TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA ITTO PD 394/06 Rev. I (F) INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION CENTER OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH AND DEVELOPMENT
TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA
ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F) September 1st 2007 – August 31st 2010
Restoring the Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development and Local Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation
Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP @2008 by Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization (ITTO) This publication was made possible by the generous grant from the ITTO, Yokohama, Japan
Published by ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F) Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD)
Available from ITTO PROJECT, CFNCRD Phone/Fax : 62-251-7194707 Website : www.forda-mof.org E-mail :
[email protected]
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan akhir yang berjudul “Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah Danau Toba” dapat diselesaikan sebagai bentuk penyempurnaan laporan setelah memperhatikan beberapa masukan. Laporan ini sekaligus merupakan pertanggungjawaban sebagai konsultan kajian kebakaran hutan di Danau Toba kepada Program ITTO PD 394/06 Rev.1 (F) “Restoring the Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development and Local Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation”.
Laporan ini telah memadukan kajian konseptual dari berbagai pemahaman mengenai kebakaran hutan, kajian lapangan melalui pengumpulan dan pengamatan data, serta melalui diskusi-diskusi baik secara formal ataupun informal dengan masyarakat dan stakeholder-stakeholder terkait lainnya.
Pada laporan ini juga telah menganalisa wilayah kajian, peristiwa serta faktor-faktor penyebab terkait kebakaran hutan, Laporan ini juga dilengkapi dengan rekomendasi untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di sekitar Danau Toba.
Demikian laporan ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kelestarian ekosistem khususnya di DTA Danau Toba. Terima kasih kami sampaikan atas berbagai informasi dan kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk membantu program ITTO PD 394/06 Rev.1 (F). Semoga kerjasama yang baik ini dapat berlanjut dan dapat bermanfaat khususnya bagi kelestarian ekosistem DTA Danau Toba.
Bogor, Juni 2008
DAFTAR ISI
Halaman I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................
1
B. Tujuan .....................................................................................................
2
C. Metode ....................................................................................................
2
II ANALISA WILAYAH KAJIAN A. Kabupaten Simalungun ...........................................................................
5
B. Kabupaten Karo ......................................................................................
9
C. Kabupaten Samosir .................................................................................
12
III ANALISA KEBAKARAN A. Peristiwa Kebakaran Hutan .....................................................................
15
B. Kondisi Klimatologis ................................................................................
17
D. Karakteristik Lahan .................................................................................
18
E. Tingkat Resiko Kebakaran.......................................................................
19
III ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN A. Penyebab Langsung................................................................................
21
B. Penyebab Utama.....................................................................................
23
IV PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................
26
B. Rekomendasi ..........................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
30
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Kerangka pemikiran kajian hubungan antara faktor-faktor penyebab kebakaran .......................................................................
4
Lahan terbakar pada bukit yang curam di hutan lindung Sibaganding .....................................................................................
6
Lahan yang dibakar untuk pertanian pada lahan marga di Simarjarunjung ................................................................................
7
Gambar 4.
Tanaman pinus yang terbakar di hutan Simarjarunjung ...................
8
Gambar 5.
Limbah hasil panen dan semak belukar sebagai bahan yang berpotensi terbakar di Tiga Runggu ................................................
8
Gambar 6.
Lahan yang terbakar di daerah bukit di Desa Tongging ..................
11
Gambar 7.
Kegiatan pembakaran di Kabupaten Karo ........................................
12
Gambar 8.
Kegiatan pembakaran di Pulau Samosir .........................................
14
Gambar 9.
Distribusi rata-rata tahunan titik api di Provinsi Sumatera Utara .......
15
Gambar 10. Distribusi rata-rata titik api per bulan di Provinsi Sumatera Utara .....
16
Gambar 11. Distribusi luas areal yang terbakar di Aek Nauli, Simalungun, Sumatera Utara, 1997 - 2001...........................................................
17
Gambar 12. Rata-rata curah hujan per bulan dan luas area terbakar di Aek Nauli, Simalungun, Provinsi Sumatera Utara ............................
18
Gambar 2. Gambar 3.
ABSTRACT STUDY ON MAIN CAUSES OF FOREST FIRES IN LAKE TOBA CATCHMENT AREA Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP Forest fires in Lake Toba Catchment Area (LTCA) is one of main factors causing the land degradation in this area. Once the forest was burn, its impact would produce ecological, economical and social disturbances in LTCA. Almost 113 ha of forest area burn every year. Therefore, it requires climatology data, forest/land cover as fire materials, and topography as known as “fire environment triangle”. Forest fire prevention is main key to handle forest fire problems. Main cause of forest fire in LTCA is human activity; therefore, forest fire prevention should be focused on the increasing of human‟s awareness toward forest role and function without neglecting law enforcement and other technical aspects. Basically, there are three approaches in forest fire prevention, namely: education, law enforcement and technical handling. This study used survey method. Primary data were collected through filed observation and depth interview with relevant stakeholders. Main cause of forest fires in LTCA is the using of fire as a cheap, simple and easy tool for land preparation. When fires used without good procedure, it becomes uncontrolled and burn nearest areas. Presence of fuel material in the forest and dry climate condition would speed up the forest fire. Based on observation on nine ex-forest fire locations, it found that direct causes of forest fire in LTCA are: (i) use of fire as land preparation tool, (ii) unintended forest fires, (iii) intended forest fire, and (iv) fires related to protection effort. This study found that five main causes of forest fire, most of them interrelation and interdependent, are: (1) communal land that are not well cultivated, (2) economic incentive and disincentive, (3) limited knowledge on agriculture and fire management, (4) lack of local institution capacity, and (5) unsustainable development program. Therefore, the alternative solutions for forest fire prevention in LTCA are: (i) optimizing of land use in the LTCA, (ii) program on land preparation without fire, (iii) program on coaching of rehabilitation activity, (iv) agroforestry system with fire breaks, (v) formation of community care on fire, and (vi) economic incentive/disincentive schemes.
RINGKASAN TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP Kebakaran hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan degradasi lahan di area tersebut. Sekali hutan terbakar, maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area tersebut mengalami kebakaran hutan sekitar 113 Ha. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Pencegahan kebakaran hutan merupakan kunci utama untuk mengatasi masalah kebakaran hutan. Karena kebakaran hutan di DTA Danau Toba terjadi akibat adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta fungsi hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan, termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting yang memainkan peran penting di wilayah kajian karena kebakaran yang disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar DTA Danau Toba menggunakan api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara cepat. Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat sejumlah
kecil
penyebab
langsung
kebakaran
di
berbagai
lokasi.
Kajian
ini
mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran: (i) Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan; (ii) Kebakaran yang tidak disengaja; (iii) Kebakaran yang disengaja; dan (iv) Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan. Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya saling berkaitan satu sama lain, diantaranya: (1) Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik; (2) Insentif /Disinsentif Ekonomi; (3) Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran
yang terbatas; (4) Kapasitas institusi yang tidak memadai; dan (5) Program pengembangan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu solusi alternatif untuk pencegahan kebakaran hutan di DTA Danau Toba adalah: (i) Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian; (ii) Program penyiapan lahan tanpa bakar; (iii) Program pendampingan rehabilitasi; (iv) Sekat bakar pada sistem agroforestry; (v) Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA); dan (vi) Skema insentif/disinsentif ekonomi
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebakaran hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan degradasi lahan di area tersebut. Sekali hutan terbakar, maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area tersebut mengalami kebakaran hutan sekitar 113 Ha. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Di sisi lain, analisa penyebab kebakaran juga memainkan peranan penting. Secara fisik, DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985 – 1995), curah hujan per tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18,27 – 21º C, dan rata-rata kelembaban sebesar 85,60%. Dapat dipastikan, bahwa kebakaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh aktivitas manusia, sedangkan kondisi klimatologis hanya memberikan sedikit pengaruh. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas penyiapan lahan, seperti lahan pertanian. Ketika api digunakan sebagai alat penyiapan lahan tanpa prosedur yang baik, maka penyebaran yang tidak terkontrol sangat mungkin terjadi dan dapat membakar area lain yang berdekatan. Ketersediaan bahan bakar dari hutan serta keadaan iklim yang kering dapat mengakibatkan api menyebar dengan cepat. Pencegahan kebakaran hutan merupakan kunci utama untuk mengatasi masalah kebakaran hutan. Karena kebakaran hutan di DTA Danau Toba terjadi
akibat adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta fungsi hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Pencegahan kebakaran hutan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang dibuat secara terpadu. Rencana pencegahan kebakaran ini dipadukan dengan pengelolaan lahan secara menyeluruh. Oleh karena itu, program ini akan memadukan antara pencegahan kebakaran dengan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai model.
B. Tujuan Tujuan dari program ini telah ditentukan dalam keseluruhan usulan kegiatan, dengan tujuan spesifik yaitu untuk meningkatkan pencapaian program rehabilitasi hutan dan lahan di sekitar DTA Danau Toba. Selain itu, hasil yang ingin dicapai adalah terbentuknya model rehabilitasi hutan dan lahan dengan teknik pencegahan kebakaran. Untuk memenuhi tujuan spesifik tersebut, terdapat tiga kegiatan, yaitu : Kegiatan 2.1.1.
Melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui penyebabpenyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi.
Kegiatan 2.1.2.
Melaksanakan workshop untuk menemukan cara terbaik dalam pencegahan kebakaran hutan dengan melibatkan pihak-pihak terkait.
Kegiatan 2.1.3.
Membangun demonstrasi plot untuk rehabilitasi secara terpadu dengan
menerapkan
model
terbaik
dalam
pencegahan
kebakaran hutan.
C. Metode Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan, termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan.
2
Metodologi secara rinci adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data sekunder, yang terdiri dari: a. Peristiwa kebakaran (frekuensi kebakaran, sebaran titik api) selama 5 tahun b. Kondisi klimatologi c. Demografi 2. Pengamatan lapangan, terdiri dari : a. Tipe kebakaran b. Pola penyebaran kebakaran c. Tipe Vegetasi (tipe bahan bakar) d. Praktek sekat bakar e. Penyebab kebakaran (secara langsung/penyebab pokok) f.
Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan aktivitas masyarakat
g. Praktek pengendalian kebakaran oleh aparat yang berwenang dan masyarakat Dapat disimpulkan, bahwa hubungan antara faktor penyebab dengan peristiwa kebakaran adalah seperti disajikan pada Gambar 1.
3
Tipe Kebakaran PERISTIWA KEBAKARAN
Pola Penyebaran Api
Frekuensi Kebakaran Titik Api
PENYEBAB LANGSUNG
PENYEBAB POKOK
Motif Aktivitas-aktivitas terkait kebakaran Kondisi Iklim Tipe Vegetasi
FAKTOR PENDUKUNG
Lokasi/tempat Praktek Sekat Bakar
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian mengenai hubungan antara faktor-faktor penyebab kebakaran
4
II ANALISA WILAYAH KAJIAN
A. Kabupaten Simalungun 1. Hutan Lindung Sibaganding Karakteristik hutan lindung Sibaganding adalah daerah pegunungan, dan memiliki fungsi yang berkaitan dengan fungsi hidrologi DTA Danau Toba. Kebakaran lahan ditemukan pada tegakan pinus yang memiliki kerapatan rendah, dengan topografi yang sangat curam. Tipe kebakaran yang terjadi adalah kebakaran permukaan dan berkembang menjadi kebakaran tajuk. Tidak adanya kebakaran bawah adalah karena lahan tersebut merupakan tanah mineral dengan kandungan bahan organik yang rendah pada lapisan permukaannya.
Berbatasan dengan lahan yang terbakar, terdapat lahan pertanian yang bercampur dengan lahan berhutan. Masyarakat lokal menggunakan lahannya untuk menanam padi dan buah-buahan. Tanaman lain yang ditanam di area tersebut termasuk kelapa, pisang, petai, kemiri, serta campuran tanaman kehutanan lainnya. Terdapat kecenderungan perubahan yang signifikan dalam sistem pertanian dengan membangun teras pada lahan yang ditanami kopi. Kebakaran bermula dari dasar lembah dimana kegiatan pertanian dilakukan. Api kemudian menjalar dengan tidak terkendali ke atas bukit yang dibantu oleh angin kencang dari danau. Kebakaran disebabkan karena kelalaian. Di lain pihak, terdapat juga sumber kebakaran lain yang dilakukan oleh aktivitas-aktivitas manusia, kebakaran bermula dari tepi jalan di sekitar area pertanian, khususnya area yang baru ditanami kopi. Kebakaran tersebut disengaja untuk membuka akses pada area kopi.
Gambar 2. Lahan terbakar pada bukit yang curam di hutan lindung Sibaganding
2. Hutan Masyarakat (Marga) di Simarjarunjung Pada umumnya di Provinsi Sumatera Utara, terdapat beberapa lahan milik marga sebagai suatu kelompok masyarakat. Karena tidak ada penanggungjawab yang pasti atas lahan tersebut, maka lahan tidak diolah dengan baik dan menjadi lahan yang terlantar bahkan menjadi lahan kritis. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan lahan terbakar di hutan masyarakat di Simarjarunjung. Lahan tersebut merupakan hutan campuran dengan semak yang lebat, didominasi oleh `paku resam` yang menutupi permukaan hutan, serta paku-pakuan yang rentan terbakar jika dalam kondisi kering.
Tipe kebakaran pada lahan tersebut yaitu kebakaran permukaan yang membakar perdu dan semak belukar. Kebakaran dimulai dari tepi jalan utama dan menyebar pada area 15 m dari jalan utama tersebut. Kebakaran dilakukan dengan sengaja untuk membuka lahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan log dan semak belukar yang ditinggalkan di permukaan tanah. Berdekatan dengan area kebakaran, terdapat tanaman kopi yang baru berumur beberapa bulan. Rupanya, kebakaran digunakan sebagai cara membuka lahan untuk penanaman tanaman kopi yang baru.
6
Gambar 3. Lahan terbakar untuk pertanian pada lahan marga di Simarjarunjung
3. Hutan Pinus di Simarjarunjung Di tepi jalan Simarjarunjung, terdapat hutan pinus yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Simalungun. Produksi resin dari tegakan pinus berada dalam pengelolaan perusahaan lokal. Untuk meningkatkan kondisi tegakan pinus, rehabilitasi telah dilakukan di area tersebut. Sayangnya, kemudian terjadi kebakaran pada area rehabilitasi tersebut. Api membakar serasah-serasah pinus yang kemudian berkembang menjadi kebakaran permukaan. Bahkan beberapa pohon pinus ada yang terbakar hingga tajuknya. Kebakaran tersebut nampaknya disengaja dengan tujuan yang tidak diketahui.
Hampir setiap tahun, hutan tanaman di wilayah ini terbakar. Untuk mengendalikan kebakaran, pada beberapa tahun terakhir, Dinas Kehutanan telah menginisiasi program pengembangan masyarakat. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar area hutan diberi ijin untuk mengelola lahan dengan menanam kopi pada lajur dengan lebar 50 m dari batas area hutan pinus. Dengan dilaksanakannya program tersebut, diharapkan bahwa hutan tanaman dapat dilindungi dari kebakaran yang disengaja dan area penanaman kopi dapat menjadi insentif bagi masyarakat lokal.
7
Gambar 4. Tanaman pinus yang terbakar di Hutan Simarjarunjung
4. Desa Sahala, Kecamatan Purba, Tiga Runggu Di desa ini, area yang terbakar ditemukan dalam penyiapan lahan untuk pertanian. Lahan tersebut tidaklah luas, sekitar 200 m2. Kebakaran rupanya dilakukan sebagai cara untuk pembukaan lahan. Semak belukar yang menutupi lahan akan mudah terbakar bila kondisinya kering. Angin akan membantu penyebaran api pada daerah yang terbuka. Resiko kebakaran akan menjadi lebih besar ketika limbah pemanenan dibiarkan di permukaan tanah, sebagai contoh, limbah tegakan jagung yang telah dipanen rentan terbakar.
Gambar 5. Limbah hasil panen dan semak belukar sebagai bahan yang berpotensi terbakar di Tiga Runggu
8
5. Desa Sipangan Bolon, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun Kegiatan pertanian masyarakat Desa Sipangan Bolon adalah dengan menanam komoditas-komoditas seperti padi sawah, kopi, petai, kemiri, dan aren. Tata waktu penanamannya adalah sebagai berikut: pembibitan padi dilakukan pada bulan Januari dan penanamannya bulan Februari, kemudian pemanenan dilakukan pada bulan Agustus. Sama halnya dengan wilayah lain, penggantian dengan tanaman kopi juga ditemukan di desa tersebut. Masyarakat menanam dua jenis kopi, yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Kopi arabika merupakan jenis yang baru ditanam, dan dapat berproduksi lebih banyak pada waktu yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan kopi robusta.
Pada penyiapan lahan, biasanya para petani menggunakan api dan menyebarkan herbisida. Jerami sebagai limbah padi dibakar secara tersebar, terkadang dilakukan dengan teknik pembakaran gundukan. Api juga digunakan pada kegiatan berburu babi liar. Biasanya musim kebakaran pada area yang berbukit terjadi pada bulan Juli dan Agustus yang membakar tanaman pinus. Pada penanganan kebakaran, masyarakat membuat sekat bakar dengan lebar 10 m dan menggunakan alat pengendali kebakaran manual seperti cangkul dan penutup dari semak belukar, hal tersebut dilakukan berdasarkan arahan dari Dinas Kehutanan.
B. Kabupaten Karo 1. Desa Tongging, Kecamatan Merek Luas Desa Tongging sekitar 5.400 Ha dengan populasi penduduk 1.116 orang. Topografi di Desa Tongging adalah datar hingga bergunung-gunung. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Komoditas pertanian yang diproduksi antara lain padi untuk konsumsi pribadi sedangkan tanaman hortikultur seperti bawang, cabai, tomat, dan buahbuahan lainnya dijual ke wilayah lain. Masyarakat telah menggunakan irigasi untuk padi sawah dari dua sungai yang bersumber di Sungai Sigubang dan Sungai Sidampok. Masyarakat juga menanam pohon mangga dan kemiri. Pada daerah yang berbukit, tanahnya berbatu sehingga hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh. 9
Biasanya tata waktu kegiatan pertanian untuk padi sawah adalah dua kali dalam setahun, dimulai penanaman pada bulan September dan pemanenan setelah 5 sampai 6 bulan. Gerakan penghijauan kembali sebagai bagian dari program rehabilitasi telah dilaksanakan sejak 1970. Meskipun demikian, sebagian besar tanaman rehabilitasi dirusak dengan dibakar dan berubah menjadi semak, khususnya jenis „kirinyuh‟, salah satu jenis pionir pasca kebakaran. Program rehabilitasi yang terakhir dilakukan pada tahun 2007 juga mengalami kegagalan karena kebakaran.
Setiap tahun kebakaran terjadi di wilayah tersebut, khususnya pada musim kebakaran yaitu bulan April hingga Juli ketika angin kencang melewati wilayah tersebut. Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, kebakaran telah menjadi fenomena yang signifikan sejak tahun 1980. Kebakaran yang besar sering terjadi pada setiap 2 sampai 3 tahun. Hal tersebut berkaitan dengan perputaran iklim khususnya terjadinya El-Nino. Tidak ada api yang membakar secara alami. Api digunakan sebagai alat dalam penyiapan lahan dengan teknik pembakaran gundukan. Apabila dibandingkan dengan teknik pembakaran yang lain, teknik pembakaran gundukan lebih aman dan dapat mencegah api menyebar dengan cepat. Berkaitan dengan kegiatan tersebut, pembuatan kompos dari limbah pertanian juga dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mengurangi resiko kebakaran. Ketika penyiapan lahan dilakukan pada daerah di kaki bukit, api dari kegiatan penyiapan lahan tersebut dapat menyebar ke puncak bukit dibantu oleh angin kencang dari daerah danau. Di sepanjang jalan, kebakaran sering terlihat. Kebakaran tersebut berasal dari aktivitas manusia yang menyalakan api secara tidak sengaja atau karena kurangnya kewaspadaan. Semak belukar yang tumbuh sepanjang jalan dipangkas dua kali setahun karena dapat menjadi bahan yang mudah terbakar. Di sisi lain, kebakaran di daerah bukit disebabkan oleh kebakaran yang tidak disengaja karena kelalaian dan atau kebakaran yang disengaja dengan tujuan yang tidak diketahui.
10
Gambar 6. Lahan yang terbakar di daerah bukit di Desa Tongging
2. Desa Sibolangit, Kecamatan Merek Luas wilayah Desa Sibolangit sekitar 2.500 Ha dengan jumlah keluarga 153 KK. Sama halnya dengan Desa Tongging, sebagian besar penduduk yang hidup di desa ini adalah petani dan nelayan. Rata-rata tiap orang mengerjakan lahan lebih dari 2 Ha. Komoditas-komoditas yang tumbuh di daerah ini antara lain padi dan tanaman hortikultur lain seperti bawang dan jagung. Padi sawah ditanam pada bulan September di awal musim hujan (September hingga Maret) sampai Oktober, sekali dalam setahun. Jagung dan bawang ditanam pada bulan Januari-Februari. Musim panen adalah bulan Maret. Bawang ditanam dua kali setahun, bergantian dengan padi sawah atau jagung selama 1,5 bulan. Pada saat ini, terdapat perubahan komoditas yang tumbuh di wilayah tersebut, yaitu „ingul‟ (Toona sureni), mangga, dan pinus. Dari bulan Maret hingga Agustus tidak terdapat kegiatan penanaman. Penyiapan lahan dilakukan secara manual dengan alat sederhana untuk membuat alur dan menyisir tanah, pada umumnya kegiatan tersebut dimulai pada bulan Juli selama 2 hingga 3 minggu. Hanya sekitar 15% dari penyiapan lahan yang dilakukan dengan menggunakan api melalui teknik pembakaran gundukan.
Kebakaran telah menjadi ancaman utama dalam program rehabilitasi di desa tersebut. Kebakaran sering terjadi pada musim kemarau dari bulan Juni hingga Agustus terutama pada malam hari. Wilayah tersebut memiliki 11
masalah dengan tanah yang berbatu. Di samping itu, terdapat beberapa jenis rumput-rumputan seperti alang-alang, „sanggar‟, dan „pinpin‟ yang mudah terbakar. Tidak ada praktek sekat bakar dan tidak pula terdapat konflik lahan. Ketika api telah tersulut, maka dengan mudah dan cepat dapat menyebar karena dibantu angin kencang hingga 40 km/jam, khususnya pada bulan Juli. Hal tersebut disebabkan
karena
kurangnya
kewaspadaan.
Terdapat
beberapa masyarakat yang menjadi anggota Manggala Agni, sebuah kelompok pemadam kebakaran yang dibentuk oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Hal tersebut merupakan pengembangan kelompok kerja dari program rehabilitasi. Masyarakat hanya memiliki
peralatan
kebakaran yang terbatas seperti 5 unit pemukul api. Meski demikian, mereka memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja layaknya petugas pemadam kebakaran dan melaksanakannya berdasarkan prinsip “marsidapari” yang berarti bekerja bersama di semua kegiatan.
Gambar 7. Kegiatan pembakaran di Kabupaten Karo
C. Kabupaten Samosir 1. Kecamatan Onan Runggu Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di daerah tersebut, jarang terjadi kebakaran dalam skala besar, yang terjadi hanya kebakarankebakaran kecil saja. Sebagian besar penduduknya adalah petani. Komoditas yang tumbuh di daerah tersebut adalah padi sawah, jagung, dan kacang. Masyarakat juga melakukan kegiatan beternak terutama ternak kerbau dan domba. Tata waktu kegiatan pertanian terdiri dari penyiapan lahan pada bulan September hingga Oktober dan penanaman dilakukan 12
bulan November hingga Desember pada sawah yang tidak teririgasi. Untuk kegiatan berladang (jagung dan kacang) dilakukan pada bulan Maret.
Penyiapan lahan di daerah ini terdiri dari pelaksanaan penyebaran herbisida,
pembajakan
dengan
kerbau,
pembersihan
rumput
dan
pembakaran gundukan limbah panen. Terdapat kebiasaan masyarakat setempat dimana tidak ada aktivitas pembakaran di lahan pertanian atau lahan penggembalaan. Pembakaran kadang digunakan sebagai cara untuk mengendalikan hama (tikus dan babi liar).
2. Desa Martoba (Martahan, Tolping, Batu-batu), Kecamatan Simanindo Terdapat 316 rumah tangga di daerah tersebut yang didominasi oleh keluarga dengan mata pencaharian sebagai petani. Kepemilikan lahan antara 0 hingga 2 Ha. Komoditas-komoditas yang tumbuh di daerah ini adalah tomat, cabai, jagung, singkong, kemiri, petai, dan jengkol. Adapun tata waktu kegiatan pertanian adalah sebagai berikut: penyiapan lahan dilakukan pada bulan Juli-Agustus, sedangkan penanaman dilakukan pada bulan September. Terdapat perubahan dalam penyiapan lahan, dari penyiapan lahan secara manual
termasuk pembakaran
menjadi
semi
manual
yaitu
dengan
menggunakan traktor. Namun, masih terdapat praktek pembakaran yang terjadi dengan menggunakan teknik pembakaran gundukan. Meskipun demikian, tidak terdapat lagi pembakaran di lahan penggembalaan untuk kerbau dan domba.
Musim kebakaran telah berkurang dalam 2-3 tahun ini. Hal tersebut dikarenakan teknik penyiapan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya kebakaran besar terjadi khususnya pada musim kemarau ketika angin kencang pada bulan Juli hingga Agustus. Kebakaran berasal dari kegiatan pertanian, berkemah, konflik antar marga, dan kebakaran yang tidak disengaja. Pada tahun ini, program pencegahan kebakaran juga melibatkan pihak gereja.
Bagaimanapun
membutuhkan
penguatan
juga,
melalui
program pencegahan sosialisasi.
Pada
kebakaran
penanggulangan
kebakaran, pihak gereja dan kepala adat memegang peranan penting untuk mengajak masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penanganan kebakaran. Pembuatan sekat bakar dan penyisiran tanah telah dilakukan untuk 13
mengendalikan kebakaran. Meskipun demikian, belum terdapat insentif bagi masyarakat setempat. Berkaitan dengan resiko kebakaran, satu masalah di daerah tersebut adalah lahan marga yang sebagian besar tidak kelola dengan baik dan dibiarkan sebagai lahan yang tidak produktif.
Gambar 8. Kegiatan pembakaran di Pulau Samosir
14
III ANALISA KEBAKARAN
A. Peristiwa Kebakaran Hutan Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering mengalami kebakaran, hal ini dapat dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah persentase titik api sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode 1998 – 2006, jumlah titik api tahunan di Provinsi Sumatera Utara berfluktuasi sekitar 2.116 titik. Jumlah titik api terendah sebesar 1.037 pada tahun 1999 dan jumlah tertinggi yaitu 3.900 titik api pada tahun 2005 (Gambar 9). Titik api tersebut biasanya ditemukan di luar area hutan. Berdasarkan data Provinsi di Indonesia yang sering mengalami kebakaran, terlihat bahwa hanya 24% titik api yang ditemukan di area hutan, sedangkan sisanya sebesar 76% ditemukan di luar area hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Berkenaan dengan hal tersebut, pada periode 2002 - 2006 sebanyak 60 sampai 70% titik api di Provinsi Sumatera Utara berada di luar area hutan. Jumlah tersebut meningkat sampai 76% pada tahun 2006 (Akbar, 2007).
Titik api Hotspots
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Year
Gambar 9. Distribusi rata-rata tahunan titik api di Provinsi Sumatera Utara
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Utara terjadi secara fluktuatif sepanjang tahun, dari bulan Januari sampai Desember. Titik api terendah berjumlah 9 titik pada bulan Desember dan tertinggi pada bulan Juli sejumlah 406 titik, seperti yang terlihat pada Gambar 10.
Ja
n F e ua br ry ua M ry ar ch A pr il M ay Ju ne Ju l S A ug y ep u t e st m O be c r N t ob ov e e r D m ec be em r be r
Titik api Hotspots
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Bulan
Month
Gambar 10. Distribusi rata-rata titik api per bulan di Provinsi Sumatera Utara Danau Toba sebagai danau terbesar di Indonesia sedang menghadapi masalah lingkungan yang menyebabkan gangguan fungsi dan mengakibatkan degradasi lahan. Kebakaran hutan di DTA Danau Toba merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan degradasi lahan. Sekali hutan terbakar, maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area ini mengalami kebakaran hutan, dengan luas area terbakar rata-rata 113 Ha. Sebagai contoh, dalam periode lima tahun (1997-2001), areal terbakar di Aek Nauli – Simalungun (Gambar 11), salah satu kawasan DTA Danau Toba, antara 55 Ha (2001) sampai 170 Ha (1998).
16
180
Burned area (ha)
Area Terbakar (Ha)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1997
1998
1999
2000
2001
Year Tahun
Gambar 11. Distribusi luas areal yang terbakar di Aek Nauli, Simalungun, Sumatera Utara, 1997-2001 B. Kondisi Klimatologis Distribusi area yang terbakar berkaitan dengan kondisi fisik, terutama iklim. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, perlu diketahui kondisi iklim, penutupan hutan/lahan yang mengindikasikan jumlah bahan bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Secara fisik, DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985 – 1995), curah hujan per tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18.27 – 21º C, dan ratarata kelembaban sebesar 85,60%. Kondisi iklim tidak memiliki pengaruh yang kuat meskipun terjadinya kebakaran di wilayah tersebut berkaitan dengan distribusi curah hujan. Gambar 12 menunjukkan kisaran curah hujan antara 77 mm pada bulan Juli hingga 342,7 mm pada bulan Oktober. Curah hujan mulai menurun pada bulan Mei sampai Juli, dan kembali meningkat pada bulan Agustus hingga Desember. Kebakaran lahan dimulai pada bulan April sampai September. Luas area yang terbakar berkisar antara yang terendah yaitu 4 Ha pada bulan September, sedangkan tertinggi mencapai 41 Ha pada bulan Agustus. Walaupun jumlah curah hujan terendah ada di bulan Juli, namun musim kebakaran tertinggi berada di bulan Agustus. Proses pengeringan area jelas mempengaruhi kondisi tersebut. Api terjadi saat tiga elemen tersedia, yaitu: bahan bakar, oksigen, dan panas. Oksigen tersedia dalam jumlah yang tak terbatas di alam, panas untuk menyalakan api dapat berasal baik dari alam 17
maupun aktivitas manusia, sedangkan bahan bakar tersedia secara alami. Proses kebakaran dapat terjadi bila bahan bakar mulai terbakar. Hal ini dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar itu sendiri. Proses pengeringan dapat meningkatkan kualitas bahan bakar
seiring dengan
menurunnya kadar kelembaban. Untuk itu, penurunan curah hujan akan mengakibatkan proses pengeringan bahan bakar. Gambar 12 mengidentifikasikan rata-rata curah hujan per bulan dan area terbakar di Aek Nauli-Simalungun. Seiring dengan penurunan curah hujan, jumlah area yang terbakar cenderung mengalami peningkatan, dimulai dari bulan Mei sampai Agustus. Diantara faktor klimatologis yang lain, curah hujan adalah faktor penyebab kebakaran yang terpenting. Curah hujan mempengaruhi kadar kelembaban bahan bakar dan juga tingkat kemudahan untuk terbakar. Kelembaban relatif juga dipengaruhi oleh curah hujan. Oleh karena itu, faktor klimatologis sangat mempengaruhi musim kebakaran.
Rainfall
40
Burned area
35 30
250.0
25
200.0
20
150.0
15
Ju ly
M
Au gu Se st pt em be r O ct ob er No ve m De be r ce m be r
0
Ju ne
0.0
ay
5
Ap ril
10
50.0
Ja nu ar y Fe br ua ry M ar ch
100.0
Burned area (ha)
300.0
Rainfall (mm)
Curah Hujan (mm)
350.0
45
Areal terbakar (Ha)
400.0
Bulan Month
Gambar 12. Rata-rata curah hujan per bulan dan luas area terbakar di Aek Nauli, Simalungun, Provinsi Sumatera Utara
C. Karakteristik Lahan Peristiwa kebakaran berkaitan dengan karakteristik lahan, termasuk: penutupan lahan, jenis tanah, penggunaan lahan, dan topografi. Penutupan lahan di DTA Danau Toba meliputi hutan, perkebunan, persawahan, dan padang 18
alang-alang. Sedangkan area pemukiman nampak mengumpul dalam kelompok kecil diantara perbatasan area persawahan, di sekitar area perkebunan dan hutan. Berdasarkan data spasial untuk lahan kritis di DTA Danau Toba (2004), sekitar 35% dari penutupan lahan di area yang dilindungi di dalam kawasan hutan berada dalam kondisi yang masih baik, sedangkan sekitar 28% dari area tersebut berada dalam kondisi yang sangat buruk, dari total luas area 131.560,59 Ha. Di sisi lain, sekitar 35% dari penutupan lahan di area yang dilindungi di luar kawasan hutan masih dalam kondisi baik, sedangkan sisanya sekitar 29% berada dalam kondisi buruk, dari total luas area sebesar 62.617,83 Ha. Dengan membandingkan kedua area tersebut, maka dapat dilihat bahwa lahan kritis lebih banyak terdapat di dalam kawasan hutan dibandingkan area di luar kawasan hutan. Secara umum, area tersebut berada pada tingkat kondisi kekritisan lahan yang sedang sampai kritis. Lahan kritis tersebar ke dalam delapan wilayah kabupaten, yaitu sekitar 94.448,58 Ha di dalam kawasan hutan dan sisanya sebesar 40.110,62 Ha berada di luar kawasan hutan. Lahan kritis yang terluas di DTA Danau Toba adalah di Kabupaten Samosir sebesar 71.373,63 Ha dan yang terkecil di Kabupaten Tanah Karo sebesar 5.885,36 Ha. Topografi lahan di DTA Danau Toba sebagian besar curam hingga sangat curam (kelerengan > 25% sampai >40%). Kondisi ini mendukung meluasnya kebakaran, khususnya saat api menyebar ke area perbukitan dan pegunungan dari lembah menuju ke puncak gunung. Tipe kebakaran yang dapat terjadi adalah kebakaran permukaan yang dapat berkembang menjadi kebakaran tajuk. Hal ini diperparah oleh tiupan angin yang berasal dari lembah, yang menyebabkan api cepat menyebar dengan adanya titik api yang membakar satu tajuk ke tajuk pohon yang lain. D. Tingkat Resiko Kebakaran Berdasarkan analisa spasial, yang memadukan beberapa parameter termasuk: penggunaan lahan, konfigurasi lahan, karakteristik curah hujan, dan penggunaan lahan untuk perkebunan dan kehutanan, sekitar 32% area di Provinsi Sumatera Utara termasuk ke dalam klasifikasi area yang mudah terbakar dan sekitar 29% termasuk ke dalam tingkat sedang.
19
Diantara tujuh kabupaten di DTA Danau Toba, Kabupaten Humbang Hasundutan adalah area terluas yang memiliki tingkat resiko kebakaran sangat tinggi, yaitu sebesar 1.577 Ha dan Kabupaten Simalungun merupakan area yang memiliki tingkat resiko kebakaran tinggi, yaitu sebesar 163.257 Ha, sedangkan area dengan resiko kebakaran terkecil terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara, yaitu sekitar 183.791 Ha. Selain itu, Kabupaten Simalungun merupakan area dengan resiko kebakaran tertinggi jika dibandingkan dengan dua kabupaten kajian lainnya, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Samosir. Kebakaran yang terjadi di area perbukitan menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap fungsi ekosistem di DTA Danau Toba. Degradasi lahan serta tingkat erosi yang tinggi merupakan salah satu dampak yang serius di area tersebut. Tingkat resiko kebakaran juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang tumbuh di area tersebut. Pinus merkusii adalah spesies dominan yang menutupi area DTA Danau Toba. Dari salah satu lokasi kebakaran hutan yang terlihat, jenis pinus ini sangat mudah untuk terbakar karena memproduksi resin yang memiliki sifat mudah tersulut api. Walaupun demikian, tegakan pinus relatif dapat beradaptasi dengan kebakaran karena memiliki kulit kayu yang tebal serta kemampuan regenerasi alami yang tinggi.
20
IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN
Aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting yang memainkan peran penting di wilayah kajian karena kebakaran yang disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar DTA Danau Toba menggunakan api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara cepat.
A. Penyebab langsung Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat sejumlah kecil penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian ini mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran:
Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan
Kebakaran yang tidak disengaja
Kebakaran yang disengaja
Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan.
Penyebab langsung yang utama dapat dirangkum dan dikategorikan menjadi empat hal berikut: 1. Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan Berbeda dari wilayah lain di Sumatera dan Kalimantan, penyiapan lahan di Sumatera Utara, khususnya di DTA Danau Toba bukan merupakan kegiatan pembukaan lahan yang luas. Meskipun demikian, lahan bekas terbakar di sekitar DTA Danau Toba tersebut menjadi pemandangan yang kurang sedap untuk dipandang serta berdampak terhadap lingkungan, seperti erosi. Kebakaran di wilayah kajian digunakan sebagai alat oleh petani dalam penyiapan lahan di wilayah yang luasnya kurang dari 1 ha. Sampai saat ini,
masyarakat tidak menguasai teknik penyiapan lahan lain yang sederhana dan murah seperti dengan menggunakan api. Sebagian besar penyiapan lahan menggunakan teknik pembakaran gundukan dimana tidak terlalu berbahaya terutama dalam kecepatan penyebaran api jika dibandingkan dengan teknik pembakaran lainnya seperti teknik pembakaran cincin, pembakaran muka, dan pembakaran balik. Bagaimanapun juga, ketika terjadi angin kencang, api dapat menyebar dengan cepat dan menjadi tidak terkendali.
2. Kebakaran karena kelalaian/ketidaksengajaan Penyebab penting kebakaran lainnya adalah kebakaran yang tidak disengaja dari aktivitas-aktivitas penyiapan lahan yang didukung oleh angin kencang dari daerah danau. Karakteristik topografi di DTA Danau Toba menjadi fenomena cuaca yang unik, seperti perputaran angin dan radiasi matahari. Angin datang dari lembah kemudian menyebar dan meluas ke daerah perbukitan. Pengaruh dari aspek (karakteristik topografi dikaitkan dengan pendekatan radiasi matahari) dapat menyebabkan perbedaan kesiapan bahan bakar di daerah perbukitan untuk terbakar. Wilayah yang berada di sebelah timur akan lebih cepat mengering karena radiasi matahari di pagi hari apabila dibandingkan dengan aspek lainnya. Kebakaran yang tidak disengaja juga dapat berasal dari masyarakat yang membuka
akses
untuk
lahannya.
Terkadang,
jalan
menuju
lahan
pertaniannya tertutupi oleh rumput/semak belukar, yang akan menjadi masalah dalam pengelolaan lahannya. Oleh karena itu, pembakaran digunakan untuk membersihkan rumput-rumput yang menutupi jalan tersebut. Saat ini, beberapa masyarakat setempat membudidayakan kopi sebagai komoditas yang memiliki prospek yang bagus di masa depan.
3. Kebakaran yang disengaja Hal tersebut telah diamati di area rehabilitasi di sekitar DTA Danau Toba. Program rehabilitasi dilaksanakan hampir di setiap tahun untuk memperbaiki lahan bekas kebakaran dan juga lahan kritis. Pada umumnya, program rehabilitasi melibatkan masyarakat setempat untuk turut berpartisipasi. Sebelumnya, banyak program rehabilitasi yang gagal akibat kebakaran. Hal tersebut dapat dilihat di sepanjang daerah perbukitan di sekitar DTA Danau 22
Toba, dimana tidak seluruh permukaannya tertutupi oleh pepohonan. Kebakaran disebabkan karena kesengajaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan tujuan yang tidak diketahui. Nampaknya, hal tersebut berkaitan dengan ketidakpuasan program, antara lain ketidakpuasan karena kurangnya sosialisasi dan insentif.
4. Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan Kebakaran tersebut tidak terjadi di semua wilayah yang dikaji, jenis kebakaran ini diketahui digunakan sebagai alat untuk berburu babi. Babi liar merupakan hama dalam budidaya pertanian yang menyukai hidup di semaksemak. Ketika musim kemarau tiba, semak menjadi lebih kering, kondisi tersebut mengakibatkan semak rentan terbakar. Oleh karena itu, kebakaran yang tidak terkendali dapat terjadi di luar dugaan dengan semak yang terbakar habis, dan kadang menyebar ke wilayah yang berdekatan dengannya. B. Penyebab Utama Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya saling berkaitan satu sama lain. 1. Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik Di Sumatera Utara, khususnya di DTA Danau Toba, lahan dapat dimiliki oleh individu atau kelompok (marga). Untuk kepemilikan lahan oleh individu pada umumnya tidak memiliki masalah dalam pengelolaannya. Pemilik lahan mengolah lahannya sesuai dengan keinginan dan keputusannya sendiri. Sementara itu, lahan marga menjadi milik sekelompok orang yang memiliki latar belakang sejarah dan ikatan budaya yang kuat. Anggota kelompok (marga) hidup tersebar baik di dalam ataupun di luar kampung halamannya, namun ikatan semangat yang kuat masih tetap terjaga. Dalam pengelolaan lahan, terkadang dihadapkan dengan konflik pengelolaan, hal yang tidak mudah untuk membuat keputusan dalam pengelolaan lahan marga tersebut. Keputusan tersebut harus disetujui oleh semua anggota kelompok (marga) yang kadang telah hidup di tempat yang jauh dari kampung halamannya. Oleh karena itu, lahan marga sering dibiarkan sebagai lahan kosong yang tidak produktif. Semak belukar dan alang-alang menutupi sebagian besar lahan dan menjadi penyebab kebakaran, khususnya pada musim kemarau. Kondisi demikian menghasilkan bahan yang mudah terbakar sehingga ketika 23
api menyala karena hal yang tidak disengaja, kebakaran semak belukar akan terjadi dan dapat menyebar dengan tidak terkendali. Kebakaran dapat menjalar dengan cepat ke daerah yang berdekatan.
2. Insentif /Disinsentif Ekonomi Sama halnya dengan wilayah lain di Indonesia, sampai sekarang tidak ada skema insentif ekonomi/disintensif dalam pelaksanaan dan atau pengelolaan kebakaran. Bagi masyarakat di sekitar DTA Danau Toba, kebakaran merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menyiapkan lahannya. Insentif ekonomi diperlukan untuk menyurutkan niat masyarakat dalam menggunakan kebakaran sebagai alat penyiapan lahan. Masyarakat lokal akan memiliki motivasi untuk menemukan alternatif lain dalam penyiapan lahannya selain dengan api. Di lain pihak, tingkat penanaman kopi oleh masyarakat dipicu oleh nilai ekonominya yang menjanjikan sehingga dapat meningkatkan pembukaan lahan untuk budidaya kopi. Harga kopi dan aksesibilitas yang tinggi dalam pemasarannya mendorong masyarakat untuk mengganti komoditas pertaniannya dengan kopi. Pada akhirnya, diharapkan adanya insentif untuk masyarakat agar tercipta persiapan yang lebih baik dalam perencanaan perlindungan kebakaran hutan dan untuk mendorong masyarakat agar memiliki keinginan dalam mengambil tidakan-tindakan proaktif untuk mengurangi resiko kebakaran seperti dijelaskan oleh Cortner dan Field (2007).
3. Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran yang terbatas Kegiatan-kegiatan pertanian dan pencegahan kebakaran saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Sebagian besar masyarakat lokal di sekitar DTA Danau Toba memiliki pengetahuan yang terbatas dalam pertanian khususnya pencegahan kebakaran. Masyarakat menyadari bahwa kebakaran dapat menyebabkan banyak kehilangan termasuk sumber penghasilannya
dan
dampak-dampak
terhadap
lingkungan
lainnya.
Bagaimanapun juga, kebakaran masih digunakan sebagai alat dalam penyiapan lahan. Hal tersebut dikarenakan pengetahuannya yang masih terbatas mengenai alternatif-alternatif untuk penyiapan lahan tanpa bakar. Selain itu, masyarakat setempat juga memiliki pengetahuan pengendalian kebakaran yang masih terbatas. Ketika kebakaran terjadi, dapat diamati 24
bahwa teknik penanganan kebakaran yang dilakukan masih terbatas dan peralatan yang digunakan kurang memadai. Karena itu, ketika angin kencang datang dan menyebabkan kebakaran yang hebat, penanganan kebakaran tidak dapat dilakukan secara efektif. Demikian pula, kurangnya pengetahuan dalam tindakan pencegahan dan pasca kebakaran. Tiga pendekatan dalam pencegahan
kebakaran,
yaitu
Pendidikan,
Penguasaan
Teknik,
dan
Penegakan Hukum masih belum dilaksanakan secara penuh. Sebagian masyarakat tidak mengenal praktek sekat bakar. Kondisi yang terbatas tersebut, dapat menuntun pada kepedulian untuk terlibat dalam pengelolaan kebakaran
yang
mencakup
pencegahan,
penanganggulangan
serta
penanganan pasca kebakaran. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dalam pertanian dan pengelolaan kebakaran adalah suatu hal yang harus dilakukan.
4. Kapasitas institusi yang tidak memadai Keberhasilan pelaksanaan program termasuk pengelolaan kebakaran hutan didukung dengan kapasitas institusi yang memadai. Kapasitas institusi yang tidak memadai dapat menyebabkan terjadinya kebakaran yang tidak terkendali. Kajian ini menemukan perbedaan kapasitas institusi pada tingkat desa hingga tingkat kabupaten di beberapa kabupaten. Sebagian besar dari mereka kurang memiliki kapasitas yang memadai. Program pengembangan di desa terkadang kurang terkoordinasi antar pemangku kepentingan yang berkaitan. Di lain pihak, keterlibatan pemangku kepentingan lain di luar institusi
pemerintah
masih
rendah.
Hambatan
tersebut
dikarenakan
kurangnya sosialisasi program yang mengakibatkan sedikitnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dan terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Oleh karena itu, penguatan kapasitas institusi merupakan hal yang penting untuk dilakukan mencapai keberhasilan pengelolaan kebakaran hutan di DTA Danau Toba. Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan kebakaran perlu diintensifkan melalui program yang terpadu dari berbagai institusi.
5. Program pengembangan yang tidak berkelanjutan Indikator
kunci
dari
kesuksesan
atau
kegagalan
program,
adalah
keberlanjutan program. Kajian ini mengamati bahwa sebagian besar program 25
pengembangan di wilayah kajian hanyalah program yang turut berakhir pada saat periode telah berakhir (tidak berkelanjutan). Terlihat bahwa programprogram tersebut, khususnya dalam pengelolaan kebakaran termasuk program rehabilitasi untuk lahan bekas terbakar, tidak direncanakan secara matang dan program hanya berorientasi pada tujuan. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan perlu diperhatikan untuk memperoleh keberhasilan dalam pelaksanaan program seperti yang disarankan oleh Firey (1960) dan Clawson
(1975)
dalam
Shindler
(2007)
yang
menyatakan
bahwa
pengambilan dan penentuan beberapa program tergantung pada tingkat dimana ada kemungkinan secara fisik (konsisten dengan proses ekologi), mudah secara ekonomi (menggunakan hasil pendapatan atau keuntungan dalam kelebihan harga), dan dapat diterima secara budaya (konsisten dengan sosial budaya dan norma yang berlaku).
26
V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Degradasi lahan di DTA Danau Toba tidak dapat dipisahkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya. Tipe kebakaran yang terjadi adalah sebagian besar kebakaran permukaan dan kebakaran tajuk. Berdasarkan dimensi biofisik dari kebakaran yang tidak terkendali, kondisi alami di Sumatera Utara, khususnya di sekitar DTA Danau Toba termasuk dalam kategori resiko kebakaran sedang. Bagaimanapun juga, manusia memiliki andil terhadap resiko kebakaran yang tidak terkendali. Dalam sejarahnya, manusia membakar lahan untuk meningkatkan pengembalaan dan penyiapan lahan pertanian. 2. Berdasarkan analisa di lokasi kajian, kegiatan pembakaran di pedesaan di sekitar DTA Danau Toba, terutama di pulau utama Sumatra ternyata lebih jelas dibandingkan dengan kegiatan pembakaran di pulau Samosir. Selain itu, Kabupaten Simalungun merupakan area dengan resiko kebakaran tertinggi jika dibandingkan dengan dua kabupaten lain yang menjadi wilayah kajian, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Samosir. 3. Berdasarkan analisa kebakaran, peristiwa kebakaran di Provinsi Sumatera Utara cenderung meningkat. Selain itu, fenomena klimatologis yang ekstrim juga
memiliki
pengaruh
yang
kuat
terhadap
peristiwa
kebakaran.
Berdasarkan distribusi titik api dan kebakaran per bulan terlihat bahwa kebakaran mulai meningkat dari bulan Juni sampai Agustus dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Hal ini seiring dengan terjadinya musim kering/kemarau selama bulan tersebut. 4. Berdasarkan analisis faktor-faktor penyebab kebakaran dapat diindikasikan bahwa peristiwa kebakaran di DTA Danau Toba hanya disebabkan oleh manusia, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Penyebab langsung
dari kebakaran meliputi: penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan, kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja, dan kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan. Sementara itu, penyebab utama kebakaran hutan di sekitar DTA Danau Toba adalah: lahan marga yang tidak dikelola dengan baik, insentif/disinsentif ekonomi, pengetahuan pertanian dan pengelolaan kebakaran yang terbatas, kapasitas institusi yang tidak memadai, dan program pengembangan yang tidak berkelanjutan.
B. Rekomendasi Karena manusia sebagai satu-satunya faktor penyebab terjadinya kebakaran di DTA Danau Toba, manusia juga merupakan bagian penting dalam pemecahan masalah. Beberapa rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut : 1. Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian Salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba adalah lahan yang tidak dikelola dengan baik. Semak belukar dan alang-alang tumbuh pada lahan tersebut, dan menjadi bahan bakar yang berpotensi untuk terjadinya kebakaran lahan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, seharusnya lahan dapat dikelola secara optimal untuk meningkatkan produktivitas. 2. Program penyiapan lahan tanpa bakar Penggunaan api dalam penyiapan lahan dipraktekkan oleh masyarakat sebagai cara yang paling mudah dan paling murah. Untuk itu, penyediaan cara-cara alternatif dalam penyiapan lahan tanpa bakar sangat diperlukan untuk mengurangi resiko kebakaran di sekitar DTA Danau Toba. 3. Program pendampingan rehabilitasi Program rehabilitasi perlu digalakkan untuk mengembalikan lahan kritis di DTA Danau Toba dan memperbaiki kualitas lingkungan di area tersebut. Dalam pelaksanaan program, sosialisasi perlu diintensifkan untuk menciptakan partisipasi dan keterlibatan yang lebih baik dari pemangkupemangku kepentingan termasuk masyarakat lokal baik yang hidup di dalam maupun di sekitar wilayah DTA Danau Toba, institusi-institusi dan 28
pihak-pihak bisnis yang berpotensi. Pendampingan harus dijadikan prinsip dasar program. 4. Sekat bakar pada sistem agroforestry Pembuatan sekat bakar merupakan salah satu upaya pencegahan kebakaran.
Berdasarkan
merupakan
pilihan
pencegahan
pengamatan
terbaik
kebakaran
sebagai di
DTA
di
lapangan,
sekat
bakar
Danau
pagar
pada
Toba.
hijau
program
Kajian
ini
merekomendasikan dua alternatif spesies tumbuhan yang tahan api sebagai pagar hijau, yaitu : Calliandra callothyrsus dan Macademia hildebrandi. Calliandra callothyrsus merupakan semak belukar yang memiliki karakteristik yang spesifik sebagai sekat bakar, seperti: dapat menciptakan iklim mikro yang mencegah penyebaran api, limbahnya mudah terdekomposisi untuk mencegah akumulasi bahan bakar, dan di sisi lain spesies tersebut juga merupakan tumbuhan serbaguna, terutama sebagai makanan lebah pada budidaya lebah. Sementara itu, Macademia hildebrandi merupakan jenis yang telah lama ditanam sejak era kolonialisasi Belanda, dan dikenal sebagai pohon yang tahan api oleh sebagian masyarakat lokal di DTA Danau Toba. 5. Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA) Untuk pengelolaan kebakaran yang lebih baik, masyarakat lokal yang terlibat
langsung
kewenangan
yang
dengan
peristiwa
kebakaran
lebih. Perlu adanya
perlu
peningkatan
diberikan
kemampuan
masyarakat dalam pengelolaan pencegahan kebakaran, penanggulangan kebakaran, dan kegiatan pasca kebakaran untuk meminimalisasi kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba. 6. Skema insentif/disinsentif ekonomi Seluruh
rekomendasi program
tersebut sangat bergantung pada
kesadaran dan keinginan seluruh pihak yang terlibat. Untuk mendorong kondisi seperti demikian, skema insentif/disinsentif ekonomi perlu diformulasikan. Pada akhirnya, prinsip dasar secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya perlu dipertimbangkan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Acep Akbar. 2007. Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai Statu Upaya Mengatasi Resiko dalam REDD. Makalah Workshop Nasional IFCA-REDD tanggal 5-6 Nopember 2007. Jakarta. Applegate, G., U. Chokkalingam and Suyanto. 2001. The Underlying Causes and Impacts of Fires in South-east Asia. CIFOR, INDONESIA Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. 2004. Buku I. Data Spatial Lahan Iritis Wilayah Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. Dirjen RLPS. Dep.Kehutanan. P. Siantar. Cabang Dinas Kehutanan XII. 1998. Survey dan Pemetaan Pengembangan Ilaran Api pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Madang Dinas Kehutanan XII Toba Samosir. Cortner, H. J. and D. R. Field. 2007. Foreword: Synthesis and Collaboration. In: Daniel, T. C., M. Carrol, C. Moseley, and C. Raish. Eds. People, Fire and Forests. A Synthesis of Wildfire Social Science. Oregon State University Press. Corvallis. USA. 226 pp. Departemen Kehutanan. 2007. Upaya Departemen Kehutanan dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan serta penanggulangan Bencana Asap tahun 2007. Makalah dalam Workshop Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia. Kerjasama antara JICA dan Fakultas Kehutanan IPB. 30 Agustus 2007. Pangaribuan, H. P. O. 2003. Studi Ekosistem Api pada Tegakan Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese di Aek Nauli Sumatera Utara. Skripsi Sarjana. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Shindler, B. 2007. Public acceptance of wildland fire conditions and fuel reduction practices: challenges for Federal Forest Managers. In: Daniel, T. C., M. Carrol, C. Moseley, and C. Raish. Eds. People, Fire and Forests. A Synthesis of Wildfire Social Science. Oregon State University Press. Corvallis. USA. 226 pp.
This publication was made possible by the generous grant from the ITTO, Yokohama, Japan
Published by ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F) Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD)
Available from ITTO PROJECT, CFNCRD Phone/Fax : 62-251-7194707 Website : www.forda-mof.org E-mail :
[email protected]
31