10/15/14
GARIS BESAR BAHASAN
TINJAUAN KEBIJAKAN HUBUNGAN PUSAT-‐ DAERAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
I. LATAR BELAKANG II. BEBERAPA PERMASALAHAN III. DATA LAPANGAN DAN HASIL MONITORING IV. ANALISIS DAN EVALUASI HUBUNGAN V. REKOMENDASI / SARAN
(Pembelajaran Dari Kasus Rokatenda, Sinabung & Kelud) Oleh
Hendro Wardhono (IABI & UPMP BPBD Prov. Jawa Timur) Bambang Heriyanto (UPMP BPBD Prov. Jawa Timur)
1
2
I. LATAR BELAKANG
Strategi Yokohama 2005 -‐2015
1. UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (PB) masih belum merumuskan dengan tepat dan jelas pembagian peran dan kewenangan dalam penangulangan becana sesuai �ngkatannya (pusat, provinsi dan kabupaten/kota); 2. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang lahir lebih dahulu, belum mengatur tentang bagaimana kewenangan dalam penanggulangan bencana, pembentukan kelembagaan PB, dan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam hubungan dengan kegiatan dan program Penanggulangan Bencana; 3. Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang perlu dikaji terkait dengan kegiatan PB antara lain PP No. 38 / 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 2) PP No. 41 / 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; dan 3) Permendagri No. 13 / 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 3
A A A A A
Tata kelola: kelembagaan, kerangka kerja legal dan kebijakan; Identifikasi risiko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini; Pengelolaan pengetahuan dan pendidikan; Peredaman faktor-faktor risiko yang mendasar; Kesiapsiagaan untuk respon dan pemulihan yang efektif.
HYOGO FRAMEWORK FOR ACTION (HFA) § Memastikan bahwa peredaman risiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya; § Mengidentifikasi, menjajagi dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; § Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan disemua tingkatan; § Meredam faktor-faktor risiko yang mendasar; § Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat.
4
1
10/15/14
Penanggulangan Bencana Dalam Konteks Pembanguan Berkelanjutan
SOSIOKULTURAL
Fokus Pengurangan Risiko Bencana MENDORONG KESADARAN
perubahan perilaku
P O L I T I K A L
FAKTORFAKTOR RISIKO Kerentanan Bahaya
K PA A M AN A D NC BE
ANALISIS KERENTANAN & KEMAMPUAN ANALISIS & PEMANTAUAN ANCAMAN
PENGEMBANGAN PENGETAHUAN
IDENTIFIKASI RISIKO & KAJIAN DAMPAK
PERINGATAN DINI KESIAPAN
PENANGGULANGAN KEDARURATAN
PEMULIHAN
EKONOMIK
KOMITMEN POLITIK
PENERAPAN UPAYA-2 PENGURANGAN RISIKO
PRIORITAS RAN-PRB …. E K O S Y S T E M L I N G K U N G A N
1. Kebijakan & kelembagaan 2. Identifikasi, analisis risiko, peringatan dini 3. Pendidikan & budaya keselamatan 4. Mengatasi akar masalah risiko 5 Kesiapan tanggap darurat
II. BEBERAPA PERMASALAHAN 1. UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang PB “�dak bisa berbuat banyak” ke�ka dihadapkanan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan 9 Juli 2007 (setelah UUPB) �dak menyebutkan adanya urusan kebencanaan, bahkan UU Nomor 24 Tahun 2007 yang dikeluarkan tanggal 24 April 2007 yang menyatakan pembentukan BPBD sebagai mandatory �dak disebut di dalam konsideran keluarnya PP Nomor 38/2007; 3. Penyelenggara PB adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah, di mana pemerintah membentuk BNPB sebagai LPND, dan Pemerintah Daerah membentuk BPBD di �ngkat provinsi dan di �ngkat Kabupaten/Kota; 4. Dalam konteks otonomi daerah, kegiatan penanganan darurat bencana mekanisme komando dan koordinasi acap kali terkendala oleh hubungan kelembagaan antara BNPB dan BPBD, karena di dalam prinsip otonmi daerah Badan yang dibentuk daerah bersifat otonom dan �dak hirarkhis dengan badan yang ada di atasnya (Pemerintah Pusat). 6
III. DATA LAPANGAN DAN HASIL MONITORING KASUS PB ERUPSI GUNUNG ROKATENDA – MAUMERE -NTT
5. Dalam kegiatan PB, khususnya dalam fase penanganan darurat yang memerlukan �ndakan responsif dan atau kecepatan penanganan acapkali terbentur dengan urusan birokrasi dengan atas nama otonomi yang pada akhirnya penanganan menjadi kurang responsif dan �dak leluasa dalam mengambil �ndakan cepat;
§ Keberadaan lembaga BPBD rela�f baru dengan SDM berlatar belakang heterogen dan belum berpengalaman dalam PB menuntut BNPB melakukan pendampingan secara intensif dalam berbagai hal, mulai dari SDM, adminstrasi, keposkoan sampai masalah pendanaan/anggaran; § Situasi poli�k daerah sebagai dampak Pilkada yang berlangsung saat kondisi darurat memunculkan inharmonisasi dalam koordinasi kegiatan PB, akurasi data dan penanganan Pengungsi; § Erupsi yang terjadi pada 10 Agustus 2013 memunculkan kebijakan relokasi untuk pengungsi terkendala oleh berbagai hal, mulai dari masalah lokasi dan status tanah, memperlambat realisasi untuk relokasi pengungsi; § Isu-‐isu poli�s menyangkut daerah pemilihan (Dapil) menimbulkan ambivalensi dan keraguan serta penolakan dari pengungsi untuk di relokasi ke daerah yang telah disepaka� dan diputuskan sejak awal; § Hasil monitoring ke lapangan lokasi untuk relokasi pengungsi, penyediaan Huntara dan ataupun Huntap masih mencapai sekitar 10 % padahal DSP untuk mendukung kegiatan relokasi telah tersedia; § Kondisi dan situasi di atas menimbulkan ke�dakpas�an waktu untuk kedaruratan dan penangangan pengungsi, karena telah lebih dari 12 bulan kondisi kedaruratan berlangsung dan entah sampai kapan akan terealisasikan penyelesaian PB erupsi G. Rokatenda.
6. Fakta lapangan dalam hal urusan PB tak jarang memunculkan pemikiran masih terlalu dominannya intervensi pemerintah pusat dalam urusan-‐urusan di daerah, bahkan �dak sedikit yang memmberikan vonis sentralis�s atau �dak memberikan penghormatan atas prinsip-‐prinsip desentralisasi dan otonomi daerah; 6. Salah satu persoalan mendasar terkait dengan kinerja aparat di daerah yang masih lemah adalah masih maraknya tradisi mutasi jabatan ke�ka ada pergan�an jabatan poli�k (Bupa�/Walikota). Bahkan dinyatakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, bahwa dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebanyak 95% PNS �dak kompeten, dan hanya 5% memiliki kompetensi dalam pekerjaannya (Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis 1 Maret 2012). 7
8
2
10/15/14
KASUS PB ERUPSI G. SINABUNG - TANAH KARO - SUMUT (1)
KASUS PB ERUPSI G. SINABUNG - TANAH KARO - SUMUT (2) § Lokasi penampungan pengungsi sebagian besar berada pada komersial yang memunculkan tuntutan pembayara untuk sewa;
§ Saat terjadi erupsi, lembaga BPBD belum terbentuk sehingga kegiatan PB lebih banyak dilaksanakan BNPB dibantu Posko; § Situasi politik daerah akibat demo dan tuntutan masyarakat terhadap pelengseran Bupati berdampak pada aktivitas PB oleh Pemerintah Daerah terganggu dan tidak dapat berjalan dengan baik, terutama dukungan kegiatan PB dalam kaitan dengan pendanaan/anggaran; § Kegiatan PB dalam masa darurat banyak menimbulkan disharmonisasi dalam koordinasi kegiatan PB, akurasi data dan penanganan Pengungsi; § Dukungan anggaran daerah untuk PB yang relatif kecil memunculkan kecenderungan daerah untuk selalu meminta dana dari Pemerintah Pusat dengan alasan keterbatasan dana daerah; § Pemerintah Provinsi yang telah memiliki BPBD perannya selama masa darurat PB erupsi G. Sinabung relatif kecil; § Masalah relokasi pengungsi serta penanganan sarana prasarana pendukungnya masih terkendala oleh berbagai masalah.
§ Tuntutan pembayaran sewa lahan untuk penampungan pengungsi diajukan kepada Pemerintah Pusat, sedang peran pemerintah kabupaten dalam hubungan ini cenderung tidak ada; § Kebutuhan sarana prasarana perbaikan rumah untuk pengungsi yang akan kembali, cenderung diharapkan menjadi beban Pemerintah Pusat sehingga pengembalian pengungsi ke rumah mereka terkendala dan terhambat karena ketidak mampuan daerah; § Penyelesaian dan pengurusan status tanah untuk relokasi yang menjadi wewenang Provinsi kurang optimal penanganannya sehingga lokasi untuk relokasi pengungsi terhambat; § Kondisi erupsi yang masih terus terjadi pada Gunung Sinabung berdampak kepada lamanya waktu untuk penyelesaian masalah pemulangan dan relokasi pengungsi, yang sampai dengan saat ini sudah lebih dari 12 bulan.
9
KASUS PB ERUPSI G. KELUD - KEDIRI - JAWA TIMUR
tempat
10
IV. ANALISIS DAN EVALUASI HUBUNGAN
§ Keberhasilan dalam penanganan erupsi G. Kelud, khususnya dalam kaitan dengan evakuasi pengungsi untuk daerah terdampak di sekitar Kabupaten Kediri merupakan hasil dari keterpaduan, koordinasi serta kesiapsiagaan dari seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha yang ada di sekitar kejadian; § Pada saat erupsi G. Kelud diketahui bahwa Kabupaten Kediri juga merupakan salah satu Kabupaten yang tidak memiliki lembaga BPBD; § Dari gambaran keberhasilan dalam penanganan penanggulanan bencana erupsi G. Kelud, masih juga menyisakan permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan hubungan kelembagaan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota; § Masalah penyaluran bantuan karena belum adanya lembaga BPBD menjadi salah satu kendala tersalurnya bantuan pemerintah kepada daerah, meskipun lembaga BPBD Provinsi sebenarnya dapat dijadikan sebagai mediator dalam keadaan darurat;
Dalam perspektif kebijakan publik situasi sebagaimana ditunjukkan oleh data dan kasus tersebut di atas menggambarkan ketidak berhasilan implementasi kebijakan penanggulangan bencana dalam bingkai otonomi daerah, sebagaimana para ahli menyatakan : 1. Peter Blau (1955), dalam buku The Dynamic of Bureaucracy, menyatakan bahwa pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Karena di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkahlakunya sesuai persepsinya tentang keadaan yang berubah, akan dihasilkan administrasi birokrasi yang efisien;
§ Munculnya masalah perbedaan kebutuhan waktu penetapan masa darurat yang ditetapkan oleh Provinsi dan pada akhirnya diperpanjang sendiri oleh Kabupaten karena dirasakan masih perlu, menjadi contoh kasus, bagaimana hubungan antara pemerintah dan daerah yang perlu mendapatkan perhatian dan penegasan serta sinkronisasi, siapa sebenarnya yang paling membutuhkan penetapan masa kedaruratan.
2. Sementara itu Wahab (1997) mengidentifikasi 3 (tiga) sebab utama kegagalan implementasi yaitu: (i) akibat kondisi isi kebijakan kurang terumuskan dengan baik (bad policy), (ii) akibat dari sistem administrasi pelaksanaan kebijakan yang kurang baik (bad execution), dan (iii) akibat adanya kondisi lingkungan yang kurang mendukung (bad condition)
11
12
3
10/15/14
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
3. Blau & Meyer (2001) dalam buku “Birokrasi Dalam Masyarakat Modern” menegaskan bahwa organisasi birokrasi dalam masyarakat modern harus membuka ruang publik (public sphere) sehingga memungkinkan adanya keterwakilan masyarakat untuk mewarnai kebijakan/keputusan organisasi birokrasi tersebut; 4. Pasal 19 ayat (2) UU No. 24/2007, menyebutkan bahwa ”Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan BNPB”. Untuk menghindari sifat campur tangan dari Pusat, perlu dipertegas apa makna koordinasi tersebut, agar tidak menjadi acuan penyeragaman besaran dan format kelembagaan dari Pusat sampai Daerah. Lebih-lebih lagi, koordinasi jangan sampai menyeret kepada pengisian jabatan yang bersifat politis dan berdasar kepentingan kelompok /partai politik ke dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD); 5. Dalam kasus Rokatenda, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mekaisme koordinasi tidak jarang terganjal oleh mata ranta birokrasi dalam BPBD. Ketika mekanisme komando dan koordinasi harus dilakukan secara cepat dan tepat dalam kegiatan penanganan darurat, respon yang dilakukan oleh BPBD terkadang tidak sesuai harapan, karena Kalaksa harus melapor dulu ke Kepala Badan yang dijabat oleh sekda. Pola koordinasi seperti ini bisa disebut sebagai mekanisme karambol yang seringkali menjadi kendala cukup serius dalam koordinasi penanganan darurat yang memerlukan tempo cepat dan tepat.
MPR
DPR
DPD
PRESIDEN
BPK
MA
MENTERI-2 MENTERI2
DEKONSENTRASI
GUBERNUR & INSTANSI VERTIKAL
DESENTRALISASI
DAERAH OTONOM
TUGAS PEMBANTUAN
PEMERINTAHAN DAERAH/ PEMERINTAHAN DESA
MK
LEMBAGA NEGARA LAINNYA
DELEGASI
(DESENTRALISASI FUNGSIONAL)
BADAN PENGELOLA BUMN, OTORITA,DLL
13
PEMENCARAN URUSAN PEMERINTAHAN A DESENTRALISASI Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI
Wil Leb ayah U ih ru Dal Mend san ya am Ko alam D ng Pe rido r a r Ot lam U lu Dika ji ru ono mi san P Dae B rah
A DEKONSENTRASI Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi ver�kal di wilayah tertentu
A TUGAS PEMBANTUAN Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa, dari pemerintah provinsi kepada Kab,kota dan desa atau dari Kab, kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu 16
4
10/15/14
URUSAN PEMERINTAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH
Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat :
1. Poli�k Luar Negeri; 2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yus�si; 5. Moneter & Fiskal Nasional; 6. Agama. (UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda)
Provinsi (Pasal 13 UU Pemda)
Kab/Kota (Pasal 14 UU Pemda)
A Perencanaan & pengendalian pembangunaan A perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang A penyelenggaraan ketertiban umum & ketentraman masyarakat A penyediaan sarana & prasarana umum A penanganan bidang kesehatan A penyelenggaraan pendidikan & alokasi sumber daya manusia potensial A penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota A pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota A fasilitasi pengembangan koperasi, UKM termasuk lintas kabupaten/kota A pengendalian lingkungan hidup A pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; A pelayanan kependudukan, dan catatan sipil A pelayanan administrasi umum pemerintahan A pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/ kota A penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
– perencanaan dan pengendalian pembangunan – perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat – penyediaan sarana dan prasarana umum – penanganan bidang kesehatan – penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial – pelayanan bidang ketenagakerjaan – fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah – pengendalian lingkungan hidup – Pelayanan pertanahan – pelayanan kependudukan, dan catatan sipil – pelayanan administrasi umum pemerintahan – pelayanan administrasi penanaman modal – penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
18
DEKONSENTRASI .. SAAT INI..?? (1)
LEBIH JAUH TENTANG DEKONSENTRASI § Mendekatkan akses masyarakatkepada aparat pusat, meningkatkan mobilisasi sumber daya (Turner, 2002); § Mengkombinasikan �ndakan pemerintah pusat & daerah. Membuat pemerintah lebih sensi�f dalam pengambilan keputusan, serta menciptakan prosedur yg lebih kompe��f (Bizet, 2002); § Mendapatkan efisiensi dan efek�vitas dalam pengelolaan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan umum, serta untuk menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah, serta antar Daerah (PP 39/2001 jo. PP7/2008) 19
A Menurut UU No. 32/2004, wakil pemerintah adalah kedudukan dan peran yang dibebankan kepada Gubernur secara ex-officio (karena jabatannya), dan bukan padainstitusi. Apakah tidak lebih baik fungsi itu melekat pada Gubernur selaku KDH, sehingga perangkat daerah secara otomatis juga menjalankan fungsi ganda..? A
Apakah gubernur yang memiliki peran ganda sebagai KDH dan sekaligus sebagai Wakil Pemerintah ini dapat dikatakan sebagai fused-model dalam otonomi daerah seperti konsep UU No. 5/1974..?
A Secara normatif maupun empiris, kedudukan Wakil Pemerintah tidaklah sekuat Kepala Wilayah. Ketiadaan perangkat kelembagaan Wakil Pemerintah adalah salahsatu penyebabnya. Apakah konsep Wakil Pemerintah ini masih perlu ipertahankan (jika hanya menajdi formalitas)..? 20
5
10/15/14
DEKONSENTRASI .. SAAT INI..?? (2)
Kajian Hubungan Pusat – Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (1)
A Bagaimana mewujudkan keseimbangan peran gubernur selaku wakil pemerintah dan selaku kepala daerah ? A Bagaimana peran dan tugas bupa�/walikota dalam kerangka dekonsentrasi? Apakah di �ngkat kabupaten/kota memang �dak dibutuhkan seorang wakil pemerintah? A Dengan �dak adanya wakil pemerintah di kabupaten/kota, apakah bupa�/walikota cukup hanya sebagai representasi rakyat? A Dengan terpisahnya fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi (split-‐model), bagaimana menjamin kepen�ngan pemerintah dapat terselenggara dengan baik di kabupaten/kota?
Posisi Pemerintah Provinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat dengan menjadikan aparat dekonsentrasi, dan sekaligus juga menjadi pelaksana otonomi daerah itu sendiri atau aparat desentralisasi. Sementara kabupaten/kota diposisikan �dak lagi memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi dekonsentrasi. Fungsi Pemerintah Provinsi dengan Gubernur-‐nya sebagai aparat dekonsentrasi (baca: Wakil Pemerintah), pada dasarnya berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administra�ve en�ty) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/ Kota). Posisi yang intermediasi ini menjadikan Pemerintah Provinsi menjalankan dua tugas, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, dan juga sebagai ”agen tunggal” dalam menyediakan seluruh informasi tentang keadaan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat (Schiavo-‐Campo dan Sundaram, dalam To Serve and To Preserve: Improving Public Administra�on In A Compe��ve World, 2000).
21
22
Kajian Hubungan Pusat – Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (2)
Kajian Hubungan Pusat – Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (3)
Dengan landasan undang-‐undang Nomor 32/2004 tersebut mes�nya Pemerintah Provinsi benar-‐benar berfungsi sebagai i n t e r m e d i a s i t e r s e b u t . N a m u n d a l a m k e n y a t a a n , penyelenggaraan dekonsentrasi juga telah menjadikan efek loncatan katak (leapfrogging effect), dengan transfer kewenangan dan sumberdaya Pusat yang langsung diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada sisi yang lain, telah terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi yang harus diturunkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan dekonsentrasi inilah yang menjadikan fenomena persoalan di lapangan menjadi krusial.
Sebagaimana tertera pada pasal 38 UU No. 32/2004, bahwa fungsi dan peran Pemerintah Provinsi memiliki �ga tugas/wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah, yaitu sebagai koordinasi, pembinaan, dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan juga tugas pembantuan di daerah. Mengingat demikian, maka dalam kaitan dengan desentralisasi, Pemerintah Provinsi �dak bisa �dak harus lebih diperkuat. Penguatan Pemerintah Provinsi dalam desentralisasi tersebut diarahkan untuk menjamin roda otonomi daerah di �ngkat kabupaten/kota �dak lagi mengalami salah arah atau dengan kata lain �dak menimbulkan ekses yang �dak diharapkan. Untuk itu, fungsi dekonsentrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi menjadi faktor kunci dalam sukses atau gagalnya suatu implementasi desentralisasi poli�k yang telah dilaksanakan dengan seluas-‐luasnya (devolu�on) tersebut di �ngkat pemerintah kabupaten/kota. 24 A
23
6
10/15/14
KEUNGGULAN DEKONSENTRASI (Turner, 2002)
Kajian Hubungan Pusat – Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (4)
Pengalaman di �ngkat internasional membuk�kan, bahwa pelaksanaan desentralisasi yang sifatnya ”kebablasan” telah memberi dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi sebagian besar masyarakat daerah. Hasil peneli�an Mark Turner (2002, dalam Public Administra�on and Development Journal, No. 22, www.interscience.wiley.com) justru menunjukkan, bahwa pelaksanaan dekonsentrasi pada Bangsa Kamboja telah memberi manfaat yang bervariasi. Sementara desentralisasi cenderung dipandang gagal d a p a t memen u h i h a ra p a n ya n g d i t et a p ka n sebelumnya.
25
A A
A A
A A
A
A
Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, they make the decisions and do not need to pass them up the line to distant central offices. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraints and the dynamics of local politics. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local conditions. Orientation to the specific local needs. Because officials know the local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each sub-national territory may have some unique features which can be taken into account when planning and allocating resources. Motivation of field personnel. Appointed government officials are more motivated to perform well when they have greater responsibility for programs they manage. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with different functions is more easily achieved at the local level where officials are physically close together and are often familiar with each other. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulated central government role. 26
V. REKOMENDASI / SARAN
6. Hukum perlu direalisasikan dengan jelas dan tegas, karena salah satu asas penanggulangan bencana adalah adanya kepastian hukum;
1. Otonomi daerah tidak cukup memberi ruang yang fleksibel bagi pelaksannan koordinasi dalam kegiatan penanganan darurat pada akhirnya mengorbankan responsivitas dan kecepatan penanganan.; 2. Untuk itu perlu secara eksplisit disebutkan kata “bencana” di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maupun dengan “otonomi daerah” pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; 3. Seharusnya Pemerintah mulai menyusun sebuah kebijakan yang lebih sinergis dan harmonis dalam mendukung proses manajemen bencana pada era otonomi daerah. Rentang kendali Pemerintah yang dicoba untuk diminimalisir oleh kebijakan otonomi daerah, harus membuka warna baru bagi proses manajemen bencana yang eektif dan efisien; 4. Untuk mengantisipasi dampak negatif yang muncul dari keterlambatan penanganan. Otonomi harus mampu menjawab mekanisme penanggulangan bencana yang lebih baik, bukan menambah jalur birokrasi yang panjang;
7. Setiap ketentuan dan kebijakan Pemerintah dalam hal penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Untuk itu Sinkronisasi kebijakan penetapan tanggungjawab dan kewenangan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam manajemen penanggulangan bencana, yang sudah diatur lebih rinci pada UU No. 24 Tahun 2007, juga harus dieksplisitkan dengan tegas pada UU No. 32 Tahun 2004 Khususnya dalam hal kebijakan pembagian urusan pemerintahan. Sehingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, benar-benar melakukan fungsi pelaksana penanggulangan bencana dengan baik 8. Kesadaran akan pentingnya momentum otonomi daerah terhadap usaha memperbaiki sistem manajemen penanggulangan bencana, menjadi langkah awal bagi semua stakeholder dalam membuat sebuah mekanisme kebijakan dan regulasi yang lebih implementatif dan bermanfaat, dalam kaitan dengan hubungan kelembagaan dan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah;
1. Otonomi harusnya hadir sebagai sebuah sistem yang mampu mengatasi kesalahan manajemen bencana yang terjadi. Di sisi lain, Pelaksanaan upaya manajemen bencana sangat membutuhkan kebijakan yang mudah dan cepat diimplementasikan. Tanpa harus ada konflik kepentingan yang menghambat dan merugikan upaya penanggulangan bencana itu sendiri.
9. Komitmen Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membangun integritas dan kapabilitas yang kuat dalam menanggulangi bencana, menjadi modal penting. Karena semua tanggung jawab ini, menjadi tugas besar yang harus diemban oleh semua komponen pemerintahan, seperti dinyatakan pada UU No. 24 Tahun 2007 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
27
28
7
10/15/14
Skema Ususlan Tatakelola PB Dalam Otonomi Daerah PENCEGAHAN MITIGASI PERINGATAN DINI
DESENTRAISASI
KESIAPSIAGAAN TANGGAP DARURAT PASCA BENCANA
SIAGA DARURAT DARURAT TRANSISI DARURAT REHABILITASI REKONSTRUKSI
DEKONSENTRASI & TUGAS PEMBANTUAN DESENTRALISASI
SMART GOVERNANCE
PRA BENCANA
SEKIAN TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN DAN KERJASAMANYA
SMART Governance” is about the future of the public services, it’s about greater efficiency, community leadership, mobile working and continuous improvement through innovation. SMART Governance is about using technology to facilitate and support better planning and decision making. It is about improving democratic processes and transforming the ways that public services are delivered. It includes egovernment, the efficiency agenda and mobile working. 29
30
8