TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MEMPEROLEH STATUS WARGA NEGARA INDONESIA DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
TESIS
Oleh
T. FERZIALDI HANAFIAH 057011091/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MEMPEROLEH STATUS WARGA NEGARA INDONESIA DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
T. FERZIALDI HANAFIAH 057011091/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MEMPEROLEH STATUS WARGA NEGARA INDONESIA (WNI) DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Mahasiswa
:
T. Ferzialdi Hanafiah
Nomor Pokok
:
057011091
Program Studi
:
Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib, M.A.) Ketua
(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH,CN, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) NIP. 131 661 440
(Notaris Syahril Sofyan, SH,M.Kn) Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc) NIP. 130 535 852
Tanggal: Lulus 16 Februari 2008
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Telah Diuji Pada Tanggal 16 Februari 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib, M.A. Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H.,C.N., M.Hum 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam Pasal 57 UUPerkw yang menegaskan bahwa, ”Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegara Indonesia”. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warganegara asing, tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, status anak dalam perkawinan campuran memperoleh hak kewarganegaraaan ganda yaitu mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, namun dalam pelaksanaanya masih ada kendala-kendala yang dihadapi si anak, permasalahan dalam penilitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum terhadap anak-anak yang memperoleh warga negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran, hak dan kewajiban hukum yang didapat anak setelah keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2006, manfaat dan kendala anak dalam memperoleh status kewarganegaraan serta prosedur tatacara pendaftaran kewarganegaraan di Departemen Kehakiman dan Hak asasi Manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan sifatnya deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang, yang berkaitan dengan tinjauan hukum tehadap anak-anak yang memperoleh status Warga Negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran di Indonesia dan menganalisisnya dengan mengacu konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas hukum serta peraturan-peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah anak dalam memperoleh status WNI dari hasil perkawinan campuran, khususnya serta menjelaskan secara analisis tentang perlindungan hukum terhadap anak dalam perkawinan campuran, hak dan kewajiban anak yang didapat anak dalam perkawinan campuran, dan prosedur pendaftaran kewarganegaraan terhadap anak, sehingga dapat diketahui status kewarganegaraan Anak dari hasil perkawinan campuran setelah keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2006. Berdasarkan hasil penelitan tesis ini dapat disimpulkan bahwa setiap anak yang dilahirkan di Indonesia dianggap berkewarganegaraan Republik Indonesia, sehingga anak nantinya berkewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan) terbatas. Hal ini dilakukan untuk menjamin perlindungan hukum status anak, anak
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
dari perkawinan campuran dapat memilih kewarganegraan Republik Indonesia setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, dari inilah anak berkewajiban untuk memilih kewarganegaraan pada saat berumur 18 Tahun atau sudah kawin, sehingga tidak lagi berkewarganegaraan ganda dan juga anak dari perkawinan campuran dengan diperolehnya SK WNI tidak perlu lagi mengurus Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP). Hendaknya pada Pasal 6 UUKW yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah, itu diberi kemudahan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sebelum melewati usia 18 Tahun, karena bila anak tersebut memerlukan untuk melakukan pemilihan kewarganegaraan, sebelum menikah dan hendaknya juga pemerintah memberikan sangsi yang tegas bila keterlambatan dalam pendaftaran WNI anak yang telah melewati batas jangka waktu 3 tahun dari usia 18 tahun, berupa denda dan WNI yang terlambat mendaftar melewati 5 tahun dari batas usia anak dianggap berkewarganegaraan WNA.
Kata Kunci
:
- Anak, Status Kewarganegaraan, Perkawinan Campuran
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT Marriage is one of the important events in community life because it not only concerns the future bride and bridegroom but also their parents, other family members and even their relatives. Article 57 of Law on Marriage says that "Mixed-marriage is a marriage between two persons living in Indonesia who obey different laws because of their different citizenships one of them is an Indonesian citizen". The most common problem occurs in a mixed marriage is the citizenship of their children. The previous Law on Citizenship follows the principle of single citizenship that a child born from a mixed marriage can have one citizenship only and according to the law he/she must follow his/her father's citizenship. This regulation will create a problem when, one day, their parents get divorced and it will be difficult for the mother to take care of her child holding foreign citizenship, but since Law No. 12/2006 on Citizenship has been put into effect the status of children born from mixed marriage changes, now they have the right to have double citizenship following those of their parents, but, in its implementation the children still face a lot of constraints. Therefore, the purpose of study is to examine the legal review of the children obtaining Indonesian citizen status from their mixedmarriage parents, the legal right and responsibility obtained by the children after Law No. 12/2006 was put into effect, the benefit and constraints experienced by the children in obtaining their citizenship status and the procedure of registration to get the citizenship in the Department of Justice and Human Right. This normative juridical study which is analytical descriptive in nature describes all indications and facts and analyzes currently existing problems related to the legal review of the children obtaining Indonesian citizen status from their mixed-marriage parents in Indonesia referring to the conceptions, theories, legal principles and regulations of stipulation especially associated to the problems faced by the children born from mixed marriage parents in the process of obtaining the Indonesian citizen status and analytically clarifies about the legal protection for the children born from mixed marriage parents, their right and responsibility, and the registration procedure for obtaining their citizenship status that their citizenship status can be acknowledged after Law No. 12/2006 was put into effect. Based on the result of this study, it can be concluded that each child born in Indonesia is regarded as a citizen of the Republic of Indonesia that the child holds a limited double citizenship later. This action is taken to guarantee a legal protection for the child's status. When he/she is 18 years old or is married, the children born from mixed marriage parents may choose to have the citizenship of the Republic of Indonesia so that the children do not hold a double citizenship anymore and after they received the letter of certification concerning their having the Indonesian citizen status, the children born from mixed-marriage parents do not need to arrange for Permit for Temporary Stay (KITAS) or Permit for Permanent Stay (KITAP).
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
It is better that Article 6 of Law on Citizenship allowing the children born from mixed marriage parents to choose their citizenship after they are 18 years old or are married should say that the children born from mixed marriage parents can choose their citizenship before they are 18 years old or are married because if the children need to choose their citizenship before getting married, it is suggested that the government provide a strict legal sanction for those who register for the Indonesian citizenship 3 (three) years after the limit age of 18 years old (in the form of fine) or regarded holding foreign citizenship if they register for the Indonesian citizenship 5 (five) years after the limit age of 18.
Key words
:
- Child, Status of Citizenship, Mixed Marriage
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya yang senantiasa melimpahkan karunia-Nya menyertai penulis dalam menambah keyakinan dan kekuatan penulis, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul: ”Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak Yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran”. Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya
kepada
Komisi
Pembimbing,
yang
terhormat
Bapak
Prof.Dr.H.M.Hasballah Thaib,MA, Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,CN, M.Hum dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH,M.Kn atas kesediaannya untuk membantu dalam memberikan bimbingan, prunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Para Dosen Penguji, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN dan Bapak Dr.H.Ramlan Yusuf Rangkuti, MA yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada ujian sidang tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin,SH,MS,CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) dalam memberikan kesempatan penulis dalam menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU. 4. Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH.,CN,M.Hum.,selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) dalam memberikan kesempatan penulis dalam menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU. 5. Bapak Sihabuddin,BcIP,SH,MH selaku Ka.Kanwil I Medan Departemen Hukum dan HAM, yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian di Kantor Wilayah I Medan Departemen Hukum dan HAM. 6. Ibu Juraini Sulaiman, SH,MHum selaku Ka.Bid.Pelayanan Hukum Kanwil I Medan Departemen Hukum dan HAM Medan, yang paling banyak disibukkan penulis dalam memberikan penjelasan serta seluruh data dibutuhkan dalam penelitian demi kelancaran dan kesempurnaan tesis ini. 7. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,S.H.,M.S selaku Ketua Program Studi S2-S3 PSL, Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Sekretaris Magister Program Studi PSL dan Ibu Dr. Retno Widhiastuti, M.S., selaku Sekretaris Program Doktor PSL Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara yang telah mengizinkan penulis untuk mengemban ilmu disela kesibukan serta aktivitas akademik tempat penulis bekerja sebagai staff akademik. 8. Adinda Shanty Aulia Dien, S.Sos
untuk doa dan semangatnya tanpa letih
selalu mendukung, memotivasi, menemani penulis agar selalu survive dan giat men jalani studi serta membantu pencarian data, penyusunan menyelesaikan tesis ini. 9. Rekan-rekan di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, khususnya Angkatan 2005 yang
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
selalu memberikan bantuan, semangat, motivasi kepada penulis dalam rangka menyelesaikan studi. 10. Seluruh keluarga besar pegawai/staff Sekolah Pascasarjana USU. Semoga teman-teman juga termotivasi dalam meningkatkan jenjang kependidikannya. 11. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis guna memperlancar administrasi selama masa studi penulis. Teristimewa ucapan terima kasih dengan tulus hati yang tak terhingga penulis berikan kepada keluarga tercinta, Ayahanda Prof. H.T.Syamsul Bahri, SH dan Ibunda (Almarhumah) Hj. Cut Nyak Nurlaita Hanafiah serta Kakak-kakak Cut Liza
Felecia S.H, (Almarhumah) Cut Dhina Livia, Cut Liska Meiyanne SE,
dan Abangnda Ir. T. Nyak Arif. Serta abang dan kakak ipar Hasballah Amir, BSc dan Asnizar, SE juga keponakan-keponakanku Pipon, Rere, Farel dan Sayra yang selalu memberikan limpahan kasih sayang serta doa dan membimbing penulis untuk masa depan penulis, serta dukungan moril dan materiil serta memberikan segala yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan studi ini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang tidak dapat dirinci satu persatu yang telah memberikan bantuan moril maupun material sehingga penulisan dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut isi maupun dari cara pengajuannya. Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin. Medan, Pebruariu2008 Penulis,
T..Ferzialdi Hanafiah
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
T. Ferzialdi Hanafiah
Tempat/Tgl, Lahir
:
Medan, 16 Oktober 1969
Ayah
:
T. Syamsul Bahri, SH
Ibu
:
(Alm) Cut Nyak Nurlaita Hanafiah
Saudara
:
5 bersaudara, anak kelima
Jenis Kelamin
:
Laki-Laki
Agama
:
Islam
Alamat
:
Jln. Pangeran Diponegoro No. 7A, Medan
Orang Tua
PENDIDIKAN
1.
Tahun 1983
:
Tamat SD Harapan, Medan, Sumatera Utara
2.
Tahun 1987
:
Tamat SMP Harapan, Medan, Sumatera Utara
3.
Tahun 1990
:
Tamat SMA Tunas Kartika I, Medan Sumatera Utara
4.
Tahun 2004
:
Tamat Strata-1 Fakultas Hukum, Jurusan Perdata Dagang, Universitas Sumatera Utara, Medan
5.
Tahun 2008
:
Tamat Strata-2 Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK………………………………………………………………
i
ABSTRACT……………………………………………………………..
iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………
v
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………...
ix
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………
xi
DAFTAR ISTILAH ………....................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………
xiii
BAB I
BAB II
:
PENDAHULUAN .........................................................
1
A. Latar Belakang …………………………………….
1
B. Perumusan Masalah ……………………………….
9
C. Tujuan Penelitian ………………………………….
9
D. Manfat Penelitian ………………………………….
10
E. Keaslian Penelitian …………………………………
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……………………...
11
G. Metode Penelitian …………………………………..
34
: HAK DAN KEWAJIBAN YANG DIDAPAT OLEH ANAK DIBAWAH UMUR DARI PERKAWINAN CAMPURAN SETELAH KELUARNYA UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 .......................... A. Kedudukan
Hukum
Anak
Dalam
38
Perkawinan
Campuran …………………………………………..
38
B. Hak dan Kewajiban Hukum Yang Didapat AnakAnak Akibat Perkawinan Campuran ………………..
BAB III
53
: PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DALAM
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
PROSES PENDAFTARAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN CAMPURAN .........................
59
A. Latarbelakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ...........................................................
59
B. Penerapan Prosedur Pendaftaran Kewarganegaraan Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran ........
64
: MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI BAGI ANAK SETELAH KELUARNYA UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 .......................... A. Masalah-Masalah Ynag Dihadapi Anak Pada
78
Perkawinan Campuran ..............................................
78
B. Manfaat Bagi Anak Pada Perkawinan Campuran ......
83
: KESIMPULAN DAN SARAN .....................................
86
A. Kesimpulan ………………………………………….
86
B. Saran ………………………………………………...
87
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
88
BAB IV
BAB V
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR SINGKATAN APAB
:
Aliansi Pelangi Antar Bangsa.
KUHPerdata
:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
KITAS
:
Kartu Izin Tinggal Sementara.
KITAP
:
Kartu Izin Tinggal Menetap.
PerMen Daftar
:
Peraturan
Menteri
tentang
Pelaksanaan
Pendaftaran R.G.H
:
Regeling op de Gemengde Huwelijken (Gemengde Huwelijken).
SK
:
Surat Keputusan.
UUKW
:
Undang-Undang Kewarganegaraan
PPN
:
Pegawai Pencatat Nikah.
PPP
:
Pegawai Pencatatan Perkawinan
WNA
:
Warga Negara Asing.
WNI
:
Warga Negara Indonesia
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISTILAH Apatride
: Tanpa kewarganegaraan.
Bipatride
: Tidak mengenal kewarganegaraan
ganda. Codex Iuris Canonic
: Kitab Hukum Kanonik.
General principles
: Asas-asas umum hukum internasional. tentang kewarganegaraaan.
Hadhanah
: Pemeliharaan anak.
Huwelijk
: Perkawinan.
Ijab
: Serah.
Indiesche Staats Regeling
: Peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda.
Ius sanguinis (law of the blood)
: menentukan kewarganegaraan.
Ius soli (law of the soli)
: Menentukan kewarganegaraan Berdasarkan tempat kelahiran.
iddah
: Waktu tunggu.
Mitsaaqan ghalidhan
: Akad yang sangat kuat.
Mumayyiz
: Berhak memilih.
Non-diskriminatif
: Tidak membedakan perlakuaan.
Regeling OP de Gemengde Huwelijken : Peraturan Perkawinan Campuran. Overstay
: Memperpanjang izin.
Qabul
: Terima
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN No.
Judul
Halaman
1.
Surat Pemberitahuan tentang Pelaksanaan UU No.12 Tahun 2006
2.
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 ……………………
3.
93
94
Formulir Permohonan Pendaftaran Anak untuk Memperoleh Kewarganega raan Republik Indonesia ……………………………
100
4.
Surat Pengembalian Pendaftaran .....................................................
103
5.
Surat Penyampaian Permohonan Pendaftaran ……………………..
104
6.
Formulir Permohonan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia ………………………………………………
7.
Formulir Pernyataan Kesetiaan Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia ………………………………………………...
8.
Penjelasan
atas
UU
RI
NO.
12
Tahun
2006
114
tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia ……………………………. 11.
109
UU RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia …………………………………………………………..
10.
108
Formulir Pernyataan Kesediaan Mananggalkan Kewarganegaraan Asing ................................................................................................
9.
106
134
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.02-HL.05.06 Tahun 2006 ………………………………………
146
12.
Memorandum ……………………………………………………..
157
13.
Langkah-langkah Dalam Proses Penyelesaian Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 42 UU No.12 Tahun 2006 ……………………………………………
158
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
14.
Alur Penyelesaian Pendaftaran Memperoleh Kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 42 UU No.12 Tahun 2006 ………………….
15.
163
Alur Penyelesaian Pendaftaran Memperoleh Kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 42 UU No.12 Tahun 2006 Pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia ………………………………………………...
164
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena “perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga mereka masing-masing”. 1 Di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara. Hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat, hukum agama, Kitab UndangUndang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dan peraturan mengenai perkawinan campur. “Hukum perkawinan ketika itu berpedoman pada Indiesche Staats Regeling (ISR), yaitu peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda Pasal 163, yang membedakan golongan penduduk” 2 dalam 3 macam, yaitu “penduduk golongan Eropa (termasuk Jepang), penduduk golongan pribumi (Indonesia) dan golongan Timur Asing, kecuali yang beragama Kristen”. 3
1
Wignjodiporo Soerojo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1971, hal. 139. 2 Feriyana, Prosedur Pelaksanaan dan Pendaftaran Perkawinan Campur di Kota Sabang, Medan, Pascasarjanan USU, Tesis, 2004, hal. 11-12. 3 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Mandar Maju, 1990, hal. 4; golongan penduduk yang berlaku pada hukum perkawinan sebagai berikut:
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Perkawinan campuran sebelum adanya Undang-undang Perkawinan diatur dengan Koninklijk Besluit Nomor 23 tanggal 29 Desember 1896. Peraturan ini disebut Regeling OP de Gemengde Huwelijken (selanjutnya disebut RGH) yang dikenal dengan istilah Peraturan Perkawinan Campuran. Pasal 1 RGH mendefenisikan bahwa perkawinan campuran sebagai “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”. Sedangkan dalam Pasal 2 RGH menyebutkan bahwa, “Seorang perempuan (isteri) yang melakukan perkawinan campuran selama itu belum putus, maka si perempuan tunduk kepada hukum hukum yang berlaku untuk suaminya, baik hukum publik maupun hukum sipil”. 4 Pengertian perkawinan campuran sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 RGH, memiliki jangkauan yang luas, asalkan pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran. “Perkawinan antara dua orang berkewarganegaraan asing dan bukan
a. b.
4
Bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam dalam berbagai bidang hukum berlaku pula hukum agama Islam. c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (selanjutnya disebut HOCI) S. 1933 Nomor : 74 yang berlaku di Jawa, Minahasa, Ambon, di luar daerah-daerah tersebut berlaku hukum adat. d. Bagi orang-orang Timur Asing China dan warga negara keturunan China berlaku ketentuanketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warganegara Indonesia keturunan asing lainnya, misalnya keturunan India (Keling), Pakistan, Arab dan lain yang sama, berlaku hukum adat mereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianutnya. f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) keturunan Eropa (Indo) dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).Termasuk dalam golongan ini orang-orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda. Maria Ulfah Sudibyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Yayasan Idayu, 1981, hal. 29.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
penduduk Indonesia yang dilangsungkan di luar Indonesia, misalnya antara orang Arab dengan orang Perancis, merupakan perkawinan campuran menurut ketentuan pasal ini”. 5 Penafsiran yang demikian itu adalah terlalu luas, karena pada saat perkawinan dilangsungkan sama sekali tidak ada pertaliannya dengan hukum Indonesia, sehingga tidak mungkin Hukum Indonesia berlaku bagi perkawinan tersebut. Dari pengertian Pasal 1 RGH yang diuraikan di atas, maka dalam hal itu termasuk pula perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri antara dua orang Warga Negara Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara seorang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) dan seorang Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA), akan tetapi, bilamana pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebahagian dari hukum perkawinan KUHPerdata, maka bagi perkawinan tersebut berlakulah ketentuan
Pasal 83 KUHPerdata yang menyatakan :
Perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain, adalah sah jika perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-istri warga negara Indonesia, tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian ke satu bab ini. Dalam KUHPerdata tidak terdapat defenisi tentang perkawinan. Hal ini disebabkan “karena hubungan perkawinan dianggap hanya dalam hubungan
5
R. Soetojo Prawirohamidjoyo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University,1986, hal. 90.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
perdata saja”. 6 Merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud akan hidup bersama dengan kekal antara dua orang yang berjenis kelamin berlainan dan dilangsungkan menurut cara yang ditetapkan oleh pemerintah. Defenisi Perkawinan Campuran dalam Pasal 1 RGH menurut Sudargo Gautama memiliki ruang lingkup meliputi : 1. “Perkawinan campuran antar tempat (interlokal), yaitu perkawinan antara orang-orang Indonesia sendiri yang berasal dari suku atau daerah yang berlainan dan hidup dalam berbagai lingkungan hukum,. 2. Perkawinan campuran antar agama (interreligieus), yaitu perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia menganut agama yang berbeda. 3. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel), yaitu perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia berasal dari golongan penduduk yang berbeda”. 7 Setelah Undang-undang Perkawinan dinyatakan berlaku, makna yang terkandung dalam perkawinan campuran dipersempit. Ini dapat terlihat dalam Pasal 57 yang menegaskan bahwa, “Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegara Indonesia”. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan, pembuat undang-undang memberikan pengertian perkawinan campuran dalam arti hanya perkawinan antara WNI dengan WNA. Disamping itu, Undang-undang Perkawinan juga tidak menentukan
menurut
hukum
pihak
mana
perkawinan
campuran
itu
dilangsungkan, sehingga dalam perkawinan campuran sudah seharusnya
6 7
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradyna Paramitha, 1990, hal. 7 Sudargo Gautama, Segi-Segi Peraturan Perkawinan Tjampuran, Bandung, Alumni, 1973, hal. 2.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
mendapat
perlindungan hukum
ini diatur dengan baik dalam perundang-
undangan di Indonesia. Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara WNI dengan WNA yang mengacu pada UndangUndang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958, seiring berjalannya waktu, undang-undang tersebut dinilai tidak sanggup lagi mengatur kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk pihak istri dan anak. Barulah pada 11 Juli 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang tersebut disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan WNA, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar undangundang baru yang memperbolehkan dua kewarganegaraan terbatas ini, sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam undang-undang
tersebut
ditentukan
bahwa
yang
harus
diikuti
adalah
kewarganegaraan ayahnya.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang WNA. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (selanjutnya disebut UUKW) memang dapat dikatakan sebagai salah satu dari sedikit produk fenomenal dibidang legislasi yang berhasil dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2005 – 2009. Salah satu Pasal UUKW menggambarkan dengan jelas jaminan terhadap hak-hak pasangan perkawinan campuran adalah terdapat dalam Pasal 19 Ayat (1) yang menyatakan “bahwa WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warganegara di hadapan Pejabat”. Sementara itu, pada ayat berikutnya dalam Pasal 19 UUKW disebutkan bahwa
untuk
menyampaikan
memperoleh pernyataan
kewarganegaraan pada
pejabat,
Indonesia,
WNA
yang
maka
selain
menikahi
WNA
dipersyaratkan telah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturutturut. Ketentuan kemudian langsung ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02–HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi WNI. Menurut UUKW yang baru tersebut yaitu Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, menganut prinsip “Ius soli”, yaitu menjadi warga negara karena kelahiran, dan hal ini berdasarkan betapa pahitnya kehidupan anak-
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
anak
tersebut
yang
terombang-ambing
oleh
ketidak-jelasan
status
kewarganegaraan mereka. Tak terbilang kasus memilukan yang sering kali menyentuh rasa kemanusiaan kita, dimana ada asumsi bahwa apakah hal tersebut akan mengakibatkan harus terusir dari Indonesia hanya lantaran ketentuan hukum terdahulu yang seharusnya justru mengayomi para isteri dan anak-anak. Mengingat dimana undang-undang sebelumnya mendasarkan pada asas “Ius sanguinis” yaitu penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, maka dalam undang-undang yang baru ini mendasarkan pada asas “Ius soli“ yaitu penentuan kewarganegaraan pada negara tempat kelahiran. Kalau undang-undang sebelumnya memakai asas kewarganegaraan tunggal (satu kewarganegaraan bagi setiap orang), sedangkan dalam undang-undang yang baru ini menerapkan asas kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak. 8 Selama ini perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan campuran telah melahirkan berbagai kesulitan bagi perempuan WNI. Katakanlah ia harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan sosial atau budaya, maka biaya yang timbul dari proses itu adalah biaya permohonan visa, perjalanan keluar Indonesia untuk mengambil visa, menunggu prosesnya selama dua hari kerja
(ada biaya hotel, transportasi visa), melaporkan
kedatangan, perpanjangan visa setiap bulan, pelaporan orang asing, setelah 6 (enam) bulan mengajukan permohonan izin tinggal baru dan perjalanan ke luar Indonesia lagi selama 3 (tiga) hari. 8
Pan Muhammad Faiz, Status Hukum Anak Hasil perkawinan Campuran, http://jurnal hukum.blog.spot.com/2007/03/perkawinan-campuran-2,html, Jurnal Hukum, 17 September 2006.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Jika keberadaan anak WNA tidak pernah dilaporkan karena ketidaktahuan atau karena tidak mampu, maka pilihannya adalah membayar denda overstay, anak di deportasi atau dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Kemigrasian dikenal pidana dengan tuduhan menyembunyikan orang asing illegal atau tidak berdasarkan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran yang memiliki ayah dan ibunya memiliki
kewarganegaraan
yang
berbeda.
Berdasarkan
Undang-Undang
Kewarganegaraan yang lama anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya yang pada saat ini di Indonesia kebanyakan warga negara ayah adalah WNA. Namun berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Sebagaimana yang telah diuraikan tentang masalah anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran, maka ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji dalam suatu penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap AnakAnak Yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran”, untuk hal tersebut, diutarakan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tersebut.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Hak dan kewajiban hukum yang didapat oleh anak-anak di bawah umur dari perkawinan campuran dengan keluarnya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan ?
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan dalam proses pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan campuran ? 3. Masalah-masalah apa yang timbul dengan keluarnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum yang didapat oleh anak-anak di bawah umur dari perkawinan campuran dengan keluarnya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. 2. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan dalam proses pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan campuran. 3. Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya bidang Hukum Keluarga serta bidang Hukum Perdata Intetrnasional yang berhubungan dengan Kewarganegaraan.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, terutama bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA yang berkaitan dengan status kewarganegaraan anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut .
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak Yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campur”, dimana tidak terdapat karya tulis ilmiah
lainnya yang sama dengan
pembahasannya dengan topik yang di angkat. Akan tetapi ada hasil peneliti terdahulu yang bahasannya hampir bersamaan yaitu :
1. Feriyana, Judul tesis “Prosedur Pelaksanaan dan Pendaftaran Perkawinan Campuran di Kota Sabang”, dengan pokok pembahasan yaitu : terhadap beberapa kasus proses prosedur pelaksanaan dan pendaftaran di Kota Sabang dengan acuan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara, tahun 2004.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Fathia Nadia Tanjung, Judul tesis “Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewaganegaraan”, dengan pokok bahasan kedudukan
anak dalam
undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Kewarganegaraan, Program Studi Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, tahun 2007.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Di Indonesia, Undang-undang Perkawinan berlaku berbagai golongan warga Negara, sedangkan dalam pelaksanaannya berpedoman pada RGH staatblaad 1896 nomor 158, mengenai akibat hukum yang timbul dari perkawinan campuran seperti kewarganegaraan,
digunakan
Undang-undang Nomor 62
Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu Undang-undang ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak, dan kini telah digantikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, maka secara signifikan yang berubah pada Kewarganegaraan adalah : 1. Prinsip Kewarganegaraan yang dianut oleh Negara Indonesia yang sebelumnya menganut Asas Ius Sanguinis (Prinsip Garis Darah atau keturunan ) dan sekarang berubah menjadi Asas Ius Soli (Prinsip Domisili) yaitu asas yang menentukan Kewarganegaraan seseorang
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
berdasarkan Negara tempat kelahiran. Hal ini dalam Pasal 4 UndangUndang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. 2. Syarat-syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak-anak. 3. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. 4. Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaran Republik Indonesia.
Sebagaimana disebutkan, maka sebagai pelengkap pelaksanaan peraturan perundang-undangan baru, yaitu : a. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Kembalinya Kewarganegaraan Republik Indonesia. b. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. c. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02-HL.05.06 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi WNI.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Kerangka Konsepsi
a. Pengertian Warga Negara Warga negara merupakan terjemahaan kata bahasa inggris yaitu citizen yang mempunyai arti adalah “warga negara, petunjuk dari sebuah kota, sesama warganegara, sesama penduduk, dan orang setanah air”. 9 Menurut Ridwan Khairandy, mengenai kewarganegaraan adalah : “Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mau tidak mau haus memiliki warganegara. Tidak ada negara berdaulat yang tidak memiliki warganegara. Suatu negara tidaklah lengkap bilamana tidak memiliki warganegara, karena menurut ilmu negara, suatu negara harus memiliki atau memenuhi tiga unsur pokok, yaitu : a. Harus memiliki wilayah tertentu. b. Harus memiliki suatu organisasi tertentu. c. Harus memiliki suatu kelompok anggota tertentu. Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan, yang memerlukan orangorang yang dianggap sebagai anggota organisasi yang bersangkutan. Pembatasan tentang siapa yang merupakan warga Negara dari suatu Negara ditetapkan sendiri oleh Negara. Hal ini merupakan hak mutlak dari suatu Negara yang berdaulat”. 10 Sementara itu, kebebasan suatu Negara dalam menentukan siapa yang menjadi warga negaranya dibatasi oleh prinsip-prinsip umum (general principles) Hukum
Internasional
mengenai
kewarganegaraan.
Pembatasan
terhadap
kebebasan dalam menentukan warga Negara tersebut antara lain: a. “Orang-orang yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan suatu Negara
tidak
boleh
dimasukkan
sebagai
warga
Negara
yang
bersangkutan. 9
Srijutmini Dan Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007, hal.153. 10 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno dan Jawahir Thontowi, Penganta rHukum Perdata Internasional Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999, hal. 35
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Suatu Negara tidak boleh menentukan siapa-siapa yang merupakan warga Negara suatu Negara lainnya”. 11
Sebagaimana diuraikan di atas, tentang pembatasan terhadap kebebasan dalam menentukan warga Negara, maka dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, ada 2 (dua) asas utama yang berlaku yaitu :
a. Asas Tempat Kelahiran (ius soli) Asas Tempat Kelahiran (ius soli) adalah asas dimana kewarganegaraan seseorang tersebut ditentukan oleh tempat kelahirannya. Misalnya seseorang yang dilahirkan di Negara A, maka ia merupakan warga Negara dari Negara A tersebut. b. Asas Keturunan (ius sanguinis) Asas Keturunan (ius sanguinis) adalah asas dimana kewarganegaraan seseorang tersebut ditentukan berdasarkan keturunannya. Misalnya seseorang yang lahir di Inggris dari kedua orang tuanya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, maka yang bersangkutan menjadi Warga Negara Indoesia. Dan akibat digunakannya cara yang berbeda
dalam
menentukan
kewarganegaraan
tersebut,
dapat
menimbulkan lebih dari 1 (satu) kewarganegaraan yaitu bipatride atau
11
Ibid, hal. 36.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
multipatride, tetapi bisa juga seseorang tersebut bahkan tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali (apatride). Sebelum membicarakan tentang masalah status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran, maka ada baiknya mengetahui bahwa secara umum akibat dari suatu perkawinan ada 3 macam, yaitu : 1. Terhadap hubungan suami-isteri Suami-istri harus setia, tolong menolong dan bantu membantu, Pasal 105 KUHPerdata menyatakan bahwa : a. Suami adalah kepala dan persatuan suami isteri. b. Suami harus memberikan bantuan kepada isterinya. c. Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya. d. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak Rumah-Tangga yang baik. e. Suami tidak diperkenankan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik isterinya tanpa persetujuan istrinya. 2. Terhadap harta kekayaan Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “sejak saat dilangsungkannya perkawinan, demi hukum berlakulah persatuan harta kekayaan suami-istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan”. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan suami-isteri, dan menurut Pasal 120 jouncto Pasal 121 KUHPerdata, persatuan bulat itu meliputi :
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian hari. b. Penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan. c. Hutang-hutang suami atau isteri sebelum dan sesudah perkawinan. d. Kerugian-kerugian yang dialami sebelum perkawinan. Sementara itu untuk perjanjian kawin, Pasal 139 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “para calon suami-istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan tata tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut”. Pada Pasal 147 KUHPerdata menyebutkan “perjanjian kawin harus dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian tersebut akan mulai berlaku pada saat perkawinan berlangsung, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu”. 3. Terhadap Kedudukan anak Dalam KUHPerdata membagi anak 3 macam, yaitu : a. anak sah. Adalah keturunan yang dilahirkaan dari perkawinan yang sah. hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan “seorang anak yang dilahirkan atau dibenihkan di dalam perkawinan mempunyai si suami sebagai
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
bapaknya, dengan demikian hubungan anak dan bapak itu merupakan hubungan yang sah”. 12
b. Anak luar kawin yang diakui. “Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, kalau kemudian mereka mereka (orang tuanya) kawin dan dapat diakui kalau tidak kawin (Pasal 272 KUHPerdata)”. 13 Adapun untuk melakukan pengakuan terhadap seorang anak luar kawin diatur didalam Pasal 281 KUHPerdata yang menyatakan : 1. Dalam akta kelahiran si anak. 2. Dalam akta perkawinan ayah dan ibu, kalau mereka kemudian kawin. 3. Dalam akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil yang kemudian dibukukan dalam daftar kelahiran menurut tanggal dibuatnya akta tadi. 4. Dalam akta otentik. c. Anak luar kawin yang tidak diakui. Anak yang lahir dari ibu, tetapi antara mereka terdapat larangan untuk kawin menurut undang-undang dengan laki-laki yang membenihkannya. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUPdt yang menyatakan : “anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun sumbang, sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali dengan
cara
12
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta, RinekaCipta, 2004, hal. 140. 13 Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Bandung, Nuansa Aulia, 2006, hal. 68.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
dispensasi oleh Presiden dengan cara mengakuinya dalam akta perkawinan (Pasal 273 KUHPerdata). Status Kewarganegaraan Anak akibat dari perkawinan campuran menurut ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku
adalah
mengikuti
status
kewarganegaraan ayahnya, dan hal ini disebabkan karena Indonesia menganut asas Ius Sanguinis (garis darah/prinsip Nasionalitas). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang memuat dalam Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan, yang menyatakan sebagai berikut :“Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ayahnya, seorang WNI, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut, dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur
18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di
bawah 18 tahun”. Sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seorang anak dari WNI juga dengan sendirinya menjadi WNI, Akan tetapi agar ketentuan tersebut berlaku, sesuai dengan Pasal 42 Undang-undang Perkawinan, maka anak itu harus dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sementara itu, jika dikaitkan dalam perkawinan campuran (RGH) kedudukan anak akibat perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 RGH yang menyebutkan sebagai berikut : “anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut kedudukan hukum-hukum yang dulu mempunyai kedudukan hukum menurut kedudukan hukum bapak mereka, baik terhadap hukum publik maupun hukum sipil”.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Dari uraian tersebut, maka kedudukan anak di dalam perkawinan campuran sangat ditentukan oleh kewarganegaraan ayahnya. Dengan ketentuan anak harus dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, jika perkawinan tidak dilakukan dalam perkawinan yang sah anak hanya mengikut hubungan keperdataan dengan ibunya.
b. Pengertian Perkawinan Campuran Di dalam lingkungan peradaban, baik peradaban barat atau peradaban timur, “perkawinan adalah persekutuan hidup seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang yaitu bersifat yuridis dan kebanyakan juga relegius, menurut tujuan suami isteri dan undang-undang dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan”. 14 Pengertian perkawinan campuran dapat dilihat dalam 3 (tiga) sistem hukum perkawinan campuran yang berlaku di Indonesia, sebagai berikut : 1. Perkawinan campuran menurut KUHPerdata. “KUHPerdata merupakan peraturan yang berlaku untuk golongan Eropa, golongan Timur Asing-China dan untuk sebagian golongan Timur Asing Bukan China, serta sebagian atau seluruh orang lain yang menundukkan diri pada peraturan KUHPerdata. Peraturan itu tetap berlaku bagi orang yang termasuk golongan tersebut tidak merubah Hukum Perdata yang berlaku bagi mereka”. 15
14 15
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit., hal. 90. Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta, Gahlia Indonesia, 1981, hal. 69.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Gouw Giok Siong membagi perkawinan campuran menurut historis dan sistematisnya, adalah : a. “Perkawinan campuran Internasional. Menurut Gouw perkawinan internasional selalu merupakan perkawinan campuran. Perkawinan antara warganegara dan orang asing jelas merupakan perkawian yang berda dibawah hukum yang berlainan. dari sebuah keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta 1 September 1954, ternyata perkawianan yang dilangsungkan di Kairo antara seorang lakilaki warga negara Indonesia dengan seorang perempuan waraga negara Mesir berdasarkan Pasal 2 dan 10 RGH merupakan perkawinan campuran. b. Perkawinan campuran antar-regio. Perkawinan antarregio adalah Perkawinan campuran sebelum tanggal 27 Desember 1949 hukum interregional ini masih mempunyai arti, tetapi sekarang hanya merupakan sejarah. Dasar dari hubungan hukum interregional ini adalah Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving selanjutnya disebut AB. Bagi kaula Belanda yang berasal dari Hindia Belanda dan berada di Negeri Belanda atauu lain jajahan dari kerajaan Belanda, tetap berlaku hukum yang dikenal staat en bevoegheid, yang tengah berlaku di Belanda, kecuali bila mana ia bertempat tinggal dan menetp di Negeri lain, dimana berlaku hukum setempat karena terjadi perkawinan campuran. c. Perkawinan campuran antar tempat. Perkawinan campuran antar tempat adalah : antara kaula negara dan kaula swapraja, antara orang Indonesia (asli) sendiri dan berasal dari atau berdiam dalam masyarakat dan lingkungan hukum yang berlainan, antara justiabelen pengadilan asli, antara orang arab yang berasal dari atau berdiam dalam masyarakat dan lingkungan hukum berlainan, sebelum 1924 antara orang Tionghoa yang berasal dari atau berdiam dalam masyarakat dan lingkungan hukum yang berlainan. d. Perkawinan campuran antar agama, adalah : 1. Antara Indonesia Nasrani dan Indonesia bukan Nasrani. 2. Antara Indonesia Islam dan bukan Islam. 3. Antara Arab Nasrani dan Arab bukan Nasrani. 4. Antara Indonesia Hindu dan bukan Hindu. e. Perkawinan campuran antar golongan. Berlaku untuk Perkawinan antar golongan rakyat dari Pasal 163 IS”.16
16
Gouw Giok Siong, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1961, hal. 8.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Perkawinan menurut KUHPerdata adalah sama dengan perjanjian antara kedua belah pihak, dalam perkawinan tersebut perjanjian terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, untuk hidup bersama sesuai dengan syaratsyarat yang ditentukan. Istilah perkawinan (huwelijk) digunakan dalam 2 (dua) arti yaitu: a.
Perbuatan, yaitu perbuatan “melangsungkan perkawinan”, seperti yang digunakan dalam Pasal 104 KUHPerdata, yaitu “suami dan isteri dengan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian timbal-balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”, jadi perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.
b.
Keadaan hukum, yaitu keadaan bahwa seorang pria dengan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan. Keadaan hukum ini adalah sebagai akibat perbuatan.
Dalam Pasal 81 KUHPerdata ada menyebutkan bahwa, “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Berkenaan dengan hal itu, maka menurut R. Subekti yang dikutip oleh Soedaryo Soemin menegaskan bahwa, “barang siapa yang tunduk kepada KUHPerdata dalam lapangan hukum perkawinan, maka perkawinan seseorang itu
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
baru dianggap sah, apabila sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan agama dikesampingkan”. 17
2. Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam dan Hukum Kristen. Dalam bahasa Arab, “perkawinan adalah nikah yang artinya suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan wanita untuk melanjutkan keturunan”. 18 Perkawinan merupakan salah satu asas pokok hidup terutama dalam “pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia, untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain”. 19 Perkawinan menurut hukum Islam adalah “akad” (perikatan) antara wanita calon isteri dengan calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas yang berupa serah (ijab) dan terima (qabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat, jika tidak demikian, maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad yang menyatakan bahwa, “tidak sah nikah kecuali wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil”.20
17
Soedaryo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif) Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta, Sinar Grafika, 1992, hal. 4. 18 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit., hal. 27. 19 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Jakarta, Attairiyah, 1982, hal. 355. 20 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 11.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Sebenarnya “pertalian nikah adalah pertalian seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara dua keluarga, sebab baik pergaulan antara isteri dengan suaminya, kasih-mengasihi dan akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam urusan saling tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan”.21 “Akad nikah itu terdiri dari atas ijab, yakni suatu penyerahan terhadap mempelai wanita oleh walinya kepada mempelai laki-laki, dan qabul adalah penerimaan dari mempelai wanita tersebut oleh mempelai laki-laki”. 22 Sementara itu menurut Nani Suwondo, perkawinan dalam hukum Islam adalah “pernikahan yang dilakukan dengan ijab qabul yaitu penawaran oleh wali mempelai perempuan dan penerima oleh mempelai laki-laki di hadapan sekurangkurangnya
2 (dua) orang saksi laki-laki yang harus beragama Islam dan
berkelakuan baik”. 23 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), perkawinan adalah “pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, 24 dan perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah-tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sementara itu, tujuan perkawinan sendiri dalam Hukum Islam dapat dilihat dalam surat Ar-Rum Ayat (21) yang artinya
: “Dan di antara tanda-tanda
21
Sulaiman Rasyid, Loc.Cit. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1978, hal. 189. 23 Nani Suwondo, Op. Cit., hal. 49. 24 Departemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Jakarta, 1995/1996. 22
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
kebesaran-Nya bahwa Ia menjadikan pasangan bagi kamu, supaya kamu tenang bersama-sama dia serta kasih sayang dan cinta-mencintai, sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda (keterangan) bagi kaum yang mau berfikir”. Hasby Ash Shiddiqi dalam bukunya Al Islami mengatakan bahwa perkawinan mengandung aspek akibat hukum yaitu saling mendapatkan hak dan kewajiban di antara suami isteri dalam sebuah rumah-tangga. Tujuan perkawinan atau nikah sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo adalah untuk mensahkan persekutuan antara pria dan wanita, serta untuk menumbuhkan cinta kasih antara yang satu dengan yang lain dan mewajibkan yang satu menjadi teman hidup bagi yang lainnya. Secara terperinci tujuan dari nikah tersebut adalah: a. “Untuk memperoleh keturunan; memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia itu mengandung 2 (dua) segi kepentingan, yaitu kepentingan diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. b. Untuk memenuhi nalurinya sabagai manusia; dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya : “ Manusia dihiasi dengan nafsu birahi kepada wanita-wanita (Surat Al-Imran ayat 14), sedangkan Surat Al-Baqarah ayat (187) dikatakan : “Mereka (wanita-wanita) adalah pakaian bagi kamu dan kamu (laki-laki) pakaian bagi mereka itu (wanita-wanita)”. c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan; sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya : “Manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisa ayat 28), Allah menyuruh Nabi Muhammad supaya berlindung kepada Allah dari kejahatan orang yang meniup-niup dengan seutas tali (surat Al-Falaq ayat 4). d. Membentuk dan mengatur rumah-tangga : “Ia (Allah) jadikan bagi kamu jodoh-jodoh (pasangan) dari jenis kamu sendiri, supaya kamu mendapat ketentraman. Ia jadikan di antara kamu percintaan dan kasih sayang. Sesungguhnya itu menjadi pertanda bagi orang yang suka berfikir (ArRum ayat 21)”. Dengan kecintaan dan kasih sayang tersebut terbentuklah dan teraturlah rumah-tangga, yang merupakan landasan suatu masyarakat yang besar.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
e. Menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung-jawab; perkawinan menurut Goethe adalah permulaan, tetapi juga puncak dari segala peradaban”. 25 Hukum Islam membenarkan perkawinan, walaupun adanya perbedaan kewarganegaraan, dengan ketentuan agama yang dianut oleh kedua mempelai adalah agama Islam.
Bagi agama Islam memberikan pengertian perkawinan
campuran dengan perkawinan beda agama, bukan karena adanya perbedaan Kewarganegaraan sebagaimana termuat dalam Pasal 1
Undang-undang
Perkawinan yang menyatakan : “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sedangkan dalam Al Quran ada menyebutkan hal mengenai untuk saling mengenal antara lawan jenis tersebut dapat dilihat dalam Firman Allah dalam surat Al Hujarat ayat (13) yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal….”. Sebagaimana yang diuraikan di atas, maka jelas bahwa dalam pandangan Islam tidak ada larangan menikah dengan lain bangsa, akan tetapi apabila dilihat dari perbedaan agama selain ahli Kitab, Islam secara tegas melarangnya. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik
25
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Loc. Cit.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mu’min)”. Bila dilihat dari pandangan agama Kristen Katolik, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) Buku VI Kanonik 1124 menyatakan bahwa perkawinan campuran yaitu “Perkawinan antara 2 (dua) orang yang dibaptis, yang antara 1 dipermandikan dalam gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah di baptis dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan pihak yang lain tercatat pada gereja atau persekutuan gerejani yang tidak mempunyai persatuan penuh dengan gereja Katolik, tanpa izin tegas dari kuasa berwenang dilarang”. 26 Sebagaimana yang diuraikan, dapat dikatakan bahwa pengertian perkawinan campuran dalam agama Katolik adalah lebih sempit dari pengertian dalam Pasal 1 RGH, perkawinan campuran hanyalah perbedaan antara orang yang beragama Kristen Katolik dengan orang yang beragama Kristen tetapi bukan Katolik. Menurut ketentuan dalam Kanonik 1124, seorang pemeluk agama Kristen Katolik hanya boleh melakukan perkawinan campuran, bilamana telah memperoleh izin tegas dari kuasa yang mempunyai wewenang (pastur paroki/uskup) dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. “Pihak yang beragama Katolik mengatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur, bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan didik dalam gereja Katolik (Kanonik 1125 angka 1). 2. Mengenai Janji-janji yang harus dibuat pihak katolik, hendaknya pihak yang lain diberitahukan pada waktunya, sedemikian rupa sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik (Kanonik 1125 angka 2). 26
Piet Go dan O. Carm, Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks dan Komentar, Malang, Dioma, 2006, hal.126.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang pun dari keduanya (Kanonik 1125 angka 3)”. 27
3. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan. Dasar Yuridis Perkawinan Campuran di Indonesia pada Pasal 57 Undangundang Perkawinan, yaitu : “Perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewaganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Konsep perkawinan campuran
Undang-undang Perkawinan
berlainan
dengan konsep perkawinan campuran dalam staatblaad 1898-158 Pasal 1 “Perkawinan campuran adalah Perkawinan antara orang-orang Indonsia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”. “penyebab hukum yang berlainan adalah karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama, sedangkan perkawinan campuran
dalam Undang-undang Perkawinan, hanya menekankan
pada perbedaan kewarganegaraan
dan salah satunya harus kewarganeraan
Indonesia”. 28 Aturan pelaksananya dari Undang-undang Perkawinan jouncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dalam rangka pelaksanaan undang-undang tersebut ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Cara Kerja Peradilan Agama dan 27 28
Ibid, hal 128-129. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993, hal.104.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Petunjuk Mahkamah Agung Nomor : MA/Pemb/0807/75. Sementara itu, sebagai pedoman di dalam pelaksananya, maka digunakan Regeling op de Gemengde Huwelijken Staablaad 1898 Nomor 158, dengan ketentuan tidak bertentangan pada Pasal 2
angka 1 Undang-undang Perkawinan.
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan tersebut menganut beberapa asas dalam pelaksanaan perkawinan. Asas-asas tersebut juga berlaku bagi perkawinan campuran karena adanya perbedaan kewarganegaraan. Adapun asas-asas yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan ada juga menyebutkan sebagai berikut : a. “Asas Perkawinan terdaftar. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama yang sah menurut hukum positif, apabila didaftarkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Perkawinan yang tidak terdaftar tidak akan diakui sah menurut undangundang yang berlaku. b. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sekali kawin dilakukan, berlangsunglah ia seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu, tidak mengenal batas waktu. perkawinan yang bersifat sementara bertentangn dengan asas ini , jika juga dilakukan maka perkawinan itu batal. c. Asas kebebasan berkehendak. Perkawinan harus berdasarkan persetujuan bebas antara seorang pria dan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain. d. Asas monogami terbuka. Perkawinan itu hanya dibolehkan dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang berarti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami dilarang untuk kawin lagi dengan perempauan lain. e. Asas kematangan jiwa. Perkawinan dapat dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa yaitu seudah genap 21 tahun, tetapi apabila sebelum 2 tahun mereka akan melangsungkan perkawinan, batas umur minimal bagi wanita 16 tahun, bagi pria 19 tahun. f. Asas mempersulit perceraian.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Asas ini ada hubungannya dengan tujuan perkawinan kekal, dan kebebasan untuk kawin. Asas ini menuntut kesadaran pihak-pihak untuk berpikir dan bertindak secara matang dan dewasa sebelum melangsungkan perkawinan. Sekali perkawinan dilangsungkan, sulit untuk dilakukan perceraian, karena perkawinan itu kekal. g. Asas keseimbangan. Suami-istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-mading pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami sebaai kepala keluarga istri sebagai ibu rumah tangga. diantara keduanya suami-istri tidak ada yang satu mempunyai kedudukan diatas dibawah yang lainnya”. 29 Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, menyatakan perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.30 “Perkawinan merupakan ikatan lahir batin, harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun”. 31 Perkawinan merupakan hak asasi setiap manusia yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun. Hal ini
diungkapkan Nani Suwondo “bahwa
perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukan menjadi halangan untuk berkawin”, 32 namun begitu, dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Sementara itu, definisi perkawinan dalam kaitannya dengan Undang-undang Perkawinan, dikemukakan M. Yahya Harahap adalah sebagaimana berikut :
29
Ibid, hal. 70-73. Badan Penyuluhan Hukum Departemen Agama RI, Dirjen Pembinaan dan Penyuluhan Agama Islam, hal. 94. 31 K. Wan Tjik Saleh, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoefe, 1975, hal. 73. 32 Nani Suwondo, Loc. Cit. 30
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
a. “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. b. Ikatan lahir batin ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera. c. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. 33 Sedangkan K. Wantjik Saleh juga memberikan pengertian perkawinan dengan perkataan “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 34 Sementara itu juga, Zuhri Hamid ada mengatakan bahwa perkawinan itu adalah “suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama-sama dan melahirkan keturunan”. 35 Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan, “perkawinan adalah sah
apabila
dilakukan
kepercayaannya.
menurut
Tiap-tiap
perundang-undangan
yang
hukum
perkawinan berlaku.
masing-masing
harus
dicatat
Sedangkan
agamanya
menurut
pencatatan
dan
peraturan perkawinan
dilaksanakan oleh istansi yang berwenang untuk itu. Untuk yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat menurut Undang-Undang”. No. 52 Tahun 1954 Tentang Pencatatan NT (Nikah dan Talak). Sedangkan pencatatan perkawinan selain untuk agama Islam dilakukan oleh pegawai Kantor Pencatatan Sipil. Sementara itu, berdasarkan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan yang mengatakan “perkawinan campuran adalah perkawinan antara 2 (dua) orang yang
33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, CV. Zahir Trading Co, 1987, hal. 11. 34 Ibid, hal. 15. 35 Zuhri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1978, hal. 17.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
di
Indonesia
tunduk
pada
hukum
yang
berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarga Negara Indonesia”. “Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia”. 36 Selanjutnya dalam Pasal 59 Undang-undang Perkawinan juga menentukan bahwa : 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. 2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.
Sedangkan dalam Pasal 60 Undang-undang Perkawinan, menyebutkan sebagai berikut : “Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
36
Pasal 58 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam ayat (3). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan”. Selanjutnya juga dalam Pasal 61 Undang-undang Perkawinan, menyebutkan sebagai berikut : 1. “Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) undang-undang ini dihukum kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan”. Seperti yang telah dijelaskan, maka pengertian perkawinan campuran dalam Undang-undang Perkawinan memiliki arti sempit, yaitu perkawinan antara 2 (dua) orang yang berbeda warga Negara dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia.
G. Metode Penelitian Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti “cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
yang bersangkutan”. 37 Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti “cara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan”. 38 Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada penulisan tesis ini sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian Penelitian adalah “usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya”. 39 “Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan”. 40 Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat “deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada
37
Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia, 1977), Hal. 16. Em Zul Fajri dan Ratu Aprialia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Difa Publisher), Hal. 565. 39 Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 2. 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1981, hal. 43. 38
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
sekarang” 41 , berkaitan dengan tinjauan hukum tehadap anak-anak yang memperoleh status Warga Negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap masalah anak-anak yang memperoleh status Warga Negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran, yang ditinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan permasalahan anak-anak yang memperoleh status Warga Negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran.
2. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenaranya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian diperoleh melalui alat pengumpulan data bahan pustaka (Library Research) yang dapat di bagi dalam 3 kelompok, sebagai berikut: 1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mengikat, dengan fokus utama berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, yang tercakup di dalam Undang-undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
41
Winarno Surakhmad, Dasar Dan Teknik Research, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 132.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Anak dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan peraturan-peraturan lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya dari kalangan hukum serta relevan dengan penulisan ini. 3. Bahan tertier atau bahan penunjang, yakni yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, majalah dan interenet.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang relevan atau sesuai dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Setelah diinventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.
4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti terutama masalah Kewarganegaraan anak dari Perkawinan campuran setelah keluarnya Undangundang Nomor 12 Tahun 2006. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif “bertolak
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman)”. 42 Analisa data adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar”. 43 sedangkan metode kualitatif merupakan “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis”. 44 Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.
42
Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 53. 43 Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 103. 44 Ibid., hal. 3.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN YANG DIDAPAT OLEH ANAK DIBAWAH UMUR DARI PERKAWINAN CAMPURAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 A. Kedudukan hukum anak dalam perkawinan campuran Dalam kamus bahasa indonesia disebut bahwa, “anak adalah manusia yang masih kecil atau “anak-anak yang masih kecil atau belum dewasa”. 45 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Pasal 1 menyatakan “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam Undang-undang Perkawinan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata denga ibunya dan keluarga ibunya. Menurut Peraturan Menteri Hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 tahun tentang Tata cara pendaftaran memperoleh kewarganegaran Republik Indonesia berdasarkan Pasal 41 dan 42 (selanjutnya disebut Permen Daftar) menyebutkan Anak adalah anak yang lahir sebelum UUKW tentang kewarganegaraan Republik Indonesia diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
45
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal.31
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam KUHPerdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan, tercuali bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum, apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan mereka yang belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. dan mereka yang dibawah pengampuan. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UUKW yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan “UUKW yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan terbatas hak memilih setelah berusia 18 (delapan belas) tahun”. 46 Sementara itu, sistem KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, kedudukan anak dapat dibedakan atas 7 (tujuh) macam, yaitu : 47 1. Anak sah (wetting-kind). yang dimaksud adalah anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah, sedangkanm perkawinan yang sah ialah perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pembuktian tentang adanya perkawinan yang sah hanyalah melalui akta perkawinan yang telah dibukukan oleh Kantor Catatan Sipil dimana perkawinan itu berlangsung. Tiap-tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan 46 47
Pan Muhammad Faiz, Loc. Cit. Syahril Sofyan, Diktat Perkuliahan Hukum Keluarga dan Perkawinan, Magister Kenotariatan SPs USU, Medan, hal 29.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
memperoleh si Ibu dan si Bapak sebagai orang tuanya (Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); 2. Anak yang disahkan (gewettigd kind). adalah anak yang pasda mulanya dilahirkan dalam suatu hubungan yang tidak sah akan tetapi kemudian ibu yang melahirkannya dan bapak yang membenihkannya melangsungkan perkawinan yang sah. Dalam acara perkawinan itu anak (anak-anak) yang lahir sebelumnya dapat disahkan. dengan adanya pengesahaan itu seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Undang-undang ini mensyaratkan agar pengesahan itu dilakukan ketika berlangsungnya perkawinan. Kelalaian pengesahaan anak ketika berlangsungnya perkawinan hanya dapat diperbaiki dengna keputusan Presiden setelah terlebih dahulu mendengar nasihat Mahkamah Agung (Pasal 272,273 dan 274 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 3. Anak yang disahkan dengan surat pengesahan (kind gewettigd bij brieven van wettiging). adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, tetapi kedua orangtuanya bermaksud untuk melangsungkan perkawinan yang sah, hanya saja maksud tersebut terhalang akibat suatu keadaan yang tidak dapat dielakkan, misalnya karena salah seorang dari padanya meninggal dunia. kaum keluarga dari yang meninggal dunia itu dapat memohonkan agar anak yang telah dilahirkan terlebih dahulu itu disahkan melalui ketetapan Presiden setelah mendengan nasihat Mahkamah Agung (lihat Pasal 275 dan 278 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); 4. Anak angkat (adoptie) Adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan suami dan istri tetapi diangkat oleh oang lain sebagai anaknya sendiri. dengan adanya pengangkatan itu putuslah hubungan hukum antar anak itu dengan Bapak dan/atau Ibu yang melahirkan dan beralih menjadi anak orang yang mengangkatnya itu. Pada mulanya pengangkatn anaka ini diperuntukan bagi Suami dan/atau isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, khusus untuk golongan Timur Asing China (lihat Pasal 10 ayat 4 staatsbalad 1917/129; 5. Anak yang diakui sah (natuurlijk wettelijk erkend kind) Adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi oleh salah seorang darii kedua ibu bapaknya telah mengakui anak tersebut sebagai anaknya sendiri (Pasal 280 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pengakuan yang dilakukan oleh si bapak sah, haruslah atas seizin dari si ibu yang melahirkanya, dengan adanya pengakuan itu maka timbullah hubungan hukum keperdataan (burgerlijke rechtbetrekking) antara anak yang diakui itu dengan orang yang mengakuinya. Menurut Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengakuan itu haruslah dengan suatu akta otentik; 6. Anak luar nikah (natuurlijk-kind) adalah anak yang dilahirkan dai suatu hubungan hukum yang tidak sah dan tidak pula diakui baik oleh ibu alami yang melahirkannya maupun Bapak
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
yang telah membenihkannya. anak yang seperti ini dikenal dengna sebutan anak alami (Pasal 40 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). 7. Anak zinah dan anak sumbang (overspelige in bloedschande verwerkt kind) adalah anak yang dibenihkan dari suatu hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu diantranya atau pun kedua-duanya telah berada dalam status perkawinan yang sah, sedangkan anak adalah anak yang dilahirkan dari suatu hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya dilarang oleh Undang-undang untuk melangsungkan perkawinan, misalnya anatara dua orang bersaudara kandung. baik anak zinah maupun anak sumbang tidak boleh diakui, kecuali apa yang dimaksudkan dalam Pasal 273 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lihat Pasal 283 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Menurut Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan instruktur Presiden dalam hal Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut Kep.Men. KHI)
yaitu kedudukan anak ada 2 (dua)
golongan adalah : 1. Anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 99). b. Hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
2. Anak yang dilahirkan diluar perkawian hanya mempunyai hubungan nasab dengn ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak dalam
Undang-undang Perlindungan Anak adalah
Identitas dari setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran, akta kelahirannya didasarkan kepada keterangan dari orang yang menyaksikan atau membantu proses kelahiran dan jika proses kelahiran
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
tidak diketahui sementara orang tua si anak juga tidak diketahui keberadaanya pembuatan akata kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Di Indonesia perlindungan hukum bagi anak yang orang tua melakukan perkawinan campuran terjadi dalam praktek sehari-hari dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut persoalan yaitu : 1. Anak dalam perkawinan campuran yang tidak dicatat. 2. Anak dalam perkawinan campuran yang telah bercerai. 3. Anak dalam perkawinan campuran orang tua yang berbeda Agama. ad.1. Anak dalam perkawinan campuran yang tidak dicatat. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
jika perkawinan yang tidak tercatat baik dalam hal perkawinan
campuran maupun perkawinan nasional yaitu WNI dengan WNI, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, terkecuali adanya pengakuan atas anak tersebut sehingga timbullah hubungan perdata si anak dan bapak maupun ibunya. Dalam memahami Undang-undang Perkawinan, ahli hukum dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) pendapat yaitu : 1. Ahli hukum yang berpegang pada cara penafsiran legisme (bahasa). Mereka berpendapat “bahwa perkawinan yang dilakukan menurut cara berdasarkan
agama dan keyakinan dua belah pihak yang melakukan
perkawinan adalah sah, pencatatan perkawinan bukanlah syarat sah
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
perkawinan, tetapi hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan”. 48 2. Ahli hukum yang berpegang pada cara penafsiran sistematis (penafsirn undang-undang dengan asumsi bahwa antara pasal yang satu dengan pasal yang lain
saling menjelaskan dan merupakan satu kesatuan). Mereka
berpendapat “bahwa pencatatan perkawinan adalah syarat sah sebuah perkawinan, oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatat (perkawinan di bawah tangan) dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum”. 49 Sementara itu, mengenai pencatatan perkawinan di Indonesia, sebagai berikut: a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat Kantor Urusan Agama. b. Pencatatan
perkawinan
dari
mereka
yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan Pada Kantor Catatan Sipil. Dalam mencatat perkawinan calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan pelaksanaan pernikahan dapat
48
Komentar mengenai hal ini antara lain dapat dilihat dalam Hartono Mardjono, menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesian : Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Asdpek Hukum, Hukum dan Lembaga Negara, Cetakan ke-1, Bandung, Mizan, 1997, hal. 91-96. 49 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawian di Indonesia, Bandung, Pustaka bani Quraisy, 2005, hal. 73
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
dilakukan secara lisan atau tulisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua/walinya. Pemberitahuan memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga isteri atau suami terdahulu. Adapun surat-surat yang diperlukan dalam pelaksanaan Perkawinan, yaitu : 1. Surat persetujuan kedua calon mempelai. 2. Foto copy akta kelahiran calon mempelai. 3. Surat keterangan mengenai orang tua dari kelurahan. 4. Surat keterangan untuk kawin kelurahan. 5. Surat izin kawin dari pejabat yang berwenang (bagi calon mempelai anggota ABRI atau pejabat tertentu). 6. Surat kutipan buku pendaftaran talak atau cerai (jika calon mempelai seorang janda atau duda). 7. Surat keterangan kematian suami atau isteri yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang meliputi wilayah tempat tinggal atau tempat kematian suami atau isteri (jika calon seorang janda atau duda karena kematian suami atau isteri).
Pemberitahuan kehendak nikah diumumkan oleh penghulu atas dengan menempelkan surat pengumuman yang dipasang pada : 1. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mencakup wilayah tempat akan dilangsungkannya pernikahan.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mencakup wilayah tempat tinggal masing-masing calon mempelai. Karena tujuan dari pencatatan perkawinan yaitu “agar suatu pernikahan secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah dan ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak, terutama soal pembagian harta warisan, pengakuan status anak, jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat suaminya”. 50 Ditinjau dari hukum Islam terhadap perkawinan yang tidak tercatat, pada hakikatnya pernikahanya sah secara syariat, hanya tidak ada surat-surat resmi yang akan memperkuat ikatan pernikahan, karena tidak dilaporkan ke Kantor Urusan Agama. Akta perkawinan merupakan alat bukti yang sah mempunyai 3 (tiga) sifat yaitu :
1. “Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak; 2. Sebagai alat bukti penuh maksunya disamping akta perkawinan itu tidak dapat dimintakan alat-lat bukti lain; 3. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu”. 51
UUKW tidak dengan jelas mengatur mengenai pencatatan perkawinan campuran, namun dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007, 50
Dadi Nurhaedi, Nikah dibawah Tangan, Praktik Nikah Sirri, Yogya, Ar-ruzz Media, 2003, hal. 17. 51 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiodien, Hukum orang dan Keluarga, Bandung, Alumni, 1982, hal 59.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
mengatur mengenai pesyaratan bukti akta perkawinan guna memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia bagi pelaku perkawinan berlaku yang telah bercerai. Adapun perkawinan campuran yang dilaksanakan pencatatanya oleh Kantor Catatan Sipil, sebagai berikut : 1. “Perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan; 2. Perkawinan campuran berbeda Staatsblad atau golongan (Staatsblad 1933 bagi golongan Kristen, Staatsblad 1917 bagi golongan Cina , dan Staatsblad 1849 bagi golongan Eropa)”. 52 Dalam praktek ada pasangan yang setelah melakukan pernikahannya secara Islam dan dicatat di Kantor Urusan Agama mendatangi Kantor catatan Sipil, untuk melapori perkawinannya. Berdasarkan laporan tersebut “Kantor Catatan Sipil mendata dan kemudian memberitahukan pada Kantor Kedutaan yang bersangkutan mengenai perubahan status menjadi pasangan suami istri. Dengan demikian berarti perkawinan tersebut telah di catat dua kali, yaitu oleh Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil”. 53 ad. 2. Anak dalam perkawinan campuran yang telah bercerai. Dalam Agama Islam, walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh ALLAH SWT, Suami-Istri boleh melakukannya apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam KHI akibat perkawinan, karena perceraian adalah :
52 53
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Ciira Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 89. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tenang perkawinan Campuran (Dalam Hukum Perdata Internasion), Jakarta 19921993, hal 147.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : 1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu. 2. Ayah. 3. Wanita-wanita dlam garis lurus ke atas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka permintaaan kerabat yang bersangkutan kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya. Mulai saat perkawinan dilangsungkan, dalam KUHPerdata demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
masing-masing suami dan istri. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, dimana dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain,“terkecuali melakukan perjanjian kawin”, 54 sebelum pernikahan berlangsung agar harta benda perkawinan campuran dapat terpisah. Perceraian perkawinan karena perceraian tidak mengurangi
keuntung-untungan, yang karena Undang-undang atau karena
perjanjian perkawinan, telah diamankan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan itu. Dalam hukum Islam , “perjanjian perkawinan ini baru sah apabila dilakukannya sesudah kawin. Sebab itulah taklik talak, yang juga termasuk dalam perjanjian, dilaksanakan sesudah perkawinan dilangsungkan”. 55 Dalam Undang-undang Perkawinan, kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik “mengenai hukum publik maupun hukum perdata. Mengenai hukum publik, misalnya kedudukan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawinn akan mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya, dengan siapa ia mempunyai hubungan Hukum keluarga. Mengenai hukum perdata, misalnya pembagian harta warisan”. 56 Apabila perkawinan putus karena perceraian menurut KUHPerdata, maka akibat dari itu sebagai berikut :
54
Lihat R. Soetojo Prawiromidjojo, Op.Cit, hal. 57 perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawin terhadap harta kekayaan mereka. 55 Tengku Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Mestika, cetakan kedua, 2006, hal. 112. 56 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 108.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
1. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
pengasuhan
anak
pengadilan
memberikan
keputusannya. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bapak dalam kenyataannya bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Kedudukan anak dalam perkawinan campuran yang mengalami perceraian juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak, menyatakan : 1. Jika terjadi perkawinan campuran antara WNI dan WNA, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya. 2. Bila terjadi perceraian, anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya; Dalam Peraturan Pelaksanan Undang-undang Perkawinan, perceraian harus mempunyai alasan-alasan untuk bercerai. perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut ini : 1. Suami atau Isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah meninggalkan Suami atau Isteri.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Suami atau Isteri mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 3. Suami atau Isteri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 4. Suami atau Isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 5. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak lagi ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila memenuhi salah satu dari alasan-alasan tersebut diatas. Perceraian harus dengan gugatan kedepan sidang Pengadilan. Bagi yang beragama Islam, perceraian yang dilakukan didepan Pengadilan Agama adalah cerai talak, sedangkan bagi yang beragama Islam dan yang bukan beragama Islam perceraian diajukan ke Pengadilan dengan surat gugatan perceraian. Gugatan perceraian bagi yang beragama Islam diajukan kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi yang bukan Islam diajukan kepada Pengadilan Negeri.
ad. 3. Anak dalam perkawinan campuran orang tua yang berbeda Agama. Menurut Undang-undang Perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. KHI ditetapkan pula
seorang laki-laki yang beragama Islam dilarang
menikah dengan perempuan karena salah satu dari 3 (tiga) alasan :
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
1. Perempuan yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan laki-laki lain. 2. Perempan yang bersangkutan masih berada dalam waktu tunggu atau iddah. 3. Perempuan yang bersangkutan tidak beragama Islam. Dalam hukum Islam, “tidak membenarkan seorang wanita Muslim kawin dengan pria bukan muslim, tetapi hukum yang berlaku di dunia. Demi keselamatan pergaulan hidup bersama, merupakan gejala sosiologis dan bukan untuk keselamatan hidup di akhirat”. 57 Perkawinan antara seorang warganegara Indonesia dengan seorang berkebangsaan asing, dan perkawinan seperti ini termasuk kedalam Hukum Perkawinan Perdata Internasional. “Perkawinan campuran yang diatur dalam staatblaad 1898 Nomor 158 yaitu perkawinan dua orang yang masing-masing tunduk kepada hukum yang berlainan, seperti
seseorang tunduk kepada hukum eropa sementara yang lain tunduk
kepada hukum adat, hukum golongan penduduk dan hukum agama”. 58 Dalam KUHPerdata dimana undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut yang ada hubungannya dengan hukum perdata, sebab itulah KUHPerdata tidak memuat pengertian atau penentuan dari perkawinan. Ketentuan mengenai perkawinan campuran yang berbeda agama tidak didiatur secara tegas dalam UUKW, karena peraturan tersebut hanya
57 58
Tengku Jafizham, Op.Cit, hal.79. Ibid, hal. 81.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
menitikberatkan pada kewarganegaraan seseorang, adapun mengenai perkawinan yang sah adalah sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Menurut Tengku Jafizham, “selama tidak ada peraturan yang istimewa yang mengecualikan peraturan perkawinan orang Indonesia Kristen dengan orang Indonesia yang beragama lain, maka peraturan perkawian campur dapat dipandang berlaku untuk mereka”. 59 Perlindungan hukum “kedudukan anak yang berbeda agama dalam hukum Indonesia pada saat ini, apabila orang tuanya berlainan agama oleh hukum dianggap mengikuti kepada agama ayahnya”. 60 Sementara itu, bila terbuka warisan dalam hal perkawinan campuran beda agama, maka tempat pilihan hukum pengadilan yang berwenang dapat dilihat dari tempat pencatatan akta perkawinan, jika “akta perkawinan mereka dahulu tercatat di PPN pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka dapat diadili di Pengadilan Agama, tetapi kalau akta perkawinan tercata di Kantor Catatan Sipil, maka penyelesaian hukum di Pengadilan Negeri”. 61
B. Hak dan kewajiban Hukum yang didapat Anak-anak
Akibat
Perkawinan Campuran
59
Ibid, hal. 69. Roihan A. Rasyid , Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo, 2005, hal 33. 61 Ibid, hal. 44. 60
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Hak menurut Kamus Hukum adalah : “kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu, dalam bahasa belanda istilah ini disebut Recht dan dalam bahasa Inggris disebut Right”. 62 Kewajiban menurut bahasa Indonesia adalah : “Sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus dilaksanakan atau pun sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan”. 63 Hak anak menurut undang-undang kesejahteraan anak adalah : 1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya. 2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya. 3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
Sedangkan
hak
dan
kewajiban
anak
menurut
Undang-undangan
perlindungan anak yaitu : a. Anak berhak untuk : 1. Memperoleh nama sebagai identitas diri status kewarganegaraan. 62 63
Simorangkir dan Rudy T. Erwin, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hal. 60. Em Zulfazri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Difa Publisher, hal. 859.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi dan kebebasan sesuai dengan hukum. 3. Mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, dalam hal orang tua yang tidak mampu menjamin tumbuh dan perkembangnya anak, anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4. Memperoleh pelayanan kesehatan. 5. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, sedangkan anak yang cacat berhak memperoleh pendidikan luar biasa. 6. Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan dan mendapatkan perlakukaan secara manusiawi, bantuan hukum, membela diri dalam memperoleh keadilan. b. Anak berkewajiban untuk : 1. Menghormati orang tua, wali dan guru. 2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; 3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara; 4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; 5. Melaksanakan etika dan akhlak mulia. Undang-undang Perkawinan memang tidak mengatur hak-hak anak, karena tujuan undang-undang ini mengatur pasangan suami istri, tetapi juga mengatur tentang tanggungjawab orang tua terhadap anak-anak, sebagai berikut :
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan berlangsung terus-menerus meskipn perkawinan antara kedua orang tua putus. b. Orang tua mewakili anak yang dibawah kekuasaanya, mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. c. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum brumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya; d. Meskipun orang tua diberi kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pendidikan kepada anaknya. Menurut Aminah Aziz Keseluruhan hak-hak anak yang dilindungi hukum akan dapat berhasil guna bagi kehidupan anak, apabila syarat-syarat ini dipenuhi : 1. “Faktor ekonmi dn sosial yang dapat menunjang keluarga anak. 2. Nilai budaya yang memberikan kesempatan bagi pertumbuhan anak. 3. Solidaritas anggota masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak”. 64 Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Sementara itu Undang-undang Kesejahteraaan Anak, orang tua merupakan yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosila. Bila orang tua terbukti 64
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan, 1989, hal 27.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
melalaikan tanggungjawab, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan perkembangan anak, kuasa asuh dapat dicabut. Dalam Undang-undang Perkawinan, diatur mengenai hak dan kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri,
ini berarti walaupun anak-anaknya sudah kawin, jika
kenyataanya belum dapat berdiri sendiri masih tetap merupakan kewajiban orang tua untuk memperhatikan anaknya, sementara dalam KUHPerdata hanya sampai anak itu dewasa berumur genap 21 tahun. Menurut UUKW, hak seseorang untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Berdasarkan Pasal 42, kewarganegaraan diberikan pada WNI yang bermukim diluar negeri setidaknya 5 (lima) tahun, tetapi ia tidak melaporkan diri ke perwakilan Republik Indonesia. Demikian pula pada mereka yang telah kehilangan status WNI sebelum 1Agustus 2006. Namun perolehan kembali itu dibatasi selama tiga tahun sejak Undangundang tersebut diundangkan. Selain itu, perolehan kembali itu juga harus tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Adapun hak menurut Pasal 41 diberikan pada anak hasil perkawinan campuran antara ayah atau ibu WNI dan WNA. Jangka waktu pendaftarannya dibatasi 4 (empat) tahun sejak diundangkan. Anak yang dimaksud dalam Pasal 41 UUKW itu mengacu pada status anak dalam Pasal 4 UUKW. Ukurannya, pertama, anak yang lahir karena hasil perkawinan yang sah. Kedua, anak yang lahir dari perkawinan tidak sah. "Dan ketiga adalah anak-anak yang lahir dalam wilayah teritori Republik Indonesia.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam Hukum Islam memakai istilah hadhanah artinya pemeliharaan anak yang maksudnya mengasuh anak, KHI sebagai pedoman bagi Pengadilan agama memakai istilah pemeliharaan anak atau hadhanah yang didefinisikan sebagai kegiatan mengasuh, memeliharaan mendidik anak-anak sehingga dewasa atau mampu berdiri sendiri, sedangkan Istilah perwalian, penguasaan anak dan pemeliharaan anak dipakai oleh KUHPerdata, dan juga istilah pengusaan anak dipakai dalam
Undang-unang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Hukum Acara
Peradilan Agama. Secara yuridis tidak disebutkan didalam UUKW tentang hak dan kewajiban anak, tetapi dilahirkan
secara tersirat bahwa hak anak terletak
pada saat
di Indonesia dianggap berkewarganegaraan Republik
Indonesia,
“sehingga anak nantinya dua kewarganegaraan, ini dilakukan untuk menjamin perlindungan hukum status anak,
anak berkewajiban untuk memilih
kewarganegaraan pada saat berumur 18 Tahun atau sudah kawin, sehingga tidak lagi berkewarganegaraan ganda”.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DALAM PROSES PENDAFTARAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN CAMPURAN
A. Latarbelakang lahirnya UUKW. Sebelum membicarakan masalah tentang Penerapan UUKW dalam proses pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan campuran, maka ada baiknya juga membicarakan tentang Latarbelakang lahirnya UUKW, karena perkawinan campuran merupakan dasar dari pelaksanaan pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan campuran untuk mendapatkan kewarganegaraan. Warga Negara merupakan salah salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu Negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga Negara dan negaranya. Setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban terhadapn negaranya. Sebaliknya, negara juga mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Sejak
Proklamasi
Kemerdekaan
Republik
Indonesia,
hal
ihwal
kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Undang-Undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1946 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1947 Tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan
Pernyataan Berhubungan dengan Kewargaan Negara Indonesia. Selanjutnya, hal ihwal kewarganegaraan terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tersebut secara filosofis, yuridis dan sosiologis
sudah
tidak
sesuai
dengan
perkembangan
masyarakat
dan
ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila yang antara lain yaitu karena masih bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga Negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan agar kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindunagn hak asasi manusia dan hak warga Negara. Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tututan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
perlakuan dan kedudukan warga Negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Sebagaimana yang telah dijelaskan, maka berdasarkan pertimbangan perlu dibentuk suatu undang-undang kewarganegaraan yang baru sebagai pelaksanaan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan amanat agar hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dengan suatu undang-undang. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat UndangUndang Dasar Negara Tahun 1945 yang sebagaimana telah disebutkan di atas, Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut harus memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal yang antara lain yaitu asas ius sanguinis, ius soli dan campuran. Adapun asas-asas yang dianut didalam penjelasan UUKW, adalah sebagai berikut : 1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan Negara tempat kelahiran. 2. Asas ius soli (law of the soli) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUKW. 3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUKW. Sementara
itu,
dalam
UUKW
baru
tersebut,
tidak
mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Sedangkan untuk “kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak-anak dalam UUKW merupakan suatu pengecualian”.65 Selain asas yang telah diutarakan di atas, maka ada beberapa asas khusus yang juga menjadi dasar penyusunan berdasarkan penjelasan dari UUKW antara lain, yaitu : 1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagi Negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri. 2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri. 3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan sama di dalam hukum dan pemerintahan. 4. Asas kebebaran substantive adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syaratsyarat permohonan yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. 5. Asas non-diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuaan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. 6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga Negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga Negara pada khususnya.
65
Pan Muhammad Faiz, Loc.Cit.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga Negara harus dilakukan secara terbuka. 8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Sebagaimana yang telah diuraikan, maka Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Undang-Undang
yang diubah dengan
Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku digantikan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006. Selain itu semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai Kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang baru tersebut, antara lain :
1. Undang-Undang tanggal 10 Pebruari 1910 Tentang Peraturan Tentang Kekaulanegaraan Belan Bukan Belanda (Stb. 1910-296 jo, 27-458). 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara, Penduduk Negara jouncto Undang-Undang No. 6 Tahun 1947 jouncto UndangUndang Nomor
8
Tahun 1947 jouncto Undang-Undang Nomor 11
Tahun1948.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Persetujuan Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara antar Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 2). 4. Keputusan Presiden Nomor
7 Tahun 1971 Tentang Pernyataan
Digunakannya Ketentuan-Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Republik Indonesia untuk Menetapkan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Penduduk Irian Barat. 5. Peraturan
perundang-undangan
lain
yang
berkaitan
dengan
Kewarganegaraan.
B. Penerapan Prosedur Pendaftaran Kewarganegaraan Anak yang Lahir dari Perkawinan Campuran “Setiap negara berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya, dalam hal ini setiap negara memiliki kedaulatan. Negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan Negara lain juga tidak berhak menentukan atau turut campur dalam menentukan kewarga negaraan suatu negara”. 66 Negara
Indonesia
telah
menentukan
siapa-siapa
yang
menjadi
warganegara Indonesia, dalam Pasal 26 Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut :
66
Sri Jutmini dan winarno, Op.Cit, hal. 154.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
1. Yang menjadi warganegara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengn Undang-undang sebagai warga negara. 2. Penduduk adalah warga negara Indonesia an orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undangundang. Dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dapat menjadi warga negara Indonesia adalah : a. Orang-orang bangsa Indonesia Asli. adalah warga negara yang dulunya pada zaman Belanda digolongkan sebagai golongan penduduk Bumi putra. selain itu orang menjadi warganegara Indonesia karena Naturalisasi dapat pula dianggap sebagai orang Indonesia asli, apabila mereka secara turun temurun bertempat tinggal di Indonesia, bersikap dan berpikir secara Indonesia, setia kepada Negara Republik Indonesia, falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
b. Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang menjadi warganegara. merupakan orang peranakan Belanda, Tionghoa, peranakan Arab dan juga WNA lainnya bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan “bahwa penduduk negara Indonesia terdiri atas 2 (dua) yaitu : warganegara dan orang asing”, namun demikian, dalam menentukan kewarganegaran seseorang,
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
maka negara tidak boleh melanggar “general principles” atau asas-asas umum hukum internasional tentang kewarganegaraaan, sebagai berikut : 1. “Suatu negara tidak boleh memasukan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan sedikit pun dengan negara yang bersangkutan sebagai warganegaranya, misalnya; Indonesia bebas menentukan siapa yang akan menjadi warganegara, tetapi Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa semua orang yang ada di kutub selatan ada juga warga negaranya. 2. Suatu Negara tidak boleh menentukan kewarganegaraan berdasarkan unsurunsur primordial yang dirasakan bertentangan dengan general principles, misalnya; Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa yang dapat menjadi warga ngara Indonesia adalah orang yang beragama islam saja atau orang dari suku batak saja”. 67
Warganegara Indonesia Pasal 4 UUKW adalah : 3. “Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; 4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; 5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seseorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing; 6. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia. 7. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; 8. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawianan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; 9. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang Warga Negara Indonesia; 10. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak terseb berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; 11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; 67
Ibid.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
12. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; 13. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; 14. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seseorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; 15. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraanya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia”.
Dalam
praktek
kewarganegaraan
yang
terjadi
sehari-hari
yang
menjadi
persoalan
justru ketika perkawinan akan dilangsungkan, karena pria
maupun istri berbeda kewarganegaran yaitu WNI dengan WNA, sehingga diperlukan suatu peraturan-peraturan hukum untuk menyelesaikan hal tersebut, yang pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia diterapkan dalam Pasal 2 angka 2 Undang-undang Perkawinan, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. Syarat-syarat yang ditentukan dalam Perkawinan yang berlaku bagi perkawinan campuran karena adanya perbedaan kewarganegaraan, yaitu : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum memcapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Bila orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang tersebut dalam nomor 2, 3 dan 4, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin. 6. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, menurut Pasal 59 ayat 2 Undang-undang Perkawinan tentang syarat perkawinan yang bersifat umum, maka dapat dilihat beberapa tata cara pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia yang menganut prinsip domisili dan prinsip nasionalitas yang dianggap sah, apabila memenuhi kriteria, yaitu : a. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa pasal tersebut mengandung ketentuan prinsip domisili, karena berlaku ketentuan hukum Indonesia walaupun salah satu pihak dalam perkawinan tersebut adalah pihak warga Negara asing. b. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
berlaku bagi pihak masing-masing telah terpenuhi. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa ketentuan tersebut mengandung prinsip nasionalitas (personalitas), karena disamping harus tunduk pada ketentuan yang berlaku di Indonesia, juga yang bersangkutan harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dari negara asal salah satu calon mempelai dari perkawinan tersebut.
Dalam hal perkawinan campuran, anak juga menjadi permasalahan untuk mendapat kewarganegaraan Republik Indonesia pada peraturan Perundangundangan dulu yaitu Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, tetapi setelah keluarnya Undang-undang UUKW nomor 12 tahun 2006 yang berlaku mulai diterapkan pada tanggal 5 Oktober 2006 dan Peraturan Menteri Hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 tahun tentang Tata cara pendaftaran memperoleh kewarganegaran Republik Indonesia (selanjutnya disebut Permen Daftar). Bila dibandingkan dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaran, menyatakan : (1). Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganeraan itu. (2). Untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pemohon harus : a. Sudah berumur 21 tahun. b. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-sedikitnya 5 (lima) tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut; c. Apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan istri.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
d. Cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah di hukum, karena melakukan suatu kejahatan yang merugikan Republik Indonesia; e. Dalam keadaan sehat rohani dan jasmani; f. Membayar pada kas Negeri uang sejumlah antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang ditentukan besarnya oeh jawatan Pajak tempat tinggal berdasarkan penghasilannya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan; g. Mempunyai mata pencarian yang tetap; h. Tidak mempunyai kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (3). Permohonan untuk pewarganegaraan harus disampaikan dengan tertulis dalam bahasa Indonesia dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negara atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon.
Dengan UUKW yang baru, anak yang dapat mengajukan sebagai WNI melalui pejabat atau perwakilan RI kepada Menteri , sebagai berikut: 1. Anak yang lahir dari perkawian yang sah dari Perkawinan campuran. 2. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) atau belum kawin. 3. Anak yang dilahirkan di luar Wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah WNA dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayah WNA. 5. Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
Pelaksanaan Pendaftaran di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh WNI bagi Anak, sebagai berikut : 1. Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaran Indonesia bagi anak dilakukan oleh salah seorang tua atau walinya dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia. 2. Permohonan
pendaftaran
harus
melengkapi
syarat-syarat
pendaftaran
permohonan kewarganegaraan untuk anak-anak, adalah sebagai berikut : a. Fotokopi kutipan akta kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atauperwakilan Repbublik indonesia. b. Surat pernyatan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin. c. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia. d. Pasphoto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar. e. Fotokopi kutipan akta perkawinan/buku nikah atau kutipan akte perceraian/ surat talak / perceraian, akta keterangan / kutipan akte
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah. f. Fotokopi
kutipan
pengangkatan anak
akta
pengakuan
penetapan
pengadilan
tentang
yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau
perwakilan Republik Indonesia bagi anak-anak yang diakui atau diangkat. g. Fotocopi Kartu Tanda Penduduk warga negara asing yang disahkan oleh pejabat yang berwenang bagi anak yang sudah berusia 17 tahun dan bertempat tinggal diwilayah Republik Indonesia. h. Fotokopi kartu keluarga orang tua yang disahkan oleh pejabat yang berwenang bagi anak yang belum wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia. (lihat lampiran I). 3. Menteri memeriksa kelengkapan permohonan pendaftaran dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permohonan pendaftaran diterima, bila belum lengkap (lihat lampiran II). 4. Jika permohonan telah lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hati kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau perwakilan Republik Indonesia kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. (lihat lampiran III)
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Bila anak
belum memiliki paspor Republik Indonesia,
namun telah
mendapat SK WNI dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pihak Imigrasi nantinya tetap akan memperlakukan anak hasil kawin campur ini seperti WNI lainnya. “Caranya, paspor asing tersebut akan di stempel tanda khusus oleh kantor Imigrasi yang menandakan dia adalah subyek dari Pasal 41 UU Nomor 16 Tahun 2006”. 68 Paspor ini akan berlaku sampai anak berusia 18 tahun atau sudah menikah. Begitu usia mereka lebih dari 18 tahun, maka “mereka wajib memilih kewarganegaraan RI atau asing. Jika memilih RI, maka paspor RI pun bisa terus diterbitkan. Namun kalau memilih menjadi WNA, maka Republik Indonesia tidak akan terbitkan lagi paspor untuk mereka”. 69 Untuk orang yang hilang kewarganegaraannya yang bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan Republik Indonesia, sebelum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia diundangkan
dapat
memperoleh
kembali
kewarganegaraannya
dengan
mendaftarkan diri di Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 3 (tiga)
tahun
sejak
Undang-undang
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
68
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sah Jadi WNI, Anak Hasil Kawin Campur Bisa Peroleh Paspor RI, http://www.depkumham.go.id/xdephukhamweb/xberita/xumum/kawin+campur. html, 12 Oktober 2006. 69 Ibid.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
kewarganegaraan
Republik
Indonesia
diundangkan,
sepanjang
tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Pelaksanaan Pendaftaran di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh WNI bagi Anak, sebagai berikut : 1. WNI yang bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik selama 5 (lima) tahun atau lebih yang tidak melaporkan diri kepada Perwakilan Republik Indonesia, dan Permohonan pendaftaran diri diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada perwakilan Republik Indonesia tempat tinggal pemohon. 2. Permohonan pendaftaran harus melengkapi syarat-syarat bagi yang ingin memperoleh kewarganegaran untuk orang dewasa (lihat lampiran IV), adalah sebagai berikut : a. Fotokopi kutipan akta kelahiran pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan bertempat tinggal pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. c. Fotokopi kutipan akte kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk Warga Negara Indonesia suami atau isteri pemohon yang disahkan pejabat yang berwenang. d. Fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah pemohon dan suami atau istri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. e. Surat Keterangan dari kantor Imigrasi di tempat tinggal pemohon yang menerangkan bahwa pemohon telah bertempat tinggal di Indonesia
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau palaing singkat 10 (sepuluh) tahun. f. Surat keterangan catatan kepolisian dari kepolisisan tempat tinggal pemohon. g. Surat keterangan dari perwakilan negara pemohon yang menerangkan bahwa setelah pemohon memperoleh kewarganegaran Republik Indonesia, kehilangan kewarganegaran Republik Indonesia yang bersangkutan. h. Pernyataan tertulis bahwa pemohon akan setia kepada negara kesatuan Republik Indonesian, Pancasila, Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya sebagai (lihat
Warga lampiran
Negara V)
Indonesia
dan
dengan
pernyataan
tulus
kesedian
dan
ikhlas
menanggalkan
kewarganegaraan Asing (lihat lampiran VI). i. Pasfhoto pemohon berwarna ukuran 4X 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar. 3. Kepala
perwakilan
Republik
Indonesia
memeriksa
kelengkapan
permohonana pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan pendaftaran diterima (Pasal 11 ayat 1 Permen Daftar), bila belum lengkap Kepala Perwakilan Republik Indonesia mengembalikan permohonan pendaftaran kepada pemohon dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
tanggal permohonan pendaftaran diterima (lihat lampiran VII). dan bila pernyataan pemohon lengkap (lihat lampiran VIII). Menteri menetapkan keputusan telah memperoleh kembali kewarganegaraaan Republik Indonesia. 4. Pemberitahuan tentang kewajiban pemohon untuk menyerahkan tanda terima pengembalian dokumen atau surat-surat keimigrasian negara asing kepada kepala Perwakilan Rebuplik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh Pemohon (Pasal 13 ayat 3 Permen Daftar). 5. Kepala Perwakilan Republik Indonesia melaporkan kepada Menteri tentang penyerahan Keputusan Menteri (Pasal 13 ayat 4 Permen Daftar). Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI BAGI ANAK SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
A. Masalah-Masalah yang di Hadapi Anak-anak Dalam Perkawinan Campuran. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan yang dulu menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam “Undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang WNA”. 70 Bila dibandingkan sebelum keluarnya UUUKW yang baru masalahmasalah yang dihadapi dalam praktek kejadian sehari-hari, yaitu : 1. Anak hasil perkawinan campuran ibu WNI dan Ayah WNA, yaitu : a. Anak
yang
dihasilkan
kewarganegaraan ayah
70
dari
perkawinan
otomatis
mengikuti
WNA dam Perempuan WNI tidak berhak
Pan Muhammad Faiz, Op. Cit.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
memberikan kewarganegaraan Indonesia bagi anak-anak dilahirkan dalam perkawinan. b. Hak asuh tinggal di Indonesia bagi anak-anak di bawah umur harus meminta persetujuan menteri, artinya kita tidak dapat mengasuh anak-anak kita sendiri tanpa mendapat izin pemerintah. c. Bila kita berhasil mendapatkan “visa tinggal” untuk anak kita sendiri pun, ijin tinggal yang diberikan bagi si anak dibatasi dan harus diperpanjang setiap tahun selain itu kita juga harus melapor ke polisian, kelurahaan, kecamatan, kabupaten, kependuduk tingkat provinsi. Setiap tahun harus dikeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengurusan surat surat tersebut dan memakan waktu yang relatif lama. d. Bila akan keluar negerii anak-anak tersebut memerlukan reentry visa dari kantor imigrasi setempat yang juga memerlukan biaya. e. Anak-anak tidak dapat bersekolah di sekolah-sekolah lokal, padahal sekolah internasional biayanya sangat mahal. f. Spoonsor ibu bagi anak hanya berlaku sampai si anak berusia 18 tahun sesudah itu si anak harus keluar dari Indonesia atau tepatnya berpisah dari ibunya. g. Anak-anak yang sudah dewasa dan mampu bekerja tidak dapat bekerja di Indonesia
tanpa sponsor perusahaan, padahal Indonesia masih
mengharuskan
tenaga
asing
yang
bekerja
di
Indonesia
harus
berpengalaman dan mempunyai keahlian. Anak-anak ini sebagian besar menghabiskan masa mudanya sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Indonesia, menuntut ilmu di luar Negeri dan ingin kembali ke Indonesia tidak bisa karena terbentur peraturan yang berlaku sebagaimana WNA umumnya. h. Anak-anak ini ketika datang kekampung halamanya pun tetap harus mengambil visa, seperti umumnya turis biasa yang tidak ada hubungan darah dengan WNI. 2. Anak hasil perkawinan campuran ibu WNA dengan ayah WNI, yaitu : a. Anak-anak
yang
kewarganegaraan
dilahirkan ayah
kewarganegaraannya,
WNI,
tapi
si
dari
hasil
kalaupun anak
perkawinan ibu
terpaksa
dapat harus
mengikuti memberikan kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya. b. Bila ayah meninggal dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah ibu dapat menjadi wali bagi anak-anaknya yang WNI di Indonesia. c. Bilas suami pegawai negeri meninggal, tidak jelas apakah istri WNA dapat memperoleh pensiun suami untuk keperluan anak-anaknya. d. Bila ayah meninggal atau kehilangan pekerjaaannya sementara ibu tidak boleh bekerja di Indonesia, maka terpaksa si ibu kembali kenegaranya dan anak-anak harus dipisahkan dari budaya Indonesia yang sudah melekat sejak lahir dan menjadi WNA di negara ibunya.
Berbeda dengan masalah-masalah yang dihadapi
anak dari hasil
perkawinan campur yang dihadapi pada UUKW yang baru, masalah yang disebut diatas terlalu bertele-tele dan prosedur terlalu lama, akan tetapi UUKW yang baru
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
juga mempunyai permasalahan pada anak perkawinan campur, dimana akan terjadi kewarganegaraan ganda terbatas pada anak. Didalam UUKW yang baru “setiap anak yang lahir yang orang tuanya melakukan perkawinan campuran, bebas mendapat kewarganegaraan baik WNI atau pun WNA”. 71 meskipun demikian banyak perdebatan pendapat para sarjana hukum atas UUKW mengenai anak yang lahir dikenakan dua kewarganegaraan. Menurut Ramly, kewarganegaran ganda mungkin bisa diterapkan tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek lain seperti hukum, ekonomi, politik dan keamanan dari seseorang yang berkewarganegaraan ganda. Pan
Muhammad
Faiz
mencontohkan
misalnya
“XX,
pemegang
kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sama jenis. Dalam hukum Indonesia, dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan dalam hukum Belanda diperbolehkan, maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya, dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya. “Hal ini penting untuk menghindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara”. 72
71
Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, Dephukham serahkan Surat Keputusan kewarganegaraan Anak perkawinan campuran, http://www.hukumonline.com.html, 22 Nopember 2006. 72 Pan Muhammad Faiz, Loc.Cit.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Namun demikian, menurut Zulfa, hukum yang berlaku dalam hal terjadi kewarganegaraan ganda umumnya akan dipilih salah satu yang dapat dipergunakan sebagai titik taut yang menentukan, sebagai berikut : a. Akan dipakai hukum sang hakim (lex fori), yaitu apabila salah satu dari kewarganegaraan itu merupakan pula hukum dari pada negara dimana perkara diajukan. Bila seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda dan salah satunya adalah WNI, maka orang ini tidk bisa dianggap sebagai orang asing. Orang itu adalah WNI, jika terjadi masalah hukum dimana, peristiwa hukum itu terjadi, maka orang itu bisa diperkarakan secara hukum pula ditempat pelanggaran hukum terjadi; b. Akan dipakai kewarganegaraan yang efektif atau aktif dari orang yang diperkarakan apabila kedua kewarganegaran itu merupakan kewarganegaraan asing bagi snag hakim. Suatu kewarganegaraan dapat dianggap efektuf dan aktif, jika hubungan yuridis antara orang dan negara bersangkutan adalah sesuai dengan keadaan hidup de facto, tingkah laku, perasaan-perasaan dari orang yang bersangkutan. Hakim harus menyelidiki kewarganegaraan manakah yang peling hidup bagi yang bersangkutan ini. Bagi anak-anak yang memiliki status kewarganegaraan ganda terbatas akan memiliki dua paspor sekaligus. Teknisnya, dalam paspor asing anak-anak itu akan distempel dengan keterangan bahwa pemilik paspor ini merupakan subyek pasal 41 UUKW. “Sehingga anak yang masuk kategori WNI ganda bisa menggunakan paspor asing dan Indonesia. Meski memiliki dua paspor namun harus tetap diperlakukan sebagai WNI”. 73 Hingga menginjak usia 18 tahun, anak hasil perkawinancampur itu akan memiliki kewarganegaraan ganda. "Disinilah letak perubahan fundamentalnya,"
73
Dephukham serahkan Surat Keputusan kewarganegaraan Anak perkawinan, Loc.Cit.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Bila ada anak yang lahir di Indonesia tapi kewarganegaraan orangtuanya tidak teridentifikasi, dia juga otomatis menjadi warga negara Indonesia. 74
B. Manfaat bagi anak dalam perkawinan campuran Meskipun UUKW yang baru juga mempunyai kekurangan-kurangannya, tetapi juga
didalam prakteknya membawa manfaat. Setelah diundangkannya
UUKW, “Seluruh anak hasil kawin campuran baik yang sah atau maupun tidak, kini bisa menjadi WNI, tidak terkecuali bagi anak hasil kawin campuran yang ibunya berasal dari luar negeri”. 75 Anak yang dimaksud dalam Pasal 41 UUKW itu mengacu pada status anak pada Pasal 4 UUKW yang ukurannya, pertama, anak yang lahir karena hasil perkawinan yang sah. Kedua, anak yang lahir dari perkawinan tidak sah. "Dan ketiga adalah anak-anak yang lahir dalam wilayah teritori Republik Indonesia". 76 Status warga negara bagi anak hasil perkawinancampuran, merupakan hal paling
revolusioner
pada
UUKW
baru
itu.
"Dulu,
bila
sang
ayah
WNA, maka kewarganegaraanya mengikuti ayahnya," kini, anak tersebut bisa menjadi
WNI
atau
memilih
mengikuti
kewarganegaraan
ayahnya.
74
Gatra, Ganda Campuran Anak Terbatas, Kamis 2 November 2006. Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, Seluruh anak anak hasil kawin campuran langsung jadi WNI, http://wwwdepkumham.go.id/xdephukhamweb/xberita/xumum/kawin+campur. html, 12 Oktober 2006. 76 Gatra, Op.Cit. 75
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia Hamid Awaludin, “sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tercatat sekitar 700 anak hasil perkawinan campuran disahkan WNI”. 77 Anak hasil perkawinan campuran yang telah mendapati Surat Keputusan selanjutnya disebut SK Kewarganegaraan Indonesia, kini bisa memiliki paspor yang diterbitkan Indonesia. Mereka pun tetap berhak memiliki dan menggunakan paspor luar negeri yang diterbitkan oleh negara asal orang tua mereka. Paspor ini akan berlaku penuh di Indonesia, dan khusus anak yang telah disahkan menjadi WNI, namun belum memiliki paspor Indonesia, untuk mempermudah mereka bepergian atau datang ke Indonesia, maka paspornya akan diberi tanda khusus oleh Kantor Imigrasi, yang menandakan bahwa pemilik paspor ini adalah WNI, yang baru saja disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak asasi
Manusia.
Sehingga
“petugas
Imigrasi,
bisa
membebaskan
dan
memperlakukan yang bersangkutan sebagai WNI, dan untuk anak berwarganegara ganda ini bisa menggunakan paspor WNI maupun paspor asingnya hanya dalam perlakuannya petugas Imigrasi tetap memperlakukannya sebagai WNI”. 78 Dengan diperolehnya SK WNI, maka anak hasil kawin campur tidak perlu lagi mengurus visa, Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP), dan bila hendak bepergian ke luar negeri, paspor RI sudah bisa mereka peroleh dari kantor Imigrasi setempat, akan tetapi jika pergi 77
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tujuh ratus anak kawin campur jadi WNI, http://jurnal www.ina.go.id/id/index , 4 April 2007 78 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sah Jadi WNI, Anak Hasil Kawin Campur Bisa Peroleh Paspor RI, http://www.depkumham.go.id/xdephukhamweb/xberita/xumum/kawin+ campur.html, 12 Oktober 2006.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
keluar negeri dengan paspor RI,“pulangnya pun harus menunjukkan paspor RI, Jangan perginya paspor RI, pulangnya paspor asing, untuk memperoleh paspor mereka cukup datang ke kantor Imigrasi dengan membawa SK WNI, serta beberapa dokumen lainnya seperti layaknya WNI yang mengurus paspor. Paspor yang diterbitkan oleh kantor Imigrasi pun nantinya sama persis dengan paspor milik WNI lainnya”. 79 Didalam UUKW yang baru, tidak dijelaskan secara tegas mengenai sangsi keterlambatan pendaftaran WNI ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, setelah melewati batas 3 tahun dari usia 18 tahun. Seharusnya pemberian sangsi lebih baik ada, berupa denda ataupun setelah lewat 5 tahun dari batas usia anak dianggap WNA. Hal ini untuk menjamin kepastian perlindungan hukum. Bila anak mendapat harta warisan, hibah maupun wasiat dari orang tuanya atau pun pemberian dari seorang WNI, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria pada Pasal 21, hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. WNI yang berpindah WNA wajib melepaskan hak milik dalam waktu 1 tahun, jika lewat waktu maka hak itu hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
79
Ibid.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut : A. Kesimpulan. 1. Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tidak menyebutkan hak dan kewajiban hukum anak, tetapi secara tersirat anak-anak dibawah umur dari hasil perkawinan campuran yang dilahirkan di Indonesia, berhak memiliki kewarganegaraan Republik Indonesia. Untuk menjamin kepastian perlindungan hukum anak 2. Penerapan Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dilakukan kepada anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan orang-orang yang
kehilangan
kewarganegaraan.
Penerapan
prosedur
pendaftaran
kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran telah dilaksanakan di Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, tanpa ada campur tangan Notaris untuk akta atau surat lainnya. 3. Masalah-masalah yang dihadapi anak hasil perkawinan campuran adalah memiliki status kewarganegaraan ganda. Karena hal ini membuat anak akan memiliki dua paspor sekaligus yaitu WNI dan WNA. Namun manfaat Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, anak dari hasil perkawinan campuran dapat memperoleh SK WNI, sehingga tidak perlu lagi mengurus Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP).
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
B. Saran 1. Hendaknya pada Pasal 6 Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Diberi kemudahan bagi anak, untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, walaupun belum melewati usia 18 tahun, bila terkait dengan penentuan hukum untuk status person si anak tidak jelas (Obscuur). 2. Hendaknya
pemerintah
mempermudah
pelayanan
dalam
prosedur
memperoleh kewarganegaraan, untuk anak maupun orang yang kehilangan kewarganegaraan dan dalam hal pengurusan tidak mempersulit waktu. Hal ini dapat terlihat dari Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Kewarganegaraan RI, diberi jangka 14 hari pemeriksaan pemohon kewarganegaraan dan penetapan keputusan kewarganegaraan dalam waktu 30 hari sejak tanggal permohonan pendaftaran. 3. Hendaknya dalam UUKW yang baru pemerintah memberikan sangsi yang tegas, bila keterlambatan dalam pendaftaran WNI anak yang telah melewati batas jangka waktu 3 tahun dari usia 18 tahun, berupa denda dan WNI yang terlambat mendaftar ke Departemen hukum dan hak asasi manusia melewati 5 tahun dari batas usia anak dianggap berkewarganegaraan WNA. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press, 1994. Afandi, Ali, Hukum waris Hukum Keluarga hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 2004. Aziz, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU ress, Medan, 1989. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporang Akhir Pengkajian Hukum Tenang perkawinan Campuran(Dalam Hukum Perdata Internasional, Jakarta 1992-1993. Bakry, Hasbullah, Pengaturan Undang-Undang Perkawinan Ummat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970. ----------, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1978. Bungi, Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Departemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Jakarta, 1995/1996. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Perkmbangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.
Gautama, Sudargo, Segi-Segi Peraturan Perkawinan Tjampuran, Bandung, Alumni, 1973. ----------------------, Pengaturan Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1977. Hadikusumo, Hilman, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Mandar Maju, 1990. Hamid, Zuhri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1978. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, CV. Zahir Trading Co, 1987.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Jafizham, Tengku, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Mestika, cetakan kedua. Jutmini, Sri dan winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007. Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1977. Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama, Surabaya, PP. Rabithan Ma’ahidil Islamiyah dan Dinamika Press. Mardjono, Hartono, menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesian : Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Hukum dan Lembaga Negara, Cetakan ke-1, Bandung, Mizan, 1997. Maria Ulfah Sudibyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Yayasan Idayu, 1981. Meliala, Djaja, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum keluarga, Jakarta, Nuansa Aulia, 2006. Moleong, Lexy J., Metode Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993. Nurhaedi,Dadi, Nikah dibawah Tangan, Praktik Nikah Sirri, Yogya, Ar-ruzz Media, 2003. Prawirohamidjoyo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University,1986. ---------, Hukum orang dan Keluarga, Bandung, Alumni, 1982. Prinst, Darwan Hukum Anak Indonesia, Ciira Aditya Bakti, Bandung, 1997. Rasyid , Roihan. A,Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo, 2005. Ridwan Khairandy dan Nandang Sutrisno, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999. ---------, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Saleh, K. Wan Tjik Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoefe, 1975. Simorangkir dan Rudy T. Erwin, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2000. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1981. Soemin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif) Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta, Sinar Grafika, 1992. Sofyan, Syahril, Diktat Perkuliahan Hukum Keluarga dan Perkawinan, Medan, Magister Kenotariatan SPS USU, 2006. Subagyo, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1997. Subekti, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradyna Paramitha, 1990. Surakhmad, Winarno, Dasar Dan Teknik Research, Bandung, Tarsito, 1978. Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta, Gahlia Indonesia, 1981 Waluyo, Bambang Penelitian Hukum Dalam Pratek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Wignjodiporo, Soerojo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1971. Zulfazri, Em dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Difa Publisher, hal. 859. B. Peraturan Perundangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Regeling OP de Gemengele Huwelijkn (GHR/Peraturan Perkawinan Campuran). Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan. Peraturan Pemerintahan No. 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 42 UndangUndang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : M.02-HL.05.06 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia. C. Website Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, Dephukham serahkan Surat Keputusan kewarganegaraan Anak perkawinan campuran, http://www.hukumonline.com.html, 22 Nopember 2006. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sah Jadi WNI, Anak Hasil Kawin Campur Bisa Peroleh Paspor RI, http://www.depkumham.go.id/xdephukhamweb/xberita/xumum/kawin+campur.ht ml, 12 Oktober 2006. Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, Seluruh anakanak hasil kawin campuran langsung jadi WNI, http://wwwdepkumham.go.id/xdephukhamweb/xberita/xumum/kawin+campur.ht ml, 12 Oktober 2006. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tujuh ratus anak kawin campur jadi WNI, http://jurnal www.ina.go.id/id/index .4 April 2007. Pan Muhammad Faiz, Status Hukum Anak Hasil perkawinan Campuran, http://jurnal hukum.blog.spot.com/2007/03/perkawinan-campuran-2.html, Jurnal Hukum, 17 September 2006. D. Majalah Gatra, Ganda Campuran Anak Terbatas, Kamis 2 November 2006.
T. Ferzialdi Hanafiah : Tinjauan Hukum Terhadap Anak-Anak yang Memperoleh Status Warga Negara Indonesia Dari Hasil Perkawinan Campuran, 2008. USU e-Repository © 2008