25
BAB II PEMISAHAN HARTA WARISAN DARI HARTA TIRKAH (HARTA PENINGGALAN) PEWARIS
A. Pengertian Harta Tirkah (Harta Peninggalan) dan Harta Warisan Harta tirkah menurut istilah jumhur fuqaha merupakan segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda dan hak kebendaan atau bukan hak-hak kebendaan. Harta tirkah juga meliputi utang piutang aeniyah (utang piutang yang ada hubungannya dengan benda seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan barang yang digadaikan) dan syahshiyah (utang piutang yang berkaitan dengan kreditur seperti qiradh, mahar dan lainnya). Menurut Jawad Mughniyah, harta tirkah adalah harta peninggalan mayat yakni segala sesuatu yang dimilikinya sebelum meninggal baik berupa benda maupun utang atau berupa hak atas harta seperti hak usaha, hak jual beli, hak menerima ganti rugi dan hak atas harta yang timbul karena menjadi wali seseorang yang terbunuh.64 Kedua defenisi harta tirkah (peninggalan) tersebut memiliki persamaan. Kedua defenisi tersebut sama-sama menunjukkan bahwa harta tirkah tidak hanya berupa hak atas harta, tetapi juga utang. Pada awalnya, harta tirkah tidak sama dengan harta warisan. Harta tirkah mencakup keseluruhan harta yang ditinggalkan orang yang meninggal. Harta warisan hanya mencakup harta yang dibagikan kepada oleh pewaris setelah harta peninggalan
64
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : Basrie Press, 1994), hal.73
25
Universitas Sumatera Utara
26
pewaris dikurangi dengan hutang atau hal lainnya. Harta tirkah belum tentu merupakan harta waris, tetapi harta waris sudah tentu merupakan harta tirkah.65 Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai harta tirkah dan harta warisan mengalami pergeseran. Harta warisan merupakan harta peninggalan (tirkah) yang dapat dibagi kepada ahli waris setelah harta keseluruhan pewaris dipisahkan dari harta suami-isteri dan harta pusaka, harta bawaan yang tidak boleh dimiliki, dikurangi hutang-hutang dan wasiat.66 Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa semua harta yang ditinggalkan orang yang meninggal disebut dengan harta keseluruhan, bukan harta tirkah (harta peninggalan) sebagaimana dapat dilihat dari dua defenisi harta tirkah (harta peninggalan) pada masa sebelumnya. Dalam bukunya, Otje Salman juga telah mendefenisikan harta tirkah yaitu harta warisan dan akan diberikan terhadap para ahli waris dari orang yang meninggal dunia tersebut. Harta tirkah merupakan harta peninggalan sesudah dikurangi biaya penguburan, utang dan wasiat.67 Harta peninggalan merupakan harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun haknya.68 Demikian pula Wirdjono Prodjodikoro mempersamakan harta warisan sebagai harta tirkah (harta peninggalan) dan mendefenisikannya sebagai sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Sejumlah harta 65 http://s-hukum.blogspot.com/2014/02/jenis-jenis-harta-dalam-hukum-waris.html, tanggal 14 September 2015 66 Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47 67 Otje Salman dan Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam, 2002, Op.Cit., hal.19 68 Mukhlis Lubis, Op.Cit., hal.2
diakses
Universitas Sumatera Utara
27
dalam keadaan bersih maksudnya adalah bahwa harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris merupakan sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran lainnya yang diakibatkan oleh kematian si pewaris.69 B. Pemisahan dan Alasan Pemisahan Harta Warisan dari Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan70padahal umat Islam wajib hukumnya mematuhi hukum kewarisan tersebut. Allah memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Suci AlQur’an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.71Dalam Hadis Riwayat an-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga (muttafak alaih)”.
Dalam Q.S.An-Nisa Ayat 13 dan 14, Allah berfirman yang artinya : “hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barangsiapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan besar dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, 69
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Vorkink van Hoeve,’sGravenhage), hal.8 70 Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.355 71 Mahmud Yunus, Op.Cit., hal.5
Universitas Sumatera Utara
28
niscaya Allah akan memasukkan ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya dan baginya siksa yang amat menghinakan.” Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam berasal dari Allah SWT dan merupakan hukum yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Kepatuhan terhadap hukum waris Islam merupakan suatu kemenangan besar, sehingga kepada umat Islam yang patuh akan diberikan warisan surga dan hidup kekal.Ketidakpatuhan terhadap hukum kewarisan merupakan tindakan mendurhakai Allah SWT dan kepada umat Islam yang tidak patuh akan diberikan sanksi berupa siksaan neraka dan tidak mendapat warisan surga. Hukum kewarisan memuat sejumlah ketentuan tentang kewarisan, dimana salah satunya mengatur tentang pemisahan harta waris dari harta tirkah atau bagian harta tirkah (harta peninggalan) yang menjadi bagian waris bagi ahli waris. Faraidh telah diatur secara jelas di dalam Qur’an yang merupakan sumber hukum tertinggi. Ketentuan tentang bagian-bagian yang merupakan hak waris diatur dalamSurat AnNisa 4 Ayat 7, 11, 12, 33, 176 dan surat lainnya. Ayat-ayat Al Quran tersebut secara langsung menegaskan perihal pembagian harta tirkah.72 Bagian waris berdasarkan ketentuan Qur’an dapat diketahui dari uraian surat An-Nisa berikut ini : 1. Surat An-Nisa 4 Ayat 7 : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. 2. Surat An-Nisa 4 Ayat 11 : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan 72
Eman Suparman, Op.Cit., hal.11
Universitas Sumatera Utara
29
bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat seperenam (pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu, ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 3. Surat An-Nisa 4 Ayat 12 : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagian masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui. 4. Surat An-Nisa 4Ayat 33 : Bagi tiap-tiap harta peninggalan yang dihasilkan ibu bapak dan kerabat karibnya kami jadikan pewaris-pewarisnya dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah mereka bahagiannya, sesungguhnya Alllah menyaksikan segala sesuatu. 5. Surat An-Nisa 4 Ayat 176 : Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan dan saudarasaudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) dan jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua orang saudara perempuan.
Universitas Sumatera Utara
30
Sehingga berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kewajiban umat Islam untuk mematuhi hukum kewarisan Islam sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT, merupakan alasan dilakukan pemisahan harta warisan dari harta tirkah (harta peninggalan). Alasan pemisahan bagian harta warisan dari harta tirkah juga tidak terlepas dari pandangan Islam terhadap hakikat dan fungsi harta dalam kehidupan umat Islam. Pada hakikatnya, Allah merupakan pemilik mutlak harta yang kemudian menganugerahkannya kepada umat manusia sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah: 29, yaitu : “Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian semuanya” Kepemilikan seseorang terhadap harta bukan merupakan masalah, akan tetapi kepemilikan tersebut harus diperoleh bukan dengan melakukan dosa. Hal tersebut dapat diketahui dari QS Al Baqarah : 188 yang isinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui”. Harta yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia, disamping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya, juga bertujuan sebagai perekat hubungan persaudaraan atau ikhuwah Islamiyah dan Insaniyah. Seseorang yang memiliki harta lebih dianjurkan dan diwajibkan untuk memberikan sebagian kepada saudaranya yang sedang membutuhkan maupun untuk saling menghadiahi kepada orang lain yang pada dasarnya tidak membutuhkan. Kewajiban dan anjuran tersebut dimaksudkan agar timbul rasa saling menghormati dan saling menyayangi sehingga harta menjadi alat untuk
Universitas Sumatera Utara
31
mewujudkan atau masyarakat.73
mengukuhkan
silaturahmi
antara
sesama
anggota
Sebagaimana defenisi harta tirkah yang telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa harta tirkah belum dapat dibagikan kepada ahli waris karena di dalamnya masih terkandung kewajiban-kewajiban seperti pembayaran utang,biaya penguburan dan wasiat. Ahli waris berkewajiban untuk melakukan pembayaran kewajiban tersebut terlebih dahulu karena bukan merupakan hak dari pewaris maupun ahli waris, melainkan hak dari orang yang berpiutang dengan pewaris atau pun orang yang berhak atas wasiat tersebut. Dalam kaitannya dengan pandangan Islam terhadap harta, makaalas an pemisahan harta waris dari harta tirkah dilatarbelakangi oleh hakekat kepemilikan harta oleh umat Islam. Kepemilikan harta dalam pandangan Islam berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup, perekat hubungan persaudaraan dimana kepemilkan harta tidak merupakan masalah, sepanjang kepemilikan tersebut tidak diperoleh dengan berbuat dosa. Pemisahan harta warisan dari harta tirkah (harta peninggalan) dilakukan agar setiap orang memperoleh bagian atau haknya masing-masing, baik itu merupakan hak waris para ahli waris maupun hak-hak penerima wasiat dan orang yang berpiutang dengan pewaris. C. Hak dan Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Penentuan bagian hak waris dilakukan setelah terlebih dahulu memperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta tirkah (harta peninggalan) tersebut, sebab 73
Satria Effendi, Op.Cit., hal.233
Universitas Sumatera Utara
32
pewaris semasa hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar, meninggalkan suatu wasiat (pesan) dan sebagainya.74 Hak yang berhubungan dengan harta tirkah (harta peninggalan) tersebut adalah75 : 1.
Hak yang menyangkut kepentingan mayit (pewaris) sendiri yaitu biaya penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai dengan dimakamkan.
2.
Hak yang menyangkut kepentingan para kreditur.
3.
Hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat.
4.
Hak ahli waris. Biaya penyelenggaraan jenazah dapat diperhitungkan dari harta tirkah dengan
syarat tidak dilebihkan dari yang seharusnya dan dalam batas yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Apabila biaya tersebut dilebihkan karena desakan tradisi, maka tidak dibiayai dengan harta tirkah.76 Dalam keadaan pewaris mempunyai hutang semasa hidupnya, maka dapat diperhitungkan dari harta tirkah (harta peninggalan) dan apabila jumlah hutang melebihi jumlah harta tirkah, maka pembayarannya dicukupkan dengan harta tirkah yang ada saja. Dalam hal terdapat dua kreditur, maka kepada kreditur dibayarkan sesuai dengan perbandingan besar kecilnya hutang pewaris.77Harta tirkah bukan hanya berupa benda yang bergerak atau yang tidak bergerak karena harta tirkah (harta peninggalan) juga dapat berupa utang ahli waris. Ahli waris tidak dibenarkan untuk membagikan harta waris sebelum membayarkan utang si mayat.78
74
M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.19 Ibid. 76 Ibid. 77 Ibid. 78 Sulaiman Rasyid, Ilmu Fara’idh, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2003), hal.346 75
Universitas Sumatera Utara
33
Adapun yang menjadi kewajiban ahli waris berdasarkan ketentuan Pasal 175 KHI, adalah sebagai berikut : 1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah : a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih hutang c. Menyelesaikan wasiat pewaris d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak 2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya Berdasarkan Pasal 175 KHI tersebut, ahli waris memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap pewaris. Ahli waris tidak memiliki kewajiban menutupi kelebihan jumlah utang pewaris yang melebihi jumlah harta tirkah dengan harta ahli waris tersebut dan apabila ahli waris meyanggupi untuk menutup kekurangan tersebut, maka hal tersebut dipandang sebagai suatu kebaikan dan bukan merupakan suatu kewajiban hukum.79 D. Peranan Notaris dalam Penentuan Inventarisasi Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Peran notaris dalam hubungan keperdataan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan waktu. Notaris seperti yang dikenal di zaman “Republk de Verenigde Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Indd. Compagnie” di Indonesia.80Pada tahun 1860 diundangkanlah suatu peraturan
79
M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.20 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), (Jakarta : Erlangga, 1983), hal. 15 80
Universitas Sumatera Utara
34
mengenai Notaris yangdimaksudkan sebagai pengganti peraturan-peraturan yang lama, yaitu PJN (PeraturanJabatan Notaris) yang diundangkan pada 26 Januari 1860 dalam Staatblad Nomor 3dan mulai berlaku pada 1 Juli 1860. Inilah yang menjadi dasar yang kuat bagipelembagaan notaris di Indonesia. Dalam perkembangannya saat ini, peraturan yang mengatur tentang jabatan notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004 dan pada tanggal 15 Januari 2014, berdasarkan ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi : 1.
Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatblad 1860:3) sebagaimana telahdiubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;
2.
Ordonantie tanggal 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
Universitas Sumatera Utara
35
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah / Janji Jabatan Notaris. Dalam Penjelasan Umum UUJN ditegaskan bahwa UUJN merupakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, dan berdasarkan Pasal 92 UUJN Nomor 30 Tahun 2004, dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 7 Oktober 2004. Kata notaris berasal dari kata“nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie).81 Sudarsono mendefenisikan notaris sebagai orang yang mendapat kuasa dari pemerintah untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya berdasarkan petunjuk pemerintah.82 Notaris merupakan pejabat umum. Istilah pejabat umum dipakai dalam Pasal 1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai pengganti Staatblad Nomor 30 Tahun 1860 tentang PJN, dimana diatur bahwa yang dimaksud dengan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
81 82
Ibid., hal. 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Op.Cit., hal.307
Universitas Sumatera Utara
36
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ketentuan tersebut sejalan dan berkaitan dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang mengatur bahwa yang dimaksud dengan akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Menurut kamus hukum, pejabat umum merupakan terjemahan dari Openbare Ambtenaren. Ambtenaren diartikan sebagai pejabat sehingga Openbare Ambtenaren dapat diartikan sebagai pejabat yang mempunyai tugas yangbertalian dengan kepentingan publik dengan kata lain notaris merupakanpejabat publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenarendiartikan sebagai pejabat yang diberitugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik dan kualifikasiseperti itu diberikan kepada notaris.83 Menurut Gandasubrata, sebagai pejabat umum yang diangkat olehpemerintah, notaris juga termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.84Di dalam tugasnya sehari-hari notaris menetapkan hukum dalam aktanyasebagai akta autentikyang merupakan alat bukti yang kuat sehingga
83
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, (Bandung : CV Mandar Maju, Bandung, 2009), hal. 15 84 H.R.Purwoto S.Gandasubrata, Renungan Hukum , (Jakarta : IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, 1998), hal.484
Universitas Sumatera Utara
37
memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Alat bukti merupakan keseluruhan bahan yang digunakan sebagai pembuktian dalam perkara yang disidangkan di pengadilan.85Bukti tertulis dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan biasanya dengan sengaja seseorang menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila terjadi suatu perselisihan dan bukti tadi lazimnya berupa tulisan.86Para ahli hukum juga berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya.87 Kewenangan notaris dalam membuat akta autentik merupakan salah satu dari kewenangan lainnya yang dimiliki oleh notaris sebagaimana diatur dalam UUJN. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu defenisi kewenangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari kata wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, sedangkan kata kewenangan didefenisikan sebagai hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.88Dari defenisi kewenangan tersebut maka diketahui bahwa kewenangan notaris dapat didefenisikan sebagai suatu hak dan kekuasaan yang dimiliki notaris untuk melakukan sesuatu. Hak dan kekuasaan yang dimiliki notaris
85
Bachtiar Effendie, dkk., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1991), hal.49 86 Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung : CV.Citra Aditya Bakti, 1998), hal.157 87 Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang : CV.Agung, 1991), hal. 4 88 Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, hal. 1128
Universitas Sumatera Utara
38
untuk melakukan sesuatu, serta sesuatu yang dapat dilakukan oleh notaris tersebut diatur dalam UUJN. Kewenangan notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sebagaimana diuraikan berikut ini : 1. Pasal 15 Ayat 1 mengatur bahwa Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Pasal 15 Ayat 2 mengatur bahwaselain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraiansebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta Risalah Lelang. 3. Pasal 15 Ayat 3 mengatur bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hukum kewarisan Islam tidak mewajibkan ahli waris untuk melakukan penyelesaian pembagian harta tirkah pewaris di hadapan notaris. Akan tetapi, ahli waris dapat memanfaatkan kewenangan notaris untuk menyelesaikan pembagian harta tirkah tersebut. Dalam kaitannya dengan inventarisasi harta tirkah (peninggalan) pewaris, para ahli waris yang merasa berkepentingan atau berhak atas
Universitas Sumatera Utara
39
bagian harta tirkah pewaris dapat memanfaatkan kewenangan yang dimiliki oleh notaris dalam membuat suatu akta autentik. Di samping itu para pihak dapat pula memperoleh informasi dari penyuluhan yang dilakukan notaris tersebut terkait pembuatan akta autentik yang diperlukan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, notaris berwenang untukmembuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Pada dasarnya, notaris dapat membuat akta autentik dengan judul Akta Pemisahan dan Pembagian (Scheiding en Deling) terkait dengan inventarisasi harta tirkah (harta peninggalan) pewaris, akan tetapi undangundang juga membuka peluang untuk menggunakan istilah yang lain yang bermacam-macam pula, sepanjang substansinya dimaksudkan untuk mengakhiri kepemilikan bersama tersebut.89 Untuk mengetahui substansi dalam Akta Pemisahan dan Pembagian tersebut, terlebih dahulu diuraikan defenisi pemisahan dan pembagian yang merupakan judul akta. Menurut J.Satrio, pemisahan diartikan sebagai suatu perjanjian dengan mana para pihak menghentikan keadaaan tidak terbagi yang ada terhadap benda-benda tertentu dengan memberikan hak tunggal atas benda yang semula merupakan milik bersama menggantikan andil semula dalam keadaan tidak terbagi.90 Komar Andarsasmita mendefenisikan pemisahan sebagai pengakhiran (opheffen/opheffing) 89
M.Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Op.Cit., hal.72 J.Satrio, Hukum Waris tentang Pemisahan Boedel, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1998), hal.34 90
Universitas Sumatera Utara
40
dari hal/keadaan tidak terbagi menyangkut dua orang atau lebih yang atas suatu benda/urusan (zaak) bersama-sama mempunyai hak.91 Menurut Than Thong Kie, pemisahan tidak mengakhiri kepemilikan bersama terhadap harta peninggalan. Kepemilikan bersama berakhir setelah dilakukan pembagian kepada orang-orang yang berhak. Pemisahan yang diikuti dengan pembagian mengakibatkan bagian harta warisan telah dimiliki oleh orang yang kepadanya warisan tersebut dibagikan.92 Substansi Akta Pemisahan dan Pembagian diatur sedemikan rupa dengan berdasarkan pada pilihan hukum yang dikehendaki oleh ahli waris atau para pihak yang berkepentingan. Ahli waris dapat meminta kepada Notaris untuk membuat Akta Pemisahan dan Pembagian dengan berdasarkan pada ketentuan yang ada dalam Hukum Kewarisan Islam.
91
Komar Andarsasmita, Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), (Bandung : INI, 1987), hal.455 92 Than Thong Kie, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku II, (Jakarta : PT.Ichtiar Baru, 2000), hal.64
Universitas Sumatera Utara