KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM
TESIS
Oleh
FATMA NOVIDA MATONDANG 077011021/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Fatma Novida Matondang : Konsep Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam, 2009
KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FATMA NOVIDA MATONDANG 077011021/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Judul Tesis
: KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM Nama Mahasiswa : Fatma Novida Matondang Nomor Pokok : 077011021 Program Studi : Kenotariatan
PERSPEKTIF
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Ketua
(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
Tanggal lulus : 13 Agustus 2009
(Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA) Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
1
Telah diuji pada Tanggal : 13 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota
: 1. Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH 2. Dr. H Ramlan Yusuf Rangkuti, MA 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum
2
ABSTRAK
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Hadits. Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata hanya sebagai hubungan antara suami dan isteri, akan tetapi lebih dari itu agama Islam memandang perkawinan merupakan suatu perbuatan yang mempunyai nilai ibadah karena setiap tindakan yang dilakukan masing-masing pasangan ketika menunaikan hak dan kewajibannya dalam suatu perkawinan adalah perbuatan yang bernilai kebaikan dan keburukan. Hak dan kewajiban masing-masing suami isteri telah ditegaskan dalam Al Qur’an dan Hadits yang kemudian dikhususkan pembahasannya dalam Fikih Munakahat dan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pengaturan hak dan kewajiban suami isteri sedemikian rupa ditujukan agar suami isteri dapat menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang menjadi basis utama bagi bangunan suatu masyarakat. Akan tetapi, hak dan kewajiban suami atau isteri itu terkadang tidak dilakukan sebagaimanamestinya yang dalam konteks ajaran Islam dikenal dengan istilah nusyuz. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap tentang keadaan, karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan) sehingga diperoleh gambaran tentang keadaan yang sebenarnya (data-data faktual) yang berhubungan dengan konsep nusyuz suami dalam perspektif hukum perkawinan Islam dikaitkan dengan peraturan/ketentuan perkawinan yang berlaku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa konsep nusyuz yang terdapat dalam Q.S an Nisa : 34 dan 128 serta beberapa Hadits yang dikenal dalam hukum perkawinan Islam pada dasarnya adalah tidak melaksanakan atau sikap meninggalkan hak dan kewajiban dalam berumah tangga baik yang dilakukan oleh suami atau isteri. Konsep nusyuz suami dalam perspektif hukum perkawinan Islam berimplikasi terhadap pelanggaran shighat taklik talak yang dilakukan oleh suami terhadap isteri yang merupakan ikrar suami terhadap isteri yang ditujukan guna melindungi hak isteri dari tindakan kesewenang-wenangan suami sebagai pemimpin dalam keluarga yang pada saat ini cenderung dikenal dengan sebutan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan. Konsep nusyuz suami yang berimplikasi kepada permohonan cerai gugat dari isteri kepada suami melalui Pengadilan Agama, berdasarkan penelitian yang dilakukan frekuensinya meningkat tiap tahun dan dalam pertimbangan hakim pada putusannya diuraikan dengan tindakan-tindakan suami yang tidak melakukan hak dan kewajibannya sebagaimanamestinya terhadap isteri dalam rumah tangga. Kata kunci : Perkawinan, Nusyuz, Suami
3
ABSTRACT Marriage is one of the Allah’s commandements in Al Qur’an and Hadits to those who have been able to do it. In Islam, marriage is not a mere relationship beween husband and wife but more than that. According to Islamic law, marriage is an act containing religious values because any action taken by either husband or wife when carrying out their rights and responsibilities in their marriage is a deed with either good or poor values. The respective rights and responsibilities of husband and wife have been strictly stated in Al Qur’an and Hadits and then are especially discussed in Fikih Munakahat and regulated in Islamic Law Compilation Such regulation of right and responsibility of husband and wife is for the husband and wife to be able to marriage a sakinah, mawaddah, and warahmah family that becomes the main basis for a society construction. Yet. the right and responsibility of husband and wife is not properly implemented which in the context of Islam, is known as nusyuz. The purpose of this descriptive study is to completely describe the condition and the characteristics of the facts (individual, group, or condition) to obtain the real description (factual data) of the concept the husband’s nusyuz in the perspective of Islamic marriage related to the existing marriage regulations. Based on the study on the concept of nusyuz found in Q.S an Nisa: 34 and 128 and several Hadits known in the Islamic marriage law, basicly nusyuz is that either the husband or the wife does not do or ignore their rights and responsibilities in their marriage life. The concept of nusyuz done by the husband in the perspective of Islamic marriage law is that the husband breaks the shighat or the vow he said to protect the right of his wife from the cruel action that he, as the head of family, may do to his wife that can result in a divorce. The result of this study shows that the frequency of husband’s nusyuz-based divorces claimed by the wife through the religious (Islamic) court increases every year. In their decision, the judges explained the actions done by the husband who did not properly do his right and responsibility to his wife. Key words: Marriage, Nusyuz, Husband
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul “KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Namun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada materi tesis disebabkan oleh keterbatasan waktu dan literatur. Pada kesempatan ini terima kasih yang mendalam dan tulus penulis ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar yaitu Bapak Prof. H. M Hasballah Thaib, MA, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. H. T Syamsul Bahri, SH dan Bapak Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan nasehat kepada penulis selama penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku dosen yang selama ini telah membimbing penulis dan pada
5
kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Para Dosen selaku Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH Prof. Dr. Tan Kamello, SH, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Prof. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, Syahril Sofyan, SH, MKn, Syafnil Gani, SH, MKn, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, MKn dan lain-lain serta seluruh karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di antaranya Ibu Fatimah, SH, Kak Sari, Kak Lisa, Kak Afni, Kak Winda, Bang Aldi, Bang Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dari awal hingga selesai.
6
5. Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam khususnya kepada Bapak Drs. H. Imbalo Siregar, SH, MH. 6. Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanjung Morawa khususnya kepada Bapak Drs. H. Aminullah. 7. Seluruh teman dan sahabat penulis pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya di Grup A yang selalu memberikan semangat, dorongan, bantuan fikiran serta mengingatkan penulis dikala lupa dan terlena dengan kesibukan lain untuk menyelesaikan tesis ini antara lain ; Muaz Effendi, Juni Surbakti, Leni Mutiara Ambarita, Syari Ramadhani, Jagjit Singh dan terutama kepada Intan Harahap putri sulung nan jelita dari Bapak dr. Kisman Harahap, SpB, dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatian, bantuan serta rajutan kisah persahabatan yang manis dan indah, seindah nama yang melekat pada dirimu selama perkuliahan yang singkat ini. Selanjutnya secara khusus dan yang paling utama, penulis menghaturkan sembah dan sujud ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penulis yang tercinta dengan segala rasa hormat yaitu Papa (Marsus Matondang) dan Mama (Emmi Aslidah Nasution) dengan segenap jiwa dan raga telah membesarkan dan mendidik ananda dengan penuh pengorbanan, ketulusan, kasih sayang serta doa restu dalam setiap langkah kehidupan ananda. Demikian juga ucapan terima kasih dengan penuh kasih sayang kepada kedua orang saudaraku yaitu Angka Wijaya Matondang, S.Fil.I (abang) dan Afriyanti Nefridha Matondang, S.Pd (adik) yang
7
selalu memahamiku dalam setiap keadaan. Saat kita bertiga tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, dengan masing-masing disiplin ilmu yang kita inginkan dan kemudian dibesarkan dalam berbagai keadaan, namun kedua orangtua kita selalu berpesan untuk selalu mensyukuri atas apa yang kita miliki karena sesungguhnya tidak ada manusia yang dilahirkan sempurna termasuk kita, dengan cara menjalani hidup ini untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik melalui pengharapan dalam untaian doa dengan sepenuh hati, insya Allah pasti Dia akan menjawabnya asal kita sabar dan tak pernah putus asa karena dalam setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan meskipun sabar itu pahit, tapi dengan izin Allah maka buahnya akan manis. Ternyata hal itu terbukti, semoga selanjutnya kita mampu mewujudkan mimpi, harapan dan cita-cita yang diinginkan oleh kedua orangtua kita, sehingga mereka bangga memiliki kita, amin. Secara khusus dan penuh rasa haru, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tak terhingga kepada paman (tulangku) tersayang Abdurrahman Ismail Nasution, SH dan keluarga yang sesuai dengan namanya arrahman selalu berusaha mengasihi penulis dalam setiap keadaan. Secara khusus dan teristimewa, penulis ucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada abangku yang tampan dan baik hati yaitu Irwansyah Nasution, SH, SpN dan keluarga, semoga selalu dalam lindungan dan limpahan rahmat Allah SWT. Ketika hati itu dikatakan dalam dan harus bersih, serta lautan itu luas dan tak bertepi, maka sesungguhnya aku telah menemukan hati yang dalam,
8
bersih, luas dan tak bertepi itu dalam bentuk kasih sayang yang telah engkau berikan padaku, wahai abangku! Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh sahabat yang sudah seperti saudara dan keluarga bagi penulis pada Kantor Notaris & PPAT IRWANSYAH NASUTION, SH yaitu : Siti Aisyah Siregar, A.Md (Kak Siti), Mhd. Safrizal Nur Nasution, SH (Ijal), Desy Juliasary, S.Pd (Desy), Bang Erwin, Herfisani Hutagalung, ST (Vivi) dan si bungsu Winda Aprina (Winda) yang semuanya telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini khususnya ketika mengikuti perkuliahan baik dalam bentuk perhatian, fikiran, tenaga, waktu dan terutama doa. Semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang tak terhingga pula. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para sahabat yang selalu mendampingi dan membakar semangat penulis untuk tetap maju berusaha melakukan yang terbaik meraih cita-cita dari sejak bangku perkuliahan S1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga saat ini yaitu ; Chandra Dewi Pasaribu, SH, Fanani Sari Putri, SH dan keluarga, Gita Priscilla Pinem, SH, M.Hum dan Fery Afriansyah Pohan, SH.. Maha Besar Allah yang telah mempertemukan kita dengan berbagai latar belakang dan saling mengulurkan tangan dalam berbagai keadaan untuk menyongsong masa depan. Oleh karena itu, apapun kisah persahabatan kita di masa lalu dan masa kini, namun yang terpenting adalah tetap berlanjut hingga masa yang akan datang.
9
Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan pada P.T Bank Sumut Kantor Cabang Pembantu Tanjung Morawa antara lain ; Bapak Suryadi, Bapak H. Awaluddin Siregar (Pak Haji), Bapak Muhammad Fadhil, Al Fithri Pasaribu dan lain-lain yang dalam hal ini tak dapat disebutkan secara satu persatu yang telah banyak memberikan perhatian dan selalu mengingatkan jam kuliah kepada penulis. Selanjutnya untuk satu nama dari sudut hati penulis yang terakhir, penulis mengucapkan terima kasih secara khusus dan tulus kepada seseorang atas inspirasinya untuk selalu melakukan dan memberikan yang terbaik dalam hidup ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak khususnya umat Islam sesuai dengan judul tesis ini. Dengan harapan akan banyak terwujud keluarga sakinah, mawaddah, warahmah melalui pesan : “Wahai suamiku! Engkau adalah imamku. Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu, jika agama itu hilang dari dirimu maka hilanglah cintaku padamu.” Terima kasih. Medan,
Agustus 2009 Penulis
Fatma Novida Matondang
10
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi Nama
: Fatma Novida Matondang
Tempat/Tgl Lahir : Panyabungan/10 Nopember 1981 Jenis Kelamin
: Wanita
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Beringin Gang Merpati No.13 Pasar VII Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
II. Keluarga Nama Ayah
: Marsus Matondang
Nama Ibu
: Emmi Aslidah Nasution
III. Pendidikan SD Negeri 104205 Tembung SLTP Negeri 1 Tembung SMU Negeri 11 Medan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
11
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT ..........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xiv
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar Belakang .............................................................................
1
B. Permasalahan ................................................................................
10
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
10
D. Manfaat Penelitian .......................................................................
11
E. Keaslian Penelitian .......................................................................
11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .....................................................
12
1. Kerangka teori ..........................................................................
12
2. Konsepsi ...................................................................................
24
G. Metodologi Penelitian ..................................................................
25
1. Sifat penelitian .........................................................................
25
2. Metode penelitian .....................................................................
26
12
BAB II
3. Sumber data...............................................................................
26
4. Alat pengumpulan data ............................................................
27
5. Analisis data .............................................................................
27
6. Jadwal penelitian ......................................................................
28
KONSEP NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM ..................................................................
30
A. Pengertian Nusyuz ........................................................................
30
B. Dasar Hukum Konsep Nusyuz ......................................................
32
1. Menurut Al Qur’an ..................................................................
32
2. Menurut Hadits ........................................................................
34
C. Hak dan Kewajiban Isteri .............................................................
36
1. Hak isteri ..................................................................................
38
a. Hak kebendaan (Hak isteri dalam bentuk materi) ................
38
1) Menerima mahar atau maskawin .....................................
38
2) Menerima nafkah .............................................................
42
b. Hak rohaniah (Hak isteri dalam bentuk bukan materi) .......
44
2. Kewajiban isteri .......................................................................
46
D. Nusyuz dari Pihak Isteri.................................................................
62
E. Pendapat Ulama Fikih tentang Nafkah Bagi Isteri Nusyuz ...........
68
F. Nusyuz dari Pihak Suami ..............................................................
73
13
BAB III
KONSEP NUSYUZ SUAMI DAN AKIBATNYA MENURUT HUKUM PERKAWINAN ISLAM .................................................
77
A. Status dan Kedudukan Suami Isteri .............................................
77
1. Status dan kedudukan suami isteri menurut hukum Islam .......
77
2. Status dan kedudukan suami isteri menurut hukum positif .....
82
B. Kewajiban Suami terhadap Isteri ..................................................
85
1. Kewajiban suami menurut Kompilasi Hukum Islam ...............
86
2. Kewajiban suami menurut hukum Islam...................................
87
a. Memberikan nafkah materi .................................................
87
b. Memberikan nafkah non materi ..........................................
92
C. Konsep Nusyuz Suami Menurut Hukum Perkawinan Islam ...
99
D. Konsep Nusyuz Suami Dikaitkan dengan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga .................................................................
105
E. Analisis Konsep Nusyuz Suami dan Akibatnya Menurut Hukum Perkawinan Islam ........................................................................... 110 1. Nusyuz suami mengakibatkan pelanggaran terhadap taklik talak ................................................................................ 114 a. Pengertian taklik talak ......................................................... 114 b. Bentuk taklik talak .............................................................. 119 c. Taklik talak sebagai alasan perceraian ................................ 122 d. Tujuan taklik talak ............................................................... 125 2. Nusyuz suami mengakibatkan putusnya perkawinan ............... 130 BAB IV
PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA TERHADAP KONSEP NUSYUZ .................................. 133 A. Data Perceraian melalui Putusan Hakim Pengadilan Agama ……. 133
14
1. Laporan tahunan 2007 ………………………………………… 133 2. Laporan tahunan 2008 ………………………………………… 135 B. Analisis Data Perceraian terhadap Konsep Nusyuz ……………… 137 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 141 A. Kesimpulan ................................................................................... 141 B. Saran …………………………………………………………...… 142
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 143
15
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1
Alokasi Waktu Rencana Penelitian ……………………………….…. 29
2
Data Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2007…………………….…134
3
Masa Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2007................................…134
4
Faktor Penyebab Perceraian Laporan Tahunan 2007........................…135
5
Data Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2008.................................…135
6
Masa Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2008……...……………….136
7
Faktor Penyebab Perceraian Laporan Tahunan 2008........................…136
16
DAFTAR ISTILAH
Fikih Munakahat
: Fikih yang khusus membahas tentang perkawinan
Iddah
: Masa tunggu
Ishlah
: Melakukan perdamaian
Istimta’
: Bersenang-senang
Iwadh
: Uang tebusan
Jima’
: Bersetubuh/melakukan hubungan suami isteri
Jumhur Fuqaha
: Mayoritas ahli fikih
Muhrim
: Orang yang diharamkan untuk dinikahi
Nafaqoh
: Nafkah
Sakinah
: Tenang, tenteram, damai
Shighat
: Ucapan ikrar
Warahmah
: Rasa sayang
Zawaj
: Mencampuri, mengawini
Kaffah
: Utuh
Ma’asyarah bilma’ruf : Mempergauli dengan baik Mawaddah
: Cinta kasih
17
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya sebagaimana perintah Allah SWT dalam Q.S ar Ruum : 21 yang artinya sebagai berikut : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” 1 Oleh karena dengan perkawinan dapat mengurangi diri dari perbuatan maksiat dan memelihara diri dari perbuatan zina. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Bin Mas’ud bahwa Rasululullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut : “Wahai kaum muda, barangsiapa
diantara
kalian
mampu
menyiapkan
bekal,
nikahlah,
karena
sesungguhnya menikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng.”2 Selain itu perkawinan juga merupakan jalan menuju penyaluran kebutuhan biologis manusia dan dalam ajaran Rasulullah SAW perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Anas Bin Malik bahwa 1 2
hlm.65
Mahmud Junus, Tarjamah Al Quran Al Karim, AL-Ma’arif, Bandung, 1984 hlm.366 Muslich Maruzi, Koleksi Hadits Sikap dan Pribadi Muslim, Pustaka Amani, Jakarta, 1995,
18
Rasululullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut: “Akan tetapi aku sholat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikahi perempuan. Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” 3 Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata hanya sebagai hubungan antara suami dan isteri, akan tetapi lebih dari itu agama Islam memandang perkawinan merupakan suatu perbuatan yang mempunyai nilai ibadah sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” 4 Berkaitan dengan uraian tersebut maka Sulaiman Rasyid mendefinisikan “perkawinan adalah suatu aqad menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.” 5 Berdasarkan uraian tersebut mengandung makna bahwa perkawinan itu adalah suatu ikatan yang suci dan sakral serta didasarkan atas perintah agama maka akan memiliki tanggung jawab moril kepada Tuhan, bukan hanya kepada pasangan masing-masing. Kemudian dengan adanya penegasan bahwa perkawinan itu adalah perbuatan bernilai ibadah maka, “setiap tindakan yang dilakukan masing-masing 3
Ibid, hlm. 165 Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2007, hlm.7 5 M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993, hlm.3 4
19
pasangan dalam suatu perkawinan tidak terlepas dari perbuatan yang bernilai kebaikan dan keburukan.” 6 Hukum Islam telah mengatur hak dan kewajiban suami isteri sedemikian rupa, sehingga suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang menjadi basis utama bagi bangunan suatu masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lainnya. Berkaitan dengan kedudukan sebagai suami isteri, Al Qur’an mengajarkan bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan juga dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam konteks hubungan suami dan isteri dalam perkawinan kata nusyuz ditemukan dalam Al Qur’an menerangkan tentang sikap yang tidak lagi berada pada tempatnya, yang semestinya ada dan dipelihara dalam rumah tangga. Sikap menyimpang yang naik ke permukaan dalam bentuk ketidakpatuhan kepada aturan-aturan berumah tangga, baik yang datang dari suami maupun yang muncul dari isteri disebut dengan kata nusyuz. 7 Di dalam Q.S an Nisa : 34 yang artinya sebagai berikut menyatakan bahwa : “…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka
mentaatimu,
maka
janganlah
kamu
mencari-cari
jalan
untuk
memisahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” 8
6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.1 Dudung Abdul Rohman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Menjaga Moralitas Bangsa Menurut Pandangan Al Quran, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm.94 8 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.76 7
20
Selanjutnya pada Q.S an Nisa : 128 yang artinya sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 9 Kedua ayat tersebut di atas menerangkan adanya pengaturan tentang nusyuz suami atau isteri dalam perkawinan. Adanya sikap tidak peduli atau bahkan sampai kepada tingkat tidak mematuhi, timbulnya kebencian, pembangkangan suami atau isteri terhadap hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan berumah tangga dan terjadi pada satu pihak disebut dengan nusyuz. “Dalam Al Qur’an kata nusyuz dengan beberapa bentuk derivasinya terulang dalam Al Qur’an sebanyak lima kali.” 10 Kemudian “nusyuz yang berasal dari kata al nasyz adalah al murtafi’ diartikan irtafa’ an makanih yaitu sesuatu yang terangkat dari tempatnya.” 11 Hak dan kewajiban masing-masing suami isteri telah ditegaskan dalam Al Qur’an dan Hadits yang kemudian dikhususkan pembahasannya dalam Fikih Munakahat dan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pelanggaran terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban oleh salah satu pihak yaitu oleh suami atau isteri dalam perkawinan disebut dengan nusyuz.
9
Ibid, hlm.90 Dalam bentuk fi’il amar terdapat dua kali pada Q.S al Mujadalah : 11 yang berarti “bangkit dari tempatnya” dan dalam bentuk fi’il mudhari ditemukan satu kali pada Q.S al Baqarah : 259 yang berarti “menghidupkan” yaitu “naik setelah rata” (irtifa’ ba’d ittidha’) dan dua kali dalam bentuk nusyuz pada Q.S an Nisa : 34 yang bermakna “ketidakpatuhan/durhaka suami” dan pada Q.S an Nisa : 34 yang bermakna “ketidakpatuhan isteri”. Lihat Muhammad Fuad, Abdul al Baqiy, al Mu’jam al Mufahras li Alfaz Al Quran, Dar al Fikr, Mesir, Kairo, 1981, hlm.518. 11 Luwice Ma’luf, Al Munjid fi al lughah, al Masyriq, Beirut, Libanon, 1973, hlm.809 10
21
Ketika seorang isteri tidak menjalankan kewajiban sebagaimanamestinya, maka dalam Islam si isteri tersebut disebut nusyuz seperti yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an. Muhammad Ali Ash Shabuni berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah : “Kedurhakaan dan kecongkakan isteri dari mentaati suami.” 12 Berkenaan dengan hal tersebut di dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu pedoman/kaidah tertulis dalam hal perkawinan, telah mengatur tentang nusyuz isteri yang menyatakan bahwa : (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz. (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. 13 Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas menegaskan bahwa kewajiban suami itu akan dan atau dapat dilaksanakan suami bila si isteri telah melaksanakan kewajibannya, (tamkin sempurna dari isteri) yaitu memberikan hak suami. Akan tetapi, di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ditegaskan/diatur mengenai nusyuznya suami secara tegas seperti pada isteri. Dengan kata lain, jika suami nusyuz tidak ada dinyatakan akan gugurlah hak suami terhadap isteri, atau kewajiban isteri terhadap suami, sebagai konsekuensi/sanksinya. Demikian juga menurut beberapa ahli fikih, ada yang berpendapat bahwa istilah nusyuz itu hanya melekat pada diri 12 13
Dudung Abdul Rohman, Op.Cit, hlm.94 Kompilasi Hukum Islam,Op. Cit, hlm.31
22
isteri dan tidak dilekatkan pada diri suami, padahal secara logika suami itu juga adalah manusia biasa, yang tidak mungkin akan terlepas dari sikap lalai, khilaf dan salah. Indikasi lainnya terhadap pendapat bahwa istilah nusyuz itu hanya melekat pada diri isteri dan tidak dilekatkan pada diri suami, adalah ketentuan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa : “Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.” 14 Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam tersebut, secara inplisit mengandung makna mengakui bahwa
perceraian dapat terjadi dengan alasan isteri telah nusyuz, meskipun hal
tersebut tidak dimasukkan dengan tegas (secara eksplisit) sebagai alasan perceraian seperti yang terdapat dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan pengaturan terhadap konsep nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut dirasakan membawa ketidakadilan, karena ketika suami tidak dapat memenuhi kewajibannya (nusyuz) tidak ditentukan sanksinya. Sedangkan ketika isteri dianggap telah nusyuz, maka hak isteri gugur untuk menuntut kewajiban suami terutama mendapatkan nafkah, dengan dalih atau alasan bahwa “pemberian nafkah kepada isteri adalah merupakan imbalan dari bolehnya suami bersenang-senang (istimta’) dengan isteri.” 15 Kasus nusyuz ini banyak melanda rumah tangga kaum muslim, terutama pasangan muda yang terhimpit persoalan ekonomi. Terlebih lagi dalam kondisi dan situasi seperti sekarang ini yang sekarang serba sulit, sementara 14
Ibid,, hlm.49 Wahbah al Juhaily, Al Fiqh al Islam wa Adillatuh, Dar al Fikr, Mesir, Kairo, 1989, hlm.
15
779
23
gaya hidup mewah dan sikap materialisme telah membudaya dan mengakar di kalangan masyarakat hingga ke pelosok desa. Faktor dorongan ekonomi yang tidak terpenuhi tersebut dapat menyeret kepada tindak kekerasan di rumah tangga yang mengarah pada perbuatan kriminal. Untuk menghindari hal demikian dituntut ketabahan, kesabaran dan kelapangan dada suami dalam menghadapi perubahan sikap (nusyuz) yang ditampilkan oleh isterinya atau sebaliknya. Nusyuz tidak hanya diperbuat oleh isteri. Terkadang suami pun dapat berbuat nusyuz kepada isterinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul Rosyad Ghanim bahwa nusyuz bukanlah topik tertentu yang hanya dilakukan oleh seorang isteri saja, akan tetapi terkadang juga terjadi pada diri seorang suami. 16 Ketika suami tidak melaksanakan atau tidak memenuhi kewajibannya dalam kehidupan berumah tangga, menzalimi isteri, atau berbuat hal-hal yang tidak dibenarkan dalam hukum Islam terhadap isteri, maka isteri dapat menggugat perceraian melalui Pengadilan Agama. Hal ini disebabkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, laki-laki (suami) sebagai pemimpin (imam) dalam rumah tangga terkadang terlalu mendominasi kehidupan berumah tangga (perkawinan). Tindakan tersebut dapat menyebabkan tidak adanya keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri dalam perkawinan. Namun perlu diketahui, bahwa hak dan kewajiban antara suami isteri dalam rumah tangga tidak dapat disamakan dalam segala hal dan semua persoalan. Hal ini mengingat karena memang sudah fitrahnya, bahwa kaum wanita itu berada di bawah kepemimpinan kaum pria, sebagaimana firman Allah dalam Q.S an Nisa : 34 yang artinya sebagai berikut : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...” 17 Berkaitan dengan hal tersebut negara telah membakukan peran laki-laki sebagai
16 17
Dudung Abdul Rohman, Op. Cit, hlm. 94-95 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.76
24
suami dan perempuan sebagai isteri dalam Undang-undang. Sebagaimana telah ditegaskan dalam “Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada Bab VI mengenai hak dan kewajiban suami isteri.” 18 Perkawinan itu merupakan ibadah. Pengertian ibadah itu sangat luas. Setiap perbuatan baik berupa bantuan kepada sesama, usaha-usaha produktif yang lazim dan bahkan setiap ucapan yang baik merupakan bagian dari ibadahnya seorang muslim yang benar terhadap Sang Maha Pencipta. Bila kedua suami isteri itu memperhatikan tujuan utama ini, tujuan pokok bersatunya mereka, maka dengan mudah mereka akan mengerti cara saling membantu untuk mencapai tujuan ini. Suatu tujuan yang lebih besar dari pada keinginan mereka sendiri. Mereka harus dapat belajar saling bertoleransi satu sama lain, mencintai Allah dalam keluarga mereka dan terhadap yang lainnya, serta mengatasi kesulitan-kesulitan dan kekurangan mereka. 19 Salah satu tujuan berumah tangga dalam Islam adalah untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman batin melalui keluarga sakinah. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan “mawaddah (cinta kasih) warahmah (dan rasa sayang) bagi pasangan suami isteri guna meraih ketentraman tersebut.” 20 Mawaddah wa rahmah ini merupakan modal dasar dalam membina keutuhan, kerukunan, dan keharmonisan berumah tangga. Keluarga sakinah merupakan idaman dan impian bagi setiap pasangan. Hal ini terbukti apabila ditanyakan kepada pengantin baru tentang tujuan dari perkawinannya, kebanyakan setiap pengantin baru akan dengan mantap menjawab ingin membentuk keluarga bahagia, tenteram dan sejahtera, dengan kata
18
Pasal 31 ayat (3) dinyatakan bahwa : Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Kemudian pada Pasal 34 ayat (1) dinyatakan bahwa : Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dan dalam Pasal 34 ayat (2) dinyatakan bahwa : Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Gitamedia Press, Surabaya, 1974, hlm.11 19 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm. 9-10 20 Dudung Abdul Rohman, Op. Cit, hlm. 88
25
lain keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Akan tetapi, setelah bertahuntahun menjalani perkawinan belum tentu cita-cita tersebut terwujud. Hal itu menunjukkan bahwa keluarga sakinah adalah hasil atau buah dari usaha dan kerja keras. Oleh karena itu, bagi setiap pasangan baik pasangan muda maupun tua yang mencita-citakan terwujudnya keluarga sakinah ini harus berusaha semaksimal mungkin karena tidak ada istilah selesai dan lelah dalam mewujudkannya. Dalam menjalani proses ini, tentu harus dilandasi dengan keimanan, ketakwaan dan ketabahan karena tanpa landasan dan komitmen yang kokoh tersebut, mustahil keluarga sakinah dapat diwujudkan. Akan tetapi, tak dapat disangkal bahwa pada kenyataannya dalam merawat cinta kasih dan membina keharmonisan berumah tangga ini terkadang pasangan suami isteri dihadapkan pada badai dan kegalauan hidup yang dapat menghantam keutuhan rumah tangga. Badai tersebut bisa datang dari lingkungan rumah tangga itu sendiri, artinya yang bersifat intern, seperti sikap isteri yang berubah, suami cepat marah maupun anak-anak yang sulit dididik. Kemudian masalah lain yang bersifat ekstern, seperti gangguan dari tetangga, kurang baik hubungan dengan mertua ataupun kedengkian dari mitra kerja. Hal-hal tersebut bila dibiarkan berlarut-larut dan berlanjut terus-menerus akan mempengaruhi sikap masing-masing pasangan dan mengganggu keharmonisan dalam hubungan suami isteri bahkan dapat menyebabkan terjadinya tindakan sewenang-wenang antara pasangan suami dan isteri, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan ataupun nusyuz dalam perkawinan. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan hal tersebut adalah, pemahaman umat terhadap teks-
26
teks agama yang ditafsirkan secara sempit dan tekstual. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap pemahaman ajaran agama secara kontekstual tersebut termasuk konsep nusyuz yang terdapat dalam ajaran Islam.
B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam ? 2. Bagaimana konsep nusyuz suami dan akibatnya menurut hukum perkawinan Islam? 3. Bagaimana pertimbangan putusan Hakim Pengadilan Agama terhadap konsep nusyuz?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka penulisan tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui dan memahami konsep nusyuz dalam hubungan suami isteri menurut perspektif hukum perkawinan Islam. 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami nusyuz seorang suami dan akibatnya menurut ketentuan hukum perkawinan Islam. 3. Untuk mengetahui lebih jauh alasan-alasan dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama, dalam putusannya terhadap konsep nusyuz pada kasus-kasus perceraian yang terjadi.
27
D. Manfaat Penelitian Selain beberapa tujuan yang hendak dicapai tersebut di atas, maka penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah baik secara teoritis dan praktis mengenai konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam. 2. Menumbuhkan pola pikir, harapan, cita-cita dan sikap untuk dapat menjalankan hak dan kewajiban dalam hubungan suami isteri kelak ketika berumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga jauh dari sikap nusyuz. 3. Berusaha bersikap aktif dalam hal mencari, menemukan dan menganalisis putusan perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama, sehubungan dengan masalah hak dan kewajiban suami isteri yang tidak dilaksanakan dalam beberapa kasus gugatan perceraian dikaitkan dengan konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana (S.Ps) Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul : “KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM” belum pernah ada yang membahas dan menelitinya, sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulisan tesis ini dari awal hingga akhir adalah berdasarkan ide, gagasan maupun pemikiran secara pribadi
28
dengan melihat polemik dan realita hubungan antara suami isteri dalam berumah tangga pada masyarakat, sehingga tulisan ini bukan hasil ciplakan ataupun penggandaan dari karya tulis orang lain. Adapun pendapat atau kutipan dalam penulisan ini merupakan faktor pendukung dan pelengkap, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat ilmiah ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori “Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan.” 21
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bahwa teori adalah : “Suatu
konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman.” 22 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teori diartikan sebagai : “Pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu kejadian dan sebagainya.” 23 Selain itu, “teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan tentang gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.” 24 Selanjutnya yang dimaksud dengan kerangka teori adalah “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.” 25
21
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.21 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, 2002, hlm.184 23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kashiko, Surabaya, 2006, hlm.654 24 J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm.203 25 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm.80 22
29
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan penelitian kepada unsur-unsur hukum. Untuk itu dalam tulisan “KONSEP NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM” ini akan diuraikan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan perkawinan menurut hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits sebagai kerangka teorinya. Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Q.S ar Ruum : 21 yang artinya sebagai berikut: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” 26 Kata zawaj dipergunakan dalam Al Qur’an sebagai pasangan atau jodoh yang dipergunakan dalam pengertian perkawinan. Allah telah menciptakan manusia dari satu diri, lalu darinya Dia menciptakan lelaki dan perempuan. Kisah percintaan Hawa (perempuan pertama) dari sebuah tulang rusuk Adam (lelaki pertama) tidak ada dengan tegas disebutkan di dalam Al Qur’an, melainkan tersirat dalam kandungan 26
Mahmud Junus, Op.Cit, hlm.366
30
firman-Nya pada Q.S an Nisa : 1 yang artinya sebagai berikut : “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri dan darinya, Allah menciptakan pasangannya, lalu dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Maka bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling mengasihi satu sama lain.” 27 Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar umatnya segera menikah sebegitu dia mampu. Keluarga merupakan inti dari masyarakat Islam dan hanya menikahlah merupakan cara untuk membentuk lembaga ini. Sedangkan hubungan campur/biologis di luar itu termasuk hal yang dikutuk dan terlarang dalam Q.S al Isra : 32 yang artinya sebagai berikut: “Dan janganlah kamu mendekati zina karena sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang sesat.” 28 Cukup logis dalam hal ini bahwa Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur berfungsinya keluarga sehingga dengannya kedua belah pihak (suami isteri) dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan.Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu beribadah kepada Allah SWT. Ibadah di sini tidak hanya berarti upacara-upacara ritual belaka seperti berhubungan kelamin dengan isteri, melainkan pada hakekatnya mencakup pula berbagai perilaku baik dalam seluruh gerak kehidupan. 29 Rasulullah SAW bersabda : “Tak ada bangunan yang lebih dicintai Allah SWT dibandingkan dengan bangunan pernikahan.” 30 Bagi manusia, perkawinan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mengandung banyak manfaat. Di antaranya yang terpenting adalah : 27
Ibid, hlm. 70 Ibid, hlm 258 29 M.Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm.9 30 Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.200 28
31
1. Membentuk keluarga dan melepaskan diri dari kebimbangan serta kehancuran hidup. Bagi laki-laki dan perempuan, hidup membujang tak ubahnya dengan nasib seekor burung yang tidak memiliki sangkar. Dengan menikah, seorang manusia akan memiliki sangkar tempat kembali, mendapatkan teman hidup yang menyenangkan hati, tempat menyimpan rahasia, sekaligus penolong dan pelipur laranya. 2. Menyalurkan dorongan seksual. Kebutuhan seksual dalam diri manusia sangatlah krusial dan vital. Karena itu, seseorang pasti memerlukan suami atau isteri sebagai pasangan hidupnya sehingga menjadikan dirinya aman dan nyaman. Pasangan ini diharapkan dapat menemani, menyayangi, dan menjadi saluran kebutuhan dirinya kapan pun dikehendaki. 3. Kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Karenanya, manusia harus segera menyalurkan keinginan ini. Kalau tidak, niscaya akan muncul berbagai penyakit jiwa, fisik, maupun sosial. Kita sering menyaksikan betapa banyak orang yang tidak atau menolak menikah kemudian terjangkiti penyakit jiwa ataupun fisik. 4. Memperbanyak keturunan. Melalui perkawinan, seseorang dapat menghasilkan banyak keturunan yang merupakan salah satu tiang penyangga kehidupan rumah tangga, sekaligus akan menjaga ketenangan serta ketenteraman hubungan suami isteri. 31 Manfaat perkawinan terbagi menjadi dua bagian. Salah satu bagiannya akan diperoleh di kehidupan dunia, dimana setiap manusia memiliki kekhasannya masingmasing dalam membentuk, mengatur dan memimpin keluarganya. Sementara bagian lainnya juga diperoleh di dunia ini, dimana tidak terdapat perbedaan antara yang satu insan dengan insan lainnya, bahkan dengan seluruh makhluk hidup (khususnya masalah seksual). Manfaat yang kedua dari perkawinan seperti yang diuraikan di atas tentu bukanlah menjadi tujuan pokok (tunggal) dari perkawinan. Sebab, manusia tidak diciptakan hanya untuk menikmati seks, makanan, dan minuman belaka, kemudian meninggal. Sesungguhnya kedudukan manusia jauh lebih tinggi dari sekedar itu.
31
Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Isteri, Cahaya, Jakarta, 2008, hlm.19
32
Manusia diciptakan agar menggapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan, amal perbuatan dan akhlak yang baik. “Dengan semua itu diharapkan manusia mampu meraih kedudukan yang sempurna (kamal), berjalan di atas jalan lurus kemanusiaan, untuk seterusnya sampai kepada kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.” 32 Status sebagai maujud (keberadaannya) yang mulia akan dilekatkan apabila manusia mampu menggapai kedudukan yang tinggi. Yakni ketika ia menyucikan dan membimbing jiwa tentang bagaimana menjauhkan diri dari maksiat serta memfokuskan diri pada nilai-nilai akhlak yang luhur. “Hukum perkawinan Islam itu menurut asalnya disebut fiqh munakahat yaitu ketentuan tentang perkawinan menurut Islam.” 33 Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa. “Ayat-ayat Al Qur’an yang mengatur tentang perkawinan itu ada sekitar 85 ayat di antara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar 22 surat dari 114 surat dalam Al Qur’an.” 34 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam Al Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam Q.S an Nisa : 3. Secara arti kata nikah artinya “bergabung” maksudnya “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad” .Adanya dua kemungkinan arti kata ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam Q.S al Baqarah : 230 mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya 32
Ibid, hlm.21 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm.1 34 Ibid, hlm.6 33
33
berhubungan kelamin dengan perempuan tersebut. Golongan ulama dalam hal tersebut memiliki perbedaan pendapat. Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Bahwa hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudah akad dilangsungkan yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul. Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Sedangkan ulama golongan Hanabilah berpendapat bahwa penunjukan kata nikah untuk dua kemungkinan maksud di atas yaitu dalam arti akad dan hubungan kelamin. 35 Berdasarkan defenisi tersebut mengandung maksud sebagai berikut : 1. Penggunaan lafaz akad untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis semata atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. 2. Penggunaan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin adalah karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah itu di antara keduanya. Dengan demikian, akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh. 3. Menggunakan kata billafzinnikahi au tazwiij yang berarti menggunakan lafaz nakaha atau zawaja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata nakaha atau zawaja. 36 Menurut Prof. Mahmud Yunus bahwa : “Nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh).” 37 Sedangkan Prof. Hazairin mengatakan bahwa : “Perkawinan itu adalah hubungan seksual.” 38 Menurut beliau bahwa tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil (contoh) bahwa bila tidak ada 35
Ibid, hlm.37 Ibid, hlm.38 37 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Al Hidayah, Jakarta, 1964, hlm.1 38 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1961, hlm.61 36
34
hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi bekas isteri orang lain. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 mendefenisikan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 39 Selain defenisi yang diberikan oleh Undang-undang Perkawinan tersebut di atas, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” 40
39
Ada beberapa hal dari rumusan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Adanya kalimat “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis sebagaimana yang telah dilegalkan oleh beberapa negara barat. 2. Penggunaan ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan dalam istilah “hidup bersama”. 3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. 4. Disebutkannya berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm.58 40 Ungkapan “akad yang sangat kuat” merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit hlm.7
35
Selain perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah, perempuan yang sudah menjadi isteri itu merupakan amanah Allah SWT yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik karena ia dimiliki melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yaitu : Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara yang ditetapkan Allah. 41 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pandangan Islam perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat (kuasa) dan iradat (kehendak) Allah dalam penciptaan alam ini. Sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendirinya yang pernah dilakukan atau dijalaninya dan diberlakukan untuk umatnya. Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat sebagai berikut yaitu : 1. Bahwa Allah SWT menciptakan makhluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana terdapat dalam Q.S adz Dzaariyat : 49 yang artinya “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” 42 2. Secara khusus pasangan itu disebut dengan laki-laki dan perempuan dalam Q.S an Najm : 45 yang artinya; “Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.” 43 41
Muslich Maruzi, Op.Cit, hlm. 120 Mahmud Yunus, Op. Cit, hlm. 471 43 Ibid, hlm.476 42
36
3. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak sebagaimana yang terdapat dalam Q.S an Nisa : 1 yang artinya : “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” 44 4. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Allah dalam Q.S ar Ruum : 21 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Begitu banyak suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan atau melangsungkan perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah salah satu dari sekian banyak ibadah yang disenangi oleh Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun suruhan Allah dan Rasul untuk melangsungkan perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan. Dalam hal menetapkan hukum asal suatu perkawinan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Alasan sebagian pendapat ulama tersebut adalah bertitik tolak dari begitu banyaknya suruhan Allah dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya hukum perkawinan tersebut berkembang dengan melihat keadaan orang-orang tertentu yaitu : 1. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan. 44
Ibid, hlm.70
37
2. Wajib, bagi orang-orang yang telah dan sangat pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin kemudian ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin. 3. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula bila ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakit tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya. 4. Haram, bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’ dan ia meyakini perkawinan itu akan menyakiti dan atau merusak kehidupan pasangannya. 5. Mubah (harus), bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudharatan apaapa kepada siapapun. 45 “Manusia sebagai salah satu subjek hukum tidak dapat terlepas dari hak dan kewajiban.” 46 Kaitannya dalam hal ini adalah bahwa ketika seorang pria telah melakukan ijab kabul dihadapan penghulu dengan tata cara/ketentuan perkawinan yang telah diatur, maka status baru telah melekat pada kedua mempelai yaitu sebagai suami isteri.
45
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm.46 Subjek hukum itu adalah setiap pendukung hak dan kewajiban Begitu juga terhadap suami dan isteri yang terikat dalam suatu lembaga perkawinan. Perkawinan adalah salah satu bentuk dari sekian banyak perbuatan hukum yang di dalamnya terkandung peristiwa hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Peristiwa hukum ialah setiap peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum, namun perlu diingat bahwa tidak semua peristiwa kemasyarakatan itu merupakan peristiwa hukum. Sedangkan perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan mengetahui akibatakibat hukumnya. Perkawinan sebagai suatu peristiwa dan perbuatan hukum menimbulkan hubungan hukum di antara suami dan isteri dalam kehidupan berumah tangga sehari-hari antara satu dengan lainnya. Hubungan hukum itu tercermin pada hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Namun hukum harus dibedakan dari hak dan kewajiban akan tetapi kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum itu dibebani oleh hak dan kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi yang di satu sisi sebagai hak sedang di sisi lain berupa kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. “Hak itu adalah memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban” Syahruddin Husein, Suatu Pedoman ke Arah Ilmu Hukum, USU Press, Medan, hlm.68 46
38
Perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat (miitsaaqon gholiidhan) harus benar-benar dipahami oleh suami isteri terutama dengan adanya ijab kabul dan sighat taklik talak. Menurut Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa : “Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.” 47 Selama hubungan suami isteri itu belum berakhir, maka pada masing-masing pihak ada beban yang melekat secara moril dan materil, yaitu adanya suatu keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya sebagai hak dari yang lainnya, dalam hal ini suami atau isteri. Selanjutnya beban yang bersifat moril itu sering disebut dengan tanggung jawab. Karena pada dasarnya sejak lahirnya kewajiban maka dengan seketika lahirlah tanggung jawab. Akan tetapi, “kewajiban dan tanggung jawab tersebut terkadang tidak dilaksanakan sebagaimanamestinya.” 48 Berkenaan dengan hal tersebut maka Islam mengenal istilah nusyuz, baik itu nusyuz oleh suami maupun nusyuz oleh isteri. Pada umumnya masyarakat memahami nusyuz sebagai pembangkangan isteri terhadap suami saja dan tidak sebaliknya. Nusyuz menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagian ulama berpendapat bahwa konsep nusyuz tidak dilekatkan kepada suami, padahal secara logika laki-laki (suami) itu juga adalah 47
Kompilasi Hukum Islam,Op.Cit, hlm.6 “Ibi societas ibi jus” yang artinya dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum. Kaedah hukum pada dasarnya berisi kenyataan normatif (apa yang seyogyanya dilakukan) sering disebut sebagai das sollen dan kenyataan alamiah atau peristiwa konkritnya sering disebut sebagai das sein. Dalam praktek hubungan hukum sehari-hari bahwa antara das sollen dan das sein ini sering tidak sejalan, yang lazim disebut sebagai penyimpangan perilaku dari harapan hukum yang seharusnya. Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.16 48
39
manusia biasa yang berpeluang untuk melakukan nusyuz bahkan secara tegas di dalam Q.S an Nisa : 128 yang artinya sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 49 Hukum itu berdasarkan kepada asas (prinsip dasar). Berkenaan dengan hal ini dalam hukum Islam untuk asas-asas perkawinan merujuk kepada Al Qur’an maupun Sunnah Nabi. Adapun asas-asas tersebut yaitu : 1. Asas pertama, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sejalan dengan firman Allah dalam Q.S ar Ruum : 21. 2. Asas kedua, bahwa keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama para pihak yang melaksanakan perkawinan 3. Asas ketiga, yaitu asas monogami relatif sejalan dengan Q.S an Nisa : 3 4. Asas keempat, yaitu tujuan perkawinan akan lebih mudah dicapai apabila kedua mempelai telah masak jiwa raganya, sejalan dengan Q.S ar Ruum : 21 5. Asas kelima, yaitu mempersulit terjadinya perceraian yang didasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW bahwa perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian. 6. Asas keenam, yaitu laki-laki merupakan pemimpin 50 49
Mahmud Junus, Op.Cit, hlm.90 Sedangkan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut 6 asas dalam perkawinan sebagai berikut : 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 2. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seeorang. 4. Undang-undang Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. 6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami,baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami isteri. Lihat Ahmad Rofiq, Op.Cit, hlm.5758 50
40
2. Konsepsi “Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran kita. Untuk keperluan analitis, konsep itu dibedakan dari konsepsi. Konsep merupakan suatu konstruksi abstrak dari konsepsikonsepsi dan konsepsi bisa disebut sebagai penggunaan suatu istilah secara perorangan.” 51 Dalam penulisan tesis ini sangat perlu dilakukan pemilihan dan penegasan terhadap perumusan konsep maupun konsepsi yang sesuai dan yang akan dipakai, agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian, menafsirkan dan memahami maksud dari isi dari setiap pembahasan yang akan dilakukan dalam tesis ini nantinya. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini perlu dipahami bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan menurut hukum Islam yaitu : nikah dan zawaj yang artinya “bergabung” maksudnya “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”52 Nusyuz secara bahasa berasal dari kata nasyaza-yansyuzu-nusyuuzan yang artinya tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz secara istilah (syara’) adalah meninggalkan kewajiban bersuami isteri atau sikap acuh tak acuh yang ditampilkan oleh sang suami atau isteri. Dalam bahasa Arab ditegaskan bahwa nusyuz dalam rumah tangga adalah sikap yang menunjukkan kebencian seorang suami kepada isterinya atau sebaliknya. Namun lazimnya nusyuz itu diartikan sebagai durhaka atau kedurhakaan. 53 51
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.307 Kompilasi Hukum Islam,Op. Cit, hlm.7 53 Dudung Abdul Rohman, Op.Cit, hlm.93 52
41
Pasal 79 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” 54 “Hukum perkawinan Islam dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah fiqih munakahat yang berasal dari dua kata yaitu ‘fiqih’ artinya paham dan ‘munakahat’ artinya perkawinan yang berasal dari kata ‘naka-ha’ selanjutnya diartikan sebagai ketentuan tentang perkawinan menurut Islam.” 55
G. Metodologi Penelitian 1. Sifat penelitian Sifat dari penelitian penulisan tesis ini adalah deskriptif analitis artinya, “penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap tentang keadaan, karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan) dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.” 56 Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum yang ada relevansinya sehingga diperoleh gambaran tentang keadaan yang sebenarnya (data-data faktual) yang berhubungan dengan Konsep Nusyuz Suami dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam.
54
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm.28 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm.1 56 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2000, hlm.58 55
42
2. Metode penelitian Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan maksud tujuan penelitian, meliputi penelitian terhadap asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. “Pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum dengan melihat aspek hukum positif yang tertulis dan berlaku dalam masyarakat.” 57 3. Sumber data Sumber data penelitian yang digunakan pada penulisan tesis ini adalah menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal merupakan penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.” 58 Data sekunder dan bahan pustaka tersebut adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan antara lain; Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. 57
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm.14 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 10 58
43
b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku rujukan yang relevan dengan penelitian ini, salinan putusan pengadilan agama dan hasil karya tulis ilmiah serta berbagai makalah yang ada kaitannya. c. Bahan hukum tertier, antara lain; Kamus Umum, Kamus Bahasa, Majalah, Surat Kabar, Artikel dan Jurnal Hukum. 4. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui : 1. Studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundangundangan (hukum normatif) yang terkait dengan masalah yang diteliti. b. Bahan hukum sekunder meliputi pendapat para pakar hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori/pendapat dari pakar hukum dan putusan Pengadilan Agama. 2. Studi lapangan yaitu meliputi wawancara dengan pihak Badan Penasehat Perkawinan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) serta Hakim Pengadilan Agama.
5. Analisis data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data yang akan dilakukan adalah secara kualitatif, yang diharapkan akan dapat memudahkan menganalisa permasalahan yang dibahas, menafsirkannya dan kemudian menarik kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan.
44
6. Jadwal penelitian Penelitian ini semula direncanakan pelaksanaannya akan dimulai pada awal bulan April 2009 dan diharapkan dapat diselesaikan pada akhir bulan Mei 2009. Namun pada kenyataannya, penelitian ini dapat diselesaikan pada awal Juli 2009, adapun langkah-langkah yang ditempuh dibagi dalam empat tahap yaitu : 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini dimulai dengan pengumpulan bahan-bahan kepustakaan, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian. Setelah itu dikonsultasikan kepada Dosen Pembimbing untuk penyempurnaannya. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan instrument penelitian dan pengurusan izin penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara pengumpulan dan pengkajian terhadap data sekunder dan primer untuk dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan yang diangkat. 3. Tahap Penyelesaian Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi analisis data, penelitian laporan awal dan konsultasi kepada Dosen Pembimbing untuk perbaikan dan penyempurnaan. 4. Tahap Pelaporan Pada tahap ini meliputi ; seminar, pembuatan laporan akhir dan penggandaan.Adapun alokasi waktu rencana penelitian dapat dilihat dalam tabel :
45
Tabel 1. Alokasi Waktu Rencana Penelitian No
URAIAN KEGIATAN
1.
Persiapan penelitian/ penyusunan rencana penelitian/seminar proposal penelitian.
2.
Library research/ penelitian kepustakaan dan peraturan lain terkait
3.
Field research /penelitian lapangan
4.
Penyusunan laporan penelitian kepustakaan dan lapangan
5.
Seminar hasil penelitian, laporan akhir dan penggandaan.
MARET
APRIL
BULAN MEI
JUNI
JULI
46
BAB II KONSEP NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. Pengertian Nusyuz “Nusyuz menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata nasyaza-yansyuzu-nusyuuzan yang berarti tinggi atau timbul ke permukaan.” 59 “Nusyuz juga dapat berarti yaitu perempuan yang durhaka kepada suaminya.” 60 Kamus istilah fikih memberikan arti nusyuz dengan : Durhaka. Yaitu jika isteri atau suami telah meninggalkan kewajibankewajibannya. Dari pihak istri, nusyuz ialah jika isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami (Q.S an Nisa : 128), dengan maksud membangkang kepada suami. Dari pihak suami, nusyuz ialah bertindak keras kepada isteri, tidak menggaulinya dan tidak pula memberi nafkah, atau sikap acuh tak acuh kepada isteri. Jika isteri nusyuz hendaklah dinasehati dengan baik. Jika tidak ada perubahan, boleh dipukul tetapi yang tidak membahayakan (Q.S an Nisa : 34). Dan jika tetap tidak ada perubahan, maka hendaklah diserahkan kepada Juru Pendamai (hakam) dari kedua pihak untuk memutuskan cara yang terbaik (Q.S an Nisa : 35). Jika suami yang nusyuz, hendaknya diperdamaikan keduanya, untuk kerukunan berumah tangga. Jalan akhir, jika tidak dapat dicapai perdamaian, serahkan kepada Hakim untuk memutus perkaranya. 61 Demikian juga dalam Kamus Agama Islam bahwa yang dimaksud dengan “nusyuz ialah meninggalkan kewajiban bersuami isteri.” 62 Nusyuz menurut terminologi adalah “perbuatan yang keluar dari ketaatan, yakni perbuatan isteri yang keluar dari mentaati suami ataupun sebaliknya.” 63 Ibnu Taimiyah menyebutkan nusyuz itu adalah “isteri membangkang kepada suaminya 59
Dudung Abdul Rohman, Op.Cit, hlm.93 Muhammad Idris Al Marbawi, Kamus Al Marbawi, Al Nasyr, Semarang, 1995, hlm.318 61 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 251 62 Sudarsono, Kamus Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 175 63 Zakaria Al Anshari, Al Syarqawi ala Al Tahrir, Al Haramain, Jeddah, 1990, hlm. 280 60
47
seolah-olah tidak taat kepada suami jika diajak suami ke tempat tidur atau isteri keluar dari rumah tanpa seizin suami, dan demikian juga halnya bila isteri meninggalkan kewajibannya untuk mentaati suami.” 64 “Nusyuz secara istilah (syara’) adalah meninggalkan kewajiban bersuami isteri atau sikap acuh tak acuh yang ditampilkan oleh sang suami atau isteri. Dalam bahasa Arab ditegaskan bahwa nusyuz dalam rumah tangga adalah sikap yang menunjukkan kebencian seorang suami kepada isterinya atau sebaliknya. Namun lazimnya nusyuz itu diartikan sebagai durhaka atau kedurhakaan.” 65 Menurut Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah : “Kedurhakaan dan kecongkakan isteri dari mentaati suami.” 66 Adanya sikap tidak peduli atau bahkan sampai kepada tingkat tidak mematuhi, timbulnya kebencian, pembangkangan suami atau isteri terhadap hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan berumah tangga dan terjadi pada salah satu pihak disebut dengan nusyuz. Berdasarkan defenisi-defenisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan yang keluar dari ketaatan atau tidak melaksanakan kewajibannya masing-masing (suami/isteri) yakni perbuatan isteri yang keluar dari mentaati suami serta meninggalkan kewajibannya, ataupun sebaliknya suami melalaikan kewajibannya terhadap isteri. Dalam penulisan tesis ini yang menjadi bahasan utama adalah mengenai nusyuz suami, namun dalam bab pembahasan ini akan dibahas terlebih dahulu nusyuz isteri dan nusyuz suami secara 64
Ibnu Taimiyah, Majmu’aha al Fatawa, Jilid 32, Dar al Wafa, Mesir, Kairo, 1998, hlm.145 Dudung Abdul Rohman, Loc.Cit 66 Ibid, hlm.94 65
48
terpisah, bukan “tindakan kedua-duanya secara bersama-sama merasa benci atau tidak senang terhadap pasangannya dengan saling membangkang atau berselisih secara terus-menerus karena hal tersebut bukanlah nusyuz melainkan syiqaq.” 67
B. Dasar Hukum Konsep Nusyuz 1. Menurut Al Qur’an Nusyuz mempunyai beberapa hal ihwal (keadaan) yang tidak diterangkan Allah SWT dalam Al Qur’an yaitu : Di dalam Q.S an Nisa : 34 yang artinya sebagai berikut : “…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk memisahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” 68 Di dalam Q.S an Nisa : 128 yang artinya sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 69
67
Syiqaq adalah cenderung kepada sikap adanya perselisihan, pertengkaran, dan pertentangan antara suami isteri yang berlangsung terus menerus dan tidak akan ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 1989, hlm. 224 68 Ibid, hlm.70 69 Mahmud Junus, Op.Cit, hlm.90
49
Kedua ayat tersebut di atas lazim disebut sebagai ayat-ayat nusyuz dalam beberapa kitab fikih. Ayat-ayat nusyuz tersebut turun menurut sebagian pendapat para ahli fikih (fuqaha) adalah dalam konteks masyarakat Arab ketika itu yang terbiasa melakukan kekerasan terhadap perempuan (isteri). Pemukulan adalah bentuk kekerasan yang paling sering muncul pada masa itu. Dengan demikian ayat-ayat tersebut turun dalam konteks melarang pemukulan terhadap isteri dan segala bentuk dalam kekerasan rumah tangga. Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, perempuan sering ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua), yang berada di bawah superioritas laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan bahkan terkadang dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekadar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Sebagian pihak menganggap persepsi tersebut benar, sehingga timbullah berbagai bentuk tindakan penyimpangan terhadap hak dan kewajiban, tindakan kekerasan, penindasan, pelecehan seksual dan sebagainya terhadap kaum hawa terutama dalam rumah tangga. Hal ini terjadi, karena salah satu faktornya adalah pemahaman umat terhadap teks-teks agama yang ditafsirkan secara tekstual. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman ajaran agama secara utuh (kaffah). Terutama terhadap konsep nusyuz yang terdapat dalam ajaran Islam
50
2. Menurut Hadits Beberapa Hadits berkaitan dengan masalah nusyuz ini adalah sebagai berikut : Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas telah menyatakan dengan arti sebagai berikut bahwa : Ketika seorang sahabat Rasulullah salah seorang guru Naqib mengajarkan agama kepada kaum Anshar, bernama Sa’ad bin Rabi’i bin Amr, berselisih dengan isterinya bernama Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah nusyuz kepada suaminya Sa’ad itu. Lalu Sa’ad menempeleng muka isterinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah SAW ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan hal tersebut. Kata ayahnya : Disekatidurinya anakku, lalu ditempelengnya. Serta merta Rasulullah SAW menjawab : Biar dia balas (qishash). Artinya Rasulullah SAW mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman, tetapi ketika Bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi maka berkatalah Rasulullah SAW : Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhan lah yang baik. 70 Hadits tersebut menceritakan tentang penafsiran Ibnu Abbas bahwa dalam kasus di atas telah terjadi pemukulan oleh suami terhadap isteri sebagaimana yang dibolehkan dalam Q.S an Nisa : 34. Namun adanya jawaban dari Rasulullah SAW yang membolehkan untuk membalas pukulan suami Habibah tersebut, menerangkan bahwa meskipun Q.S an Nisa : 34 membolehkan pemukulan terhadap isteri akan tetapi tidak boleh yang bersifat menyakiti apalagi membuatnya menderita. Al Qurtubi menyatakan bahwa : “Pemukulan di sini adalah pukulan yang tidak menyakiti dan ini merupakan tindakan yang mendidik dan dimaksudkan untuk merubah prilaku isteri.” 71
70 71
hlm.45
Ibnu Arabi, Tafsir al Qurtuby, Da ar Shafwat, Mesir, Kairo, 1980, hlm. 67 Ahmad Musthafa Al Maraghi, Terjemahan Tafsir al Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1980,
51
Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah sebagai berikut : “Dari Muawiyah bin Hidah r.a ia berkata, saya bertanya : Wahai Rasulullah apa hak isteri pada kita? Beliau menjawab, Engkau memberi makan kalau engkau makan, engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan memisahkannya kecuali masih dalam rumah.” 72 Hadits tersebut lebih lanjut mengatur pemukulan yang dibolehkan syariat oleh suami terhadap isteri yaitu pukulan yang tidak membahayakan, seperti tidak boleh memukul wajah dan daerah-daerah yang sensitif serta lemah. Juga tidak dibenarkan memukul dengan alat yang menghinakan seperti sandal atau menyepak dengan kaki, karena hal ini berarti merendahkan martabat dan menjatuhkan harga dirinya. Hadits diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dari Ibnu Abbas telah menyatakan dengan arti sebagai berikut bahwa : Dari Aisyah r.a tentang firman Allah : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Aisyah menjawab : “Ia adalah wanita yang berada dalam kekuasaan laki-laki yang tidak memandang banyak kepada wanita, lalu ia ingin mentalaknya dan kawin dengan wanita lain.” Isterinya berkata kepadanya : Peganglah aku dan janganlah engkau mentalakku, kemudian kawinlah dengan wanita selainku, maka kamu boleh (halal) tidak memberikan nafkah dan giliran kepadaku. 73 Hadits tersebut berawal dari kisah Saudah binti Zam’ah yang takut diceraikan oleh Rasulullah SAW karena sudah tua dan kemudian memberikan waktu gilirannya kepada Aisyah r.a karena Saudah mengetahui kedudukan Aisyah dihati Rasulullah asalkan dia tidak ditalak oleh Rasulullah SAW. 72 73
Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.97 Achmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, As-Syifa, Semarang, 1993, hlm. 131.
52
Hadits diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika berkhutbah kepada manusia telah mengatakan dengan arti sebagai berikut : Maka bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan yang telah kamu ambil mereka dengan amanah Allah, dan mereka itu juga dihalalkan bagi kamu dengan nama Allah, dan bagi kamu ada kewajiban isteri yaitu mereka tidak boleh mengizinkan seseorang pun yang tidak kamu senangi untuk tidur di atas tempat tidurmu, jika isteri masih melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan bagi kamu (suami) sekalian mempunyai kewajiban untuk memberi makan dan pakaian mereka (para isteri) dengan baik. 74 Hadits Rasulullah SAW dari Abi Harroh al Riqasy, dari pamannya bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka pisahkanlah diri mereka dari tempat tidurmu.” 75
C. Hak dan Kewajiban Isteri Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam dan Undang-undang perkawinan yakni telah memenuhi segala rukun dan syarat serta prosedur yang ditetapkan oleh kedua aturan dimaksud, maka akad perkawinan yang demikian itu telah dipandang sah menurut agama dan negara. Adapun yang menjadi rukun dalam perkawinan menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu : Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali Nikah 74
Abi al Husain Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Dar al Kitab al Alamiah, Beirut, Libanon, 1990, hlm. 889-890 75 Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Dahlan, Bandung, 1990, hlm.245
53
d. Dua orang saksi dan e. Ijab dan Kabul 76 Setiap umat Islam diperintahkan agar patuh kepada pemerintahnya termasuk di dalamnya mematuhi Undang-undang Perkawinan yang telah dijadikan Undangundang serta dinyatakan berlakunya. Oleh karena itu akad perkawinan baru dipandang sah menurut hukum agama jika dalam pelaksanaannya sesuai pula dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku. Akibat hukum dari terjadinya suatu akad perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah sebagai berikut : 1. Kehalalan bersenang-senang dan berhubungan kelamin antara suami dan isteri. Dengan adanya akad perkawinan yang sah maka oleh Allah telah dihalalkan hubungan kelamin antara suami isteri yang sebelumnya atau di luar itu diharamkan oleh syara’. Dengan akad perkawinan yang sah maka menjadi tetaplah status hukum suami sebagai suami dan status hukum isteri sebagai isteri. 2. Tetapnya keharaman perkawinan karena persemendean, artinya dengan menjadi sahnya suatu akad perkawinan maka suami menjadi haram kawin dengan ibu isteri, neneknya, anaknya dan sebagainya. Demikian juga isteri menjadi haram kawin dengan ayah suami, kakeknya, anaknya dan sebagainya. 3. Menjadi tetapnya hak mahar (maskawin) bagi isteri yang wajib atas suami. 4. Timbulnya kewajiban pada suami terhadap isteri baik bersifat materil maupun immaterial di samping timbulnya hak pada suami yang wajib ditunaikan oleh isterinya. 5. Timbulnya kewajiban pada isteri terhadap suaminya, di samping timbulnya hak pada isteri yang wajib ditunaikan oleh suaminya. 6. Tetapnya nasab anak bagi suami karena akad perkawinan yang sah, artinya anak yang dilahirkan menjadi anak sah menurut hukum, diwajibkan atas ayah kewajiban-kewajiban yang lazim selaku orang tua. 7. Jika ketika dilakukan akad perkawinan diadakan syarat-syarat atau janjijanji antara keduanya, maka sepanjang syarat dan janji itu tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan dan tidak melanggar ketentuan syara’, maka dengan terjadinya akad perkawinan yang sah itu syarat dan 76
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm.10
54
janji tetap berlaku dan wajib ditepati oleh keduanya serta mengikat keduanya. 8. Timbulnya keharaman bagi isteri untuk kawin dengan laki-laki lain selama ikatan perkawinan dengan suaminya masih berlaku. Dalam hukum Islam diharamkan isteri bersuami lebih dari seorang (poliandri). 9. Timbulnya keterikatan suami dan isteri untuk selalu mencurahkan tenaga dan fikirannya guna mewujudkan rumah tangga dan keluarga yang sejahtera lahir bathin. 10. Menjadi tetapnya hak saling mewaris antara suami dari isteri dengan akad perkawinan yang sah itu, jika salah seorang daripada keduanya meninggal dunia. 77 1. Hak isteri “Hak isteri terhadap suaminya ada 2 yaitu hak kebendaan dan hak rohaniah. Hak kebendaan yaitu mahar dan nafkah sedangkan hak rohaniah adalah seperti bersikap adil jika suami berpoligami dan tidak boleh menyengsarakan isteri.” 78 a. Hak kebendaan (Hak isteri dalam bentuk materi) 1) Menerima mahar atau maskawin “Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.” 79 Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban membayar mahar (mas kawin) tidak dimasukkan pada Pasal 80 mengenai kewajiban suami, akan tetapi dimasukkan pada Pasal 30 Bab V yang khusus mengatur masalah mahar. Hal ini suatu indikasi adanya usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan isteri, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya.
77
Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hlm.53-54 78 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm.39 79 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit, hlm. 6
55
Pada zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan kepada perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk mengurus atau menggunakan hartanya sendiri. Dalam hal ini Islam pun datang untuk menghilangkan belenggu tersebut. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan kepada ayahnya. Orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikitpun dari harta bendanya tersebut, kecuali dengan kerelaannya. Firman Allah dalam Q.S an Nisa : 4 yang artinya sebagai berikut : “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” 80 Maksudnya adalah bahwa suami wajib memberikan mahar kepada para isteri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Apabila si perempuan memberikan sebagian maskawin yang sudah menjadi miliknya, tanpa paksaan dan tipu muslihat maka sang suami boleh menerimanya. Hal tersebut tidak disalahkan atau dianggap dosa. Namun bila isteri memberikan sebagian maharnya karena malu, takut, atau terpedaya maka suami tidak halal menerimanya. Mahar atau maskawin wajib diterima oleh isteri dan menjadi hak isteri bukan untuk orangtua atau saudaranya. Mahar adalah imbangan untuk dapat menikmati tubuh si perempuan dan 80
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 71
56
sebagai tanda kerelaan untuk digauli oleh suaminya. Selain itu maskawin juga akan memperkokoh ikatan dan untuk menimbulkan kasih sayang dari isteri kepada suaminya sebagai teman hidupnya. Sebagaimana pendapat as Shabuni bahwa : “Mahar itu bermakna pemberian dengan kebaikan jiwa, padahal hukumnya wajib atas suami untuk memberitahukan bahwa pemberian itu berdasarkan sempurnanya keridhaan dan kebaikan hati. Selanjutnya mahar juga untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai antara suami dan isteri.” 81 Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar, tidak lain hanya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecil jumlahnya tapi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Jadi mahar dapat berupa cincin besi, segantang kurma, selembar kain, atau mengajarkannya beberapa ayat Al Qur’an dan lain sebagainya dengan syarat telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad. Dalam beberapa Hadits bahwa mahar yang diberikan oleh suami kepada isterinya dapat berupa sepasang sandal saja, hafalan ayat Al Qur’an, dan keIslaman (masuk Islamnya) calon suami. “Golongan Hanafi menyebutkan jumlah mahar sedikitnya sepuluh dirham. Golongan Maliki menyebutkan tiga dirham.” 82 Namun jumlah seperti ini tidak didasarkan pada keterangan nash agama yang kuat atau alasan yang sah.
81
Mohammad Zuhri, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Istri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 135. 82 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 42
57
Islam
memberikan
kesempatan
seluas-luasnya
kepada
laki-laki
dan
perempuan menikah, agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tentunya harus diberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Mereka ini merupakan golongan mayoritas dari umat manusia. Oleh karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberikan keberkahan dalam kehidupan suami isteri karena mahar yang murah menunjukkan kemurahan hati dari pihak perempuan. Aisyah berkata bahwa Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya, perkawinan yang besar keberkahannya adalah yang paling murah maharnya. Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Adapun perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya dan buruk akhlaknya.” 83 Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat Jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini menimbulkan banyak kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan pemikiran serta 83
Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm. 210
58
semangat menuju perkawinan. Akibatnya timbul persepsi bahwa yang halal (menikah) ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (berzina). Pelaksanaan pemberian mahar boleh dengan kontan dan berhutang atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hal ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan mereka yang berlaku. Akan tetapi, membayar kontan sebagian, ini adalah sunnah karena Ibnu Abbas meriwayatkan : “Nabi SAW melarang Ali tidur serumah dengan Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Ali berkata, ‘Aku tidak mempunyai apa-apa.’ Lalu beliau bersabda, ‘Di manakah baju besi Hutaiyahmu? Ali lalu memberikan barang itu kepada Fatimah.” 84 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan
bahwa
Aisyah
berkata
:
“Rasulullah
menyuruhku
supaya
memerintahkan perempuan tidur serumah bersama suaminya meskipun ia belum membayar sesuatu (maharnya).” 85 Hadits ini menunjukkan boleh tidur serumah dengan isteri meskipun ia belum membayar maharnya sedikitpun. Adapun hadits Ibnu Abbas menunjukkan larangan suami isteri tidur serumah sebelum suami membayar mahar dan inilah yang lebih baik, yang secara hukum dipandang sunnah. “Para ulama mensunnahkan tidak mencampuri isteri sebelum dibayarkan sebagian maharnya.”86 2) Menerima nafkah Maksud dari nafkah di sini adalah memenuhi “kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri meskipun isterinya itu orang kaya.” 87 Memberi nafkah hukumnya wajib menurut Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’.
84
Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm. 75 Ibid, hlm.76 86 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 45 87 Ibid, hlm. 55 85
59
Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya akad nikah menjadi terikat kepada suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya dan suaminya berhak penuh untuk menikmati dirinya, ia wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak suaminya dan sebagainya maka agama menetapkan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidak nusyuz serta tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaidah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya. Syarat-syarat untuk mendapatkan nafkah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Akad nikahnya sah. Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya. Isteri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya. Isterinya tidak berkeberatan untuk pindah tempat apabila suami menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri si isteri dan kekayaannya atau pada waktu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah isteri atau tidak akan pergi dengan isterinya. 5. Suami isteri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri. 88 Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Isteri yang tidak berhak menerima nafkah dari suami yaitu : 1. Isteri yang masih kecil yang belum dicampuri meskipun ia sudah menyerahkan dirinya untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil itu suaminya sedangkan isterinya sudah baligh maka nafkah wajib dibayar, sebab kemungkinan nafkah itu ada di pihak isteri sedang uzur tidak 88
H.S.A. Alhamdani, Op.Cit, hlm.125
60
2. 3. 4. 5. 6. 7.
menerima nafkah itu di pihak suami. Berdasarkan sunnah Rasulullah waktu kawin dengan Aisyah beliau tidak memberi nafkah selama dua tahun karena belum mencampurinya. Apabila isteri berpindah dari rumah suaminya ke rumah lain tanpa alasan syar’i atau pergi tanpa izin suami. Apabila isteri bekerja atau membuka usaha sedangkan suami melarangnya untuk bekerja dan si perempuan tidak memperhatikan larangan suaminya. Apabila isteri berpuasa sunnah atau beri’tikaf sunnah. Apabila si isteri di penjara karena melakukan kejahatan atau karena tidak membayar hutangnya. Apabila si isteri diculik orang lain sehingga berpisah dengan suaminya. Apabila isteri nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiyat terhadap suaminya atau tidak mau melayani suaminya. 89
Namun jika seorang isteri menderita sakit keras sehingga tidak dapat disetubuhi oleh suaminya, maka suami tetap wajib menafkahinya. Sangat tidak adil jika isteri sakit tidak menerima nafkah. Termasuk kategori hukum sakit, adalah jika kemaluan isteri sempit, tubuhnya kurus kerempeng, dan menderita cacat yang dapat menghalangi hubungan seks suami isteri. Begitu juga halnya jika suami itu bertabiat kasar atau kemaluannya buntung atau dikebiri atau sakit berat sehingga tidak dapat menggauli isterinya atau dipenjara karena utang atau karena suatu kejahatan. Dalam keadaan seperti ini, isteri tetap berhak mendapatkan nafkah. Hal ini karena pihak isteri masih tetap dapat memberi kenikmatan kepada suaminya, tetapi kesalahan terletak pada suami. Hilangnya kesempatan ini bukanlah kesalahan isteri, melainkan suami yang tidak dapat memenuhi hak isterinya. 90 b. Hak rohaniah (Hak isteri dalam bentuk bukan materi) Hak isteri dalam bentuk bukan materi yang bersifat rohaniah antara lain sebagai berikut : 1) Mendapat perlakuan yang baik dari suami Kewajiban suami terhadap isterinya adalah menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, terlebih lagi menahan diri 89 90
Ibid, hlm. 125-126 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 58
61
dari sikap yang kurang menyenangkan dihadapannya dan bersabar ketika menghadapi setiap permasalahan yang ditimbulkan isteri. Allah telah berfirman dalam Q.S an Nisa : 19 yang artinya sebagai berikut : “…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 91 2) Mendapat penjagaan dengan baik dari suami Suami wajib menjaga isterinya, memeliharanya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya dari pembicaraan yang tidak baik. Semua ini merupakan tanda dari sifat cemburu yang disenangi Allah. 3) Hak untuk melakukan hubungan biologis dengan suami Hak isteri untuk melakukan hubungan biologis dengan suaminya adalah sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al Baqarah : 222 yang artinya sebagai berikut bahwa : “…Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu…” 92 Berkaitan dengan hak isteri untuk melakukan hubungan biologis (seputar masalah seks) dengan suami ini telah dilakukan penelitian oleh Muslimat Nahdatul Ulama (NU) dalam suatu Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan bahwa para wanita berhak untuk :
91 92
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 74 Ibid, hlm. 33
62
a) Hak menikmati hubungan seks Isteri berhak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan ketika berhubungan seks dengan suami, bukan hanya wajib memuaskan dan menyenangkan untuk suami saja ketika melakukan hubungan seks sebagai kewajiban untuk melayani kebutuhan biologis suami semata. b) Hak menolak untuk melakukan hubungan seks Isteri berhak menolak untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya dengan alasan tertentu. c) Hak merencanakan kehamilan dan jumlah anak Isteri berhak untuk diajak bermusyawarah oleh suami dalam merencanakan kehamilan dan jumlah anak yang dikehendaki tetapi dengan alasan tetap bahwa untuk memperhatikan dan mengutamakan kesehatan dan kemaslahatan isteri, walau tentunya Allah SWT yang pasti sebagai penentu. d) Hak cuti reproduksi Dalam hal ini isteri berhak untuk cuti melakukan kegiatan rumah tangga ketika bereproduksi (selama masa kehamilan hingga melahirkan). Oleh karena itu, diharapkan agar suami mulai berfikir untuk menggaji pembantu guna melakukan pekerjaan rumah tangganya atau mengajak kerabat atau keluarganya untuk membantu pekerjaan tersebut. 93 2. Kewajiban isteri Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu memandangnya, ia menyenangkan kamu, apabila kamu memerintahkannya, maka ia taat kepadamu dan apabila kamu tinggal pergi maka ia menjaga harta dan dirinya.” 94 Adapun wanita-wanita shalihah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Q.S an Nisa : 34 adalah “mereka yang taat kepada suami, melaksanakan kewajiban ketika suami tidak berada rumah, menjaga kehormatan, serta memelihara rahasia dan harta suami sesuai dengan ketentuan Allah, karena Allah telah menjaga dan memberikan
93
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005, hlm.230-232 94 Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm. 100
63
pertolongan kepada mereka.” 95 Sejalan dengan hal tersebut maka dalam cakupan yang lebih luas pengertian wanita shalihah itu tidak hanya dibatasi pada ketaatan kepada suami, akan tetapi lebih dari itu yaitu mencakup ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin (ulil amri) sebagaimana firman Allah dalam Q.S an Nisa : 59. Arsyad Thalib Lubis menyatakan bahwa kewajiban isteri terhadap suaminya ada 4 yaitu : 1. Menyerahkan diri 2. Mentaati suami, yaitu tidak menghalangi suami mengambil kenikmatan pada dirinya dan tidak keluar dari tempat kediamannya jika suami tidak mengizinkannya. 3. Tinggal pada tempat tinggal yang disediakan suami 4. Menggauli suaminya dengan baik. 96 Membahas hak dan kewajiban suami isteri sangat menarik untuk melihat sebuah buku yang berjudul Uqud al-Lujjain karangan Imam al-Nawawi al Bantani yang banyak dikaji di kalangan pesantren sehingga menjadi populer dan telah diterjemahkan serta ditelaah dalam Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Dalam teks kajian tersebut menyatakan bahwa : Para wanita sebaiknya mengetahui kalau dirinya seperti budak yang dinikahi tuannya dan tawanan yang lemah dan tak berdaya dalam kekuasaan seseorang. Maka wanita tidak boleh membelanjakan harta suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa isteri tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kecuali dengan izin suaminya. Isteri dilarang membelanjakan hartanya karena dianggap seperti orang yang banyak utang. Isteri wajib merasa malu terhadap suami, harus menundukkan muka dan pandangannya dihadapan suami, taat terhadap suami ketika diperintah apa 95
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telaah Kitab ‘Uqud alLujjayn’, LKis Yogyakarta, 2001, hlm.46 96 M.Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.30-31
64
saja selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami datang dan pergi, menampakkan cintanya terhadap suaminya apabila suaminya mendekatinya, menampakkan kegembiraan ketika suami melihatnya, menyenangkan suaminya ketika tidur, mengenakan harum-haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak menyenangkan dengan misik dan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal suami. 97 Dalam teks kajian tersebut juga disimpulkan bahwa : Isteri hendaknya memuliakan keluarga suami dan famili-familinya sekalipun hanya berupa ucapan yang baik. Isteri juga harus menganggap banyak terhadap pemberian suami meskipun hanya sedikit, menghargai dan bersyukur atas sikap suami, dan tidak boleh menolak permintaan suami sekalipun di punggung unta. Demikian itu bila isteri dalam kondisi suci. Menurut mazhab Syafi’I dalam kondisi terlarang karena haid dan nifas, isteri tidak boleh melayani suami sekalipun sudah berhenti darahnya, jika belum bersuci. Isteri wajib patuh kepada suaminya jika suami mengajaknya untuk melakukan hubungan badan, sekalipun di dapur atau di atas punggung unta. 98 Mengenai kewajiban isteri terhadap suami dalam perkawinan telah dirinci dalam beberapa kitab fikih, bahwa isteri wajib untuk : 1. Patuh dan setia kepada suami Kepatuhan isteri terhadap suami adalah menjadi tanda bahwa isteri itu shalihah, termasuk meninggalkan puasa sunat yang sedang dijalankan oleh isteri baik dengan atau tanpa izin suami. Mematuhi suami ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S an Nisa : 34. Mematuhi suami di sini haruslah berdasarkan cara dan tujuan yang baik, tidak wajib isteri mentaati suami dalam hal maksiyat kepada Allah, bahkan kalau suami memerintahkan kepada isterinya untuk berbuat maksiyat, maka isteri wajib menolaknya. Kemudian isteri wajib setia kepada suami hingga akhir hayatnya,
97 98
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Op. Cit, hlm.60-61 Ibid, hlm. 64-65
65
tidak dibenarkan untuk melakukan pengkhianatan walau hanya dengan hatinya sekecil apapun terhadap suami. Sesungguhnya hak suami atas isteri itu besar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi yaitu : “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” 99 Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Suami adalah surga terdekat bagi seorang isteri, namun sayangnya hal ini tidak banyak disadari oleh kaum wanita. Oleh karena itu, wajar jika pada suatu kesempatan Rasulullah SAW bersabda kepada bibi Hushain bin Mihshan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ath Thabrani yaitu : “Perhatikanlah sikapmu terhadap suamimu, karena ia bisa menjadi surga atau juga nerakamu.” 100 2. Mengakui, menghargai dan mempercayai kepemimpinan suami. Isteri wajib mengakui dan menghormati kepemimpinan suami terhadap diri isteri dan rumah tangganya berdasarkan firman Allah dalam Q.S an Nisa : 34. Menurut hukum Islam bahwa isteri itu memperoleh hak yang seimbang dengan kewajibannya, berdasarkan Q.S al Baqarah : 228 yang artinya sebagai berikut : Perempuan-perempuan yang diceraikan suaminya hendaklah menantikan dengan sendirinya tiga kali suci/haidh. Tiada halal bagi mereka yang menyembunyikan apa-apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya (anak, haidh), jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian. Suami mereka lebih 99
Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.176 Ibid, hlm.177
100
66
patut kembali kepadanya (rujuk) ketika itu, jika mereka menghendaki kemuslihatan. (Hak-hak) untuk perempuan seumpama (kewajiban) yang di atas pundaknya, secara ma’ruf dan untuk laki-laki ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha perkasa lagi Mahabijaksana. 101 Berdasarkan ayat tersebut, oleh karena kewajiban suami satu derajat lebih berat dibandingkan dengan isteri, maka haknya pun satu derajat lebih besar dari isterinya, selanjutnya kedudukannya pun satu derajat lebih tinggi dibanding dengan isterinya, sebagai akibat dari tanggung jawabnya yang lebih berat pula. Menurut hukum Islam suami adalah kepala dan pemimpin tertinggi bagi rumah tangganya, ia bertanggung jawab ke dalam dan keluar terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangganya, sedang isteri tidak seberat itu tanggung jawabnya. Isteri yang tidak mengakui kepemimpinan suaminya, biasanya kurang menghargai suaminya, sering timbul sifat tidak percaya, merongrong kewibawaan suami, mengabaikan perintahnya, mudah goyah sendi-sendi rumah tangga yang dibinanya. 3. Mencintai suami dengan sepenuh jiwa dan menyediakan diri untuk suami dengan hati rela. Sebagai perimbangan tanggung jawab yang demikian berat itu, maka isteri wajib mencintai suami dan menyediakan diri untuk menggembirakan suami dengan senang hati, berusaha secara maksimal agar suaminya selalu gembira dan puas menghadapi pelayanan isteri. 101
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 33-34
67
Isteri wajib memikirkan kebahagiaan suami dengan selalu bermuka manis dan bersikap simpatik. Isteri wajib mengusahakan terwujudnya kerelaan dan kepuasan suami, berhias dan menyesuaikan diri untuk suaminya. Dalam hal ini par isteri dapat mencontoh prilaku para ummul mu’minin sebagai isteri-isteri Rasulullah seperti Khadijah dan Aisyah. Seorang isteri wajib untuk menampakkan kecintaannya kepada suami termasuk kepada orangtua dan kerabat suami khususnya yang terdekat dengan bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat dan bersabar atas kekeliruannya semampunya, karena itu termasuk bagian dari sikap kerelaan mencintai dan mengasihi seorang isteri terhadap suami. Selain itu menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya. Dalam sebuah riwayat diwasiatkan bahwa : “Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya.” 102 Isteri dilarang membuat suaminya kecewa, tidak tenteram dan tidak betah di rumah, membuat suami gelisah, murung dan merana, akibatnya suami suka mengabaikan tugasnya, suka menghibur diri di luar rumahnya, yang berakibat rumah tangga tidak akan terurus dan isteri turut bersusah payah dan gelisah. Jika hal tersebut terjadi, maka kesusahan dan kegelisahan isteri akibat dari perbuatannya sendiri. Dalam hal mencari kerelaan suami termasuk juga bahwa isteri tidak boleh berpuasa sunat kecuali dengan seizin suaminya. Keterikatan dan keterbatasan gerak
102
Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.178
68
isteri di luar rumah tangganya adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan suami isteri. Termasuk mencari kerelaan suami ialah bahwa isteri tidak boleh mengizinkan laki-laki lain masuk ke rumah suami tanpa sepengetahuan dan seizin suami, sebab hal ini menjadi pintu kecurigaan dan kemarahan suami. 4. Mengikuti tempat tinggal suami atau tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami. Menurut hukum Islam, domisili isteri adalah mengikuti domisili suami atau domisili yang ditunjuk oleh suami, selama tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S at Thalaq : 6 yang artinya sebagai berikut : Suruh diamlah mereka (perempuan-perempuan yang dalam iddah) di rumah tempat diam kamu, menurut tenagamu dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka, sehingga kamu menyempitkannya (menyusahkannya). Jika perempuan-perempuan itu dalam keadaan hamil, hendaklah kamu beri nafkah, sehingga mereka melahirkan kandungannya, dan jika mereka menyusukan anak itu, hendaklah kamu beri upahnya (gajinya). Dan bermupakatlah sesama kamu secara ma’ruf (yang baik). Jika kamu kedua-duanya dalam kesulitan, maka nanti perempuan yang lain akan menyusukannya. 103 Jika suami telah menyediakan tempat tinggal yang pantas, memungkinkan terwujudnya stabilitas rumah tangga, maka isteri wajib mengikutinya. Arti pantas dan memungkinkan terwujudnya stabilitas ialah memungkinkan terpeliharanya agama dan tugas-tugas rumah tangga. Jika tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami tidak memungkinkan terpeliharanya agama dan tugas-tugas rumah tangga, seperti dalam rumah itu terdapat orang-orang lain yang menghalangi kebebasan suami isteri, atau menghalangi kebebasan menunaikan kewajiban agama, rumah itu tidak aman, 103
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 504
69
lingkungan hidup yang membahayakan stabilitas rumah tangga, dan sebagainya maka kewajiban untuk mengikuti domisili yang ditentukan oleh suami menjadi gugur, artinya isteri berhak menolak mengikutinya dan tidak dipandang nusyuz karenanya. 5. Memegang teguh rahasia suami dan rahasia rumah tangga. Isteri adalah orang kepercayaan suami, tempat suami mempercayakan segala rahasianya, rumah dan harta kekayaannya bahkan anak-anaknya. Kepercayaan yang diberikan oleh suami kepada isterinya itu adalah amanat mulia bagi isteri, dan tiap orang termasuk isteri yang dipercaya wajib menunaikan amanatnya dan bersifat amanat pula. Menurut firman Allah dalam Q.S al Mukminun : 8 bahwa memelihara amanat adalah termasuk tanda keimanan, bahwa : “Dan (yang menang juga) mereka yang memelihara amanah dan menepati janji.” 104 Dalam banyak hal, suami biasanya mencurahkan isi hatinya terhadap isterinya bahkan suami sering menyampaikan segala rahasia pribadinya dihadapan isterinya, hal-hal yang sangat rahasia (top secret) yang kepada orang lain dirahasiakannya, sehingga dengan demikian isteri mengetahui segala rahasia suami. Oleh karena itu, isteri wajib secara bijaksana menyimpan rahasia suaminya itu, tidak membeberkannya di luar, demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Kehancuran rumah tangga sering terjadi disebabkan isteri membocorkan rahasia rumah tangganya sendiri. 104
Ibid, hlm.308
70
6. Berlaku sederhana dan hemat. Hidup sederhana dan bersahaja secara patut adalah modal utama dan sarana penting bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Pengertian hidup sederhana dalam pengertian ini ialah mencukupkan secara puas apa yang ada dan memanfaatkan apa yang ada itu dengan efisien mungkin, tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu kikir serta mementingkan yang perlu dan tidak berbuat sia-sia. Apabila isteri telah dijangkiti penyakit mewah dan megah, manja dan serba ada, hanya tahu ada dan tersedia, tidak pernah merasakan pahit getirnya mencari uang, cenderung boros dan membelanjakan harta tidak efisien, akibatnya kalau uang habis dan belanja kurang lalu merongrong suami dengan berbagai permintaan dan tuntutan, tidak tahan menderita dan mudah minta cerai jika permintaannya tidak seketika tersedia. Seorang isteri yang berlaku sederhana dan hemat akan cenderung kepada sikap qana’ah (merasa cukup) atas apa yang diberikan oleh suaminya. Karena sesungguhnya akan sangat menyenangkan suami, jika seorang isteri tidak banyak menuntut di luar kemampuan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Alangkah indahnya ketika seorang isteri berpesan kepada suaminya bila hendak keluar rumah mencari nafkah dengan pesan “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka”.
71
7. Mengatur dan menyusun rumah tangga (menjadi ibu rumah tangga). Melayani suami dan mengatur kebutuhan sehari-hari adalah tugas utama bagi isteri. Mengatur rumah tangga adalah kewajiban suci bagi isteri. Bukan hanya istana atau rumah gedung yang megah indah saja yang perlu diatur, rumah gubuk sederhana pun perlu diatur pula. Sesuai dengan rasa estetika dan seni yang bersemi di jiwa wanita. Justru rumah gubuk itulah yang lebih perlu disusun, diatur dan dibersihkan agar indah dipandang mata, dibanding dengan rumah gedung yang memang sudah indah dan megah. Pengertian tentang kesejahteraan keluarga dengan segala saranasarananya, seperti bagaimana menyusun dan mengatur rumah tangga yang pantas, kecakapan dan keahlian memasak, menjahit, mendidik anak dan kepandaian mengatur perabot rumah tangga adalah pengetahuan yang sangat vital harus dimiliki seorang isteri. Isteri wajib merencanakan dan melaksanakan segala perlengkapan rumah tangga sebaik mungkin, sedemikian rupa sehingga menimbulkan daya tarik bagi suami. Dalam tatanan hukum positif di Indonesia mengenai kewajiban isteri telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada Pasal 83 yaitu : (1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. 105
105
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit, hlm.30-31.
72
Berdasarkan ketentuan Pasal 83 dari Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas maka kewajiban isteri sangat luas dalam rumah tangga, sehingga terkadang menyebabkan suami secara tak langsung lepas tangan, dengan dalih bahwa apapun itu dalam urusan rumah tangga adalah kewajiban isteri kecuali mencari nafkah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masyarakat bahwa kewajiban suami yang terlihat hanyalah sebagai pencari nafkah saja terutama pekerjaan suami yang banyak menyita waktu dengan segala macam kesibukannya di luar rumah. Sedangkan urusan rumah tangga yang lain dilimpahkan kepada isteri secara perlahan-lahan satu demi satu yang pada akhirnya menjadi kewajiban yang dibebankan kepada isteri, sementara mencari nafkah bukanlah hal yang sulit bagi seorang suami yang telah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Bila diteliti lebih mendalam sebenarnya tidak ada pembagian kerja yang sama persis dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Namun di antara suku bangsa di Indonesia sendiri terjadi perbedaan yang tajam dalam pembagian kerja di rumah tangga. Dalam masyarakat Bali, perempuan sering terlihat aktif mengerjakan berbagai pekerjaan yang oleh masyarakat Jawa akan dikatakan sebagai pekerjaan laki-laki. Sedangkan di masyarakat Jawa sendiri terdapat perbedaan pembagian kerja antara masyarakat petani di pedesaan dan kaum priyayi. Dalam masyarakat petani, pakne (bapak) dan mbokne (ibu) sama-sama melakukan pekerjaan yang sering dikatakan sebagai pekerjaan domestik, seperti menyapu, menimba dan lain-lain. Mereka juga sama-sama bergerak di sektor publik (di luar rumah) atau di sektor produktif (yang menghasilkan uang), seperti menjadi pedagang di pasar atau aktif di sawah. Dalam masyarakat muslim juga terjadi perbedaan tajam
73
dalam hal pembagian kerja rumah tangga ini. Masyarakat muslim Arab berbeda dengan masyarakat muslim Jawa, masyarakat muslim Jawa pun berbeda dengan masyarakat muslim Minangkabau dan seterusnya. Namun dalam pandangan banyak orang, pembagian kerja rumah tangga ini kerap dianggap sebagai sesuatu yang fixed (tetap) dan tidak bisa berubah. Bahkan karena sedemikian melekatnya pekerjaan perempuan sehingga banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan, seperti memasak dan membersihkan rumah merupakan kodrat perempuan. Mengenai kewajiban (tugas) istri atau ibu dalam keluarga sebagian ulama berpendapat bahwa tugas isteri yang terutama adalah reproduksi dan melayani kebutuhan biologis suami. Hal tersebut sesuai dengan kodrat wanita yang bisa mengandung dan melahirkan (reproduksi). Banyaknya ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi yang membahas peran ibu dan menjunjung peran keibuan sebagai indikasinya. Yang belum banyak dibahas secara terperinci adalah tugas-tugas reproduksi perempuan misalnya menyusui anak merupakan kewajiban wanita atau tidak. Jawaban itu bagi sebagian besar orang mungkin mencengangkan. Menurut Imam Malik, salah seorang dari keempat imam mazhab, mengemukakan bahwa menyusui merupakan kewajiban moral (diyanatun) ketimbang legal. Artinya bila ibu atau seorang isteri tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya. Sedangkan ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut Maliki berpendapat bahwa menyusui anak oleh seorang ibu hanya bersifat manduh (sebaiknya). Kecuali kalau si anak menolak susuan selain susu ibu, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. 106
106
Siti Ruhaini Dzuhayati, Fiqh dan Permasalahan Perempuan Kontemporer, Ababil, Yogyakarta, 1996, hlm. 70.
74
Tidak diwajibkannya seorang ibu untuk menyusui anaknya itu didasarkan pada firman Allah dalam Q.S at Thalaq : 6 yang artinya sebagai berikut : “…jika kalian kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak kalian sebagai pengganti ibunya.” 107 Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa menyusui sebagai aktivitas yang sangat berkaitan dengan tubuh perempuan saja, bukan kewajiban yang mutlak dilaksanakan perempuan. Jadi, dalam Islam tugas menyusui hanya merupakan anjuran dan bukan kewajiban. Selanjutnya mengenai kewajiban seorang isteri menjadi ibu rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga para ulama juga berbeda pendapat. Sa’di Abu Habib mengatakan bahwa pelayanan dalam bentuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya adalah pekerjaan yang termasuk mubah hukumnya. An Nawawi dalam Kitab Uqud al Lujjayn mengemukakan bahwa kewajiban isteri dalam rumah tangga adalah berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan pekerjaan rumah, termasuk menjaga anak-anak, diklasifikasikan sebagai sedekah. 108 An Nawawi mendasarkan pendapatnya pada kisah Umar bin Khattab tatkala dia dimarahi isterinya dan harus menahan diri dengan berkata bahwa : “Saya harus membiarkannya, ungkapnya. Mengapa? tanya kaum muslimin. Karena isterikulah yang memasakkan makananku, menyediakan rotiku, membasuh bajuku, menyusui anak-anakku, dan memberi kepuasan yang membuat aku tidak jatuh pada perbuatan haram. Padahal itu bukan kewajibannya.” 109
107 108
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 504. Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Mizan, Bandung, 1997,
hlm. 35. 109
23
Nasrat Al Masri, Nabi Suami Teladan, terjemahan, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm.
75
Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan rumah tangga bagi perempuan ini. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pelayanan isteri dalam rumah tangga sunnah hukumnya dan sebagian lainnya mengatakan wajib. Kewajiban ini merupakan kewajiban agama antara dia (si isteri) dengan Tuhan, Hakim tidak boleh memaksanya untuk melakukan pelayanan (berkhidmah). Alasan historis yang biasa digunakan sebagai dasar bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan perempuan adalah kisah Fatimah Az Zahra (puteri Rasulullah) yang tangannya bengkak lalu disuruh oleh Rasulullah untuk membaca tasbih setelah selesai shalat. Kisah tersebut berawal dari Sayyidah Fatimah Az Zahra menceritakan keadaan di rumah kepada suaminya yaitu Ali bin Abi Thalib, tentang kelelahan tubuh dan tangannya demi mengurusi rumah tangga suaminya karena setelah menikah dia pindah dari rumah orang tuanya yang selama ini memberinya ketenteraman, ketenangan dan tidak perlu memikirkan urusan kehidupan suami isteri atau pemeliharaan rumah. Tetapi sebagai perempuan bijaksana, ia berusaha menjalankan
semua
urusan
rumah
tangga
dengan
sebaik-baiknya
hingga
kesehatannya terganggu. Ali bin Abi Thalib selaku suami beliau menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya yaitu Rasulullah untuk meminta pelayan. Fatimah pun menuruti saran suaminya namun sesampainya di sana Fatimah menjadi segan dengan kewibawaan sang ayah hingga ia pulang kembali menemui suaminya dan kemudian ia datang kembali ke rumah Rasululullah bersama suaminya. Namun ternyata Rasulullah dalam keadaan sulit dan tidak dapat membantu maksud puteri kesayangannya dan mereka berdua pulang dengan sedih namun diikuti oleh
76
Rasulullah dan mengajari mereka untuk melakukan amalan sehabis sholat yaitu membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 33 kali. Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Al Qur’an maupun Hadits tidak ada yang secara rinci dan jelas menggambarkan pembagian kerja dalam rumah tangga. Hal ini pula yang memicu para ulama berbeda pendapat dalam menentukan aturan atau hukum pelaksanaan pekerjaan rumah tangga bagi kaum perempuan dan menentukan batasan terperinci tentang gambaran pekerjaan yang harus dilaksanakan. Dengan tidak adanya batasan tegas, berarti umat Islam mempunyai ruang yang longgar sebenarnya untuk mengatur pembagian kerja dalam rumah tangga. Namun perlu diingat, bahwa yang terpenting adalah suami isteri harus sepakat mengatur rumah tangga tersebut dengan sebaik-baiknya hingga tujuan mencapai keluarga sakinah tercapai.Berkenaan dengan hal tersebut negara telah membakukan peran lakilaki dan perempuan dalam rumah tangga dengan Undang-undang. Menurut Undangundang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan pada “Bab VI mengenai hak dan kewajiban suami isteri.” 110 Tugas ibu rumah tangga yang dibakukan tersebut biasanya dalam masyarakat diperinci menjadi lima komponen aktivitas yaitu : Pertama, melayani suami yang perinciannya terdiri atas; menyiapkan pakaian suami, dari celana dalam, kaos dalam, kaos kaki, baju, celana, sepatu yang telah disemir, hingga sapu tangan dan aksesoris lain. Kewajiban melayani 110
Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Kemudian pada Pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa : “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Selanjutnya dalam ayat 2 dari Pasal tersebut menyatakan bahwa : “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Op. Cit, hlm.11
77
suami yang tak kalah penting adalah melayani berhubungan badan di mana pun dan kapan pun suami menginginkannya. Kedua, mengasuh dan mendidik anak yang secara rinci tugasnya sebagai berikut; memandikan (membersihkan), menyuapi, mengajaknya bermain, menidurkan dan menyusui. Bila anaknya sudah sampai usia sekolah, maka tugas ibu rumah tangga bertambah dengan mengantar dan menjemput ke sekolah, menemani belajar, serta membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), mengambil rapor atau tugas lain yang berhubungan dengan sekolah. Ketiga, membersihkan dan merapikan semua perlengkapan rumah tangga; menyapu, mengepel, mencuci alat dapur, mencuci baju sekaligus menyeterikanya dan sebagainya. Keempat, menyediakan makanan siap santap. Rincian dari tugas ini meliputi; mengatur menu, berbelanja, memasak dan menghidangkannya. Kelima, merawat kesehatan lahir dan bathin seluruh anggota keluarganya; merawat anggota keluarga yang sakit, memijat bila diperlukan dan menghibur mereka dari kecemasan yang mereka alami. Isteri adalah penghibur suaminya di kala penat dan lelah bekerja. Ibu adalah penghibur anaknya yang mempunyai problema kehidupan terutama bagi ibu yang memiliki anak di usia remaja, peran ini akan sangat disorot masyarakat. 111 Kelima kelompok pekerjaan (aktivitas) itu semuanya dianggap sebagai kewajiban pokok ibu rumah tangga, apabila ada yang tidak beres dalam hal-hal tersebut maka serta merta isteri yang akan dijadikan kambing hitam oleh suami, mertua, tetangga dan bahkan masyarakat. Misalnya, bila anak nilainya turun atau terlambat mengerjakan PR, anak remaja nakal atau tawuran, suami kurang semangat dalam bekerja, sampai baju kantor suami kusut, otomatis orang-orang akan menuding keteledoran ibu rumah tangga sebagai penyebab utamanya. Faktanya itulah deretan panjang tugas wanita (isteri) dalam rumah tangga di masyarakat kita. Islam sebenarnya tidak kaku dalam membagi kerja rumah tangga. Selalu ada ruang bagi perempuan muslim untuk tidak harus terpaku sepanjang hidupnya
111
Istiadah, Membangun Bahtera Keluarga Yang Kokoh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm.3-5
78
menghadapi pekerjaan rumah tangga. Bagi perempuan cerdas, pandai dan berkesempatan untuk mengabdikan diri turut serta membangun peradaban umat manusia, tidak perlu terpuruk dengan pekerjaan rutin yang melelahkan dan tanpa imbalan sambil terus-menerus mengutuki nasibnya atas nama agama. Bila kita masih memahami agama secara sempit dan tidak menemukan keleluasaan, tentunya pemahaman kita perlu dikoreksi ulang, karena kita mungkin keliru dalam memahami agama yang kita anut. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Dia menurunkan agama untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan bagi umat-Nya. Agama tentu harus menjadi lentera bagi kehidupan yang membawa sinar cerah yang menerangi hati para pemeluknya. Agama mendorong manusia untuk meraih masa depan yang lebih baik. Fikih hanyalah jalan bagi umat manusia untuk mengatur hubungannya dengan Tuhan (ubudiyah) dan dengan sesama umat manusia. Belum pernah ada dalam sejarah Islam bahwa seluruh umat Islam hanya bertumpu pada fikih tunggal. Fikih selalu dijalankan sesuai dengan konteks waktu dan tempatnya. Pemaksaan fikih tunggal akan mereduksi makna Islam sebagai agama universal yang berlaku sepanjang zaman.
D. Nusyuz dari Pihak Isteri Sebagaimana telah diuraikan pada pengertian nusyuz sebelumnya bahwa nusyuznya seorang isteri adalah apabila telah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang isteri dan tidak memberikan hak suami. Seperti yang diungkapkan
79
Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa yang dimaksud dengan nusyuz isteri adalah : “Kedurhakaan dan kecongkakan isteri dari mentaati suami.” 112 Kriteria ataupun perbuatan-perbuatan isteri yang dianggap nusyuz ada yang berpendapat adalah : “Jika isteri tidak taat kepada suaminya atau tidak mau diajak tidur bersama atau isteri keluar dari rumah tanpa seizin suami.” 113 Ahmad bin Isma’il mengumpamakan perbuatan nusyuz isteri itu dalam bukunya antara lain : “Misal perbuatan nusyuz itu antara lain : tidak mau diajak suaminya untuk bergaul tanpa ada ujur menurut syara’, keluar dari rumah tanpa seizin suami yang bukan tujuannya ke rumah qadi (hakim) untuk menuntut haknya dari suami, atau membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah.” 114 Pendapat lain yang dikategorikan perbuatan nusyuz bagi isteri adalah : “Adapun keluarnya seorang isteri dari rumah suami tanpa seizin suami, atau isteri musafir tanpa seizin suami, ataupun ihram isteri ketika musim haji tanpa seizin suami, maka isteri tersebut tergolong nusyuz, kecuali keluarnya isteri tersebut karena darurat.” 115 Pendapat di atas dikuatkan oleh Hanabilah yaitu “suami tidak wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami.” 116 Ulama Syafi’iyah menambah kriteria isteri yang nusyuz di atas dengan isteri yang puasa sunat tanpa seizin suami, sebagaimana ungkapannya : “Jika isteri
112
Dudung Abdul Rochman, Op. Cit, hlm.94 H.S.A Al Hamdani, Op. Cit, hlm. 192 114 Ahmad bin Isma’il, Adawat al Hijab, Da ar Shafwat, Mesir, Kairo,1991, hlm.456 115 Wahbah al Zuhaili, Op. Cit, hlm.7364 116 Ibid, hlm. 7365 113
80
tidak mau diajak suami dengan alasan puasa, jika puasanya itu puasa sunat, maka benar menurut Syafi’iyah bahwa nafkahya gugur.” 117 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kriteria ataupun perbuatan isteri yang dianggap nusyuz adalah : 1. Tidak mau diajak suaminya sekamar (untuk bergaul) tanpa ada penghalang menurut syara’ 2. Isteri yang keluar dari rumah tanpa seizin suami untuk keperluannya sendiri. 3. Isteri membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah. 4. Isteri puasa sunat tanpa seizin suami. Adapun hukuman atau sanksi bagi isteri yang nusyuz adalah : pertama dinasehati, kedua pisah ranjang, ketiga dipukul. Suami tidak boleh terburu-buru menuntutnya, menghukumnya dan tidak boleh segera menyakitinya, artinya tidak boleh dilakukan hukuman yang ketiga sebelum dilakukan hukuman yang pertama dan yang kedua, akan tetapi mestilah suami terlebih dahulu menasehati dan mengingatkan isteri kepada Allah serta mengingatkan akibat dari perbuatan nusyuz tersebut. Kemudian jika isteri itu masih tetap dalam kedurhakaannya kepada suami, maka suami boleh berpisah tempat tidur dengan isterinya atau tidak tidur sekamar. Apabila isteri juga belum menyadari perbuatan nusyuznya atau tidak berhenti dari kesesatannya, maka suami dibolehkan memukulnya dengan pukulan yang ringan atau pukulan yang tidak membekas (hanya sebagai pelajaran). Hukuman ini sesuai dengan firman Allah dan Hadits Rasulullah SAW. Adapun firman Allah dalam Q.S an Nisa : 117
Ibid, hlm. 7365
81
34 menyatakan bahwa : “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” 118 Adapun Hadits Rasulullah SAW dari Abi Harroh al Riqasy, dari pamannya bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka pisahkanlah diri mereka dari tempat tidurmu.” 119 Hadits lain yaitu : “Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah diri mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak berlebihan.” 120 Ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi isteri nusyuz adalah suami berkewajiban terlebih dahulu menasehatinya dengan baik. Apabila isteri tetap nusyuz kepada suaminya dan tetap maksiat maka suami boleh memisahkan tempat tidur dari isterinya atau tidak sekamar. Apabila isteri juga belum menyadari kedurhakaannya, maka suami boleh memukul isteri dengan pukulan yang tidak berlebihan ataupun yang membahayakan. Artinya hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya tiga yaitu dinasehati, pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan. Berbeda
dengan
Ibnu
Hazm
dalam
bukunya
Muhalla,
ia
tidak
mengungkapkan pengertian nusyuz secara jelas, akan tetapi ia membuat batasan isteri
118
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.70 Abu Daud Sulaiman, Op. Cit, hlm.245 120 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Dar al Kutub al Alamiah, Libanon, , Beirut, 1993, hlm.88 119
82
yang taat, yaitu :”Sesungguhnya seharusnyalah isteri itu menjaga keluarga, tidak puasa sunat kecuali dengan seizin suami, tidak memasukkan orang yang dibenci suami ke dalam rumah, dan tidak melarang suami akan dirinya jika diingini suami. Dan isteri menjaga harta yang dititipkan suami kepadanya.” 121 Bahkan Ibnu Hazm mengungkapkan : “Maka sah bahwasanya isteri dianggap taat apabila ia mau diajak suami untuk bergaul saja.” 122 Ungkapan tentang batas ketaatan isteri menurut Ibnu Hazm ini dapat dipahami bahwa isteri yang melanggar ketaatan ini dianggap nusyuz. Kategori perbuatan isteri yang dianggap nusyuz menurut Ibnu Hazm sesuai dengan ungkapannya di atas yaitu jika isteri itu tidak menjaga keluarga, puasa sunat tanpa seizin suami, memasukkan orang yang dibenci suami ke dalam rumah dan tidak mau diajak suami untuk bergaul dan isteri tidak menjaga harta yang dititipkan suami kepadanya. Bahkan Ibnu Hazm menganggap isteri itu sudah termasuk nusyuz jika isteri tidak mau diajak suami untuk bergaul. Menurut Ibnu Hazm hukuman bagi isteri nusyuz hanya pisah ranjang dan dipukul sebagaimana ungkapannya : “Maka firman Allah SWT (Q.S an Nisa : 34), sesungguhnya bahwa tidak ada hukuman bagi isteri yang nusyuz itu kecuali pisah ranjang dan dipukul.” 123 Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya itu berdasarkan Al Qur’an pada Q.S an Nisa : 34 yaitu : “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, 121
Ibnu Hazm, Al Muhalla, Dar Ihyaa at Tuurast al Arabi, Beirut, ,Libanon, 1997, hlm.145 Ibid, hlm.142 123 Ibid, hlm.62 122
83
dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” 124 Dan bila merujuk kepada Hadits Rasulullah SAW yaitu : Maka bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan yang telah kamu ambil mereka dengan amanah Allah, dan mereka itu juga dihalalkan bagi kamu dengan nama Allah, dan bagi kamu ada kewajiban isteri yaitu mereka tidak boleh mengizinkan seseorang pun yang tidak kamu senangi untuk tidur di atas tempat tidurmu, jika isteri masih melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan bagi kamu (suami) sekalian mempunyai kewajiban untuk memberi makan dan pakaian mereka (para isteri) dengan baik. 125 Ayat dan Hadits di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi isteri nusyuz menurut Ibnu Hazm hanya dua yaitu pisah ranjang dan dipukul, sebagaimana ungkapannya pada hukuman bagi isteri nusyuz sebelumnya. Ulama fikih termasuk Ibnu Hazm sepakat bahwa suami mempunyai kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami itu adalah memberikan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya sesuai dengan kemampuan suami. Namun, ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz. Jumhur fuqaha pada dasarnya telah sepakat bahwa nafkah bagi isteri nusyuz itu gugur dengan alasan bahwa kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah imbalan bersenang-senang (jima') antara suami dengan isteri, jika isteri tidak mau diajak suami untuk jima' maka isteri dianggap nusyuz dan gugurlah nafkah baginya.
124 125
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.70 Abi al Husain Muslim bin al Hajjaj, Op. Cit, hlm. 889-890
84
E. Pendapat Ulama Fikih tentang Nafkah Bagi Isteri Nusyuz “Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak atas nafkah” 126 , artinya “suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang nusyuz sampai isteri tersebut taubat atau kembali taat kepada suami.” 127
Sebagaimana
pendapat Wahbah Al Zuhaili bahwa “nafkah gugur atas isteri yang nusyuz, walaupun hanya dengan melarang menyentuhnya dengan ketiadaan ujur (halangan) pada isteri.” 128 Pendapat yang sama menurut Sayyid Sabiq yaitu bahwa “Tidak berhak dinafkahi dengan wafatnya salah satu diantara suami isteri atau isteri itu sedang nusyuz.” 129 Pendapat Imam Hanabilah adalah “gugur nafkah bagi isteri yang nusyuz, artinya; pada hari yang nusyuz tersebut isteri tidak berhak dinafkahi.” 130 Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa : “Apabila isteri nusyuz kepada suami maka tidak ada nafkah baginya (isteri), dan suami boleh memukulnya apabila ia nusyuz.” 131 Begitu juga dengan pendapat Abu Bakar Al Jazairi bahwa : “Nafkah menjadi tidak wajib kepada isteri, apabila ia berlaku nusyuz (menentang suami) atau isteri melarang suami untuk menggaulinya. Karena sesungguhnya nafkah itu merupakan imbalan dari bersenang-senang dengannya. Jika hal itu tidak bisa dilakukan maka gugurlah nafkah tersebut.” 132 Pendapat-pendapat ini dikuatkan oleh Hanabilah yaitu “suami tidak
126
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Aliansi Fiqih Para Mujtahid), terjemahan oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm.520. 127 Ahmad Al Hajj Al Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, DIMAS, Semarang, 1990, hlm.63 128 Wahbah Al Zuhaili, Op. Cit, hlm.100 129 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.159 130 Abdurrahman Al Jazry, Kitab Al Fiqh Ala Al Mazahib Al Arba’ah, Al Taufiqiyah, Mesir, Kairo, 1969, hlm.502 131 Taimiyah Ibnu, Majmu’ah Al Fatawa, Dar Al Wafa’, Mesir, Kairo, 1998, hlm.55 132 Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Pedoman Hidup Muslim, terjemahan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1996, hlm.708.
85
wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami”. 133 Ulama Syafi'iyah juga berpendapat demikian, sebagaimana ungkapannya : “Jika isteri tidak mau diajak suami dengan alasan puasa, jika puasanya itu puasa sunat, maka benar menurut Syafi'iyah bahwa nafkahnya gugur”. 134 Dasar hukum yang dipakai oleh ulama fikih tentang gugurnya nafkah bagi isteri nusyuz di atas tidak berdasarkan kepada Al Qur’an atau Sunnah, akan tetapi ulama fikih berpendapat demikian sebab nafkah itu menurut mereka merupakan imbalan dari bergaul (jima') atau bersenang-senang dengan isteri dengan ungkapan bahwa : “Nafkah gugur atas isteri yang nusyuz, walaupun hanya dengan melarang menyentuhnya dengan ketiadaan ujur pada isteri, mengutamakan wathi dibalas dengan wathi, karena nafkah itu adalah imbalan dari bersenang-senang maka tidak ada nafkah bagi isteri yang nusyuz.” 135 Ulama fikih termasuk Ibnu Hazm sepakat bahwa suami mempunyai kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami itu adalah memberikan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya sesuai dengan kemampuan suami. Namun, ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz. Jumhur fuqaha pada dasarnya telah sepakat bahwa nafkah bagi isteri nusyuz itu gugur dengan alasan bahwa kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah imbalan bersenang-senang (jima') antara suami dengan isteri, jika isteri tidak mau diajak suami untuk jima' maka isteri dianggap nusyuz dan gugurlah nafkah baginya. 133
Wahbah Al Zuhaili, Op. Cit, hlm.736 Ibid, hlm.736 135 Ibid, hlm.737 134
86
Berbeda dengan pendapat ulama di atas, Ibnu Hazm tetap mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang nusyuz berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan nyata, yaitu hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya nafkah bagi isteri menurut penulis adalah pendapat yang benar, sebab isteri yang sudah di talak suami semasa iddahnya (isteri) suami tetap berkewajiban untuk memberikan nafkahnya sebagaimana firman Allah pada Q.S at Talak : 6 yaitu : “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” 136 Ayat di atas dapat dipahami bahwa jangankan isteri yang nusyuz, isteri yang sudah ditalakpun, suami masih berkewajiban memberikan nafkahnya sampai habis masa iddahnya atau sampai melahirkan jika isteri itu hamil. Pendapat Ibnu Hazm tentang tetapnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri nusyuz berdasarkan dalil di atas merupakan salah satu ide yang sangat baik demi kelangsungan dan keharmonisan keluarga terutama antara suami dan isteri. Dikatakan demikian, karena pada saat sekarang tidak sedikit para isteri selain sebagai ibu rumah tangga juga turut andil membantu suami dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah rumah tangga melalui aktifitas maupun karirnya sehari-hari. Bahkan banyak juga para isteri menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah keluarga, sehingga para isteri ini tidak mustahil akan berbuat nusyuz kepada suami dengan kondisi demikian. 136
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.504
87
Jika dilihat pendapat Ibnu Hazm dalam konteks masa kini, ide yang diberikan oleh Ibnu Hazm tentang tetap wajibnya nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz sangatlah baik, sebab jika seorang isteri berbuat nusyuz sedang ia tidak mempunyai penghasilan dalam kehidupannya, akan tetapi suami tetap menafkahinya dan menghukumnya dengan ketentuan yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits, kemungkinan besar ia akan mudah sadar dari perbuatan nusyuznya dan mudah kembali taat kepada suami sebab suami tetap memperhatikannya walaupun ia nusyuz. Begitu juga dengan isteri yang sudah mempunyai penghasilan dengan aktivitas ataupun karirnya sehari-hari. Jika ia berbuat nusyuz terhadap suaminya dan ia masih tetap mendapat nafkah dari suaminya walaupun ia sudah mempunyai penghasilan, maka hatinya akan lebih mudah lagi tergugah dengan adanya nafkah tersebut, sebab yang dipandang di sini bukanlah nilai materi dari nafkah yang diberikan oleh suami akan tetapi nilai perhatian, kasih sayang dan kepatuhan suami yang tetap melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah terhadap isteri sehingga isteri akan mudah menyadari keberadaan dirinya yang masih di bawah tanggung jawab suami ataupun di bawah pimpinan suami, sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisa' : 34 bahwa : “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi isteri, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” 137 Bila ditinjau dari pendapat ulama yang mengatakan bahwa nafkah gugur bagi isteri yang nusyuz, kemungkinan besar akan membuat malapetaka bagi kelangsungan 137
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.76
88
dan keharmonisan rumah tangga, sebab jika isteri itu tidak mempunyai penghasilan dan ia berbuat nusyuz kepada suaminya sedang ia sudah tidak dinafkahi suaminya lagi, maka isteri itu akan lebih mudah memutuskan hubungan dengan suami sebab ia merasa tidak ada lagi keterikatan antara suami dan isteri serta tidak tampaknya kasih sayang, perhatian dan tanggung jawab suami walaupun itu sekedar nafkah. Begitu juga dengan seorang isteri yang mempunyai penghasilan, maka lebih mudah lagi akan terputusnya hubungan antara suami dan isteri sebab isteri tersebut walaupun tidak diberi nafkah ia sudah punya penghasilan dan tidak akan merasa terikat lagi dengan suami serta merasa tidak ada lagi kasih sayang, perhatian bahkan tanggung jawab suami terhadapnya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini dapat dipahami bahwa sangat besar guna dan eksistensi ide yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm tersebut untuk mengeratkan tali pengikat hubungan antara suami isteri serta kelangsungan dan keharmonisan rumah tangga. Pemikiran Ibnu Hazm tentang tetapnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz memiliki signifikan yang berarti khususnya saat ini, demikian juga terhadap para isteri yang telah ikut ambil peran dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tak jarang karier isteri lebih tinggi dari suami sehingga berimplikasi pada penghasilan
isteri
lebih
tinggi
dari
pada
penghasilan
suami.
Namun di dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang nusyuz isteri yang menyatakan bahwa : (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
89
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz. (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. 138 Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas mengisyaratkan mengikuti pendapat jumhur fuqaha bahwa pemberian nafkah untuk isteri yang nusyuz tersebut berupa nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam dapat dihentikan untuk sementara waktu hingga sang isteri tidak nusyuz lagi. Namun, tidak semudah itu menyatakan isteri telah nusyuz karena harus didasarkan atas bukti yang sah. F. Nusyuz dari Pihak Suami Di dalam tafsir Al Azhar, tentang kenusyuzan suami disebutkan bahwa : “Suami tidak senang atau sudah bosan atau telah benci kepada isterinya. Hal ini biasa kejadian pada orang yang beristeri lebih dari satu atau telah jatuh kepada perempuan lain.” 139 Dengan keadaan yang demikian itulah suami dengan sengaja tidak mau mendekatinya, tidak mau memberi nafkah, tidak mau memberi kasih sayang antara suami isteri ataupun suami menggauli si isteri dengan kasar tidak dengan mu’syarah bil ma’ruf (pergaulan yang diperkenankan) sebagaimana pergaulan suami isteri. Dalam mengatasi hal seperti ini, ialah suami isteri harus mengadakan perdamaian untuk mencapai kemaslahatan dalam rumah tangga. 140 138
Kompilasi Hukum Islam,Op. Cit, hlm.31 HAMKA, Tafsir Al Azhar, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 303 140 M.Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm. 86 139
90
Berikut adalah ayat yang mengindikasikan bahwa suami juga dapat berbuat nusyuz yaitu Q.S an Nisa : 128 yang artinya sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 141 Karena ada setengah laki-laki karena sangat repot dan sangat sibuk mengurus pekerjaannya di luar, kadang-kadang terbawa-bawa ke dalam rumah tangga, sehingga seakan-akan isterinya tidak diperdulikannya, atau terkurang nafkah harta karena dia di dalam susah, atau terkurang syahwat kelamin karena kerapkali nafsu setubuh menjadi kendur karena fikiran yang kacau, sedang setengah perempuan lekas cemburu, lekas merasa dirinya tidak dipedulikan. 142 Nusyuz merupakan tindakan tidak memenuhi hak dan kewajiban oleh suami atau isteri dalam berumah tangga. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga bahwa suami mempunyai hak dan begitu pula dengan isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan isteri. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam rumah tangga dapat dilihat dalam Q.S al Baqarah : 228 yang artinya sebagai berikut : “Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri.” 143
Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan isteri juga
mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak isteri seperti hak suami yang diindikasikan dalam ayat ini mengandung keseteraan dan
141
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.90 HAMKA, Op. Cit, hlm.304 143 Ibid, hlm.34 142
91
keseimbangan kedudukan hak dan kewajiban tersebut namun suami memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas. Dalam rumah tangga kedudukan suami adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala sesuatu dalam rumah tangga itu. Sedangkan seorang isteri sebagai ibu rumah tangga yang kedudukannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda halnya dengan tanggung jawab suami. Tetapi walaupun demikian, isteri tidak berarti tidak mempunyai hak seperti suami untuk mentalak isteri, isteri juga mempunyai hak untuk mengkhulu’ suaminya. Akan tetapi, isteri dianjurkan agar mengadakan suluh (perdamaian) apabila dirasakan ada kelainan dari sikap suami, seperti berpaling atau meninggalkan sebagian hubungan suami isteri Menurut Ibnu Qudamah bahwa : “Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap isteri”. 144 Pendapat tersebut didasarkan kepada Q.S an Nisa : 34 yang menjelaskan bahwa suami sebagai imam/pemimpin bagi isteri dalam rumah tangga. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya mu’asyarah bil ma’ruf atau menggauli isterinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli isterinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental isteri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. 145
144 145
Ibnu Qudamah, Al Mughniy, Mathba’ah Al Qahirah, Mesir, Kairo, 1969, hlm.235 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm.193
92
Nusyuz dari suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Biasanya nusyuz suami ini terjadi apabila tuntutan isteri terlalu tinggi terhadap sesuatu yang di luar jangkauan (kemampuan) suami. Dengan demikian, solusinya yang tepat adalah bahwa isteri harus mengurangi dan menyederhanakan tuntutannya terhadap suaminya, jika ia memang menghendaki keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya. Apabila isteri memilih cerai daripada bersikap seperti di atas, berarti ia telah melakukan kesalahan karena Al Qur’an telah memberikan jalan untuk itu yaitu dengan melakukan perdamaian (ishlah) antara keduanya. Namun pada kenyataannya, nusyuz suami saat ini tidak hanya terjadi disebabkan oleh karena tuntutan isteri yang terlalu tinggi akan tetapi karena pembawaan sifat dan sikap suami yang memang tidak baik antara lain karena suka berjudi, mabuk-mabukan, selingkuh dan sebagainya yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga serta runtuhnya mahligai perkawinan. Adapun konsep nusyuz suami ini akan dibahas pada bab berikutnya secara lebih mendalam berikut dengan akibatnya.
93
BAB III KONSEP NUSYUZ SUAMI DAN AKIBATNYA MENURUT HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. Status dan Kedudukan Suami Isteri 1. Status dan kedudukan suami isteri menurut hukum Islam Menurut ajaran Islam pernikahan merupakan suatu aqad (perjanjian) yang diberkahi antara seorang perempuan dan laki-laki, yang dengannya dihalalkan bagi keduanya hal-hal yang sebelumnya diharamkan. Dengan pernikahan tersebut keduanya mulai memasuki suatu kehidupan baru dalam mengarungi perjalanan panjang kehidupan dengan rasa cinta kasih. Sebagaimana dilukiskan dalam Al Qur'an bahwa hubungan seorang suami dengan seorang isteri adalah hubungan yang penuh kelembutan dan di dalamnya tersebar nilai-nilai cinta, keharmonisan, kepercayaan, saling pengertian, dan kasih sayang. Allah berfirman dalam Q.S ar Rum : 21. “Isteri diartikan sebagai perempuan yang telah menikah atau yang bersuami serta dapat diartikan sebagai perempuan yang dinikahi.” 146 Berbicara mengenai kedudukan isteri juga tidak dapat lepas dari berbicara perempuan dari awal penciptaannya/asal kejadiannya berdasarkan Q.S an Nisa : 1 yang artinya sebagai berikut : “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu yang sama dan menjadikan isteri
146
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit, hlm.390
94
daripadanya dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak…” 147 Dari pandangan terjemahan tersebut di atas bahwa yang dimaksud dengan nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah “pasangan”, dimaksudkan sebagai isteri Adam yaitu Hawa. Sejalan dengan itu dipengaruhi oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, dan At Tirmizi dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa: “Saling pesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok...” 148 Dari hadits ini dipahami bahwa Hawa diciptakan dari Adam yaitu dari tulang rusuk yang bengkok. Ahmad Syafiq dalam bukunya ‘Hal-hal Yang Tak Terpikirkan’ telah mengkritik hadits ini, menurutnya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori tersebut tidaklah dapat sepenuhnya dipercayai, setidaknya dua hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, menurut Aisyah; Abu Hurairah memiliki kecenderungan untuk mendiskreditkan kaum perempuan. Kedua, ketika meriwayatkan hadits ini usia Abu Hurairah tidak lagi muda untuk dapat mengingat sebuah hadits dengan baik. 149 Beberapa ulama kontemporer yang memahami secara metaforis, memaknai bahwa hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap “wajar” layaknya seperti kepada sesamanya (laki-laki). Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal,
147 148
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.70 Muslim Abi al Husain ibn al-Hujjaj, Shahih Muslim, Jilid 2, Sya’ban Qurat, Turki, Ankara,
hlm.58 149
Ahmad Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam Sebuah Dokumentasi, Mizan, Bandung, hlm.32
95
sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. 150 Berasal dari penciptaan yang satu dimunculkanlah permasalahan utama dalam ajaran Islam yaitu persamaan antara manusia, baik antara laki-laki dan perempuan, maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang terdapat dalam Q.S al Hujarat : 13. Persamaan ini dipertegas di dalam Q.S an-Nahl : 97 yang artinya sebagai berikut : “Barang siapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 151 Lebih lanjut Hamka menegaskan bahwa “perempuan dimuliakan oleh karena asalnya satu (min nafsin wahidah) kemudian dibelah menjadi dua oleh sebab itu terasalah bahwasanya yang satu tetap memerlukan yang lain dan dari diri yang dipisahkan tersebut kemudian disatukan kembali.” 152 Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan lakilaki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosiokultural saling memerlukan dan mempunyai peran tersendiri. Prinsip persamaan tidak berarti tidak ada perbedaan, tapi di dalam perbedaan itulah terdapat persamaan. Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh kedua jenis makhluk tersebut. Tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu 150
Ibid, hlm. 6 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 251 152 Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, hlm.6-7 151
96
jenis, seperti hamil, melahirkan, menyusui anak yang hanya dapat diperankan oleh kaum perempuan. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang secara manusiawi, lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga otot lebih besar. 153 Keberadaan laki-laki dan perempuan didasarkan pada fitrah masing-masing. Pembagian manusia secara biologis menjadi laki-laki dan perempuan adalah akibat dari rencana sang Pencipta. Lebih lanjut Rasulullah SAW menjelaskan bahwa lakilaki yang dikutuk adalah mereka yang berusaha menyerupai perempuan, dan perempuan yang dikutuk adalah mereka yang berusaha menyerupai laki-laki. “Konsep kepemimpinan suami terhadap istri, sebagaimana yang diyakini umat Islam umumnya dicoba untuk ditafsirkan kembali oleh beberapa feminis Muslim seperti Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud, dengan membongkar penafsiran lama yang mereka nilai bias gender.” 154 Begitu juga halnya dengan salah satu tokoh feminis muslim Indonesia yaitu Ketua Yayasan Puan Amal Hayati Jakarta Ibnu Shinta Nuriyyah Abdurahman Wahid. “Menurutnya 80% ketidakadilan gender terjadi dalam kajian klasik dan banyak hadits-hadits dimunculkan untuk kepentingan perorangan.” 155 Kedudukan perempuan sebagai bagian dari masyarakat, hidup bersama-sama sejajar dengan laki-laki, tanpa diskriminasi, kadar martabatnya dinilai dengan ketaqwaan yang dimilikinya. Namun tentunya ada hal-hal tertentu dimana Allah 153
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Lembaga Kajian Agama dan Gender, Jakarta, hlm.22-25 154 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm.25 155 Makalah Hasil Tanya Jawab dengan Ibu Shinta Nuriyah pada Seminar Nasional Wajah Baru Relasi Suami Isteri, yang diselenggarakan di Kampus Universitas Dharma Agung Medan, pada tanggal 18 Mei 2002
97
memberikan perbedaan yang kodrati misalnya kodrat perempuan sebagai penerus keturunan, dengan menciptakan organ tubuhnya berbeda dengan laki-laki, untuk memenuhi fungsi tersebut. Maka dalam Islam sangat dijaga keabsahannya melalui lembaga perkawinan. “Bahkan ia termasuk dari maqasid as syariah untuk menjaga keturunan.” 156 Maka Rasulullah membuat suatu perubahan dan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang masyarakat Arab dengan: 1. Mendirikan suatu majilis khusus untuk perempuan 2. Dalam kasus perolehan ilmu rasul memandang perempuan memiliki akses yang sama dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu ia (Rasul) membuka pintu lebar-lebar dan mewajibkan bagi laki-laki dan perempuan untuk sama-sama mencari ilmu. 3. Rasul memberikan tauladan bagi perlakuan baik terhadap perempuan. Sikap tauladan yang paling menonjol adalah pergaulannya yang baik terhadap semua istrinya (mu'asyarah bil ma'ruf) 157 Ketiga cara ini menerangkan bahwa pada hakekatnya Islam yang dibawa Rasul bertujuan mengangkat harkat martabat kaum perempuan dan menghapuskan segala bentuk kekerasan. Namun perlu dicermati bahwa pemuliaan terhadap kaum wanita tersebut tidak berarti menjadikan wanita sama dengan laki-laki. Adapun beberapa hal yang merupakan revisi terhadap perlakuan tradisi sebelum datangnya Islam adalah: 1. Perempuan dalam Islam dilindungi oleh Undang-undang (Al Qur'an dan Al Hadits)
156
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm.51-63. 157 Ahmad Syafiq, Op. Cit, hlm.32-34
98
2. Diberi hak untuk memilih pasangan hidupnya 3. Memiliki hak talak (dalam Q.S Al Ahzab : 28-29) 4. Berhak mewarisi dan memiliki kekayaan 5. Memiliki hak penuh untuk memelihara anaknya. 6. Berhak mempergunakan hartanya. 7. Memiliki hak hidup 2. Status dan kedudukan suami isteri menurut hukum positif Indonesia sebagai suatu negara yang menganut asas monogami dalam perkawinan mengisyaratkan bahwa kedudukan suami dan isteri adalah seimbang. Masing-masing berhak melaksanakan perbuatan hukum. Meskipun tentu ada perbedaan, seperti dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 31 ayat 3, yang menyatakan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.” 158 Pasal ini terbentuk dengan asumsi bahwa suami pencari nafkah, isteri mengurus rumah tangga dan tidak menginginkan adanya dua nahkoda dalam satu kapal. Kalau isteri pencari nafkah, tidak otomatis dia menjadi kepala keluarga dan suami menjadi bapak rumah tangga. Karena hal ini masih tidak mungkin terjadi di Indonesia, isteri yang pencari nafkah pun masih tetap harus ibu rumah tangga, suami yang tidak mencari nafkah masih tetap kepala keluarga. “Pandangan tradisional tentang perilaku adalah bahwa perbedaan karakteristik psikologis antara perempuan dan laki-laki bersumber pada perbedaan biologis. Juga diyakini bahwa otak perempuan dan laki-laki berbeda dengan menunjuk pada otak 158
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Op. Cit, hlm.11
99
perempuan yang kurang sempurna” 159 Anggapan kebanyakan laki-laki bahwa “perempuan adalah makhluk yang lemah dan mereka (laki-laki) percaya, bahwa perempuan ‘lebih rendah’ atau tidak sederajat dengan laki-laki. Hal tersebut dapat terlihat dalam wacana budaya dan wacana ajaran dan norma keagamaan pada kehidupan masyarakat kita sehari-hari.” 160 Indonesia telah meratifikasi konvensi perempuan dengan Undang-undang No.7 Tahun 1984, namun diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung tanpa ada sanksi jelas bagi yang melanggarnya; organisasi perempuan yang dibuat pemerintah Indonesia dianggap memperkuat status sekunder perempuan dalam kedudukannya sebagai isteri, dimana resmi ditentukan bahwa perempuan sebagai isteri adalah perpanjangan suami. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 yang memberikan suatu definisi perkawinan: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 161 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 dinyatakan bahwa : “Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
159
Saparinah Sadli, Pengembangan Identitas Jender, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm.10 Alvin J. Schmidt, Veiled and Silenced : How Culture Shaped Sexist Theology Macon, Mercer University Press, Georgia, 1989, page 13 161 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Op. Cit, hlm.1 160
100
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.” 162 Dari kedua rumusan tentang perkawinan itu, terlihat jelas bahwa kedudukan perempuan dan pria dalam memasuki perkawinan adalah seimbang. Kedudukan itu tetap ada setelah dilangsungkannya perkawinan seperti dirumuskan pada Pasal 9 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 30 sampai dengan 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya mengenai kedudukan suami istri dalam hubungan perkawinan demikian juga pada Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam tentang Kedudukan Suami Isteri bahwa : (1) Suami adalah kepala keluarga, dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 163 Wila
Chandrawila
Supriadi
berpendapat
bahwa
:
“Pembagian
ini
menimbulkan pelecehan terhadap kaum isteri sebab dengan demikian diakuinya adanya kedudukan suami yang lebih tinggi daripada isteri. Sehingga arti keadaan yang seimbang dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kedudukan yang tidak sama.” 164 Dalam hal ini meskipun kata seimbang dapat diartikan sebanding ataupun setimpal akan tetapi bukan berarti tidak ada perbedaan, suami isteri adalah pasangan
162
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit, hlm. 7 Ibid, hlm. 28-29 164 Willa Chandrawilla Supriadi, Kumpulan Tulisan Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.30 163
101
yang saling melengkapi dan apabila tidak ada perbedaan sama sekali keduanya tidak akan pernah berpasangan. Pasal-pasal di atas terlihat jelas mengenai keseimbangan kedudukan suami istri dengan masing-masing fungsi dan tanggung jawab yang berbeda tetapi dengan tujuan untuk kebahagiaan rumah tangga (keluarga) sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pembagian-pembagian peran dan tugas secara kaku seperti yang telah diatur dalam Undang-undang memungkinkan terbentuknya suatu bentuk pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran lakilaki dan perempuan sudah mutlak terbagi-bagi sedemikian rupa. Oleh sebab itu, meskipun laki-laki merupakan pencari nafkah utama, sebagai pemimpin dalam rumah tangga, tidak berarti peran laki-laki menjadi lebih dominan dengan mendapat hak-hak istimewa dalam masyarakat. Anggapan bahwa peran dan tugas laki-laki lebih dominan dan sementara perempuan hanyalah bersifat sekunder dan komplementer dapat mengakibatkan kekerasan terhadap isteri.
B. Kewajiban Suami terhadap Isteri Pada bab ini akan dibahas mengenai kewajiban suami saja sedangkan hak suami tidak, karena hak suami adalah segala kewajiban yang harus dilaksanakan oleh isteri seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dan untuk dapat melihat
102
indikasi suami telah nusyuz dalam perkawinan adalah dengan melihat tidak dipenuhinya hak isteri atau tidak dilaksanakannya kewajiban sebagai suami dalam hubungan bersuami isteri sesuai dengan judul tesis atau titik sentral pembahasan tesis ini. 1. Kewajiban suami menurut Kompilasi Hukum Islam Kewajiban suami terhadap isteri telah diatur sedemikian rupa dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 80 telah dinyatakan bahwa : (1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. (2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. 165 Selanjutnya dalam Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal atau kediaman bagi isteri yaitu : (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
165
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm.29
103
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talqin atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. 166 Sedangkan kewajiban suami yang beristeri lebih dari seorang telah diatur dalam Pasal 82 Kompilasi Hukum Islam yaitu : (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. 2. Kewajiban suami menurut hukum Islam Kewajiban suami terhadap isteri menurut hukum Islam terbagi kepada 2 bagian yaitu berupa kewajiban materi dan non materi. Kewajiban materi lazim disebut dengan nafkah yang lahiriah (yang berwujud) sedangkan kewajiban non materi lazim disebut dengan nafkah batiniyah (yang tersembunyi). “Nafkah dalam konteks istilah fikih mempunyai dua makna yaitu nafkah yang bersifat materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan nafkah yang bersifat non materi seperti kasih sayang dan penyaluran hasrat biologis.” 167 a. Memberikan nafkah materi 1) Pengertian nafkah dan dasar hukumnya
166 167
Ibid, hlm.29-30 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.55
104
“Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri. Nafkah menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata nafaqo bentuk jamaknya nafaqoh yang berarti barang yang dibelanjakan, menafkahkan rejeki dan belanja buat hidup.” 168 Nafkah juga bisa berarti “biaya, belanja dan pengeluaran uang.” 169 Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nafkah ialah “belanja untuk hidup kepada isterinya, bekal hidup sehari-hari, rejeki.” 170 Sedangkan menurut terminologi, nafkah adalah “suatu kewajiban atas suami untuk memberikan belanja terhadap isterinya yang diambil dari hartanya untuk keperluan makanan, pakaian, tempat tinggal, pemeliharaan dan sejenisnya.” 171 Al Kahlani mendefenisikan nafkah adalah “sesuatu yang dipergunakan manusia untuk keperluan orang lain meliputi makanan, minuman dan selain dari keduanya.” 172 Beberapa defenisi di atas dapat dipahami bahwa nafkah itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik ia berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, obatobatan dan lain sebagainya. Ulama berbeda pendapat tentang kapan munculnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri, sebagian ulama berpendapat munculnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah setelah adanya akad nikah. Sebagian lagi berpendapat bahwa munculnya “kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah apabila
168
Muhammad Idris Al Marbawi, Kamus Al Marbawi, Jilid II, Al Nasyr, Semarang, hlm.336 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwar Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997. hlm.1548. 170 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit, hlm.770 171 Ibrahim Anas, Al Mu’jam Al Wasid, Dar Al Ma’arif, Mesir, Kairo, 1972, hlm.942 172 Muhammad Ismail Al Kahlani, Subulus Salam, diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm.788 169
105
mereka (suami isteri) sudah tinggal sekamar dan watha’, bukan karena sudah terjadinya akad nikah saja.” 173 Sayyid Sabiq lebih mempertegas lagi penyebab munculnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri antara lain: 1. 2. 3. 4. 5.
Setelah adanya akad nikah yang sah Isteri menyerahkan dirinya kepada suami Suami dapat menikmati dirinya Isteri tidak menolak bila diajak suami. (Selama tidak bermaksud merugikan isteri) Keduanya saling dapat menikmati (kehidupan rumah tangga) 174
Nafkah yang merupakan kewajiban bagi suami terhadap isteri setelah adanya akad nikah atau setelah mereka sekamar dan watha’ meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu juga keperluan lainnya yang bersifat wajar (jika suami mampu), seperti pembayaran rekening listrik, air dan keperluan lainnya. Kewajiban bagi suami memberikan nafkah terhadap isteri memiliki dasar hukum yang kuat yaitu berdasarkan Al Qur’an, Hadits dan Ijma’. Adapun dari Al Qur’an dapat kita lihat pada : 1. Al Qur’an a. Q.S al Baqarah : 233 yang artinya sebagai berikut : “…Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para isteri-isteri dengan cara yang ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya…” 175
173
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hlm.99 174 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.148 175 Mahmud Junus, Op.Cit, hlm. 35
106
b. Q.S at Thalak : 7 yang artinya sebagai berikut : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rejekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan kepadanya sesudah kesempitan.” 176 Dua ayat di atas dapat dipahami bahwa seorang ayah dari anak-anaknya ataupun seorang suami dari isterinya mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu memberikan nafkah terhadap keluarganya secara baik dan menurut kesanggupannya, bagaimanapun kondisi seorang ayah ataupun seorang suami tersebut, sebab Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. 2. Hadits Rasulullah SAW a. Dari Mu’awiyah al-Qusyairi dari bapaknya, ia berkata : “Wahai Rasulullah apa hak seorang isteri kami kepada suaminya? Rasul menjawab: engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan, dan memberi pakaian sebagaimana yang engkau pakai.” 177 (H.R Abu Daud) b. Dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda: “Dan bagi mereka isteri-isteri wajib bagi kamu (suami) memberikan rizki mereka dan pakaian mereka secara baik.” 178 (H.R Muslim).
176
Ibid, hlm.507 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Dahlan, Bandung, 1966, hlm.244 178 Muhammad Ismail Al Kahlani, Op.Cit, hlm.221 177
107
Hadits di atas dapat dipahami bahwa isteri mempunyai hak nafkah dari suami, artinya suami wajib memberikan nafkah kepada isterinya. Baik nafkah itu berupa makanan, pakaian, dan lain sebagainya secara baik (layak). 3. Ijma’ Adapun ijma’ ulama bahwa nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri dalam kitab Al Ahkam al Syar’iyah li al-Syakhsiyah disebutkan bahwa para mujtahid telah sepakat bahwa sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan sekarang tentang kewajiban memberikan nafkah terhadap isterinya merupakan tanggungjawab suami. Tidak ada seorangpun yang mengingkari atau pun menyangkalnya. Ibnu Hazm tidak memberikan defenisi nafkah secara explisit sebagaimana yang telah disebutkan di atas, namun pendapat beliau dapat kita jumpai pada ungkapan-ungkapannya dalam bukunya Muhalla. Ungkapan-ungkapannya itu antara lain: 1. Diwajibkan bagi suami memberikan kepada isteri berupa pakaian jadi dan makanan siap saji. 2. Diwajibkan atas suami akan pakaian isteri, semenjak akad nikah. 3. Suami berkewajiban memberikan pakaian terhadap isteri atas kemampuannya. 4. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi isteri menurut kemampuanya. 179 Ungkapan-ungkapan Ibnu Hazm di atas dapat dipahami bahwa pengertian nafkah menurutnya adalah pemberian suami terhadap isteri berupa kebutuhan baik makanan, pakaian dan tempat tinggal serta kebutuhan lainnya sesuai dengan kemampuan suami setelah adanya akad nikah. 179
Ibnu Hazm, Op.Cit, hlm.61
108
Kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri menurut Ibnu Hazm meliputi: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban nafkah ini disesuaikan dengan kemampuan suami baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan yang lainnya. Artinya dalam pemenuhan nafkah bagi suami terhadap isteri baik secara kualitas maupun kuantitas harus disesuaikan dengan kemampuan suami. Namun bagi suami yang mampu (kaya) diwajibkan memberikan makanan lebih dari yang lain, seperti roti, daging, dan buah-buahan, akan tetapi harus tetap sesuai dengan kemampuannya. b. Memberikan nafkah non materi Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa nafkah terbagi kepada 2 jenis yaitu nafkah yang bersifat materi dan non materi. Nafkah yang bersifat materi antara lain berupa makanan, pakaian, uang belanja, tempat tinggal, obat-obatan dan lainnya yang berwujud sedangkan nafkah yang sifatnya non materi adalah nafkah yang bersifat batiniyah termasuk sebagai hak-hak non materi isteri seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya yaitu : 1. Mempraktikkan Kasih Sayang Wanita merupakan sumber kasih sayang dan perwujudan perasaan secara total. Kehidupannya selalu dipenuhi dengan kecintaan dan ketergantungan. Karenanya, ia selalu menginginkan orang lain mencintai dirinya. Apabila dirasakan bahwa seseorang mencintainya, ia pasti akan berbahagia. Adapun kalau diketahui bahwa seseorang itu tidak mencintainya, ia akan merasa gagal dan frustasi. Dengan begitu, kita dapat mengatakan bahwa rumus
109
terpenting dalam hal pernikahan adalah menampakkan kasih sayang. Sesungguhnya, isteri mendapatkan kasih sayang serta kelembutan dari kedua orang tuanya. Namun setelah mengikat janji suci pernikahan, ia berlepas diri dari semua itu, untuk kemudian menambatkan tali kasih sayang dan pengertiannya kepada suami. Dalam setiap benak seorang isteri, ia berharap agar di rumah suaminya kelak dirinya dapat mereguk cinta kasih, sebagaimana yang sebelumnya ia peroleh dari kedua orang tuanya. Bahkan, dirinya berharap agar suami mencintai dan mengasihinya lebih daripada cinta dan kasih kedua orang tuanya. Ia benar-benar sudah menyediakan dan memasrahkan dirinya untuk melayani suami. Jika ingin menguasai hati isteri demi menjadikannya taat, jujur, dan setia sampai akhir hayat, juga menghendaki agar hubungan suami-isteri terus berjalan lancar dan perjalanan hidup keluarga senantiasa dibalut kasih sayang dan kebersamaan, maka suami harus berusaha sekuat tenaga untuk selalu menampakkan kecintaan dan perhatian kepada isteri. Sebab, jika ia mengetahui bahwa dirinya bukanlah orang yang dicintai dan suaminya tidak menyukai kehidupan bersamanya, maka ia akan menjadi seorang pemalas dan selalu berusaha menjauhi suami dan anak-anak. Dengan keadaan begitu, keadaan rumah niscaya akan menjadi berantakan dan dirinya akan membatin, “Buat apa saya harus bersusah payah bekerja dan melayani seorang suami yang tidak mencintai diri saya”. Kalau seorang isteri sudah berpikiran semacam itu, niscaya cinta kasih dan saling pengertian akan segera hilang dari kehidupan keluarga. Rumah kemudian berubah menjadi jahanam yang siap melalap individu-individu yang tinggal di dalamnya. Perceraian amat mungkin terjadi dalam kehidupan bersama yang serba gersang ini. Terlebih kalau seorang isteri sudah merasa jenuh tinggal di rumah suaminya dan bermaksud kabur. Seluruh kejadian tersebut merupakan tanggung jawab suami yang tidak berusaha menguasai hati isterinya. 180 Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq berkata, “Diciptakannya wanita dari laki-laki dikarenakan kecintaannya kepada laki-laki. Karenanya, cintailah isteri kalian!” Dalam kesempatan lain, beliau mengatakan, “Barangsiapa benar-benar mencintai kami, maka ia akan benar-benar mencintai wanita dan manisan.” Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kali iman seseorang bertambah, bertambah pula kecintaannya terhadap wanita.” Imam Ja’far bin Muhammad 180
Zakiyah Daradjat, Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 36
110
as-Shadiq berkata, “Di antara akhlak para nabi adalah mencintai wanita.” dan alangkah indahnya terdengar ucapan seorang laki-laki terhadap perempuan bahwa “Aku mencintai dirimu dan tidak akan hilang dari hatiku untuk selamalamanya. Cinta murni yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam akan mampu menembus hati orang lain. Namun, jangan sampai membiarkan kecintaan yang murni itu hanya terkubur dalam hati. Ia harus diungkapkan secara terang-terangan. Kalau seorang lelaki mampu mengungkapkan cintanya lewat lisan dan gerak-geriknya, lakukanlah dan jangan sungkansungkan karena semua itu termasuk kewajiban suami yang bernilai ibadah. 181 2. Menghormati isteri Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanita juga ingin dihormati. Selain itu, mereka juga ingin tampil berwibawa dihadapan suami maupun orang lain. Dirinya akan merasa tertekan apabila dihina atau dilecehkan. Kalau dihargai, ia akan merasa bahwa keberadaannya bermanfaat bagi kehidupan keluarganya. Oleh sebab itu, kita dapat mengatakan bahwa wanita akan merasa berbahagia tatkala dirinya dihormati, dan akan bersedih ketika dilecehkan. Setiap isteri berharap akan lebih dihormati suaminya daripada orang lain. Harapannya ini jelas dibenarkan. Sebab, suami adalah teman hidup dan penghibur terbaik bagi hatinya. Karena sepanjang hari dirinya bekerja dan berbuat demi kesenangan anak-anak suami. Menghormati isteri pada dasarnya tidak akan mengurangi kewibawaan suami. Bahkan sebaliknya, dapat mengukuhkan kesetiaan dan kecintaan isteri, sekaligus sebagai tanda terima kasih. Sikap menghormati ini dapat dilakukan dengan berbicara secara santun kepada isteri, tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas ketika berbincang dengannya serta tidak berteriak-teriak sewaktu memanggilnya. Hormatilah isteri dihadapan orang banyak dan janganlah mengejeknya sekalipun dengan maksud bercanda. 181
hlm.48
Kamraeni Busyaeri, Pendidikan Keluarga dalam Islam, Bina Usaha, Yogyakarta, 1990,
111
“Menghormati isteri merupakan bukti kepribadian yang sempurna dan merendahkannya adalah tanda kejahatan perangainya.” 182 Rasulullah SAW bersabda : “Tidak seorang pun yang memuliakan mereka (perempuan) kecuali orang yang mulia dan tidak seorang pun yang menghina mereka melainkan orang yang hina.” 183 Sebuah kisah pada masa khalifah Ali, seorang perempuan berumur kira-kira 36 tahun dengan langkah yang mantap dan tenang mendatangi pengadilan. Wanita itu mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya, dengan muka merah padam, ia berkata, “Pernikahan saya sudah hampir genap dua belas tahun. Ia adalah lelaki yang baik dan memiliki banyak kebaikan. Namun ia tidak pernah mau mengerti bahwa saya adalah isterinya dan ibu dari anak-anaknya. Suami saya mengira bahwa sebuah pertemuan hanya menjadi tempat bermain dan bercanda belaka. Ia selalu mengejek saya dihadapan teman-teman dan kerabatnya. Akibatnya, mereka juga ikut-ikutan mengejek dan menghina saya. Saya sudah terlalu letih dan sangat bersedih dengan ejekan tersebut. Sudah ribuan kali saya meminta suami saya memahami persoalan ini dan sangat berharap agar dirinya tidak lagi mengejek, menghina, dan mempermainkan saya di depan umum. Namun ia sama sekali tidak mengindahkannya. Bahkan, sejak itu ia justru menjadi lebih sering menghina dan mengejek saya sampai melampaui batas-batas norma dan etika. Sejak kecil, saya bukan tergolong orang yang suka bercanda dan menjatuhkan harga diri orang lain. Karenanya saya tidak mampu menanggung kelakuan suami saya yang sudah melampaui batas itu. Tatkala merasa bahwa perkataan dan harapan saya kepadanya tak lagi bermakna, saya tak bisa lagi bersabar terhadap hinaannya. Karena itu, mulai saat ini saya memutuskan untuk bercerai dengannya.” Seluruh wanita mengharapkan dirinya dihormati suami. Akan terasa amat tertekan sewaktu dihina atau tidak dihormati. Sebaiknya kaum lelaki memahami bahwa diamnya seorang isteri ketika diejek bukan berarti dirinya rela. Sebaliknya malah dalam hatinya meluap darah amarah. Dirinya tidak mengungkapkan hal tersebut dikarenakan khawatir hubungan suami-isteri menjadi retak. 184 3. Berakhlak baik “Kewajiban lain suami terhadap isteri adalah mempergauli isteri dengan akhlak sebaik-baiknya baik dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lisan dan 182
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.70 Muslich Maruzi, Op.Cit,hlm.101 184 Ibid, hlm.86 183
112
perbuatan termasuk pergaulan di atas ranjang ketika menyalurkan hasrat biologisnya.” 185 Allah telah berfirman dalam Q.S an Nisa : 19 yang artinya sebagai berikut : “…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 186 4. Menyetubuhi isteri Ibnu Hazm berkata : “Suami wajib menyetubuhi isterinya dan sekurangkurangnya satu kali dalam setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, berarti ia durhaka terhadap Allah.” 187 Kebanyakan ulama sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kewajiban suami menyetubuhi isterinya jika ia tidak memiliki halangan apa-apa. Adapun Imam Ahmad menetapkan ketentuan empat bulan sekali bahwa suami diwajibkan menjima’ isterinya karena Allah telah menetapkan dalam tempo ini hak bagi bekas budak. Jadi, dengan begitu berlaku juga bagi yang lain-lain. Jika suami meninggalkan isterinya kemudian tidak kembali tanpa ada halangan apa-apa, Imam Ahmad memberikan batas waktu enam bulan. Jika suami tidak mau kembali dalam tempo setelah enam bulan maka pengadilan boleh menceraikan antara keduanya. Alasannya ialah hadits riwayat Abu Hafsh dengan sanad Zaid bin Aslam yang berkata : “Ketika Umar bin Khattab meronda di kota Madinah, ia melewati halaman rumah seorang perempuan yang sedang bersenandung : “Malam ini begitu panjang dan tepi langit begitu hitam. Sudah lama aku tiada kawan untuk bersenda gurau. Demi Allah, kalaulah bukan karena takut kepada Allah, tentu kaki-kaki tempat tidur ini sudah bergoyang-goyang. Tetapi, oh Tuhanku! Rasa malu cukup menahan diriku. Namun, suamiku sungguh lebih mengutamakan mengendarai ontanya.” Umar lalu menanyakan tentang perempuan ini. Ada orang yang menceritakan keadaannya kepada Umar bahwa dia adalah perempuan seorang diri. Suaminya telah pergi berperang di jalan Allah. Umar lalu mengirim surat kepada suaminya untuk pulang. Sejak saat itu Umar menentukan bahwa tugas 185
Hasan Langgulung, Dasar-dasar Pendidikan Islam, Al Husna, Jakarta, 1988, hlm.42 Muslich Maruzi, Op.Cit,hlm.100 187 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm.75 186
113
untuk tentara yang pergi ke medan perang adalah 6 bulan dengan ketentuan 1 bulan untuk pergi, 4 bulan untuk tinggal di medan perang dan 1 bulan lagi untuk pulang menemui isterinya. 188 Imam Al Ghazali dari mazhab Syafi’i berkata : “Sepatutnya suami menjima’ isterinya pada setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik karena batas poligami adalah 4 orang. Akan tetapi, boleh diundurkan dari waktu tersebut, bahkan sangat lebih bijaksana kalau lebih dari satu kali dalam empat malam atau kurang dari ini sesuai dengan kebutuhan isteri dalam memenuhi kebutuhan seksualnya. Hal ini karena menjaga kebutuhan seks isteri merupakan kewajiban suami, sekalipun tidak berarti ia harus minta bersetubuh, sebab memang sulit untuk meminta yang demikian dan memenuhinya. 189 Muhammad bin Ma’an Al Ghifari berkata bahwa seorang perempuan datang kepada khalifah Umar lalu berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya suamiku siang hari puasa dan malam hari sholat. Aku tidak mau mengadu kepadanya karena ia menjalankan perintah Allah”. Lalu Ka’ab Al Asadi berkata kepada Umar, : “Wahai Amirul Mu’minin, perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia dibiarkan tidur sendirian.” Kemudian mereka memanggil suaminya itu untuk memutuskan perkara aduan isterinya tersebut. Suaminya berkata : “Aku menjauhkan diri dari perempuan dan kenikmatan seks. Aku adalah orang yang sedang menekuni ayat-ayat yang diturunkan dalam surat an Nahl dan tujuh surah yang panjang.” Setelah itu Ka’ab Al Asadi berkata bahwa : “Sesungguhnya isterimu mempunyai hak atas dirimu, wahai saudaraku. Bagiannya terletak pada empat (dua paha laki-laki dan dua paha perempuan). Berikanlah itu padanya, dan janganlah kamu banyak berdalih. 190 Dalam hadits sahih ditegaskan bahwa suami yang menyetubuhi isterinya itu termasuk perbuatan sedekah dan mendapat pahala dari Allah. Dan disunnahkan bercumbu rayu, saling bersenda gurau, merayu, mencium dan suami mestilah menahan ejakulasi sehingga isteri juga merasakan kepuasan (orgasme). Abu Ya’la meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika seorang di antara kamu bersenggama dengan isterinya, hendaklah ia melakukannya dengan penuh semangat. Jika dia sudah hendak ejakulasi, sementara isterinya belum sampai pada klimaksnya, janganlah ia tergesa-gesa (untuk mengakhiri persetubuhan) sebelum klimaks isterinya terpenuhi. 191 188
Ibid, hlm.76 Ibid, hlm.76 190 Ibid, hlm.76-77 191 Ibid, hlm.77 189
114
5. Menjaga dan mendidik isteri dengan baik Suami wajib menjaga isterinya dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, terlebih-lebih bersikap menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dihadapannya dan bersabar ketika menghadapi setiap persoalan yang ditimbulkan oleh isteri. Memang perempuan itu tidak sempurna dan hendaklah seorang laki-laki menerimanya dengan segala kekurangannya itu. Rasulullah bersabda bahwa : “Berbuat baiklah kepada kaum perempuan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. Tulang rusuk yang paling bengkok terletak pada bagian yang paling atas. Jika engkau dengan keras meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya, tetapi jika engkau biarkan, niscaya akan tetap bengkok.” Hadits ini mengisyaratkan bahwa karakter perempuan secara alamiah adalah bengkok. Untuk mengusahakan kebaikannya hamper tidak mungkin karena bengkoknya itu ibarat tulang rusuk yang berbentuk busur yang memang tidak dapat diluruskan. Karena itu, menggauli isteri itu harus sesuai dengan tabiatnya dan memperlakukannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, tidak ada halangan untuk mendidiknya dan menuntunnya ke jalan yang benar bilamana ia melakukan kesalahan dalam hal apapun. Terkadang suami mengeluh karena beberapa tingkah laku isterinya yang tidak baik dan menutup mata dari tingkah lakunya yang baik. Islam menganjurkan agar suami meimbang dengan adil antara sifat-sifatnya yang baik dan buruk sebagaimana fungsinya sebagai imam dalam rumah tangga. 192 Fungsi suami sebagai imam dalam mendidik dan menjaga isterinya akan sangat diharapkan kebijaksanaannya dan sikap adilnya dalam memutuskan setiap persoalan, terutama masalah atau konflik yang terjadi antara isteri dengan ibu mertua yang lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat. Satu hal yang dapat mengusik ketenteraman dari lingkungan keluarga, bahkan menyebabkan terjadinya perceraian, adalah campur tangan ibu dari pihak suami (ibu mertua) yang serba berlebihan dalam urusan intern keluarga anaknya. Sebelum anaknya menikah, sang ibu mertua 192
Ibid, hlm.72-73.
115
memiliki harapan yang indah dan sempurna perihal isteri anaknya kelak. Dalam bayangannya, isteri anaknya itu benar-benar bersih dari segenap kesalahan, kekurangan dan akan melayani anaknya sama seperti pengasuhannya selama ini.
C. Konsep Nusyuz Suami Menurut Hukum Perkawinan Islam Pada intinya nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah dan atau meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya mu’asyarah bil ma’ruf atau menggauli isterinya dengan baik sebagaimana yang kewajiban suami yang telah diuraikan di atas. Yang terakhir ini mengandung arti luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli isterinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental isteri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. Islam benar-benar melarang terjadinya kekerasan, jangankan terhadap isteri sendiri (kekerasan domestik) kepada orang lain pun dilarang untuk melakukan kekerasan. Secara konseptual Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada isteri. Perkawinan sebagai lembaga yang mengikat suami dan isteri dengan tujuan untuk mendatangkan sakinah, mawaddah dan warahmah. Untuk tujuan itu Al Qur'an mengajarkan suami berkewajiban untuk mendidik isteri di dalam rumah tangga. Salah satu bentuk pendidikan tersebut adalah seperti tertuang dalam Q.S an Nisa : 34 yaitu ; memberi nasehat, memisahkan ranjang dan memukul dengan tidak menyakiti. Lebih
116
lanjut Allah mengunci permasalahan di atas dengan kata bahwa apabila ia telah kembali baik, maka hendaklah kamu tidak berlebihan. Ayat ini melarang terjadiya kekerasan terhadap isteri, dan jika terjadi penganiayaan isteri diperbolehkan mengajukan gugatan ke pengadilan.. Memukul merupakan jalan terakhir yang dilakukan apabila cara-cara seperti menasehati dengan kata-kata yang lembut, mengingatkan dengan perilaku (pisah ranjang). Suami yang baik tidak akan memukul isterinya. Banyak juga para ahli tafsir yang menerangkan bahwa makna memukul disini adalah dengan sikat gigi. Dari penjelasan beberapa tafsir dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan pemukulan dengan kata-kata ataupun sindiran baik dengan cara halus maupun kasar. Akan tetapi perlu disadari bahwa memang ada perempuan yang hanya dengan memukul dapat diperbaiki kedurhakaannya. Namun pemukulan terhadap isteri sebagaimana yang diisyaratkan Q.S an Nisa : 34 tersebut tidaklah dimaksudkan untuk membenarkan perbuatan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Jika ada yang menganggap ayat tersebut sebagai dalil untuk dapat melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga terutama kepada isteri maka ittu adalah pemahaman keliru yang belum memahami Islam secara kaffah (utuh/menyeluruh). Dalam hal ini sangat dibutuhkan kearifan untuk melihat dan mendalami permasalahan ini, tanpa bisa memihak kepada siapapun, tapi hanya bisa berpulang kepada hati nurani setiap pasangan suami isteri, apakah masing-masing pihak telah melaksanakan kewajibannya dan merasa telah berbuat baik kepada pasangannya. Menegur istri adalah kewajiban suami, tapi tidak membuat suami harus
117
memperlakukan isteri dengan kasar. Untuk itulah Islam mengajarkan untuk berlaku baik dengan isteri dan memberikan tahapan-tahapan peringatan yang harus diperhatikan oleh setiap suami. Permasalahan apapun yang terjadi dan berkembang dewasa ini maka tidak bisa tidak, harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Hadits sebagaimana tertuang dalam Q.S an Nisa : 59 yang artinya sebagai berikut : “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan para pemimpin kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.” 193 Demikian juga halnya dengan permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya sendiri, maka yang menjadi kerangka acuan utama adalah Al Qur’an dan Hadits. “Al Qur’an merupakan petunjuk sampai akhir zaman (solihun likulli zamanin wa makanin) mengandung dua unsur utama yang berupa qonun jamid (peraturan yang tidak dapat berubah) dan qonun murunah (dapat berubah).” 194 Apabila
merujuk
kepada
Al
Qur’an yang mengandung asas-asas atau prinsip-prinsip dasar yang tidak akan berubah-ubah (qonun jamid). Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah : 1. Prinsip persamaan hak seperti tertuang dalam Q.S al Hujarat : 13 yang artinya sebagai berikut : “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari lakilaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara
193
Mahmud Junus, Op.Cit, hlm.79. Nasruddin Umar, Kodrat Wanita Dalam Islam, Lembaga Kajian Agama dan Gender, Jakarta, 1999, hlm.100 194
118
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Mahamengetahui lagi Maha amat mengetahui.” 195 2. Prinsip keadilan seperti tertuang dalam Q.S an Nisa : 3 yang artinya sebagai berikut : “ Jika kamu takut, bahwa kamu tak akan berlaku adil kepada anak-anak yatim, maka kawinilah olehmu perempuan-perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga atau berempat orang. Tetapi jika kamu takut, bahwa tiada akan berlaku adil kepada mereka maka kawinilah seorang saja…” 196 3. Prinsip kepatutan atau berprilaku yang wajar, tertuang dalam Q.S an Nisa : 19 yang artinya sebagai berikut : “…Bergaullah dengan mereka (isterimu) menurut patut. Kalau kami benci kepada mereka (hendaklah kamu sabar), karena boleh jadi kamu benci kepada sesuatu, sedang Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” 197 Islam memandang tindak kekerasan terhadap isteri tidak hanya sebatas fisik saja melainkan juga terhadap non fisik yaitu ucapan-ucapan yang menyakitkan seperti mencari-cari kesalahan isteri, mengkhianati kesanggupan janji-janjinya terhadap isteri, mengganggu ketenangan isteri pada malam hari dan sebagainya. Jika diperinci lebih lanjut maka kekerasan non fisik terhadap isteri adalah sebagai berikut : 1. Tidak mau melunasi hutang mahar ataupun menarik kembali mahar tanpa keridhaan isteri. Dalilnya adalah Q.S an Nisa : 19 yang artinya sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, tiada halal bagimu mempusakai perempuan 195
Mahmud Junus, Op.Cit, hlm.464 Ibid, hlm.70 197 Ibid, hlm.74-75 196
119
dengan pakasaan, dan janganlah kamu susahkan mereka, karena hendak mengambil sebagian mas kawin yang telah kamu berikan kepada, kecuali jika mereka memperbuat keji yang nyata (zina)…”198 2. Menelantarkan belanja isteri. Dalilnya adalah Q.S al Baqarah : 233 yang artinya sebagai berikut : “Ibu-ibu itu menyusukan anak-anaknya dua tahun genap, bagi orang yang menghendaki akan menyempurnakan susuan. Kewajiban atas bapak memberi belanja ibu anaknya itu dan pakaiannya secara ma’ruf. Tiadalah diberati seseorang, melainkan sekedar tenaganya…” 199 3. Tidak memberikan tempat tinggal kepada isteri. Dalilnya adalah Q.S at Thalaq : 6 yang artinya sebagai berikut : “Suruh diamlah mereka perempuan-perempuan yang dalam iddah di rumah tempat diam kamu, menurut tenagamu dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka, sehingga kamu menyempitkannya (menyusahkannya)…” 200 4. Menyetubuhi isteri di waktu haid. Dalilnya adalah Q.S al Baqarah : 222 yang artinya sebagai berikut : Mereka bertanya kepada engkau tentang haid. Katakanlah, itu suatu kotoran sebab itu hindarkanlah perempuan-perempuan ketika mereka dalam keadaan haid, dan janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sehingga mereka suci. Apabila mereka bersuci bersetubuhlah kamu dengan mereka sebagaimana Allah telah menyuruhmu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taubat dan mengasihi orangorang yang bersuci. 201
198
Ibid, hlm.74 Ibid, hlm.35 200 Ibid, hlm.65 201 Ibid, hlm.33 199
120
5. Memperlakukan isteri dengan kasar. Dalilnya adalah Q.S an Nisa : 19 “…Bergaullah dengan mereka (isterimu) menurut patut…” 202 6. Membebani kerja isteri di luar kemampuannya. Dalilnya adalah Q.S al Baqarah : 233 yang artinya sebagai berikut : “…Tiadalah diberati seseorang, melainkan sekedar tenaganya…” 203 7. Tidak adil dalam menggilir isteri. Dalilnya adalah Q.S an Nisa : 129 yang artinya sebagai berikut : “Kamu takkan kuasa berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, meskipun kamu sangat ingin demikian itu, sebab itu janganlah kamu condong seconding-condongnya sehingga kamu tinggalkan perempuan itu sebagai seorang yang tergantung. Jika kamu perbaiki kesalahanmu dan bertakwa, sungguh Allah Pengampun lagi Penyayang.” 204 8. Menuduh isteri berzina tanpa bukti yang sah. Dalilnya adalah Q.S an Nuur : 6 yang artinya sebagai berikut : “Orang-orang yang menuduh isterinya dengan berzina, tetapi mereka tiada mempunyai saksi-saksi, kecuali dirinya sendiri, maka kesaksiannya ialah empat kali bersumpah dengan Allah, bahwa ia seorang yang benar.” 205 9. Memeras isteri. Dalilnya adalah Q.S al Baqarah : 231 yang artinya sebagai berikut : “Apabila kamu mentalak perempuan, lalu hamper habis iddahnya, maka tahanlah mereka secara ma’ruf atau ceraikanlah mereka secara ma’ruf. Janganlah
202
Ibid, hlm.75 Ibid, hlm.35 204 Ibid, hlm.90 205 Ibid, hlm.24 203
121
kamu tahan mereka dengan kemelaratan, karena kamu hendak menganiayanya. Barangsiapa berbuat demikian, sesungguhnya ia telah menganiaya diri sendiri…” 206 10. Tidak memberi pesangon nafkah isteri pada masa iddah. Dalilnya adalah Q.S at Thalaq : 7 yang artinya sebagai berikut : “Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Barangsiapa yang sempit (sedikit) rezekinya, hendaklah memberi nafkah menurut yang diberikan Allah kepadanya. Allah tiada memberati diri seseorang, melainkan menurut yang diberikan Allah kepadanya…” 207 Jika dalam kasus nusyuz suami maka dianjurkan mengadakan perdamaian atau ishlah antara suami isteri begitu juga terhadap solusi mengatasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga lainnya, agama mengizinkan keterlibatan pihak ketiga. Hal ini berarti persoalan kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukanlah masalah yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan Al Qur’an secara terbuka memandang perlunya pihak ketiga sebagai penengah sebagaimana yang diisyaratkan dalam Q.S an Nisa : 35 yang artinya : “Dan jika ada pertengkaran antara keduanya, kirimkanlah seorang hakam dari keluarga lelaki dan perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri tersebut.”208 D. Konsep Nusyuz Suami Dikaitkan dengan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
206
Ibid, hlm.34 Ibid, hlm.504 208 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.75 207
122
Sikap nusyuz suami ini dalam arti luas pada praktiknya dalam kehidupan masyarakat saat ini cenderung diidentikkan kepada istilah tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hukum positif mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurut Undang-undang tersebut bahwa : “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” 209 Adapun asas dan tujuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 yaitu : Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a penghormatan hak asasi manusia b keadilan dan keseteraan gender c nondiskriminasi dan d perlindungan korban 210 Selanjutnya dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.211 Adapun kekerasan yang dilarang dalam rumah tangga dalam Pasal 5 menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi ; kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang 209
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Umbara, Bandung, 2004, hlm.2 210 Ibid, hlm.4 211 Ibid, hlm. 4
123
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. 212 Kasus-kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual sangat sering terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut biasanya menjadi dasar atau alasan bagi isteri untuk mengajukan cerai gugat kepada Pengadilan Agama. Seperti penuturan Nyonya L pada majalah Nova yang sering disiksa oleh suaminya yang ingin menikah lagi yaitu : Pertama kali, paha saya disulut rokok menyala, saya selalu disiksa hingga saya harus mengungsi. Belum lama saya mengungsi, suami saya menyusul saya ke Pekanbaru dan mengajak saya pulang. Tapi begitu sampai di Medan, dia menyiksa saya lagi. Saya dicekoki bir sampai tiga botol. Saya juga dipaksa menghisap ganja. Kalau menolak, maka kaki saya ditetesi lilin. Hal ini berlaku berulang-ulang. Saya tidak tahan lagi namun tidak bisa kabur darinya. Puncaknya adalah ketika saya disekap di kamar tidur kami lalu ia menampar dan memukuli saya seperti orang kesurupan kemudian dia memasukkan seorang wanita yang ingin dinikahinya dan langsung melakukan hubungan intim dihadapan saya. Saya dipaksa menonton. Kalau saya berpaling langsung ditampar. Setelah malam itu saya merasa ingin mati saja dan untungnya bisa kabur. 213 Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri juga banyak terjadi di masayarakat. Sebagaimana penuturan Nyonya RJ dalam sebuah majalah mencurahkan isi hatinya tentang perubahan tingkah laku suaminya ketika suaminya telah memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) sebagai berikut : Dulu sebelum ia mempunyai WIL dia selalu memperhatikan saya, dia selalu merayu dan mencumbu saya sebelum berhubungan dan membisikkan kata-kata cinta di telinga saya sebelum kami tertidur. Tapi semua keindahan itu sirna dengan 212 213
Ibid, hlm. 5-6 NOVA, Nomor 587/XII-30 Mei 1999, hlm.4-5
124
datangnya WIL tersebut. Dia tidak pernah lagi memperhatikan saya, ia menyalurkan kebutuhan biologisnya sesuka hatinya. Sakit hati saya, apalagi jika ia membanding-bandingkan saya dengan WIL tersebut. 214 Berbeda dengan kasus Nyonya RJ tersebut di atas, Nyonya M yang berusia 35 tahun menceritakan dalam majalah tersebut bahwa suaminya yang memiliki pekerjaan sebagai pekerja kontrak di kapal telah membuat suaminya jarang pulang selama berbulan-bulan. Setiap suaminya pulang mereka berdua menumpahkan seluruh kerinduan mereka dan biasanya suaminya tidak peduli lagi apakah ia sedang haid atau tidak. Islam mengajarkan untuk memperlakukan isteri dengan baik, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berhubungan intim. Sebagaimana terdapat dalam Q.S al Baqarah : 222 yang artinya sebagai berikut : Mereka bertanya kepada engkau tentang haid. Katakanlah, itu suatu kotoran sebab itu hindarkanlah perempuan-perempuan ketika mereka dalam keadaan haid, dan janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sehingga mereka suci. Apabila mereka bersuci bersetubuhlah kamu dengan mereka sebagaimana Allah telah menyuruhmu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taubat dan mengasihi orangorang yang bersuci. 215 Kekerasan dalam rumah tangga dapat juga terjadi karena faktor kehadiran pihak ketiga. Kehadiran pihak ketiga dalam rumah tangga bukanlah suatu hal yang buruk, selama masing-masing pihak masih dapat berfikir jernih dalam menyikapi perilaku-perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu campur tangan pihak ketiga dalam hal ini biasanya mertua (ibu suami) dapat memicu terjadinya kekerasan yang timbul. Ibu mertua yang tidak menyukai menantunya dapat
214 215
Majalah Mingguan TIARA, Nomor 53 Tahun 1992, hlm.7 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.33
125
mengakibatkan anak (suami) bingung dalam bertindak, apakah ia harus memilih ibunya atau isterinya. Dalam hal ini banyak faktor yang mendukung untuk terjadinya kekerasan terhadap isteri. Jika ibu mertua sudah tidak suka kepada menantunya, maka apapun yang dilakukan menantunya tidak akan benar di matanya. Ibu mertua akan mulai menjelek-jelekkan menantunya sehingga hal ini dapat menicu kebencian suami terhadap isteri, hingga tak jarang suami mau memukul, menampar dan menyakiti isteri baik secara fisik maupun psikologis (dengan kata-kata kasar). Banyak kasus di dalam masyarakat terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga adalah disebabkan oleh ibu mertua seperti pada halnya kasus Anshar, warga Lubuk Pakam, yang berusia 36 tahun merasa bingung harus memilih antara ibunya yang merupakan kewajibannya untuk merawatnya dan isteri yang juga merupakan kewajibannya untuk menafkahinya. Kebingungannya berawal dari dari sikap ibu dan isterinya yang bermusuhan sehingga tidak mau lagi serumah, yang akhirnya ia mengkontrakkan sebuah rumah untuk ibunya. Hal ini tentunya menambah marah si isteri karena merasa uang belanjanya berkurang. Ditambah lagi suaminya sering ke rumah ibunya untuk menemaninya. Maka isterinya pun sering marah-marah, yang membuat Anshar tidak betah di rumah dan semakin sering ke rumah ibunya. Pada suatu malam Anshar pulang sangat larut karena menjenguk ibunya yang sedang sakit, sesampainya di rumah ia disambut dengan sindiran oleh isterinya : “Abang
126
kawin ajalah sama mamakmu.” 216 Tanpa disadari oleh Anshar ia pun menampar isterinya hingga tersungkur ke lantai. Pada akhirnya hal tersebut memicu perceraian antara Anshar dan isterinya. Dari kasus di atas terlihat bahwa faktor adanya pihak ketiga dapat memecah keutuhan rumah tangga, bahkan tak jarang ibu sendiri menyuruh anaknya untuk menceraikan isterinya dengan alasan tidak cocok.
E. Analisis Konsep Nusyuz Suami dan Akibatnya Menurut Hukum Perkawinan Islam Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian ulama fikih secara teori berpendapat bahwa istilah nusyuz tidak dilekatkan pada suami melainkan isteri saja. Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada disinggung apalagi dinyatakan secara tegas mengenai istilah nusyuz suami. Pada praktiknya ketika melakukan riset ke Pengadilan Agama dengan mewawancarai beberapa orang hakim pada pengadilan tersebut, langsung dibantah dan dikatakan bahwa nusyuz suami tidak ada dan belum pernah ada putusan yang dibuat seperti itu kecuali putusan pada kasuskasus cerai gugat karena suami tidak melaksanakan kewajibannya sebagai hak dari isteri yang harus dipenuhi atau pelanggaran terhadap sighat taklik talak. Dalam pertimbangan hakim pada pokoknya dalam putusan perceraian berdasarkan cerai gugat biasanya kami para hakim di Pengadilan Agama ini tidak pernah menggunakan kata nusyuz sebagai alasan perceraian karena untuk memvonis isteri yang nusyuz saja harus didasarkan kepada bukti-bukti 216
Hasil wawancara dengan Bapak Anshar di Pengadilan Negeri Agama Lubuk Pakam pada tanggal 19 Juni 2009
127
yang sah apalagi untuk memvonis suami yang nusyuz yang masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih sendiri sementara kami di sini selaku hakim sebagai aparat penegak hukum cenderung berpegang kepada hukum positif yang digariskan, salah satunya Kompilasi Hukum Islam (KHI). 217 Padahal jika dikaji lebih dalam menurut makna yang terdapat pada ayat Q.S an Nisa : 128 jelas menegaskan bahwa Islam mengenal nusyuz suami, dengan arti ayat tersebut sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 218 Berdasarkan analisis yang dilakukan bahwa sebagian pihak berpendapat istilah nusyuz itu tidak dilekatkan pada suami didasarkan kepada beberapa faktor yaitu : 1. Asal kata nusyuz Bahwa “Nusyuz menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata nasyaza-yansyuzu-nusyuuzan yang berarti tinggi atau timbul ke permukaan.” Bila melihat asal kata dan arti kata tersebut akan cenderung lebih sesuai bila istilah nusyuz dilekatkan pada isteri karena isteri kedudukannya di bawah suami/tidak setingkat dengan suami seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada pembahasan status dan kedudukan suami isteri. 217
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Imbalo Siregar, SH, MH, Hakim di pengadilan Negeri Agama Lubuk Pakam. 218 Ibid, hlm.90
128
2. Defenisi/pengertian nusyuz Menurut beberapa ulama yang menyatakan bahwa nusyuz itu adalah sikap kedurhakaan. Dalam hal ini bila dikaitkan dengan Q.S an Nisa : 34 yang artinya sebagai berikut : “Laki-laki itu menjadi tulang punggung (pemimpin) bagi perempuan, sebab Allah melebihkan setengah mereka dari yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberi belanja dari hartanya kepada perempuan…” 219 maka semakin menegaskan status dan kedudukan suami itu lebih tinggi dari isteri dalam rumah tangga, sehingga menyebabkan keberatan untuk melekatkan istilah “kedurhakaan suami” atau “suami durhaka” kepada isteri. Sebab secara logika sederhana, tidak mungkin sesuatu yang posisi/letaknya lebih di atas dikatakan “durhaka” atau melakukan “kedurhakaan” kepada tingkatan di bawahnya, seperti halnya status orangtua yang lebih tinggi dari seorang anak walau sebesar apapun kesalahan/kelalaian orangtua terhadap anaknya, maka tidak pernah ada istilah durhaka itu dilekatkan kepada orangtua atau “orangtua durhaka” terhadap anaknya. Sebaliknya, sebesar apapun pemberian anak kepada orangtuanya begitu pula dengan kesuksesan, kedudukan maupun status seorang anak itu di masyarakat, namun ketika anak tersebut berbuat salah apalagi sampai menyakiti orangtuanya akan dengan cepat dan biasa dikatakan telah “durhaka” atau “anak durhaka”. Namun menurut analisis yang lebih lanjut, bila ditinjau lebih jauh lagi dan dikaitkan dengan defenisi yang diberikan oleh Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu 219
Mahmud Junus, Op. Cit,hlm.76
129
akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” 220 dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yaitu : “Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara yang ditetapkan Allah.” 221 maka walaupun suami itu memiliki status dan kedudukan setingkat lebih tinggi dari isteri namun masih ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi lagi yaitu Allah SWT, karena pertanggungjawaban suami itu pada hakikatnya adalah kepada Allah SWT sesuai dengan ikatan pernikahan yang merupakan ibadah dan melakukan ijab kabul dengan prosesi keagamaan dihadapan Allah sebagai amanah yang akan dituntut pertanggungjawabannya kelak. 3. Adanya sighat taklik talak Pembacaan sighat taklik talak yang dilakukan oleh suami setelah ijab kabul sebagai janjinya kepada isteri dihadapan Allah untuk mempergauli isterinya dengan baik, bertujuan melindungi hak-hak isteri, hal ini semakin menunjukkan bahwa status dan kedudukan isteri itu memang berada di bawah suami. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa alasan tersebut di atas maka nusyuz seharusnya tidak hanya dilekatkan pada isteri saja namun pada suami juga. Akan tetapi, bila ada yang keberatan istilah nusyuz suami itu kurang tepat dikatakan kepada 220
Ungkapan “akad yang sangat kuat” merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit hlm.7 221 Muslich Maruzi, Op.Cit, hlm. 120
130
isteri atau “suami telah nusyuz kepada isteri” adalah karena melihat kedudukan, status dan derajat fitrah seorang suami yang telah digariskan lebih tinggi sebagai pemimpin/imam dalam rumah tangga menurut hukum Islam, sebagaimana yang telah diuraikan di atas mulai dari proses penciptaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam hal ini analisis keberatan terhadap istilah nusyuz yang dilekatkan kepada suami oleh karena ada beberapa pendapat salah satunya Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa : “Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap isteri”. 222 Begitu juga dengan Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa seorang suami telah durhaka kepada Allah apabila tidak memenuhi hak isteri terutama hak biologis isteri sebagaimana yang telah diuraikan di atas sebelumnya. Pada dasarnya hukum perkawinan Islam mengenal konsep nusyuz yaitu nusyuz dari pihak isteri dan suami. Akan tetapi, dalam hukum positif tentang perkawinan yang berlaku dan menurut seluruh ahli fikih dengan tegas sepakat menyatakan adanya nusyuz isteri kepada suami, namun tidak demikian dengan nusyuz suami kepada isteri yang memiliki perbedaan pendapat di kalangan sebagian fuqaha. 1. Nusyuz suami mengakibatkan pelanggaran terhadap taklik talak a. Pengertian taklik talak Pasal 1 huruf e Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan “Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa 222
Ibnu Qudamah, Op. Cit, hlm.235
131
janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.” 223 Kata taklik talak merupakan kosa kata yang akrab dan populer di Indonesia dan istilah yang kurang populer di Indonesia dan istilah yang kurang populer pemakaiannya dalam fikih Islam. Taklik talak itu sendiri merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu kata taklik dan talak. Kata taklik merupakan masdar dari kata “allaqa yang konjugasinya adalah menggantungkan atau mengaitkan. Dan kata talak berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar yang konjugasinya adalah melepaskan atau mengurai tali pengikat.” 224 Secara terminologi kata taklik talak tidak populer pemakaiannya dalam ilmu fikih, tetapi istilah yang galib dipakai dan memiliki maksud yang sama dengan taklik talak dalam rumusan yang berbeda, oleh Ahmad al-Gundur disebutkan dengan talak mu’allaq, adalah setiap talak yang disertai dengan syarat oleh orang yang mengucapkannya, serta terdapatnya hubungan jatuhnya talak dengan syarat dan taklik. 225 Dalam literatur yang berbahasa Indonesia seperti yang dirumuskan oleh Moh. Anwar disebutkan bahwa “taklik talak atau talak mu'allak adalah menyandarkan jatuhnya talak kepada sesuatu perkara, baik ucapan, perbuatan, maupun waktu tertentu.” 226 Definisi taklik talak yang lebih bersifat praktis dikemukakan oleh Kamal Mukhtar sebagai “talak yang digantungkan dan diucapkan oleh suami dan dikaitkan 223
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm.6 Louis Ma’luf, Al Munjid fi al Lughah, Dar al Masyruq, Libanon, Beirut, 1992, hlm.348 225 Ahmad Al Gundur, Al Talaq fi Syaria’ah al Islamiyah Waal Qanun, Darul Ma’rifah, Mesir, Kairo, 1977, hlm.200 226 Moh. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Diponegoro, Bandung, 1991, hlm.66 224
132
dengan iwad sesudah aqad nikah sebagai suatu perjanjian perkawinan mengikat suaminya.” 227 Definisi yang dikemukakan Kamal Mukhtar di atas berbeda dengan tiga definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, karena dengan penyebutan iwad dan mengkategorikannya kepada perjanjian berarti definisi taklik talak yang lebih bersifat praktis dan temporal dari pada universal konseptional. Pengertian talaq mu'allaq yang selanjutnya dalam tesis ini disebut taklik talak yang dikemukakannya dalam berbagai doktrin fikih dan pengertian yang dikemukakannya dalam berbagai doktrin fikih dan pengertian yang dikemukakan oleh penulis Indonesia pada umumnya, menempatkan taklik talak searah dengan talak. Dalam pengertian bahwa taklik talak yang diucapkan suami tidak perlu memperoleh persetujuan dari isteri. “Pengertian taklik talak seperti ini tidak sejalan dengan asas perkawinan di Indonesia yang menempatkan suami isteri pada derajat yang sama.” 228 Selanjutnya dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1) taklik talak dan 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Begitu pula yang diatur dalam Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga ayat yaitu: (1) isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguhsungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
227
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm.207 228 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.26
133
dapat dicabut kembali. 229 Kemudian syarat sahnya taklik talak ada tiga, yaitu: 1. Perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi kemudian, jika perkaranya telah nyata ada sungguh-sungguh ketika diucapkan kata-kata talak, seperti: jika matahari terbit, maka engkau tertalak. Sedangkan kenyataan matahari sudah nyata terbit, maka ucapan yang seperti ini digolongkan tanjiz (seketika berlaku), sekalipun diucapkan dalam bentuk taklik. Jika takliknya kepada perkara yang mustahil, maka ini dipandang main-main, umpamanya: jika ada onta masuk dalam lobang jarum, maka engkau tertalak. 2. Hendaknya isteri ketika lahirnya aqad (talak) dapat dijatuhi talak, umpamanya karena isteri ada di dalam pemeliharaannya. 3. Ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan isteri berada dalam pemeliharaan suami. 230 Taklik talak merupakan suatu pernyataan kehendak sepihak dari sang suami yang segera diucapkan setelah akad nikah itu berlangsung dan tertera dalam akta nikah, taklik talak ini dilakukan untuk memperbaiki dan melindungi hak-hak seorang wanita yang dijunjung tinggi oleh kedatangan Islam. Akan tetapi sangat disayangkan kebanyakan isteri tidak mau memperhatikan taklik talak itu ketika diucapkan oleh sang suami. Bahkan karena bukan termasuk rukun nikah, ada suami yang tidak mengucapkan ikrar taklik talak tersebut setelah selesai ijab kabul dan diterima oleh isteri. Suatu tradisi yang berlaku di daerah Sumatera Timur apabila akad nikah itu berlangsung, mempelai wanita tidak turut serta hadir di majelis pernikahan.
229
Bahan Penyuluhan Hukum Undang-undang Nomo 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2001, hlm.166 dan 174 230 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm.39-40
134
Mempelai wanita tetap berada di dalam kamar. Untuk memperoleh keteranganketerangan yang diperlukan dari calon isteri. Petugas Pencatat Nikah terpaksa harus masuk ke kamar. Alangkah besar faedahnya apabila mempelai wanita itu juga turut serta bersama-sama hadir di majelis pernikahan untuk mempersiapkan secara langsung apa yang diucapkan oleh sang suami sebagai ijab kabul pernikahan dan ia akan mengetahui cara bagaimana harus ditempuhnya apabila sang suami menyakiti hatinya atau suami tidak menghiraukan kewajibannya terhadap isteri dan lain-lain. Sudah merupakan suatu kelaziman apabila sebagai akad, akan dilangsungkan ucapan memberi nasehat oleh yang dianggap patut. Sebaiknya nasehat itu didengar dan diperhatikan oleh kedua belah pihak yang akan berperan sebagai pengendali rumah tangga yang bersangkutan. Demikian taklik yang dibuat Pemerintah yang mesti diucapkan oleh sang suami setelah upacara akad nikah dilangsungkan. Taklik itu dapat ditambah, jika ada permintaan dari pihak sang isteri, umpamanya sang isteri tidak akan dimadukan, jika dimadukan dan jika dia tidak sabar, sang isteri dapat minta fasakh kepada Pengadilan Agama dan sang suami membayar sejumlah kerugian. Demikian juga dalam soal harta benda dapat diatur di dalam taklik. Di samping taklik yang boleh dan sah, ada pula taklik yang tidak boleh, yaitu yang bertentangan dengan hukum Islam, bertentangan dengan akhlak, moral dan susila, yaitu jika di dalam taklik disebutkan, bahwa sang suami memberikan hak
135
kepada sang isteri untuk berkunjung ke tempat-tempat yang tidak sopan. Atau sang isteri selama dalam perkawinan tidak dapat belanja (nafkah) dari sang suami. Atau jika sang suami atau isteri meninggal tidak saling pusaka mempusakai. “Semua taklik tersebut tidak diakui oleh hukum Islam dan oleh sebab itu tidak sah. Namun, perkawinan tetap sah dengan pengertian taklik yang tersebut di atas itu tidak berlaku.” 231 b. Bentuk taklik talak Sayid Sabiq menguraikan dalam fiqih sunnah mengatakan bahwa taklik talak itu ada dua macam bentuknya, yaitu: a. Taklik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Dan taklik seperti ini disebut dengan ta'liq qasami. b. Taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bisa telah terpenuhi syarat ta'liq. Ta'liq seperti ini disebut dengan ta'liq syarti. 232 Dari dua bentuk taklik di atas dapat dibedakan dengan kata-kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta'liq qasamy, suami bersumpah untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada ta'liq syarty suami mengajukan syarat dengan maksud jika syarat itu ada maka jatuhlah talak suami pada isterinya. “Ulama berbeda pendapat tentang jatuh atau tidaknya talak dengan dua formulasi di atas. Jumhur Ulama berpendapat bahwa dua bentuk taklik yang dikaitkan dengan talak apabila yang ditaklikkan terjadi maka talaknya jatuh.” 233 Sedangkan Ibnu Hazm dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah berpendapat bahwa “taklik yang 231
T.Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Percetakan Mestika, Medan, 1977, hlm.268. 232 Sayid Sabiq, Op.Cit, hlm.40 233 Zakiyuddin Sya’ban, Jurnal Al Ahkam Al Syar’iyah li al Ahwal al Syakhsiyah, Darul Nahdah ‘Arabiyah, Mesir, Kairo, 1967, hlm.442
136
di dalamnya terkandung maksud sumpah (qasam) tidak berakibat jatuhnya talak, akan tetapi wajib membayar kifarat sumpah dan taklik yang di dalamnya terkandung syarat yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak ketika terjadinya sesuatu yang disyaratkan, maka talak itu jatuh.” 234 Al-Gundur membagi talaq mu'allaq itu kepada empat bagian, yaitu: 1. Bahwa taklik dimaksudkan untuk menjatuhkan talak apabila yang ditaklikkan benar-benar terjadi. 2. Bahwa taklik hanya dimaksudkan untuk menakut-nakuti isterinya, bukan untuk menjatuhkan talak. 3. Bahwa taklik hanya dimaksudkan untuk menyakinkan orang lain tentang sesuatu yang diperbuatnya. 4. Bahwa taklik hanya dimaksudkan untuk memberikan dorongan kepada dirinya dalam melakukan sesuatu. 235 Dari empat macam taklik yang dikemukakan oleh Al-Gundur, Jumhur Ulama berpendapat, “taklik yang dikemukakan suami kepada isterinya dalam bentuk yang manapun akan membawa konsekuensi talak jatuh bila yang ditaklikkan terwujud, tidak terdapat perbedaan hukum antara empat macam taklik tersebut.” 236
Pendapat
yang berbeda dikemukakan oleh Ibnu Hazm bahwa talak yang dikaitkan jatuhnya pada masa yang akan datang tidak membawa konsekuensi apapun terhadap talak. Selanjutnya Muhammad Yusuf Musa mengemukakan pendapatnya bahwa taklik talak yang diucapkan suami dapat membawa konsekuensi jatuhnya talak suami kepada isteri apabila dipenuhi syarat sebagai berikut:
234
Ibnu Hazm, Op.Cit, hlm.258-260 Ahmad Al Gundur, Op.Cit, hlm.201 236 Ibid, hlm.206-207 235
137
1. Bahwa yang ditaklikkan itu adalah sesuatu yang belum ada ketika taklik diucapkan tetapi dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang. 2. Pada saat taklik talak diucapkan taklik (isteri) sudah menjadi isteri sah bagi pengucap taklik. 3. Pada saat taklik talak diucapkan suami isteri berada dalam majelis tersebut. 237 Selain pembagian bentuk taklik talak yang dikemukakan Sayid Sabiq di atas, perjanjian taklik talak ini dapat juga dilihat dari waktu pengucapannya, yaitu: 1. Taklik talak diucapkan sebelum perkawinan dilangsungkan. 2. Taklik talak diucapkan setelah perkawinan dilangsungkan. Ibnu Human memberikan komentarnya tentang taklik yang diucapkan seorang laki-laki bahwa talak yang dihubungkan dengan syarat apabila di kemudian hari syarat yang ditaklikkan terpenuhi, maka talaknya jatuh. Dalam hal ini beliau memberikan komentar lebih lanjut bahwa meski obyek taklik belum menjadi isterinya pada saat taklik diucapkan, tetapi kalau taklik diucapkan dan yang ditaklikkan terjadi di kemudian hari, maka talaknya jatuh. Sebagai contoh seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan jika nanti saya menikahimu, maka engkau tertalak. Kemudian ternyata perempuan tersebut menjadi isterinya di kemudian hari, maka talak suami jatuh kepada isteri dengan sebab adanya taklik tersebut. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Syarbaini bahwa, lafaz ta'liq yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak haruslah diucapkan kepada seorang isteri yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah. Dengan perkataan lain taklik yang diucapkan sebelum pernikahan berlangsung tidak memberikan konsekuensi apapun terhadap eksistensi hubungan suami isteri. 238 Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang bentuk taklik yang berdampak jatuhnya talak, tetapi menurut A Jamil Latif bahwa : Perbedaan yang mendasar antara taklik yang ada dalam kitab fiqih dengan yang ada di Indonesia adalah, kalau fiqh suami sebagai subyek talak sedangkan taklik di Indonesia isterilah yang menjadi subyek talak. Selain itu 237
Muhammad Yusuf Musa, Al Ahkam Al Syakhsiyah Fi Al Fiqh Al Islamy, Dar Al Kutub Al Arabiyah, Mesir, Kairo, 1956, hlm.273 238 Muhammad Ibn Abdul Wahid alias Ibn Human, Fath Al Qadir, Tijarah Al Kubra, Mesir, Kairo, 1972, hlm.128
138
dalam kitab fiqh juga tidak dikenal adanya pembakuan sighat taklik, meskipun taklik tersebut dikhususkan pemakaiannya kepada taklik talak. Berbeda halnya dengan taklik talak yang dikenal di Indonesia, yaitu: a) Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Perjanjian sebagaimana tersebut pada ayat (1) dibuat rangkap empat di atas kertas bermeterai menurut peraturan yang berlaku; lembar pertama untuk suami, lembar kedua untuk isteri, lembar ketiga untuk PPN dan lembar keempat untuk pengadilan. c) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah jika perjanjian itu dibaca dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan. d) Sighat taklik talak ditetapkan Menteri Agama. e) Tentang ada atau tidaknya perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dicatat di dalam daftar pemeriksaan nikah. 239 c. Taklik talak sebagai alasan perceraian Permulaan taklik talak dijadikan sebagai alasan perceraian adalah sesuatu hal yang sulit memastikannya. Keadaan ini berkaitan erat dengan kesulitan menentukan secara tepat kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia,
walaupun menurut
kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963 dan kemudian dikukuhkan kembali dalam Seminar Sejarah Islam di Banda Aceh (sekarang: Nanggroe Aceh Darussalam) tahun 1978 bahwa : “Agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah, langsung dari tanah Arab. Tetapi Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa yang paling memungkinkan adalah Islam masuk ke Indonesia permulaannya disebarkan oleh para
239
hlm.62-63.
A. Jamil Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
139
saudagar muslim dari India pada abad kedua belas.” 240 Oleh karena itu, yang paling mungkin dapat dikemukakan di sini adalah, “taklik talak sudah dilembagakan sebagai alasan perceraian oleh Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1630 Miladiyah di saat beliau sebagai raja Kerajaan Mataram.” 241 Gagasan pelembagaan perjanjian taklik talak setiap selesai akad nikah tujuan utamanya adalah sebagai alat bagi seorang perempuan untuk melepaskan diri dari kesewenang-wenangan suami pada masa itu, atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian taklik talak ini tujuannya adalah untuk alasan perceraian. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah ayah kandung Hamka, tahun 1916 pada saat pertama kali taklik talak ini dicetuskannya. Setelah pemerintahan Hindia Belanda mulai mengatur Pengadilan Agama yang ditandai dengan keluarnya Keputusan Raja Belanda Nomor 24 Tahun 1882. Stb. 1882 No. 152, maka taklik talak dimaksudkan sebagai alasan perceraian. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 2a, Stb. 1882 No. 152 yang menyebutkan bahwa: “Pengadilan
Agama
semata-mata
hanya
berkuasa
memeriksa
perselisihan-
perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain tentang talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama, dan berkuasa memutuskan perceraian, dan
240
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm.70 241 Ibid, hlm.71
140
menyatakan syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkannya (taklik talak).” 242 Setelah adanya amandemen terhadap Stb.1882 No.152, yaitu dengan diberlakukannya Stb.1937 No.116 dan 610 untuk Pengadilan Agama dan pembentukan Mahkamah Agung Tinggi di Jawa dan Madura dan Stb. 1937 No.638 dan 639 untuk pembentukan Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur, taklik talak ini tetap dijadikan sebagai alasan perceraian. Dalam konteks taklik talak sebagai alasan perceraian dapat dilihat dalam berbagai kumpulan putusan Pengadilan Agama yang telah dibukukan dan keputusan tersebut antara lain dapat dilihat dari : Keputusan Raad Agama Majalengka tanggal 2 Januari 1910 Nomor 1 Tahun 1910 dengan posisi kasusnya adalah bahwa : Saja djadi bininja nama Soedja tidak suka tidak terima djadi bininya Soedja sebab sudah meninggalkan pada saya 8 tahun lamanya maka saya minta jatuh talak satu karena melanggar perjanjian waktu kawin. Selanjutnya dalam pemeriksaan di depan persidangan didengar keterangan empat orang saksi yang pada pokoknya menerangkan di bawah sumpahnya bahwa Soedja waktu kawin pada Bok Nasifah betul pake muallak 1 tahun jalan laut, 7 bulan jalan darat maka jatuh talak satu pada Bok Nasifah dan Betul Bok Nasifah sudah ditinggalkan delapan tahun lamanya oleh lakinya Nama Soedja. Atas dasar kesaksian tersebut Majelis Hakim yang dipimpin oleh ketua majelisnya Hadji Muhammad Iljas dan Hadji Muhammad Rafi'i, Hadji Muhammad Sanusi masing-masing sebagai Hakim anggota menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi ‘Nama Soedja tetap jatuhkan thalak satu pada Bok Nasifah maka tidak ada halangan boleh kawin pada orang lain sesoedah iddah quru’' tiga kali suci dari hel. Taklik talak sebagai alasan perceraian seperti tersebut dalam putusan Raad Agama Majalengka di atas, pada saat itu belum disertai dengan uang iwad. Penyertaan uang iwad dalam sighat taklik tidak terdapat kesatuan waktu pemberlakuannya, di daerah Minangkabau telah dimulai sejak tahun 1916, sedangkan di tempat lain seperti
242
HAMKA, Op. Cit, hlm.62
141
Jawa Barat baru dimulai pada tahun 1931. 243 Setelah Indonesia merdeka, maka dengan berdasarkan kepada Pasal II aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, taklik talak tetap diakui sebagai alasan perceraian. Bahkan dalam peraturan pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Propinsi untuk daerah Luar Jawa, Madura dan sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur, taklik talak tetap diakui sebagai alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa : “Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memeriksa dan memutus perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam dan memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik sudah berlaku.” 244 Dalam yurisprudensi menunjukkan bahwa “perceraian dengan alasan melanggar taklik talak tetap dibenarkan oleh peraturan yang berlaku, meskipun perkaranya diajukan ke Pengadilan Agama.” 245 Bahkan dalam rentang waktu 29 Desember 1989 pasca diberlakukan Undang-undang Peradilan Agama sampai dengan diberlakukannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, ternyata perceraian dengan alasan melanggar sighat taklik tetap dibenarkan oleh praktek peradilan di Indonesia, mulai
243
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Himpunan Putusan/Penetapan Pengadilan Agama, Jakarta, 1977, hlm.86-87. 244 Ibid,hlm.88 245 Putusan Mahkamah Agung Nomor 37K/AG/1980 tanggal 3 Juni 1981, No.51K/AG/1980 tanggal 16 Desember 1981, No.24K/AG/1980 tanggal 14 April 1982 dan No. 27K/AG/1981 tanggal 18 Juli 1982 dalam Departemen Agama,1983, Himpunan Putusan Kasasi tentang Peradilan Agama, Jakarta, hlm.59 dan 87
142
dari peradilan tingkat pertama dan banding sampai pada tingkat kasasi. d. Tujuan taklik talak Di atas telah diuraikan mengenai dasar hukum taklik talak, pada bagian ini akan dibicarakan pula mengenai tujuan daripada taklik talak. Hikmah dari melakukan perkawinan adalah untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk mencapai hal itu, hendaklah diadakan ikatan perkawinan, yaitu dengan melaksanakan akad nikah. Apabila seseorang telah melaksanakan akad nikah, dengan demikian mereka mengadakan suatu perjanjian untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan tentram. Adapun kutipan shighat taklik talak yang biasanya terdapat pada buku nikah sebagai berikut : Bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli isteri saya yang bernama……………….dengan baik menurut ajaran syari’at Islam. Saya membaca sighat taklik atas isteri saya sebagai berikut. Sewaktu-waktu saya : 1. meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut ; 2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya; 3. atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya; 4. atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan lamanya kemudian isteri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut dan isteri saya membayar uang sebesar Rp 10.000,(sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya maka jatuhlah talak saya 1 (satu) kepadanya. Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam cq Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah untuk keperluan ibadah sosial. 246
246
Kutipan dari Buku Nikah
143
Seperti yang telah disinggung pada uraian terdahulu, bahwa selesai melakukan akad nikah, mempelai laki-laki mengucapkan janji penggantungan talak atas isterinya. Apabila terjadi hal-hal sebagaimana yang disebutkan dalam shighat talik talak tersebut dilanggar oleh suami dan isterinya tidak rela atas perbuatan suaminya itu, dan mengadukan hal tersebut kepada pengadilan atau petugas yang diberi hak, serta pengaduan itu dibenarkan dan diterima oleh pengadilan atau petugas yang diberi hak untuk mengurus pangaduan itu, maka jatuhlah talak suami atas isterinya itu. Bila dilihat tujuan taklik talak sebagaimana yang telah dirumuskan dalam bentuk perjanjian itu, jelaslah taklik talak itu ditujukan guna memperjuangkan nasib para isteri, di mana isteri dapat mengambil inisiatif untuk minta cerai dari suaminya, dengan jalan mengajukan gugatan ke pengadilan, bila ternyata suami melanggar janji taklik talak tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Nani Soewondo dalam bukunya Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, sebagai berikut : “Taklik itu ternyata menguatkan kedudukan wanita, karena demikian ia dapat minta cerai
bila
diperlakukan
dengan
sewenang-wenang,
misalnya
dipukul
dan
sebagainya.” 247 Memang dapat dipahami bahwa hak talak berada di tangan suami, yang merupakan senjata bagi suami untuk menceraikan isteri, suami dapat mentalak isteri bila ia berkehendak, apakah isterinya dalam keadaan nusyuz atau tidak. Sekalipun setelah akad nikah dilangsungkan, suami mengucapkan janji kepada isterinya, bahwa 247
Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Tinta Mas, Jakarta, 1995, hlm.63
144
ia akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan akan mempergauli isterinya dengan baik menurut ajaran syariat Islam. Tapi terkadang suami lupa kepada janji yang telah diucapkannya itu, malah sering terjadi suami melakukan penganiayaan terhadap isterinya. Jadi dengan adanya taklik talak yang telah dirumuskan dalam bentuk perjanjian yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, isteri dapat menghindari tindakan suaminya tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Ny. Soemiyati sebagai berikut: “taklik talak ini diadakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan si isteri supaya tidak dianiaya oleh suami.” 248 Berikut ini adalah salah satu contoh putusan Pengadilan Agama Blora dengan sebab melanggar taklik talak dengan duduk perkara sebagai berikut : Penggugat (Juwar binti Jayadi), umur 21 tahun, tempat tinggal Ds. Kedungtuban. Kab. Blora, adalah istri sah dari Tergugat (Sujak bin Mardi), umur 21 tahun, tempat tinggal Ds. Kedungtuban, Kec. Kedungtuban, Kab. Blora, yang menikah tanggal 5 April 1986. Setelah pelaksanaan akad nikah, Tergugat mengucapkan sigat taklik talak. Perkawinan telah berlangsung selama 4 tahun dan kedua suami-istri telah bergaul secara baik sebagaimana layaknya suami-istri selama 3 tahun dan sudah dikaruniai seorang anak. Dalam gugatannya Penggugat mengemukakan bahwa antara Penggugat dan Tergugat pada saat sekarang telah berpisah tempat tinggal selama 1 tahun lamanya disebabkan hal-hal sebagai berikut: 1. Selalu cekcok dalam rumah tangga, sebab Penggugat tidak pernah diberi nafkah oleh Tergugat, dan Penggugat ketakutan atas tindakan Tergugat, sebab Tergugat sering menganiaya Penggugat. 2. Kemudian Tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat selama 1 tahun dengan tidak pernah meninjau, karena Tergugat sibuk merawat lembunya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mencari Penggugat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan 248
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hlm.116
145
Agama Blora untuk memutuskan cerai antara Penggugat dan Tergugat, karena Tergugat telah melanggar taklik talak. Tergugat dalam jawabannya membenarkan bahwa Penggugat adalah istrinya yang sah serta menyatakan bahwa selama berpisah dengan Penggugat, Tergugat tidak pernah memberikan nafkah wajib kepada Penggugat selama 1 tahun. Setelah melalui proses peradilan, maka Pengadilan Agama Blora memutuskan jatuh talak satu khulu’ dari Tergugat kepada Penggugat dengan iwad Rp 1000,- disebabkan pelanggaran taklik talak. Dan setelah naik banding, Pengadilan Tinggi Agama Semarang membatalkan putusan Pengadilan Agama Blora tersebut, dalam putusannya nomor 51/C/1990, dengan mengadili sendiri: Menolak gugatan Penggugat (Juwartik binti Jayadi). Dengan adanya Keputusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang tersebut berarti suami-istri yang berperkara tetap dalam hubungan sebagai suami istri, tidak bercerai. Pihak Penggugat tidak puas dengan Keputusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang dan oleh karena itu Penggugat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Akhirnya Mahkamah Agung RI membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, dan membenarkan putusan Pengadilan Agama Blora. 249 Selain penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya, di dalam praktik sehari-hari di tengah-tengah masyarakat sering pula terjadi suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Suami adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab atas seluruh biaya yang diperlukan oleh isteri. Di samping itu sering pula terjadi suami meninggalkan isterinya tanpa sepengetahuan isterinya dan tanpa berita sama sekali. Maka untuk menghindarkan hal tersebut di atas, dengan alasan taklik talak, isteri dapat terhindar dari tindakan sewenang-wenang suaminya itu. Hal ini dijelaskan oleh H. Mahmud Yunus, sebagai berikut: “umumnya di Indonesia pada masa sekarang diadakan taklik talak sesudah akad nikah, gunanya supaya isteri jangan teraniaya bila suami berlarut-larut tidak memberikan nafkah kepada isterinya atau hilang lenyap saja dengan tak ada beritanya.” 250
249 250
A. Jamil Latief, Op.Cit, hlm.25 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Hida Karya, Bandung, hlm.129
146
Kalau diperhatikan ayat Al Qur'an yang dijadikan sebagai dasar hukum diperbolehkan mengadakan taklik talak yang dijelaskan dalam Q.S an Nisa :128, yang artinya sebagai berikut : “… kalau isteri mereka khawatir bahwa suami pada suatu waktu nanti akan bertindak nusyuz atau berpaling, maka bolehlah mereka mengadakan perjanjian dan perjanjian itu adalah baik.” 251 Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa apabila seorang isteri khawatir bahwa suaminya akan berpaling pada suatu waktu nanti, mareka boleh mengadakan perjanjian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ayat tersebut ditujukan untuk kepentingan wanita atas tindakan sewenang-wenang suaminya. Pada praktiknya sekalipun talik talak pada dasarnya bertujuan untuk membela nasib wanita, namun pada kenyataannya perceraian di Indonesia kebanyakan terjadi karena pelanggaran taklik talak. Jadi, sighat taklik talak adalah perjanjian yang mengatur agar suami dapat melaksanakan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya sebagai seorang suami pada isteri dengan baik sebagaimana diperjanjikan oleh suami. Hal tersebut berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang hanya menyangkut mengenai benda-benda dan kekayaan suami isteri. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebelum seseorang melangsungkan perkawinan bagi yang mempunyai benda-benda berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan ada kalanya diadakan perjanjian perkawinan. “Perjanjian perkawinan ini dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus dibuat dalam suatu akte
251
Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 90
147
notaris.” 252 2. Nusyuz suami mengakibatkan putusnya perkawinan Nusyuz suami dapat dijadikan alasan bagi seorang isteri untuk mengajukan gugatan perceraian atau yang lazim pada prakteknya disebut dengan cerai gugat kepada Pengadilan Agama untuk memutuskan ikatan perkawinannya. “Cerai gugat yaitu, seorang isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat (suami) dari perkawinan.” 253 Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). “Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad (uang tebusan) sedangkan khulu’ uang tebusan (iwad) menjadi dasar akan terjadinya khulu.” 254 Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
252
Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk menentukan mengenai bentuk dan isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata adalah perjanjian perkawinan yang menyangkut perjanjian percampuran laba rugi. Undang-undang hanya menyebutkan dan mengatur dua contoh perjanjian perkawinan yang banyak dipakai yaitu perjanjian percampuran laba rugi (gemeenschap van winsten verlies) dan perjanjian percampuran penghasilan (gemeenschap van vruchten en inkomsten), yang keduanya juga lazim dinamakan beperktegemeenshap. Lihat R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Inter Masa, Jakarta, 1975, hlm.39 253 Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm.77 254 Ibid, hlm.85
148
Pengadilan Agama dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam. Menurut Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” 255 Selanjutnya Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. f. antara suami isteri terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. suami melanggar taklik talak h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
255
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit, hlm. 38
149
BAB IV PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA TERHADAP KONSEP NUSYUZ
A. Data Perceraian Melalui Putusan Hakim Pengadilan Agama Adapun alasan para hakim dalam pertimbangan hukumnya ketika memutuskan tali perkawinan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah karena alasan tidak ada tanggung jawab, tidak ada keharmonisan, gangguan pihak ketiga dan alasan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan dua tahun terakhir yaitu Laporan Tahunan Pengadilan Agama Lubuk Pakam Tahun 2007 dan 2008. Selanjutnya data yang diperoleh mengenai putusnya perkawinan melalui
150
putusan Pengadilan Agama Lubuk Pakam akan diuraikan secara berturut-turut di bawah ini berdasarkan data dari Laporan Tahunan yang telah diperoleh. 1. Laporan tahunan 2007 Perkara perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama Lubuk Pakam dalam tahun 2007 sebanyak 453 perkara, dengan perincian bahwa perkara cerai talak sebanyak 142 dan perkara cerai gugat sebanyak 311 perkara., merupakan perkara perceraian yang dikabulkan, dengan perincian usia perkawinan sampai perceraian sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2. Data Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2007 DATA USIA PERKAWINAN 16-20
NIKAH SUAMI ISTRI 40 127
CERAI SUAMI 20
ISTRI 30
21-25
150
140
101
115
26-30
138
78
87
92
31-35
54
46
102
97
36-40
33
28
57
50
41-45
24
16
61
46
46-50
9
11
20
20
50 Keatas
5
7
5
3
Jumlah 453 453 453 Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam
453
151
Berdasarkan perkara cerai yang dikabulkan dapat dirinci masa lamanya perkawinan sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini : Tabel 3. Masa Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2007 LAMA PERKAWINAN
JUMLAH PERKARA
PERSENTASE
0-1 Tahun 2-3 Tahun 4-5 Tahun 6-7 Tahun 8-9 Tahun 10-11 Tahun 12-13 Tahun 14-15 Tahun 16-17 Tahun 18-19 Tahun 20 Tahun Keatas
30 perkara 77 perkara 110 perkara 66 perkara 45 perkara 32 perkara 17 perkara 18 perkara 15 perkara 13 perkara 31 perkara
6,62 % 16,99 % 24,28 % 14,56 % 9,93 % 7,06 % 3,75 % 3,97 % 3,31 % 2,86 % 6,84 %
Jumlah
453 perkara
100%
Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam Selanjutnya dari perkara cerai yang dikabulkan maka rincian penyebab terjadinya adalah sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini : Tabel 4. Faktor Penyebab Perceraian Laporan Tahunan 2007 NO.
FAKTOR PENYEBAB
JUMLAH PERKARA
PERSENTASE
1 2 3 4
Tidak ada tanggung jawab Tidak ada keharmonisan Gangguan pihak ketiga Ekonomi
300 130 8 15
66,22 % 28,69 % 1,76 % 3,31 %
Jumlah 453 Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam 2. Laporan tahunan 2008
100%
152
Perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama Lubuk Pakam dalam tahun 2008 sebanyak 639 perkara, dengan perincian bahwa perkara cerai talak sebanyak 179 perkara dan perkara cerai gugat sebanyak 460 perkara, merupakan perkara perceraian yang dikabulkan, dengan perincian usia perkawinan hingga perceraian sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini : Tabel 5. Data Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2008 DATA USIA NIKAH CERAI PERKAWINAN SUAMI ISTRI SUAMI ISTRI 16-20 55 200 10 31 21-25 195 203 65 122 26-30 185 130 163 169 31-35 107 55 134 129 36-40 49 30 116 94 41-45 39 10 80 47 46-50 6 6 41 30 50> 3 5 30 17 Jumlah 639 639 639 Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam
639
Berdasarkan perkara cerai yang dikabulkan, dapat dirinci masa lamanya perkawinan sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini : Tabel 6. Masa Usia Perkawinan Laporan Tahunan 2008 LAMA PERKAWINAN
JUMLAH PERKARA
PERSENTASE
153
0-1 Tahun
71
11,12%
2-3 Tahun
135
21,13%
4-5 Tahun
93
14,56%
6-7 Tahun
95
14,87%
8-9 Tahun
70
10,96%
10-11 Tahun
49
7,66%
12-13 Tahun
29
4,53%
14-15 Tahun
34
5,32%
16-17 Tahun
33
5,16%
18-19 Tahun
17
2,66%
20 >
13
2,03%
Jumlah 639 Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam
100%
Berdasarkan perkara yang dikabulkan, maka rincian penyebab terjadinya perceraian adalah sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini : Tabel 7. Faktor Penyebab Perceraian Laporan Tahunan 2008 NO.
FAKTOR PENYEBAB
JUMLAH PERKARA
PERSENTASE
1.
Tidak ada tanggung jawab
420
64,62 %
2.
Tidak ada keharmonisan
100
14,64 %
3.
Gangguan pihak ketiga
60
9,38 %
4.
Ekonomi
79
11,36 %
639
100 %
Jumlah
Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam B. Analisis Data Perceraian terhadap Konsep Nusyuz Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan pertimbangan hakim pengadilan agama terhadap konsep nusyuz ini sangat langka dan menurut wawancara yang dilakukan terhadap beberapa hakim di Pengadilan Agama Lubuk
154
Pakam bahkan tidak ada petikan putusan hakim yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan mengadili seorang isteri atau suami karena telah nusyuz. Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan dua tahun terakhir seperti yang telah diuraikan di atas. Demikian juga ketika dilakukan penelitian ke Kantor Badan Penasehat Perkawinan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di Tanjung Morawa, bahwa belum pernah ada putusan perceraian yang sampai kepada badan tersebut mengadili putusnya perkawinan dari Pengadilan Agama manapun yang menyatakan putusnya suatu perkawinan karena alasan nusyuz melalui pertimbangan hakim. Namun, konsep atau pengertian nusyuz itu dijadikan oleh para hakim sebagai pertimbangan untuk memutuskan suatu tali perkawinan yaitu bila suami atau isteri tidak melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimanamestinya dalam berumah tangga. Adapun analisis berdasarkan data perceraian dan hasil wawancara yang diperoleh dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama Lubuk Pakam bahwa : 1. Perkara perceraian frekuensinya meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2008. Jika pada tahun 2007 perkara perceraian hanya 453 maka pada tahun 2008 frekuensinya meningkat menjadi 639 perkara. Hal ini berarti perkara perceraian meningkat frekuensinya sebanyak 186 perkara dalam setahun. Padahal menurut hasil wawancara yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama yang sekaligus membawahi/membidangi
Badan
Penasehat
Perkawinan
dan
Pelestarian
Perkawinan (BP4) di Tanjung Morawa, dalam hal ini sebagai sampel mengatakan bahwa : “Kami selalu melakukan tugas terlebih dahulu untuk memberikan nasehat-nasehat kepada setiap catin (calon pengantin) yang akan menikah, agar mendapatkan pengetahuan dalam berumah tangga dengan tujuan terwujudnya
155
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.” 256 2. Untuk jenis perkara perceraian, perkara cerai talak frekuensinya selalu lebih sedikit daripada cerai gugat. Jika pada tahun 2007 frekuensi perkara cerai talak sebanyak 142 dan perkara cerai gugat sebanyak 311 perkara. Selanjutnya pada tahun 2008 frekuensi perkara cerai talak menjadi 179 perkara dan perkara cerai gugat sebanyak 460 perkara. Dengan demikian, untuk perkara cerai talak dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 frekuensinya telah meningkat sebanyak 37 perkara sedangkan untuk perkara cerai gugat meningkat sebanyak 149 perkara. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi isteri menggugat cerai dari suami melalui putusan hakim lebih banyak, yang tentunya mengindikasikan bahwa lebih banyak suami yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan hak isteri dan tentunya membuka peluang perasaan bahwa para isteri cenderung merasa dirinya telah disia-siakan bahkan disakiti oleh suami. 3. Perceraian banyak terjadi pada usia perkawinan yang kurang dari 5 (lima) tahun dan usia pasangan yang masih muda juga turut menjadi faktor pemicu perceraian. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa usia perkawinan yang masih begitu singkat dan masih dalam proses masa saling mengenal satu sama lain antara suami isteri kemudian dihadapkan kepada banyaknya benturan-benturan pemenuhan kebutuhan hidup masing-masing pasangan suami maupun isteri yang belum terpenuhi atau tidak sanggup dipenuhi oleh pasangannya. Analisa ini diperkuat dengan adanya salah satu faktor penyebab perceraian yaitu tidak ada tanggung jawab selalu di atas 60% tiap tahunnya. Tanggung jawab merupakan
256
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. H. Aminullah, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanjung Morawa, tanggal 03 Juli 2009.
156
beban yang bersifat moril karena pada dasarnya sejak lahirnya kewajiban maka dengan seketika lahirlah tanggung jawab. Berikut ini adalah beberapa putusan hakim Pengadilan Agama Lubuk Pakam dalam perkara cerai gugat : Tabel 8. Putusan Hakim Pengadilan Agama Lubuk Pakam Dalam Perkara Cerai Gugat No. 1.
Nomor Putusan 269/Pdt.G/2008/PALpk
Para Pihak Nur Astri Ramadany (P) Melawan Suheri (T)
Alasan Perceraian Tergugat tidak mau bekerja, suka bermain judi dan minumminuman keras.
2.
121/Pdt.G/2008/PALpk
Sulastri (P) Melawan Dedi Soehendi
Tergugat kurang memberikan nafkah belanja, sering pergi malam, pulang larut malam bahkan pulang pagi dan telah menikah lagi dengan wanita lain.
3.
151/Pdt.G/2008/PALpk
Suriyanti (P) Melawan Sumarsono (T)
Tergugat sering marah-marah, sering memaki dan terlalu cemburu kepada penggugat.
4.
295/Pdt.G/2008/PALpk
Tergugat tidak mau bekerja, suka bermain judi dan minumminuman keras
5.
231/Pdt.G/2008/PALpk
Rusni (P) Melawan Riduan Harahap (T) Rosmini (P) Melawan Marbin Silalahi (T)
Tergugat sering bersikap kasar, kejam, selalu memukul penggugat dan suka minumminuman keras.
Sumber data : Kantor Pengadilan Agama Lubuk Pakam Berdasarkan 5 (lima) contoh putusan perkara cerai gugat pada tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa, pada praktiknya para hakim pada Pengadilan Agama Lubuk Pakam telah memutuskan tali perkawinan dalam pertimbangan hukumnya terhadap
157
para suami yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk memenuhi hakhak isteri dalam berumah tangga sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam dan pelanggaran terhadap pelaksanaan kewajiban tersebut berarti telah sesuai dengan konsep dan defenisi nusyuz yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
158
1. Konsep nusyuz ada terdapat dalam perspektif hukum perkawinan Islam yang ditegaskan dalam Q.S An Nisa ayat 34 dan 128 serta Hadits. Konsep nusyuz tidak hanya dilekatkan atau berasal dari pihak isteri semata akan tetapi juga dari pihak suami dengan solusi apabila salah satu pihak baik itu suami maupun isteri telah nusyuz disarankan untuk melakukan perdamaian atau ishlah. Walaupun ada beberapa ahli fikih yang tidak melekatkan istilah nusyuz kepada suami artinya hanya mengakui nusyuz dari pihak isteri saja sedangkan dari pihak suami tidak dan Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit juga tidak melekatkan istilah nusyuz pada pihak suami. 2. Konsep nusyuz suami dan akibatnya menurut hukum perkawinan Islam dapat melanggar taklik talak yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan. Hal ini sejalan dengan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang terdapat pada Pasal 116 khususnya huruf g Kompilasi Hukum Islam, bahwa perceraian dapat terjadi dengan alasan suami telah melanggar taklik talak. Namun perlu diketahui, bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam istilah nusyuz hanya dipedomani untuk menggugurkan hak isteri terhadap suami yang berarti menghilangkan kewajiban suami terhadap isteri selama isteri nusyuz dan bukan atau tidak termasuk sebagai alasan untuk melakukan perceraian. 3. Belum pernah ada pada pertimbangan putusan hakim Pengadilan Agama berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yang menyatakan dengan tegas dalam petikan putusannya telah mengadili dan memutuskan suatu perkawinan
159
dengan alasan nusyuz terutama nusyuz suami secara ekspilisit. Akan tetapi, pada praktiknya para hakim Pengadilan Agama mengambil konsep atau defenisi dari nusyuz itu untuk memutuskan tali perkawinan dalam pertimbangan hukumnya, yaitu suami yang tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimanamestinya terhadap isteri dalam berumah tangga.
B. Saran 1. Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap Kompilasi Hukum Islam yang secara eksplisit tidak melekatkan istilah nusyuz pada suami. 2. Para praktisi hukum khususnya para hakim Pengadilan Agama diharapkan agar lebih menjalankan prinsip mempersulit perceraian karena berdasarkan fakta yang ada bahwa angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun khususnya untuk perkara cerai gugat. 3. Pihak pemerintah perlu saling melakukan koordinasi guna mengadakan pembinaan dan lebih memperhatikan situasi dan kondisi sosial keluarga di masyarakat karena banyaknya kasus perceraian dalam perkara cerai gugat pada Pengadilan Agama adalah disebabkan karena melalaikan kewajiban dan tanggung jawab serta sikap moral yang buruk dari salah satu pasangan terutama suami yang seringkali melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2000
160
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996 Al Anshari, Zakaria, Al Syarqawi ala Al Tahrir, Al Haramain, Jeddah, 1990 Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 1989 Al Gundur, Ahmad, Al Talaq fi Syaria’ah al Islamiyah Waal Qanun, Darul Ma’rifah, Mesir, Kairo, 1977 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Al Jaziri, Abu Bakar Jabir, Pedoman Hidup Muslim, terjemahan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1996. Al Jazry, Abdurrahman Kitab Al Fiqh Ala Al Mazahib Al Arba’ah, Al Taufiqiyah, Mesir, Kairo, 1969 Al Juhaily, Wahbah, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh, Dar al Fikr, Mesir, Kairo 1989 Al Kahlani, Muhammad Ismail, Subulus Salam, diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad, Al Ikhlas, Surabaya, 1995 Al Kurdi, Ahmad Al Hajj, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, DIMAS, Semarang, 1990 Al Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemahan Tafsir al Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1980 Al Masri, Nasrat, Nabi Suami Teladan, terjemahan, Gema Insani Press, Jakarta, 1994 Amini, Ibrahim, Hak-hak Suami dan Isteri, Cahaya, Jakarta, 2008 Anas, Ibrahim, Al Mu’jam Al Wasid, Dar Al Ma’arif, Mesir, Kairo,1972
161
Anwar, Moh., Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Diponegoro, Bandung, 1991 Arabi, Ibnu, Tafsir al Qurtuby, Da ar Shafwat, Mesir, Kairo, 1980. Busyaeri, Kamraeni, Pendidikan Keluarga dalam Islam, Bina Usaha, Yogyakarta, 1990 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005 Daradjat, Zakiyah, Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Daud, Abu, Sunan Abu Daud, Dahlan, Bandung, 1966 Dzuhayati, Siti Ruhaini, Fiqh dan Permasalahan Perempuan Kontemporer, Ababil, Yogyakarta, 1996 F. Mas’udi, Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Mizan, Bandung, 1997 Fuad, Muhammad, Abdul al Baqiy, al Mu’jam al Mufahras li Alfaz Al Quran, Dar al Fikr, Mesir, Kairo, 1981 Hambal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hambal, Dar al Kutub al Alamiah, Beirut, Libanon, 1993 Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005 Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976 Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1980. , Tafsir Al Azhar, Bulan Bintang, Jakarta, 1990. Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
162
Hasyim, Ahmad Syafiq, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam Sebuah Dokumentasi, Mizan, Bandung, 1975 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1961 Hazm, Ibnu, Al Muhalla, Dar Ihyaa at Tuurast al Arabi, Beirut, Libanon, 1997 Husein, Syahruddin, Suatu Pedoman ke Arah Ilmu Hukum, USU Press, Medan, 1996 Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997 Ismail, Ahmad bin, Adawat Al Hijab, Dar ar Shafwat, Mesir, Kairo, 1991 Istiadah, Membangun Bahtera Keluarga Yang Kokoh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Jafizham, T, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Percetakan Mestika, Medan, 1977 J. Schmidt, Alvin, Veiled and Silenced : How Culture Shaped Sexist Theology Macon, Mercer University Press, Georgia, 1989 Junus, Mahmud, Tarjamah Al Quran Al Karim, AL-Ma’arif, Bandung, 1984 Langgulung, Hasan, Dasar-dasar Pendidikan Islam, Al Husna, Jakarta, 1988 Latief, A. Jamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994 Ma’luf, Luwice, Al Munjid fi al Lughah, Al Masyriq, Beirut, Libanon, 1973 Maruzi, Muslich, Koleksi Hadits Sikap dan Pribadi Muslim, Pustaka Amani, Jakarta, 1995 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999 Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 1999
163
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974 Musa, Muhammad Yusuf, Al Ahkam Al Syakhsiyah Fi Al Fiqh Al Islamy, Dar Al Kutub Al Arabiyah, Mesir, Kairo, 1956 Muslim bin al Hajjaj, Abi al Husain, Shahih Muslim, Dar al Kitab al Alamiah, Beirut, Libanon, 1990. Qudamah, Ibnu, Al Mughniy, Mathba’ah Al Qahirah, Mesir, Kairo, 1969 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Ramulyo, Mohammad Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000 Rohman, Dudung Abdul, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Menjaga Moralitas Bangsa Menurut Pandangan Al Quran, Nuansa Aulia, Bandung, 2006 Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid (Aliansi Fiqih Para Mujtahid), terjemahan oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2002 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006. Sadli, Saparinah, Pengembangan Identitas Jender, Gramedia, Jakarta, 1999 Salman, Otje, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1997 Soewondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Tinta Mas, Jakarta, 1995 Subekti, R, Pokok-pokok Hukum Perdata, Inter Masa, Jakarta, 1995 Sunarto, Ahmad, dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, As-Syifa, Semarang, 1993 Taimiyah, Ibnu, Majmu’aha al Fatawa, Dar al Wafa, Mesir, Kairo, 1998
164
Thaib, M. Hasballah, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993 Umar, Nasruddin, Kodrat Perempuan dalam Islam, Lembaga Kajian Agama dan Gender, Jakarta,1995 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996 Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum; Paradigma, Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, 2002
Metode
dan
Dinamika
Wuisman, J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Al Hidayah, Jakarta, 1964 Zuhri, Mohammad, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Istri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007
B. Perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2007 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Umbara, Bandung, 2004 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Gitamedia Press, Surabaya, 1974
C. Kamus Al Marbawi, Muhammad Idris, Kamus Al Marbawi, Al Nasyr, Semarang, 1995 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kashiko, Surabaya, 2006 Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwar Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997
165
Sudarsono, Kamus Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
D. Makalah Bahan Penyuluhan Hukum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2001. Harahap, Hasan Basri, Isteri Nusyuz, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Propinsi Sumatera Utara, Medan, 2005 Makalah Hasil Tanya Jawab dengan Ibu Shinta Nuriyah pada Seminar Nasional Wajah Baru Relasi Suami Isteri, yang diselenggarakan di Kampus Universitas Dharma Agung Medan, pada tanggal 18 Mei 2002 Nuruddin, Amiur, Nusyuz dan Solusinya dalam Perspektif Al Qur’an, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Propinsi Sumatera Utara, Medan, 2003
E. Jurnal Hukum Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Himpunan Putusan/Penetapan Pengadilan Agama, Jakarta, 1977 Putusan Mahkamah Agung Nomor 37K/AG/1980 tanggal 3 Juni 1981, No.51K/AG/1980 tanggal 16 Desember 1981, No.24K/AG/1980 tanggal 14 April 1982 dan No. 27K/AG/1981 tanggal 18 Juli 1982 dalam Departemen Agama,1983, Himpunan Putusan Kasasi tentang Peradilan Agama, Jakarta
F. Hasil Kajian dan Penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn’, LKis Yogyakarta, 2001
G. Majalah NOVA, Nomor 587/XII-30 Mei 1999.
166
TIARA, Nomor 53 Tahun 1992.