TESIS
DAMPAK HUKUM PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PERSEORANGAN WARGA NEGARA ASING
POPPY EUNIKE NANY 1192461039
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
DAMPAK HUKUM PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PERSEORANGAN WARGA NEGARA ASING
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
POPPY EUNIKE NANY 1192461039
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN SEMINAR HASIL TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : .........................
KOMISI PEMBIMBING Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. T.I.P Astiti, S.H., M.S. NIP. 19471117 197503 2 001
Dr. I.B. Agung Putra Santika, S.H., M.Kn. NIP. -
Mengetahui : Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Univeristas Udayana
Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H. NIP 19650221 199003 1 005
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa: Nama
:
Poppy Eunike Nany
NIM
:
1192461039
Program Studi
:
Kenotariatan
Judul Tesis
:
Dampak Hukum Pemberian Hak Tanggungan Atas Nama Perseorangan Warga Negara Asing
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 19 Februari 2014 Yang membuat pernyataan
Poppy Eunike Nany
iv
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Dampak Hukum Pemberian Hak Tanggungan Atas Nama Perseorangan Warga Negara Asing”. Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. T.I.P Astiti, S.H., M.S. selaku pembimbing pertama dan Dr. I.B. Agung Putra Santika, S.H., M.Kn. selaku pembimbing kedua, yang telah meberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Prof.
v
Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H. atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana juga kepada panitia penguji tesis, Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. dan Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.H. yang telah memberikan masukan dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa serta Bapak dan Ibu staf beserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak membantu kelancaran proses administrasi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang tercinta kedua Almarhum orang tua penulis, kepada suami yang tercinta Reza Tyrama, SH, anakanak penulis; Shane, Kevin, Owen, Kim, Quesha, Enji, Rayhan, Chika dan kepada bapak Hendra Dihardja, bapak Abidin, S.H. beserta istri, bapak Sukedi, S.H., Bude Joice, Evva serta Mega para staf Indo-gateway dan seluruh rekan-rekan seangkatan yang selalu setia mendukung dalam doa dan memberikan semangat kepada penulis, serta para pihak yang namanya tidak tercantum tetapi lebih banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Terima kasih. Denpasar, 19 Februari 2014 Penulis
vi
ABSTRAK DAMPAK HUKUM PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PERSEORANGAN WARGA NEGARA ASING Kekaburan norma hukum Pasal 9 UUHT dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA dalam praktik pemberian HT kepada WNA tidak cukup memberikan rasa keadilan serta bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang dianut dalam UUPA akibat dari penyelundupan hukum yang dilakukan oleh WNA melalui perjanjian dan kesepakatan notariil termasuk di antaranya melalui pemberian hak tanggungan. Berdasarkan gambaran masalah tersebut maka dirumusankan masalah sebagai berikut: siapa saja yang dimaksudkan dengan perorangan sebagai subjek hak tanggungan dalam ketentuan Pasal 9 UUHT? dan bagaimanakah dampak/akibat hukum dari APHT dan HT dengan subjek hukum WNA jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA? Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis, dan pendekatan sejarah. Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pembuat undang-undang dan pemerintah pelaksana urusan pertanahan agar melakukan kajian lebih lanjut terhadap Pasal 9 UUHT untuk melindungi hak milik atas tanah WNI. Notaris/PPAT harus berperan aktif dalam upaya penegakan asas nasionalitas dalam urusan pertanahan, menghindari berbagai upaya penyelundupan hukum yang dapat menguntungkan pihak asing dalam pemanfaatan tanah di Indonesia. Kata-kata Kunci: Akibat Hukum, Hak atas Tanah, Warga Negara Asing Pemegang Hak Tanggungan.
vii
ABSTRACT LEGAL CONSEQUENSES OF GIVING THE RIGHT LIABILITY TO A FOREIGNER Vagueness of Article 9 UUHT legal norms related to Article 26 point (2) of the Agrarian Law (UUPA) in the legal practice of providing the Right Liability to a Foriegner does not present sufficient sense of justice and is in the contrary of national principles substantiated in the Main Agrarian Law (UUPA) as a result of the legal smuggling commited by a foriegner via an agreement and Notary’s agreement, including, among other thing, the povision of Right of Liabilty. The formula of the problem: Who is meant by the individual representing the subject of Right of Liability as specified in the provision of Article 9 of Law The Right Liability (UUHT)? How are the legal consequenses of a Deed of Right of Liability Grant (APHT) and Right of Liability held by a foriegner being the legal subject, if connected with the provision of Article 29 point (2) of the Main Agrarian Law (UUPA)? This research is a normative legal research, using statuete approach , statutory, analytical and conceptual approach and historical approach. while legal materials used in this research consist of primary, secondary, and tertiary legal material. Law makers and implementers government dealings in land in order to do further study on Article 9 UUHT to protect indigenous land ownership. Notary/PPAT should take an active role in the enforcement efforts of citizenship in the course of land use, prevent smuggling law of efforts that might benefit foreigners in land use in Indonesia. Key Words: Legal Consecuenses, Right of Land, Foreigner as the holder of the Right of Liability.
viii
RINGKASAN DAMPAK HUKUM PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PERSEORANGAN WARGA NEGARA ASING Beranjak dari kekaburan norma hukum Pasal 9 UUHT dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA dalam praktik pemberian HT kepada WNA menimbulkan pertentangan terhadap prinsip nasionalitas yang dianut dalam UUPA. Hal ini sebagai akibat dari penyelundupan hukum melalui perjanjian dan kesepakatan notariil termasuk diantaranya melalui pemberian hak tanggungan dengan menggunakan obyek hak milik. Berdasarkan gambaran masalah tersebut maka dirumusankan masalah sebagai berikut: siapa saja yang dimaksudkan dengan perorangan sebagai subjek hak tanggungan dalam ketentuan Pasal 9 UUHT ? dan bagaimanakah dampak/akibat hukum dari APHT dan HT dengan subjek hukum WNA jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sebagaimana diuraikan dalam latar belakang masalah, bahwa dalam penelitian ini berusaha meneliti terhadap isi dan makna yang terkandung di dalam peraturan perundangundangan khususnya pada Pasal 9 UUHT jika dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, bahwa pada Pasal 9 UUHT tersebut norma yang diatur tidak dijelaskan secara jelas dan dapat menimbulkan multitafsir dalam pengaturan mengenai subjek HT orang perseorangan, dalam Pasal 9 UUHT dimungkinkan bahwa subjek pemegang HT orang persorangan dapat dilakukan oleh WNA, padahal hak pemanfaatan atas tanah bagi WNA telah dibatasi oleh ketentuan dalam UUPA, diantaranya dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Subjek yang dimaksud dalam Pasal 9 UUHT ini hanya fokus pada subjek yang berpiutang saja tanpa pemilahan kewarganegaraan, hal inilah yang memicu munculnya kesempatan kepada WNA untuk dapat menjadi pemegang hak tanggungan, dan memperoleh kewenangan yang luas atas tanah jauh dari yang telah dibatasi dan ditentukan dalam amanat UUPA. Tidak tepat bagi WNA atas inisiatifnya melalui perjanjian-perjanjian hukum yang digunakan dalam upaya untuk memperoleh manfaat atas tanah, karena dalam hal ini sudah jelas diatur melalui Pasal 42 UUPA, bahwa hanya WNA dapat memperoleh manfaat atas tanah di Indonesia melalui mekanisme hak pakai atas tanah. WNA bisa saja memanfaatkan tanah di Indonesia dengan status hak milik jika telah memperoleh status sebagai WNI dengan mekanisme seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 20 UU Kewarganegaraan. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam suatu sistem hukum yang terintegrasi, maka seharusnyalah agar ketentuan tentang HT perlu disinergikan dengan ketentuan lain yang lebih mendasar dan menjadi pokok dalam pelaksanaan HT tersebut yaitu ketentuan UUPA. Subjek yang dimaksud dalam Pasal 9 UUHT ini hanya fokus pada subjek yang berpiutang saja tanpa pemilahan kewarganegaraan, hal inilah yang memicu munculnya kesempatan kepada WNA untuk dapat menjadi pemegang hak tanggungan, dan memperoleh kewenangan yang luas atas tanah jauh dari yang telah dibatasi dan ditentukan dalam amanat UUPA.
ix
Dampak hukum seorang WNA sebagai subjek pemegang HT seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111 K/PDT/2010 tentang perkara perdata bidang pertanahan dalam tingkat kasasi antara WNI melawan Notaris/PPAT di Kota Denpasar bersama dengan seorang WNA, diantaranya berdampak kepada: a. WNA sebagai pemegang hak atas tanah mendapatkan hak pemanfaatan atas tanah jauh lebih dari yang telah ditentukan. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA maka penguasaan tanah oleh WNA melalui HT adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. b. WNI selaku pemilik hak atas tanah dapat kehilangan hak penguasaan terhadap hak miliknya atas tanah; c. Notaris/PPAT dapat diikutsertakan dalam gugatan dalam perkara di pengadilan dan sanksi menurut kode etiknya serta bagi aktanya adalah batal demi hukum. Beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembuat undang-undang dan pemerintah pelaksana urusan pertanahan agar menyusun regulasi yang jelas tentang subjek pemegang hak tanggungan atas hak tanggungan yang berasal dari hak milik WNI dengan melakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 9 UUHT serta tetap memperhatikan asas nasionalitas atas tanah. 2. Notaris/PPAT harus berperan aktif dalam upaya penegakan asas nasionalitas dalam urusan pertanahan, menghindari berbagai upaya hukum yang tidak tepat dan dapat memberi keuntungan yang berlebihan kepada pihak asing dalam pemanfaatan tanah di Indonesia. Notaris/PPAT agar mengarahkan kepada pihak asing untuk berpedoman kepada mekanisme pemanfaatan hak-hak atas tanah sebagaimana telah diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pertanahan. 3. WNA yang berkeinginan untuk memperoleh manfaat atas tanah di Indonesia, agar bermohon untuk mendapatkan hak pakai atas tanah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 42 UUPA. WNA bisa saja memanfaatkan tanah di Indonesia dengan status hak milik jika telah memperoleh status sebagai WNI dengan mekanisme seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 20 UU Kewarganegaraan.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................
i
LEMBAR PRASYARAT MAGISTER KENOTARIATAN.............................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................
v
ABSTRAK ............................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................................ viii RINGKASAN ........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI..........................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 11 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................. 12 1.4 Manfaat Penelitian............................................................................ 12 1.5 Landasan Teoritis dan Konseptual ................................................... 13 1.6 Metode Penelitian ............................................................................. 26 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SUBYEK HAK ATAS TANAH, AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN DAN HAK TANGGUNGAN SERTA KEWARGANEGARAAN............. 32 2.1 Subyek Hak Atas Tanah Menurut UUPA......................................... 32 2.2 Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan ................ 53 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan.......................................... 53
xi
2.2.2 Unsur-unsur dan Syarat Sah Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan.......................................... 56 2.3 Kewarganegaraan ............................................................................. 57 2.3.1 Pengertian Kewarganegaraan .................................................. 57 2.3.2 Pengaturan Hukum Kewarganegaraan .................................... 60 2.3.3 Jenis-Jenis Kewarganegaraan .................................................. 61 BAB III SUBJEK HAK TANGGUNGAN YANG LAHIR DARI AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ............................................... 69 3.1 Akta Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Akta Otentik ................ 69 3.2 Peran Notaris dan PPAT dalam Pembuatan APHT .......................... 78 3.3 Peran BPN dalam Pendaftaran dan Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan............................................................................... 87 3.3.1 Dalam Hal Pendaftaran Hak Tanggungan ............................... 89 3.3.2 Dalam Hal Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan................. 91 3.4 Akibat Hukum yang Lahir Dari Pemberian Hak Tangunggan ......... 92 3.4.1 Terhadap Subjek Hak Tanggungan ......................................... 100 3.4.2 Terhadap Objek Hak Tanggungan........................................... 101 BAB IV DAMPAK HUKUM WARGA NEGARA ASING SEBAGAI SUBJEK HAK TANGGUNGAN ....................................................... 103 4.1 Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai Pemenuhan Hak Debitur terhadap Kreditur................................................................. 103 4.2 Kedudukan Warga Negara Asing Sebagai Subjek Hak Tanggungan.. ...................................................................................................... 125 4.3 Akibat Hukum Terhadap Akta Pemberian Tanggungan Dengan Subjek Warga Negara Asing Dalam Kaitannya Dengan Pasal 29 ayat (2) UUPA ............................................................................. 131
xii
BAB V
PENUTUP ............................................................................................. 139 5.1 Kesimpulan....................................................................................... 139 5.2 Saran ................................................................................................. 140
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 142 DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 148
xiii
TESIS
DAMPAK HUKUM PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PERSEORANGAN WARGA NEGARA ASING
POPPY EUNIKE NANY 1192461039
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, artinya segala aspek kehidupan baik berbangsa dan bernegara senantiasa didasari oleh aturan. Dalam kehidupan bernegara, doktrin negara hukum memerintahkan setiap penyelenggaraan pemerintahan harus mengacu dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku (hukum positif) setra mengacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dan sumber norma termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.1 Sedangkan dalam kehidupan berbangsa bertujuan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak setiap warga negara berikut mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya selaku warganegara. Keberadaan negara hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945) Alinea Keempat, menyatakan : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik 1
H. Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, hal. 656.
1
2 Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu wujud melindungi seluruh tumpah darah Indonesia adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka memberikan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani yang masih menggantungkan kehidupannya pada mata pencarian sebagai petani. Wujud tersebut melalui disusun dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), dalam Lembaran Negara (LN) Nomor 104 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2043, sebagai amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945, yaitu: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat, menegaskan bahwa, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bertujuan untuk terselenggaranya kemakmuran bagi rakyat sebesarbesarnya, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lahirnya UUPA dengan bersumber pada hukum adat tentang tanah, menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama sebagai peraturan dasar, sehingga mengatur pokok-pokok penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
3 karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 9 UUPA, bahwa : (1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Berdasarkan pada kedua ketentuan di atas maka tanah sebagai bagian dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia peruntukannya untuk mewujudkan
kemakmuran
rakyat,
sehingga
baik
penguasan
maupun
kepemilikannya hanya bagi Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) saja. Salah satu prinsip atau filosofi yang terkandung dalam UUPA yang telah menutup pintu terhadap kepemilikan (tanah) yang terbuka, yaitu hanya WNI saja tanpa diskriminasi dan jenis kelamin yang dapat mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu hak atas tanah (Pasal 9 UUPA).2 Seiring kemajuan jaman yang berakibat pada perkembangan fungsi dan pemanfaatan tanah, yaitu selain untuk tempat mata pencarian juga untuk tersedianya lahan guna mendirikan/membangun fasilitas pariwisata atau penunjang akomodasi pariwisata, seperti untuk membangun rumah hunian tempat tinggal atau hunian untuk dikomersiilkan (villa), hotel, gedung-gedung pemerintah, taman rekreasi maupun fasiltas umum lainnya. Fungsi dan pemanfaatan tanah saat ini tidak hanya sebagai tempat mata pencarian 2
A. P. Parlindungan, 1984, Serba-Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung, hal. 44.
4 sebagaimana dimaksud dalam masyarakat agraris, akan tetapi telah mengalami perkembangan, yaitu sebagai obyek komoditas selain untuk tersedianya tempat membangun/mendirikan fasilitas umum, bahkan tanah juga dapat digunakan sebagai jaminan atau agunan sesuatu hutang atau kredit pada bank atau lembaga keuangan lain. Dalam fungsi tanah sebagai jaminan suatu hutang atau agunan kredit, keberadaannya diatur salah satunya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Atas Tanah (selanjutnya disebut UUHT). UUHT menjadi dasar hukum mengenai apa saja yang dapat dijadikan jaminan sesuatu hutang, kedudukan obyek jaminan terhadap hutang, siapa yang dapat memberi dan menerima suatu jaminan serta bagaimana penyerahan dan penerimaan jaminan sesuatu hutang. Pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut HT) atas tanah berdasakan UUHT, terdiri dari subjek, yaitu pemberi hak dan pemegang HT dan obyek. Obyek tersebut adalah suatu hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang atau agunan kredit yang terdiri dari Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) atas tanah. Subjek HT, baik sebagai penerima/pemegang ataupun sebagai pemberi HT dapat berupa orang perorangan atau badan hukum asalkan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut dan khususnya lagi terhadap objek HT. Pasal 8 ayat (1) UUHT menentukan bahwa : “Pemberi HT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
5 perbuatan hukum terhadap objek HT yang bersangkutan”. Sedangkan penerima atau pemegang HT tidak ada persyaratan khusus. Dapat saja orang perseorangan dapat pula suatu badan hukum dan bahkan dapat dalam bentuk badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun diluar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kegiatan usaha di wilayah negara Indonesia, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 10 UUHT. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UUHT dijelaskan bahwa lahirnya HT adalah pada saat didaftarnya HT tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT diharuskan ada pada pemberi HT pada saat pembuatan buku tanah HT. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya HT yang bersangkutan. Subjek HT dalam UUHT mensyaratkan bahwa pemberi HT maupun penerima HT adalah orang perorangan dan badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang berkedudukan/berdomisili di Indonesia. Ketentuan-ketentuan di atas melahirkan multitafsir (mengandung banyak pemahaman) karena kurang jelasnya tentang siapa saja yang dimaksud dengan orang perorangan sebagai penerima/pemegang HT atas tanah, dengan kata lain, apakah seseorang dalam ketentuan Pasal 9 UUHT dapat pula ditafsirkan bahwa orang perorangan tersebut juga dimaksudkan Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA). Jurgen Habermas dalam bukunya yang berjudul “Between Facts and Norms” mengungkapkan bahwa “Law as a category of social mediation between
6 facts and norms.”3 Ungkapan singkat tersebut diterjemahkan dengan makna kurang lebih sebagai berikut “Hukum sebagai suatu kategori mediasi sosial antara fakta dan norma-norma”. Dalam praktik banyak ditemui suatu hubungan hukum antara WNI dengan WNA berupa perbuatan hukum hutang piutang dalam mana WNA sebagai pemberi hutang/kreditor dan WNI sebagai penghutang/debitur dengan menggunakan jaminan berupa hak milik atas tanah sebagai jaminan hutangnya. Guna kepentingan perlindungan hukum bagi kreditor, maka jaminan hutang yaitu hak milik atas tanah milik debitur diserahkan kepada kreditor dalam bentuk pemberian HT dalam suatu APHT yang dibuat dihadapan dan/oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan didahului dibuatnya suatu akta pengakuan hutang dihadapan dan/atau oleh notaris. Sehingga WNA dapat menjadi seseorang, yaitu sebagai penerima HT sebagaimana dimaksud Pasal 9 UUHT, sehingga berwenang betindak dan berkedudukan sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia, sekalipun hanya berkedudukan selaku pemegang HT di antaranya seperti dalam putusan perkara perdata Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111 K/PDT/2010. Hal demikian menjadikan ketentuan Pasal 9 UUHT mengandung kekaburan norma, khususnya norma tentang seseorang yang dapat berkedudukan sebagai pemegang HT hak milik atas tanah, yang membawa implikasi yuridis pada kedudukan dan kewenangan WNA sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia. Kerena langsung atau tidak langsung ketentuan tersebut melegitimasi
3
Jurgen Habermas, 1998, Between Facts and Norms, Contibutions to a Discourse Theory of Law and Democracy, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, hal. 1.
7 kedudukan WNA sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia yang bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang dianut UUPA, yaitu hanya WNI saja yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA dan dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. John Rawls dalam bukunya yang berjudul “A Theory of Justice” mengungkapkan bahwa “Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought. A theory however elegant and economical must be rejected or revised if it is untrue; likewise laws and institutions no matter how efficient and well-arranged must be reformed or abolished if they are unjust”.4 Ungkapan tersebut diterjemahkan dengan makna kurang lebih sebagai berikut “Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagai kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori bagaimanapun elegan dan ekonomis harus ditolak atau direvisi jika itu tidak benar; juga hukum dan institusi walau sudah efisien dan teratur dengan baik, juga harus direformasi atau dihapuskan jika tidak memberi rasa keadilan”. Ungkapan ini menyepakati suatu tindakan untuk melakukan amandemen terhadap norma hukum yang telah ada sepanjang amandemen tersebut lebih memberikan rasa keadilan. Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa: “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”. Ketentuan Pasal 9 UUHT secara langsung memberi peluang bagi WNA untuk menguasai tanah hak milik di Indonesia dengan melaksanakan segala 4
John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, United States of America, hal. 3.
8 aktivitas dan berkepentingan lainnya selain kepentingan hukumnya, seperti kepentingan ekonomi misalnya, sebab melalui ketentuan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk melakukan penyelundupan hukum bagi WNA dalam menguasai atau memiliki tanah hak milik di Indonesia secara terselubung, dengan menghindari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara memperoleh hak-hak atas tanah di Indonesia. Sehingga maksud dan tujuan bagi WNA untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis sebesar-besarnya dapat terpenuhi/tercapai tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undangundang. Pelanggaran terhadap norma hukum yang lebih tinggi derajatnya sebagai akibat kekaburan norma Pasal 9 UUHT sebagaimana dipaparkan di atas adalah terhadap ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA menyebutkan bahwa : Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Dikatakan demikian karena perbuatan hukum dalam bentuk pemberian HT kepada WNA oleh WNI dapat merupakan perbuatan-perbuatan lain. Perbuatan lain tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memindahkan hak milik kepada WNA melalui pemberian HT yang APHT-nya dibuat oleh PPAT.
9 Hal-hal sebagaimana yang telah dipaparkan di atas merupakan topik kajian dalam tesis ini, karena beberapa penelitian yang telah pernah dilakukan sebelumnya, belum pernah membahas permasalahan yang sedang diteliti dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah; Pertama, dilakukan oleh Inalya Junita Sitorus, pada tahun 2009, dalam tesis di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Perjanjian Penguasaan Hak Atas Tanah Oleh Indonesian Nominee Kepada Warga Negara Asing”. Penelitian ini fokus pada masalah tentang celah dan upaya hukum dalam penerapan perjanjian penguasaan hak atas tanah oleh Indonesian Nominee kepada WNA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya celah hukum yang terbuka dan dipergunakan oleh para pihak untuk mengambil keuntungan. Celah hukum tersebut terlihat dari masih belum jelas dan kurang sinkronnya peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari produk undang-undang sampai kepada peraturan pelaksana. Tidak adanya peraturan daerah juga menjadi kelemahan penerapan perjanjian yang benar untuk penguasaan hak atas tanah bagi warga negara asing di Indonesia. Upaya hukum juga diperlukan dalam mencapai suatu kepastian hukum bagi para pihak. Kedua, dilakukan oleh G. Agus Permana Putra, pada tahun 2010, dalam tesis di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, dengan judul “Wanprestasi Dalam Penggunaan Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat di Bawah Tangan Berkaitan dengan Kepemilikan Tanah di Bali”. Rumusan permasalahan terdiri dari, apakah penggunaan nominee pada perjanjian di bawah tangan sah atau tidak ditinjau dari UUPA, dimana perjanjian tersebut dapat
10 dikatakan perjanjian simulasi dan dapat dibatalkan demi hukum dan bagaimana akibat hukum apabila WNI wanprestasi dalam penggunaan nominee pada perjanjian yang dibuat di bawah tangan dalam kasus ini diselesaikan dengan jalan non-litigation action. Hasil penelitian ini bahwa penggunaan nominee pada perjanjian dibawahtangan melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, Pasal 9 jo Pasal 21 dan Pasal 26 UUPA mengenai kepemilikan hak atas tanah oleh WNA sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan perjanjian simulasi yang bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab perjanjian bersangkutan tidak sah atau maka perjanjian batal demi hukum (void nietig). Wanprestasi dalam penggunaan nominee pada perjanjian di bawah tangan melibatkan WNA dapat diselesaikan dengan teknik non-litigasi, musyawarah dan negosiasi untuk mencapai mufakat dengan tetap terlaksananya ganti rugi dari tindakan wanprestasi tersebut. Ketiga, oleh Nur Hayatun Nufus, tahun 2010, dalam tesis di Program Studi Magister
Kenotariatan
Universitas
Diponegoro,
dengan
judul
“Proses
Pembebanan HT terhadap Tanah yang Belum Bersertipikat (studi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Unit Bekasi Kota)”. Penelitian ini fokus pada rumusan masalah tentang bagaimana pelaksanaan pembebanan HT terhadap tanah yang belum bersertipikat, dan bagaimanakah penyelesaiannya apabila pemberi HT atas tanah yang belum bersertipikat tersebut meninggal dunia dan memiliki ahli waris, sementara piutang kreditur tidak terbayar. Hasil dari peneitian ini adalah; pelaksanaan pembebanan HT terhadap tanah yang belum bersertipikat dalam prakteknya tidak pernah dilakukan bank dengan membuat APHT secara langsung
11 terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat. Bank dalam hal ini hanya sebatas membuat SKMHT saja. Menghadapi permasalahan terjadinya kredit belum dilunasi dengan agunan tanah yang belum bersertipikat sedangkan debitur telah meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris dengan beberapa cara penyelesaian yang dilakukan oleh bank, yaitu: Jika kredit telah jatuh tempo, maka kredit di cover oleh asuransi kredit. Jika kredit telah jatuh tempo dan asuransi kreditnya telah kadaluarsa, maka akan ditagih sampai lunas kepada ahli warisnya dengan melakukan pendekatan kekeluargaan dengan menawarkan keringanan bunga pinjaman, meminta ahli waris yang bersangkutan untuk melakukan penjualan di bawah tangan atas obyek jaminan tersebut. Uraian singkat tentang masalah dan hasil penelitian dalam beberapa penelitian terdahulu di atas memperlihatkan perbedaan tentang masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dan menjadikan penelitian ini asli. Penelitian ini berjudul: ”Dampak Hukum Pemberian Hak Tanggungan Atas Nama Perseorangan Warga Negara Asing”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan pokok yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Siapa saja yang dimaksudkan dengan perorangan sebagai subjek HT dalam ketentuan Pasal 9 UUHT? 2. Bagaimanakah dampak hukum dari APHT dan HT dengan subjek hukum WNA jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA?
12 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum dalam upaya memperjelas kekaburan norma. Ilmu hukum yang dimaksud dalam tujuan penelitian ini adalah dalam bidang Kenotariatan terkait keberadaan atau legalitas perbuatan hukum dibuatnya APHT dan pemberian HT hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA sebagai subjek (penerima/pemegang) hak. 1.3.2 Tujuan khusus. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran (deskripsi) sekaligus menganalisis dalam memberi penyelesaian secara hukum tentang subjek HT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 UUHT khususnya siapa saja yang dapat berkedudukan selaku penerima/pemegang HT atas hak milik atas tanah yang disebut dengan orang-perorangan, apakah di dalamnya termasuk WNA. Penelitian ini juga secara khusus untuk mengkaji dan menelaah dampak hukum perbuatan-perbuatan hukum dalam APHT maupun HT hak milik atas tanah tersebut dalam perspektif Pasal 26 ayat (2) UUPA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan bermanfat sebagai pengetahuan dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya ilmu hukum bidang Kenotariatan, sehingga dapat dijadikan rujukan/referensi atau bahan pengetahuan tambahan baik bagi
13 para mahasiswa fakultas hukum dan mahasiswa notariat maupun masyarakat luas serta khususnya praktisi Notaris. Selain itu, diharapkan bermanfaat bagi pengembangan substansi disiplin ilmu hukum, khususnya berkaitan dengan profesi Notaris dan PPAT. 1.4.2 Manfaat Praktis Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pembentuk/pembuat undang-undang, yakni legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah) sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kajian dalam rangka amandemen Pasal 9 UUHT khususnya memperjelas makna dan maksud perorangan sebagai subjek hukum penerima HT. Selain itu, dalam rangka memberi informasi secara akademis kepada negara/pemerintah cq Badan Pertanahan Nasional sebagai instutusi yang berwenang melindungi hak-hak warga negara terhadap tanah dari upaya-upaya perbuatan melawan hukum yang melibatkan WNA sehingga merugikan kepentingan negara.
1.5 Landasan Teoritis Dan Konseptual 1.5.1 Landasan Teoritis. Penelitian ini berlandaskan pada beberapa teori dan asas hukum, diantaranya: teori perjanjian, teori tanggung jawab, dan asas kepastian hukum. Relevansi dari masing-masing teori dan asas di atas terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
14 1) Teori Perjanjian Teori perjanjian digunakan dalam penelitian ini, untuk menjawab masalah pertama tentang subyek penerima HT dalam perjanjian hutang piutang yang dijadikan dasar pemberian HT. Pasal 1313 KUHPerdata telah mengatur bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Lebih lanjut dalam Pasal 1121 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Beberapa definisi tentang perjanjian menurut beberapa ahli hukum, diantaranya sebagai berikut: 1. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.5 2. Subekti, mendefinisikan pengertian pernjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.6 3. O.W Holmes berpendapat bahwa: “The duty on keep contract in common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay compesatory”.7 (terjemahan bebas kurang lebih sebagai berikut, kewajiban untuk mentaati suatu perjanjian dalam common law diartikan harus membayar ganti kerugian jika tidak mentaati suati perjanjian, jika digugat, maka si tergugat bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi).
5
Wirjono Prodjodikoro,1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet. VIII, Sumur, Bandung, hal. 11. 6 R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 45 7 M.P Golding, 2004, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York, hal. 180.
15 4. Sucitthra Vasu, mengatakan “The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.“8 Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus mentaati kontrak yang telah disepakatinya, terutama bagi debitur sebagai pihak yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu pemenuhan kewajiban juga harus diperhatikan. Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan, untuk sahnya persetujuanpersetujuan itu diperlukan 4 (empat) syarat: 9 sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; cakap untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Beberapa golongan orang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan (Curatele), dan perempuan yang telah kawin (Pasal 1130 KUHPerdata). 3. Suatu hal tertentu. Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Adapun suatu hal tertentu yang diperjuangkan tersebut adalah hal yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
8
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, hal.1. 9 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.77.
16 Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.10 2) Teori Tanggung Jawab Teori tanggung jawab dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab masalah kedua terkait akibat hukum serta tanggungjawab dari peran dan fungsi beberapa pejabat umum. Pejabat umum dimaksud, diantaranya adalah Notaris/PPAT dan BPN dalam perannya masing-masing dalam menerbitkan SKMHT/APHT dan HT secara khusus dalam hal WNA selaku penerima HT. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab, yaitu: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolut responsibility).11 Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responbility. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responbility menunjuk pada 10
Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah, Malang, hal. 175-177. 11 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 61.
17 pertanggungjawaban politik.12 Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:13 a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannnya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Sukarmi membahas dan menyimpulkan dalam disertasinya pada tahun 2005 di Fakultas Hukum Unpad Bandung yang berjudul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Konsumen Yang Disebabkan Oleh Perjanjian Baku (Standard Contract) Dalam Transaksi Elektronik” bahwa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan, yaitu prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannnya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: a. adanya perbuatan; b. adanya unsur kesalahan; c. adanya kerugian yang diderita; d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.14
12
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335-337. 13 Ibid, hal. 365. 14 Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasrana, Jakarta, hal. 73.
18
2.
3.
4.
5.
Kesalahan yang dimaksudkan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip ini menyebutkan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” dalam prinsip ini sangat penting karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak bebas untuk mengajukan gugatan karena bisa saja pihak penggugat digugat balik oleh pelaku usaha jika ia gagal menunjukan kesalahan tergugat. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua yang telah disebutkan tadi. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh prinsip ini dalam hukum pengangkutan misalnya dalam kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang itu sendiri. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak. Menurut E. Suherman tanggung jawab mutlak (strict liability) disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.15 Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula pengecualian (eksonerasi) dalam perjanjian strandar yang dibuatnya.
3) Asas Kepastian Hukum. Relevansi asas kepastian hukum dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan pemberian HT kepada WNA. Subyek penerima HT sebagaimana diatur 15
E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 21.
19 dalam Pasal 9 UUHT tidak memberikan kepastian hukum dan dapat menimbulkan kekaburan norma. Ketika WNA selaku penerima HT, maka WNA mendapat hak yang lebih dari WNI untuk dapat menguasai tanah di wilayah Indonesia. Jika dikaitkan dnegan Pasal 26 ayat (2) UUPA, maka ketentuan Pasal 9 UUHT pada akhirnya tidak sejalan dengan amanat yang terkandung dalam UUPA dalam hal asas nasionalitas atas tanah. Pasal 21 ayat (1) UUPA telah jelas menentukan bahwa “hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik”. Beberapa pendapat ahli tentang kepastian hukum diantaranya, sebagai berikut: 1. Gustaf Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan, Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai.Aspek yang pertama adalah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentuan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaaati.16 2. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa kemanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.17 3. Menurut J.M. Otto yang dikutip oleh Sri Djatmiati, kepastian hukum (rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 18 16
Theo Huijber, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Yogyakarta, hal. 163. 17 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158. 18 Tatiek Sri Djatmiati, 2002, “Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia”, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya, hal. 18.
20 a. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan negara. b. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut. c. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum. d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut. e. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata. 1.5.2 Landasan konseptual. Ketentuan norma Pasal 9 UUHT tentang subjek pemegang HT oleh undang-undang tidak diberikan pembatasan yang jelas sebagai landasan hukum agar dapat menjadi pedoman bagi para pihak-pihak yang berhubungan dengan HT. Objek HT dengan status hak milik yang mempunyai nilai ekonomis dan yang sifatnya dapat dipindahtangankan, apabila dilihat dari sudut subjek pemegang HT, dapat kemungkinan pemegang objek HT atas tanah hak milik itu, adalah orang perseorangan WNA, dan oleh karena adanya perbedaan penafsiran terhadap peraturan norma diatas dari sudut subjek pemegang objek HT orang perseorangan. Hal ini dapat menjadi peluang bagi beberapa pihak untuk memperdaya aturan dan norma hukum, dalam hal penguasaan dan penggunaan tanah hak milik yang berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan jaminan. Penyalahgunaan norma hukum secara keliru, dapat meyebabkan akibat positip maupun negatip dari dampak yang ditimbulkan oleh norma hukum yang tidak jelas, sehingga diperlukan adanya pengetahuan mengenai prinsip hukum dasar hukum, norma hukum, serta asas-asas hukum yang berkaitan dengan HT. Adapun asas-asas yang berkaitan dengan HT berdasarkan berbagai peraturan tentang HT adalah sebagai berikut :
21 a. Asas HT bersifat memaksa. UUHT tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai suatu ketentuan yang memaksa, namun demikian hal tersebut tersirat dari ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam Pasal 16 UUHT dan Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). b. HT dapat beralih atau dipindahkan. HT lahir dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir yang mengikuti perikatan pokok yang merupakan utang yang menjadi dasar dalam lahirnya HT tersebut. Pasal 16 ayat (1) UUHT. c. Asas individualitet. Pasal 5, Pasal 18 dan Pasal 19 UUHT menjelaskan bahwa meskipun atas sebidang tanah tertentu yang telah ditentukan dapat diletakkan lebih dari satu HT, namun masing-masing HT itu adalah berdiri sendiri terlepas dari yang lainnnya. Eksekusi atau hapusnya HT yang satu tidak membawa pengaruh terhadap HT lainnya yang dibebankan diatas hak atas tanah yang dijaminkan dengan HT tersebut. Pembersihan tanggungan tersebut yang masih ada dan melekat pada objek atau bidang tanah yang dibebani tanggungan tersebut tersebut hanya dapat dilakukan atas permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani dengan tanggungan tersebut. d. Asas operasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 sebagai
22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang disebut UUPA. Undang-Undang HT diundangkan pada tanggal 9 April 1996 sebagai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang disebut UUHT. e. Asas penggolongan jaminan. Pada Pasal 1131 KUHPerdata mengatur jaminan kebendaan secara umum (jaminan umum). Pasal 1132 KUHPerdata tersirat dimungkinkan adanya jaminan khusus dan Pasal 1133 KUHPerdata menentukan hak istimewa kreditor pada pemegang gadai dan hypothek yang dipasang pada jaminan khusus. Jaminan dapat digolongkan jaminan khusus dan jaminan umum dibedakan lagi jaminan benda bergerak dan jaminan benda tetap. f. Asas konkurent dan preferent. Pasal 1131 KUHPerdata berlaku asas konkurent sedangkan dalam Pasal 1133 KUHPerdata berlaku asas preferent. UUHT memberikan kedudukan preferent kepada pemegang HT. g. Asas hukum benda nasional/nasionalitet . UUPA yang obyeknya ditentukan dalam Pasal 1 adalah benda-benda yang ada dalam wilayah Republik Indonesia sebagai kekayaan Nasional. h. Asas pemisahan horizontal. Pengertian asas pemisahan horizontal yaitu tanah sebagai benda yang terpisah dari benda lain yang bukan tanah. Asas pemisahan horizontal secara implisit ada dalam Pasal 5 UUPA dan juga secara implisit terkandung dalam UUHT karena HT tidak dengan sendirinya mengikat benda yang berkaitan dengan tanah yang dijadikan jaminan dengan
hak
tanggungan berarti berlaku atas
23 pemisahan horizontal. Asas ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT. i. Asas specialiteit. Hak atas tanah yang dijaminkan dalam bentuk HT harus dibuktikan secara individual (khusus) meliputi wujud, letak, luas dan batas dan hak yang ada atas tanah tersebut serta pemilik atau pemegang hak atas tanah dengan bukti sertipikat hak atas tanah ini diatur dalam Pasal 51 UUPA juga dalam Pasal 4 dan Pasal 27 UUHT. j. Asas publisitas. HT sebagaimana telah diatur yaitu harus didaftarkan untuk memperoleh sertifikat dan terdata. Hal ini telah diatur dalam Pasal 13 UUHT dan pendaftaran di Kantor Pertanahan diatur dalam Pasal 14 UUHT. k. Asas totaliteit/totalitas. Dalam Pasal 2 UUHT ditentukan bahwa HT mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali apabila diperjanjikan lain. Jadi Pasal 2 UUHT dapat disimpangi apabila
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT). Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam Pasal 1 angka 5 UUHT yaitu Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian HT kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Selain daripada pasal-pasal di atas, maka asas ini juga tercantum pada Pasal 4 beserta penjelasannya yang menjelaskan bahwa pada prinsipnya suatu
HT diberikan
secara keseluruhan, maksudnya dalam HT diberikan dengan segala ikutannya, yang melekat pada dan menjadi suatu kesatuan dengan bidang tanah yang
24 dijaminkan atau diagunkan dengan HT, maka eksekusi HT atas bidang tanah tersebut juga meliputi segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan atau diagunkan dengan HT. l. Asas HT berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya). Eksestensi perjenjangan HT sebagai hak kebendaan dapat dilihat secara jelas dan tegas dalam Pasal 5 UUHT yang menjelaskan bahwa penentuan peringkat HT hanya dapat ditentukan berdasarkan pada saat pendaftarannya. Pendaftaran dilakukan pada saat yang bersamaan, barulah peringkat HT tersebut ditentukan berdasarkan pada saat pembuatan akta pembebanan HT. m. Asas droit de suite. Pengertian droit de Suite atau zaaksgevolg artinya HT adalah hak kebendaan yang terus mengikuti bendanya di mana pun atau di tangan siapapun benda itu berada diatur dalam Pasal 7 UUHT. Apabila obyek HT dialihkan atau beralih kepada pihak lain HT tetap ada tidak menjadi hapus, karena hapusnya HT diatur dalam Pasal 18 UUHT. n. Asas droit de prefence. Asas droit de prefence adalah sifat khusus yang dimiliki oleh hak kebendaan dalam bentuk jaminan kebendaan. Hak ini memperoleh landasannya melalui ketentuan Pasal 1132, Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUHPerdata. o. Asas HT sebagai jura in re aliena (yang terbatas). Ketentuan ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari prinsip droit de perefence, dimana HT hanya semata-mata ditujukan bagi pelunasan hutang, dengan cara menjual sendiri bidang tanah yang dijaminkan dengan HT tersebut,
25 dan selanjutnya memperoleh pelunasannya dari hasil penjualan tersebut hingga sejumlah nilai HT atau nilai piutang kreditor, mana yang lebih rendah. Jadi bersifat sangat terbatas, yang dapat lahir hanya sebagai suatu perjanjian assesoir belaka. Sifat bahwa HT hanyalah sebagai hak kebendaan dalam bentuk jaminan dijelaskan dalam Pasal 12 UUHT. p. Asas absolut. Pengertian asas absolut dihubungkan dengan sifat ketentuan yang ada dalam UUHT. Ketentuan HT sebagai hak jaminan kebendaan atas tanah diatur secara absolut artinya tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan apabila terjadi penyimpangan maka batal demi hukum dari ciri-ciri yang ada maka UUHT merupakan hukum pemaksa atau dwingendrecht. Asas ini terkandung dalam subjek, obyek, tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan, dan hapusnya HT yang ada dalam UUHT. q. Asas sistem tertutup. Pengertian sistem tertutup sama dengan absolut yaitu tidak dapat disimpangi dan apabila terjadi penyimpangan berakibat batal demi hukum. Pasal 10 UUHT yang mengatur APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) harus dengan akta otentik yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak dapat dengan akta yang lain. Tentang kewenangan yang ada dalam HT ditentukan dalam Pasal 12 UUHT, dimana pemegang HT hanya mendapat kewenangan untuk mendapatkan pelunasan piutangnya. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dimaksud sesuai Pasal 1 angka 4 UUHT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, atas pembebanan hak
26 atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebanan HT menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga apabila dilakukan perbuatan diluar hal yang telah diatur apalagi mencantumkan janji yang memberikan kewenangan pemegang HT untuk memiliki obyek HT apabila debitur wanprestasi maka hal tersebut akan menjadi batal demi hukum. Ketentuan dalam UUHT menganut sistem tertutup dan sifat peraturan sebagai peraturan yang memaksa. Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat dan setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang berlaku dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan.19
1.6 Metode Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum normatif, beranjak dari adanya kekaburan norma (vague van normen) dalam Pasal 9 UUHT yang dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA. 1.6.1 Jenis Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sebagaimana diuraikan dalam latar belakang masalah, bahwa dalam penelitian ini berusaha 19
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, 2008, Seri Hukum Kekayaan, Hak Tanggungan, Cet. Ketiga, Kencana, Jakarta, hal. 179.
Harta
27 meneliti terhadap isi dan makna yang terkandung di dalam peraturan perundangundangan khususnya pada Pasal 9 UUHT jika dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pasal 9 UUHT tersebut norma yang diatur tidak dijelaskan secara jelas dan dapat menimbulkan multitafsir dalam pengaturan mengenai subjek HT orang perseorangan, dalam Pasal 9 UUHT dimungkinkan bahwa subjek pemegang HT orang persorangan juga boleh dilakukan oleh WNA. Hal ini bertentangan karena hak pemanfaatan atas tanah bagi WNA telah dibatasi oleh ketentuan dalam UUPA, diantaranya dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. 1.6.2 Jenis Pendekatan. Suatu penelitian hukum normatif yang digunakan umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Pendekatan Kasus (The Case Approach) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) Pendekatan Frasa (Word & Phrase Approach) Pendekatan Sejarah (Historical Approach) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)20 Untuk
kedalaman
pengkajian,
jenis
pendekatan
yang digunakan
berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), karena yang akan diteliti adalah UUHT Pasal 9, ketentuan tersebut sangat diminati oleh WNA dalam melakukan penyelundupan hukum untuk mengalihkan hak atas tanah secara
20
Program Studi Magister Kenotariatan Unud, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Udayana, Denpasar, hal. 54.
28 tidak langsung kepada WNA. Undang-undang telah membatasi WNA untuk memiliki hak tertentu melalui ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Penelitian ini bermaksud
untuk
memperoleh
kejelasan
secara
normatif
dengan
mengidentifikasi dan menganalis faktor hukum yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip-prinsip hukum terkait dengan HT, hak milik atas tanah untuk orang asing, maupun berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan itu. b. Pendekatan Analisis (Analitical and Conceptual Approach), yaitu dengan menganalisis undang-undang, khususnya Pasal 9 UUHT dan dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA serta mencari rumusan norma hukum yang berkenaan dengan pembebanan HT atas tanah dengan status hak milik dikaitkan dengan orang asing. c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach), metode pendekatan ini digunakan dalam penelitian ini sesuai fungsinya, yaitu untuk menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan tentang pemanfaatan tanah di Indonesia oleh WNA baik menurut UUPA maupun UUHT. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum. Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (sebagai penunjang bahan hukum primer dan sekunder).21 Bahan hukum primer dalam penelitian ini diperoleh dari asas-asas atau prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah atau norma hukum UUPA yang berkaitan dengan UUHT dengan hak milik atas tanah yang dibebani HT yang dikaitkan dengan WNA sebagai pemegang HT. 21
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 38.
29 Sedangkan bahan hukum sekunder adalah sebagai bahan penunjang untuk memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti pendapatpendapat ahli hukum yang termuat dalam media massa, jurnal-jurnal hukum, literatur-literatur hukum (text-book) dan situs resmi dari internet. Untuk bahan hukum tersier diperoleh dari kamus atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Data penunjang berupa wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci di bidang hukum juga ditambahkan dalam penelitian ini. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dimana sumber bahan hukum utamanya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, maupun bahan-bahan pustaka serta hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. Bahan-bahan hukum tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bidang-bidang dalam pokok bahasan yang selanjutnya dipilah-pilah sesuai dengan tingkat keterkaitannya terhadap pokok permasalahan yang dibahas. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan pembuatan kesimpulan secara obyektif dan sistematis, dengan cara mengumpulkan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pertanahan dan HT, dokumen-dokumen lain,
30 bahan hukum dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. 1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini dikumpulkan. Setelah bahan hukum dikumpulkan kemudian dianalisis untuk ditarik kesimpulan menggunakan beberapa teknik analisis dalam penelitian hukum normatif, diantaranya: 1. Teknik Deskripsi, digunakan untuk mengurai secara objektif tentang kondisi dan posisi dari bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan. 2. Teknik Interpretasi, dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis interpretasi, diantaranya adalah interpretasi sistematis dan interpretasi historis. Interpretasi sistematis, digunakan untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.22 Dalam penelitian ini interpretasi sistematis digunakan untuk menafsirkan ketentuan yang ada dalam UUHT dan UUPA. Interpretasi historis, digunakan dengan cara menelaah sejarah hukum atau menelaah pembuatan suatu undang-undang akan ditemukan pengertian dari suatu istilah yang akan diteliti.23 Dalam penelitian ini interpretasi historis digunakan untuk menafsirkan ketentuan yang ada dalam UUHT dan UUPA lebih khususnya terhadap asas nasionalitas atas tanah yang terkandung dalam amanat UUPA. 22
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Premada Media Group, Jakarta, hal. 59. 23 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 165.
31 3. Teknik Evaluasi, digunakan untuk menilai tepat atau tidaknya suatu penerapan dari ketentuan tentang pemberian HT atas nama perseorangan WNA sebagaimana dimaksud Pasal 9 UUHT jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUPA. 4. Teknik Sistematisasi, teknik ini untuk mencari kaitan rumusan konsep hukum antara bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan, baik yang bersumber dari UUHT, UUPA dan ketentuan lainnya tentang pertanahan khususnya tentang pembebanan hak atas tanah.
32 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUBYEK HAK ATAS TANAH, APHT DAN HT SERTA KEWARGANEGARAAN
2.1 Subyek Hak atas Tanah Menurut UUPA Secara idelogi bahwa UUPA adalah merupakan pencerminan tekad dan kemauan bangsa yang sepenuhnya ingin melepaskan belenggu penindasan dalam segala bentuk, dalam kaitannya memberikan perlindungan kepada kepentingan rakyat petani, melindungi pihak yang lemah dari pihak yang kuat. Hal ini dirumuskan dalam bentuk pasal-pasalnya yang berisi perlindungan dari praktikpraktik kesewenang-wenangan, seperti misalnya yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2). Rumusan UUPA, ditujukan kepada kepentingan kehidupan ekonomi rakyat yang masih bercorak agraris, bumi, air, dan ruang angkasa masih mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur, berpangkal pada prinsip Pancasila dan pada Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945. UUPA di dalam setiap pasal-pasalnya telah mengatur hak-hak penguasaan dan pengunaan atas tanah, yang dimaksudkan dengan hak penguasaan atas tanah, adalah yang berisi adanya serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya, sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat. Hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Nasional dalam UUPA memiliki tata jenjang (hierarki) seperti berikut ini: 32
33 a. b. c. d.
Hak Bangsa Indonesia; Hak Menguasai Negara; Hak Ulayat; Hak-hak perorangan, yang terdiri atas; hak atas tanah, wakaf, hak jaminan atas tanah yakni HT (HT).24 Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainnya. Hak atas tanah terdiri atas:25 a. Hak atas tanah orisini atau primer, adalah hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh negara dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak. Hak atas tanah yang termasuk hak primer adalah: 1) Hak Milik 2) Hak Guna Bangunan 3) Hak Guna Usaha 4) Hak Pakai b. Hak atas tanah derivatif atau sekunder adalah hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian antara pemilik tanah dan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu: 1) Hak Guna Bangunan 2) Hak Pakai 3) Hak Sewa 4) Hak Usaha Bagi Hasil 5) Hak Gadai 6) Hak Menumpang Ketentuan
norma
hukum
yang
tertulis
mengenai
pertanahan
keseluruhannya adalah bersumber dari UUPA. Dalam UUPA dimuat sebelas asas
24
Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal. 25. 25 Aartje Tehupeiory, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, hal. 21.
34 dari Hukum Agraria nasional yang menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Sebelas Asas-asas tersebut, adalah sebagai berikut:26 a. Asas Kenasionalan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUPA, yaitu: (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. b. Asas pada Tingkatan Yang Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung didalamnya Dikuasai oleh Negara. c. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara yang Berdasar atas Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan atau golongan. d. Asas Semua Hak Tanah Mempunyai Fungsi Sosial e. Asas Hanya WNI Yang Mempunyai Hak Milik Atas Tanah f. Asas Persamaan Bagi Setiap WNI g. Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Aktif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara yang Bersifat Pemerasan h. Asas Tata Guna Tanah/ Penggunaan Tanah Secara Berencana i. Asas Kesatuan Hukum j. Asas Jamnian Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum k. Asas Pemisahan Horizontal UUPA telah memberikan landasan yang kuat bagi terbentuknya ketentuanketentuan serta norma-norma yang berkaitan dengan pengaturan mengenai penguasaan hak atas tanah di Indonesia yang berazaskan kebangsaaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UUPA. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA jelas ditentukan bahwa hanya WNI saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing, dan pemindahan hak millik kepada orang asing dilarang, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) 26
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 10.
35 UUPA. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas, sedangkan badan-badan hukum dapat dimungkinkan mempunyai hak milik namun dengan suatu pengecualian. 2.1.1 Subjek Hak Milik. Pengertian hak milik menurut UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain Pasal 20 UUPA. UUPA sebagai dasar pengaturan hak atas tanah, hanya mengatur hal-hal yang bersifat pokok-pokok saja. Beberapa ketentuan pelaksanaan diperintahkan untuk diatur kembali dengan peraturan perundang-undangan, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri, sebagaimana yang disebutkan di dalam bagian ke XII ketentuan-ketentuan lain Pasal 50 ayat (1) UUPA bahwa, ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur oleh undang-undang. Tetapi belum secara khusus, pengaturan mengenai hak milik ini dapat ditemukan di dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Pasal 20 ayat (1) UUPA menentukan bahwa, hak milik itu adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 dengan mengingat fungsi sosial. Hak milik yang dapat beralih dan dialihkan serta tidak mempunyai batas waktu tertentu. Beralihnya hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, berpindahnya hak milik kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum seperti:
36 a. Dengan meninggalnya pemilik tanah, lalu hak milik berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. b. Karena adanya suatu perbuatan hukum berupa; jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan ataupun lelang. Prosedur pemindahan hak milik diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. c. Peralihan hak milik atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing. Seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan atau badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah adalah batal demi hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Ali Achmad Chomzah dalam bukunya menjabarkan sifat-sifat hak milik sebagai berikut: a. Turun-temurun, artinya bahwa Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris b. Terkuat, artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak yang lain atas tanah c. Terpenuh, artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan. d. Dapat beralih dan dialihkan e. Dapat dibebani kredit dengan dibebani HT
37 f. Jangka waktu tidak terbatas.27 Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai hak milik ialah: a. WNI b. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Khusus
terhadap
kewarganegaraan
Indonesia
sebagaimana
yang
disebutkan di atas, sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa: “Selama seseorang di
samping kewarganegaraan
Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini”. Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa: Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan, tanpa wasiat, atau percampuran harta karena perkawinan, dengan demikian pula WNI kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung.28 Ketentuan Pasal 24 UUPA memberi batasan, bahwa penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya, dibatasi dan diatur dengan undang-undang. Sedangkan badan-badan hukum pada dasarnya tidak dapat mempunyai hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA. Pertimbanganya ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya
27
Ali Achmad Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal.5. 28 Ibid.
38 yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai berdasarkan Pasal 28, 35, dan 41 UUPA). Hal tersebut untuk mencegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik. Upaya untuk menunjang kebutuhan masyarakat dalam bidang agama, sosial
dan
ekonomi,
maka
diadakanlah
semacam
pengecualian
yang
memungkinkan badan-badan hukum dapat mempunyai hak milik. Cara tersebut berupa dispensasi oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Peraturan Pemerintah) Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Tertanggal 19 Juni 1993, Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 61. Adapun Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, yaitu: 1) Bank-bank yang didirikan oleh Negara 2) Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139) 3) Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agaria, setelah mendengar Menteri Agama 4) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agaria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial Selanjutnya dalam Pasal 27 UUPA telah diatur bahwa hak milik dapat terhapus apabila: a. Tanahnya jatuh kepada Negara; 1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA
39 2) Karena penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya 3) Karena ditelantarkan 4) Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26 ayat (2) yaitu subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah. b. Tanahnya musnah karena bencana alam. Pada
asasnya
pemilik
tanah
berkewajiban
menggunakan
atau
mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif, dan peraturan perundang-undangan membatasi penggunaan tanah yang bukan oleh pemiliknya. Pembatasan mengenai subjek hak atas tanah selain diatur dalam ketentuan Pasal 24 UUPA diatur pula dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58). Beberapa bentuk penggunaan atau pengusahaan tanah hak milik oleh bukan pemiliknya, yaitu: a. Hak milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna Bangunan b. Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Pakai c. Hak Sewa Bangunan d. Hak Gadai (Gadai Tanah) e. Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) f. Hak Menumpang g. Hak Sewa Tanah Pertanian
40 Berdasarkan Pasal 25 UUPA hak milik atas tanah dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan HT, yang dimaksud dengan HT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak tanah sebagaimana dimaksud oleh UUPA yaitu berikut atau tidak berikut benda-benda yang merupakan kesatuan dengan tanah itu (Pasal 1 angka 1 UUHT). Mengenai HT atas hak tanah akan dibahas pada bab tersendiri. Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam perkembangannya, peralihan hak karena pewarisan telah mendapat penegasan pada Bab V, Paragraf 3 tentang peralihan hak karena pewarisan sebagaimana tersebut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.29 2.1.2 Subjek Hak Guna Usaha. Pengertian Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna perusahaan, pertanian, perikanan, atau peternakan. Ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bagungan dan Hak Pakai atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996) menambahkan guna perusahaan perkebunan yang luas minimal tanah maupun luas maksimal tanahnya ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasal 28 ayat (2) UUPA jo Pasal 5 PP 40/1996. HGU pada dasarnya memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah sebagai berikut: 29
Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 103.
41 1) Hak atas tanah untuk Badan Hukum mengusahakan tanah Negara untuk keperluan perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan. 2) Jangka waktu 25 tahun atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25 tahun. 3) Luas minimum 5 hektare jika luasnya lebih dari 25 hektar harus dipergunakan tehnik perusahaan yang baik 4) Dapat beralih dan dialihkan. 5) Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani HT Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), yang dapat mempunyai HGU adalah sebagai berikut: a) WNI b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Kaitannya dengan subjek HGU, maka sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa orang atau badan hukum yang mempunyai HGU dan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebut dalam ayat (1) Pasal 30 ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGU, jika tidak memenuhi syarat dan HGU yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetap dengan peraturan
42 pemerintah. Selain itu, bahwa HGU dapat terhapus dikarenakan beberapa hal, yaitu: a. jangka waktunya berakhir b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir d. dicabut untuk kepentingan umum e. ditelantarkan f. tanahnya musnah g. ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA Ketentuan UUPA menegaskan bahwa pada tanah HGU telah diatur bahwa WNA tidak dapat menpunyai hak atas tanah tersebut. Menurut penjelasan UUPA bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak itu hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progresip, baik asli maupun tidak asli. Badan-badan hukum yang bermodal asing hak guna usaha hanya dibuka kemungkinanya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional secara berencana (Pasal 55 UUPA). Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah dan ditujukan kepada mereka para pemegang hak yang bersangkutan agar mereka memperoleh kepastian hukum, dan berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UUPA, HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT. Pasal 33 UUPA, mengatur bahwa HGU dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani
43 HT beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT. 2.1.3 Subjek Hak Guna Bangunan. Ketentuan mengenai hak guna bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UUPA dan secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Menurut ketentuan Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGB diatur dengan peraturan perundang-undangan yaitu PP 40/1996. Secara khusus diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 PP 40/1996. Pasal 35 ayat (1) UUPA memberikan pengertian yang dimaksud dengan “Hak Guna Bangunan” adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun. Selanjutnya Pasal 35 ayat (2) UUPA memberikan tambahan jangka waktu atas permintaan pemegang hak dan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunan, jangka waktu tersebut menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA dapat diperpanjang dengan paling lama 20 tahun lagi. HGB pada dasarnya memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, tanah Negara atau tanah milik orang lain 2) Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi 3) Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain 4) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT
44 Selanjutnya, bahwa Subjek HGB sebagaimana diatur menurut Pasal 36 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut: (1) WNI (2) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu, bahwa HGB dapat terhapus dikarenakan beberapa hal sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan Pasal 40 UUPA, sebagai berikut: a. jangka waktunya berakhir b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir d. dicabut untuk kepentingan umum e. ditelantarkan f. ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA Dalam kaitannya dengan subjek HGB, sebagaimana disebut di atas, maka sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa, orang atau badan hukum yang mempunyai HGB jika tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut pada ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain yang memperoleh HGB jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut
45 ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 39 UUPA menentukan bahwa, HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT. 2.1.4 Subjek Hak Pakai. Ketentuan mengenai hak pakai disebutkan di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA dan secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Menurut ketentuan Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak pakai diatur dengan peraturan perundang-undangan dan PP 40/1996 juga dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 UUPA. Hak pakai berdasarkan Pasal 41 UUPA adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannnya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan dari sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-kententuan undang-undang ini. Pasal 41 ayat (2) UUPA menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. 2) Dengan cuma-Cuma, dengan pembayaran, atau jasa berupa apapun. Pasal 41 ayat (3) UUPA menentukan Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Berdasarkan ketentuan-
46 ketentuan di atas dapat dijabarkan berbagai macam sifat-sifat dari Hak Pakai sebagai berikut: (1) Hak pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian (2) Dapat diberikan oleh pemerintah maupun oleh pemilik tanah (3) Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hal ini tidak diatur secara tegas mengenai berapa lama jangka waktu hak pakai, hanya menentukan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. (4) Hak pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun (5) Hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dengan ijin pejabat yang berwenang apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau memungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik (6) Hak pakai tidak dapat dijadikan hutang dengan dibebani HT (7) Pemberian hak pakai tdak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Subjek hak pakai menurut ketentuan Pasal 42 UUPA telah diatur bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah di Indonesia adalah sebagai berikut: (1) WNI (2) Orang-orang Asing yang berkedudukan di Indonesia (3) Badan-badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
47 (4) Badan-badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (5) Instasi Pemerintah Pengertian dalam penjelasan UUPA bahwa hak pakai adalah suatu “kumpulan pengertian” daripada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sederhana. Pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam penjelasan umum, maka hakhak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan negara-negara asing dapat diberikan hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan-badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang terbatas. Sedangkan berdasarkan Pasal 39 PP 40/1996 lebih memerinci yang dapat mempunyai hak pakai yaitu: (1) WNI (2) Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia (3) Departemen, lembaga pemerintahan non- pemerintah, dan pemerintah daerah. (4) Badan-badan keagamaan dan sosial (5) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (6) Badan-badan hukum yang mempunyai perwakilan di Indonesia (7) Perwakilan negara asing dan badan-badan Internasional Khusus subjek hak pakai untuk orang asing yang berkedudukan di Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
48 Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian bagi Oang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Bagi pemegang hak pakai yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai, maka dalam waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak pakainya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai subjek pemegang hak pakai, jika tidak maka hak pakainya hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak lain yang yang terkait dengan hak pakai akan tetap diperhatikan (Pasal 40 PP 40/1996). Berdasarkan ketentuan Pasal 52 dan Pasal 53 PP 40/1996 telah ditentukan bahwa Pemegang Hak Pakai berhak untuk: 1) Menguasai dan mengunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya 2) Memindahkan hak pakai kepada pihak lain 3) Membebani dengan HT 4) Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai menurut ketentuan Pasal 41 PP 40/1996 adalah: a. Tanah Negara b. Tanah hak pengelolaan c. Tanah hak milik Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan hak pakai bisa sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama kali mengajukan permohonan hak pakai, dalam hal
49 uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan dan pembaharuan hak pakai hanya dikenakan uang administrasi yang besarnya ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan untuk pemberian perpanjangan dan pembaharuan serta perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan Hak Pakai. Yang dapat diberikan perpanjangan hanya pada Hak Pakai yang berasal dari terjadinya hak pakai berdasarkan ketentuan Pasal 45 PP 40/1996: (1) Hak pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. (2) Sesudah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama. (3) Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada: a. Departemen ,Lembaga Pemerintah Non departemen, dan Pemerintah Daerah b. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional c. Badan keagamaan dan badan sosial Sedangkan jangka waktu perpanjangan pemberian hak pakai berasal dari atas tanah hak milik, menurut ketentuan Pasal 49 PP 40/1996
50 (1) Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang (2) Atas kesepakatan antar pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Pemegang hak pakai berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemeggang hak milik sesudah hak pakai tersebut hapus (Pasal 50 huruf (d) PP 40/1996) PP 40/1996 mengatur bahwa dalam pemberian jangka waktu hak pakai dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, pengaturan jangka waktu tersebut berbeda-beda sesuai dengan perolehan asal tanahnya. Pemegang hak pakai berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebani, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu (Pasal 52 PP 40/1996) dan mengenai pembebanan hak pakai dengan HT. UUPA tidak mengatur adanya hak pakai dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT. Pembebanan HT diatur dalam Pasal 53 PP 40/1996, yaitu hak pakai atas tanah Negara dan hak pakai atas tanah pengelolaan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan HT, dan HT hapus dengan hapusnya hak pakai. Pembebanan HT atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan atas hak milik atas rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta
51 yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.5 Subjek Hak Sewa. Pasal 1548 KUHPerdata, mendefinisikan bahwa sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Pasal 1550 KUHPerdata, mengatur tentang kewajiban dari yang menyewakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; 2. memelihara barang itu sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud; 3. memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa. Pasal 1561 KUHPerdata, mengatur tentang kewajiban penyewa jika memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi pihak yang menyewakan, maka pihak ini, menurut keadaan, dapat meminta pembatalan sewa. Pasal 1575 KUHPerdata menyatakan lagi prinsip yang jelas, bahwa jual beli tidak membatalkan sewa-menyewa (termasuk segala peralihan hak dengan
52 dalih apapun). Ketentuan hak sewa untuk bangunan oleh UUPA diatur dalam Pasal 44 hingga Pasal 45.30 Pasal 44 ayat (1) UUPA menentukan bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanahmilik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Selanjutnya dalam Pasal 44 ayat (2) ditentukan bahwa pembayaran uang sewa dapat dilakukan satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu, sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. Kemudian dalam Pasal 44 ayat (3) ditegaskan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan. Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukanlah pemilik tanah. Subjek yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa berdasarkan ketentuan Pasal 45 UUPA ditentukan sebagai berikut: a. WNI; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
30
A. P. Parlindungan, op.cit, hal. 176.
53 2.2 Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan. Pengertian Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) menurut Ketentuan Umum UUHT adalah, akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan (HT) kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. APHT adalah suatu akta yang dibuat oleh PPAT sebagai pejabat umum yang diberi tugas/wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta kuasa membebankan HT yang berisi pemberian HT dan sebagai tanda bukti adanya HT, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat HT yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Selanjutnya pengertian menurut ketentuan Pasal 14 UUHT bahwa APHT adalah: (1) Sebagai tanda bukti adanya HT, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat HT sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Sertipikat HT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (3) Sertipikat HT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
54 Sedangkan pengertian mengenai HT itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT) adalah: “Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya”. Menurut Budi Harsono dikutip oleh Salim HS dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, yang mengartikan HT sebagai “Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagai pembayaran lunas hutang debiturnya”.31 Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian dan pendaftaran HT dapat ditemukan dalam Bab IV UUHT dengan sub judul Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan, mulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 15. Adapun bunyi ketentuannya Pasal 10 sebagai berikut : (1) Pemberian HT didahului dengan janji untuk memberikan HT sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. (2) Pemberian HT dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 31
Salim HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 97.
55 (3) Apabila objek HT berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian HT dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Adapun Dasar hukum dalam APHT yang akan sangat berkaitan erat dengan HT itu sendiri yaitu diatur dalam : a. Pasal 25 : Hak Milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT; b. Pasal 33 : Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani HT; c. Pasal 39 : Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibeban HT; d. Pasah 51 : HT dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Banguan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 dan akan diatur dengan undang-undang; e. Dalam Pasal 1162 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan; f. Menurut pasal 25 UUPA, Hak Milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan; g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; h. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; i. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002; j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997;
56 k. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003. 2.2.2 Unsur-unsur dan Syarat Sah Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 5 UUHT mendefinisikan bahwa APHT adalah akta PPAT yang berisi pemberian HT kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya, APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian HT dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferent) dari pada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren). Pemberi HT sebagai jaminan pelunasan utang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman atau kredit yang bersangkutan. Pembebanan HT wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, antara lain: 1. Pasal 10 ayat (1) UUHT, menentukan bahwa pemberian HT didahului dengan janji untuk memberikan HT sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. 2. Pasal 11 (1) UUHT, menentukan bahwa dalam APHT wajib dicantumkan: a. nama dan identitas pemegang dan pemberi HT; b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan
57 c. dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; d. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1); e. nilai tanggungan; f. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Beberapa hal yang penting dalam proses pemberian HT tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut, diantaranya: subyek hak tanggungan, obyek hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan, surat kuasa membebankan hak tanggungan, hapusnya hak tanggungan, eksekusi hak tanggungan.
2.3 Kewarganegaraan 2.3.1 Pengertian Kewarganegaraan Pasal 26 ayat (2) UUD RI 1945 hasil amandemen kedua memberi definisi tentang penduduk dalam dua kategori yaitu warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 UU Kewarganegraan bahwa Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
58 Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk) juga memberi definisi yang sama, penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka maka harus dipenuhi sekurang-kurangnya 3 syarat, yaitu adanya wilayah, rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara (citizen). Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara.32 Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui oleh negara dan wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui, dihormati, dan ditaati atau ditunaikan oleh setiap warga negara. Dengan salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara harus adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip dasar, yaitu prinsip “Ius Soli” atau prinsip “Ius Sanguinis”. Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan 32
Zulfikar AR, Kajian Umum: Warga Negara dan Kewarganegaraan, http://darululum-ypui.net/, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014.
59 banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga Negara dan Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.33 Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya. Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya. Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris:
33
nationality). Perbedaannya
Ibid.
adalah
hak-hak
untuk
aktif
dalam
60 perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara. Status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. 2.3.2 Pengaturan Hukum Kewarganegaraan. Ketentuan-ketentuan
tentang
kewarganegaraan
diatur
dalam
UU
Kewarganegaraan, berbicara masalah warga negara maka juga berbicara tentang orang-orang yang berada di wilayah suatu negara tersebut, yaitu penduduk. Sebelumnya dalam Pasal 26 UUD RI 1945 didefinisikan bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia, maka penduduk dapat dibagi atas: 1. Penduduk warganegara, dengan singkat di sebut “warganegara” dan 2. Penduduk bukan warganegara yang disebut “orang asing”. Peraturan yang berlaku di bidang kewarganegaraan adalah UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dikenal dengan UU Kewarganegaraan. Sebelumnya berlaku UU Nomor 62 Tahun 1958 yang diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 1976 tentang Kewarganegaraan Republik
61 Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru. Adapun asas kewarganegaraan yang mula-mula dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan termasuk tidaknya seorang dalam golongan warganegara dari sesuatu negara, dan asas-asas inilah kemudian yang dianut di Negara Indonesia dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah: a. Asas keturunan atau Ius Sanguinis, menetapkan kewarganegaraan seorang menurut pertalian atau keturunan dari orang yang bersangkutan. Jadi yang menentukan kewarganegaraan seseorang ialah kewarganegaraan orang tuanya, dengan tidak mengindahkan di mana ia sendiri dan orangtuanya berasa dilahirkan. b. Asas tempat kelahiran atau Ius Soli, menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat ia dilahirkan. c. Asas kewarganegaraan tunggal, asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, asas menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam undangundang ini. 2.3.3 Jenis-jenis Kewarganegaraan. Gatot Supramono dalam bukunya meberi definisi tentang “orang asing”, yaitu orang yang bukan WNI dan sedang berada di Indonesia. Pengertian orang
62 asing termasuk pula badan hukum asing yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum asing. Sehubungan dengan pengertian itu, Pasal 7 UU Kewarganegaraan menyebutkan setiap orang yang bukan WNI diperlakukan sebagai orang asing.34 Dalam menentukan kewarganegaraan itu dipergunakan 2 (dua) tata aturan (stelsel) kewarganegaraan, disamping asas yang tersebut di atas, stelsel tersebut adalah: a. Stelsel aktif, menurut stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warganegara. b. Stelsel pasif, menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu. Berhubung dengan dengan kedua stelsel itu maka harus kita bedakan: 1. hak opsi, yaitu hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) 2. hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif) Karena perbedaan dasar atau asas yang dipakai dalam menentukan menentukan kewarganegaraan, maka hal demikian ini menimbulkan tiga kemungkinan kewarganegaraan yang dimiliki seseorang: 1. a-patride, adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan. Seseorang keturunan bangsa A, yang negaranya memakai dasar kewarganegaraan ius soli, lahir dinegara B, dimana berlaku dasar ius 34
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4.
63 sanguinis. Orang ini bukanlah warganegara A, karena ia tidak lahir di negara A, tetapi ia juga bukan warganegara B, karena ia bukanlah keturunan bangsa B. dengan demikian orang ini sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan, maka termasuk a-patride. 2. bi-patride, adanya seorang penduduk yang mempunyai dua kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwi-kewarganegaraan). Seorang keturunan bangsa B yang negaranya menganut asas ius sanguinis lahir di negara A, dimana berlaku asas ius soli. Oleh karena orang ini adalah keturunan bangsa B, maka ia dianggap sebagai warga negara dari negara B, akan tetapi oleh negara A ia juga dianggap sebagai warganegaranya, karena ia dilahirkan di negara A. orang ini mempunyai dwi-kewarganegaraan, maka termasuk bipatride. 3. multipatride, Seseorang yang memiliki kewarganegaraan lebih dari dua. Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai kewarganegaraan adalah sangant penting bagi setiap negara, karena hal itu dapat mencegah adanya penduduk yang a-patride dan yang bi-patride. Ketentuan-ketentuan itu penting pula untuk membedakan hak dan kewajiban-kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara. Dapat dikatakan bahwa dalam praktik, memang dapat dirumuskan adanya 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan yaitu : 1. Citizenship by birth, yaitu pewarganegaraan berdasarkan kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah sebagai warga negara yang bersagkutan. Asas yang dianut adalah ius soli.
64 2. Citizenship by descent, yaitu pewarganegaraan berdasarkan keturunan di mana seorang yang lahir di luar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan keduanya adalah warga negara tersebut, asas yang dipakai disini adalah ius sanguinis. 3. Citizenship by naturalisation, yaitu pewarganegaraan orang asing yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan pewrmohonan untuk menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan untuk itu. 4. Citizenship by registration, yaitu pewargganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran ulang yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. 5. Citizenship by incorporation of territory, yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Seseorang dapat pula kehilangan kewarganegaraan karena 3 kemungkinan sebagai berikut : 1. Renunciation, yaitu tindakan seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari 2 negara atau lebih. 2. Termination, yaitu penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum, kareana yang bersangkutan memeperoleh kewarganegaraan dari negara lain. 3. Deprivation, yaitu suatu penghentian paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena
65 terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan Undang-Undang Dasar. Status kewarganegaraan pada pokoknya terkait dengan status seseorang sebagai warga dari suatu negara. Oleh karena itu kewarganegaraan itu biasanya dipahami bersifat tunggal. Namun, di beberapa negara federal, seperti misalnya AS dan Switzerland, setiap orang dianggap terkait dengan dua subjek negara, yaitu negara bagian dan negara federal. Oleh karena itu, warga negara AS dan Switzerland, pada hakikatnya memiliki 2 macam kewarganegaraan, yaitu sebagai warga negara nasional dan warga negara bagian. Tentu tidak semua negara federal menganut paham demikian. Meskipun misalnya India, meskipun susunan organisasinya juga federal, tidak menganut prinsip dwi kewarganegaraan seperti itu. Negara federal India mirip dengan praktik di negara kesatuan, yaitu memandang status kewarganegaraan warganya bersifat tunggal. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip “ius sanguinis” yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
66 Sering
terjadi
perkawinan
campuran
yang
melibatkan
status
kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar
kelahiran
atau
melalui
proses naturalisasi
atau
pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas,
maka
yang
bersangkutan
secara
langsung
mendapatkan
status
kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.35 Lebih khusus tentang cara memperoleh status WNI, sebagai berikut: Status WNI dapat diperoleh oleh WNA melalui 3 (tiga) cara yang bersifat alternatif, yaitu dengan naturalisasi, perkawinan, dan dengan pemberian oleh pemerintah RI.36 1) Naturalisasi, Pasal 8 UU Kewarganegaraan, mengatur bahwa Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan. Dengan syarat-syarat yang telah diatur melalui Pasal 9 UU Kewarganegaraan, yaitu: a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin; 35 36
Zulfikar AR, loc.cit. Gatot Supramono, Op.cit. hal. 5.
67 b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut; c. sehat jasmani dan rohani; d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih; f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda; g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. 2) Perkawinan, Pasal 19 ayat (1) UU Kewarganegaraan, mengatur bahwa WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. 3) Pemberian Pemerintah, Pasal 20 UU Kewarganegaraan, mengatur bahwa orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
68 Potensi masalah mulai muncul ketika kepentingan ekonomi yang menuntut suatu transaksi global, pembauran berbagai budaya pun tidak dapat dihindari, di satu sisi, setiap kita selaku warga negara dituntut untuk menjunjung tinggi rasa nasionalitas termasuk dalam hal pemanfaatan tanah. Kepentingan ekonomi global memaksa banyak pihak untuk seolah acuh terhadap hal tersebut, pada dasarnya secara realita kita dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit untuk mengenali batas-batas yang betul-betul benar dalam masalah yang sangat rumit, dan hanya pertimbangan dan kebijaksanaan yang mampu memecahkannya.
69 BAB III SUBJEK HAK TANGGUNGAN YANG LAHIR DARI AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
3.1 Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai Akta Autentik Perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur adalah dasar untuk pemberian HT. Pasal 1313 KUHPerdata telah mengatur bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Teori perjanjian sangat erat kaitannya dalam hal pemberian HT, lebih khusus dalam hal pengaturan tentang berbagai perjanjian yang diharuskan sebelum HT diberikan kepada penerima HT. Ada beberapa pendapat para pakar hukum tentang pengertian akta, antara lain, menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani37. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu, hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditandatangani.38
37
R Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, hal. 78. Sudikno Mertokusumo, 1993, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 120. 38
69
70 Secara umum dapat disimpulkan bahwa akta notaris adalah akta autentik, yaitu suatu tulisan yang dibuat untuk membuktikan suatu perbuatan atau hubungan tertentu. Sebagai suatu akta autentik, maka notaris tersebut memberikan kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna bagi pihak-pihak yang membuatnya. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang yang menjalankan usaha di bidang ekonomi atau menjalin hubungan hukum dengan orang lain pastilah permah menerima atau membuat suatu akta. Pembuatan akta-akta tersebut biasanya sejak awal dimaksudkan sebagai pembuktian aau sebagai alat bukti tentang adanya hubungan hukum antara seseorang yang satu dengan lainnya. Dengan suatu akta sebagai bukti, maka seseorang akan dapat dengan mudah membuktikan adanya hubungan hukum tersebut jika kelak ada pihak yang ingkar atau wanprestasi. Akta juga dapat dijadikan sebagai dasar oleh seseorang untuk meminta (menuntut) pihak lain agar melaksanakan kewajiban hukum yang tertuang dalam akta. Mengenai pengertian akta, dalam hukum Romawi kata “akta” disebut gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae). Dari berbagai kata tersebut diatas kemudian muncul kata-kata publicare dan insinuari, actis inseri yang berarti mendaftarkan secara publik.39 Akta merupakan salah satu alat bukti yang bersifat tertulis atau surat. Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran 39
Muhammad Adam, 1985, Bandung, hal. 252.
Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru,
71 seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.40 Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari sesuatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.41. Terdapat dua jenis surat sebagai alat bukti tertulis, yaitu surat berupa akta dan surat bukan akta. Akta itu sendiri dibagi menjadi akta di bawah tangan dan akta autentik.42 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan kata “autentik” dengan definisi “dapat dipercaya, asli, tulen, sah”.43 Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh Negara, menurut ketentuanketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, dasar hukumnya terdapat pada Pasal 165 HIR, 1868 KUHPerdata, dan 285 Rbg. Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja buat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam versi lainnya dapat dikatakan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh Notaris/PPAT atau pejabat resmi lainnya untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. Pejabat resmi lainnya atau pegawai umum yang dimaksud dapat berlaku pada seorang hakim, juru sita pada suatu 40
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 10. 41 R. Subekti, 1985, loc.cit. 42 Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hal. 120. 43 Pusat Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/autentik, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014.
72 pengadilan, pegawai catatan sipil, dan sebagainya, dengan demikian maka suatu akta Notaris/PPAT, suatu-surat putusan hakim, suatu surat proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan dan suatu surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah termasuk ke dalam akta-akta autentik. Akta jika dilihat dari pembuatannya, maka dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam akta, yaitu: a. Akta dibawah tangan, adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. b. Akta autentik, adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang dikuasakan untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPerdata). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah akta dapat dikatakan mempunyai kekuatan sebagai akta autentik apabila akta tersebut dibuat oleh pejabat yang diangkat oleh pihak yang berwenang. Istilah dan pengertian akta autentik sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa yang dimaksud dengan akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya, menurut ketentuan pasal ini, sebuah akta dapat dikatakan autentik apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
73 b. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud pembuatan akta tersebut; c. Dibuat di daerah atau wilayah kewenangan pejabat. Para pihak dalam membuat perjanjian, kadangkala tidak dibuat di hadapan Notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di bawah tangan (“di bawah tangan” merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “onderhands”). Jadi, akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta autentik, sedangkan akta yang dibuat hanya di antara para pihak yang berkepentingan disebut akta di bawah tangan. Biasanya, bukti itu diperlukan kalau ada sengketa. Sebaliknya, dalam hal tidak ada sengketa, akta autentik, akta di bawah tangan yang dilegalisasi maupun di-waarmerking, pada prinsipnya sama saja. Tidak semua akta dapat dibuat di bawah tangan, misalkan Akta pendirian PT, Yayasan, Firma, Perjanjian Kawin harus dibuat secara autentik. Akta autentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting dari kedua jenis akta tersebut terletak pada nilai pembuktiannya. Akta autentik memiliki pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Dengan kesempurnaan akta yang dibuat oleh notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain seperti yang tertulis dalam akta tersebut. Suatu akta notaris yang merupakan suatu keterangan notaris dalam kedudukannya sebagai Pejabat Umum untuk menjamin: a. Kehadiran para penghadap;
74 b. Pada tempat tertentu; c. Pada tanggal tertentu; d. Benar para penghadap memberikan keterangan sebagaimana tercantum dalam akta atau benar terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam akta; e. Benar ditandatangani oleh para penghadap untuk akta pihak (akta partij). Pasal 44 ayat (2) UUJN mensyaratkan bahwa akta notaris harus ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan. Tanda tangan merupakan suatu susunan (huruf) tanda berupa tulisan dari orang yang menandatangani agar orang tersebut dapat diindividualisasikan. Pembubuhan tanda tangan mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai identifikasi dan penyataan kehendak. Tanda tangan dalam akta bertujuan agar para pihak tidak dapat memungkiri fakta yang dinyatakan. Dengan individualisasi tersebut, diharapkan pihak lain dapat melakukan verifikasi. Pasal 1870 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akta autentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi apabila akta itu memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi, apabila antara pihak-pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam akta autentik itu merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain. Di sini, akta autentik memberikan fungsi penting daam praktak hukum sehari-hari,
75 yaitu memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat. Lain halnya dengan akta di bawah tangan yang masih dapat disangkal dan baru mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh kedua belah pihak atau dikuatkan lagi dengan alat-alat pembuktian lainnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akta di bawah tangan merupakan permulaan bukti tertulis (begin van schrifttelijk bewijs). Secara umum, pada setiap akta autentik, termasuk pula akta notaris, dapat dibedakan tiga kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut: 1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris dapat berlaku sebagai akta autentik. 2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) ialah kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. 3. Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakpihak yang membuat akta atau yang mendapat hak dari akta dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Akta Notaris harus dapat dinilai kekuatan pembuktiannya, bagaimana perbandingan dari kekuatan-kekuatan pembuktian yang tersimpul di dalamnya. Ada kalanya, bahwa meskipun kekuatan pembuktian yang lahiriah (uitwendige bewijskracht) kuat, tetapi kekuatan pembuktian formalnya atau materialnya
76 kurang kuat, karena terlalu banyak mengandung tindakan-tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan kurang mengandung tindakan-tindakan hukum, sehingga untuk sebagian saja merupakan alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR/185 RBG, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari akta. Berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti terdiri dari: (1) bukti tulisan, (2) bukti dengan saksi-saksi, (3) persangkaan-persangkaan, (4) pengakuan, dan (5) sumpah. Alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata, jelas bahwa alat bukti tulisan merupakan alat bukti yang utama daripada alat bukti lainnya. Adapun dari bukti tulisan tersebut terdapat suatu yang berharga untuk pembuktian yaitu akta. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata : “Akta autentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”. Agar berlaku sah resmi menurut hukum, umumnya seseorang akan membuat akta, surat, perbuatan hukum tertentu di hadapan notaris. Cara tersebut dianggap lebih baik dibandingkan dengan membuat surat di bawah tangan, walaupun ditandatangani di atas materai, lengkap dengan para saksi.
77 Menurut C.A Kraan memberikan beberapa ciri yang terdapat dalam sebuah akta autentik, yaitu: a. Suat tulisan yang sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana yang ditulis dan dinyatakan oleh perjabat yang berwenang.
Tulisan
tersebut
turut
ditandatangani
oleh
atau
hanya
ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan; b. Suatu tulisan yang harus dianggap berasal dari pejabat yang berwenang, sampai ada bukti sebaliknya; c. Memenuhi ketentuan yang mengatur tatacara pembuatannya (sekurangkurangnya memuat mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya); d. Pejabat yang bersangkutan diangkat oleh negara, mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk independence) serta tidak memihak (onpartijdig impatial) dalam menjalankan jabatannya; e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat merupakan hubungan hukum dalam bidang hukum privat. Akta merupakan suatu tulisan yang berarti segala sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca. Menurut R.E. van Esch, sebagai alat bukti, material yang digunakan untuk menerangkan tulisan tersebut haruslah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: a. Ketahanan akan jenis material yang dipergunakan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan minuta akta sehingga aktanya tetap bertahan ketika disimpan;
78 b. Ketahanan terhadap pemalsuan sehingga lebih memberikan jaminan bagi para pihak; c. Orisinalitas bahwa hanya ada satu minuta akta yang ‘asli’, kecuali untuk akta in originally yang dibuat dalam beberapa rangkap yang tetap dianggap ‘asli’; d. Publisitas bagi para pihak yang berkepentingan untuk melihatnya; e. Data-data yang terdapat dalam akta dapat segera diketahui atau mudah terlihat (waarneembaarheid); f. Akta mudah dipindahkan.
3.2 Peran Notaris dan PPAT dalam Pembuatan APHT Notaris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai “orang yang mendapat kuasa dari pemerintah untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya”.44 Mengingat besarnya tanggung jawab yang disandang oleh seorang Notaris, maka jabatan Notaris dijalankan oleh mereka yang selain memiliki kemampuan ilmu hukum yang memadai harus pula dijabat oleh mereka yang beretika dan berakhlak tinggi.45 Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) mendefinisikan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
44
Pusat Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/notaris, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014. 45 Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, PT Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 173.
79 untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Undang-undang ini yang dimaksud adalah UUJN yang di dalamnya telah mengatur kewenangan yang dimaksud dan diuraikan dalam Pasal 15 UUJN sebagai berikut: (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
80 e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. Pasal 15 ayat (3) UUJN, mengatur bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN, Notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kaitannya dalam penelitian ini terkait peraturan perundang-undangan lain yang mengatur kewenangan Notaris adalah dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan HT; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas obyek HT, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi HT. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dalam BAB I
ketentuan umum Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian, bahwa yang
dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pengertian ini dapat ditemukan pula pada BAB I Ketentuan Umum
81 Pasal 1 angka 4 UUHT, bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan HT menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah menyebutkan bahwa jika orang yang mempunyai hak atas tanah meninggal dunia, maka yang menerima tanah itu sebagai warisan wajib meminta pendaftaran peralihan hak tersebut dalam waktu 6 bulan sejak meninggalnya orang itu
46
. Peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah, kecuali peralihan hak guna usaha oleh pejabat khusus, yaitu Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah.47 Dilihat dari pembuatannya akta pejabat ini dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang pejabat yang menurut Pasal 19 No. 10 Tahun 1961 berwenang untuk membuat akta perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, mengadakan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan Penunjukkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta hak dan kewajibannya diatur di dalam Pasal 6 ayat 1 PMA No. 24 Tahun 1997 (TUN 1997 No. 2344) dan juga telah ditambah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 4 Tahun 1963, ditetapkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ialah: 46
Munir Faudy, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 182-183 47 Soetomo, 1991, Buku Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 16.
82 a. Notaris b. Pegawai-pegawai yang bukan pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah. c. Para Pegawai Pamong Praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT. d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Ditjen Agraria.48 Dengan demikian jelaslah bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut selain ditetapkan oleh Menteri Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional), maka tidak mungkin orang lain dapat bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali untuk para Asisten Wedana Kepala Kecamatan, karena jabatannya juga merangkap sebagai PPAT, untuk wilayah Kecamatannya. Jika Camat itu kemudian berhenti atau dipindahkan, maka penggantinya
dengan
sendirinya
menggantikannnya
sebagai
PPAT.
Kebijaksanaan yang diambil dalam pengangkatan PPAT ialah bahwa karena masing-masing selalu diberi daerah kerja yang meliputi lebih dari satu Kecamatan, dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada para Camat bertindak sebagai PPAT sementara di daerah-daerah dimana pejabat Pamong Praja yang terendah bukan Camat, tetapi misalnya Wedana atau Punggawa maka merekalah yang menjadi PPAT sementara.49 Sedangkan pengertian akta PPAT menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
48
Parlindungan, 1998, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabatan Pembuatan Akta Tanah, Alumni, Bandung, hal. 13. 49 Eddy Ruchiyat, 1984, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, CV. Armico, Bandung, hal. 54.
83 Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian, bahwa Akta PPAT adalah akta tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Menurut Wirjono Prodjodikoro definisi Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan Hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau satuan hak milik atas satuan rumah susun.50 Proses pemindahan hak atas tanah oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa penyelenggaraannya dilakukan oleh pejabat khusus yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat oleh Menteri Agraria setelah melalui ujian dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah rumah susun. PPAT mempunyai kewenangan dalam membuat akta autentik sehubungan dengan perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, sehingga mampu memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Dalam perjanjian hutang-piutang dengan objek jaminannya berupa hak atas tanah hak milik yang mempunyai nilai ekonomis seperti dalam hal pemberian HT, maka akta PPAT sebagai tanda bukti telah 50
Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Tanah Indonesia, Jilid 1, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 15.
84 dilakukannya perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tersebut, dan apabila debitur cidera janji, maka akta autentik yang dibuat oleh PPAT tersebut dapat dijadikan sebagai tanda bukti yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hyphoteek sepanjang mengenai hak atas tanah (Pasal 14 ayat (3) UUHT). Kewenangan PPAT membuat akta pertanahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dalam hal sebagai berikut: 1. Jual beli; 2. Tukar menukar; 3. Hibah; 4. Pemasukan kedalam Perusahaan (inbreng); 5. Pembagian hak bersama; 6. Pemberian HGB/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; 7. Pemberian HT; 8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan/SKMHT; Pasal 1867 KUHPerdata mengatur mengenai pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik dan tulisan di bawah tangan. Berdasarkan pasal tersebut disimpulkan bahwa akta terdiri dari 2 (dua) macam yaitu : akta autentik dan akta dibawah tangan. Definisi akta autentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat
85 oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta tersebut dibuat. Akta autentik yang dibuat oleh notaris dibagi 2 (dua) macam yaitu : akta autentik yang dibuat oleh pejabat atau disebut sebagai akta pejabat (ambtelijke akta, Procesverbaal akta) dan akta autentik yang dibuat dihadapan pejabat yang memuat pernyataan yang disebut sebagai akta para pihak (partij acte). Menurut Liliana Tedjosaputro, “memuat pernyataan-pernyataan, kesaksian-kesaksian oleh notaris mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh notaries sendiri atau fakta-fakta yang disaksikan notaris selama berlangsungnya pembuatan akta”.51 Akta Autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk
dimuat didalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Akta autentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapannya, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum yang berwenang. Akta ini dibuat semata-mata oleh para pihak yang berkepentingan. Mencermati definisi suatu akta yang dikategorikan autentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, maka salah satunya adalah dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, namun pada kenyataannya bahwa ternyata Akta PPAT sampai saat ini hanya dibuat berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah, seharusnya 51
Liliana Tedjosaputro, 1991, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang, hal. 10.
86 diperlukan suatu undang-undang untuk mengatur tentang PPAT dan bentuk Akta PPAT, sehingga terpenuhilah unsur autentik suatu akta. Selain PPAT, Notaris juga sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, diberi kewenangan dalam hal pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan. Notaris yang juga menjabat sebagai PPAT banyak melakukan pelayan jasa pembuatan akta tanah, hal ini memperlihatkan kepada masyarakat awam bahwa Notaris lah yang membuat akta tanah, padahal tidaklah demikian. Kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, “bukan akta tanah” (seperti dalam hal pembuatan SKMHT), karena pada prinsipnya PPAT lah yang berwenang dalam membuat akta tanah karena secara kelembagaan PPAT yang terhubung langsung dengan kantor pertanahan bukan Notaris. Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan dalam kondisi tertentu tidak dilakukan dengan membuat APHT secara langsung, semisal pembebanan terhadap objek jaminan berupa tanah yang belum bersertipikat. Terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat, debitur membuat SKMHT (dibuat oleh Notaris/PPAT) kepada debitur. Pertimbangan hukum tidak dibuatnya APHT terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar dikarenakan terdapat kemungkinan hak-hak atas tanah tersebut belum jelas kepemilikannya. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
87 Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
3.3 Peran BPN dalam Pendaftaran dan Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi bidang tugas pertanahan yaitu Kantor Wilayah Pertanahan Nasonal Propinsi Daerah Tingkat I dan Kantor Pertanahan di Daerah Tingkat II/Kotamadya Tingkat II, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah. Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, menjelaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut BPN RI) adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh seorang Kepala. Selanjutnya, dalam Pasal 2 tentang tugas, BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam menyelenggarakan fungsi:
Pasal
2, BPN RI
88 a. penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan dan kerja sama di bidang pertanahan; c. pelaksanaan
koordinasi
tugas,
pembinaan,
dan
pemberian
dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI; d. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan; e. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat; f. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan; g. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan penetapan hak tanah instansi; h. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan; i. pengawasan dan pembinaan fungsional atas pelaksanaan tugas di bidang pertanahan; j. pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan; k. pelaksanaan pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; l. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; m. pelaksanaan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; dan
89 n. penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang
Pendaftaran Tanah, meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Selanjutnya, dalam Pasal 12 ayat (1), bahwa kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. pembuktian hak dan pembukuannya; c. penerbitan sertifikat; d. penyajian data fisik dan data yuridis; e. penyimpanan daftar umum dan dokumen. Berikutnya dalam Pasal 12 ayat (2) menjelaskan bahwa kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. 3.3.1 Dalam hal Pendafataran Hak Tanggungan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal pendafataran HT berperan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UUHT dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. (2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. (3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi
90 obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. (4) Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. (5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Ketentuan di atas memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana peran BPN melalui Kantor Pertanahan dalam melakukan pendaftaran HT yaitu: 1. Menerima pendaftaran APHT beserta warkah pendukungnya yang dikirim oleh PPAT 2. Membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan Pendaftaran HT merupakan bagian dari pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah di BPN melalui Kantor Pertanahan yang diatur dengan ketentuan sebagai berikut: Persyaratan: 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli 6. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) 7. Salinan APHT yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor untuk pembuatan sertipikat Hak Tanggungan 8. Fotocopy KTP pemberi HT (debitur) atau Akta Pendirian Badan Hukum, penerima HT (Kreditur) dan/atau kuasanya yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
91 9. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila Pemberian Hak Tanggungan melalui Kuasa Waktu: Hari ketujuh Keterangan, formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.52 3.3.2 Dalam hal Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal penerbitan sertipikat HT berperan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUHT dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". (3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. (4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. (5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan. Ketentuan di atas memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana peran BPN melalui Kantor Pertanahan dalam menerbitkan Sertipikat HT:
52
Badan Pertanahan Nasional RI, Layanan Pertanahan, http://site.bpn.go.id/o/beranda/layanan-pertanahan/, diakses terakhir pada tanggal 22 Maret 2014.
92 1. Menerbitkan Sertipikat HT dengan mencamtumkan irah-irah di sertipikat tersebut
dengan
kata-kata
"DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA". 2. Mengembalikan sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan HT kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan 3. Menyerahkan Sertipikat HT kepada pemegang HT.
3.4 Akibat Hukum yang Lahir dari Pemberian Hak Tangunggan Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan kesepakatan antara para pihak sebelum dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT, mekanisme dan tata caranya telah diatur dalam berbagai aturan yaitu dalam Pasal 10 UUHT : (1) Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. (2) Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (3) Apabila obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetap pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan
93 bersamaan
dengan
permohonan
pendaftaran
hak
atas
tanah
yang
bersangkutan. Tata cara pembebanan Hak Tanggungan dimulai dengan tahap pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pada prinsipnya pemberi Hak Tanggungan (debitur atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya (daerah kerjanya adalah per kecamatan yang meliputi kelurahan atau desa letak bidang tanah hak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan). Didalam APHT disebutkan syarat-syarat spesialitas (sebagaimana disebutkan diatas), jumlah pinjaman, penunjukan objek Hak Tanggungan, dan halhal yang diperjanjikan Pasal 11 (2) UUHT oleh kreditur dan debitur, termasuk janji Roya Partial Pasal 2 (2) UUHT dan janji penjualan objek Hak Tanggungan di bawah tangan Pasal 20 UUHT. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang bekaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap kreditur- kreditur lain. Tugas Notaris/PPAT dalam suatu Perjanjian Kredit dan kaitanya dengan Pemasangan Hak Tanggungan adalah, Membuat Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang biasanya APHT di buat berdasarkan Surat Kuasa Memasang Hak tanggungan (SKMHT)
94 atau langsung di pasang Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pemberi Hak Tanggungan menghadap tanpa SKMHT). Hak atas tanah menurut UUPA sebagai objek Hak Tanggungan menurut rumusan Pasal 1 ayat (1) UUHT, bahwa pada dasarnya benda yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan atau benda yang menjadi objek dari Hak Tanggungan itu adalah tanah atau hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA. Heru Soepraptomo mengungkapkan bahwa dalam praktik jaminan yang diterima oleh bank dapat berupa hak atas tanah, simpanan (deposito), piutang dagang, mesin pabrik, bahan baku, stok barang dagangan, dan lain-lain. Jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor, karena dapat memberikan keamanan bagi bank dari segi hukumnya maupun nilai ekonomisnya yang pada umumnya meningkat terus.53 Namun, tidak semua hak atas tanah dapat menjadi jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, benda yang bersangkutan harus memenuhi berbagai syarat yaitu: 1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; 2. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cidera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual; 3. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan tentang pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi “syarat publisitas” 4. Memerlukan penunjukan khusus oleh suatu undang-undang. 53
Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 351.
95 Sehubungan dengan apa yang disyaratkan di atas, UUPA telah menetapkan di dalam ketentuannya pada Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 seperti yang disebutkan pula dalam ketentuan Pasal 4 UUHT, bahwa yang dapat menjadi objek HT yaitu: (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. (2) Selain hak-hak diatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Adapun proses pembebanan hak tanggungan terdiri atas dua tahap yaitu tahap pemberian hak tanggungan yang dilakukan dihadapan PPAT dan tahap pendaftaran hak tanggungan yang dilakukan pada Kantor Pertanahan. Hal tersebut dapat dijumpai dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan, Pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 119. Proses pembebanan HT sebagaimana diatur pada Pasal 10 UUHT dengan ketentuan sebagai berikut: (1) APHT dibuat 2 lembar yang semuanya asli (“in originali”) ditandatangani oleh pemberi HT, kreditor penerima HT dan 2 orang saksi serta PPAT. Dalam
96 pembuatan APHT tidak ada minuta dan tidak juga dibuat salinannya dalam bentuk “grosse” Lembar pertama akta tersebut disimpan di kantor PPAT. Lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertifikat HT. (2) Tahap Pemberian yang dilakukan dihadapan PPAT, menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku, PPAT atau pejabat umum yang berwenang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya telah ditetapkan, sebagai buku dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak didalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukannya sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang dimuat oleh PPAT merupakan akta yang otentik. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pemberian hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir di hadapan PPAT. Jika karena suatu sebab tidak dapat hadir, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Pemberian kuasa pada hakekatnya merupakan suatu per setujuan dari seorang pemberi kuasa kepada penerima kuasa guna menyelenggarakan suatu urusan. Menurut KUHPerdata kuasa mana dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta
97 umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dapat terjadi pula pemberian kuasa secara diam-diam (Pasal 1793 KUHPerdata) Surat kuasa untuk
membebankan
hak
tanggungan
menurut
undang-undang
hak
tanggungan 1996 tersebut dipisahkan antara surat kuasa membebankan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang sudah didaftar, dan surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum didaftar. Surat kuasa membebankan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah kuasa tersebut diterima (Pasal 15 ayat 3 UUHT). Sedangkan surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan akta pembuatan hak tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Pada tahap pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan pada kreditur, hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak tanggungan belum lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah di kantor pertanahan. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarkannya hak tanggungan tersebut sangat penting bagi kreditur, saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya terhadap kreditur-kreditur lain, melainkan juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang juga pemegang hak tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminan. Dalam UUHT disebutkan bahwa tanggal buku tanah yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaaan surat-surat
98 yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh kantor pertanahan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan bertanggal hari kerja berikutnya. (3) Pendaftaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, dan pengolahan pembukuan,dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang ada haknya. Pembebanan hak atas tanah merupakan pemasangan jaminan pada hak atas tanah yang membebaninya maka akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT wajib dikirim dan didaftarkan kepada kantor pertanahanselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya. Adapun mekanisme pendaftaran hak tanggungan di kantor pertanahan adalah sebagai berikut : (1)
Mendaftarkan pada loket pendaftaran.
(2)
Mengisi blanko permohonan pendaftaran dan mengajukannya ke loket pengajuan permohonan.
(3)
Pemeriksaan keabsahan akta oleh kepala sub seksi peralihan, pembebanan hak, dan PPAT.
(4)
Membayar biaya pendaftaran.
(5)
Proses pengerjaan berupa pengetikan blanko sertipikat hak tanggungan, mengisi atau membuat buku tanah yang menjadi obyek hak tanggungan.
(6)
Salinan APHT dijilid bersama sertipikat hak tanggungan.
99 (7)
Diserahkan pada kepala sub seksi peralihan, pembebanan hak dan PPAT.
(8)
Akta asli yang bermaterai menjadi arsip buku tanah hak tanggungan.
(9)
Kemudian dikoreksi oleh kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah
dan
diajukan
kepada
kepala
kantor
pertanahan
untuk
ditandatangani. (10) Setelah penandatanganan oleh kepala kantor pertanahan diberikan ke petugas pembukuan. (11) Sertipikat hak tanggungan dapat diambil. Pembukuan didalam buku tanah hak tanggungan oleh kepala kantor pertanahan. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh kepala kantor pertanahan atas dasar data yang ada didalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari APHT, dengan dibuatnya buku tanah tersebut hak tanggungan yang bersangkutan baru lahir dan kreditur menjadi pemegang hak tanggungan. Permohonan hak tanggungan dapat didaftarkan pada loket pendaftaran yang telah ditentukan oleh kantor pertanahan. Pencatatan adanya hak tanggungan dalam buku tanah dan sertipikat obyek hak tanggungan setelah dibuat buku tanah adanya hak tanggungan oleh kepala kantor pertanahan dicatat pada buku tanah dan menyalinnya pada sertipikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan. Dengan demikian selesailah acara pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi salinan catatan adanya hak tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang haknya,
100 kecuali kalau ada perjanjian tertulis untuk diserahkan kepada pihak kreditur pemegang hak tanggungan. 3.4.1 Terhadap Subjek Hak Tanggungan. Perjanjian pembebanan HT bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaan HT akibat dari adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian HT adalah perjanjian hutang piutang dengan menggunakan objek tanah sebagai benda jaminannya. Pasal 8 ayat (1) UUHT, menentukan bahwa pemberi HT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT yang bersangkutan. Akibat hukum yang lahir dari pemberian APHT kepada pemegang APHT adalah kekuasaan dan kewenangan yang semula dipunyai oleh pemberi HT terhadap objek HT akan berpindah kepada si penerima HT, misalkan penerima HT membatasi kewenangan pemberi
HT
untuk tidak menyewakan,
merombak bangunan,
maupun
mengalihkan objek HT tanpa persetujuan dari pemegang HT. Sedangkan subjek pemegang HT mempunyai kewenangan lebih luas dibandingkan dengan subjek pemberi HT, yaitu dapat mengelola meskipun harus melalui penetapan dari Pengadilan Negeri, bahkan menjual melalui lelang objek HT tanpa persetujuan dari subjek pemberi HT bilamana subjek pemberi HT dianggap cidera janji. Dalam kenyataannya banyak ditemui bahwa subjek pemegang HT perseorangan WNA menempati objek HT dengan dalih menyewa atau menyewakan objek HT tersebut kepada pihak lain.
101 3.4.2 Terhadap Objek Hak Tanggungan Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan, untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus tanggungan tersebut
ada catatan mengenai hak
pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang
dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya. d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang. Dalam Pasal 4 UUHT mengatur bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah: 1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA) ; 2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
102 3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) ; 4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 huruf d UUPA). Berdasarkan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan; 5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Pasal 6 UUHT mengatur bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 21 UUHT juga mengatur bahwa apabila pemberi HT dinyatakan pailit pemegang HT tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT.
103
BAB IV DAMPAK HUKUM WARGA NEGARA ASING SEBAGAI SUBJEK HAK TANGGUNGAN
4.1 Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai Pemenuhan Hak Debitur terhadap Kreditur Dampak hukum dari pemberian HT kepada WNA tidak lepas dari peran dan fungsi pejabat umum, baik Notaris/PPAT maupun BPN. Teori tanggung jawab menjadi penting untuk dikaitkan dalam menganalisis tentang penerapan dan pengaturan peran pejabat umum dalam menjalankan tugas dan fungsinya terkait penerbitan SKMHT/APHT dan HT yang secara khusus dalam peristiwa ketika WNA bertindak selaku penerima HT. Kemudian jenis pendekatan sejarah dgiunakan untuk menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan tentang pemanfaatan tanah di Indonesia oleh WNA baik menurut UUPA maupun UUHT. Pasal 11 UUHT mengatur tentang beberapa hal yang harus dilaksanakan berkaitan dengan pembuatan APHT, sebagai berikut: (1) Di dalam APHT wajib dicantumkan: a. Nama identitas pemegang dan pemberi HT; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana yang dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, Kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang di pilih; 103
104 c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1); d. nilai tanggungan; e. uraian yang jelas menegenai objek HT. (2) Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji, antara lain: a. janji yang membatasi kewenangan pemberi HT untuk menyewakan objek HT dan atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HT; b. janji yang membatasi kewenangan pemberi HT untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek bangunan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HT; c. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk mengelola objek HT berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek HT apabila debitor sungguhsungguh cidera janji; d. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk menyelamatkan objek HT, jika hal itu diperlukan untuk melaksanakan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek HT karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang; e. Janji bahwa pemegang HT pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuatan sendiri objek HT apabila debitor cidera janji;
105 f. Janji yang diberikan oleh pemegang HT pertama bahwa objek HT tidak akan dibersihkan dari HT; g. Janji bahwa pemberi HT tidak akan melepaskan haknya atas objek HT tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; h. Janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi HT untuk pelunasan piutangnya apabila objek HT dilepaskan haknya oleh pemberi HT atau dicabut Haknya untuk kepentingan umum; i. janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh uang asuransi yang diterima pemberi HT untuk pelunasan piutangnya jika objek HT diasuransikan; j. janji bahwa pemberi HT akan mengosongkan objek HT pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; k. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). Selanjutnya, dalam Pasal 12 UUHT dengan tegas ditentukan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk memiliki objek HT apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Kemudian dalam pasal berikutnya, yaitu dalam Pasal 13 UUHT juga mengatur tentang mekanisme penerbitan APHT, yaitu sebagai berikut: (1) Pemberian HT wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan; (2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari Kerja setelah penandatanganan APHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) PPAT wajib mengirimkan
106 APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan; (3) Pendaftaran HT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah HT dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek HT serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan; (4) Tanggal buku tanah HT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya; (5) HT lahir pada hari tanggal buku tanah HT sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Mekanisme penerbitaan APHT lebih lanjut dijabarkan dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 14 UUHT mengatur, yaitu sebagai berikut: (1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat, HT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Sertifikat HT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASAR KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (3) Sertifikat HT sebagaimana dimkasud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
107 kekuatan hokum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang menegenai hak atas tanah; (4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan HT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan; (5) Sertifikat HT diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan. Dari rumusan-rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa tidak dimungkinkan melakukan penyimpangan terhadap UUHT. Penyimpangan dapat dilakukan kecuali diijinkan oleh ketentuan undang-undang, penyimpangan terhadap ketentuan yang diatur UUHT, kecuali diperkenankan, mengakibatkan tidak berlakunya HT tersebut, atau dalam hal ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan.54 Ketentuan Pasal 10 UUHT memberikan rumusan bahwa pemberian HT harus dan hanya dapat diberikan melalui APHT yang dibuat oleh PPAT. Sedangkan Surat Kuasa Membebankan HT (SKMHT) menurut ketentuan Pasal 15 UUHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian HT dari debitur kepada kreditur sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Dasar hukum Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur yang bersangkutan (kreditur preferen) daripada kreditur-kreditur lain (kreditur konkuren) Pasal 1 ayat (1) UUHT. Jadi, Pemberian HT adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitur 54
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, 2008, Seri Hukum Harta Kekayaan dan Hak Tanggungan, Kencana Media Group, Jakarta, hal. 149.
108 kepada
kreditur
sehubungan
dengan
perjanjian
pinjaman/kredit
yang
bersangkutan. Tanah sebagai obyek HT dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal itu dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasil karya, dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain (bila benda-benda itu milik pihak lain, yang bersangkutan/pemilik harus ikut menandatangani APHT). Pembebanan HT wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu : Pemberian HT didahului dengan janji untuk memberikan HT sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian HT wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi; nama dan identitas pemegang dan pemberi HT, domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan HT, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai objek HT. Beberapa hal yang penting dalam proses pemberian HT tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut, diantaranya: subyek hak tanggungan, obyek hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan, surat kuasa membebankan hak tanggungan, hapusnya hak tanggungan, eksekusi hak tanggungan.
109 1. Subyek hak tanggungan. Pasal 8 UUHT mengatur bahwa pemberi HT adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HT adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan. Pasal 9 UUHT menentukan bahwa pemegang HT adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Kedua ketentuan di atas memberi gambaran secara sederhana bahwa subyek dalam HT terdiri dari pemberi dan pemegang hak tanggungan. HT merupakan jaminan yang bersifat khusus dengan makna bahwa ada benda-benda tertentu yang diikat dengan jaminan dari suatu perjanjian, dalam hal ini adalah khusus terhadap hak atas tanah dan atau yang berkaitan dengan tanah, kekhususan inilah yang membedakan dengan jaminan lainnya seperti jaminan kendaraan melalui fidusia maupun gadai, kekhususan HT ini berdasar pada ketentuan yang telah diamanatkan oleh UUPA dan diatur dalam UUHT dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana terurai di bawah ini. Amanat UUPA salah satunya adalah UUHT untuk melaksanakan ketentuan tentang hak tanggungan, berlakunya UUHT, maka lembaga jaminan hipotik dan credietverband yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Keberadaan UUHT sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian hukum dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaan, yang bersifat sangat penting dalam mendukung sektor keuangan dan perbankan di Indonesia. HT
110 memiliki peran yang cukup penting dalam mendukung peran perbankan yaitu dalam hal penyaluran kredit yang membutuhkan suatu jaminan. Perbankan mendefenisikan secara khusus tentang suatu jaminan dan agunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.55 Pasal 1 UUHT, memberi pengertian HT secara yuridis, yaitu: hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Penjelasan Umum UUHT angka 3 menyebutkan HT sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) atau mendahulu kepada pemegangnya. Apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang HT berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur- kreditur yang lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang HT didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek hak tanggungan.56 b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada (droit de suite). Pasal 7 UUHT mengatur bahwa HT tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada. Hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun
55
Hermasyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73. 56 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti, Bandung, hal. 97.
111 juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.57 c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum UUHT angka 3 huruf c. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.58 Pasal 6 UUHT, mengatur jika debitor cidera janji maka pemegang HT pertama mempunyai hak untuk menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa sertipikat HT mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. 2. Obyek hak tanggungan Pasal 4 ayat (1) UUHT mengatur bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani HT adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UUHT menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA. Hak guna bangunan meliputi hak guna bangunan di atas tanah negara, di atas tanah hak pengelolaan, maupun di atas tanah hak milik. Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum dari UUHT, dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek tanggungan adalah: 1) Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditur pemegang HT terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai HT tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan
57
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal. 25. 58 Ibid, hal. 52-53.
112 2) Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.59 Pasal 4 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) UUHT, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan, termasuk dalam hal ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUHT. 3. Pembebanan hak tanggungan. Penjelasan Umum angka 7 UUHT mengatur tentang proses pembebanan HT yang dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: a. tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya HT yang dibebankan. PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja yang hanya berwenang membuat akta mengenai tanah yang ada di wilayah daerah kerjanya, kecuali dalam hal-hal khusus dengan ijin Kepala Kantor BPN Wilayah Propinsi. Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta
59
Ibid, hal. 56-57.
113 otentik. Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa APHT wajib mencantumkan: a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. b. Apabila HT dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi HT adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut; c. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; d. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan; e. Nilai tanggungan; f. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek HT sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya. Pemberian HT dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila obyek HT berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian HT dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian HT di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi HT dan penerima HT dan disaksikan oleh dua orang saksi.60 Pasal 13 UUHT mengatur bahwa pemberian HT wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan
selambat-lambatnya
7
(tujuh)
hari
kerja
setelah
penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan 60
Ibid, hal. 64.
114 dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Pendaftaran HT dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah HT dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek HT serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai tanggal buku-buku HT adalah tanggal hari ke tujuh setelah penerimaan secara lengkap surat- surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah HT tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka HT itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah HT dan HT mengikat kepada pihak ketiga. Pasal 14 ayat (1) UUHT, mengatur bahwa sebagai tanda bukti telah adanya hak tanggungan, kepada pemegang HT akan diberikan Sertipikat HT yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Oleh karena Sertipikat HT merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertipikat tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada. Tentang bentuk Sertipikat Hak Tanggungan, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan,
115 Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat, bahwa Sertipikat HT itu terdiri atas salinan Buku Tanah HT dan salinan APHT yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996. 4. Surat kuasa membebankan hak tanggungan Penjelasan Umum angka 7 UUHT pada asasnya mengatur bahwa pembebanan HT wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan, namun jika benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi HT tidak dapat hadir dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan HT (SKMHT). Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi HT dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa Membebankan HT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak, Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termaksud di atas. Mengenai surat SKMHT dalam Pasal 15 UUHT diatur bahwa: a. SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada yang membebankan hak tanggungan, yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain” dalam
116
b.
c.
d.
e.
ketentuan ini misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek HT atau memperpanjang hak atas tanah. 2) tidak memuat kuasa subtitusi, pengertian substitusi disini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Dengan demikian bukanlah merupakan subtitusi, apabila penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penguasaan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kapada cabangnya atau pihak lain. 3) mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta idetitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan HT sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi HT tidak dapat hadir dihadapan PPAT diperlukan penggunaan SKMHT. Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat SPHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi HT atau tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas. Kuasa untuk membebankan HT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa terbut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan tanah yang belum terdaftar batas waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah didaftar, karena mengingat pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan, yang terlebih dahulu perlu dilengkapi persyaratannya. Persyaratan bagi pendaftaran hak atas tanah yang belum terdaftar meliputi diserahkannya surat-surat yang memerlukan waktu untuk memperolehnya, misalnya surat keterangan riwayat tanah, surat keterangan dari kantor pertanahan bahwa tanah yang bersangkutan belum bersertipikat, dan apabila bukti kepemilikan tanah tersebut masih atas nama orang yang sudah meninggal, surat keterangan waris. Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah yang sudah bersertipikat, tetapi belum didaftar atas nama pemberi HT sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya, atau penggabungannya. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
117 rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT tesebut tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh menteri berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan menteri keuangan, Gubenur Bank Indonesia, dan pejabat lain yang terkait. f. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum. Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya SKMHT dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT baru.61 5. Hapusnya hak tanggungan. Pasal 18 ayat (1) UUHT, mengatur bahwa hapusnya HT karena hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan HT (konsekuensi sifat accessoirnya) b. Dilepaskannya HT oleh pemegang Hak Tanggungan. c. Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah HT hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan HT tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat HT yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa pelunasannya dengan HT itu lunas. Apabila karena suatu hal sertipikat HT dapat diganti dengan pernyataan tertulis dari kreditor bahwa HT telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan HT itu telah lunas (Pasal 22 ayat (4) UUHT). Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana 61
Ibid, hal. 72-75.
118 dimaksud, maka pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tangggungan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UUHT). Hapusnya HT karena hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang kreditor tetap ada tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferen. Dalam hal hak atas tanah berakhir jangka waktunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhir jangka waktu tersebut, maka HT tetap melekat kecuali ada pembaharuan hak atas tanah menjadi baru maka HT semula membebani menjadi hapus sehingga harus dilakukan pembebanan HT baru. Dalam hal perpanjangan maupun pembaharuan hak atas tanah dibutuhkan surat persetujuan kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan. 6. Eksekusi hak tanggungan. Pasal 20 UUHT mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Hak pemegang HT pertama untuk menjual obyek HT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau, b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh undang-undang ini bagi para kreditor pemegang HT dalam hal harus dilakukan eksekusi.
119 Pada dasarnya bahwa tiap eksekusi terhadap obyek HT harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek hak tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek hak tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi tanggungan. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek HT dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam
penjualan
melalui
pelelangan
umum
diperkirakan
tidak
menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip pelelangan umum diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan, dan syarat yang ditentukan oleh ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek HT dengan harga penjualan tinggi. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu satu (satu) bulan sejak diberitahukannya secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang HT kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam dua (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Pengumuman dimaksud dapat dilakukan melalui surat kabar atau media masa lainnya yang dapat meliputi tempat obyek HT yang bersangkutan.
120 Pasal 6 UUHT mengatur bahwa, apabila debitor cidera janji, pemegang HT pertama mempunyai hak untuk menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tertsebut. Hak dalam ketentuan Pasal 6 UUHT ini merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang HT atau HT pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hal tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi HT bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang HT berhak untuk menjual obyek HT melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi HT dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dulu daripada kreditur-kreditur lain. Sisa hasil penjualan, tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan. Dengan demikian jika debitor cidera janji pemegang HT dapat langsung minta kepada kantor lelang negara untuk menjual dalam pelelangan umum obyek HT yang bersangkutan. Tata cara ini yang paling mudah dan singkat, oleh karena kreditor tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara kusus eksekusi HT belum ada. Yang ada sekarang adalah peraturan eksekusi hypotheek dan credietverband. Ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Selama peraturan khusus mengenai eksekusi HT yang dimaksudkan belum ada, untuk sementara dipergunakan ketentuan eksekusi hypotheek, yang dikenal dengan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUHT. Pasal 21 UUHT mengatur bahwa jika pemberi HT
121 dinyatakan pailit, pemegang hak tanggugan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT.62 Wanprestasinya debitur atas salah satu perjanjian utang yang berakibat dieksekusinya hak tanggungan, pada akhirnya juga akan mengakibatkan dibayarnya utang-utang lain yang juga dijaminkan dengan objek tersebut dari hasil eksekusi objek tersebut. Jadi eksekusi salah satu hak tanggungan, akan memberikan pembayaran atas utang lainnya yang juga dijaminkan dengan objek HT tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan perbankan tidak mengatur secara rinci mengenai jaminan. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hanya dikatakan bahwa jika berdasarkan unsur-unsur lain (watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur) telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Sehingga ketentuan perbankan tersebut hanya melihat dari segi kemampuan debitur dalam memenuhi pelunasan utangnya dan jaminan yang diberikan dinilai cukup untuk mengamankan posisi Bank dalam mendapatkan pelunasan utang jika terjadi debitur wanprestasi. Mengenai hal lain, tetap merujuk
62
Ibid, hal. 83-87.
122 kepada peraturan-peraturan yang berlaku yang mengatur mengenai jaminanjaminan tersebut.63 Bahwa untuk lebih dapat menjamin hak kreditur dalam memperoleh kembali piutangnya ketika debitur wanprestasi adalah dengan mengadakan perjanjian hutang atau semacamnya adalah dengan cara melalui memberikan suatu jaminan kepada kreditor. Misalkan, dalam pemberian kredit yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Untuk memenuhi kemampuan dan kemauan debitur dalam mengembalikan pinjaman tepat waktu, kreditur perlo mengkaji permohonan kredit, yaitu sebagai berikut; kepribadian (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan kondisi ekonomi (condition of economy).64 Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor dan kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Melalui Pasal 6 UUHT, pembuat undang-undang bermaksud untuk memberikan suatu kedudukan yang kuat kepada pemegang hak tanggungan, yaitu dengan memberikan suatu hak yang sangat ampuh, yang disebut parate eksekusi.65 Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan
63
Hukumonline, Kategori: Hukum Perdata, http://www.hukumonline.com/ klinik, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014. 64 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13-14. 65 Rachmadi Usman, op.cit, hal. 491.
123 mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji. Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.66 Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”).67 Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan debitor yang dianggap merugikan, dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak dan perlindungan dari kelalaian debitor. Ujung dari pemberian hak tanggungan ini adalah apabila debitor cidera janji, maka upaya yang dapat
66
C. S. T. Kansil, 1997, Pokok-pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 29. 67 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, hal. 416.
124 dilakukan adalah pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”, hal ini sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 20 UUHT, yang menentukan: (1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan Hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya. (2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Ketentuan Pasal 21 UUHT, mengatur bahwa jika pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan, tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini. Berkaitan dengan pelunasan utang yang ditanggung debitor, ketentuan eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 jo. Pasal 26, dan Pasal 21 UUHT. UUHT sebagai lembaga jaminan atas tanah merupakan sarana yang sangat memberikan kemudahan bagi para kreditor terutama kreditor perseorangan WNA yang ingin menguasai tanah dan mendapatkan fasilitas-fasilitas dan kemudahan dalam bidang
125 pertanahan khususnya dalam perolehan hak atas tanah Hak Milik. Kemudahankemudahan tersebut misalkan didapatkan dari cara menghindari berbagai ketentuan normatif melalui penyelundupan hukum oleh WNI maupun WNI dalam hal penyalah gunaan hak atas tanah melalui penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak-hak tertentu hak atas kepemilikan tanah bagi para pihak yang ditentukan tidak dapat memilki hak atas tanah yang disebutkan oleh peraturan perundang-undangan.
4.2 Kedudukan Warga Negara Asing sebagai Subjek Hak Tanggungan Subjek Hak Tanggungan yang dimaksud dalam hal ini adalah pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. a) Pemberi Hak Tanggungan Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UUHT. Penjelasan umum UUHT antara lain menjelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
126 Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar. Ketentuan tersebut seolah memberi peluang kepada subjek yang tidak secara penuh memiliki hak atas suatu objek, namun dapat memperoleh manfaat melalui perjanjian hutang piutang yang akan dilanjutan dengan pembebanan hak tanggungan. Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) UUHT. Ketentuan ini juga seolah-olah memberi peluang kepada subjek yang tidak secara penuh memiliki hak atas suatu objek, namun dapat memperoleh manfaat melalui perjanjian hutang piutang yang akan dilanjutan dengan pembebanan hak tanggungan, karena terbuka kesempatan bagi calon debitur untuk melakukan perjanjian hutang-piutang terlebih dahulu walau atas suatu ojek yang akan dijaminkan belum secara penuh dimiliki. b) Pemegang Hak Tanggungan Pemegang Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, maka subjek pemegang Hak tanggungan dapat ditafsirkan dapat dilakukan oleh WNI, Badan Hukum Indonesia, Badan Hukum Asing atau bahkan orang perseorangan WNA yang tidak berkedudukan di Indonesia
127 misalkan, karena oleh sebab tidak tegasnya ketentuan norma Pasal 9 UUHT dalam menyebut subjek HT orang perorangan dikaitkan dengan objek jaminan atas hak tanah khususnya mengenai objek yang hanya ditentukan untuk siapa saja hak atas tanah tersebut dapat diberikan (Pasal 21 jo Pasal 26). Banyak ditemui hubungan hukum antara WNI dengan WNA terikat dalam perbuatan hukum hutang piutang, WNA kreditur dan WNI sebagai debitur dengan menggunakan jaminan berupa hak milik atas tanah sebagai jaminan hutangnya, maka jaminan hutang berupa hak milik atas tanah milik debitur pun diserahkan kepada kreditor dalam bentuk pemberian HT dalam suatu APHT yang dibuat dihadapan dan/oleh PPAT dengan didahului dibuatnya suatu akta pengakuan hutang dihadapan dan/atau oleh Notaris. WNA menjadi penerima HT sebagaimana dimaksud Pasal 9 UUHT, sehingga WNA mempunyai kewenangan yang luas dan bebas betindak dalam kedudukannya seolah-olah sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia, sekalipun hanya berkedudukan selaku pemegang HT. Kenyataan inilah yang menjadikan ketentuan Pasal 9 UUHT mengandung kabur norma, khususnya norma tentang seseorang yang dapat berkedudukan sebagai pemegang HT hak milik atas tanah, yang membawa implikasi yuridis pada kedudukan dan kewenangan WNA sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia. Kerena langsung atau tidak langsung ketentuan tersebut melegitimasi kedudukannya WNA sebagai subjek hak milik atas tanah di Indonesia yang bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang dianut UUPA, yaitu hanya WNI saja yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi
128 air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 dan dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Bahasan ini menjawab masalah pertama yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah dalam Bab Pendahuluan, yaitu tentang subjek pemegang hak tanggungan. Ketentuan Pasal 9 UUHT secara langsung memberi peluang bagi WNA untuk menguasai tanah hak milik di Indonesia dengan melaksanakan segala aktivitas dan berkepentingan lainnya selain kepentingan hukumnya, seperti kepentingan ekonomi misalnya, sebab melalui ketentuan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk melakukan penyelundupan hukum bagi WNA dalam menguasai atau memiliki tanah hak milik di Indonesia secara terselubung, dengan menghindari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara memperoleh hak-hak atas tanah di Indonesia. Sehingga maksud dan tujuan bagi WNA untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis sebesar-besarnya dapat terpenuhi/tercapai tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undangundang. Pasal 9 UUHT menentukan bahwa “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”, dalam penjelasan pasal ini diterangkan bahwa cukup jelas, artinya penulis berpendapat bahwa tentang subjek yang dimaksud dalam Pasal 9 UUHT ini hanya fokus pada subjek yang berpiutang saja tanpa pemilahan kewarganegaraan, hal inilah yang memicu munculnya kesempatan kepada WNA untuk dapat menjadi pemegang hak tanggungan, dan memperoleh kewenangan
129 yang luas atas tanah jauh dari yang telah dibatasi dan ditentukan dalam amanat UUPA. Masalah yang telah terumus dalam bab sebelumnya adalah masalah hukum yang nyata dan sering terjadi beriringan dengan masalah hak-hak nasionalitas WNI atas tanah yang sering pula terlanggar oleh kepentingan-kepentingan ekonomi WNA yang disiasati melalui berbagai perjanjian-perjanjian hukum, sebagaimana ternyata dalam hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa Sertifikat Hak Tanggungan sebagai berikut: Pertama, Sertipikat Hak Tanggungan dengan nomor 1256/2008 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung Provinsi Bali pada tanggal 17 April Tahun 2008, peringkat pertama, dengan pemegang hak tanggungan seorang warga negara Jerman bernama Carola Ilse, beralamat dan bertempat tinggal di Koln Jerman, berdasarkan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan nomor 114/2008 yang dibuat oleh Notaris Ida Ayu Trisna Wiranti Kusuma, Sarjana Hukum seorang Notaris yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Badung. Kedua, Sertipikat Hak Tanggungan dengan nomor 1157/2010 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan Provinsi Bali pada tanggal 9 Juli Tahun 2010, peringkat pertama, dengan pemegang hak tanggungan seorang warga negara Cina bernama Berwin Cochien Tanco, beralamat dan bertempat tinggal di Shanghai Cina, berdasarkan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan nomor 38/2010 yang dibuat oleh Notaris Nathalia Ningsih, Sarjana
130 Hukum seorang Notaris yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Tabanan. Data penunjang berupa wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci di bidang hukum juga ditambahkan dalam penelitian ini, para responden tersebut yang terdiri dari Hakim, Notaris/PPAT, Pejabat Lelang serta pejabat di Kantor Pertanahan berpendapat bahwa subjek perorangan yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan termasuk juga WNA, namun berdasarkan pada beberapa pengalaman praktis dan hasil putusan perkara perdata Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111 K/PDT/2010 sebagian responden juga mengkritisi materi yang terkandung dalam Pasal 9 UUHT terkait subjek pemegang hak tanggungan dengan upaya memberi definisi yang lebih jelas terhadap subjek pemegang hak tanggungan dengan tetap memperhatikan asas nasionalitas yang diamanatkan UUPA. Tidaklah tepat bagi WNA atas inisiatifnya melalui perjanjian-perjanjian hukum yang digunakan dalam upaya untuk memperoleh manfaat atas tanah, karena dalam hal ini sudah jelas diatur melalui Pasal 42 UUPA, bahwa WNA dapat memperoleh manfaat atas tanah di Indonesia melalui mekanisme hak pakai atas tanah. WNA bisa saja memanfaatkan tanah di Indonesia dengan status hak milik jika telah memperoleh status sebagai WNI dengan mekanisme seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 20 UU Kewarganegaraan. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam suatu sistem hukum yang terintegrasi, maka seharusnyalah agar ketentuan tentang
131 HT perlu disinergikan dengan ketentuan lain yang lebih mendasar dan menjadi pokok dalam pelaksanaan HT tersebut yaitu ketentuan UUPA.
4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan Subjek Warga Negara Asing dalam Kaitannya dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA Hubungan hukum antara orang baik WNI maupun WNA serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam UUPA. Pasal 9 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA. Dalam penjelasannya dikatakan hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang yang jelas telah diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA, dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi batal demi hukum. Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan bagi WNA dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. WNA dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi hanya terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai, tidak boleh hak jenis lain. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan WNI di atas segala-galanya baik dari segi ekonomi, negara, politis dan malahan dari sudut hankamnas. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan Peraturan
132 Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas memuat syarat orang asing yang dapat mempunyai rumah tempat tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbaharui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia. Pada prinsipnya, hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik atas tanah menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA. Untuk Penanaman Modal Asing yang hendak menggunakan nama perorangan berkewarganegaraan asing juga tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah. Orang asing (yang berkedudukan di Indonesia) hanya dapat mempunyai hak pakai, hak sewa dan hak sewa hak guna bangunan, dan hak guna usaha menurut UUPA. Banyak terjadi penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing dalam rangka memenuhi keinginan mereka menguasai tanah di Indonesia. Penyelundupan hukum itu antara lain dilakukan dengan membuat perjanjian
133 “pinjam” nama WNI disertai dengan pemberian kuasa dengan hak substitusi kepada pihak asing, perjanjian sewa menyewa dengan jangka waktu panjang, pemberian kuasa menjual dari WNI selaku pemilik tanah kepada WNA, perjanjian dengan opsi pembelian tanah yang bersangkutan oleh orang asing, dengan dibebani HT. Perbuatan hukum sebagaimana tersebut di atas secara yuridis bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, yang berbunyi : “Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada WNI yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”. Pembuatan akta hak tanggungan gagal memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu sebab yang halal, sehingga akan berakibat pada batal demi hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Sehingga para pihak tidak perlu mengadakan tuntutan pembatalan. Walaupun para pihak yang membuat perjanjian adalah para pihak yang cakap dalam melakukan perjanjian. Namun hal yang diperjanjian bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Selain itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUHPer yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan suatu alasan yang terlarang atau palsu tidak mempunyai kekuatan
134 hukum. Perjanjian ini juga bertentangan dengan asas itikad baik dalam membuat suatu perjanjian. Orang asing maupun badan hukum asing yang berada di Indonesia dan melakukan kegiatan bisnis biasanya mengadakan transaksi utang piutang dengan pihak Indonesia untuk memperlancar bisnisnya. Mereka dapat membuat utang dengan Bank atau lembaga yang bukan Bank. Sebagai debitur mereka juga diminta untuk menyediakan barang-barang yang dimiliknya untuk dibebani dengan jaminan utang. Orang asing yang tinggal di Indonesia sewaktu kekurangan uang atau modal bebas membuat utang kepada siapa saja, yang bersangkutan dapat meminjam kepada perorangan, Koperasi atau Bank. Transaksi utang piutang yang dilakukan berlaku perjanjian yang berlaku di Indonesia. Begitu juga sebaliknya tidak ada larangan orang Indonesia atau Pihak Indonesia yang meminjam kepada pihak asing atau orang asing. Pada umumnya untuk menjamin agar sebuah utang pengembaliannya dapat berjalan lancar debitur diminta kreditur untuk menyediakan barang. Barang yang dapat dijadikan jaminan adalah semua barang milik debitur baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. KUHPer di dalamnya secara garis besarnya dikenal dua macam jaminan yang objeknya menyangkut barang, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus, semua jaminan-jaminan utang tersebut memiliki hak kebendaan. Sebagaimana diketahui bahwa orang/badan hukum asing pada prinsipnya tidak dapat memiliki tanah di Indonesia, terutama tanah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Meskipun demikian Negara memberi kesempatan kepada orang asing untuk memiliki sebidang tanah yang berstatus hak pakai atas tanah
135 milik Negara berdasarkan Pasal 52 UU Nomor 5 Tahun 1960 harta kekayaan tersebut memiliki nilai ekonomi yang dapat dibebani jaminan utang. Pokok bahasan dalam bab ini adalah untuk menjawab masalah kedua yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah dalam Bab Pendahuluan, yaitu tentang dampak hukum dari APHT dan HT dengan subjek hukum WNA jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Masalah ini adalah masalah hukum yang nyata dan tidak jarang merenggut hak-hak nasionalitas WNI atas tanah yang disiasati melalui berbagai perjanjian-perjanjian hukum, sebagaimana ternyata dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap beberapa produk hukum yang dibuat oleh PPAT di Provinsi Bali, diantaranya: Pertama, Sertipikat Hak Tanggungan dengan Nomor 1256/2008 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung Provinsi Bali pada tanggal 17 April Tahun 2008, peringkat pertama, dengan pemegang hak tanggungan seorang warga negara Jerman bernama Carola Ilse, beralamat dan bertempat tinggal di Koln Jerman, berdasarkan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 114/2008 yang dibuat oleh Notaris Ida Ayu Trisna Wiranti Kusuma, Sarjana Hukum seorang Notaris yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Badung. Kedua, Sertipikat Hak Tanggungan dengan Nomor 1157/2010 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan Provinsi Bali pada tanggal 9 Juli Tahun 2010, peringkat pertama, dengan pemegang hak tanggungan seorang warga negara Cina bernama Berwin Cochien Tanco, beralamat dan bertempat tinggal di Shanghai Cina, berdasarkan salinan Akta Pemberian Hak
136 Tanggungan Nomor 38/2010 yang dibuat oleh Notaris Nathalia Ningsih, Sarjana Hukum seorang Notaris yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Tabanan. Ketiga, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111 K/PDT/2010
dengan
irah-irah
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA, telah memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan perkara perdata bidang pertanahan antara WNI selaku Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding melawan seorang Notaris/PPAT di Kota Denpasar bersama dengan seorang Warga Negara Australia, mereka berdua selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat/Para Terbanding, atas objek tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya beserta Sertipikat Hak Milik atas nama WNI yang terletak di Denpasar, Provinsi Bali. Notaris/PPAT dalam perkara ini juga ikut tergugat, Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya diperlukan suatu ketelitian yang lebih dari biasa, pekerjaan yang sepertinya sederhana dan baku, namun dituntut ketelitian. Notaris/PPAT
(Tergugat
I)
dalam
menjalankan
jabatannya
dijumpai
ketidakpiawaian profesi atau kesengajaan untuk lalai demi kepentingankepentingan tertentu. Kaitannya dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA dalam hasil temuan kasus ini bahwa terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT berdampak hukum yaitu batal demi hukum.
137 Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtssataat), yang mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan negara didasarkan atas hukum dan bukan atas dasar kekuasaan. Yang pada hakekatnya bertujuan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warganegara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Dampak hukum dari suatu perbuatan hukum yang menjadikan seorang WNA sebagai subjek pemegang hak tanggunggan seperti dalam temuan produkproduk PPAT di atas antara lain: WNI selaku pemilik hak atas tanah dapat kehilangan hak penguasaan terhadap hak miliknya atas tanah. WNA sebagai pemegang hak atas tanah mendapatkan hak pemanfaatan atas tanah jauh lebih dari yang telah ditentukan. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA maka penguasaan tanah oleh WNA melalui HT adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Selanjutnya akibat bagi Notaris/PPAT atas kewenangannya dalam membuat akta otentik tentang pertanahan turut tergugat dalam perkara di atas. Kenyataan kasus di atas, telah mengabaikan amanat Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 bahwa kemakmuran masyarakatlah yang harus diutamakan, bukan
138 kemakmuran orang perseorangan, perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi setiap orang, dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Negara hukum pada dasarnya mengatur pengaturan sehubungan dengan tata ekonomi di Indonesia dan mengatur berbagai hal baru berkenaan dengan tatanan Hukum Pertanahan Nasional, hubungan hukum antara orang, baik WNI maupun WNA, serta perbuatan-perbuatan hukum yang lain terkait dengan tanah khususnya lembaga HT, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum.
139 BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Sub-bab ini memuat kesimpulan dari pembahasan sebagai jawaban atas kedua masalah yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, dengan kesimpulan sebagai berikut: 1. Subjek yang dimaksud dalam Pasal 9 UUHT ini hanya fokus pada subjek yang berpiutang saja tanpa pemilahan kewarganegaraan, hal inilah yang memicu munculnya kesempatan kepada WNA untuk dapat menjadi pemegang hak tanggungan, dan memperoleh kewenangan yang luas atas tanah jauh dari yang telah dibatasi dan ditentukan dalam amanat UUPA. 2. Dampak hukum seorang WNA sebagai subjek pemegang HT, diantaranya berdampak kepada: a. WNA sebagai pemegang hak atas tanah mendapatkan hak pemanfaatan atas tanah jauh lebih dari yang telah ditentukan. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA maka penguasaan tanah oleh WNA melalui HT adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. b. WNI selaku pemilik hak atas tanah dapat kehilangan hak penguasaan terhadap hak miliknya atas tanah; 139
140 c. Notaris/PPAT dapat diikutsertakan dalam gugatan dalam perkara di pengadilan dan sanksi menurut kode etiknya serta bagi aktanya adalah batal demi hukum.
5.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembuat undang-undang dan pemerintah pelaksana urusan pertanahan agar menyusun regulasi yang jelas tentang subjek pemegang hak tanggungan atas hak tanggungan yang berasal dari hak milik WNI dengan melakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 9 UUHT serta tetap memperhatikan asas nasionalitas atas tanah. 2. Notaris/PPAT harus berperan aktif dalam upaya penegakan asas nasionalitas dalam urusan pertanahan, menghindari berbagai upaya hukum yang tidak tepat dan dapat memberi keuntungan yang berlebihan kepada pihak asing dalam pemanfaatan tanah di Indonesia. Notaris/PPAT agar mengarahkan kepada pihak asing untuk berpedoman kepada mekanisme pemanfaatan hak-hak atas tanah sebagaimana telah diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pertanahan. 3. WNA yang berkeinginan untuk memperoleh manfaat atas tanah di Indonesia, agar bermohon untuk mendapatkan hak pakai atas tanah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 42 UUPA. WNA bisa saja memanfaatkan tanah di Indonesia dengan status hak milik jika telah memperoleh status sebagai WNI dengan
141 mekanisme seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 20 UU tentang Kewarganegaraan.
142 DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku: 1.
Adam, Muhammad, 1985, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung.
2.
Alfons, Maria, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis atas ProdukProduk Masyarakt Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.
3.
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Volume 1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
4.
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta.
5.
Bakry, Noor MS, 1991, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Cet. II, Liberty, Jogyakarta.
6.
Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, PT Citra Aditya bakti, Bandung. Campbell, Enid, 1988, Legal Research, The Law Book Company, Melbourne.
7.
Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta. Cohen, Morris L. Olson, Kent C, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St. Paul, Minn.
8.
Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, “Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia”, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya.
9.
Erwin, Muhamad, 2013, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
10. Faudy, Munir, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 11. Fernando, E. Manullang, M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum kodrat dan Antinomi Nilai, Cetakan I. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. 12. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 142
143 13. Ginting, Darwin, 2010, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Ghalia Indonesia, Bogor. 14. Golding, M.P., 2004, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York. 15. Habermas, Jurgen, 1998, Between Facts and Norms, Contibutions to a Discourse Theory of Law and Democracy, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts. 16. Hadjon, Philipus M, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. 17. Handoyo, B. Hestu Cipto, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 18. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta. 19. Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Nasional, Alumni, Bandung. 20. Hermasyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 21. Kaelan, H., 2013, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural,Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta. 22. Kansil, C. S. T., 1997, Pokok-pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 23. Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah, Malang. 24. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Premada Media Group, Jakarta. 25. ________, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 26. Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. 27. ________, 1993, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. 28. Muhammad, Abdulkadir, 1982, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. 29. Muljadi, Kartini dan Wijaya, Gunawan, 2008, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Cet. Ketiga, Kencana, Jakarta.
144 30. Murad, Rusmadi, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung. 31. Parangin, Effendi, 1996, Mencegah Sengketa Tanah, Raja Grafika, Jakarta. 32. Parlindungan, A. P., 1984, Serba-Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung. 33. ________, 1998, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabatan Pembuatan Akta Tanah, Alumni, Bandung. 34. Patterson, Dennis, 2003, An Anthology Philosophy of Law and Legal Theory. Blackwell Publishing, Victoria, Australia. 35. Pospisil, Leopold, 1971, Anthropology of Law a Comparative Theory. Harper & Raw Publishers. New York, Evanston, San Francisco, London. 36. Prodjodikoro, Wirjono, 1983, Hukum Tanah Indonesia, Jilid 1, Pradnya Paramita, Jakarta. 37. ________, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet. VIII, Sumur, Bandung. 38. Program Studi Magister Kenotariatan Unud, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Udayana, Denpasar. 39. Rasjidi, Lili dan Putra, I. B. Wiyasa, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung. 40. Rawls, John, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, United States of America. 41. Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 42. ________, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 43. Ruchiyat, Eddy, 1984, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, CV. Armico, Bandung. 44. Salim, HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta. 45. Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 46. Satrio, J., 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti, Bandung.
145 47. Sidharta, 2006, Hukum Widiasrana, Jakarta.
Perlindungan
Konsumen
Indonesia,
Gramedia
48. Sinha, Surya Prakash, 1993, Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, West Publising CO, ST. Paul, Minn. 49. Sitorus, Oloan, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. 50. Soekanto, Soerjono. Pamudji, Sri, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 51. Soemitro, Ronny Hanitijo,1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. 52. Soerodjo, Irawan, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Surabaya. 53. Soetomo, 1991, Buku Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Djambatan, Jakarta. 54. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta. 55. Subekti, R., 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta. 56. ________, 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. 57. Suherman, E., 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung. 58. Sukarmi, 2005, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Konsumen Yang Disebabkan Oleh Perjanjian Baku (Standard Contract) Dalam Transaksi Elektronik”, Disertasi, Fak. Hukum Unpad, Bandung. 59. Sumardjono, Maria SW, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta. 60. Sunggono, Bambang, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 61. Supramono, Gatot, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 62. Sutedi, Adrian, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta.
146 63. ________, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. 64. Tanya, Bernard L, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y Hage, 2010, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. 65. Tedjosaputro, Liliana, 1991, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang. 66. Tehupeiory, Aartje, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta. 67. Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. 68. Usman, Rachmadi, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. 69. Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore. 70. Wacks, Raymond, 2012, Understanding Jurisprudence, An Introduction to Legal Theory, Third Edition, Oxford University Press, New York. Peraturan Perundang-undangan: 71. Undang-undang tentang Pokok Agraria, Nomor 5 Tahun 1960, LN Tahun 1960 Nomor 104, TLN Nomor 2043. 72. Undang-undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Nomor 4 Tahun 1996, LN Tahun 1996 Nomor 42, TLN Nomor 3632. 73. Undang-undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 2006, LN Tahun 2006 Nomor 63, TLN Nomor 4634. 74. Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Nomor 2 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 3, TLN Nomor 5491. 75. Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bagungan dan Hak Pakai atas Tanah, Nomor 40 Tahun 1996, LN Tahun 1996 Nomor 58, TLN Nomor 3643. 76. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, Nomor 24 Tahun 1997, LN Tahun 1997 Nomor 59, TLN Nomor 3696.
147 77. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Nomor 37 Tahun 1998, LN Tahun 1998 Nomor 52, TLN Nomor 3746. Internet: 1.
2. 3. 4. 5.
Badan
Pertanahan Nasional RI, Layanan Pertanahan, http://site.bpn.go.id/o/beranda/ layanan-pertanahan/, diakses terakhir pada tanggal 22 Maret 2014.
Hukumonline, Kategori: Hukum Perdata, http://www.hukumonline.com/ klinik, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014. Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014.
6.
Pusat Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/notaris, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014.
7.
Zulfikar
AR, Kajian Umum: Warga Negara dan Kewarganegaraan, http://darululum-ypui.net, diakses terakhir pada tanggal 14 Februari 2014.
148 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Akta Hak Tanggungan Lampiran 2. Akta Pengakuan Hutang Lampiran 3. Akta Sewa - Menyewa Lampiran 4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111 K/PDT/2010 Lampiran 5. Sertipikat Hak Tanggungan
148