24
STAIN Palangka Raya
NUSYŪZ SUAMI: TINJAUAN KE-NUSYŪZ-AN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM H. Syaikhu Abstrak Islam tidak hanya menetapkan peraturan untuk melindungi keluarga dalam arti untuk menjamin keselamatan dan kelestariannya, tetapi juga menetapkan peraturan-peraturan lainnya yang berfungsi untuk menyelesaikan secara tuntas dan sukses dalam segala persoalan hidup, atau sengketa yang timbul dalam keluarga. Jika terjadi ketegangan dalam keluarga maka suami isteri harus merahasiakannya dan berusaha mengatasi serta menyelesaikannya dengan cara yang baik. Salah salah problematika yang sering terjadi dalam sebuah kehidupan rumah tangga adalah sikap nusyūz suami terhadap isteri, yaitu suami bersikap acuh atau tidak mempedulikan isteri dan bersikap sombong terhadapnya dengan menelantarkan nafkah lahir dan nafkah batin, atau bahkan meninggalkan isteri sama sekali atau mendiamkan dan tidak memperdulikannya (i’radl). Bentuknya bisa berupa ucapan, perbuatan, maupun keduanya sekaligus. Dalam hukum Islam, nusyūz bisa terjadi bagi suami maupun istri atau kedua-duanya. Meskipun dalam menghadapi suami yang nusyūz istri bersabar atau mengalah, namun juga dalam hukum Islam membolehkan istri menuntut cerai. Kata kunci: Nusyūz Suami, Hukum Islam
A.
Pendahuluan Melalui pernikahan,1 membentuk rumah tangga yang harmonis merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri, mereka dapat menumpahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan serta menemukan ketenangan jiwa.2 Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram, dan kasih sayang antara suami istri inilah wujud dari keluarga sakinah. 3 Firman Allah dalam surah al-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
Penulis adalah dosen Jurusan Syari’ah STAIN Palangka Raya. Magister pada PPs IAIN Antasari Banjarmasin Konsentrasi Filsafat Hukum Islam, alamat rumah Jl. Widuri II No. 10 G. Obos XII Palangka Raya. 1 Allah menetapkan aturan secara khusus dalam syariat Islam. Lihat A.Ramlan Mardjoned, Keluarga Sakinah, Rumahku Syurgaku, Jakarta: Media Dakwah, 1997, h. 52 2 Shaleh bin Ghonim as-Sadlani, Nusyūz Konflik suami Isteri dan penyelasaiannya, Alih bahasa Muhammad Abdul Ghoffar E M, Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994, h. 11. 3 Juhaya S Praja, Tafsir Hikmah, Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 136
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
25
STAIN Palangka Raya
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”4 Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi juga menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Juga merupakan cara melangsungkan kehidupan umat manusia secara legal dan bertanggungjawab, memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, serta memiliki dimensi sosiologis karena status barunya.5 Oleh karena itu perlu diatur hak dan kewajiban masingmasing. Apabila hak dan kewajiban terpenuhi, maka dambaan suami istri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud karena didasari rasa cinta dan kasih sayang.6 Oleh karena itu kebahagiaan suami tergantung dari istri, dan kebahagiaan istri tergantung dari suami.7 Di antara hak dan kewajiban suami istri adalah; hak istri atas suami, hak suami atas istri dan hak bersama. Hak istri terhadap suaminya 8 seperti: Hak kebendaan yaitu mahar dan nafkah. Serta hak kerohanian, seperti memperlakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri. Hak suami terhadap istrinya ialah : ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya, tidak cembrut di hadapanya, tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi.9 Supaya rumah tangga bahagia dan kekal, diperlukan syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat yang terpenting ialah dipenuhinya hak dan kewajiban masingmasing suami dan istri. Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 bab VI pasal 30,31,32,33 dan 34 disebutkan tentang hak dan kewajiban suami istri.10 Dapat dipahami bahwa kedudukan suami istri mempunyai tanggungjawab yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dalam rumah tangga. Islam mengatur hak-hak suami istri, dan menjadikan hak wanita itu sama dengan hak pria,11 dengan kedudukan pria sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dalam melaksanakan tanggungjawab kadangkala kurang disadari, karena dianggap biasa serta kurangnya pengetahuan suami istri tentang hak dan kewajiban berumah tangga, yang mengakibatkan terabainya hak istri tanpa disadari oleh suami.12 yang berakibat penderitaan fisik dan mental bagi istri. Islam 4
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran, 1985, h. 644 5 M.Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2006, h. 67-68 6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, h. 181 7 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 2-3 8 Suheri Sidik Ismail, Ketenteraman SuamiIstri, Surabaya: Pustaka Ilmu, 1999, h. 35. 9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, Alih Bahasa Moh.Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1987,h.51-52. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., h. 54. 10 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaannya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, h. 336. 11 Musthafa as-Siba’y, Wanita di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, Terj. Chadijah Nasution ,Jakarta: Bulan Bintang, t.t, h. 38. 12 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan, Bandung: Mizan, 1994,. H. 81.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
26
STAIN Palangka Raya
memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan istrinya sebaik mungkin, atau memaksa suaminya memenuhi kewajibannya.13 Meskipun dalam menyikapi suami yang nusyūz, Islam menganjurkan agar istri bersabar dan mengalah, namun Islam juga membolehkan istri menuntut cerai.14 Sayyid Sabiq menyatakan jika suami istri sudah saling membenci dan tidak mengacuhkan pasangannya, maka dibolehkan untuk cerai dengan jalan khulu.15 Pada skala nasional realitas sosial Indonesia memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang domestik (rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam. Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga yang ditemukan oleh berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar daripada yang lainnya, yang inti masalahnya karena suami melalaikan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Melihat realitas hukum, serta usaha untuk memberikan solusi bagi kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan mengusahakan keadilan tidak pernah berhenti. Suatu hukum yang telah dibentuk sebaik mungkin, masih dapat terjadi penilaian atau bahkan usaha penentangan.16 Masalah nusyūz suami dengan segala kriterianya senantiasa relevan dikaji dalam perspektif hukum Islam dan hukum positip karena rasa keadilan terus dicari dan hukum bisa berubah sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kebudayaan yang dialami manusia, dalam Alquran telah menggariskan penyelesaiannya dengan cara yang persuasif dalam menghadapi berbagai masalah dalam hukum perkawinan. B.
Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini,maka diberikan defenisi operasional sebagai berikut : 1. Nusyūz suami, yaitu suami bertindak keras kepada istri, tidak menggaulinya dan tidak pula memberi nafkah, atau sikap acuh tak acuh kepada istri.17 Maksudnya di sini adalah segala prilaku suami yang mendurhakai istrinya dengan cara mengabaikan kewajibannya sebagai suami.
13
Al Imamain al Jalalain Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahally Jalaluddin bin Abdurrahman as Suyuti, Tafsir Alquran al Azhim, Beirut: Dar al Fikri, 1421 H, h. 79 14 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’atil Muslimah, Penerjamah Zaid Husein al-Hamid, Jakarta:Pustaka Amani, 1994, h. 315. 15 Istilah Khulu’ berasal dari bahasa Arab berarti melepas pakaian. Khulu’ mengandung arti bahwa istri melepas pernikahan dengan membayar ganti rugi kepada suami yang berupa pengembalian mahar (mas kawin) kepada suami. Sudarsono, Op.Cit., h. 244. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Masykur AB, Afif Muhammad, Idrus alkaf, Jakarta: Lentera, 2005, h. 456. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, Op.Cit., h. 93. 16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995, h. 69. 17 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid 5, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Intermasa, t.t, h. 232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
27
2.
STAIN Palangka Raya
Hukum Islam,18 yaitu peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan manusia yang berdasarkan Alquran dan alHadits; serta hukum syara’.19 Maksudnya adalah ketentuan-ketentuan Hukum Islam mengenai nusyūz yang termuat di dalam kitab-kitab fiqh atau buku-buku yang bernuansa islami.
C.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap nusyūz, dalam konteks mewujudkan tujuan hukum Islam yang melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan kepemilikan/ harta benda, sedangkan kegunaannya: 1. Bagi ilmu keislaman/hukum, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur yang membahas masalah kriteria nusyūz suami terhadap istri dalam bingkai hukum Islam. 2. Bagi istri/masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman terhadap masalah nusyūz suami dengan segala aspek dan hukumnya, serta menjadi pedoman dalam membina keharmonisan rumah tangga dalam hukum perkawinan Islam. D.
Kajian Pustaka Pada dasarnya studi terhadap nusyūz telah banyak yang memuatnya. Berbagai tulisan tersebut ada yang berbentuk hasil penelitian, dalam kitab tafsir, hadits, dan fiqh. Namun demikian, kajian tersebut sepengetahuan penulis, belum ada yang membahas secara khusus mengenai nusyūz suami dengan segala aspek dan penyelesaiannya menurut hukum Islam. Kajian mengenai Nusyūz suami ditemukan juga dalam berbagai tulisan dengan judul Nusyūz Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya oleh Shaleh bin Ghanim as- sadlani, 20 Prilaku Durkaha Suami Terhadap Isteri oleh M.Thalib. M. Usman al- Kayst dalam tulisannya Problematika Suami isteri. Abu Hayyei alKattani dengan judul Ketika Suami Hidup Bermasalah Bagaimana Mengatasinya. Imam Sulaiman dengan judul Problematika Rumah Tangga dan Kunci Penyelesainnya. Adil Fathi Abfullah dengan judul Ketika Suami hidup Bermasalah Bagaimana Mengatasinya. Dalam kitab Tafsir seperti Tafsir al-Maragi oleh Ahmad Musthafa alMaraghi, Fi zilalil Quran karya Sayyid Kutub, tafsir Al-azhar karya HAMKA dan al-Misbah oleh Qurasy Shihab dll, yang pada intinya menafsirkan surah an-Nisa ayat 34,35, dan 128 dengan berbagai ragam dan pendekatan yang berbeda. Dalam Tafsir Alquran al-Azhim karya Jalalain Jalaluddin al-Mahally, dan Rawa’iul Bayan Tafsiri Ayat Ahkam min Alquran karya Ashabuni yang menyoroti aspek hukumnya.
18
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 100. 19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 199, h. 360.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
28
STAIN Palangka Raya
Dalam kitab-kitab hadits juga ditemui dalam Shahih Bukhari20 pada bab nikah, thalaq, tafsir surah, nafaqat, dan shaum; Shahih Muslim21 pada bab nikah dan hajji; Sunan Ibnu Majah22 pada bab nikah dan thalaq; Sunan Tirmizdi23 pada bab radha’ dan shaum; Sunan Abu Daud 24 pada bab nikah dan zakat; Sunan An- Nasa’i25 pada bab zakat; dan Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari oleh al-Asqalani. Sesuai dengan karekteristik kitab hadits, hadits- hadits tersebut dikutip untuk menginformasikan apa adanya apa yang ditranmisikan kepada mereka, tanpa memberikan komentar, keterangan, ataupun pendapat penulisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa beberapa tulisan di muka hampir seluruhnya memberikan respon terhadap hukum perkawinan khususnya dalam masalah hak dan kewajiban dalam pergaulan suami istri.
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau bersifat kepustakaan (library research).26 Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari, memahami, dan meneliti bahan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya menganalisis bacaan dan membuat kesimpulan dari serangkaian kegiatan penelitian yang berkaitan dengan subjek penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analisis kualitatif. Sedangkan permasalahan yang dikaji adalah nusyūz suami dalam perspektif hukum Islam serta kriteria dan penyelesaian nusyūz suami dengan segala aspeknya. F. Ketentuan Umum tentang Nusyūz 1. Pengertian Nusyūz Istilah nusyūz berasal dari bahasa Arab, berakar dari kalimat
- ) ﻳﻨﺸﺰ,
(
ﻧﺸﺰ
yang artinya ()ارﺗﻔﻊ و اﻣﺘﻨﻊ, yakni terangkat dan tertegah. Jika istilah ini
dirangkaikan dengan kata yang berarti suami dan isteri, maka nusyūz diartikan dengan : ﻧﺸﺰت اﳌﺮأة ﺑﺰوﺟﻬﺎ: اﺳﺘﻌﺼﺖ ﻋﻠﻴﻪ واﺑﻐﻀﺖه, yakni jika isteri membangkang dan
20
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz VI Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiah, t.th. 21 Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Nasaiburi, Shahih Muslim. Beirut, Dar al-Fikr, Juz. I. 22 Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al- Qazwini, Sunan Ibnu Majah Juz I Indonesia, Maktabah Dahlan, t.th 23 Imam Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H 24 Abu Daud Sulaiman al-Asy’at as- Sijistani, Sunan Abu Daud Juz II, Beirut: Dar alFikr 1414 H). 25 Ahmad bin Syuaib bin Ali an-Nasa’i, Sunan An- Nasa’i. Beirut, Dar a;l Fikr, t.th. 26 Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, h. 13
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
29
STAIN Palangka Raya
membenci suaminya.
ﻧﺸﺰ ﺑﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ: ﺟﻔﺎﻫﺎ وأﺿﺮ ﺎ, yakni jika suami membiarkan
isteri terasing dan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan isteri. 27 Dalam kamus al-Munawwir di sebutkan ﻧﺸﻮزartinya kedurhakaan, pertentangan istri terhadap suami, ﻧﺎﺷﺰةartinya istri yang durhaka, menentang terhadap suami.28 Jika nusyūz dilakukan oleh isteri berarti isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami, dengan maksud membangkang suami. Sedangkan nusyūz suami berarti suami bertindak keras kepada isteri, tidak menggaulinya dan tidak pula memberinya nafkah, atau sikap acuh tak acuh kepada isteri.29 Para ahli tafsir mendifinisikan nusyūz sebagai usaha menampakkan kekerasan dalam ucapan, perbuatan, atau keduanya, yang dilakukan oleh suami istri karena kebencian kepada pasangan hidupnya.30 Wahbah al-Zuhaili mengartikan nusyūz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan / atau rasa benci terhadap pasangannya.31 Dalam Ensiklopedi Islam nusyūz berarti perubahan sikap suami atau istri terhadap pasangannya. Nusyūz suami terhadap istri adalah perubahan sikap suami dari yang lembut dan penuh kasih menjadi kasar, atau ramah dan bermuka manis menjadi tak acuh serta bermuka masam. Meninggalkan kewajiban sebagai istri dan bersikap serti diatas merupakan bentuk nusyūz pihak istri.32 Sudarsono mengemukakan nusyūz adalah keadaan dimana suami atau istri meninggalkan kewajiban bersuami istri sehingga menimbulkan ketegangan hubungan rumah tangga keduanya. Nusyūz dapat datang dari suami atau dari istri. Lebih lanjut menurutnya nusyūz yaitu sikap membangkang atau durhaka istri kepada suaminya bahkan membantah atau tidak taat terhadap suaminya.33 Dengan demikian dapat dipahami bahwa nusyūz bisa dilakukan oleh istri terhadap suami, dan bisa pula dilakukan oleh suami terhadap istri. Inti dari nusyūz adalah pelanggaran terhadap nilai moral dan sosial, juga karena ada persoalan yang terjadi dalam rumah tangga. Mungkin salah satu di antara mereka tidak puas dengan sikap dan tingkah laku yang lain, sehingga ganjalan ini menimbulkan perubahan sikap salah seorang di antara keduanya. 2. Dasar Hukum Nusyūz Didalam Alquran dikemukakan beberapa ayat yang berkenaan dengan nusyūz, baik nusyūz yang dilakukan oleh istri terhadap suami, nusyūz suami 27
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lighah wa al-A’lam, Beirut: Darul Masyriq, 1986, h.
809. 28
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1984, h. 1517 Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 252. 30 Suheri Sidik Islmail, Ketenteraman Suami Istri, Surabaya, Pustaka Ilmu, 1999, h. 29
107. 31
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 1989, h. 353 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid 5, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Intermasa, t.th, h. 232 32
33
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Renika Cipta, 1992, h. 248
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
30
STAIN Palangka Raya
terhadap istri ataupun kedua-duanya. Dasar hukum nusyūz istri terhadap suami diterangkan dalam surah An-Nisa (4) ayat 34:
...
“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyūznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”34 Dalam surah An-Nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban istri untuk mentaati suaminya. Jika ternyata dalam realita terjadi nusyūz dari pihak istri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar. Adapun dasar hukum nusyūz suami terhadap isterinya diterangkan dalam surah An-Nisa (4) ayat 128: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyūz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”35 Ayat tersebut di atas menjelaskan jika nusyūz timbul dari pihak suami, Allah SWT sangat menganjurkan agar kedua belah pihak berdamai. Nusyūz yang diperlihatkan oleh suami kepada istrinya ini diibaratkan oleh Muhammad Ali asSayis, sebagai sikap acuh tak acuh saja terhadap istrinya dan tidak mengajaknya berunding lagi dalam persoalan rumah tangga. Ini bisa disebabkan oleh perubahan fisik dan mental seorang istri, yang kurang memperhatikan kerapian dan kecantikannya lagi, sehingga gairah suami sudah hilang pada dirinya. 36 Sedangkan nusyūz yang dilakukan oleh suami istri secara bersama-sama diterangkan dalam surah An-Nisa (4) ayat 35: “Dan jika kamu khawatir ada pertengkaran antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari 34
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1996, h. 123. 35
Ibid., h. 143 36 Muhammad Ali as-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Cairo: Dar al-Fikr al – Arabi, t.th, h.
233.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
31
STAIN Palangka Raya
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”37 Ayat di atas menjelaskan persoalan masalah syiqaq. Juru damai ini akan meneliti kasusnya dan jika ditemukan kemudaratan yang terjadi bagi suami isteri.
3. Nusyūz menurut Para Mufassir Ketentuan tentang nusyūz suami dijelaskan dalam Alquran pada surah anNisa ayat 128. Perlu dikemukakan bebarapa penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut. Al-Baghawi38 dalam kitabnya Ma’alimat-Tanzil fi at-Tafsir wa at-Ta’wil menjelaskan ayat tersebut bahwa, jika seorang perempuan mengetahui adanya kemurkaan dari suaminya, dengan mengasingkan tempat tidurnya, berpaling muka darinya, atau jarang bersamanya, tidaklah ada dosa atas mereka berdua untuk mengadakan suatu perdamaian atau kesepakatan dalam hal giliran dan nafkah. Misalnya suami berkata kepada isteri, ”Engkau telah berusia lanjut, sedang aku ingin menikah dengan wanita yang muda dan cantik, yang lebih aku perbanyak gilirannya daripada engkau. Jika engkau rela dengan hal ini, tetaplah engkau sebagai isteriku. Namun jika engkau tidak suka, maka sampai di sini saja ikatan pernikahan kita.” Jika isteri rela dengan keadaan tersebut, dia seorang wanita yang berbuat baik (muhsinah), dan isteri tidak boleh dipaksa melakukan hal tersebut. Namun jika isteri tidak rela melepaskan haknya, suami tetap berkewajiban menyempurnakan hak-haknya berupa giliran dan nafkah; atau menceraikannya dengan cara yang baik. Sebaliknya, jika suami tetap mempertahankan isterinya dan tetap memberikan hak-haknya sekalipun ia tidak suka lagi terhadapnya, maka suami adalah seorang yang baik (muhsin).39 Jamaluddin al-Qasimy40 dalam tafsir Mahasin at-Ta’wil menjelaskan, jika seorang wanita takut terhadap nusyūz suami, yaitu menjauhnya suami dari isteri dan bersikap sombong terhadapnya, tidak bergaul dengannya, memisahi tempat tidur dan melalaikan pemberian nafkah, atau terhadap sikap acuh suami, dengan meninggalkan isteri, atau jarang berbicara dengan isterinya, atau tidak dudukduduk bersamanya. Keadaan tersebut terjadi karena suami tidak suka lagi terhadap isterinya atau ia menyukai wanita lain yang lebih cantik.
37
Departemen Agama RI,op.cit., h. 123. Nama lengkapnya adalah al-Imam al-Hafiz asy-Syahir Muhyi as-Sunnah Abu Muhammad Ibnu Husin Ibnu Mas’ud Ibnu Muhammad Ibnu al-Farra al-Baghawi asy-Syafi’i. Lihat Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, terj. Faisal Saleh dan Syahdiannor ,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, h. 290. 38
39
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Fara’ al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi al Tafsir wal Ta’wil ,Beirut: Darul Fikr, 1985, juz 2, h. 166. 40 Nama lengkapnya Jamaluddin bin Muhammad Said bin Qasim al-Qasimi termasuk salah seorang ulama besar Syam, lahir tahun 1283 H. Beliau adalah seorang ahli fiqih, mufassir, ahli hadits, ahli sastra, seniman. Lihat Mani’ Abdul Halim Mahmud, op cit, h. 232.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
32
STAIN Palangka Raya
Al Maraghi41 dalam tafsirnya menyatakan bahwa, jika telah terjadi nusyūz pada diri suami dengan terlihatnya tanda-tanda ke-nusyūz-annya, seperti menjauhi isteri, tidak memberi nafkah, tidak adanya saling kasih sayang antara suami isteri; atau suka menyakiti isteri dengan mencela dan memukul; atau tidak mau berbicara dengan isteri. Semua itu bisa terjadi dengan sebab isteri telah tua, tidak baik rupanya, buruk perilakunya, merasa jemu terhadap isteri, adanya wanita lain di hati suami, dan sebab-sebab lainnya. Dalam keadaan seperti ini, tidaklah mengapa (tidak berdosa) jika mereka berdua mengadakan suatu perdamaian atau kesepakatan, bahwa isteri tidak menuntut sebagian hak-haknya dari suami dalam hal nafkah atau giliran, agar isteri tetap berada dalam jaminannya yang mulia. Perdamaian itu bisa juga berupa isteri tidak menuntut sebagian mahar yang belum dilunasi suami, atau tidak menuntut sebagian mut’ah talak, atau kedua-duanya agar suami mau menjatuhkan talak kepada isteri. Semua itu menjadi halal bagi suami jika isteri telah merelakannya, karena menganggap bahwa dalam hal itu terdapat kebaikan suami. Oleh karena itu mengadakan suatu perdamaian itu itu lebih baik daripada melepaskan atau menceraikan isteri, sebab ikatan perkawinan merupakan suatu ikatan yang paling penting untuk dijaga. Sedangkan terjadinya perselisihan antara suami dan isteri serta hal-hal yang berkaitan dengan itu seperti nusyūz, berpaling, tidak harmonis merupakan perkara-perkara alamiah selalu ada pada kehidupan manusia.42 Adapun Wahbah al-Zuhaili menafsirkan ayat tersebut secara umum menyatakan bahwa, jika seorang wanita telah merasakan dan mengalami terjadi nusyūz pada diri suaminya dengan adanya beberapa tanda-tandanya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan nafkah batin kepadanya, tidak mempergaulinya dengan cara kasih dan sayang; atau menyakitinya dengan menghina atau meyakiti fisik, atau dengan tidak mau berbicara dengan isteri. Nusyūz suami tersebut dapat terjadi dengan adanya beberapa sebab, seperti isteri berperangai buruk, isteri sudah terlalu tua atau buruk rupa, suami telah bosan terhadap isteri atau cenderung kepada wanita lainnya.43 Hamka44 memberikan penafsiran bahwa, jika seorang isteri telah merasa cemas melihat sikap suaminya terhadap dirinya. Karena suami sudah benci atau tidak cinta lagi, atau hatinya berpaling kepada wanita lain, sehingga menurut pertimbangannya suasana seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab semakin lama akan membuat rumah tangga menjadi lebih suram. Dalam suasana 41
Muhammad Mustafa al-Maraghi, lahir di Mesir tahun 1881 dan wafat tahun 1945. Beliau adalah seorang ulama dan Guru Besar tafsir, penulis, mantan rektor Universitas al-Azhar, Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam 3 ,Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 164. 42
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 171-172. 43 Wahbah az-Zuhaili, Al Tafsir al-Manir fi al-Aqidah wa al Syariah wa alManhaj ,Beirut: Darul Fikr, 1991, juz 4, h. 295. 44 Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir tahun 1908 di Sumatera Barat dan wafat tahun 1981 di Jakarta. Beliau adalah seorang ulama terkenal, penulis produktif, dan muballig besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, serta ketua MUI yang pertama. Pada tahun 1064 beliau oleh pemerintah saat itu. Dalam tahanan itulah beliau menyelesaikan tafsir alAzhar. Lihat Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, op cit, h. 75.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
33
STAIN Palangka Raya
seperti ini tidaklah terlarang bila ia mengambil inisiatif lebih dahulu mencari penyelesaian dengan membicarakannya dengan suami untuk mencapai jalan damai. Kemudian diadakan pertemuan berdua atau disaksikan oleh keluarga, guna mencari sebab-sebab perubahan sikap itu, apakah berada dalam diri isteri agar segera diperbaiki, atau sudah tidak dapat diperbaiki lagi karena bersifat alami. Jika sikap acuh suami disebabkan seperti isteri sudah tua, banyak anak, atau sakitsakitan, perdamaian bisa ditempuh dengan jalan seperti gilirannya diberikan kepada isteri yang lebih muda, asalkan ia tidak diceraikan. Atau jika suami telah berniat menceraikannya karena merasa tidak mampu beristeri dua, namun isteri berinisiatif membebaskan suami dari beban nafkah zahir atau batin, sehingga suami pun bersedia melanjutkan ikatan perkawinan, hal ini juga boleh. Atau jika memang jalan perceraian yang ditempuh, dengan isteri memberikan tebusan agar suami mentalaknya (khulu’). Namun sebelum langkah ini ditempuh, hendaklah ditimbang dan dipikirkan secara matang, jangan hanya memperturutkan perasaan karena hanya akan memperparah perselisihan. Sebab jalan yang terbaik adalah berdamai dengan tetap mempertahankan ikatan suami isteri.45 Sementara itu M. Qurash Shihab46 menjelaskan ayat tersebut demikian, bahwa jika seorang wanita khawatir menduga dengan adanya tanda-tanda akan nusyūz, keangkuhan yang menyebabkan ia meremehkan isterinya dan menghalangi hak-haknya, atau bahkan hanya sikap berpaling, yakni tidak acuh dari suaminya yang menjadikan sang isteri merasa tidak mendapatkan lagi sikap ramah, baik dalam percakapan atau bersebadan dari suaminya seperti yang pernah dirasakan sebelumnya, dan hal tersebut dapat mengantarkan kepada perceraian, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan antar keduanya perdamaian yang sebenar-benarnya, misalnya isteri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya, dan perdamaian itu dalam segala hal, selama tidak melanggar tuntunan Ilahi adalah lebih baik bagi siapun yang bercekcok termasuk suami isteri, walaupun kekikiran selalu dihadirkan dalam jiwa manusia secara umum. Tetapi itu adalah sifat buruk, karena itu enyahkanlah sifat tersebut. Berdamailah walau dengan mengorbankan sebagian hakmu dan ketahuilah bahwa jika kamu melakukan ihsan, bergaul dengan baik, dan bertaqwa yakni memelihara diri kamu dari aneka keburukan yang mengakibatkan sanksi Allah, antara lain keburukan nusyūz dan sikap tak acuh dan perceraian, maka sesungguhnya Allah sejak dahulu, kini, dan akan datang adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.47 4. Nusyūz Suami dalam Perspektif Hukum Islam Nusyūz yang dilakukan suami bisa dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ucapan sekaligus perbuatan. Berikut beberapa bentuk nusyūz suami terhadap isteri: 45
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004, h. 389. Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang Sul-Sel tahun 1944. Menempuh dan menyelesaikan pendidikan hinga meraih gelar LC, MA, dan Doktor pada bidang Ilmu-ilmu AlQuran dengan Yudisium Summa Cum Laude diserta penghargaan Tingkat I pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Cairo. 47 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qu’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. 2, h. 579. 46
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
34
STAIN Palangka Raya
1.
Tidak melunasi mahar atau mengambilnya kembali. Tujuan menetapkan mahar dalam perkawinan adalah untuk menghormati kedudukan perempuan. Penetapan mahar mutlak menjadi hak perempuan yang akan menjadi isteri seorang laki-laki. Ia boleh menetapkan mahar itu berapa pun banyaknya menurut kemauannya. Sekiranya laki-laki yang hendak menyuntingnya tidak sanggup membayar mahar yang dimintanya danperempuan itu tidak mau meringankannya, maka niat laki-laki itu untuk memperisterinya menjadi batal.48 Karena mahar itu adalah hak isteri, maka manariknya kembali berarti merampas hak orang lain. Merampas hak orang lain adalah suatu perbuatan zalim yang jelas dilarang. Karena itu, suami yang memaksa isterinya mengembalikan maharnya laksana orang yang merampas harta orang lain, sehingan dapat dikatakan ia telah melakukan dosa yang nyata dan terang-terangan. 2. Menelantarkan Nafkah Keluarga Jika suami mengabaikan nafkah keluarga, berarti ia sengaja menciptakan penderitaan bagi anak dan isterinya. Bila nafkah mereka terlantar bisa berakibat terlantarnya aktifitas peribadatannya. Bahkan jika mereka tidak mempunyai iman yang kuat dan lepas kendali, tidak menutup kemungkinan mereka menempuh jalan kesesatan dan kejahatan, seperti mendatangi dukun, menjual diri, mencuri dan lainnya. Dengan menempuh jalan kesesatan ini mereka mendapat dosa dan akan disiksa kelak di akhirat. Jika demikian suami juga ikut menanggung dosa karena maksiat yang telah mereka lakukan, sebagai akibat perbuatan suami. Suamilah yang menyebabkan kehidupan keluarga terjerumus ke jurang kenistaan, oleh itu suami yang menanggung dosa yang paling besar.49 Mengabaikan kewajiban memberikan nafkah keluarga ini maksudnya di sini bisa berupa isteri meminta namun suami tidak memberikannya, atau suami memberikan nafkah tidak mencukupi kebutuhan mininal keluarga, padahal dia mampu. Atau isteri malu meminta haknya, namun suami tidak menyadari kewajibannya sebagai suami untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.50 Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad saw. pernah memperingatkan hal demikian dengan sabda beliau :
ُﻮل َﻛﻔَﻰ ُ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ْﺖ َرﺳ ُ َﺎل َِﲰﻌ َ َﺎص ﻗ ِ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْﻦ َﻋ ْﻤﺮِو ﺑْ ِﻦ اﻟْﻌ ﻀﻴﱢ َﻊ َﻣ ْﻦ ﻳـَﻘُﻮت َ ُﺑِﺎﻟْﻤ َْﺮِء إِﲦًْﺎ أَ ْن ﻳ Dari Abdullah bin Amr bin Ash, berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah sebagai suatu dosa bagi seseorang yang mengabaikan tanggungjawab terhadap orang-orang yang menjadi tangungannya”.51 48
M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami terhadap Isteri Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997, h. 27. 49
M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri sejak Malam Pertama, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, h.154. 50 Nabil Mahmud, Problematika Rumah Tangga dan Kunci Penyelesaiannya, Jakarta: Qisthi Press, 2004, h. 154. 51 Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Daud ,Beirut: Darul Fikr, 1991 ,juz 2, h. 57.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
35
STAIN Palangka Raya
Hadits ini mengungkapkan secara jelas bahwa suami yang mengabaikan atau terlalu pelit dalam memberikan nafkah keluarganya adalah seburuk-buruk manusia. Jika Allah Swt memberikan keluasan kepada seorang hamba, maka janganlah ia mempersempit nafkah bagi keluarganya, namun jangan pula berlebihan. Adapun kadar minimal makan dan pakaian yang menjadi hak isteri adalah senilai yang mampu diberikan oleh suaminya. Bila hak semacam ini tidak dipenuhi oleh suami, berarti ia telah bersikap durhaka terhadap isterinya. 3. Berperilaku Buruk terhadap Isteri Isteri merupakan pasangan hidup bagi seorang laki-laki untuk membentuk sebuah rumah tangga yang diselimuti cinta kasih dan kedamaian. Guna mencapai hal itu, masing-masing pihak harus senantiasa menghormati dan memenuhi apaapa yang menjadi hak pasangannya. Salah satu yang menjadi hak isteri dan kewajiban suami terhadap isterinya adalah mempergaulinya dengan cara yang makruf, sesuai tuntunan syariat Islam. Jika hal ini diabaikan, berarti suami telah melakukan suatu kedurhakaan terhadap isteri yakni menyakiti fisik, menghina dan melukai perasaan, membebani melampaui batas kewajaran, atau menjerumuskan isteri dalam maksiat, serta menyetubuhi isteri saat haid atau pada dubur. 4. Melalaikan Pendidikan bagi Isteri Seorang suami diperintahkan untuk menasihati kelurganya, menyuruh mereka melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari melakukan kemunkaran. Salah satu kewajiban seorang suami adalah mendidik keluarganya tentang hukumhukum Allah dengan penuh tanggungjawab. Maka jika seorang suami melalaikan memberikan pengajaran kepada isteri dan anak-anaknya, berarti suami tersebut telah meninggalkan kewajiban sebagai seorang pemimpin keluarga. 5. Mengusir Isteri dari Rumah Mengusir isteri dari rumah artinya melarang isteri tinggal serumah dengannya. Padahal selama seorang wanita menjadi isteri dari seorang laki-laki, ia berhak untuk tinggal di rumah tempat tinggal suaminya. Sekiranya suami mempunyai masalah dengan isteri, ia tidak boleh dengan semena-mena mengusir isteri dari rumahnya. Maka bila seorang suami mengusir isterinya dari rumah tempat tinggalnya, sekalipun dengan tujuan mendidiknya, suami tersebut telah bersikap nuyuz terhadap isteri. 6. Tidak berlaku adil terhadap isteri-isterinya Seorang suami yang kebetulan mempunyai lebih dari satu isteri, maka kepadanya diwajibkan untuk selalu berlaku adil terhadap isteri-isterinya itu, khususnya dalam hal nafkah dan giliran. Di samping Alquran telah memperingatkan bagi yang merasa tidak dapat berlaku adil agar jangan berpoligami, juga dengan tegas melarang seorang yang memiliki lebih dari seorang isteri lebih cenderung kepada salah satunya. Dengan demikian jika hak isteri tersebut tidak diterimanya, berarti suami telah merampas haknya itu. Suami yang telah merampas hak hak semacam ini berarti telah mendurhakai isterinya. 52 7. Mengabaikan Kebutuhan Seks Isteri Salah satu upaya membahagiakan isteri yang mesti dilakukan oleh seorang suami adalah memberikan kepuasan seksual kepada isterinya. Tanpa kepuasan 52
M. Thalib, op cit, h. 105.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
36
STAIN Palangka Raya
seksual cukup bagi seorang isteri untuk menggapai kebahagiaan. Oleh karena itu seorang suami harus mengupayakan optimalisasi kepuasan seksual isterinya dan memperhatikannya secara sungguh-sungguh. Upaya tersebut antara lain dengan menyadari akan pentingnya kepuasan seksual itu bagi isterinya, menyediakan tempat yang layak, pandai memberikan sentuhan kemesraan, memilih waktu yang tepat,dan memiliki kiat khusus untuk meraih kepuasan seksual.53 Suami yang mengabaikan kebutuhan seksual isteri ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, misalnya isterinya tidak menarik lagi karena sudah tua, suami tertarik dengan wanita lain, suami terlalu berkonsentrasi pada pekerjaan atau kegiatan lain, atau adanya tuntutan salah satu isteri yang ingin memonopoli suami. Namun alasan-alasan tersebut tidak bisa menghapus hak isteri dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya, sehingga suami tetap berkewajiban memenuhinya. 54 8. Melanggar Persyaratan Isteri atau Keluarganya Apabila sebelum seorang laki-laki mempersunting seorang perempuan menjadi isterinya telah disepakati suatu perjanjian dari pihak perempuan atau keluarganya yang mengikat seorang laki-laki untuk diterima menjadi suami dari perempuan tersebut, maka perjanjian tersebut terus berlaku atas diri laki-laki yang menjadi suami untuk dipenuhi sebaik-baiknya. Seorang beriman diwajibkan untuk memenuhi janji-janji yang dibuatnya Dengan adanya pelanggaran atas perjanjian ini, dengan sendirinya isteri boleh melakukan upaya hukum yang sah. 9. Membiarkan atau Mengajak Isteri Berbuat Dosa Termasuk dalam kategori ini adalah suami yang bersikap acuh terhadap nusyūz isterinya, baik karena memang sengaja maupun tidak mampu mengendalikan isteri. Bila ternyata suami mendorong atau bahkan memaksa isteri melakukan perbuatan-perbuatan dosa, maka suami seperti ini telah berbuat durhaka kepada isterinya, sekalipun isterinya itu tidak mau menurutinya. Jika ternyata isterinya menuruti kemauan suami, maka suami menanggung dosa yang sama seperti dosa yang ditanggung isteri, dan manunggung dosa ganda jika suami juga ikut melakukan perbuatan dosa itu bersama isteri.55 Hal ini juga menjadikan isteri dan keluarganya sebagai pelau-pelaku maksiat yang mendapatkan ancaman siksa dari Allah Swt. Sedangkan setiap suami atau orang tua harus menjaga anggota keluarganya dari segala macam perbuatan dosa ataupun syirik, dan hal itu sudah menjadi tangung jawabnya.56 10. Membuka rahasia dan aib isteri Salah satu unsur yang dapat menjaga keharmonisan dan keutuhan hubungan suami isteri adalah apabila masing-masing pihak menjaga rahasia pasangannya. Hal itu sebagai perwujudan kedekatan perasaan dan eratnya jalinan kasih sayang antara mereka berdua.57 Bentuk perbuatan tercela di sini adalah membicarakan kepada orang lain apa-apa yang terjadi antara seseorang dengan 53 54
M. Nipan Abdul Halim, op cit, h. 182. M. Thalib, op cit, h. 62.
55
Ibid, h. 90. Ibid, h. 88. 57 M. Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan istri: Bingkisan untuk Sepasang Pengantim Muslim, Surakarta: Intermedia, 1998, h. 101. 56
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
37
STAIN Palangka Raya
pasangannya saat melakukan hubungan intim, menyebarkan keaiban dan kekurangan isteri, atau memberitahukan kelebihan-kelebihan isteri yang seharusnya menurut aturan syara’ atau adat ditutupi. Karena itu suami yang menyebarkan rahasia isterinya ketika berhubungan badan telah mendurhakai kehormatan isterinya yang wajib ia rahasiakan. 11. Cemburu yang berlebihan Salah satu sifat lelaki saleh dan jantan adalah pencemburu, sebab cemburu menandakan adanya perasaan cinta.Islam memuji laki-laki yang memiliki rasa cemburu dan mencela orang yang tidak memilikinya. Namun selain menganjurkan rasa cemburu, Islam juga menentukan batas-batasnya, yang apabila batas-batas ini dilanggar, dapat merusak bangunan kebahagiaan rumah tangga. Salah satu tanda cemburu yang tercela adalah cemburu yang menyebabkan terhalangnya kemaslahatan dan sebaliknya mendatangkan kerusakan, seperti: Suami melarang isterinya, yang kuat memegang teguh agama untuk mendatangi majelis taklim. Suami melarang isterinya berbicara dengan orang lain. Suami melarang isteri berobat kepada dokter laki-laki sementara dokter perempuan tidak ada.58 Masalah kecemburuan memang merupakan masalah sensitif, sehingga perlu diukur dengan pertimbangan syariat agar tidak terjadi pelanggaran. Suami dan isteri akan selalu merasakan hangatnya kasih sayang dan jalinan cinta, apabila mampu menempatkan perasaan cemburu secara proporsional. G. Analisis Sebagaimana diketahui bahwa nusyūz itu bisa dilakukan oleh isteri terhadap suami, juga bisa dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri dan anakanaknya. Namun karena tabiat perempuan berbeda dengan tabiat laki-laki, maka cara penyelesaiannya juga berbeda, sesuai dengan perilaku nusyūz masingmasing. Terjadinya nusyūz suami disebabkan melalaikan apa-apa yang menjadi hak isteri dan kewajibannya sebagai suami atau kepala rumah tangga. Oleh karena itu, nusyūz suami ini sangat erat kaitannya dengan apa saja yang menjadi kewajibannya khususnya terhadap isterinya. Sementara itu hak dan kewajiban antara suami dan isteri telah jelas aturannya dalam syariat Islam, baik dalam Alquran, Alhadits, maupun melalui metode istimbat hukum ijmak dan qias. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara khusus mengenai nusyūz, hanya mencantumkan tentang hak dan kewajiban suami istri (Bab. IV). Pada prinsipnya dalam Undang-undang ini menerangkan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 84, hanya menyebutkan nusyūz yang dilakukan oleh istri, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Bagi umat Islam, ini memunculkan interpretasi yang berbeda-beda. Kenyataan yang sering mengemuka, istri hanya mahkluk pelengkap suami. Ketentuan dalam Alquran 58
Ibid., h. 131.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
38
STAIN Palangka Raya
yang membicarakan masalah nusyūz istri atau suami termuat dalam ayat 34,35, dan 128 dalam surah An-Nisa. Berdasarkan ayat tersebut, para ahli tafsir kemudian mengemukakan pandangan yang beragam. Berbagai masalah dalam rumah tangga menurut penulis karena kurang bertanggungjawabanya seorang suami. Misalnya dalam hal nafkah, yang merupakan penopang utama berlangsungnya kehidupan suatu rumah tangga, karena rumah tangga mempunyai sejumlah kebutuhan pokok, seperi sandang, pangan, papan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lainnya. Baik hukum syariat maupun perundangan yang berlaku di Indonesia menentukan bahwa suamilah yang berkewajiban menyediakan semua itu untuk keluarganya. Sebagaimana kaidah ushuliyyah yang berbunyi:
ﻣﺎﻻ ﻳﺘﻢ اﻟﻮا ﺟﺐ ا ﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ واﺟﺐ “Perintah wajib tidak akan sempurna kecuali dengan adanya perbuatan lain (yang hukumnya mubah), maka hal itu menjadi wajib pula.”59 Selanjutnya kita lihat dalam ayat yang menjelaskan penyelesaian kedurhakaan isteri tersebut ditutup dengan:
ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼَ ﺗَـْﺒـﻐُﻮْا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”60 Imam Fakhrurrazi memberikan komentar yang menarik mengenai ayat ini, bahwa Allah Swt mengakhiri ayat ini dengan menyebutkan dua sifat-nya yakni al‘Aliy (Yang Maha Tinggi) dan al-Kabir (Yang Maha Besar). Ini merupakan suatu susunan yang sangat sesuai dan indah karena mengandung beberapa aspek: 1. Ayat ini merupakan ancaman 2. Bagi para suami agar tidak melakukan kezaliman terhadap isteri-isteri mereka. 3. Kedudukan suami sebagai pemimpin dalam keluarga bukan menjadi alasan suami untuk bertindak sewenang-wenang terhadap isteri yang telah mentaatinya. Karena Allah lebih tinggi daripada kalian dan lebih besar daripada siapa saja. 4. Sesungguhnya Allah dengan ke-Mahatinggian-Nya dan ke-Mahabesaran-Nya tidak membebani apa yang kalian tidak mampu melakukannya. 5. Sesungguhnya Allah dengan ke-Mahatinggian-Nya dan ke-Mahabesaran-Nya tidak akan menyiksa seorang yang melakukan maksit apabila telah bertobat. Maka apabila seorang isteri telah bertobat dari sikap nusyūz-nya, maka suami lebih lagi melakukan hal tersebut.61 Oleh karena itu, hemat penulis sebelum melangkah pada kehidupan rumah tangga, seharusnya seorang laki-laki mengetahui dengan baik karakter dan macam-macam tanggungjawab yang harus diembannya. Dengan demikian ia bisa mengimplementasikan tanggungjawabnya itu secara seimbang, tidak berlebihlebihan dan tidak kurang dari kebutuhan. Ia harus mampu meletakkan secara urut 59
Wahbah a-Zuhaili, Nadhiratul Dloruriyah asy-Syariah ,Beirut; Muassasah Risalah, 1982, h. 21. 60 Departemen Agama RI. op cit, h. 123. 61 Al-Imam Fakhrurrazi, Tafsir al-Kabir Beirut: Darul Fikr, 1993, juz 4, h. 73.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
39
STAIN Palangka Raya
tanggungjawabnya, yaitu terhadap Tuhan dan agamanya, terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarganya (isteri, anak-anak, kedua orang tua, dan kerabat). Dalam ajaran Islam telah menegaskan bahwa di pundak suamilah tanggung jawab untuk memikirkan dan mengupayakan kemaslahatan bagi keluarganya, bukan menjerumuskannya. Segala keputusan yang diambilnya haruslah berorientasi pada kemaslahatan, sebagaimana kaidah fiqhiyyah berbunyi:
ﺗﺼﺮ ف اﻻﻣﺎم ﻋﻠﻰ اﻟﺮ ﻋﻴﺔ ﻣﻨﻮط ﺑﺎﳌﺼﻠﺤﺔ “Keputusan imam (pemimpin) terhadap rakyatnya itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan.”62 Secara umum bahwa Islam tidak hanya menetapkan peraturan untuk melindungi keluarga dalam arti untuk menjamin keselamatan dan kelestariannya, tetapi juga menetapkan peraturan-peraturan lainnya yang berfungsi untuk menyelesaikan secara tuntas dan sukses dalam segala persoalan hidup, atau sengketa yang timbul dalam keluarga. Jika terjadi ketegangan dalam keluarga maka suami isteri harus merahasiakannya dan berusaha mengatasi serta menyelesaikannya dengan cara yang baik. Penyelesaian nusyūz suami sebagaimana ketentuan Alquran surah an-Nisa ayat 128 adalah dengan melakukan al-shulh antara suami dan isteri. Menurut para mufassir dan fuqaha, bila pada diri suami telah terlihat tanda-tanda nusyūz seperti tidak ada lagi sikap ramah terhadap isteri seperti sebelumnya, baik dalam percakapan maupun dalam pergaulan, suka meninggalkan isteri, tidak mau berbicara dengan isteri, dan lainnya. Upaya perdamaian antara mereka berdua ditempuh dengan tujuan untuk mengembalikan suasana rumah tangga yang harmonis seperti semula, atau paling tidak menjaga keutuhannya. Adapun bentuk perdamaian itu bisa berupa suami atau isteri mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya, atau hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Perdamaian harus dilaksanakan dengan tulus tanpa paksaan. Perdamaian bukan hanya nama, sementara hati semakin memanas hingga hubungan keluarga yang dijalin sesudahnya tidak akan langgeng.63 Jadi bagi wanita saat itu hidup berada dalam ikatan perkawinan dan berada dalam lindungan suami adalah lebih terhormat dan lebih mulia daripada bercerai, sekalipun untuk itu mereka merelakan mengorbankan sebagian hak-haknya atas suami. Apabila berbagai upaya telah ditempuh isteri untuk menghentikan nusyūz suami, baik dengan tidak menuntut sebagian haknya, memberikan nasihat, dan melakukan pendekatan kepada suami, namun suami tetap pada ke-nusyūz-annya. Dalam keadaan demikian, isteri dapat mengadukan perkaranya ke pengadilan agama, karena suami telah mengabaikan kewajiban yang menjadi hak isteri dalam rumah tangga. Dalam sidang penyelesaiannya pengadilan bisa memerintahkan suami agar segera menunaikan semua kewajibannya. Dengan cara seperti itulah menurut penulis isteri diberikan kebebasan untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kerumahtanggaan yang diabaikan suami. 62
Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh (Qawa’idul Fiqhiyyah) ,Jakarta: Bulan Bintang, t. th, h. 62. 63
M. Quraish Shihab, op cit., h. 579.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
40
STAIN Palangka Raya
Dalam kajian hukum Islam mengenai nusyūz suami disebutkan bahwa, upaya pertama yang ditempuh seorang isteri terhadap suaminya yang nusyūz itu adalah dengan melakukan pendekatan dan perdamaian (al shulh) antara mereka berdua sebagaimana yang telah disebutkan, tanpa melibatkan orang lain, sekalipun keluarganya sendiri. Dengan begitu diharapkan permasalahan rumah tangga dapat diselesaikan mereka sendiri, sehingga rahasia rumah tangga tetap terjaga. Di samping itu, dengan langsungg melibatkan keluarga dalam menangani perubahan sikap suami, dikhawatirkan persoalannya menjadi semakin parah. Karena terkadang keluarga pihak isteri memberikan masukan yang salah, hingga menyebabkan persoalan bertambah keruh. Upaya melibatkan pihak keluarga dilakukan bila isteri merasa tidak mampu lagi mengahadapi sikap acuh suami, guna menyadarkan suami akan tanggung jawabnya. H. Kesimpulan Nusyūz suami dalam perspektif hukum Islam adalah perubahan sikap dan perilaku suami yang acuh atau tidak mempedulikan isteri dan bersikap sombong terhadapnya, dengan menelantarkan nafkah lahir dan nafkah batinnya. atau meninggal isteri sama sekali. Nusyūz yang dilakukan bisa dalam bentuk ucapan, perbuatan yang dilakukan suami atau menyuruh orang lain melakukan, atau dalam bentuk ucapan dan perbuatan sekaligus atau karena adanya perubahan fisik atau perilaku isteri, dan sikap buruk suami sendiri yang tidak mengindahkan syariat. Jika nusyūz suami disebabkan perubahan fisik atau sifat pada diri isteri maka penyelesaiannya adalah isteri harus memperbaiki keadaan dirinya, agar kembali mendapat simpati suami. Bila dikarenakan perilaku buruk suami sendiri karena kejahilannya, maka dalam hal ini isteri harus memperingatkan suami akan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak isterinya. Selanjutnya bila upaya di atas tidak membuahkan hasil, ditempuhlah jalan terakhir, isteri meminta suami menceraikannya (khulu’). Cara terakhir bila nusyūz suami dibarengi oleh nusyūz isteri, maka penyelesaiannya adalah masing-masing pihak mengutus seorang hakam untuk menyelesaikannya secara adil guna menemukan jalan terbaik.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
41
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mujieb, Abdul dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Fara’ al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi al Tafsir wal Ta’wil ,Beirut: Darul Fikr, 1985. Al-Imam Fakhrurrazi, Tafsir al-Kabir Beirut: Darul Fikr, 1993. al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqhul Mar’atil Muslimah, Penerjamah Zaid Husein al-Hamid, Jakarta:Pustaka Amani, 1994. al-Maraghi Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, juz 5. A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1984. al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 1989. al-Zuhaili, Wahbah, Nadhiratul Dloruriyah asy-Syariah ,Beirut; Muassalah Risalah, 1982. as Suyuti, Al Imamain al Jalalain Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahally Jalaluddin bin Abdurrahman, Tafsir Alquran al Azhim, Beirut: Dar al Fikri, 1421 H. Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh (Qawa’idul Fiqhiyyah) ,Jakarta: Bulan Bintang, t. th. as-Sadlani, Shaleh bin Ghonim, Nusyūz Konflik suami Isteri dan penyelasaiannya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994 as-Sayis, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Ahkam, Cairo: Dar al-Fikr al – Arabi, t.th, As-Siba’y, Musthafa, Wanita di Antara Hukum Islam dan PerundangUndangan, Terj. Chadijah Nasution ,Jakarta: Bulan Bintang, t.t. az-Zuhaili, Wahbah, Al Tafsir al-Manir fi al-Aqidah wa al Syariah wa alManhaj, Beirut: Darul Fikr, 1991. Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran, 1985 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Hamid, M. Abdul Halim, Bagaimana Membahagiakan istri: Bingkisan untuk Sepasang Pengantim Muslim,(Surakarta: Intermedia, 1998. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004. Ismail, Suheri Sidik, Ketenteraman SuamiIstri, Surabaya: Pustaka Ilmu, 1999 Karsayuda, Muhammad, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2006 M. Nipan, Abdul Halim, Membahagiakan Isteri sejak Malam Pertama, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
42
STAIN Palangka Raya
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005. Ma’luf, Loui,s Al-Munjid fi al-Lighah wa al-A’lam, Beirut: Darul Masyriq, 1986. Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, ,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. Mahmud, Nabil, Problematika Rumah Tangga dan Kunci Penyelesaiannya, Jakarta: Qisthi Press, 2004. Mardjoned, A.Ramlan, Keluarga Sakinah, Rumahku Syurgaku, Jakarta: Media Dakwah, 1997. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Masykur AB, Afif Muhammad, Idrus alkaf, Jakarta: Lentera, 2005. Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Pernikahan, Bandung: Mizan, 1994. Praja, Juhaya S, Tafsir Hikmah, Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 7, Alih Bahasa Moh.Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1987 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQu’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000. Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, 2003.
Jakarta:
Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Daud ,Beirut: Darul Fikr, 1991. Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaannya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Tatapangarsa, Humaidi, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003. Thalib, Muhammad, 20 Perilaku Durhaka Suami terhadap Isteri Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997. Theo Huijbers, Filsafat Hukum,Yogyakarta: Kanisius, 1995. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid 3,5, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Intermasa, t.t.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008