalam taraf sidang pertama, dimana Tergugat I, III, IV dan Turut Tergugat II belum mengajukan jawabannya. Menimbang bahwa inti gugatan para Penggugat didasarkan atas dalildalil yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Para Penggugat beserta Tergugat I, II dan III adalah ahli waris yang sah dari alm. SJSD dan almh. LGY. 2. Tanah sengketa (bersertifikat HM. No.232) seluas ± 1448 m2 yang terletak di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kodya Salatiga dengan batas-batas sebagaimana disebutkan dalam gugatan adalah merupakan harta warisan peninggalan Pak SJSD dan Bu LGY yang belum dibagi waris diantara Para Penggugat beserta Tergugat I, II, III. 3. Bahwa tanah sengketa (bersertifikat H.M. NO : 232) yang merupakan Boedel warisan atas nama Pak SJSD, telah dialihkan berdasarkan surat keterangan waris ke atas nama : Para Penggugat beserta Tergugat I, II, III sebagai pemegang Hak bersama atas Tanah sengketa tersebut.
4. Bahwa pada tahun 2006, Tergugat I, II, III dengan tanpa sepengetahuan para Penggugat telah melakukan pembagian hak bersama atas tanah sengketa bersertifikat HM. No. 232 menjadi bagian hak mliknya sendiri yaitu dengan diterbitkannya sertifikat hak milik No : 3530, 3531, 3532 (Hasil pemecahan sertifikat HM. NO : 232) masing-masing atas nama: Tergugat I, II, III oleh Turut Tergugat II dan selanjutnya sebagai dari tanah sengketa (disebut sebagai tanah sengeketa III bersertifikat HM. No:3532) dijual oleh Tergugat II kepada Tergugat IV dan sekarang sebagai dari tanah sengketa tersebut (tanah sengketa III sertifikat H.M. No : 3532) sudah beralih Haknya keatas nama Tergugat IV. 5. Bahwa tindakan Tergugat I, 11, III yang melakukan pembagian hak bersama atas tanah sengketa bersertifikat HM. No : 232 menjadi miliknya sendiri tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari Para Penggugat dan juga tindakan Tergugat II yang menjual sebagian tanah sengketa tersebut kepada Tergugat IV adalah merupakan perbuatan melawan hukum maka sebagai akibat hukumnya sertifikat atas tanah sengketa yang diterbitkan oleh Turut Tergugat II adalah cacat hukum karena itu tidak berkekuatan hukum demikian pula jual-beli atas sebagian tanah sengketa tersebut adalah batal demi hukum. Menimbang, bahwa terhadap dalil pokok gugatan Para Penggugat tersebut, Tergugat I dan Tergugat III mengemukakan dalil sangkalannya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa tanah obyek sengketa (Tanah sengketa I, 11, III) adalah miIik Tergugat I, II, III yang diperoleh atas dasar Peralihan Hak yang dilakukan dihadapan Notaris/PPAT BHN, SH (Turut Tergugat I) berdasarkan Akte Pembagian
Hak
Bersama
tanggal
13
Desember
2006
No:
234/AGMY/2006. 2. Bahwa Peralihan Hak Atas Tanah sengketa tersebut (Akte Pembagian hak bersama No: 234/AGMY/2006) yang diketahui dan ditanda tangani oleh Para Penggugat dan Tergugat I, II, III dan Para Penggugat tidak keberatan menyetujui peralihan Hak atas tanah sengketa tersebut. 3. Bahwa atas dasar Peralihan Hak tersebut (Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/ AGMY/2006) diterbitkan oleh Turut Tergugat II sertifikat tanah hak milik: 3530, 3531, 3532 (Pemecahan dan Sertifikat HM No : 232) masing- masing atas nama Tergugat I, II, III. 4. Bahwa oleh karena Peralihan Hak Atas tanah sengketa tersebut telah dilakukan sesuai dengan Prosedur Hukum mengenai Peralihan Hak atas tanah maka tanah sengketa yang telah dikuasai dimiliki oleh Tergugat I, II, III tersebut adalah sah dan bukan merupakan pubuatan melawan hukum. Menimbang, bahwa dalil sangkalan Tergugat IV pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa tanah sengketa III bersertifikat HM. No : 3532 sekarang adalah milik yang sah dari Tergugat IV yang dibeli dari Tergugat II (sebagai
penjual) pada tahun 2008, dihadapan Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat I ) kemudian dibalik nama: keatas nama Tergugat IV. 2. Bahwa oleh karena jual beli dan proses balik nama Sertifikat atas tanah tersebut dilakukan sesuai peraturan yang berlaku di hadapan Pejabat yang berwenang dan juga dilakukan dengan harga yang wajar maka perbuatan hukum tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum sehingga Para Penggugat tidak mempunyai hak apapun atas tanah sengketa bersertifikat HM. No: 3532. Menimbang, bahwa selanjutnya Turut Tergugat II mengemukakan dalil sangkalannya yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa sertifikat tanah hak milik No: 232/Tegalrejo atas nama: SJSD diterbitkan oleh Turut Tergugat II pada tanggal 27 Februari 1982 berdasarkan konversi dari C. Desa No : 401 .P. 12.A.D.I luas ± 1448 M2. 2.
Bahwa pada tahun 2005, Sertifikat Hak Milik No: 232 dibalik nama oleh Turut Tergugat II dari nama SJSD keatas nama : LGY bersama Para Penggugat dan Tergugat I, II, II berdasarkan surat keterangan waris tanggal 23 Nopember 2005 yang dibuat ahli waris Alm. Pak SJSD yaitu: LGY bersama Para Penggugat dan Tergugat I, II, II disaksikan dan dibenarkan oleh : MUHADI, Lurah Tegalrejo No: 590/155/XL/05 tanggal 24 Nopember 2005.
3. Bahwa pada tahun 2007, sertifikat Hak Milik atas tanah No: 232/Tegalrejo dilalukan pemecahan menjadi 3 (tiga) bidang oleh Turut Tergugat II dengan No : 3530,3531,3532 masing-masing atas nama: SGT
(Tergugat I), SKR (Tergugat II) dan ISB (Tergugat III) berdasarkan Akte pembagian hak bersama yang dibuat Notaris/PPAT BHN, SH (Turut Tergugat I ) tanggal 13 Desember 2006 No: 234/AGMY/2006. 4. Bahwa selanjutnya sertifikat Hak Milik Tanah No : 3532/Tegalrejo atas nama SKR (Tergugat II) dibalik nama oleh Turut Tergugat II ke atas nama SYT (Tergugat IV) berdasarkan Akte jual beli antara SKR (Tergugat II) dengan SYT (Tergugat IV) yang dibuat oleh Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat I ) tanggal 24 September 2008 No: 327/AGMY/2008. 5. Bahwa dengan demikian Turut Tergugat II dalam menerbitkan sertifikat atas tanah sengketa dengan No: 3530, 3531, 3532 sudah sesuai dengan Prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan para Penggugat disangkal kebenarannya oleh Tergugat I, III, Tergugat IV dan Turut Tergugat II, maka sesuai dengan Azaz Pembagian Beban Pembuktian seperti yang dimaksud dalam pasal 163 HIR, maka Pengadilan Negeri akan membebankan kedua belah pihak yaitu : Para Penggugat dan Tergugat I, III, IV serta Turut Tergugat II dengan beban pembuktian yang seimbang. Menimbang bahwa setelah mencermati dan memperhatikan gugatan para Penggugat dan jawaban dari Tergugat I, III dan Tergugat IV dan Turut Tergugat II, maka ditemukan yang menjadi pokok persoalan dalam perkara ini adalah:
1. Apakah benar tanah sengketa sertifikat HM. No. 232 seluas ± 1448 M2 masih merupakan boedel warisan dari Alm. Pak SJSD dan Almh. Bu LGY belum dibagi waris. 2. Apakah Akte Pembagian Hak Bersama oleh Notaris/PPAT BHN, SH tertanggal 13 Desember 2006 No. 234/AGMY/2006 atas Tánah Hak Milik No.232 seluas ± 1448 M2 atas nama SJSD adalah merupakan Akte Pelepasan Hak yang cacat hukum. 3. Apakah pemecahan sertifikat tanah Hak Milik No. 232 atas nama SJSD oleh Tergugat I, II dan III menjadi Hak Milik atas nama Tergugat I, II dan III adalah perbuatan melawan hukum. 4.
Apakah jual-beli antara Tergugat II dengan Tergugat IV atas tanah sertifikat Hak Milik No. 3532 atas nama SKR (Tergugat II) adalah cacat hukum. Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Para Penggugat telah mengajukan surat bukti bertanda P-1, P-2, P-3, P4, P-5, P-6, P-7, P-8 dan 2 (dua) orang saksinya yang telah diuraikan dalam duduk perkara diatas. Menimbang,
bahwa
untuk
mempertahankan
dalil-dalil
sangkalannya Tergugat I, III mengajukan surat bukti bertanda: T.I.III-1 dan T.I.III-2 dan Tergugat IV mengajukan surat bukti bertanda: T.IV-1 s/d T.IV-5 dan 3 (tiga) orang saksi sedangkan Turut Tergugat II mengajukan surat buktinya bertanda : T.T.II.-I s/d T.T.II-7 seperti diuraikan dalam duduk perkara diatas.
Menimbang, bahwa Tergugat II dan Turut Tergugat I selama persidangan tidak pernah hadir dan juga tidak menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang sah untuk hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil secara patut sesuai dengan ketentuan UndangUndang maka dengan adanya fakta tentang ketidakhadirán Tergugat II dan Turut Tergugat I di persidangan harus dianggap bahwa Tergugat II dan Turut Tergugat I telah melepaskan haknya melakukan pembelaan atas gugatan Para Penggugat. Menimbang, bahwa mengenai apakah benar tanah sengketa sertifikat HM. No.232 seluas ± 1448 M2 masih merupakan boedel warisan dari Alm. Pak SJSD dan Almh. Bu LGY belum dibagi waris. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang didapat dimuka sidang yaitu dari pengakuan Para Penggugat dalam dalil gugatannya setelah dihubungkan dan dikaitkan persesuaiannya dengan keterangan saksi-saksi dan surat bukti Turut Tergugat II bertanda T.T.II-I (Sertifikat Hak Milik No: 232) serta hasil Pemeriksaan Setempat oleh Majelis atas tanah obyek sengketa ternyata bahwa tanah sengeketa seluas ± 1448 M2 dengan batas-batas cocok seperti disebutkan dalam gugatan tercatat pada tahun 1982 dalam SHM. NO: 232, atas nama: SJSD. Dan berdasarkan fakta bahwa Pak SJSD ketika hidupnya pernah menguasai tanah tersebut secara nyata bersama-sama dengan isterinya yang bernama : Bu LGY, maka secara yuridis dapat disimpulkan bahwa : tanah seluas ± 1448 M2 (tanah sengketa) adalah milik Pak SJSD dan Bu LGY.
Menimbang, bahwa selanjutnya setelah Pak SJSD meninggal dunia pada tahun 2003, tanah sengketa tersebut dilanjutkan penguasaannya oleh istrinya bernama Bu. LGY (meninggal dunia tahun 2008) yang ketika hidupnya Bu LGY yaitu: pada tahun 2005, tanah sengketa yang bersetifikat Hak Milik No: 232, seluas ± 1448 M2 atas nama: SJSD dicoret/dirubah keatas nama: LGY (istri), Para Penggugat dan Tergugat I, II, III berdasarkan surat keterangan waris tanggal 23 Nopember 2005 (Bukti : T.T.II-2) maka hal ini menunjukkan bukti bahwa kepemilikan Hak Pak SJSD atas tanah sengketa bersertifikat HM. NO. 232, Seluas ± 1448 M2 sudah beralih kepemilikannya kepada istrinya beserta anakanaknya yaitu: LGY beserta Para Penggugat dan Tergugat I, II, III sejak tahun 2005 atas dasar warisan Alm. Pak SJSD sebagaimana yang tercantum dalam Sertifikat Hak Milik No: 232 (bukti : T.T.II-l). Menimbang, bahwa demikian pula ketika Bu LGY masih hidup yaitu: pada tahun 2006, bagian hak miliknya atas tanah sengketa bersertifikat HM. No 232 sudah dialihkan oleh Bu LGY kepada Tergugat I, II, III berdasarkan Akte Pembagian Hak bersama No. 232/AGMY/2006 (bukti: P.4=TT.II.3) dan setelah bu LGY meninggal dunia pada tahun 2008, tanah sengketa tersebut dilanjutkan penguasaanya oleh Tergugat I, II, III sampai dengan sekarang, dimana fakta ini tidak dibantah oleh kedua belah pihak, maka secara yuridis dapat disimpulkan bahwa bagian Hak Milik Bu. LGY atas tanah sengketa sudah beralih menjadi milik Tergugat I, II, III ketika Bu LGY masih hidup.
Menimbang, bahwa dengan meninggalnya Pak SJSD kemudian status tanah sengketa milik Pak SJSD yang tercatat dalam sertifikat Hak milik No. 232 (bukti TT.ll-1) dicoret dan dirubah keatas nama LGY (isteri), Para Penggugat dan tergugat I, II, III maka sesuai dengan ketentuan hukum, status Boedel warisan dari alm. Pak SJSD atas tanah sengketa tersebut menjadi hapus dan jatuh menjadi bagian hak mutlak (legitime portie) atau milik bersama dan istrinya bernama : Bu LGY dan anak-anaknya yaitu Para Penggugat dan Tergugat I, II, III sejak tahun 2005 seperti yang tercantum dalam bukti TT.II-1. Demikian pula setelah Bu LGY meninggal dunia pada tahun 2008 maka tanah sengketa statusnya bukan lagi merupakan boedel warisan dari alm Bu LGY karena ketika hidupnya Bu LGY sudah mengalihkan bagian haknya atas tanah sengketa tersebut kepada Tergugat I, II, III seperti yang tercantum dalam bukti : P-4=TT.II-3. Menimbang, bahwa dengan demikian tanah sengketa (sertifikat hak milik No: 232 seluas ± 1448 M2) tidak bisa ditetapkan lagi statusnya sebagai Harta (Boedel) warisan peninggalan dan Alm. Pak SJSD dan Almh. Bu LGY yang belum dibagi waris karena dalil-dalil Para Penggugat mengenai hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan di atas terbukti mengandung ketidak-benaran dan bertentangan dengan hukum dan oleh karenanya gugatan Para Penggugat dalam Petitum Point (3) harus dinyatakan ditolak.
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan mengenai: Apakah Akte Pembagian Hak Bersama oleh Notaris/PPAT BHN, SH tertanggal 13 Desember 2006 No. 234/AGMY/2006 atas Tanah Hak Milik No.232 seluas ± 1448 M2 atas nama pak SJSD adalah merupakan Akte pelepasan hak yang cacat hukum. Menimbang, bahwa oleh karena Akte pembagian hak bersama tersebut ( Bukti : P4 = T.T.II-3) adalah merupakan Akte Authentiek maka Para Penggugat wajib membuktikan ketidak benaran hal tersebut. Menimbang, bahwa untuk membuktikan ketidak-benaran Akte Pembagian Hak Bersama tersebut, Para Penggugat mengajukan 1 (satu) orang saksi bernama: KRW, yang adalah sebagai mantan karyawan Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat I) yang pada pokoknya menerangkan bahwa: Para Penggugat tidak hadir sewaktu Tergugat II (SKR) datang menghadap Notaris/PPAT BHN, SH (Turut Tergugat I) dengan maksud untuk dibuatkan Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/ AGMY/2006. Menimbang, bahwa bukti : P-4 = T.T.II-3 berupa: Akte Pembagian Hak Bersama adalah merupakan Akte Authentiek yang merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Menimbang, bahwa pengertian kekuatan pembuktian sempurna ialah: isi Akte itu selalu dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan Akte tersebut.
Menimbang, bahwa keterangan saksi KRW yang menyatakan bahwa Para Penggugat tidak hadir ketika Tergugat II ( SKR ) datang menghadap Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat 1) untuk dibuatkan Akte Pembagian Hak Bersama tersebut, menurut penilaian Majelis keterangan Saksi tersebut tidak dapat melumpuhkan Akte pembagian hak bersama tersebut karena tidak didukung dengan Alat bukti lain (UNUS TESTIS NULLUS TESTIS) sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 HIR sedang alat bukti lain berupa: surat-surat dan saksi RDKN yang diajukan para Penggugat, tidak ada satupun yang dapat melemahkan keberadaan Akte Pembagian hak Bersama tersebut. Demikian pula fakta tentang ketidakhadiran Turut Tergugat I dipersidangan dinilai Majelis tidak dapat dijadikan alat bukti persangkaan untuk mendukung keterangan saksi tersebut karena dalil-dalil kongkrit tentang perbuatan Turut Tergugat I tidak diuraikan dalam posita gugatan maupun Replik Pengguat (bukti tanpa dalil) sehingga menurut hukum keterangan saksi tersebut tidak dapat dipercayai. Menimbang, bahwa Majelis juga meragukan kebenaran keterangan saksi KRW yang menyatakan saksi disuruh Notaris/PPAT mengantarkan Akte Pembagian hak bersama yang masih dalam bentuk blangko kosong untuk dimintai tanda tangan para ahli waris lainnya dari Alm. Pak. SJSD (Para Penggugat, Tergugat I, III dan Bu LGY/ketika masih hidup). Karena Para Penggugat yang sebagian besar tahu baca/tulis dan mempunyai pengetahuan yang luas dan berpendidikan tinggi (ada yang
tamat SMA dan SARJANA) sudah tentu akan menolak atau keberatan menandatangani Akte tersebut kalau memang ada cara-cara yang tidak benar dilakukan Notaris/PPAT seperti yang dikemukakan saksi tersebut namun nyatanya tidak. Juga keterangan saksi tersebut tidak sinkron dengan tugasnya sebab saksi pernah mengantarkan surat-surat Akte yang sudah dalam bentuk sempurna seperti yang nampak terlihat dalam lampiran bukti: TT.II-3, bahwa: saksi diberi tugas oleh Notaris/PPAT (Turut Tergugat II) bertindak sebagai kuasa substitusi menggantikan Notaris /PPAT tersebut mewakili para pihak yang berkepentingan untuk mengantarkan serta mengurus dan mengambil sertifikat di Kantor Pertanahan berdasarkan dokumen-dokumen yang sudah lengkap dibuat oleh Notaris/PPAT (Turut Tergugat I). Menimbang, bahwa keterangan saksi KRW tersebut diatas saling bertentangan dengan keterangan saksi itu sendiri yaitu saksi menyatakan bahwa Tergugat II datang menghadap Notaris/PPAT untuk dibuatkan Akte Jual-beli tanah sengketa dan saksi ikut juga menandatangani Akte Pembagian Hak bersama tersebut di kantor Notaris/PPAT (Turut Tergugat 1) (bukti P-4 = TT.II-3). Menimbang, bahwa dengan demikian keterangan saksi KRW haruslah dikesampingkan karena tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang dapat membuktikan dalil gugatan Para Penggugat. Menimbang, bahwa mengenai kejanggalan-kejanggalan tanda tangan dalam Akte Pembagian Hak bersama yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum sebagaimana yang dikemukakan Para Penggugat dalam kesimpulannya menurut Majelis bukan merupakan wewenang hakim perdata untuk menilainya, namun wewenang itu ada pada hakim pidana dan oleh karena belum ada putusan hakim pidana mengenai hal tersebut maka demi kepastian hukum Majelis menyatakan bahwa Akte Pembagian Hak Bersama tersebut ditanda tangani oleh semua ahli waris Alm. Pak SJSD (Para Penggugat, Bu LGY dan Tergugat I, II, III) sesuai dengan pengakuan Tergugat I, III dalam jawabannya yang tidak dibantah atau setidak-tidaknya diakui oleh Para Penggugat sebagaimana tersirat dalam Replik dan Kesimpulannya maka dengan demikian alasan Para
Penggugat
tersebut
tidak relevan untuk
dipertimbangkan, karena itu haruslah dikesampingkan. Menimbang, bahwa dengan adanya fakta tentang terteranya tanda tangan Para Penggugat di dalam Akte Pembagian Hak Bersama (P-4 = TT.II-3)
dan
Akte
tersebut
(bukti
P-6)
sudah
berada
dalam
tangan/kekuasaan Para Penggugat jauh sebelum diajukan gugatan ini dan secara nyata tanah sengketa dikuasai Tergugat I, II, III sebelum meninggal orang tuanya (Bu LGY). Maka hal ini menunjukkan bukti bahwa: Para Penggugat telah mengetahui dan menyetujui Peralihan Hak Bersama atas tanah sengketa untuk dimiliki oleh Tergugat I, II, III, terbukti selama proses Pembuatan Akte Pembagian Hak Bersama sampai dengan diterbitkannya sertifikat tanah sengketa atas nama Tergugat I, II, III temyata tidak pernah ada siapapun yang mengajukan keberatan atas
peralihan hak tersebut termasuk Para Penggugat dan juga orang tua Para Penggugat/Tergugat I, II, III yaitu: Bu LGY yang ketika hidupnya ikut menandatangani/cap jempol Akte tersebut (bukti P-4 = TT.1I-3) yang nota bene sebagai orang yang paling berhak atas tanah sengketa tersebut. Menimbang, bahwa kalau memang benar tanah sengketa dialihkan Tergugat I, II, tanpa persetujuan/sepengetahuan Para Penggugat, kenapa pada awal Perjanjian tersebut ditanda tangani atau setidak-tidaknya ketika Bu LGY masih hidup, Para Penggugat tidak menggunakan haknya langsung meminta Pembatalan Akte Pembagian Hak Bersama tersebut, tetapi nyatanya baru sekarang menggugat setelah dijual oleh Tergugat II kepada Tergugat IV, hal ini menunjukkan bukti bahwa dalil Para Penggugat tentang tidak dimintanya Persetujuan Para Penggugat mengandung ketidak benaran atau tidak beralasan, karena itu dalil mengenai hal tersebut haruslah dikesampingkan. Menimbang, bahwa sebaliknya dari bukti-bukti yang diajukan Tergugat I, III, IV dan Turut Tergugat II seperti yang telah diuraikan diatas, antara lain berupa: Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006, atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 (bukti T.T.I13/P-4) yang dibuat oleh pejabat yang berwenang mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 1.C. Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat 1) maka menurut Majelis bahwa: benar Para Penggugat telah menyerahkan bagian Haknya atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 kepada Tergugat I, II, III untuk dimilikinya.
Menimbang, bahwa penyerahan bagian Hak seluruhnya atas tanah sengket seluas ± 1448 M2 oleh Bu LGY dan Para Penggugat kepada anaknya atau saudara kandungnya sendiri yaitu: Tergugat I, II, III berdasarkan akta Pembagian Hak Bersama No. 234/AGMY/2006 (bukti P-6 = TT.II-3) menurut penilaian Majelis sudah sesuai dengan azaz kepatutan, dan azaz keadilan, dan hal itu sudah sewajarnya dilakukan karena: Para Penggugat sudah mempunyai tanah dan rumah tempat tinggalnya masing-masing yang sebagian besar berasal dan pemberian orang tuanya (Alm. Pak SJSD) sebagaimana yang diterangkan saksi-saksi dari Tergugat IV yang bersesuaian dengan surat bukti Tergugat IV Produk: T.IV-5 yang tidak disangkal oleh Para Penggugat. Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan fakta-faktä yang ditemukan dalam persidangan yaitu dan pengakuan para pihak yang dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dan hasil pemeriksaan setempat oleh Majelis bahwa: Tergugat I, II, III sejak secil sampai dengan dewasa/kawin tinggal bersama-sama dengan kedua orang tua Para Penggugat dan Tergugat I, II, III (Pak SJSD dan Bu LGY) diatas tanah sengketa tersebut sedangkan tergugat I membangun rumahnya sendiri di atas tanah sengketa yang asal usulnya berasal dari harta warisan kedua orang tuanya tersebut, maka sudah selayaknya kalau tanah sengketa dimiliki oleh tergugat I, II, III. Menimbang, bahwa pada saat ditandatangani Akte Pembagian Hak Bersama oleh Para Penggugat, Bu LGY dan Tergugat I, II, III maka
menurut hukum harus diartikan bahwa Para Penggugat telah membaca, mengerti dan menyetujui serta telah mengetahui materi dari Akte tersebut (bukti P-4), dan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan dwang, dwaling, bedrog (paksaan, kesesatan, tipu daya, kebohongan) terhadap Para Penggugat dalam proses Pengalihan Hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan yang dituangkan dalam Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006 (bukti P4 : TT.II.3) adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat objektif dan subjektif dalam pasal 1320 KUH Perdata sehingga tuntutan tentang hal itu haruslah ditolak. Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan: Apakah pemecahan sertifikat tanah Hak Milik No. 232 atas nama SJSD oleh Tergugat I, II dan III menjadi Hak Milik atas nama Tergugat I, II dan III adalah perbuatan melawan hukum dan apakah jual-beli antara Tergugat II dengan Tergugat IV atas tanah sertifikat Hak Milik No. 3532 atas nama SKR (Tergugat II) adalah cacat hukum. Menimbang, bahwa tindakan Turut Tergugat II didalam melakukan proses penerbitan sertifikat atas tanah sengketa No : 3530, 3531, 3532 adalah
berdasarkan
Akte
Pembagian
Hak
Bersama:
No:
234/AGMY/2006 (bukti TT.II-3) ternyata tidak pernah ada keberatan dari siapapun termasuk Para Penggugat dan dari bukti-bukti yang diajukan Turut Tergugat II dinilai Majelis, proses penerbitan sertifikat atas tanah sengketa yang dilakukan Turut Tergugat II tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, dengan demikian tindakan Turut Tergugat II adalah sah dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum maka konsekuensi hukumnya tanah sengketa seluas ± 1448 M2 yang telah dikuasai oleh Tergugat I, II, III Berdasarkan sertifikat Hak Milik No : 3530, 3531, 3532 (bukti T.1.IIl-1, T.I.111-2 T.-IV-2 ) adalah sah miliknya karena itu tindakan Tergugat II (SKR) yang menjual sebagian tanah sengketa bersertifikat HM. 3532 kepada Tergugat IV (SYT) di hadapan
PPAT
BHN,
SH.
berdasarkan
Akte
Jual
beli
No:
327/AGMY/2008 tanggal 24 September 2008 (Bukti : T.IV-1) adalah sah dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum seperti yang didalilkan Para Penggugat. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Para Penggugat telah gagal untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, maka gugatan Para Penggugat haruslah ditolak. Menimbang bahwa oleh karena pokok permasalahan yang dituntut oleh pihak Para Penggugat dalam gugatan ini telah dinyatakan ditolak, maka
petitum
Para
Penggugat
untuk
selebihnya
tidak
perlu
dipertimbangkan lagi dan harus ditolak. Dalam Rekonpensi Menimbang
bahwa
maksud
dan
tujuan
Rekonpensi adalah sebagaimana diuraikan diatas.
gugatan
Penggugat
Menimbang bahwa segala yang telah dipertimbangkan dalam Konpensi adalah juga merupakan pertimbangan dalam Rekonpensi. Menimbang bahwa oleh karena ternyata didalam gugatannya Penggugat Rekonpensi/Tergugat IV Konpensi mendalilkan bahwa oleh karena gugatan Penggugat Konpensi tanpa dasar alasan hukum yang sah sehingga Penggugat Rekonpensi mengalami kerugian Imateriil sejumlah Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta) dan kerugian Materiil sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta). Menimbang bahwa oleh karena dalam gugatan Penggugat Rekonpensi tidak menguraikan sejauh mana kerugian tersebut, begitu pula tidak ada rincian dari kerugian serta tidak adanya alat bukti yang dapat mendukung gugatan tersebut, maka untuk gugatan Penggugat Rekonpensi haruslah ditolak. Dalam Konpensi Dan Rekonpensi Menimbang oleh karena gugatan para Penggugat Konpensi/para Tergugat dalam Rekonpensi dinyatakan ditolak, maka cukup beralasan untuk menghukum para Penggugat Konpensi/para Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. Mengingat pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan dengan perkara ini. MENGADILI Dalam Konpensi Dalam Eksepsi :
-
Menolak Eksepsi Tergugat I, III, IV
Dalam Pokok Perkara: -
Menolak gugatan Para Penggugat
Dalam Rekonpensi -
Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi/ Tergugat IV Konpensi
Dalam Konpensi Dan Rekonpensi -
Menghukum para penggugat Konpensi/para Tergugat Rekonpensi membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.491.000,- (satu juta empat ratus sembilan puluh satu ribu rupiah). Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Salatiga, pada hari Kamis tanggal 21 Januari 2010, oleh Kami : Akhmad Rosidin, SH.,MH., selaku Hakim Ketua Majelis, Laurensius Bapa, SH dan Wuryanti, SH. Masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut dibacakan pada hari Senin tanggal 25 Januari 2010 dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua beserta para Hakim Anggota tersebut, dengan dibantu oleh R. Rudi Harsojo, SH sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Salatiga, dengan dihadiri pula oleh Kuasa para Penggugat, Kuasa Tergugat I dan III, Kuasa Tergugat IV serta Kuasa Turut Tergugat II, tanpa dihadiri oleh Tergugat II dan Turut Tergugat I.
C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara Penjualan Harta Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga Penjualan warisan yang belum dibagi merupakan perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan tersebut merupakan ruang lingkup dalam hukum perdata. Dalam penyelesaian masalah perdata di pengadilan, harus melewati beberapa tahap. Diantaranya dimulai dari persiapan, surat gugatan, jawaban tergugat, gugatan intervensi, dan pembuktian. Persiapan yaitu merupakan tindakan untuk mempersiapkan segala sesuatu guna keperluan pemeriksaan suatu perkara. Tindakan persiapan ini meliputi kewenangan pengadilan dan pihak-pihak yang berperkara. Kewenangan pengadilan di sini misalnya kewenangan berdasarkan lingkungan peradilan, kewenangan berdasarkan jenis atau sifat perkara dan kewenangan yang menentukan dimana perkara itu akan diajukan. Sedangakan yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berperkara adalah orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dengan sengketa yang terjadi. Surat gugatan, gugatan yang diajukan ke pengadilan dapat berbentuk tertulis. Gugatan harus berisi identitas (para Pengugat dan Tergugat), fundamentum petendi (uraian peristiwa dan uraian dasar hukum) dan petitum (permintaan tuntutan atau di putuskan hukum). Sesuai dengan asas audi et alteram parterem, maka Tergugat diberikan kesempatan untuk menjawab gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Dalam jawaban Tergugat dimungkinkan pula untuk memberikan perlawanan/ eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara (berupa pengakuan, sangkalan, bantahan
terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam gugatannya), dan gugat balik/ rekonpensi (tujuannya untuk menghemat biaya, mempermudah proses pemeriksaan dan menghindarkan adanya putusan yang saling bertentangan). Penggabungan ini dimaksud untuk mempercepat proses pemeriksaan perkara perdata. Gugatan intervensi adalah masuknya pihak ke tiga. Pada prinsipnya pihak yang berperkara terdiri dari dua pihak, yaitu Penggugat dan Tergugat. Tetapi di dalam praktek sering terjadi masuknya pihak ke tiga kedalam suatu perkara yang sedang diperiksa untuk menuntut kepentingannya sendiri ataupun untuk mendukung salah satu pihak yang sedang berperkara. Permohonan intervensi diajukan kepada Pengadilan Negeri/Hakim yang sedang memeriksa
perkara
yang dimintakan untuk intervensi. Hakim yang menerima permohonan tersebut akan mempertimbangkan tentang dapat diterima/tidak, apabilah tidak diterima maka perkara berjalan hanya tetap dengan dua pihak dan sebaliknya apabila diterima, maka perkara akan diperiksa dengan tiga pihak. Tahap yang terakhir adalah pembuktian. Pembuktian merupakan salah satu cara untuk memberikan kepastian bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara dengan melihat adanya pristiwa-pristiwa yang terjadi dikaitkan dengan alat-alat bukti yang diajukan serta dasar hukum yang berlaku. Lebih jelasnya pembuktian adalah sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. Dari hasil wawancara dengan hakim (Laurensius, 2011 : wawancara), pertimbangan dan dasar putusan hakim terhadap perkara gugat waris mengenai
penjualan
warisan
yang
belum
dibagi
tepatnya
perkara
nomor
32/Pdt.G/2009/PN.Sal.adalah sebagai berikut: Pertimbangan
dan
dasar
hakim
dalam
memutuskan
perkara
No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. dikelompokan menjadi tiga Landasan. 1) Landasan hukum 2) Landasan filosofi 3) Landasan sosiologi. Landasan hukum gugat waris perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. ini tertuang dalam pasal 1320 KUHPer. Yaitu bahwa pada saat ditanda tangani Akte pembagian hak bersama oleh para Penggugat, Bu LGY dan Tergugat I, II dan III maka menurut hukum harus diartikan bahwa: para Penggugat telah membaca, mengerti dan menyetujui serta telah mengetahui materi dari Akte tersebut, dan selama persidangan tidak ditemukan alasan Dwang, Dwaling, Bedrog (paksaan, kesesatan, tipu daya, kebohongan) terhadap para Penggugat dalam proses pengalihan hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan
yang
dituangkan
dalam
Akte
pembagian
hak
bersama
No.234/AGMY/2006 adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif. Hal ini dijadikan rujukan dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara penjualan warisan yang belum dibagi tepatnya perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal ditinjau dari hukum formil atau hukum acaranya. Hukum formil adalah rangkaian praturan yang memuat cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan perjalanan atau hukum materiil. Landasan yang ke dua yaitu landasan filosofi. Landasan filosofi yaitu gambaran tentang bagaimana perkara itu terjadi dengan pertimbangan keterangan
beberapa saksi, apakah saksi mengetahui dengan jelas tentang duduk perkaranya. Menurut penilaian Majelis keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan tidak dapat melumpuhkan dan melemahkan Akte Pembagian Hak Bersama karena tidak didukung dengan alat bukti lain (UNUS TESTIS NULLUS TESTIS) sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 HIR. Sehingga menurut hukum keterangan saksi tersebut tidak dapat dipercayai. Selain mengacu pada undang-undang hakim juga mempertimbangkan dalil-dalil dari para pihak berperkara, baik Penggugat maupun Tergugat. Menurut Majelis, Akte pembagian hak bersama No.234/AGMY/2006, atas tanah sengketa seluas ± 1448 m2 yang dibuat oleh pejabat yang berwenang mengenai peralihan hak atas tanah I.C. Notaris BHN, SH (Turut Tergugat I) maka bahwa benar para Penggugat telah menyerahkan bagian haknya atas tanah sengketa seluas ± 1448 m2 kepada Tergugat I, II dan III untuk dimilikinya. Berdasarkan
dalil-dalil dari para
Penggugat dan Tergugat serta keterangan dari beberapa saksi Majelis Hakim memutuskan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Dalam pengambilan keputusan boleh kurang dari ketentuan yang ada, akan tetapi tidak boleh melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan hukum. Sedangkan landasan yang ke tiga yaitu landasan sosiologi, yaitu bagaimana kehidupan masyarakat Tergugat. Apakah keberadaan Tergugat itu termasuk dari golongan yang mampu atau bukan. Menurut Majelis Hakim penyerahan bagian hak seluruhnya atas tanah sengketa seluas ± 1448 m2 oleh Bu LGY dan para Penggugat kepada anaknya atau saudara kandungnya sendiri yaitu: Tergugat I, II dan III berdasarkan Akte pembagian hak bersama No.234/AGMY/2006 adalah
sudah sesuai dengan azaz kepatutan dan azaz keadilan, dan hal itu sudah sewajarnya dilakukan karena: para Penggugat sudah mempunyai tanah dan rumah tempat tinggal masing-masing yang sebagian besar berasal dari pemberian orang tuanya (Alm. SJSD). Lebih-lebih lagi kedudukan ekonomi Tergugat di sini kurang mampu dibandingkan dengan kedudukan ekonami para Penggugat. Dalam setiap putusan terdapat panjer biaya perkara yang dijatuhkan bagi para pihak yang bersalah. Mengenai besar kecilnya biaya perkara dilihat dari lamanya prosesi persidangan. Jika para pihak yang berperkara tidak mampu untuk membayar biaya perkara, maka ada pertimbangan tersendiri menurut Majelis Hakim.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENJUALAN WARISAN YANG BELUM DIBAGI
A. Analisis Penjualan Warisan yang Belum Dibagi Dari hasil observasi yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Salatiga, selama adanya gugat waris tentang penjualan warisan yang belum dibagi, maka dalam analisis ini penulis hanya menganalisis pada 1 (satu) putusan, yaitu putusan No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. Putusan No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal Perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. kasus ini adalah kasus perdata gugat waris tentang penjualan warisan yang belum dibagi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1334 ayat 2 KUHPer dan pasal 1471 KUHPer yang dilakukan Tergugat I, II dan III kepada para Penggugat. Dalam perkara No. 32/Pdt.G/2009/PN.Sal. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 25 Januari 2010. putusan tersebut isinya memutuskan bahwa menolak gugatan para Penggugat. Mengapa demikian, padahal Tergugat I, II, dan III telah melakukan perbuatan melawan hukum, Yaitu menjual warisan yang belum dibagi. Seharusnya perbuatan Tergugat I, II, dan III harus dinyatakan batal demi hukum. Dalam kasus ini menjelaskan berdasarkan fakta-fakta yang didapat dimuka sidang yaitu dari pengakuan Para Penggugat dalam dalil gugatannya setelah dihubungkan dan dikaitkan persesuaiannya dengan keterangan saksi-saksi dan
87
surat bukti Turut Tergugat II serta hasil Pemeriksaan Setempat oleh majelis atas tanah obyek sengketa ternyata bahwa tanah sengeketa seluas ± 1448 M2 dengan batas-batas cocok seperti disebutkan dalam gugatan tercatat pada tahun 1982 dalam SHM. No: 232, atas nama: SJSD. Dan berdasarkan fakta bahwa Pak SJSD ketika hidupnya pernah menguasai tanah tersebut secara nyata bersama-sama dengan isterinya yang bernama: Bu LGY, maka secara yuridis dapat disimpulkan bahwa: tanah seluas ± 1448 M2 (tanah sengketa) adalah milik Pak SJSD dan Bu LGY. Pak SJSD setelah meninggal dunia pada tahun 2003, tanah sengketa tersebut dilanjutkan penguasaannya oleh istrinya bernama Bu. LGY (meninggal dunia tahun 2008) yang ketika hidupnya Bu LGY yaitu: pada tahun 2005, tanah sengketa yang bersetifikat Hak Milik No: 232, seluas ± 1448 M2 atas nama: SJSD dicoret/dirubah keatas nama: LGY (istri), Para Penggugat dan Tergugat I, II, III berdasarkan surat keterangan waris tanggal 23 Nopember 2005. Maka hal ini menunjukkan bukti bahwa kepemilikan Hak Pak SJSD atas tanah sengketa bersertifikat HM. No. 232, Seluas ± 1448 M2 sudah beralih kepemilikannya kepada istrinya beserta anak-anaknya yaitu: LGY beserta Para Penggugat dan Tergugat I, II, III sejak tahun 2005 atas dasar warisan Alm. pak SJSD sebagaimana yang tercantum dalam Sertifikat Hak Milik No: 232. Ketika Bu LGY masih hidup yaitu: pada tahun 2006, bagian hak miliknya atas tanah sengketa bersertifikat HM. No: 232 sudah dialihkan oleh Bu LGY kepada Tergugat I, II, III berdasarkan Akte Pembagian Hak bersama No. 234/AGMY/2006. Dan setelah bu LGY meninggal dunia pada tahun 2008, tanah
sengketa tersebut dilanjutkan penguasaanya oleh Tergugat I, II, III sampai dengan sekarang, dimana fakta ini tidak dibantah oleh kedua belah pihak, maka secara yuridis dapat disimpulkan bahwa bagian Hak Milik Bu. LGY atas tanah sengketa sudah beralih menjadi milik Tergugat I, II, III ketika Bu LGY masih hidup. Dengan demikian tanah sengketa tidak bisa ditetapkan lagi statusnya sebagai Harta (Boedel) warisan peninggalan dan Alm. Pak SJSD dan Almh. Bu LGY yang belum dibagi waris karena dalil-dalil Para Penggugat mengenai hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan diatas terbukti mengandung ketidakbenaran dan bertentangan dengan hukum dan oleh karenanya gugatan Para Penggugat dalam Petitum Point (3) harus dinyatakan ditolak. Dengan adanya fakta tentang terteranya tanda tangan Para Penggugat di dalam Akte Pembagian Hak Bersama dan Akte tersebut sudah berada dalam tangan/kekuasaan Para Penggugat jauh sebelum diajukan gugatan ini dan secara nyata tanah sengketa dikuasai Tergugat I, II, III sebelum meninggal orang tuanya (Bu LGY). Maka hal ini menunjukkan bukti bahwa: Para Penggugat telah mengetahui dan menyetujui Peralihan Hak Bersama atas tanah sengketa untuk dimiliki oleh Tergugat I, II, III, terbukti selama proses Pembuatan Akte Pembagian Hak Bersama sampai dengan diterbitkannya sertifikat tanah sengketa atas nama Tergugat I, II, III ternyata tidak pernah ada siapapun yang mengajukan keberatan atas peralihan hak tersebut termasuk Para Penggugat dan juga orang tua Para Penggugat/Tergugat I, II, III yaitu: Bu LGY yang ketika hidupnya ikut
menandatangani/cap jempol Akte tersebut yang nota bene sebagai orang yang paling berhak atas tanah sengketa tersebut. Berdasarkan bukti-bukti yang ada dipersidangan, Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006, atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 yang dibuat oleh pejabat yang berwenang mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 1.C. Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat 1) maka menurut Majelis bahwa: benar Para Penggugat telah menyerahkan bagian Haknya atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 kepada Tergugat I, II, III untuk dimilikinya. Penyerahan bagian Hak seluruhnya atas tanah sengket seluas ± 1448 M2 oleh Bu LGY dan Para Penggugat kepada anaknya atau saudara kandungnya sendiri yaitu : Tergugat I, II, III berdasarkan akta Pembagian Hak Bersama No. 234/AGMY/2006 menurut penilaian Majelis sudah sesuai dengan azaz kepatutan, dan azaz keadilan, dan hal itu sudah sewajarnya dilakukan karena: Para Penggugat sudah mempunyai tanah dan rumah tempat tinggalnya masing-masing yang sebagian besar berasal dan pemberian orang tuanya (Alm. Pak SJSD) sebagaimana yang diterangkan saksi-saksi. Berdasarkan fakta-faktä yang ditemukan dalam persidangan yaitu dari pengakuan para pihak yang dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dan hasil pemeriksaan setempat oleh Majelis bahwa: Tergugat I, II, III sejak secil sampai dengan dewasa/kawin tinggal bersama-sama dengan kedua orang tua Para Penggugat dan Tergugat I, II, III (Pak SJSD dan Bu LGY) diatas tanah sengketa tersebut sedangkan tergugat I membangun rumahnya sendiri diatas tanah
sengketa yang asal usulnya berasal dari harta warisan kedua orang tuanya tersebut, maka sudah selayaknya kalau tanah sengketa dimiliki oleh tergugat I, II, III. Pada saat ditandatangani Akte Pembagian Hak Bersama oleh Para Penggugat, Bu LGY dan Tergugat I, II, III maka menurut hukum harus diartikan bahwa Para Penggugat telah membaca, mengerti dan menyetujui serta telah mengetahui materi dari Akte tersebut dan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan dwang, dwaling, bedrog (paksaan, kesesatan, tipu daya, kebohongan) terhadap Para Penggugat dalam proses Pengalihan Hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan yang dituangkan dalam Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006 adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat objektif dan subjektif dalam pasal 1320 KUH Perdata sehingga tuntutan tentang hal itu haruslah ditolak. Tindakan Turut Tergugat II didalam melakukan proses penerbitan sertifikat atas tanah sengketa No: 3530,3531,3532 adalah berdasarkan Akte Pembagian Hak Bersama: No.234/AGMY/2006 ternyata tidak pernah ada keberatan dari siapapun termasuk Para Penggugat dan dari bukti-bukti yang diajukan Turut Tergugat II dinilai Majelis, proses penerbitan sertifikat atas tanah sengketa yang dilakukan Turut Tergugat II tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan demikian tindakan Turut Tergugat II adalah sah dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum maka konsekuensi hukumnya tanah sengketa seluas ± 1448 M2 yang telah dikuasai oleh Tergugat I, II, III Berdasarkan sertifikat Hak Milik No: 3530, 3531, 3532 adalah sah miliknya
karena itu tindakan Tergugat II (SKR) yang menjual sebagian tanah sengketa bersertifikat HM. 3532 kepada Tergugat IV (SYT) dihadapan PPAT BHN, SH. berdasarkan Akte Jual beli No: 327/AGMY/2008 tanggal 24 September 2008 adalah sah dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum seperti yang didalilkan Para Penggugat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Para Penggugat telah gagal untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, maka gugatan Para Penggugat dan petitumnya haruslah ditolak. Dalam Rekonpensi Menimbang bahwa oleh karena dalam gugatan Penggugat Rekonpensi tidak menguraikan sejauh mana kerugian tersebut, begitu pula tidak ada rincian dari kerugian serta tidak adanya alat bukti yang dapat mendukung gugatan tersebut, maka untuk gugatan Penggugat Rekonpensi haruslah ditolak. Dalam Konpensi Dan Rekonpensi Menimbang oleh karena gugatan para Penggugat Konpensi/para Tergugat dalam Rekonpensi dinyatakan ditolak, maka cukup beralasan untuk menghukum para Penggugat Konpensi/para Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. Mengingat pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan dengan perkara ini. Setelah
melihat hal-hal dalam konpensi, eksepsi, pokok perkara,
rekonpensi, konpensi dan rekonpensi dari para pihak berperkara, serta memperhatikan landasan-landasan hukum yang berkaitan dengan masalah
tersebut Majelis Hakim dalam Pengadilan Negeri Salatiga mengadili perkara ini yang isinya : 1. Dalam Konpensi : - Dalam eksepsi : menolak eksepsi Tergugat I, III, IV - Dalam pokok perkara : menolak gugatan para Penggugat 2. Dalam Rekonpensi : Menolak gugatan Penggugat rekonpensi / Tergugat IV konpensi 3. Dalam Konpensi dan Rekonpensi : Menghukum para Pengugat Konpensi / Para Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.491.000,- (satu juta empat ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).
B. Analisis Putusan dan Pertimbangan Terhadap Penjualan Warisan yang Belum Dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga Perkara yang diputuskan dipengadilan harus mempunyai alasan-alasan yang jelas, Majelis Hakim butuh pembuktian tersebut untuk bisa memutuskan perkaranya dengan menghadirkan saksi-saksi dan bukti. Dasar putusan hakim meliputi dua hal yaitu landasan yang tersurat dan landasan yang tersirat. Landasan yang tersurat yaitu pasal 1334 ayat (2), pasal 1471, dan pasal 1365 KUHPer yaitu: Pasal 1334 ayat 2 KUHPer yang isinya: “Melarang jual beli warisan yang belum terbuka” Pasal 1471 KUHPer yang isinya: “Jual beli barang orang lain adalah batal”
Pasal 1365 KUHPer yang isinya: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Unsur Hukum-hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Jual beli warisan yang belum dibagi oleh semuah ahli warisnya adalah tidak diperbolehkan, jika perbuatan tersebut dilakukan maka akan ditetapkan perbuatan melawan hukum 2. Jual beli barang yang belum haknya atau belum mempunyai legitime portie (hakmutlak) adalah dilarang. Jika perbuatan tersebut dilakukan maka akan merugikan orang lain. Dan perjanjian tersebut harus dinyatakan batal demi hukum 3. jika seseorang membuat kerugian kepada orarng lain, maka orang tersebut harus mengganti kerugian yang diderita orang tersebut. Besarnya kerugian yang harus diganti oleh orang yang membuat kerugian adalah disamakan dengan perbuatannya tersebut. Beda halnya dengan landasan yang di atas. Landasan hakim yang tersurat dalam memutuskan perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal. yaitu pasal 1320 KUHPer. Pasal 1320 KUHPer menjelaskan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, diantaranya: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, maksudnya perjanjian itu didasarkan atas kesepakatan para pihak, bebas atau tidak ada unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan, melainkan berdasarkan kebebasan semata-mata.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya para pihak yang mengadakan perjanjian itu harusnya orang-orang yang cakap untuk membuat perikatan. Yang dianggap sudah cakap di sini diantaranya yaitu: a. Dewasa b. Orang dewasa yang tidak beradah dibawah pengampuan c. Wanita atau orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan undang-undang. 3. Suatu hal tertentu, maksudnya adanya barang yang diperjanjikan jelas dan terbuka. 4. Suatu sebab yang halal, maksudnya yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh undang-undang serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi yang mendasari perjanjian itu. Mengenai Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006, atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 yang dibuat oleh pejabat yang berwenang mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 1.C. Notaris/PPAT BHN, SH. (Turut Tergugat 1) maka menurut Majelis bahwa: benar Para Penggugat telah menyerahkan bagian Haknya atas tanah sengketa seluas ± 1448 M2 kepada Tergugat I, II, III untuk dimilikinya. Pada saat ditandatangani Akte Pembagian Hak Bersama oleh Para Penggugat, Bu LGY dan Tergugat I, II, III maka menurut hukum harus diartikan bahwa Para Penggugat telah membaca, mengerti dan menyetujui serta telah mengetahui materi dari Akte tersebut dan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan dwang, dwaling, bedrog (paksaan, kesesatan, tipu daya,
kebohongan) terhadap Para Penggugat dalam proses Pengalihan Hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan yang dituangkan dalam Akte Pembagian Hak Bersama No: 234/AGMY/2006 adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat objektif dan subjektif. Selain landasan yang ada dalam Undang-undang Majelis Hakim juga harus memperhatikan landasan-landasan yang tersirat yaitu landasan filosofi dan landasan sosiologi. Hal ini hanya diperlakukan dalam hukum formilnya saja. Selain itu semua perkara yang bisa diajukan ke Pengadilan Negeri harus mempunyai alasan-alasan yang sah, hal ini sebagai dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara. Hakim akan minta bukti kebenaran tersebut, untuk bisa memutuskan perkaranya, alasan tersebut adalah sebagai dasar hukum materiilnya. Proses awal dalam menyelesaikan perkara dimulai dari persiapan, surat gugatan, jawaban tergugat, gugatan intervensi, dan pembuktian. Dengan ini Majelis Hakim dalam memutuskan perkara penjualan warisan yang belum dibagi sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Persoalan penjualan warisan yang belum dibagi berkaitan erat dengan persoalan tindakan melawan hukum, meskipun pada awalnya dimulai dari persoalan sepele kemudian yang berakumulasi sampai pada puncaknya menjadi perbuatan melawan hukum yang pada mulanya hal seperti ini dimulai dari ambisi masalah kepemilikan atas tanah sengketa untuk menjadi hak mutlak. Dari sekian permasalahan ini salah satu ahli waris bisa melakukan tindakan semena-mena terhadap ahli waris yang lainnya.
Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 7 jika dipahami dengan teliti bahwa setiap ahli waris dengan sendirinya pasti mendapatkan bagian warisan dari pewaris. Lebih jelasnya adalah bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Pembagian warisan bisa dilaksanakan setelah hak-hak pewaris dilaksanakan. Mulai dari biaya pemakaman, melunasi hutang-hutangnya, zakat, wasiat dan sebagainya yang berkaitan dengan pewaris terselesaikan. Sisa harta pewaris setelah
dikurangi
dengan biaya-biaya
semuanya,
maka
diperbolehkan untuk dibagi-bagikan kepada ahli warisnya dengan bagian yang adil dan merata atau sesuai bagiannya yang telah ditetapkan. Dalam hukum Islam, jika ahli waris sudah mendapatkan bagian warisannya masing-masing dengan jelas hak miliknya tersebut, maka ahli waris tersebut boleh mentasarubkan harta atau hak miliknya tersebut sesuai kemauannya sendiri. Karena itu sudah sah untuk ditasarubkan. Begitu juga sebaliknya kalau seseorang belum mempunyai hak milik yang jelas, maka orang tersebut tidak sah untuk mentasarubkan hartanya. Bentuk wujud
tasarub disini salah satunya
misalnya, melakukan jual beli. Dalam hukum Islam menjelaskan bahwa jual beli seseorang dikatakan syah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Jika seseorang melakukan jual beli barang tetapi barang tersebut bukan miliknya yang mutlak atau belum jelas kepemilikannya, maka jual beli tersebut dinyatakan tidak syah untuk dijalankan. Jual beli barang yang bukan miliknya sama halnya dengan
mencuri atau menghasab. Dan dalam hukum Islam perbuatan tersebut dinyatakan haram. Dari beberapa uraian di atas terdapat perbedaan dan persamaan antara hukum Islam dengan hukum perdata, yang diantaranya yaitu: 1. Perbedaan Golongan Ahli Waris Dalam hukum Islam, golongan ahli waris terdiri dari: anak-anak, orang tua yaitu ibu dan atau bapak, saudara laki-laki atau perempuan, dan suami atau istri. Dalam hukum perdata, golongan ahli waris terdiri dari: golongan I terdiri dari anak-anak dan suami atau istri, golongan II terdiri dari ayah dan atau ibu, golongan III terdiri dari kakek dan atau nenek. Tidak Patut Mewarisi Dalam hukum Islam, tidak patut mewarisi terdiri dari: Perbudakan, pembunuhan terhadap si pewaris, berlainan Agama, dan murtad. Dalam hukum perdata, tidak patut mewarisi terdiri dari: berdasarkan putusan hakim dinyatakan membunuh atau mencoba membunuh si pewaris, terbukti memfitnah si pewaris dengan mengajukan pengaduan melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman penjara lima tahun, mencegah atau menghalang-halangi si pewaris untuk membuwat atau mencabut surat wasiat, dan memalsukan surat wasiat pewaris. Syarat Syah Perjanjian Jual Beli Warisan
Dalam hukum Islam, Syarat syah perjanjian jual beli warisan terdiri dari: a. Pelaku akad: Keduanya saling ridho Keduanya adalah orang yang sudah diperbolehkan mengambil sikap masing-masing Berhak dan memiliki barang yang dijual atau mewakili sang pemiliknya b. Barang akad: Suci, bukan barang yang mengandung unsur najis dan dilarang syara’ Bermanfaat Milik orang yang melakukan akad atau yang diberi janji oleh pemilik Barang tersebut dapat diserahkan dalam majelis akad Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitanya, barang dan nilainya diketahui Masa penyerahannya telah ditetapkan Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan c.
Ijab dan qobul Dalam hukum perdata, syarat syah perjanjian jual beli warisan terdiri
dari: perjanjian didasarkan atas kesepakatan para pihak, pihak
yang
mengadakan perjanjian adalah harus orang-orang yang cakap membuat perjanjian, adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan adanya sebab yang halal.
Masalah Hukum Penjualan Warisan Dalam hukum Islam, Masalah hukum penjualan warisan yang belum dibagi tidak diperbolehkan bahkan tidak sah hukumnya untuk diadakan. Karena sama halnya dengan menjual hak milik orang lain, sedangkan dalam hukum Islam dijelaskan kalau mengambil hak orang lain sama halnya mencuri atau mernghasab. Hukum mencuri dan menghasab adalah haram. Dalam hukum perdata menjelaskan, penjualan warisan yang belum dibagi adalah dilarang. Dengan alasan karena belum terbukanya warisan tersebut dan hukum dari perbuatan tersebut adalah dinyatakan batal demi hukum. 2. Persamaan Dalam unsur-unsur atau rukun hukum waris diantaranya a. Ada orang yang meninggal atau pewaris b. Ada ahli waris c. Ada harta peninggalan dari orang yang meninggal atau mauruts Mengenai tujuan dilarangnya penjualan warisan yang belum dibagi yaitu: a. Mencegah segala perbuatan yang merugikan orang lain b. Melindungi hak milik atau harta orang lain c. Menindak pelaku yang bersalah agar jerah atas perbuatanya d. Memelihara keutuhan hubungan persaudaraan bersama diantara ahli waris.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari keseluruhan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis, yaitu Penjualan Harta Warisan Yang Belum Dibagi Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal). diantara kesimpulan tersebut adalah : 1. Putusan Hakim dalam perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga, yaitu : a. Dalam Konpensi : - Dalam eksepsi : menolak eksepsi Tergugat I, III, IV - Dalam pokok perkara : menolak gugatan para Penggugat b. Dalam Rekonpensi : Menolak gugatan Penggugat rekonpensi /Tergugat IV konpensi c. Dalam Konpensi dan Rekonpensi : Menghukum para Pengugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.491.000,- (satu juta empat ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).
101
2. Pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara penjualan harta warisan yang belum dibagi di Pengadilan Negeri Salatiga, dikelompokkan menjadi 3 (tiga) landasan. Yaitu : a. Landasan hukum Landasan hukumnya yaitu tertuang dalam pasal 1320 KUHPer. Dan selama persidangan tidak ditemukan alasan Dwang, Dwaling, Bedrog (paksaan, kesesatan, tipu daya, kebohongan) terhadap para Penggugat dalam proses pengalihan hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan yang dituangkan dalam Akte pembagian hak bersama No.234/AGMY/2006 adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif. b.
Landasan filosofi Landasan filosofi ini yaitu dengan cara mengambil hasil keterangan dari para saksi yang dihadirkan dalam persidangan, Menurut penilaian Majelis keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan tidak dapat melumpuhkan dan melemahkan Akte Pembagian Hak Bersama karena tidak didukung dengan alat bukti lain (UNUS TESTIS NULLUS TESTIS). Sehingga menurut hukum keterangan saksi tersebut tidak dapat dipercayai.
c.
Landasan sosiologi Landasan sosiologi yaitu dengan melihat bagaimana keberadaan ekonomi para Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan Akte pembagian hak bersama No.234/AGMY/2006 adalah sudah sesuai dengan azaz kepatutan dan azaz keadilan, dan hal itu sudah sewajarnya dilakukan
karena: para Penggugat sudah mempunyai tanah dan rumah tempat tinggal masing-masing yang sebagian besar berasal dari pemberian orang tuanya (Alm. SJSD). Lebih-lebih lagi kedudukan ekonomi Tergugat di sini kurang mampu dibandingkan dengan kedudukan ekonomi para Penggugat. 3. Putusan hakim terhadap perkara No.32/Pdt.G/2009/PN.Sal ditinjau dari hukum perdata sudah sesuai dengan kaidah-kaidah/ ketentuan yang berlaku di Indonesia. Sehingga Majelis Hakim dalam memutuskan perkara penjualan warisan yang belum dibagi sudah memenuhi syarat keadilan, tidak memberatkan salah satu pihak, karena sudah sesuai dengan hukum formil dan hukum materiilnya. Ditinjau dari hukum Islam hakim pengadilan Negeri Salatiga tidak berlandaskan pada kaidah-kaidah hukum Islam. Akan tetapi secara tidak langsung prinsip hukum Islam sudah terkandung di dalamnya hukum formilnya. Penjualan harta warisan yang belum dibagi dalam tinjauan hukum Islam adalah tidak diperbolehkan.
B. Saran 1. Para hakim harus lebih meningkatkan wawasan/ pengetahuan serta kepekaan hati nuraninya dalam menganalisa dan memandang suatu permasalahan yang timbul disekitarnya, sehingga akan diperoleh putusan yang adil dan bijaksana dan penerapan hukumnya dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Allah SWT, Bangsa dan Negara (masyarakat luas). 2. Warga masyarakat yang merasa hak dan kehormatannya dirampas baik oleh saudara (keluarga) sendiri maupun orang lain, yang menimbulkan persengketaan/ percekcokkan dan tidak bisa diselesaikan baik-baik secara
damai dan kekeluargaan, untuk tidak segan-segan ataupun takut-takut untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui jalan hukum. 3. Bila hendak menjual warisan, entah itu warisan sudah dibagi/ belum, sebaiknya berkonsultasi/meminta pertimbangan atau setidaknya memberitahu anggota keluarga/ ahli waris yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Muhammad, Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Keluarga (Studi Analisis KHI Pasal 185), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006. Adityasari Hanif, Pembagian Harta Warisan Bagi Keturunan Punah (Kalalah), Studi Kasus di Manggal, Simo, Boyolali), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2009. Affandi Ali, SH, Hukum Waris Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Afandi, Ali, SH, Hukum Waris Keluarga Hukum Pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986. Ariyanto Slamet, Pemberian Warisan Dengan Jalan Hibah Menurut Pandangan Islam, (Studi Kasus di Desa Japar, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2009. As’a Ali Muhammad, Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Masyarakat Islam, (Studi Kasus Atas Pelaksanaan Pembagian Waris di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2010. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, PT. Bumi Restu, 1976. Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher, t.t.p. Halim, A. Ridwan, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Hartati, Bagian Warisan Anak Luar Nikah, (Studi Komparatif Antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Perdata), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2002. Hariyanti Isti, Bagian Anak dari Proses Bayi Tabung, Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2004. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, CV. Remadja Kurawa, 1989. Muhammad Abdulkadir, SH., Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditrya Bhakti, 1993.
Nurkayah Siti, Syarat dan Wewenang Wali Waris, (Studi Komparatif KHI dan KUH Perdata), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2004. Reksopradoto Wibowo, Hukum Waris Jilid I, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1983. Satrio J, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, 1992. Setyowati Ambar, Bagian Waris Anak Dalam Kandungan Menurut Hukum Islam, (Studi Analisis Pasal 42 UU Waris Mesir No. 77 Tahun 1946), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. Soerjopratiknjo, Hartono, Aneka Perjanjian Jual Beli, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982. Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yogyakarta, Andi Offset, 1986. Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985. Soemitro, Rohmi Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990. Subekti, R.Prof, SH, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT. Paradnya Paramita, 1999. Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, (Terjemahan Adiwimar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. Wahid Abdul, Pembagian Harta Warisan Antara Laki-Laki dan Perempuan di Indonesia, (Studi Analisis Pemikiran Munawir Syadzali), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2005. Zaidun, Fitnah Sebagai Penghalang Mendapatkan Hak Waris, (Studi Analisis KHI Pasal 173), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006. Zeen Fuad Noor, Wasiat Wajibah Sebagai Alternatif Waris Anak Angkat, (Studi Analisis Pasal 209 KHI), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2009. Zumrotun Siti, Faktor-Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga Mengajukan Perkara Waris di PA, (Studi Kasus di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga), Skripsi Untuk Memperoleh Gelar S1 Pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2007 Laurensius Bapa, S.H., Wawancara, 2011: Pengadilan Negeri Salatiga