II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering) Jika perusahaan menjual efek atau saham kepada masyarakat melalui pasar modal untuk pertama kalinya, maka penjualan ini disebut sebagai penawaran umum perdana (Initial Pubic Offering/IPO). Dengan melalui IPO, suatu perusahaan akan berusaha meningkatkan statusnya dari perusahaan tertutup (private company) menjadi perusahaan terbuka (public company). Dengan menerbitkan saham di pasar modal berarti perusahaan tidak hanya dimiliki oleh perusahaan lama (founders) namun juga dimiliki masyarakat (public). Hal ini memungkinkan pemilik lama (founders) memperoleh harga yang wajar (fair price) atas saham saham yang ditawarkan perusahaan. Fair price terjadi karena proses penawaran saham di pasar modal melibatkan banyak pelaku pasar modal yang membuat informasi lebih transparan. Persaingan antar investor akan mengakibatkan harga yang wajar (Payamta,2000). Penawaran saham perdana sangat bermanfaat bagi perusahaan baik bagi pihak manajemen dan masyarakat umum. Bagi perusahaan, penawaran umum merupakan media untuk mendapatkan dana untuk ekspansi bisnis. Tidak ada kewajiban pelunasan dan pembayaran bunga tetap bagi manajemen dengan penawaran perdana umum, berarti meningkatkan profesionalisme, sedangkan bagi masyarakat berarti memperoleh kesempatan untuk turut serta memiliki perusahaan (Payamta, 2000).
10
11
Menurut Sjahril, dalam Payamta (2000) alasan perusahaan menjual saham melalui pasar modal adalah sebagi berikut : 1. Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang baik jangka panjang maupun jangka pendek sehingga mengurangi biaya. 2. Meningkatkan modal kerja. 3. Membiayai perluasan perusahaan (pembangunan pabrik baru, menambah kapasitas produksi).
4. Memperluas jaringan pemasaran dan distribusi. 5. Meningkatkan teknologi produksi. 6. Membayar sarana penunjang seperti pabrik, perawatan kantor, dan lain-lain. Selain itu, menurut Usman dkk dalam Payamta (2000), perusahaan memanfaatkan pasar modal untuk menarik dana pada umumnya dan selain itu juga didorong oleh beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Melakukan perluasan usaha. 2. Memperbaiki struktur modal. 3. Melakukan pengalihan pemegang saham. Weston dan Birgham dalam Payamta (2000) mengemukakan beberapa keuntungan dan kerugian dari perusahaan yang melakukan IPO yaitu : 1. Membuka jalan bagi pemegang saham untuk melakukan diversifikasi. Perusahaan yang go public dapat melakukan diversifikasi kepemilikan
12
saham sehingga dapat mengurangi resiko yang ditanggung sendiri oleh perusahaan. 2. Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham. 3. Meningkatkan modal di masa mendatang. Adapun kerugian dari penawaran saham perdana yaitu : 1. Biaya laporan meningkat. 2. Pengungkapan (disclosure). 3. Ketakutan untuk diambil alih. 4. Para eksekutif perusahaan memfokuskan perhatian pada program IPO selama beberapa bulan. 5. Bapepam mewajibkan keterbukaan penawaran bahwa setiap prospectus dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang fakta material yang diperlukan
agar
prospectus
tidak
memberikan
gambaran
yang
menyesatkan. 6. IPO ataupun penjualan di pasar sekunder akan mengurangi kontrol dari pemegang saham lama. 7. Sebagai perusahaan public, berbagai keputusan baru harus disetujui terlebih dahulu oleh para pemegang saham. Hal ini tentunya mengurangi privacy manajemen perusahaan. 8. Setelah go public maka akan terdapat tekanan bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya.
13
2.2. Earning Forecast Sebagian besar negara memungkinkan pengungkapan perkiraan laba (earning forecast) oleh perusahaan-perusahaan yang hendak mengeluarkan IPO secara sukarela. Peramalan dan prediksi merupakan alat bantu yang penting untuk pengambilan suatu keputusan berkaitan dengan resiko yang akan dihadapi. Makridetis et al. (dalam Yustitia, 2002), menyatakan bahwa kegagalan peramalan terjadi karena adanya waktu senggang (time leg), antara kebutuhan diwaktu yang akan datang yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi sekarang. Jika waktu senggang sangat kecil bahkan nol, maka peramalan/prediksi tidak diperlukan. Kecenderungan untuk meramalkan/menduga suatu peristiwa secara lebih tepat, khususnya dalam bidang ekonomi akan menjadi dasar yang lebih baik untuk perencanaan. Akan tetapi ada 2 hal yang perlu diingat; Pertama adalah, bahwa keberhasilan peramalan ini tidak selalu bermanfaat secara langsung bagi manajer/ pihak lainnya. Kedua adalah, perbedaan antara peristiwa eksternal diluar kendali dengan peristiwa internal yang dapat dikendalikan. Wild (dalam Yustitia, 2002), menyatakan untuk menganalisis likuiditas jangka pendek, salah satu alat yang berguna adalah peramalan kas jangka pendek. Peramalan jangka pendek ini berguna bagi pemakai internal dan eksternal. Bagi pengguna internal seperti manajer dan auditor, peramalan aras kas diperlukan untuk mengevaluasi aktivitas operasi perusahaan sekarang dan masa yang akan datang. Sedangkan bagi pemakai eksternal seperti kreditor, peramalan digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam membayar hutang jangka pendek.
14
Wild (dalam Yustitia, 2002), mengungkapkan bahwa bagian penting dari analisia laporan keuangan adalah peramalan laba dari berbagai perspektif analisis, mengevaluasi tingkat laba dan penilaian akan masa depan perusahaan tersebut. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peramalan laba adalah interaksi diantara komponen dan metode peramalan stastistik serta perkiraan kondisi bisnis yang akan datang. Keakuratan peramalan arus kas berhubungan dengan apa yang disebut forescast horizon, semakin panjang periode peramalan maka semakin tidak akurat peramalan tersebut. Dalam penelitiannya; Kang, John O’brien dan Sivaramakrishman (1994) menyatakan bahwa secara sistematis dan perbedaan bisa / keakuratan pada peramalan dengan forecast horizon yang walaupun setting sampel yang diambil sama. Manajemen prakiraan laba adalah pengungkapan secara sukarela yang menyediakan informasi mengenai pendapatan yang diharapkan untuk sebuah perusahaan tertentu. King, et al. (1990) mendefinisikan manajemen perkiraan laba sebagai pengungkapan secara sukarela dari pihak manajerial suatu perusahaan dalam memprediksi laba sebelum tanggal pelaporan yang diharapkan. Meskipun perkiraan laba secara umum dikeluarkan baik sebelum dirilisnya pelaporan laba kuartalan dan tahunan, prakiraan laba ini kadang-kadang juga diberikan setelah periode akuntansi telah berakhir namun sebelum laba yang benar-benar didapat diumumkan. Ramalan terakhir ini biasanya disebut sebagai pre announcements laba. Ketika prakiraan laba yang telah dikelola menunjukkan kekurangan substansial dari pendapatan yang diharapkan, maka hal tersebut biasanya disebut sebagai peringatan laba (Kasznik dan Lev 1995).
15
Karena prakiraan laba merupakan pengungkapan secara sukarela, pertanyaan pertama yang dihadapi manajer adalah apakah perlu atau tidak untuk mengeluarkannya dalam prospectus di saat mengeluarkan IPO? Jawabannya dibentuk oleh kombinasi dari lingkungan yang dihadapi oleh perusahaan dan karakteristik spesifik dari perusahaan. Komponen ini merupakan factor antecedents karena merupakan perintis dari keputusan ramalan yang sebenarnya Setelah berkeyakinan untuk mengeluarkan suatu prediksi laba, seorang manajer kemudian harus menghadapi suatu pilihan yang luas mengenai atribut peramalan laba tersebut. Pilihan ini melibatkan, misalnya, bentuk perkiraan (misalnya, point, range, kualitatif, dll), horizon (misalnya, triwulanan versus tahunan), dan informasiinformasi lainnya untuk menemani suatu perkiraan. Komponen pilihan – pilihan ini disebut sebagai characteristics prakiraan karena atribut–atribut ini yang berhubungan langsung dengan peramalan. Komponen ketiga merupakan konsekuensi ramalan, menangkap peristiwa dan reaksi yang terjadi setelah ramalan dikeluarkan, seperti reaksi pasar saham untuk informasi laba yang diperkirakan. Tidak mengherankan, konsekuensi ini adalah fungsi dari anteseden dan karakteristik ramalan. Sebagai contoh, perkiraan manajemen laba yang lebih besar menyebabkan revisi perkiraan oleh para analis dimana mereka berasal dari perusahaan dengan akurasi yang tinggi terhadap prakiraan laba sebelumnya. (Williams, 1996).
16
Manajer sering termotivasi untuk mengeluarkan perkiraan laba untuk mengurangi informasi yang asimetri yang ada di antara mereka, analis dan investor. Namun, kadang-kadang, manajer mengeluarkan prakiraan laba untuk alasan yang secara konsisten hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri atau insentif tertentu. Tingkat yang berbeda dari insentif yang dipunyai manajerial untuk melakukan prakiraan laba, seperti berdasarkan kompensasi equity based, ada di beberapa perusahaan dan waktu tertentu. Hirst, et al (2007). Nagar, et al. (2003) berpendapat bahwa manajer dengan tingkatan lebih besar dari kompensasi equity basednya akan mengeluarkan prakiraan laba lebih sering untuk menghindari kesalahan pricing dari ekuitas yang akan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan keuangan mereka. Mereka juga berpendapat bahwa insentif berbasis ekuitas mendorong bukan hanya berita yang baik, tapi juga pengungkapan pengungkapan berita yang buruk, karena diam (yaitu, tidak ada perkiraan) cenderung ditafsirkan negatif. Konsisten dengan hipotesis mereka, mereka menemukan bahwa frekuensi prakiraan manajemen laba secara positif berkaitan dengan proporsi kompensasi CEO dipengaruhi oleh harga saham serta nilai absolut dari saham yang dimiliki oleh individu tersebut. Forecast bias dihitung sebagai selisih antara prediksi dari earnings dan actual earning yang dilaporkan dibagi dengan nilai absolute dari prediksi earning. Nilai absolut dari PE digunakan sebagai scaler untuk menghilangkan pengaruh nilai minus dari PE sebagai penyebut. Nilai Forecast bias yang positif mengindikasikan bahwa predicted earnings perusahaan lebih besar daripada actual earningsnya, dalam kasus ini earning forecast
17
yang dilakukan perusahaan diklasifikasikan sebagai optimistic forecast. Jika forecast bias lebih kecil dari pada 0 ( negative ) ini berarti jumlah earning yang dilaporkan lebih besar daripada predicted earningnya, dan earning forecast ini dianggap sebagai conservative forecast. ( Jaggi et al, 2006 ). Penurunan dalam forecast bias akan dapat dicapai baik dengan merevisi prakiraan pendapatan, atau dengan memanipulasi laba yang dilaporkan menggunakan discretionary acrual. Manajer akan memilih alternatif untuk mengurangi forecast biasnya, khususnya optimistic forecast, dengan menyesuaikan laba yang dilaporkan menggunakan discretionary accrual daripada merevisi earning forecast awal. Dalam kasus optimistic forecast, menyatakan bahwa revisi ke bawah akan dihindari karena bisa mengirim sinyal negatif ke pasar, yang akan berdampak negatif terhadap kredibilitas manajer (Kasznik, 1999). Dalam conservative forecast, manajer dapat menyesuaikan earnings forecast nya ke atas atau menyesuaikan laba yang dilaporkan ke bawah dan menciptakan "cookie jar" cadangan untuk digunakan pada periode mendatang. Pilihan antara forecast revisions dan earning management akan dibuat, tergantung pada situasi dan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan di bawah situasi itu. ( Jaggi et al, 2006 ).
18
2.3.
Teori
Keagenan
(Agency
Theory)
dan
Earning
Management Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (prinsipal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (prinsipal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (prinsipal). Pemilik akan mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik. Prinsipal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini disebabkan agent juga memiliki kepentingan memaksimalkan kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk berusaha seoptimal mungkin dan
19
menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan harapan principal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002). Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997) menyatakan apabila beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal ini menyebabkan agen cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour). Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan harapan principal meskipun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Pemanipulasian data dalam laporan keuangan tersebut dapat berupa praktek manajemen laba (earning management). Manajemen laba merupakan proses yang dilakukan manajer dalam batasan general accepted accounting principles, yang sengaja mengarah pada suatu tingkatan yang diinginkan atas laba yang dilaporkan (Assih, 2000). Manajemen laba dapat terjadi ketika manajemen lebih menggunakan judgement dalam menyusun laporan keuangan serta dalam memilih transaksitransaksi yang dapat merubah laporan keuangan (Healy & Wahlen, 1998). Sedangkan menurut Scott (2000), manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.
20
Earning management dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan yang dipengaruhi oleh laba yang dilaporkan, sehingga bisa memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami perusahaan. Tindakan manajer melakukan manajemen laba tersebut bisa dikategorikan sebagai suatu penipuan dan tidak etis (Merchant dan Rocknes, 1994 dalam Gumanti, 2001). Healy dan Wahlen (1998) berpendapat dalam earning management mempunyai pengertian yang luas karena di dalam pengertian tersebut terdapat tiga aspek penting. Pertama adalah nampak bahwa banyak alasan atau justifikasi yang diajukan oleh manajer untuk mempengaruhi berbagai alasan untuk mengestimasi berbagai kejadian masa depan, misalnya umur mesin, nilai sisa (salvage value) asset jangka panjang, penundaan pajak atau kerugian sebagai akibat dari adanya bad debt. Manajer juga dituntut untuk memilih beberapa metode penyusutan, menentukan kebijakan tentang manajemen modal kerja, memutuskan, mengakui atau menunda pendapatan dan biaya, dan dituntut untuk menetapkan apakah perlakuan-perlakuan khusus harus digunakan dalam kaitanya dengan strukturisasi transaksi-transaksi besar perusahaan (corporate transaction). Misalnya, dalam kasus penggabungan usaha (merger) dan kontrak lease penggunaan. Poin kedua adalah manajemen laba digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak sebenarnya kepada pemegang saham (to mislead stock holder) atau beberapa tingkatan pemegang saham tentang kinerja ekonomi sebenarnya. Hal ini dapat terjadi manakala
sebagian
pemegang
saham
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
21
mengungkapkan atau sebagian tidak peduli dengan praktik manajemen laba. Poin ketiga adalah justifikasi yang dilakukan oleh manajer untuk menggunakan manajemen laba tidak saja berimplikasi pada manfaat tetapi juga biaya. Artinya manajemen laba memiliki dua implikasi langsung, yaitu manfaat dan biaya (cost and benefit). Healy dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari manajemen laba dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan return saham. Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak hutang maupun kontrak kompensasi manajemen. Ketiga, motivasi regulatory berupa motivasi untuk menghindari biaya politik. Scott (1997) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba. Pertama, rencana bonus (bonus scheme). Manajer yang bekerja berdasarkan kontrak bonus akan mengatur laba yang dilaporkan agar bonus yang diterima maksimal serta dapat memperoleh bonus yang diinginkan di masa yang akan datang. Kedua, kontrak hutang (debt covenant). Perusahaan akan menaikkan laba agar rasio debt to equity berada pada posisi yang diinginkan. Ketiga, motivasi politik (political motivation). Perusahaan-perusahaan selama periode kemakmuran tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, agar dapat memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. Keempat, motivasi pajak (taxation motivation). Perusahaan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menghasilkan laba dilaporkan lebih rendah, sehingga pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga menjadi lebih rendah.
22
Kelima, perubahan Chief Executive Officer (CEO). CEO yang mendekati akhir jabatannya cenderung melakukan income maximization untuk meningkatkan bonus mereka. Keenam, penawaran saham perdana (IPO). Perusahaan yang akan melakukan IPO cenderung melakukan income increasing untuk menarik calon investor. Huang et al. ( 2009 ) menemukan bahwa semakin kuat hak pemegang saham berhubungan dengan akrual diskresioner maka motif income increasing semakin rendah karena pemegang saham melarang manajer untuk melaporkan laba yang agresif. Faktor-faktor pemicu earning management menurut Setyawati dan Na’im (2000) yaitu : 1. Dalam kontrak antara manajer dan pemilik (melalui kompensasi). Penelitian Healy (1985) membuktikan bahwa kompensasi yang didasarkan atas data akuntansi merupakan insentif bagi para manajer untuk memilih prosedur dan metode akuntansi yang dapat memaksimumkan besarnya bonus yang akan diperoleh. 2. Sebagai sumber informasi bagi investor di pasar modal. Sebagai suatu perusahaan, akan mencoba membuat laporan keuangan secara agresif pada saat pertama kali go public agar dapat menarik calon investor. 3. Dalam kontak utang. Salah satu persyaratan dalam pemberian kredit seringkali mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan tingkat rasio modal kerja minimal, rasio debt to equity minimal, maksimum pemberian
23
deviden ke pemegang saham, atau batasan-batasan lain yang umumnya dikaitkan dengan data akuntansi perusahaan. 4. Dalam penetapan pajak oleh pemerintah, penentuan proteksi terhadap produk, penentuan denda dalam suatu kasus, dan lain sebagainya berpengaruh terhadap besarnya pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Cristie dan Zimmermen (1994) membuktikan bahwa reduksi tingkat pajak tersebut merupakan insentif bagi manajemen untuk melakukan rekayasa laba akuntansi. Dalam penelitian itu juga membuktikan bahwa penghematan pajak menjadi insentif bagi manajer (khususnya manajer yang mengalami not operating loss pada tahun 1986- 1991) untuk mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan. Di USA, perusahaaan yang mengalami net operating loss diijinkan untuk mengkompensasikan rugi operasi tersebut dengan laba 3 tahun sebelumnya atau dengan laba 15 tahun yang akan datang. Dampak dari kompensasi rugi terhadap laba adalah restitusi pajak (tax refund). 5. Oleh pesaing, kondisi laporan keuangan diunakan untuk menentukan keputusan ambil alih ataupun untuk penetapan strategi persaingan. 6. Oleh karyawan kenaikan laba perusahaan digunakan untuk meminta kenaikan upah, dan lain sebagainya. Sedangkan pada penelitian Gumanti (2000) alasan manajer melakukan earning management dapat disimpulkan sebagai berikut:
24
1. Laba atau earning telah dijadikan sebagai suatu target dalam proses penilaian prestasi usaha suatu departemen secara khusus (manajer) atau perusahaan (organisasi) secara umum. 2. Laba atau tingkat keuntungan merupakan alat untuk mengurangi biaya keagenan (agency cost), dari sisi keagenan (agency theory), dan juga biaya kontrak, dari sisi teori (contacting theory). Misalnya, pada saat keuntungan dijadikan sebagai patokan dalam pemberian bonus, hal ini akan menciptakan dorongan kepada manajer untuk mengatur data keuangan agar dapat menerima bonus seperti yang diinginkan. 3. Adanya tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer sehubungan dengan praktek manajemen laba. Ketiga sasaran tersebut adalah minimisasi biaya politis (politicial cost minimization), maximisasi kesejahteraan manajer (manager wealth maximization), dan minimisasi biaya financial (minimization financing cost).
Penelitian Mahmudi (2001) dan Gumanti (2001) tidak jauh berbeda dengan pernyataan Jumingan (2002) bahwa manajemen laba diduga muncul atau dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan manajer laba. Berkaitan dengan efek negatif earning management, Healy dan Palepu (1993) menyatakan bahwa earning management tidak hanya merugikan investor, namun juga merugikan manajemen. Jika investor sampai mengetahui bahwa informasi yang disajikan oleh manajemen tidak benar, harga saham yang overlued bisa menjadi
25
undervalued. Harga saham yang lebih rendah dari harga yang sesungguhnya merugikan manajemen untuk memperoleh tambahan dana dari pasar modal (Setiawati dan Na’im, 2000). Penelitian Teoh, Welch, dan Wong (1998) membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki kebijakan akrual yang income increasing pada saat penawaran saham, pada saat-saat berikutnya akan mengalami penurunan harga saham. Berarti pasar tidak mampu mendeteksi adanya income increasing accruals (kenaikan pendapatan akrual), atau pasar terlambat memahami pilihan akuntansi manajer, sedangkan dana investor terlanjur ditanamkan dalam perusahaan yang bersangkutan (Setiawan dan Na’im, 2000). Lebih lanjut Scott (1997) mengemukakan bahwa manajemen laba dapat berupa : - Taking a bath Manajemen melakukan metode taking a bath dengan mengakui biaya-biaya dan kerugian periode yang akan datang pada periode berjalan ketika pada periode berjalan terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan. - Income minimization Manajer melakukan praktik manajemen laba berupa income minimization dengan mengakui secara lebih cepat biaya-biaya, seperti biaya pemasaran, riset dan pengembangan, ketika perusahaan memperoleh profit yang cukup besar dengan tujuan untuk mengurangi perhatian politis.
26
- Income maximization Income maximation merupakan upaya manajemen untuk memaksimalkan laba yang dilaporkan. - Income smoothing Income smoothing merupakan praktik manajemen laba yang dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba, dengan tujuan untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan, sehingga perusahaan tampak lebih stabil dan tidak beresiko.
2.3.1 Teknik Pengelolaan Laba Teknik merekayasa laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi antara lain, estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode garis lurus. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Metode ini juga disebut juga dengan manipulasi keputusan operasional. Contohnya rekayasa periode biaya
27
atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya (Delay dan Vigeland, 1993 dalam penelitian Setyawati, 2000). Earning
management
dapat
dilakukan
melalui
kebijakan
akrual.
Dalam
mengaplikasikan kebijakan akrual digunakan accrual, deferral dan prosedur alokasi yang bertujuan untuk menyesuaikan beban dan pendapatan dengan periodenya, bukan mengkaitkan beban dan pendapatan berdasarkan atas pengeluaran dan penerimaan kas (cash basic). Oleh karena itu, kebijakan akrual dalam mengaplikasikan standar akuntansi dapat dimanfaatkan untuk melakukan manajemen laba. Penelitian-penelitian tentang manajemen laba hampir seluruhnya menggunakan pendekatan accruals. Pendekatan yang paling banyak digunakan dalam pengujian manajemen laba adalah model yang dikembangkan oleh Jones (1991) dan model modifikasi Jones. Dalam pendekatan Jones total accrual didapat dari laba bersih dikurangi aliran kas dari aktivitas operasi, sedangkan dalam pendekatan modifikasi Jones, total accrual dan pendapatan operasi digunakan untuk mencari discretionary accrual. Salah satu kelebihan dari, pendekatan total accrual adalah pendekatan tersebut berpotensi untuk mengungkapkan cara-cara untuk menurunkan atau menaikan keuntungan, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui oleh pihak luar (outsider). Adapun model yang dapat digunakan antara lain: Model Jones (1991):
28
TAit = β0 + β1∆RECit/ASSETSit-1 + β2PPEit/ASSETSit-1 + εi Dimana, TA adalah Total Akrual yang diperoleh dari selisih antara laba sebelum extraordinary items dengan arus kas bersih dari aktivitas operasional, ASSETSit-1 adalah Total asset tahun sebelumnya, ∆RECit adalah selisih Piutang Dagang tahun yang diteliti dengan Piutang Dagang satu tahun sebelumnya, dan PPEi adalah total property, plant, dan equipment tahun yang diteliti. Sementara εi adalah nilai residu yang akan digunakan untuk perhitungan pengelolaan laba. Semua variable diskala dengan Total Aset tahun lalu. Model Jones yang telah dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995): TAit = β0 + β1∆(∆REVit-∆RECit)/ASSETSit-1 + β2PPEit/ASSETSit-1 + εi Karena model ini merupakan modifikasi dari Model Jones sebelumnya, pengukuran variable dan perhitungannya juga hampir sama, hanya ditambah dengan penggunaan ∆REVi yaitu selisih pendapatan tahun yang diteliti dengan satu tahun sebelumnya. Model Kaznik (1999): TAit = β0 + β1∆(∆REVit-∆RECit)/ASSETSit-1 + β2PPEit/ASSETSit-1 + β3∆CFOit /ASSETSit-1 + εi Pengukuran dan perlakuan model Kasznik ini juga serupa dengan model Dechow sebelumnya, ditambah dengan penggunaan ∆CFOi yaitu selisih arus kas dari hasil operasi tahun yang diteliti dengan satu tahun sebelumnya. Model Kothari et al. (2005): TAit = β0 + β1∆(∆REVit-∆RECit)/ASSETSit-1 + β2PPEit/ASSETSit-1 + β3∆ROAit /ASSETSit-1 + εi
29
Pengukuran dan perlakuan model Kasznik ini juga serupa dengan model Dechow sebelumnya, ditambah dengan penggunaan ROA dari tahun yang diteliti. Model KasKot: TAit = β0 + β1∆(∆REVit-∆RECit)/ASSETSit-1 + β2PPEit/ASSETSit-1 + β3∆CFOit /ASSETSit-1 + β4∆ROAit /ASSETSit-1 + εi Pengukuran model KasKot ini mengkombinasikan ∆CFO pada model Kasznik dengan ROA pada model Kothari. Model ini dicobakan untuk ikut diujikan karena diduga dapat memperlihatkan factor kebijakan akrual non-diskresioner yang selam ini ditampung dalam kebijakan akrual diskresioner (error). Misalnya, pada model Kasznik hanya memasukan ∆CFO dalam komponen kebijakan akrual nondiskresioner sebagai tambahan dari model Dechow yang memberikan implikasi bahwa factor lain masuk sebagai komponen kebijakan akrual diskresioner. Padahal, model Kothari membuktikan bahwa ROA juga bagian dari komponen kebijakan akrual non-diskresioner. Dengan demikian, dengan mencoba memasukkan semua komponen akrual non-diskresioner yang telah teruji diharapkan dapat memberikan tambahan bukti bahwa ∆CFO dan ROA secara bersama-sama memang sebagai komponen kebijakan akrual non-diskresioner. Sehingga, nilai akrual yang bersifat diskresioner akan lebih akurat. Dalam penelitian ini akan digunakan Model Jones yang telah dimodifikasi sebagai cara untuk mendeteksi perilaku pengelolaan laba di perusahaan. Alasan digunakannya model Jones yang telah dimodifikasi adalah karena modifikasi Jones lebih baik dalam mendeteksi manipulasi pendapatan dan bad debt. Model Modifikasi Jones mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam penjualan kredit diperoleh dari
30
earnings management. Hal ini menjadi dasar alasan yang mudah untuk mengatur laba dengan melakukan kebijakan melalui pengakuan pendapatan pada penjualan kredit daripada melalui penjualan tunai. Motif dilakukannya praktik pengelolaan laba dimulai dari adanya metode akrual yang diperkenankan standar akuntansi yang memungkinkan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi yang dapat mencapai tujuan tertentu ( Scott, 2009 ). Akrual dapat dibedakan menjadi akrual diskresioner dan akrual non diskresioner. Akrual diskresioner adalah akrual yang berasal dari diskresi manajemen, sedangkan akrual non diskresioner adalah akrual yang besarnya tergantung dari kegiatan operasional perusahaan ( Scott, 2009 ). Motif dilakukannya praktik pengelolaan laba sebenarnya tidak selalu untuk tujuan pemenuhan kesejahteraan pihak manajer ( oportunis ), tetapi dapat juga untuk memaksimumkan nilai perusahaan (efisien). Scott ( 2009 ) pun telah merangkumkan beberapa motif yang mendasari dilakukannya praktik pengelolaan laba, antara lain, pencapaian bonus, pemenuhan kontrak hutang, adanya biaya politik, pemenuhan ekspektasi investor atas laba, menghindari penurunan laba, pergantian CEO, dan IPO. Tindakan
dilakukannya
praktik
pengelolaan
laba
tersebut
tentunya
akan
mempengaruhi angka dalam laporan keuangan karena laporan keuangan disusun secara terintegrasi antara laporan yang satu dengan laporan yang lain, sehingga tindakan pengelolaan laba dapat berakibat pada kesalahan pengambilan keputusan berdasarkan informasi akuntansi. Oleh sebab itu, pengelolaan laba sering dinilai sebagai “agency cost” ( Davidson et al., 2004 ).
31
2.4 Kerangka Pemikiran 2.4.1 Hubungan antara Earning Forecast dengan Earning Management Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaggi, et al (2006), penelitian ini menguji apakah peraturan pemerintahan Taiwan yang mewajibkan pengungkapan prakiraan laba dalam prospectus penawaran IPOnya mengakibatkan pengungkapan prakiraan laba yang optimis, dan apakah forecast bias dapat lebih dikurangi dengan memanipulasi
laba
yang
dilaporkan
daripada
dengan
merevisi
perkiraan
pendapatannya agar dapat memenuhi ambang batas kesalahan ramalan. Penelitian ini didasarkan pada 759 forecast yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan Taiwan yang mengeluarkan IPO pada tahun 1994-2001, dengan jangka waktu selama ± 8 tahun yaitu setelah peraturan pemerintahan Taiwan tersebut telah dimodifikasi untuk meningkatkan ambang kesalahan forecastnya menjadi sebesar 20%. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa dengan adanya peraturan untuk mengungkapkan prakiraan laba dalam prospectus pengeluaran IPO nya akan lebih banyak menghasilkan perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan prakiraan labanya lebih optimis daripada perusahaan yang mengeluarkan prakiraan labanya secara konservatif, terutama untuk perusahaan-perusahaan yang mengharapkan kinerja yang lebih baik pada tahun pengungkapan prakiraan laba daripada kinerja di tahun sebelumnya. Perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan prakiraan laba yang optimis akan lebih terlibat dalam manipulasi laba yang dilaporkan daripada untuk
32
merevisi perkiraan pendapatannya untuk memenuhi perkiraan kesalahan ambang batas yang telah ditentukan oleh peraturan pemerintahan Taiwan. Temuan penelitian ini dengan demikian menunjukkan bahwa peraturan untuk mengungkapkan prakiraan laba akan mengakibatkan insentif untuk memanipulasi laba yang dilaporkan, dimana akan mengurangi kualitas dari pendapatan laba yang dilaporkan. Berbeda dengan penelitian ini bahwa, dalam penelitian ini sumber data yang digunakan merupakan perusahaan-perusahaan yang bertempat di Indonesia dimana pemerintahan Indonesia tidak mewajibkan untuk mengungkapkan prakiraan laba perusahaan di tahun perusahaan tersebut mengeluarkan IPO. Dari situ akan diteliti apakah ada perbedaan praktik pengelolaan laba yang dilakukan oleh perusahaan forecaster (yang mengungkapkan earning forecast ) dengan perusahaan non forecaster (tidak mengungkapkan earning forecast). Yang kemudian setelah itu akan juga diteliti apakah perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan prakiraan laba yang optimis akan lebih terlibat dalam manipulasi laba yang dilaporkan daripada perusahaan yang tidak mengungkapkan prakiraan labanya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cormier dan Martinez (2006), studi ini meneliti motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba melalui intervensi terarah dalam pengaturan discretionary accrual, dalam konteks penawaran umum perdana (IPO) di Perancis. Perusahaan yang menerbitkan prakiraan (forecaster) dalam prospectusnya diharapkan dapat berbeda dari perusahaan yang tidak menerbitkan prakiraan labanya (nonforecasters) dalam hal tingkat manajemen laba selama satu tahun setelah penawaran umum. Hasil penelitian menyatakan bahwa pada tahun berikutnya setelah
33
penawaran IPO, besarnya manajemen laba jauh lebih tinggi untuk perusahaan forecaster daripada nonforecasters. Hasil juga menunjukkan bahwa perilaku akrual suatu perusahaan dipengaruhi oleh penyimpangan peramalan labanya. Dalam penelitian ini juga dilakukan penelitian yang serupa ditambah dalam penelitian ini juga diteliti perbedaan motivasi earning management yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
optimistic
forecaster
dengan
perusahaan-perusahaan
conservative forecaster, apakah dalam kedua jenis perusahaan forecaster tersebut melakukan earning management untuk smoothing income atau increasing income. Kaznik dalam Journal of Accounting Research (1999) menemukan bukti bahwa perusahaan yang manajer memiliki estimasi penghasilan yang berlebihan memiliki tingkat signifikan dari discretionary accrual yang positif. Perusahaan-perusahaan ini secara signifikan juga memiliki discretionary accrual lebih positif di tahun peramalan dibandingkan tahun-tahun lain. Dalam penelitian ini juga ditemukan ada insentif bagi management untuk melakukan management laba dalam tahun peramalannya. Dalam penelitian ini juga ditemukan penggunaan perubahan total akrual di tahun sebelum tahun perkiraan sebagai proxy untuk fleksibilitas akuntansi, ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa manajer perusahaan yang memiliki fleksibilitas lebih akan mengurangi kesalahan perkiraan mereka lebih besar daripada manajer perusahaan dengan fleksibilitas kurang. Bedanya dalam penelitian yang ditulis dalam thesis ini adalah, penulis tidak membandingkan adanya indikasi praktik pengelolaan laba ( earning management ) di tahun – tahun lain sebelum mengeluarkan IPO atau tahun peramalan terjadi. Dalam thesis ini juga diteliti perbedaan praktik manajemen yang
34
dilakukan manajer suatu perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya dengan yang tidak mengungkapkan, berbeda dengan Kaznik yang hanya membandingkan di antara perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya. Gumanti (1996) menguji kemungkinan adanya earning management pada perusahaan yang baru go public di Bursa Efek Jakarta, namun Gumanti tidak menemukan bukti yang kuat adanya earning management pada periode sebelum go public. Bukti adanya Earning management justru ditemukan setahun setelah go public. Pada penelitian selanjutnya tahun 2001, dengan menggunakan pendekatan total accrual menunjukan bukti yang kuat atas terjadinya manajemen laba, khususnya pada periode dua tahun sebelum go publik. Hal ini berarti issuers telah memilih metode-metode akuntansi yang menaikan keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals. Penelitian yang dilakukan Warganegara dan Indriastari (2009) mencoba untuk memberikan bukti terhadap adamya manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia satu tahun sebelum go public. Namun, penelitian tersebut tidak menemukan bukti bahwa rata-rata perusahaan Indonesia memanipulasi laba yang dilaporkan untuk memperoleh hasil yang lebih tinggi dari IPO mereka. Hasil penelitian tersebut bahkan ditemukan setelah ukuran perusahaan dan tingkat leverage perusahaan dipertimbangkan dalam mengevaluasi adanya indikasi pengelolaan laba (earning management) perusahaan-perusahaan sebelum IPO. Yang membedakan penelitian – penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan thesis ini adalah bila penelitian – penelitian sebelumnya tersebut ingin membuktikan adanya praktik pengelolaan laba (earning management) di perusahaan pada periode sebelum
35
go public, penulis justru ingin membuktikan adanya praktik pengelolaan laba pada perusahaan justru setelah perusahaan tersebut go public. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat perbedaan praktik pengelolaan laba (Earning management) yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan yang mengungkapkan prakiraan laba (Earning Forecast) di saat mengeluarkan IPO dengan perusahaan yang tidak mengungkapkan prakiraan labanya di tahun perusahaan tersebut mengeluarkan IPO (non forecaster). Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut : H1: Terdapat bukti nyata bahwa terdapat perbedaan perilaku pengelolaan laba (Earning Management) pada perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya (Forecaster) dengan perusahaan yang tidak mengungkapkan prakiraan labanya di tahun pengeluaran IPO ( Non Forecaster ). Di samping itu penulis juga masih ingin meneliti diantara perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya (Forecaster), apakah terdapat perbedaan perilaku pengelolaan laba (Earning Management) pada perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya secara optimis (Optimistic Forecaster) dimana nilai forecast biasnya lebih besar daripada nilai actual earningnya, dengan perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya secara konservatif (Conservative Forecaster), dimana nilai forecast biasnya lebih kecil daripada nilai actual earningnya. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut :
36
H2: Terdapat bukti nyata bahwa terdapat perbedaan perilaku pengelolaan laba (Earning Management) pada perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya secara optimis (Optimistic Forecaster) dengan perusahaan yang mengungkapkan prakiraan labanya secara konservatif (Conservative Forecaster).
2.4.2 Hubungan antara Earning Management dengan Reputasi Auditor Audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Auditor diharapkan dapat membatasi praktek earning management serta membantu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat umum terhadap laporan keuangan. Sampai saat ini, kualitas auditor masih sering dipergunakan untuk menilai besar/kecilnya atau ada/tidaknya praktik pengelolaan laba dalam suatu perusahaan. Beberapa penelitian sebelumnya (DeFond dan Jiambalvo, 1994); Becker, et al . (1998); dan Gul, et al. (2000) menggunakan ukuran KAP dengan asumsi bahwa semakin besar ukuran KAP, maka semakin baik kualitas auditnya. Menurut Scott (2009), efektifitas dan kemampuan auditor untuk mendeteksi earning management tergantung pada kualitas auditor tersebut. Kualitas audit ini biasanya dikaitkan dengan ukuran auditor yaitu big dan non-big. Auditor big dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor non-big. Auditor
37
yang diklasifikasikan sebagai big juga dianggap akan lebih mampu membatasi praktek earning management dibandingkan dengan auditor non-big. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat pengaruh antara besarnya reputasi dan kualitas Auditor yang dipakai oleh perusahaan dalam mengaudit dan mengesahkan laporan keuangan perusahaan terhadap adanya praktik pengelolaan laba (Earning management) yang dilakukan oleh perusahaan di saat mengeluarkan IPO. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut: H3: Terdapat pengaruh yang signifikan antara besarnya reputasi dan kualitas Auditor yang di pakai perusahaan dengan adanya praktik pengelolaan laba (Earning Management ) yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
2.4.3
Hubungan
antara
Earning
Management
dengan
Leverage Leverage ini menunjukkkan seberapa besar pembiayaan perusahaan yang berasal dari utang, sehingga sering disebut dengan rasio utang. Rasio utang dikatakan tingi jika berada di atas rata-rata rasio utang industri yang sama, sedangkan rasio utang dikatakan rendah jika berada di bawah rata-rata ratio utang industri yang sama pula. Apabila rasio perusahaan di atas rata-rata industri dapat membahayakan perusahaan akan lebih mahal bagi perusahaan untuk meminjam dana tambahan tanpa terlebih dahulu meningkatkan modal ekuitas, kreditur enggan meminjamkan tambahan dana kepada perusahaan dan manajer menghadapi risiko kebangkrutan jika perusahaan
38
meningkatkan rasio utang dengan meminjam tambahan dana (Brigham dan Houston, 1998). Tingkat leverage keuangan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan apabila perusahaan akan dilikuidasi, baik kewajiban keuangan jangka pendek atau jangka panjang yang dapat dilihat dari nilai rasionya. Hutang merupakan salah satu alasan dalam praktik pengelolaan laba (Scott, 2009), yaitu pelanggaran atas covenants dapat menimbulkan biaya, oleh karena itu, perusahaan memiliki motif untuk melakukan praktik pengelolaan laba untuk menghindari pelanggaran tersebut. Penelitian Dechow, et.al. (1995) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen laba, yang salah satunya adalah leverage factor. Leverage ini menunjukkan berapa bagian aktiva yang digunakan untuk menjamin utang. Ukuran ini berhubungan dengan keberadaan ketat dan tidaknya persetujuan utang. Perusahaan yang mempunyai leverage factor yang tinggi akibat besarnya utang, diduga melakukan manajemen laba karena perusahaan yang terancam default (tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya), berusaha menghindari dengan membuat kebijakan yang meningkatkan pendapatan atau laba, dengan demikian memberikan posisi bargaining yang relatif lebih baik dalam negosiasi ulang (Jiambalvo, 1996). Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat pengaruh antara besarnya leverage yang dimiliki oleh suatu
39
perusahaan terhadap adanya praktik pengelolaan laba ( Earning management ) yang dilakukan oleh perusahaan di saat mengeluarkan IPO. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut: H4: Terdapat pengaruh yang signifikan antara besarnya leverage yang dimiliki oleh suatu perusahaan dengan adanya praktik pengelolaan laba (Earning Management) yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
2.4.4
Hubungan
antara
Earning
Management
dengan
Persentase Saham yang Ditawarkan Pada Publik saat IPO Persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO menunjukan besarnya private information yang harus di-sharing-kan manajer kepada publik. Private information tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya diketahui oleh manajer, seperti: standar yang dipakai dalam pengukuran kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus, dan sebagainya. Dengan adanya publik investor mengakibatkan manajer berkewajiban memberikan informasi internal secara berkala sebagai bentuk pertanggung jawabannya. Menurut Jansen (1993) publik mempunyai peran penting dalam menciptakan well-functioning governance system karena mereka memiliki financial interest dan bertindak independen dalam menilai manajemen. Semakin besar persentase saham yang ditawarkan kepada publik, maka semakin besar pula informasi internal yang harus diungkapkan kepada publik, sehingga kemungkinan dapat mengurangi intensitas terjadinya manajemen laba.
40
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat pengaruh antara besarnya persentase saham yang ditawarkan oleh suatu perusahaan kepada public di saat perusahaan tersebut mengeluarkan IPO terhadap adanya praktik pengelolaan laba (Earnings management) yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut: H5: Terdapat pengaruh yang signifikan antara besarnya besarnya persentase saham yang ditawarkan oleh suatu perusahaan kepada public di saat perusahaan tersebut mengeluarkan IPO dengan adanya praktik pengelolaan laba (Earning Management) yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
2.4.5 Hubungan antara Earning Management dengan Ukuran Perusahaan (Size) Para peneliti menggunakan ukuran perusahaan sebagai proxy dari sensitivitas politik perusahaan, disebut juga political cost. Ukuran perusahaan adalah ukuran besaran perusahaan yang diproxykan oleh nilai total aktiva perusahaan. Semakin besar nilai total aktiva perusahaan maka perusahaan yang bersangkutan dapat dikatakan berukuran besar. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil nilai aktiva perusahaan maka dapat dikatakan bahwa perusahaan yang bersangkutan berukuran kecil. Ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Kemudahan mendapatkan informasi
41
akan meningkatkan kepercayaan investor. Maka semakin besar ukuran perusahaan, manajer akan memilih prosedur akuntansi dengan menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode berjalan ke periode yang akan datang (Watts dan Zimmerman, 1986). Hipotesis ini didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan besar lebih sensitive secara politis dan memiliki transfer keuntungan yang relative lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat pengaruh antara besarnya ukuran (Size) perusahaan, yang diukur dari nilai total asset perusahaan, terhadap adanya praktik pengelolaan laba (Earning management) yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut: H6: Terdapat pengaruh yang signifikan antara besarnya ukuran (Size) perusahaan dengan adanya praktik pengelolaan laba (Earning Management) yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
2.4.6 Hubungan antara Earning Management dengan Keadaan Pasar (Return IHSG) Penggunaan harga pasar sebelum tanggal akuisisi sebagai pedoman dalam proses negosiasi harga akuisisi menyebabkan manajemen perusahaan target memiliki peluang untuk mempengaruhi harga pasar tersebut dengan memanfaatkan kelebihan informasi yang dimilikinya, terutama dengan melakukan manajemen laba (Trueman dan Titman, 1988; Dye, 1988). Penelitian dengan motivasi yang sama telah dilakukan
42
oleh Healy (1985) menyatakan bahwa informasi asimetris antara investor dengan manajemen membuka kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk memaksimalkan utilitas mereka dalam program bonus atau untuk tujuan penundaan pergantian manajer (DeAngelo, 1988; Pourceau, 1993) yang disebabkan oleh adanya perbedaan informasi antara para pengguna laporan keuangan dengan pihak manajemen perusahaan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin mencari apakah terdapat pengaruh kondisi pasar yang tengah berlangsung di saat perusahaan tersebut mengeluarkan IPO, yang diukur dari nilai return harga Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia, terhadap adanya praktik pengelolaan laba ( Earning management) yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut: H6: Terdapat pengaruh yang signifikan antara pengaruh kondisi pasar yang tengah berlangsung di saat perusahaan tersebut mengeluarkan IPO (Return dari IHSG) dengan adanya praktik pengelolaan laba (Earning Management) yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
2.5 Kerangka Pemikiran Teoritis Secara garis besar, tujuan dilakukannya penelitian ini untuk menyelidiki adanya perbedaan dorongan yang dipunyai oleh pihak manajemen untuk melakukan Earning Management pada perusahaan yang mengungkapkan dan tidak mengungkapkan prakiraan laba (Earning Forecast). Penelitian ini juga meneliti adanya perbedaan
43
perlakuan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan optimistic forecaster dengan conservative forecaster, diharapkan perusahaan optimistic forecaster akan melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk meningkatkan labanya sedangkan pada perusahaan conservative forecaster cenderung akan menurunkan labanya. Terakhir, penelitian ini akan melihat pengaruh dari besarnya earning forecast bias, jenis auditor dan besarnya kepemilikan saham yang dimiliki oleh seorang pengusaha, keluarga, atau oleh perusahaan lainnya terhadap praktik earning management yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sementara persentase kepemilikan tetap yang dipegang oleh pemegang saham pengendali awal setelah IPO, besarnya perusahaan, leverage dan return IHSG digunakan sebagai variable control dalam pengujian model.
44
Gambar 2.5 Kerangka Konseptual