KEDUDUKAN ANAK SUMBANG DALAM PENERIMAAN HARTA WARISAN (ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 867 KUH PERDATA) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
oleh: Nur Rokhmad 052111129
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
PERSEMBAHAN Puji syukur alhamdulillah dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap atas ridlo-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupanku khususnya buat: • Abi H. Sutamyiz bin Khoiruddin bin H. Abdul Hamid bin Sanahmad bin Hawa yang selalu mendoakanku. • Umi Hj. Latifah binti Abdul Qodir bin Santawi bin Hawa ridlamu adalah semangat hidupku. • Ukhti Hj. Siti Musyarofah (al-Hafidzah) binti H. Sutamyiz bin Khoiruddin bin H. Abdul Hamid bin Sanahmad bin Hawa yang selalu mensuportku. • Yuyun Nailufar binti Ahmad Khamdi bin H. Masrumi bin Kromoyat bin Hawa (w de táitai). • Keluarga Besar Oku Timur dan Banyuwangi yang selalu menjaga tali silaturahim.
PENULIS
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang
dijadikan bahan
rujukan.
DEKLARATOR
ABSTRAK
Anak adalah termasuk ahli waris dari orang tuanya kelak ketika mereka meniggal, namun dalam kasus anak sumbang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 867 bahwa undang-undang tidak memberikan hak waris, hanya memberikan kepada anak sumbang hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap harta orang tuanya, dalam hukum Islam anak sumbang mendapatkan hak waris dari garis ibunya, hal ini sesuai dengan KHI pasal 186 bahwa anak sumbang mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya. Permasalahannya adalah perbedaan antara hukum Islam dan KUH Perdata mengenai hak waris anak penodaan darah, karenanya bagaimana kedudukan anak sumbang dalam KUH Perdata terhadap harta warisan? Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pasal 867 KUH Perdata? Adapun metode penulisan skripsi ini terdiri dari: Pengumpulan data dengan menggunakan jenis penelitian studi kepustakaan (Library Research). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan menggunakan analisis kualitatif, selain itu digunakan metode deduktif dan metode induktif. Hasilnya anak sumbang menurut KUH Perdata bisa mendapatkan hak waris dengan jalan wasiat atau testament. Kedudukan waris anak sumbang dalam hukum Islam dan Pasal 867 KUH perdata terdapat adanya persamaan dan perbedaan.
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Kedudukan Anak Sumbang Dalam Penerimaan Harta Warisan (Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 867 KUH Perdata)”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Syari’ah di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun haturkan ucapan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah, beserta seluruh jajaran di Fakultas Syari’ah. 2. Bapak Drs. Rokhmadi, M.Ag. selaku pembimbing I, yang selalu meluangkan waktu dan pemikirannya untuk membantu penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Nur Hidayati Setyani, M.H. selaku pembimbing II, dengan segenap waktu dan kontribusi pemikirannya dalam skripsi ini. 4. Pimpinan Perpustakaan Institut beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo beserta staff yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Bapak, ibu dan kakakku atas do’a dan pengorbanan yang tidak mungkin terbalas. 7. Teman-teman, mahasiswa Fakultas Syari’ah khususnya ASB angkatan 2005 atas dukungan dan ukhuwah yang terjalin. 8. Segenap pihak yang tidak mungkin tersebutkan, atas bantuannya baik moril maupun materiil secara langsung/ tidak dalam penyelesaian skripsi ini. Akhirnya semoga Allah SWT memberikan imbalan yang berlipat ganda dan meridhai semua amal baik yang telah diberikan. Penyusun sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu sumbangan saran, dan kritik yang membangun sangat penyusun nantikan dengan harapan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca umumnya. Amin. Semaran 24 Mei 2010 M Penyusun Nur Rokhmad 052111129
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ..............................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................
v
HALAMAN DEKLARASI ......................................................................
vi
ABSTRAKSI ...........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
viii
DAFTAR ISI ............................................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................
8
C. Tujuan Dan Kegunaan ......................................................
8
D. Telaah Pustaka ..................................................................
9
E. Kerangka Teoritik .............................................................
11
F. Metode Penelitian .............................................................
14
G. Sistematika Penulisan .......................................................
16
KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA Kewarisan Menurut Hukum Islam ...........................................
18
A. Pengertian .........................................................................
18
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam .........................................
19
C. Asas-Asas Kewarisan Islam ..............................................
23
D. Syarat Dan Rukun Waris ...................................................
25
E. Sebab-Sebab Mewarisi ......................................................
28
F. Penghalang Kewarisan ......................................................
30
G. Hak Waris Anak Sumbang Menururt Hukum Islam ..........
31
BAB III
Kewarisan Menurut KUH Perdata ...........................................
32
A. Pengertian .........................................................................
32
B. Dasar Hukum Kewarisan Perdata (BW) ............................
37
C. Asas-Asas Dalam Kewarisan Perdata ................................
43
HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata ..........................
46
B. Anak Sumbang Menurut KUH Perdata .............................
49
C. Hak Waris Anak Sumbang Menurut Pasal 867 KUH Perdata .............................................................................. 51
BAB V
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KEDUDUKAN ANAK
SUMBANG
TERHADAP
HARTA
WARISAN
MENURUT KUH PERDATA A. Analisis Kedudukan Anak Sumbang Menurut Pasal 867 KUH Perdata .............................................................................. 58 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 867 KUH Perdata .. 63
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... 67 B. Saran-Saran ...................................................................... 68 C. Penutup ............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diantara syarat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup ialah adanya hubungan silaturahim atau kekerabatan antara keduanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 7:
x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur tbqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$# x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR ÉA%y`Ìh•=Ïj9
ÇÐÈ $ZÊrã•øÿ¨B $Y7ŠÅÁtR 4 uŽèYx. ÷rr& çm÷ZÏB ¨@s% $£JÏB šcqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$#
Artinya: ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (alNisa’: 7) Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris yang disebabkan oleh faktor kelahiran.1 Proses kelahiran seseorang tentu membutuhkan adanya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang diperkuat dengan media akad nikah2, sehingga melahirkan anak sah. Mengenai anak luar kawin undang-undang mengadakan peraturan tersendiri, contoh dalam KUH Perdata bagian ke-3 titel/ bab ke XIII buku II mulai pasal 862; Bila yang meninggal dunia meninggalkan anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara sah menurut undang-undang, maka harta peninggalannya
1
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minagkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), Cet. I, hlm. 28. 2 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), Cet. I, hlm. 26.
dibagi dengan cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut. Termasuk dari anak sah adalah anak-anak yang disahkan (pasal 277 BW).3 Berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan, dalam Surat al-Nisa’ ayat 11 disebutkan:
Èû÷ütGt^øO$# s-öqsù [ä!$|¡ÎS £`ä. bÎ*sù 4 Èû÷üu‹sVRW{$# Åeáym ã@÷VÏB Ì•x.©%#Ï9 ( öNà2ω»s9÷rr& þ’Îû ª!$# ÞOä3ŠÏ¹qム$yJåk÷]ÏiB 7‰Ïnºur Èe@ä3Ï9 Ïm÷ƒuqt/L{ur 4 ß#óÁÏiZ9$# $ygn=sù Zoy‰Ïmºur ôMtR%x. bÎ)ur ( x8t•s? $tB $sVè=èO £`ßgn=sù 4 ß]è=›W9$# ÏmÏiBT|sù çn#uqt/r& ÿ¼çmrOÍ‘urur Ó$s!ur ¼ã&©! `ä3tƒ óO©9 bÎ*sù 4 Ó$s!ur ¼çms9 tb%x. bÎ) x8t•s? $£JÏB â¨ß‰•¡9$# öNä.ät!$t/#uä 3 AûøïyŠ ÷rr& !$pkÍ5 ÓÅ»qム7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ .`ÏB 4 â¨ß‰•¡9$# ÏmÏiBT|sù ×ouq÷zÎ) ÿ¼ã&s! tb%x. bÎ*sù $¸JŠÎ=tã tb%x. ©!$# ¨bÎ) 3 «!$# šÆÏiB ZpŸÒƒÌ•sù 4 $YèøÿtR ö/ä3s9 Ü>t•ø%r& öNßg•ƒr& tbrâ‘ô‰s? Ÿw öNä.ät!$oYö/r&ur $VJŠÅ3ym Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Nisa’: 11).
3
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Paramita, 1988), hlm. 23.
Hubungan kekerabatan itu terjadi karena adanya hubungan darah (kelahiran). Kelahiran seorang anak dari rahim dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan: 1. Disebabkan oleh hubungan kelamin antara si ibu dengan si ayah yang terikat dalam akad nikah yang sah. Anak yang lahir itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilan itu. 2. Disebabkan oleh hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dengan akad nikah yang sah. Sipelaku dinyatakan berdosa dan dikenai sanksi had. Hubungan kelamin seperti ini disebut zina bila pelakunya berbuat secara sengaja dan melawan hukum4. 3. Disebabkan oleh hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas suatu kesalahan. Hubungan dalam bentuk ini disebut hubungan kelamin secara subhat. Subhat itu ada dua macam yaitu5: a) Subhat akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad dengan seorang wanita, seperti halnya dengan akad nikah sah lainnya, tetapi kemudian akad nikah tersebut fasid, karena suatu alasan. Contoh: Akad nikah antara laki-laki dan perempuan yang masih muhrim.
4
Amir Syarifuddin, op. cit. hlm. 32 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syahsiah, (Beirut: Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1964), Cet. I, hlm. 79 5
b) Subhat perbuatan adalah manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara mereka berdua, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar ketika melakukannya, atau dia meyakini bahwa wanita tersebut adalah halal untuk dicampuri, ternyata wanita tersebut haram dicampuri. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, orang mabuk dan orang mengigau, serta orang yang yakin bahwa wanita yang dia campuri adalah isterinya, tetapi ternyata wanita itu bukan isterinya yang halal baginya. Dari penjelasan di atas pengertian tentang anak subhat akad maknanya hampir sama dengan anak sumbang atau incest. Anak sumbang adalah anakanak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang dekat, sehingga antara mereka dilarang undang-undang untuk menikah.6 Sedangkan pengertian incest ada beberapa pengertian: a. Incest = Penodaan darah.7 b. Incest (zina dengan saudara) ialah relasi-relasi seksual diantara orangorang berbeda jenis kelamin yang berkaitan darah dekat sekali, lewat ikatan darah.8 c. Incest adalah hubungan seks antara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan perkawinan, di mana mereka terkait hubungan kekerabatan/
6
J. Satio, op. cit. hlm. 173 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 1989), Cet. VI, hlm. 255. 8 Ibid. 7
keturunan yang dekat sekali. Sebenarnya secara hukum dan kesehatan tidak diizinkan terjadinya hubungan seks tersebut.9 d. Incest adalah kekerasan seksual yang terjadi antar anggota keluarga. Pelaku biasanya adalah anggota keluarga yang lebih dewasa dan korbannya anak-anak.10 Kejadian incest yang paling banyak dilaporkan adalah antara bapak dan anak perempuannya. 11 Tentang hak pemberian harta terhadap anak subhat berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan, di dalam hukum Islam, Muhammad Jawad Mughniyah menyatakan bahwa orang yang dilahirkan dari hubungan subhat itu merupakan anak sah sebagaimana halnya dengan anak yang lahir melalui perkawinan yang sah, tanpa ada perbedaaan sedikit pun, baik subhat tersebut merupakan subhat akad maupun perbuatan, maka anak itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut.12 Dan di dalam KHI pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Salah satu alasan batalnya perkawinan dalam pasal 70 KHI disebutkan adanya perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah.
9
Ibid. Moh. Rasyid, Pendidikan Seks Mengubah Seks Abnormal Menuju Yang Lebih Bermoral ,(Kudus: Syiar Media Publishing, 2007), Cet. I, hlm. 151. Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang Dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta” UII Press, 2001), Cet. I, hlm. 135. 10 Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender), (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000), Cet. I, hlm. 39. 11 Irwan Abdullah dkk, Islam Dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm. 155. 12 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit. hlm. 80.
Sedangkan dalam KUH Perdata juga sama, hal ini sesuai dengan Pasal 95 bahwa “Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat perdatanya, baik terhadap suami istri, maupun terhadap anakanak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami istri itu.”. Alasan pembatalannya sesuai dengan Pasal 90 yang menyebutkan “Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32 dan 33, boleh dimintakan pembatalan, baik oleh suami istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan”, Pasal 31 berbunyi “Juga dilarang perkawinan: 1. antara ipar laki-laki dan ipar permpuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain; 2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antaa bibi orang tua dengan kemenakan lakilaki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alas an-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.” Namun yang menjadi permasalahan adalah anak sumbang (termasuk anak luar kawin yang tidak dapat diakui). Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pasal 867 berbunyi: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah. Undang–undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”. Pasal ini menjelaskan tentang hak waris terhadap anak luar kawin. Yang tidak dapat diakui, untuk anak luar kawin yang dapat diakui diatur dalam pasal 862 – 873, kecuali pasal 867, 868, 869. Undang-undang hanya memberikan kepada anak sumbang hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap harta yang besarnya tidak tertentu tergantung dari besarnya kemampuan bapak atau ibunya dan keadaan para ahli waris yang sah. Keadaan ahli waris yang sah apakah mereka mampu atau miskin turut menentukan besarnya hak alimentasi anak sumbang. Haknya bukan hak waris tetapi dapat dibandingkan dengan hak kreditur.13 Dalam hukum Islam anak sumbang mendapatkan hak waris dari garis ibunya, hal ini sesuai dengan KHI pasal 186 “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibumya dan keluarga pihak ibunya”. Dari sini timbul perbedaan antara Hukum Islam dan KUH Perdata mengenai hak waris anak penodaan darah. Dengan alasan-alasan tersebut penulis mengangkat skripsi ini dengan judul “Kedudukan Anak Sumbang Dalam Penerimaan Harta Warisan (Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 867 KUH Perdata).
13
J. Satrio, loc. Cit
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat penulis sampaikan beberapa pokok masalah dalam penelitian ini: 1. Bagaimana kedudukan anak sumbang dalam KUH Perdata terhadap harta warisan? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pasal 867 KUH Perdata?
C. Tujuan dan Kegunaan Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya diharapkan tulisan ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai. Bertitik tolak dari perumusan masalah diatas, maka penulisan skripsi ini memilki dua tujuan utama yaitu: 1. Untuk mengetahui kedudukan anak sumbang terhadap harta warisan dalam KUH Perdata. 2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap pasal 867 KUH Perdata. Kegunaannya antara lain: 1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang pemberian harta warisan terhadap anak sumbang baik dalam hukum Islam maupun KUH Perdata.
2. Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak sumbang seperti tersebut di atas.
D. Telaah Pustaka Berdasarkan data yang penulis temukan ada beberapa buku, skripsi atau penelitian yang secara umum membahas tema yang sama dengan penelitian ini, adapun beberapa buku, skripsi atau penelitian tersebut adalah: 1. Syarah al-Ahkam al-Syar’iyah fi Ahwali al-Syahksiyah karya Muhammad Zaid al-Bayani, di dalam kitab ini diterangkan bahwa jika akad shahih itu dilakukan, kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah lewat enam bulan, maka tetap dinasabkan. Adapun jika akad itu fasid tidak bisa dinasabkan pada laki-laki tersebut, kecuali waktu melahirkannya itu genap enam bulan dari waktu dukhulnya.14 2. Hasyiyah al-Syarqawi, karya Abdullah ibn Hajazi bin Ibrahim asySyafi’i, dalam hasiyyah ini diterangkan bahwa anak dari hubungan subhat menyebabkan adanya penetapan nasab. 15 3. Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri. Dijelaskan bahwa hubungan dari subhat ini menimbulkan kewajiban seseorang untuk memberikan mahar atau sepadannya.16 4. Skripsi Analisis Terhadap Pendapat Muhammad Muhyidin Dalam Kitab 14
Muhammad Zaid al-Bayan, Syarah al-Ahkam al-Syariyah fi Ahwali al-Syahksiyah, Juz. II,
hlm. 14. 15
Abdullah ibn Hjazi, Hasyiyah al-Syarqawi, hlm. 329. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz, IV, (MesirMaktabah al-Ilmiyah), hlm. 121. 16
al-Ahwal al-Syakhsiyah Tentang Penasaban Wali Nikah Bagi Anak Hasil Hubungan Wathi’ Subhat karya Mushofihin (2104157, lulus tahun 2008). Dalam skripsi tersebut penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Muhyidin berpendapat apabila seseorang itu melakukan hubungan wath’i subhat (akad maupun perbuatan) maka anak yang dihasilkan dari hasil ini tidak dapat dinisbatkan pada orang yang melakukan wath’i, kecuali bila si laki-laki yang melakukan kesubhatan tersebut mengakui anak tersebut sebagaimana anaknya, karena yang tahu akan kesubhatan tersebut adalah dia sendiri. Sehingga kesubhatan tersebut terjadi pada kedua belah pihak, maka anak yang dihasilkan dari pernikahan ini dinasabkan pada keduanaya. Sedangkan bila terjadi pada salah satu pihak, maka anak tersebut dikaitkan nasabnya hanya pada orang yang mengalami kesubhatan, dan ditiadakan dari yang tidak mengalaminya. 5. Skripsi Studi Atas Pasal 20 Ayat (1) KHI Tentang Syarat-syarat Wali Nikah karya Umrotun Mabruroh (2102064, lulus tahun 2009). Skripsi tersebut hanya membahas tentang syarat-syarat wali nikah, dan skripsi ini mengambil contoh tentang anak incest dan bagaimana perwaliannya. Dalam kasus incest di sini penulis menggambarkan pelakunya antara bapak dan anak perempuannya, bapak biologisnya tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan, karena telah melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya (menghamili putrinya sendiri). 6. Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Waris Anak Zina (Studi Analisis pasal 869 KUH Perdata) karya Faiz Rokhman (042111084,
lulus 2009). Skripsi tersebut menjelaskan bahwa menurut KUH Perdata status anak zina yang tidak punya hak untuk memperoleh waris dan tidak bisa menuntutnya, mereka hanya dapat nafkah sekedar untuk hidup. Kedudukan waris anak zina dalam hukum Islam dan Pasal 869 KUH perdata terdapat adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama dilahirkan di luar perkawinan, yang tidak mempunyai nasab ke bapaknya dan imbasnya tidak ada waris bagi anak yang berstatus anak zina. Dan perbedaan dalam Hukum Islam dan Pasal 869 KUH Perdata yaitu dalam Hukum Islam anak zina dinasabkan kepada ibunya, dan juga akan mendapatkan waris dari pihak ibunya. Dalam Pasal 869 KUH Perdata anak zina tidak dinasabkan kepada ibunya begitu pula terhadap bapaknya dan imbasnya tidak ada waris dari ibunya begitu pula bapaknya. Menurut penulis dari beberapa literatur yang penulis baca penelitian ini belum ada yang membahas, karena tidak menyinggung tentang hak pemberian harta terhadap anak sumbang terhadap harta warisan dalam hukum Islam serta apa yang tertulis dalam KUH Perdata.
E. Kerangka Teoritik Untuk dapat memahami sistem hukum Islam mengenai anak sumbang dan kedudukannya terhadap harta warisan kelak ketika orang tuanya telah tiada, penulis menggunakan KHI pasal 186 tersebut. Hal ini berbeda dengan KUH Perdata dalam pasal 867. Eman Suparman di dalam buku Hukum Waris
Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW mengatakan bahwa “Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu menurut ketentuan undang-undang dan ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).”
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:17 a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anakanak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan atau hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau isteri tidak saling mewarisi. b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan,serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris. c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
17
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 31.
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis kesamping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Dari uraian di atas, keberadaan anak sumbang dalam kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum Islam maupun KUH Perdata menimbulkan pertanyaan seperti telah dikemukakan dalam pokok masalah. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian penulis melihat beberapa teori tentang keadilan hukum atau nilai-nilai hukum dalam sistem hukum Islam serta KUH Perdata. Teori tersebut dapat digali dari ajaran hukum Islam dan terbentuknya KUH Perdata. Arti keadilan di dalam hukum Islam dan KUH Perdata, menjadi pokok pembahasan yang mendasar untuk dapat dipahami lebih jauh. Dalam teori keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Ada tiga prinsip keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, yaitu prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan.18 Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawartawar, karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan, sehingga diperlukan hukum. Hukum akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
18
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 165.
Adapun prinsip-prinsip keadilan dalam al-Qur’an, yaitu diantaranya adalah tentang keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan masyarakat, disebutkan dalam firman Allah SWT.
ãb$t«oYx© öNà6¨ZtBÌ•ôftƒ Ÿwur ( ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#y‰pkà- ¬! šúüÏBº§qs% (#qçRqä. (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ $yJÎ/ 7Ž•Î6yz ©!$# žcÎ) 4 ©!$# (#qà)¨?$#ur ( 3“uqø)-G=Ï9 Ü>t•ø%r& uqèd (#qä9ωôã$# 4 (#qä9ω÷ès? žwr& #’n?tã BQöqs% ÇÑÈ šcqè=yJ÷ès? Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Maaidah: 8)
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai kedudukan anak sumbng terhadap harta warisan dalam hukum Islam dan KUH Perdata. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak sumbang terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan Library Research, sehingga penelitian inipun dinamakan penelitian pustaka. Yaitu penelitian dengan meneliti
data yang ada di perpustakaan yang relevan dengan pembahasan ini. 19 Data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan skunder.20 2. Sumber Data a. Data Primer Terdiri dari: Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b. Data Sekunder Terdiri dari: Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia karangan Abdul Ghofur Anshori, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW karangan Eman Suparman, Hukum Waris karangan J. Satrio. 3. Analisis Data a. Metode Analisis Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.21 Dalam hal ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. penelitian ini juga menggunakan data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.22 Demikian pula penulis menggunakan cara berfikir ilmiah yang berangkat dari kesimpulan yang umum menuju yang khusus (metode
19
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), Cet. 32,
hlm. 9. 20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Suatu tinjauan singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, t.t), hlm. 34-35. 21 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 102. 22 Tatang M. Arimin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 3, hlm. 134.
deduktif), dan sebaliknya mengurai dari yang khusus menuju yang umum (metode induktif). Dalam hal ini metode deduktif diaplikasikan dalam bab IV, sedang metode induktif diterapkan dalam bab II dan III. b. Pendekatan Pendekatan yang ditempuh dalam penulisan ini adalah pendekatan filosofis-normatif, Pendekatan filosofis digunakan untuk menemukan beberapa tujuan pemberian harta terhadap anak sumbang dari orang tua serta prinsip keadilan hukum yang ada dalam Hukum Islam dan KUH Perdata,. Sementara Untuk memahami peraturan hukum mengenai kedudukan anak penodaan darah terhadap harta warisan dalam hukum Islam dan KUH Perdata digunakan pendekatan normatif.
G. Sistematika Penulisan Skripsi Melalui metode penelitian tersebut di atas, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan ini, kiranya perlu disusun secara sistematik dengan membaginya dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan. Hal-hal yang dibahas dalam pendahuluan adalah latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada bab kedua penulis membahas tentang ketentuan kewarisan dalam hukum Islam yang meliputi tentang pengertian waris, dasar hukum kewarisan
Islam, asas-asas kewarisan Islam, syarat dan rukun waris, sebab-sebab mewarisi dan pendapat para ulama tentang hak waris terhadap anak sumbang dan kewarisan menurut KUH Perdata secara umum. Bab ketiga merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang kali
ini
membicarakan
tentang
hak
waris
anak
sumbang.
Pada
pembahasannya diuraikan beberapa hal, antara lain: kedudukan anak menurut KUH Perdata, anak sumbang menurut KUH Perdata, hak waris anak sumbang dalam KUH Perdata, termasuk didalamnya mencakup dasar hukum hak waris terhadap anak sumbang menurut KUH Perdata. Bab keempat, merupakan fokus penelitian ini, yaitu analisis hukum Islam terhadap waris anak penodaan darah meliputi: analisis kedudukan anak sumbang terhadap harta warisan menurut pasal 867 KUH Perdata, analisis hukum Islam terhadap pasal 867 KUH Perdata. Akhirnya, pada bab kelima, Adalah bab penutup dari pembahasan dalam skripsi ini yang
merupakan analisa menyeluruh dari bab-bab
sebelumnya yang dijadikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dan pada bagian akhir akan ditambahkan beberapa saran.
BAB II KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA
Kewarisan Menurut Hukum Islam A. Pengertian Kewarisan berasal dari kata waris, kata waris adalah dari bahasa Arab, dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan, kata “waris “ berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/ turas, yang berarti “mempusakai”, waris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris, serta jumlahnya. Istilah waris sama dengan faraid, yang berarti ”kadar” atau “bagian”23. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata waris berarti orang yang berhak menerima pusaka (harta peninggalan) orang yang telah meninggal.24 Waris yaitu harta kekayaan seaeorang, pada waktu ia meninggal maka akan beralih (berpindah) ke orang lain yang masih hidup, cara memperoleh harta waris dengan adanya pemindahan harta waris dari seseorang yang berhak kepada orang lain, jadi secara otomatis kepemilikan harta warisan akan berpindah pada orang lain dengan adanya kematian yang tak di tentukan siapa yang meninggal duluan. Dari mulai hak dan kewajiban seorang mayit itu akan berpindah secara otomatis dan hukum waris Islam akan mengarahkan bagaimana harta itu akan sampai ke ahli warisnya.
23
24
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005 W.Js.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Bale Pustaka. 2006 hal.1363
Dalam KHI di sebutkan pasal 171 yang bunyinya: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing”.25
Dari pengertian tersebut di atas kita bisa mengambil pengertian Hukum kewarisan, yaitu; Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal dunia, bagimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna dalam pembagian benda waris.
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam 1. Al-Quran Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengatur tentang hukum kewarisan adalah:
Èb#t$Î!ºuqø9$# x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur tbqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$# x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR ÉA%y`Ìh•=Ïj9 $ZÊrã•øÿ¨B $Y7ŠÅÁtR 4 uŽèYx. ÷rr& çm÷ZÏB ¨@s% $£JÏB šcqç/t•ø%F{$#ur Artinya:”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (al-Nisa: 7).
Èû÷ütGt^øO$# s-öqsù [ä!$|¡ÎS £`ä. bÎ*sù 4 Èû÷üu‹sVRW{$# Åeáym ã@÷VÏB Ì•x.©%#Ï9 ( öNà2ω»s9÷rr& þ’Îû ª!$# ÞOä3ŠÏ¹qム$yJåk÷]ÏiB 7‰Ïnºur Èe@ä3Ï9 Ïm÷ƒuqt/L{ur 4 ß#óÁÏiZ9$# $ygn=sù Zoy‰Ïmºur ôMtR%x. bÎ)ur ( x8t•s? $tB $sVè=èO £`ßgn=sù 4 ß]è=›W9$# ÏmÏiBT|sù çn#uqt/r& ÿ¼çmrOÍ‘urur Ó$s!ur ¼ã&©! `ä3tƒ óO©9 bÎ*sù 4 Ó$s!ur ¼çms9 tb%x. bÎ) x8t•s? $£JÏB â¨ß‰•¡9$# öNä.ät!$t/#uä 3 AûøïyŠ ÷rr& !$pkÍ5 ÓÅ»qム7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ .`ÏB 4 â¨ß‰•¡9$# ÏmÏiBT|sù ×ouq÷zÎ) ÿ¼ã&s! tb%x. bÎ*sù
25
Derpartemen Agama., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, BumiRestu, 1987
$¸JŠÎ=tã tb%x. ©!$# ¨bÎ) 3 «!$# šÆÏiB ZpŸÒƒÌ•sù 4 $YèøÿtR ö/ä3s9 Ü>t•ø%r& öNßg•ƒr& tbrâ‘ô‰s? Ÿw öNä.ät!$oYö/r&ur $VJŠÅ3ym Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Nisaa’: 11)
Ó$s!ur Æßgs9 tb$Ÿ2 bÎ*sù 4 Ó$s!ur £`ßg©9 `ä3tƒ óO©9 bÎ) öNà6ã_ºurø—r& x8t•s? $tB ß#óÁÏR öNà6s9ur Æßgs9ur 4 &úøïyŠ ÷rr& !$ygÎ/ šúüϹqム7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ .`ÏB 4 z`ò2t•s? $£JÏB ßìç/”•9$# ãNà6n=sù $£JÏB ß`ßJ›V9$# £`ßgn=sù Ó$s!ur öNà6s9 tb$Ÿ2 bÎ*sù 4 Ó‰s9ur öNä3©9 `à6tƒ öN©9 bÎ) óOçFø.t•s? $£JÏB ßìç/”•9$# Írr& »'s#»n=Ÿ2 ß^u‘qム×@ã_u‘ šc%x. bÎ)ur 3 &ûøïyŠ ÷rr& !$ygÎ/ šcqß¹qè? 7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ .`ÏiB 4 Läêò2t•s? y7Ï9ºsŒ `ÏB uŽsYò2r& (#þqçR%Ÿ2 bÎ*sù 4 â¨ß‰•¡9$# $yJßg÷YÏiB 7‰Ïnºur Èe@ä3Î=sù ×M÷zé& ÷rr& îˆr& ÿ¼ã&s!ur ×or&t•øB$# «!$# z`ÏiB Zp§‹Ï¹ur 4 9h‘!$ŸÒãB uŽö•xî AûøïyŠ ÷rr& !$pkÍ5 4Ó|»qム7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ .`ÏB 4 Ï]è=›W9$# ’Îû âä!%Ÿ2uŽà° ôMßgsù ÒOŠÎ=ym íOŠÎ=tæ ª!$#ur 3 Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun” (al-Nisaa’: 12)
öNà6ãZ»yJ÷ƒr& ôNy‰s)tã tûïÏ%©!$#ur 4 šcqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$# x8t•s? $£JÏB u’Í<ºuqtB $oYù=yèy_ 9e@à6Ï9ur . #´‰‹Îgx© &äóÓx« Èe@à2 4’n?tã tb%Ÿ2 ©!$# ¨bÎ) 4 öNåkz:•ÅÁtR öNèdqè?$t«sù Artinya:” bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnyadan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (al-Nisaa’: 33).
ÿ¼ã&s!ur Ó$s!ur ¼çms9 }§øŠs9 y7n=yd (#îtâ•öD$# ÈbÎ) 4 Ï's#»n=s3ø9$# ’Îû öNà6‹ÏFøÿムª!$# È@è% y7tRqçFøÿtGó¡o„ Èû÷ütFuZøO$# $tFtR%x. bÎ*sù 4 Ó$s!ur $ol°; `ä3tƒ öN©9 bÎ) !$ygèOÌ•tƒ uqèdur 4 x8t•s? $tB ß#óÁÏR $ygn=sù ×M÷zé& Åeáym ã@÷WÏB Ì•x.©%#Î=sù [ä!$|¡ÎSur Zw%y`Íh‘ Zouq÷zÎ) (#þqçR%x. bÎ)ur 4 x8t•s? $®ÿÊE Èb$sVè=›V9$# $yJßgn=sù 7OŠÎ=tæ >äóÓx« Èe@ä3Î/ ª!$#ur 3 (#q•=ÅÒs? br& öNà6s9 ª!$# ßûÎiüt6ム3 Èû÷üu‹s[RW{$# Artinya:”mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (al-Nisaa’: 176). 2. Al-Hadits Diantaranya:
: 26
{
}
Artinya : “Dari Ibn Abbas nabi Muhammad SAW bersabda ; berikanlah harta-harta pusaka kepada yang berhak, sesudah itu kepada orang laki-laki yang lebih utama” (HR. Muslim).
27
{
}
Artinya:”Dari Usamah bin Zaid Nabi Muhammad SAW bersabda orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim” (HR. Muslim).
28
{
}
Artinya: “Dari Abu Hurairoh dari Rasulullah SAW bersabda seorang pembunuh tidak berhak mewarisi. (HR. Ibn Majah).
3. Al-Ijma’ Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadits sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan
26
dalam upaya mewujudkan keadilan dalam bermasyarakat.
Al-Imam Abu al-Husain bin al-Hajaj Qusyairi an-Naisaburi Muslim, Sahih Muslim, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t), Juz II, hlm. 2. 27 Ibid. 28 Abi Abdillah Muhammad Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Cairo: Darul Fikri, t.t), Juz II, hlm. 913.
Karena telah diterima secara sepakat, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. 29 4. Al-Ijtihad Artinya pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan criteria sebagai Mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian warisan. Yang dimaksud di sini, adalah ijtihad dalam menerapakan hukum, bukan untuk merubah pemahaman atau ketentuan yang ada. Misalnya, bagaimana apabila pembagian warisan terjadi kekurangan harta, diseleseikan dengan cara a’ul atau dan lain-lain.30
C. Asas-asas Kewarisan Islam 1. Asas Ijbari Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari.31 Secara etimologi kata ijbari mengandung arti paksaan yang maksudnya peralihan dengan sendirinya dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang sudah meninggal kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan dari Si pewaris. Dengan kata lain, dengan adanya kematian Si pewaris secara otomatis hartanya akan berlaku pada ahli warisnya (al-Nisaa’ ayat 11, 12, 33, 176.).
29
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995), Cet. 2, hlm.22 Ibid. 31 Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minagkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), Cet. I, hlm. 18. 30
2. Asas Bilateral Yang dimaksudkan dengan asas bilateral dalam hukum-hukum Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari dua belah pihak garis kerabat, yakni dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki (alNisaa’ ayat 7 dan 12).32 3. Asas Individual Asas individual artinya ialah dalam sistem hukum Islam, harta peninggalan yang ditinggal mati oleh Si yang meninggal dunia dibagi secara individual yakni secara pribadi kepada masing-masing. Jadi bukan asas kolektif yang seperti dianut dalam sistem hukum yang terdapat diminangkabau, bahwa harta pusaka tinggi itu diwarisi bersama-sama oleh suku dari garis pihak Ibu (al-Nisaa’ ayat 11).33 4. Asas Keadilan Berimbang Maksudnya adalah memberikan hak kepada yang berhak secara tepat dan ini bukan bagi persamaan hak, tetapi tekanannya pada terpenuhinya hak dan kewajiban. Begitu pula keseimbangan antara keperluan dan kegunaan dalam surah an-nisa' ayat II dianut : bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan (al-Nisaa’ ayat 11).34 5. Asas Kewarisan Akibat Kematian
32
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran Dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 11. 33 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 20-21. 34 Suhrawardi. K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. II. hlm. 41.
Hukum warisan Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian dengan kata lain harta seseorang tidak dapat beralih seandainya dia masih hidup, walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup dan bukan penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia (al-Nisaa’ ayat 12).35
D. Syarat Dan Rukun Waris Pewarisan hanya bisa dilakukan setelah terpenuhinya tiga syarat yaitu;36
1. Matinya muwarits (pewaris), mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebut muwarits jika dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada para ahli warisnya ketika ia masih hidup, maka itu bukan waris. Kematian muwarits menurut ulama, dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu; a.
Mati haqiqy (mati sejati) adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra (nyata).
b.
Mati hukmi adalah kematian yang disebabkan oleh putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.
c.
Mati taqdiry adalah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. 37
35 36
Ibid. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. I.
hlm. 113. 37
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 79.
2. Hidupnya ahli waris mutlak harus dipenuhi38. Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah boleh jadi muncul berkaitan dengan hal ini antara lain adalah; a.
Masalah mafqud yaitu terjadi dalam hal keberadaan seorang waris tidak diketahui secara pasti apakah dia masih hidup ataukah sudah mati ketika muwarits sudah mati, maka hal ini memandang dengan cara mafqud masih hidup dengan tenggang waktu yang patut.
b.
Masalah anak dalam kandungan yaitu terjadi dalam hal istri muwarits dalam keadaan mengandung pada saat meninggalnya muwarits. Dalam hal seperti itu maka penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan pada saat anak tersebut dilahirkan. Oleh sebab itu pembagian waris dapat ditangguhkan sampai anak itu dilahirkan.
c.
Masalah matinya bersamaan antara muwarits dan ahli waris yaitu tejadi dalam hal dua orang atau lebih yang saling mempusakai mati bebarengan, misalnnya bapak dan anak tenggelam atau terbakar secara bersama-sama sehingga kematianya tak diketahui siapa yang mati duluan.
Maka penetapannya dilakukan dengan memperhatikan ahli
waris yang lainnya secara satu-persatu kasus. 3. Tidak adannya penghalang bagi ahli-waris dalam hal waris-mewarisi baginya seperti; perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. 39 Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak 38 39
Zainuddin Ali, loc.cit. H.R.Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam,Bandung; 2002, hal 5
terjadi pewarisan. Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan almauruts. Lebih rincinya : 1. Al-Muwarrits (
) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang
yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris. 2. Al-Warits (
) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang
berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan perkawinan. 3. Harta warits (
) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan. 40
E. Sebab-sebab Mewarisi Kalau dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut Alquran, hadis Rasulullah, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 174, ditemukan dua penyebab, yaitu, hubungan kekerabatan
40
Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 22-23.
(nasab), dan hubungan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut: 1) Hubungan Kekerabatan Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya.41 Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak beserta keturunannya, dan hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta keturunannya.
41
Zainuddin Ali. op.cit. hlm. 111.
Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan (al-Nisaa’ ayat 7 dan 11). 2) Hubungan Perkawinan Kalau hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya (al-Nisaa’ ayat 12).42
F. Penghalang Kewarisan 1. Perbedaan Agama Perbedaan
agama
merupakan
penyebab
hilangnya
hak
kewarisan
sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid, diriwayatkan oleh Muslim:43
2. Pembunuhan
42 43
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII, 1981), hlm. 11. Muslim, loc.cit.
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah dari Abu hurairah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah:44
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan bagi ahli waris. 3. Karena Hilang Tanpa Berita Seseorang hilang tanpa berita dan tidak tentu dimana alamat dan tempat tinggalnya selama empat tahun atau lebih maka orang tersebut dianggap mati dengan hukum mati hukmi ( harus dengan putusan hakim). 45 4. Karena Mati Secara Bersamaan Antara Pewaris dan Ahli Waris Misalnya antara bapak dan anak mati secara bersamaan karena tenggelam atau kebakaran, maka sudah jelas bapak tidak bisa mewarisi dari anaknya dan sebaliknya. Tetapi kalau anak yang mati secara bersamaan itu memiliki anak, maka anak tersebut yang memliki hak mewarisi sebagai (mawali). 46
G. Hak Waris Anak Sumbang Menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam ada dua faktor yang menyebabkan adanya pewarisan yaitu :
a. Adanya hubungan kekrabatan (Nasab). b. Adanya perkawinan yang sah. Telah diketahui dalam hukum Islam anak zina sama kedudukanya dengan anak mula’anah yaitu anak hasil hubungan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan anak mula’anah terjadi setelah 44
Ibn Majah, loc.cit. Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 80. 46 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), Cet. I,. hlm. 35. 45
adanya tuduh-menuduh zina diantara kedua suami-istri. Mereka sama dinasabkan kepada ibunya saja. Masing-masing terputus hubungan nasabnya dengan ayahnya. Oleh karena itu mereka dapat mempusakai orang orang tuanya dari pihak ibu, bukan dari pihak ayah. 47 Sandaran para jumhur-ulama dalam ketetapan tersebut, bahwa anak zina mendapatkan waris dari pihak ibu, yaitu dalam hadis :
Artinya: Rasulullah s.a.w menjadikan hak waris anak mula’anah kepada ibunya dan ahli waris ibu. Mereka juga dapat mempusakai ibunya dan kerabat ibunya dengan jalan fardh saja tidak dengan jalan lain. Demikian juga ibunya dan kerabat-kerabat ibunya dapat mewarisi harta peninggalannya dengan jalan faradh juga. Hak mereka untuk mempusakai dan dipusakai dengan jalan ‘ushubah-nasabiyah 48. Sedangkan anak sumbang tidak ada dalam hukum Islam karena dalam hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak zina, namun dalam kasus ini, anak sumbang disamakan dengan anak zina karena anak tersebut lahir di luar perkawinan. Sebab sabda Nabi Muhammad SAW:
(
)
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya di hukum”. Kemudian dalam KHI Pasal 186. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan dengan ibunya dan keluarga ibunya. jelasa hal ini harus diikuti oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Maka dari ketiga faktor di atas sudah jelas bahwa anak zina dan anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya dan mempunyai hubungan mewaris dengan ibunya begitu juga dengan perwalian yang bisa menjadi wali adalah dari pihak ibu ke atas.
47
Muhamad Bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, Kairo, jus II Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi-Syari’atil-Islamiyah, Kairo, LajnatulBayan Al-Araby, Cet III. 48
Kewarisan Menurut KUH Perdata A. Pengertian Hukum waris merupakan konsepsi Hukum Perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan, oleh karena itu hanyalah hak kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan49. Waris diatur di dalam buku kedua yang pertama-tama disebut di dalam pasal 830 KUH Perdata yakni: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian “. Jelasnya, menurut pasal ini rumusan/ definisi hukum waris mencakup masalah yang begitu luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut di atas adalah bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajiban beralih/ berpindah kepada ahli warisnya.50 Berdasar pada pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas maka para ahli di bidang ini (hukum waris) telah merumuskan hukum waris sebagai berikut: a. Menurut Idris Ramulyo hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta
49 50
hlm. 6
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1995, hlm. 90 G.Karta Saputra, Pembahasan Hukum Benda, Hipotik Dan Warisan,Jakarta: Bumi Aksara,
peninggalan dari orang yang meninggal dunia, bagaiman kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna. 51 b. Sedangkan menurut Kitab Udang-Undang Hukum Perdata sebagaiman yang diungkap oleh Wirjono Prodjodikoro (mantan Ketua Mahkamah Agung) disebutkan hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 52 c. Oleh Subekti dikatakan bahwa dalam hukum waris KUH Perdata berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya hak-hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota suatu perkumpulan.53 Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisannya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi:”le mort saisit levif”, sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris dinamakan “saisine”, yaitu
51
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. I. hlm. 84 52 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Waris Di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hlm. 13. 53 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), Cet. 19. Hlm. 95-96
suatu asas di mana sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia. 54
Menurut pasal 834 B.W.
seorang ahli waris berhak menuntut pembagian harta waris seluruhnya apabila ia sendirian dan sebagian apabila ia beserta yang lain (saudara). Jadi pasal tersebut sebagai perlindungan apabila ada pembagian yang tidak sesuai dengan hukum waris yang ada. Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya dengan kematian oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu : 1) Ada seseorang yang meninggal dunia. 2) Ada orang yang masih hidup sebagai ahli wais yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia. 3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris. 55 Menurut Eman Suparman ada tiga aspek yang ada pada harta peninggalan (harta warisan) yaitu: a) Masalah hak waris Menurut Undang-Undang hak waris dapat diperjual belikan: dengan alasan bahwa hak waris tersebut berdiri sendiri. Dalam pasal 1537 KUH Perdata 54 55
Idris Ramulyo, loc.cit. hlm. 95. Eman Suparman. loc.cit.
disebutkan: “Barang siapa menjual suatu warisan dengan tidak diterangkan barang demi barang, tidaklah diwajibkan menanggung selain hanya terhadap kedudukannya sebagai ahli waris”.
b) Masalah hak pakai Undang-Undang menegaskan bahwa yang dapat diwariskan oleh pewaris kepada ahli waris dapat berupa hak pakai hasil atau seluruh atau sebagaian harta peninggalan. c)
Harta warisan Dalam membagi harta warisan maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah pembayaran hutang-hutang si pewaris, dan biaya penguburan mayat. Sisa kekayaan setelah dikurangi dua hal tersebut baru dibagikan kepada para ahli waris.56 Berdasarkan sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka
jelas bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kewarisan diatur di dalam Buku II tentang kebendaan. Sistimatika tersebut memberikan petunjuk bahwa hak kewarisan dan segala sesuatu yang timbul karenanya di pandang sebagai hak kebendaan hal ini dapat ditinjau dari aspek-aspek tersebut di atas, maka jelas bahwa waris dalam hal ini sebagai alasan mengapa bab waris dimasukan pada hukum benda, yang mana hukum waris mempunyai pijakan yang kuat, yaitu sebagai hukum kebendaan dan hukum kekeluargaan.
56
Ibid. hlm. 22
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”57. Ini berarti jika seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Tuntutan ini tertera dalam pasal 1066 KUH Perdata: 1) Seseorang yang mempunyai hak atas sebagaian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi diantara para ahli waris yang ada. 2) Pembagian harta benda itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut. 3) Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.58 Dengan demikian sistim hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari sistim waris yang lainnya yaitu menghendaki agar harta peninggalan seseorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tesebut. Kalaupun hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. 59
B. Dasar Hukum Kewarisan Perdata (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama Pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan 57
Wirjono Prodjodikoro.op.cit, hlm. 18. Ibid. hlm. 178. 59 Eman Suparman. op.cit. hlm. 22 58
ketentuan dari Pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke-2 KUH Perdata (tentang benda). Penempatan hukum kewarisan dalam buku ke-2 KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.60 Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: 1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang. 2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat/ testament. Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau ab intestanto,
sedangkan
cara
yang
kedua
dinamakan
mewarisi
secara
testamentair.61 Diantara pasal-pasal yang berhubungan dengan kewarisan akan penulis kemukakan dengan bahasa bebas sebagai berikut: Pasal 833 ayat 1 KUH Perdata: Para ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas: 1. Segala barang, 2. Segala hak, dan 3. Segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.62
60
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), (Jakarta: Ghali indonesia, 1983), hlm. 10 61 Subekti, op.cit hlm. 95., 62 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (terjemahan Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 196.
Pasal 834: Apabila seorang tampil sebagai ahli waris mereka berhak menuntut supaya segala apa yang termasuk harta peninggalan yang meninggal diserahkan kepadanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak penuntutan seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan maksud memilikinya.63 Pasal 836 mengatur: Supaya dapat bertindak sebagai ahli waris seorang harus telah ada pada saat warisan itu dibuka.64 Pasal 899, menentukan: Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 KUH Perdata ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari surat wasiat seorang harus telah ada tatkala yang mewariskan meninggal dunia.65 Pasal 955 KUH Perdata: Pada saat yang mewariskan meninggal dunia: 1. Sekalian mereka dengan wasiat tersebut diangkat menjadi ahli waris; 2. Seperti pun mereka yang demi undang-undang berhak mewarisi sesuatu bagian dalam warisannya, demi undang-undang pula memperoleh hak milik atas peninggalan yang meninggal. 66 Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab-intestanto), dapat dibedakan pula antara: 1. Orang-orang
yang
mewarisi
uit-eigenhoofde
kedudukan sendiri atau langsung);
63
Subekti,op.cit, hlm.96. Subekti, loc.cit. 65 Idris Ramulyo. op .cit. hlm. 61. 66 Subekti dan Tjitrosudibio, op.cit, hlm. 216. 64
(mewaris
berdasarkan
2. Mewarisi bij-plaatsvervulling, yaitu mewarisi sebagai ahli waris pengganti (mawali menurut Hazairin atau representasi) apabila mereka bersama-sama menggantikan seseorang dikatakan mereka mewarisi bij staken karena mereka bersama merupakan suatu cabang (staak).67 Pasal 959 ayat 1 KUH Perdata: Tiap-tiap mereka yang menerima hibah wasiat harus melakukan tagihannya akan penyerahan kebendaan yang dihibahkannya, kepada para ahli waris atau para penerima wasiat yang diwajibkan menyerahkannya. Para ahli waris dapat dituntut untuk memenuhi kewajibankewajiban pewaris kecuali, jika: a. Para ahli waris mempergunakan haknya untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau dengan; b. Penerimaan beneficiaire (beneficiaire aanvaarding); atau c. Menolak harta peninggalan seperti diatur dalam pasal 1023, diungkapkan di bawah ini.68 Pasal 1023 KUH Perdata (BW): Semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar mereka dapat mempertimbangkan apakah bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisanwarisan itu secara murni, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, ataupun pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir, dan tentang itu mereka harus melakukan suatu pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang di dalam wilayahnya telah jatuh meluang
67 68
Subekti, op.cit., hlm. 98. Idris Ramulyo. op. cit. hlm. 62.
warisan tersebut, pernyataan mana akan dibuktikan dalam suatu register yang disediakan untuk itu. Di tempat-tempat yang oleh lautan terpisah dari perhubungan langsung dengan tempat kedudukan Pengadilan Negeri, pernyataan itu dapat dilakukan di hadapan Kepala Daerah, pejabat mana akan mengadakan catatan tentang itu dan memberitahukannya kepada Pengadilan Negeri yang
selanjutnya akan
menyelenggarakan pembukuannya. 69 Pasal 1057: Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan denga suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu.70 Pasal 1058: Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris.71 Pasal 1059: Bagian warisan seseorang yang menolak jatuh kepada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya yang menolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan.72 Perihal Testament atau Wasiat Pasal 875 KUH Perdata (BW): Adapun yang dinamakan surat wasiat tamen adalah suatu fakta yang memuat pernyataan seseorang, tentang apa yang dikehendaki akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Yang paling lazim suatu testamen berisi apa yang dinamakan suatu erfsteling, yaitu penunjukkan seorang atau beberapa orang menjadi ahli 69
Subekti dan Tjitrosudibio, op.cit. hlm. 233. Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata (BW), (Jakrta: Bina Aksara, 1984), Cet. II. hlm. 65. 71 Ibid. hlm. 66. 72 Subekti dan Tjitrosudibio, op.cit. hlm. 238. 70
waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu, dinamakan: testamentaire erfgenaam yaitu ahli waris menurut wasiat. Dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban yang meninggal orderalgemeene title suatu testamen juga dapat berisikan suatu legaat, yaitu suatu pemberian suatu legaat dinamakan legataris.73 Suatu erferstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu syarat atau voorwaarde, yaitu: Suatu kejadian di kemudian hari yang pada saat pembuatan testamen itu belum tentu akan datang atau tidak.74 Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu: 1. Openbaar testament, yang dibuat oleh seorang notaris dengan dua orang saksi. 2. Olographis testament, dibuat dengan dengan tangan orang yang berwasiat, kemudian dititipkan oleh notaris. Penyerahan kepada notaris harus dihadiri oleh dua orang saksi, tanggal penyerahan itu disebut akte van depot. Apabila pembuat testamen diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) atau weeskamer. 3. Testament tertutup atau rahasia, yaitu testamen yang dibuat oleh si pewasiat sendiri diserahkan kepada notaris dengan dihadiri oleh empat orang saksi. 75 Dalam hukum waris yang berhubungan dengan wasiat terkenal juga istilah fidie commis dan fidie commis de resiiduo. Fidie berarti kepercayaan. 73
Idris Ramulyo. op. cit. hlm. 63. Subekti, op cit., hlm. 109. 75 J. Satri. Hukum Waris, (Bandung: Paramita, 1988),. hlm. 185. 74
Fidie commis berarti: Suatu pemberian warisan kepada ahli waris dengan ketentuan bahwa ahli waris itu diwajibkan menyimpan warisan itu. Setelah ahli waris itu meninggal dunia, harta peninggalan itu harus diserahkan kepada orang lain yang ditetapkan dalam surat wasiat. Dalam undang-undang, fidie commis ini juga dinamakan pemberian warisan secara melangkah atau lompat tangan. 76 Pada umumnya, fidie commis ini dilarang oleh undang-undang (Pasal 879 ayat 1) dengan alasan bahwa: Dianggap suatu rintangan bagi kelancaran lalu lintas hukum seolah-olah harta ini disingkirkan dari lalu lintas hukum, yang diperbolehkan adalah fidie commis de residuo (Pasal 973 ayat 1).77 Pasal 973 ayat 1 KUH Perdata (BW): Ahli waris yang dibebani dengan fidie commis de residuo, bila masih ada sisa harta peninggalan, sisa tadi harus diwariskan lagi kepada orang yang sudah ditetapkan dalam surat wasiat: Jadi, hanya sisa saja yang harus diwariskan kepada orang lain yang sudah ditetapkan.78
C. Asas-Asas Dalam KUH Perdata Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan, dengan kata lain hanyalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Di samping itu berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya berallih pada ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang 76
Subekti, op cit, hlm. 112. Idris Ramulyo. op. cit. hlm. 64. 78 Subekti, op cit, hlm. 113. 77
berbunyi le mort saisit le vif, sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari orang yang meninggal dunia kepada para ahli waris itu dinamakan saisine, yaitu suatu asas di mana sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia. Merupakan asas juga dalam KUH Perdata (BW), adalah asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (Pasal 830 KUH Perdata). Demikian juga hukum kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek yang masih mengenal tiga asas lain, yaitu: 1. Asas Individual Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan buka kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 852 KUH Perdata.79 2. Asas Bilateral Asas bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya, asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850, 853, dan 856 KUH Perdata yang mengatur bila anakanak dan keturunannya serta suami atau istri yang meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik laki-laki maupun saudara perempuan. 80 3. Asas Penderajatan 79 80
Subekti dan Tjitrosudibio, op.cit. hlm.200. Ibid.
Asas penderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya maka untuk mempermudah perhitungan penggolongan-penggolongan ahli waris.81
BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG
A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana akan mempengaruhi dalam suatu pewarisan anak-anak tersebut. Ada Beberapa Status Anak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menggolongkan tiga penggolongan terhadap status anak, yaitu: 1. Anak syah, yaitu seorang anak yang lahir dalam suatu perkawinan (pasal 250 KUH Perdata).82 81
Idris Ramulyo. op. cit. hlm. 96.
2. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi dapat diakui. Golongan ini adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dimana keduanya tidak terikat dalam status perkawinan dengan orang lain dan diantara keduanya tidak terdapat larangan apabila keduanya melangsungkan perkawianan.83 3. Anak lahir di luar perkawinan, dan tidak dapat diakui baik oleh ayahnya ataupun ibunya. Anak ini menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu.84 Selain itu menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Pasal 42-44, ketentuan Undang-undang perkawinan kedudukan anak diatur secara tegas sebagai berikut: Pasal 42 berbunyi : ”Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pasal 43 berbunyi : 1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunnya. 2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 44 berbunyi :
82
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Cet. II. hlm.
90. 83
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek, ( Bandung : Tarsito, 1988), hlm. 13. 84 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata (BW), (Jakrta: Bina Aksara, 1984), Cet. II,. hlm. 40.
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. 2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Menurut KUH Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya (pasal 250 KUH Perdata). Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6 bulan) dari perkawinan dapat diingkari oleh suami (pasal 251 KUH Perdata). anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau sumbang, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu. Apabila pengakuan terjadi dalam akta perkawinannya sendiri (pasal 272 KUH Perdata). Terhadap anak luar kawin yang dapat diakui, agar dapat mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya, maka ia harus diakui. Anak luar kawin yang sudah diakui dapat disahkan atau menjadi anak sah, apabila kedua orang tuanya (yang membenihkanya) kemudian melangsungkan perkawinan yang sah. Hal yang perlu diingat, bahwa pengakuan anak luar kawin itu sifatnya personalijk. Sifat arti personalijk di sini, bahwa hubungan keperdataan hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan orang tua yang mengakuinya. Sedangkan dengan sanak saudara yang mengakuinya tidak ada hubungan85.
85
Benyamin Asri ,loc. cit.
Oleh KUH Perdata ada kemungkinan seorang anak tidak hanya mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai ibu dalam pengertian, bahwa antara anak dengan seorang wanita yang melahirkanya itu, tidak ada hubungan hukum sama sekali tentang pemberian nafkah, warisan dan lainlainya. Antara anak dan ibu baru ada perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, di mana pengakuan itu harus dilaksanakan dengan sistim tertentu, yaitu menurut pasal 281 KUH Perdata dengan akte otentik sendiri (akte notaris) bila belum diadakan dalam akte kelahiran si anak atau pada waktu pelaksanaan perkawinan, dapat juga dilakukan dengan akte yang dibuat Pegawai Catatan Sipil (ambtenaar bij de burgerlijk stand).86
B. Anak Sumbang Menurut KUH Perdata Dalam KUH Perdata ada dua macam anak luar nikah (perkawinan) yaitu anak luar perkawinan yang dapat diakui dan dan anak luar kawin yang tidak dapat diakui. Anak luar nikah mempunyai dua pengertian yaitu: 1. Anak luar luar perkawinan yang dapat diakui adalah : anak yang lahir diluar perkawinan yang sah87. Menurut Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara anak luar nikah dan orang tuannya mempunyai hubungan hukum (hubungan hukum perdata) apabila si bapak dan si ibu mengakuinya. Menurut KUH Perdata pengakuan itu dilakukan secara: 86
Omar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta; PT Reineka Cipta, 2006),
87
Sudarson, loc. cit.
hlm. 69.
a. Secara autentik (pasal 281 KUH Perdata) b. Secara tegas dan tidak boleh disimpulkan.88 Dengan adanya pengakuan ini, status anak luar nikah tersebut diakui antara lain dalam pemberian izin nikah, kewajiban timbal balik dalam pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, mewaris, dan sebagainya. Setelah adanya pengakuan dari orang tuanya, maka menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengakuan tersebut harus ada pengesahan dengan cara: a. Perkawinan Orang Tuanya. Menurut
pasal
285
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
pengesahan karena perkawinan orang tua yaitu bilamana seorang anak dibenihkan di luar perkawinan, menjadi anak sah apabila sebelum perkawinan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan itu dapat dilakukan sebelum perkawinan atau sekaligus dalam akte perkawinannya.89 b. Surat Pengesahan (pasal 275 KUH Perdata). 2. Mengenai pengertian anak luar kawin yang tidak dapat diakui ada dua golongan yaitu: 1. Anak Zina (Overspeleg Kind) Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan di mana salah satu atau keduannya terikat dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pihak lain. 88 89
J. Satrio Hukum Waris, (Bandung: Paramita, 1988),. hlm. 168 Ibid.
2. Anak Sumbang (Bloed Schenneg / darah yang dikotori). Anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang diantara keduanya terdapat larangan untuk menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik). 90 Anak-anak tersebut menurut pasal 283 yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan pasal 273 mengenai anak penodaan darah”yaitu tidak dapat diakui. Dan mengenai hak waris anak-anak ini pasal 867 KUH Perdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkanya. Tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap boedel (warisan yang berupa kekayaan saja), nafkah ditentukan menurut si ayah atau si ibu serta jumlah dan keadaan para pewaris yang sah.91
C. Hak Waris Anak Sumbang Menurut Pasal 867 KUH Perdata. Di atas telah disinggung tentang unsur-unsur waris BW yakni: Pewaris, ahli waris dan harta warisan. Ketiga unsur hukum waris ini sebagai sarat adanya pewarisan, kalau tidak ada salah satunya maka hukum waris tidak bisa diberlakukan/ tidak terlaksana tanpa adanya : a) Pewaris (Erflater) 90 91
Benyamin Asri, op. cit. hlm. 12. Ali Afandi, op.cit, hlm. 43.
Siapa yang layak disebut sebagai pewaris? banyak kalangan yang memberi jawaban atas pertanyaan ini dengan menunjuk pasal 830 BW, yaitu “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan, maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Karenanya adalah penting artinya untuk menetapkan dengan teliti saat meninggal itu. Biasannya yang dianggap sebagai yang menentukan, adalah saat jantung berhenti berdenyut.92 b) Ahli waris (Erfenaam) Ahli waris menurut UU terdiri atas 4 golongan yaitu; 1. Golongan I terdiri atas: suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak tersebut. Hal tersebut terdapat pada pasal 832, 852, dan 852 a KUH Perdata. Apabila ada diantara anak yang sah yang telah meninggal dunia maka keturunan yang sah (cucu) dari anak sah yang telah meninggal dunia tersebut bisa tampil sebagai ahli waris menggantikan orang tuanya yang telah meningal dunia tersebut. Hak bagian cucu mengikuti bagian orang tuanya. Bagian istri atau suami ini terdapat perbedaan. 2. Golongan II terdiri atas: ayah, ibu, dan saudara-saudari serta sekalian keturunan sah dari saudara-saudari tersebut sebagai ahli waris 92
A Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Hukum Perdata Belanda, Jakarta : PT Intermasa, 1990, Hal, 15
pengganti saudara-saudari tersebut jika diantara mereka ada yang sudah meninggal dunia. Hal tersebut terdapat pada pasal 854, 855, 856, dan 857 KUH Perdata. 3. Golongan III terdiri atas: kakek nenek dari ayah dan kakek nenek dari ibu. Pembagian warisan dari golongan ini harus dikloving terlebih dahulu. Maksudnya harta peninggalan yang ada dibagi dua terlebih dahulu. Setengah bagian pertama merupakan hak bagian kakek nenek dari garis ibu dan setengah bagian lainnya merupakan hak bagian kakek nenek garis ayah. Apabila kakek nenek garis ibu masih hidup maka mereka mendapatkan seperempat bagian. Sedangkan apabila kakek nenek dari garis ayah tinggal kakek saja maka kakek tersebut mendapat utuh setengah bagian (pasal 853 dan 859 KUH Perdata). 4. Golongan IV terdiri atas: keluarga sedarah dari garis menyimpang yang dibatasi sampai derajat keenam, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Ahli waris ini baru bisa dibutuhkan apabila tidak ada golongan ahli waris dari golongan III (pasal 861 KUH Perdata).93 c) Warisan (nalaten schap) Warisan atau yang disebut harta warisan yaitu: wujud kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris tersebut. Dalam sistem BW tidak mengenal istilah harta asal dan harta gono-gini atau harta yang diperoleh bersama di dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan “kesatuan” yang secara 93
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. I, hlm. 96-98.
bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan pewaris kepada seluruh ahli warisnya; artinya dalam B.W. tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 849 BW. 94 Sebelum ada pembagian warisan maka kepada ahli waris ada beberapa ketentuan-ketentuan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilunasi kewajiban dari mayit yaitu: Pembayaran utang-utang mayit, pengurusan mayit, hibah wasiat. Dalam pasal 1100 disebutkan; “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah wasiat dan lain-lain, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”. Dalam hal pengurusan mayat yaitu pemakaman mayat bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar segala keperluan guna terlaksananya pemakaman mayat tersebut. Dalam hal ini Burgerlijk Wetboek tidak meancantumkan dalam bagian warisan, akan tetapi dalam pasal 1149 kedua, yang menjelaskan biaya pemakaman mayit itu sebagai utang preferent, yaitu terlebih dahulu diutamakan pembayarannya dari harta warisannya, sebelum utang yang lain dilunasi. 95 Hanya satu jenis utang yang harus lebih diutamakan pembayarannya sebelum biaya pemakaman, yaitu biaya untuk menyita barang-barang yang bersangkutan guna untuk dilelangkan barang-barang itu di muka umum untuk
94 95
Benyamin Asri, op. cit. hlm. 5. Omar salim, op.cit, hlm. 19.
melunasi utang-utang, itu bila mana harta warisan tidak memenuhi untuk dibayar semua utang-utangnya. 96 Menurut Pasal 838 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah: 1. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh orang yang meninggal. 2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap orang yang meninggal, ialah pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. 3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah orang yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat orang yang sudah meninggal. Menurut Pasal 840 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), anak-anak dari ahli waris yang tidak pantas itu, tidak boleh dirugikan oleh salahnya orang tua apabila anak-anak itu menjadi ahli waris atas kekuatan sendiri (uiteigen-hoofde) artinya apabila menurut hukum warisan anak-anak itu tanpa perantara orang tuanya mendapat hak selaku ahli waris. 97 Akibat dari perbuatan ahli waris tersebut yang tidak pantas mengenai barang warisan adalah batal, dan bahwa seorang hakim dapat menyatakan 96 97
Ibid, Wirjono Prodjodikoro. Hukum Waris Di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hlm. 91.
tidak pantas itu dalam jabatannya dengan tidak perlu menunggu penuntutan dari pihak apapun juga. Selanjutnya dalam Pasal 839 KUH Perdata (BW), mewajibkan seorang ahli waris yang tidak pantas itu untuk mengembalikan hasil yang ia telah petik dari barang-barang warisan.98 Setiap notaris yang dengan perantaranya telah membuat akta dari sesuatu wasiat dan segala saksi yang telah menyaksikan pembuatan akta itu (demikian juga pendeta yang telah melayani atau tabib yang merawat orang meninggal itu selama sakitnya yang terakhir), semua mereka itu tidak diperbolehkan
menikmati sedikit
pun
dari
wasiat
itu
yang
telah
dihibahkannya.99. Dalam hukum kewarisan, status anak sumbang sebagaimana diketahui dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 867 berbunyi: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau sumbang. Undang–undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”. Dalam pasal di atas ada dua status anak yang mana tidak berhak menuntut atas waris dari kedua orang tua mereka selama mendapat asupan nafkah selama hidupnya anak tersebut yaitu; Anak zina (Overspeleg kind) dan anak sumbang (Bloed Schenneg/ darah yang dikotori). Pasal 868 KUH Perdata juga menjelaskan tentang hak waris terhadap sumbang. Undangundang hanya memberikan kepada anak sumbang hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap harta yang besarnya tidak tertentu tergantung dari 98 99
Ibid. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), Cet. 19, hlm. 209.
besarnya kemampuan bapak atau ibunya dan keadaan para ahli waris yang sah.100 Keadaan ahli waris yang sah, apakah mereka mampu atau miskin, turut menentukan besarnya hak alimentasi anak-anak zina atau sumbang hal ini sesuai dengan pasal 868 KUH Perdata, yaitu nafkah diatur sesuai kekayaan bapak atau ibu. Harus ditegaskan pula, bahwa tuntutan anak seperti itu akan memperoleh sesuatu dari harta warisan, bukanlah merupakan sesuatu tuntutan sebagai ahli waris, tetapi sebagai suatu tuntutan seperti dari seorang piutang (kreditur). 101 Adakalanya anak semacam ini oleh si ibu atau si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah dijamin penghidupanya. Kalau ini terjadi maka menurut pasal 869 KUH Perdata, untuk anak seperti ini sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan bagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sanak keluarga dari atau si bapak. 102
100
J. Satrio, op. cit. hlm. 173. Ibid. 102 Wiryono Projdodikoro. loc. cit. 101
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KEDUDUKAN ANAK SUMBANG TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT KUH PERDATA
A. Analisis Kedudukan Anak Sumbang Menurut Pasal 867 KUH Perdata Anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang diantara keduanya terdapat larangan untuk menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik). 103 Mengenai hak waris anak sumbang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewarisi dari orang yang membenihkanya. Hal ini sesuai dengan pasal 867: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau sumbang. Undang–undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menafsirkan pasal sebuah undang-undang, maka metode gramatikal harus disebutkan lebih dulu. Penafsiran gramatikal berarti kita mencoba menangkap arti suatu naskah menurut bunyi kata-katanya.
104
Hemat penulis pasal 867 sudah jelas tentang
pemberian harta warisan terhadap anak sumbang dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Sudikno berpendapat bahwa apabila kata-kata dalam pasal tersebut jelas, kita
103
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek, ( Bandung : Tarsito, 1988), hlm. 12. 104 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Citra Adtya Bakri, 1993), Cet. I, hlm. 58- 59.
tidak boleh menyimpang dari kata-kata tersebut, kalau memang demikian artinya, maka pada kata-kata yang sudah jelas tersebut, kita tidak boleh menafsirkannya.105 Dalam kasus ini dijelaskan, bahwa undang-undang memberikan kepada mereka hak menuntut pemberian nafkah seperlunya, nafkah untuk hidup meski diatur sesuai kekayaan bapak atau ibu sesuai jumlah dan keadaan ahli waris yang berwenang (hak) atas harta warisan. Bilamana ahli waris ini banyak yang miskin, maka kian sedikitlah dari harta warisan diberikan sebagai nafkah untuk hidup kepada anak-anak yang tidak diakui sebagai anak sah. Harus ditegaskan pula, bahwa tuntutan anak seperti itu akan memperoleh dari harta warisan, bukanlah tuntutan sebagai ahli waris, tetapi sebagai suatu tuntutan seperti dari seorang piutang (kreditur).106 Disebutkan dalam pasal 868 KUH Perdata: “Nafkah itu diatur sesuai dengan kemampuan bapak atau ibu atau menurut jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah menurut undang-undang”. Kalimat sudah dinafkahi oleh ayah dan ibunya selama hidupnya nafkah di sini ditentukan sebagai berikut: “Nafkah ditentukan menurut si ayah atau si ibu serta jumlah dan keadaan para pewaris yang sah, jadi dalam penafkahan anak sumbang pun tidak bisa menentukan jatah nafkah sesuai keinginan nafkahnya sendiri”.107 Dan adakalanya seorang anak semacam ini oleh si ibu atau oleh si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah dijamin penghidupanya, maka
105
Ibid. J. Satrio Hukum Waris, (Bandung: Paramita, 1988),. hlm. 173. 107 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata (BW), (Jakrta: Bina Aksara, 1984), Cet. II,. hlm. 43. 106
kalau ini terjadi, anak penodaan darah sama sekali tidak akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkanya. Menurut pasal 869 BW, disebutkan: “Bila bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunyai hak lebih lanjut untuk menuntut warisan dari bapak atau ibunya”. 108 Hal ini berbeda dengan pasal 838 KUH Perdata, menurut Pasal 838 tersebut yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah: 5. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh orang yang meninggal. 6. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap orang yang meninggal, ialah pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. 7. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah orang yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya. 8. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat orang yang sudah meninggal.109 Sangat jelas sekali bahwa anak penodaan darah tidak disebutkan dalam pasal tersebut.
108
Ibid. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (terjemahan Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960. 109
Namun perlu diingat dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu menurut
ketentuan
undang-undang
dan
ditunjuk
dalam
surat
wasiat
(testament).110 Undang-undang
telah
menentukan
bahwa
untuk
melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Disamping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara yang ditunjuk dalam surat wasiat.111 Surat wasiat atau testament adalah “suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun. Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari 110
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 31.. 111 Ibid .
hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). 112 Kalau si pewaris memang benar-benar ingin memberikan warisan terrhadap anak hasil dari hubungan subhat, pewaris bisa saja menggunakan opsi selain ketentuan undang-undang, yaitu dengan cara testament. Namun berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.113 Di sini nampak benar pembuat undang-undang mendahulukan kepentingan keluarga yang sah yaitu anak dari hasil perkawinan yang sah. Jadi pemberian seorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewarisi secara ab intestato.114
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 867 KUH Perdata Di depan telah dipaparkan oleh penulis bahwa anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, 112
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), Cet. 19, hlm. 78. Eman Suparman, op. cit. hlm. 33. 114 Ibid. hlm. 32. 113
yang diantara keduanya terdapat larangan untuk menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik). Sedangkan anak sah dalam KUH Perdata anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Status anak penodaan darah dalam hukum waris tidak bisa memperoleh hak ataupun menuntut warisan dari kedua orang tuanya, hal ini sesuai dengan pasal 867 KUH Perdata: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah. Undang –undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”. Keadaan ahli waris yang sah, apakah mereka mampu atau miskin, turut menentukan besarnya hak alimentasi anak penodaan darah, hal ini sesuai dengan pasal 868 KUH Perdata, yaitu nafkah diatur sesuai kekayaan bapak atau ibu. Harus ditegaskan pula, bahwa tuntutan anak seperti itu akan memperoleh sesuatu dari harta warisan, bukanlah merupakan sesuatu tuntutan sebagai ahli waris, tetapi sebagai suatu tuntutan seperti dari seorang piutang (kreditur). 115 Adakalanya anak semacam ini oleh si ibu atau si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah dijamin penghidupanya. Kalau ini terjadi maka menurut pasal 869 KUH Perdata, untuk anak seperti ini sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan bagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sanak keluarga dari atau si bapak. 116 Dalam hal ini, hukum Islam memandang anak sumbang sebagai anak zina, karena anak sumbang ini hasil di luar nikah. Hasbi As-Shidqy dalam bukunya fiqih mawaris mendefinisikan anak zina sebagai anak yang dikandung 115 116
Ali Afandi, loc.cit. Wiryono projdodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Bandung; SUMUR, 1983
oleh ibunya dari seorang laki-laki yang menggaulinya, tanpa nikah yang dibenarkan oleh syar’i. anak zina dalam urf modern walad ghoiru syar’i (anak yang tidak diakui agama), sebagaimana ayahnya ghiru syar’i. Oleh karena itu anak zina, baik laki-laki maupun perempuan tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka ia tidak mewarisai harta ayahnya dan tidak pula dari seorang kerabat ayahnya, sebagaimana ayah yang tidak mewarisinya lantaran tak ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Sepereti definisi hasbi di atas, hal waris anak hasil zina sama kedudukanya dengan anak mula’nah.117 Sebab sabda Nabi Muhammad SAW:
(
)
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum”. Kemudian dalam KHI Pasal 186 “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibumya dan keluarga pihak ibunya”. Jadi dengan demikian anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan dengan ibunnya dan keluarga ibunya.
Anak yang dihasilkan dari sumbang biasa disebut dengan anak haram (disamakan dengan anak zina), maka sebenarnya anak itu adalah anak yang suci sama seperti anak yang lain, yang menjadikan anak haram karena dihasilkan dari perbuatan orang tuanya yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Agama dan undang-undang, maka dengan entengnya masyarakat menyebutnya dengan anak haram. Dalam agama anak itu tidak boleh dinasabkan kepada ayahnya, meskipun secara biologis ayahnya jelas dan jumhur ulama (ulama madzhab)
117
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Mawaris Bulan Bintang Jakarta, 1973.
berpendapat sama tidak mewarisi dan mewariskan antara anak sumbang dan ayahnya. 118 Adapun jika dilihat dari segi ketentuan Allah SWT, anak tersebut tetap sebagai anaknya sendiri. Hal ini demi menjaga kepentingan anak sumbang. Karena itu, anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya. Jika ayahnya membunuhnya tidak ada hukuman qishashnya. Antara anak ini dengan anak dari ayahnya menjadi mahram. 119 Jika dilihat pemberian harta warisan terhadap anak sumbang antara hukum Islam dan KUH Perdata memang berbeda, hukum Islam memandang anak semacam ini mendapatkan hak waris dari garis ibu, sedangkan KUH Perdata memutuskan dalam pasalnya bahwa anak ini tidak berhak mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Kalau dicermati dalam KUH Perdata anak sumbang
masih punya
peluang untuk mendapatkan hak waris dengan jalur wasiat (testament). Menurut penulis hak waris anak sumbang menurut hukum Islam itu lebih tinggi daripada KUH Perdata, dalam Islam disamping anak tersebut mendapat hak waris dari ibunya ia juga masih punya kesempatan untuk mendapatkan wasiat dari ayah dan ibunya, sedangkan dalam KUH Perdata anak tersebut hanya mendapatkan peluang wasiat dari orang tuanya.
118 119
zyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Darul fikr, 1983, jilid II.
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab pertama sampai bab keempat, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Anak sumbang menurut KUH Perdata yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang diantara keduanya terdapat larangan untuk menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik), dan anak tersebut bukan anak sah dan tidak dapat diakui pula. Mengenai hak waris anak penodaan darah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewarisi dari orang yang membenihkanya. Hal ini sesuai dengan pasal 867 KUH Perdata. Tetapi undangundang memberikan kepada mereka hak menuntut pemberian nafkah seperlunya, nafkah untuk hidup meski diatur sesuai kekayaan bapak atau ibu sesuai jumlah dan keadaan ahli waris yang berwenang (berhak) atas harta warisan, hal ini sesuai dengan pasal 868 KUH Perdata 2.
Kedudukan waris anak sumbang dalam hukum Islam dan Pasal 867 KUH perdata terdapat adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah samasama dilahirkan di luar perkawinan, yang tidak mempunyai nasab ke bapaknya dan imbasnya tidak ada waris bagi anak yang berstatus anak sumbang. Dan perbedaan dalam Hukum Islam dan Pasal 867 KUH Perdata yaitu dalam Hukum
Islam anak sumbang dinasabkan kepada ibunya, dan juga akan mendapatkan waris dari pihak ibunya. Dalam Pasal 867 KUH Perdata anak sumbang tidak bisa dinasabkan kepada ibunya begitu pula terhadap bapaknya dan imbasnya tidak ada waris dari ibunya begitu pula bapaknya.
B. Saran-Saran Dalam usaha penyusunan Hukum Waris Nasional sebaiknya Pemerintah dengan DPR harus melakukan secara hati-hati, mengingat akan sifat pekanya bidang ini yang memang erat sekali hubungannya dengan Agama dan kebudayaan agar tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Mengingat akan pentingnya penyusunan Hukum Waris Nasional ini kiranya langkah-langkah ke arah itu harus mulai dilakukan secara bertahap, walaupun masih ada pendapat yang menyatakan bahwa pada saat ini masih belum waktunya. Usaha tersebut dapat dimulai di bidang yang cukup netral, misalnya yang menyangkut bidang administrasinya saja. Disarankan pula agar Hukum Waris Nasional yang akan disusun nanti tidak perlu seluruhnya bersifat memaksa (dwingend recht) akan tetapi di mana perlu ada bagian-bagiannya yang yang bersifat mengatur saja (regelend recht).
C. Penutup Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan. Menyadari
akan hal itu, bukan suatu pretensi bila penulis mengharap secercah kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini. Harapan yang tidak terlampau jauh adalah manakala tulisan ini memiliki nilai manfaat dan nilai tambah dalam memperluas nuansa berpikir para pembaca budiman. Akhir kata puji dan syukur hanya kepada Allah SWT. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, dkk, Islam Dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet. I. Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata (BW), Jakrta: Bina Aksara, 1984, Cet. II. Al-Bayan, Muhammad Zaid Syarah al-Ahkam al-Syariyah fi Ahwali al-Syahksiyah, Juz. II, Beirut: Maktabah Nahdhiyah, t.t Ali, Zainuddin Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. I. Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz, IV, Beirut: Dar al-KItab al-Alamiyah, t.t.. An-naisaburi, al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj Qusairi, Sahih Muslim, Jilid II, Semarang: Usaha Keluarga, t.t. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, Cet. I. Arimin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 3. Asri, Benyamin dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek, Bandung : Tarsito, 1988. Azra, Azyumardi,Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Fak. Ekonomi UII, 1981. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993. Derpartemen Agama., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Bumi Restu, 1987 Hadi, Sutrisno Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2001, Cet. 32. Hayati, Elli Nur, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender), Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000, Cet. I. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran Dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1982. Ibrohim, Abdullah bin Hajazi bin, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz II, Dar al-Fikr, t.t. Intruksi Presiden RI tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam. Kahmad, Dadang Metode Penelitian Agama, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000. Kartono, Kartini, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 1989, Cet. VI. Lubis, Suhrawardi. K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. II. Majah, Abi Abdillah Muhammad Ibn, Sunanu Ibn Majah, Juz. II, Kairo:Dar al-Fikr, t.t. Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Ahwal al-Syahsiah, Beirut: Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1964, Cet. I. Pitlo, MR. A., M. Isa Arief (ed) Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Hukum Perdata Belanda, Jakarta : PT Intermasa, 1990. Poerwadarminta, W.Js, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Bale Pustaka. 2006.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris Di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. Rahman, Fatchur Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981. Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. I. hlm. 84 Rasyid, Moh., Pendidikan Seks Mengubah Seks Abnormal Menuju Yang Lebih Bermoral ,Kudus: Syiar Media Publishing, 2007, Cet. I. Rofiq, Ahmad Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995, Cet. 2. Sa’abah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang Dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta” UII Press, 2001, Cet. I. Salim, Omar, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta; PT Reineka Cipta, 2006. Salman, H.R.Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung; 2002 Saputra G.Karta dan R.G. Karta Sapoetra, Pembahasan Hukum Benda, Hipotik Dan Warisan, Jakarta: Bumi Aksara, t.t. Satrio, J., Hukum Waris, Bandung: Paramita, 1988. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Suatu tinjauan singkat, Jakarta: CV. Rajawali, t.t. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
(terjemahan
Burgerlijk Wetboek), Jakarta: Pradnya Paramita, 1960. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1984, Cet. 19. Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, Cet. II. Suparman, Eman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1995.
, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2005. Syarif, Surini Ahlan, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), Jakarta: Ghali indonesia, 1983. Syarifudin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minagkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984, Cet. I. Thalib, Sajuti Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1982. Undang-Undang Nomer I tahun 1974 Tentang Perkawinan. Rusyd, Muhamad Bin Ahmad Ibnu, Bidayatul-Mujtahid, Kairo, Juz, II. Makhluf,
Hasanain
Muhammad,
Al-Mawarits fi-Syari’atil-Islamiyah,
Kairo,
Lajnatul-Bayan Al-Araby, Cet III. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Adtya Bakri, 1993, Cet. I Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqih Mawaris Bulan Bintang Jakarta, 1973. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Darul fikr, 1983, jilid II.