Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia
Berbagi Beban Fiskal Hefrizal Handra
Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari Aktivitas ‘Kebijakan Ekonomi di Indonesia’ yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Kegiatan ini merupakan kontribusi pemikiran dari komunitas penelitian/riset, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah. Dalam kegiatan ini, CSIS bersama dengan ERIA mengundang 16 ahli ekonomi dari berbagai institusi penelitian terkemuka yang kompeten pada bidang keahlian yang spesifik, untuk berdiskusi mengenai tujuh permasalahan strategis ekonomi Indonesia (pembangunan infrastruktur, kebijakan daya saing, iklim investasi, kebijakan pangan, kebijakan sektor jasa, kebijakan fiskal, dan kebijakan perlindungan sosial), yang kemudian dikumpulkan dalam rangkaian ikhtisar kebijakan singkat (policy brief) untuk masing-masing topik. Diseminasi hasil temuan dan rekomendasi yang dihasilkan kegiatan ini dilakukan melalui berbagai jalur. Kegiatan ini berusaha untuk melibatkan pejabat pemerintah yang terkait melalui sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dan Audiensi dengan pengambil kebijakan strategis, yang terkait dengan masing-masing topik di atas. Sementara itu, diseminasi kepada publik secara luas juga dilakukan melalui sejumlah Seminar Publik mengenai masing-masing topik, serta melalui publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat dan sejumlah multimedia pendukung yang dapat diakses secara online melalui www.paradigmaekonomi.org.
1
Pengantar
S
alah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK (Nawacita) adalah “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan”. Pencapaian prioritas ini antara lain didukung dengan peningkatan dana transfer ke Daerah dan ke Desa. Jumlah dana transfer ke Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa dalam APBN Perubahan 2015 meningkat tajam. Dana Desa untuk tahun 2016 bahkan meningkat 125% di APBN 2016, serta direncanakan meningkat terus hingga tahun 2019. Namun peningkatan Dana transfer ke Daerah dan Desa menimbulkan pertanyaan sejauh mana kebijakan tersebut sejalan dengan kebutuhan fiskal Pemerintah Daerah terkait dengan tugasnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan belanja Pemerintah Pusat juga terus meningkat. Pemerintah memerlukan dana untuk membangun infrastruktur skala nasional yang diperkirakan tidak kurang dari Rp 5500 triliun untuk lima tahun (sekitar Rp 1100 Triliun per tahun). Demikian juga belanja bidang kesehatan, Clements et al (2012) memperkirakan bahwa belanja bidang kesehatan di emerging economies akan naik sekitar 1% PDB dalam dua puluh tahun ke depan. Tidak kalah pentingnya, belanja Negara untuk program jaring pengaman sosial, diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang. Handra and Dita (2015) memperkirakan beban fiskal sistem pensiun di Indonesia akan mencapai sekitar 1% PDB di tahun 2030 jika Pemerintah harus terus membayar pensiun PNS seperti biasanya dan berkewajiban membayar premi pensiun orang miskin. Tabel 1. Dana Transfer ke Daerah dan Desa (Dalam Triliun Rp) 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 0.0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Keterbatasan sumber daya untuk membiayai penyelenggaran Negara mengharuskan pembagian beban fiskal yang adil (fair) dan efisien. Tulisan ini menganalisis kondisi pembagian beban fiskal antar tingkatan Pemerintahan dan mengusulkan alternatif kebijakan untuk berbagi beban fiskal secara lebih adil dan efisien.
Kondisi Pembagian Kapasitas dan Beban Fiskal Antar Tingkatan Pemerintahan Di Indonesia, pada prinsipnya dasarnya beban fiskal untuk penyediaan layanan publik (termasuk public goods) adalah merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Namun terdapat Undang-Undang Pemerintahan Daerah
2
yang menentukan kewenangan/urusan yang diserahkan (didesentralisasikan) ke Pemerintah Daerah (Pemda). Sebagai konsekuensi dari desentralisasi tersebut, Pemda memiliki tanggungjawab untuk membiayai urusan desentralisasi tersebut, dan untuk itu kepada Pemerintah Daerah diserahkan sumber pendapatan dengan Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah yang biasanya disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun PAD tidak mencukupi untuk mendanai tugas daerah, sehingga diperlukan dana transfer dari Pemerintah Pusat yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan. Analisis terhadap kondisi keuangan Negara dan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah menghasilkan fenomena sebagai berikut: 1. Dana Transfer ke Daerah cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tidak hanya secara nominal, bahkan dalam prosentase terhadap PDB (lihat tabel 1), terutama sejak tahun 2010 dan semakin besar setelah adanya Dana Desa mulai tahun 2015. Tabel 1. Penerimaan dan Belanja Negara (% PDB) Penerimaan Negara Tahun
Pajak
Belanja Negara
Transfer Bukan Total Pem. ke Pajak Pusat Daerah
Total
Defisit
2001
11.3%
7.0%
18.3%
15.8%
4.9%
20.7%
-2.5%
2002
11.5%
4.9%
16.4%
12.3%
5.4%
17.7%
-1.3%
2003
12.0%
4.9%
16.9%
12.7%
6.0%
18.7%
-1.7%
2004
12.2%
5.3%
17.6%
13.0%
5.7%
18.6%
-1.0%
2005
12.5%
5.3%
17.8%
13.0%
5.4%
18.4%
-0.5%
2006
12.3%
6.8%
19.1%
13.2%
6.8%
20.0%
-0.9%
2007
12.4%
5.4%
17.8%
12.7%
6.4%
19.1%
-1.3%
2008
13.3%
6.5%
19.8%
14.0%
5.9%
19.9%
-0.1%
2009
11.0%
4.0%
15.1%
11.2%
5.5%
16.7%
-1.6%
2010
11.2%
4.2%
15.4%
12.1%
5.3%
17.5%
-0.7%
2011
11.8%
4.5%
16.2%
11.9%
5.5%
17.4%
-2.1%
2012
11.9%
4.3%
16.2%
12.3%
5.8%
18.1%
-1.9%
2013
11.6%
3.8%
15.4%
12.9%
5.5%
18.4%
-2.4%
2014
12.7%
3.8%
16.6%
12.7%
5.9%
18.7%
-2.4%
2015
12.7%
2.3%
15.0%
11.3%
5.7%
16.9%
-1.9%
2016
12.0%
2.2%
14.2%
10.3%
6.0%
16.3%
-2.%
Catatan: 2001-2014 Realisasi, 2015 APBN-P, 2016 RAPBN
1. Belanja Pemerintah Pusat cenderung menurun, dikarenakan Pendapatan 2. Negara terus turun dalam prosentase terhadap PDB, sementara itu transfer ke Daerah ditingkatkan. Pemerintah memilih untuk mempertahankan defisit pada level yang aman, secara rata-rata dibawah 2% PDB, meskipun Undang-Undang Keuangan Negara (UU 17 Tahun 2003) memperbolehkan defisit hingga 3% PDB. Penurunan Pendapatan Negara terutama sejak tahun 2006, lebih disebabkan oleh penurunan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penurunan Pendapatan Negara mestinya dapat dihindari jika Pemerintah mampu meningkatkan pendapatan perpajakan. Namun pendapatan perpajakan juga mengalami stagnasi dalam periode Pemerintah Presiden SBY. Dengan kata lain, Pemerintah sejak tahun 2009, lebih memilih untuk mengurangi belanja Pusat dari pada menurunkan transfer ke daerah untuk merespon penurunan pendapatan Negara.
3
Gambar 2. Perbandingan Belanja Pusat dan Daerah
20.0% 15.0% 10.0% 5.0% 0.0% 2001
2005
2009
2012 Pusat
2013
2014
2015
2016
Daerah
3. 1. Peningkatan besaran belanja Pemerintah Daerah (Pemda) secara keseluruhan (Propinsi, Kabupaten dan Kota)) mengkonfirmasi semakin besarnya dana yang dikelola Pemda. Sumber pendapatan daerah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Transfer dari Pusat meningkat dari tahun ke tahun. PAD telah meningkat tajam dari 1,2% PDB pada tahun 2009 ke 1,7% PDB pada tahun 2013 . Hal ini terjadi karena pelimpahan pajak ke daerah dengan UU No 28 Tahun 2009. Ditambah dengan dana transfer dari Pemerintah Pusat, sumber yang dapat dibelanjakan Pemda pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 7,4% PDB dan meningkat menjadi 7,7% PDB di tahun 2016 (lihat Gambar 2). Besaran ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2005 yang hanya sekitar 6,7% PDB. 2. Gambar 3. Komposisi Belanja Negara 12.0% 10.0% 8.0% 6.0% 4.0% 2.0% 0.0% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Belanja K/L
Belanja Non K/L
Transfer ke Daerah & Desa
4. Penurunan belanja Pemerintah Pusat (dalam %PDB) secara perlahan terlihat jelas. Di Tahun 2005 belanja Pemerintah Pusat berada pada level 13% PDB, namun di tahun 2016 diperkirakan hanya di level 10.3% PDB. Penurunan belanja Pemerintah Pusat (dalam rasio terhadap PDB), terefleksi pada belenja Kementrian/Lembaga (K/L). Belanja K/L adalah belanja yang digunakan langsung oleh Kementrian/Lembaga untuk operasional, pemeliharaan dan pembangunan. Dalam periode 2003 hingga 2015,
4
Belanja K/L cenderung stagnan, namun sedikit berfluktuasi bersamaan dengan kenaikan ataupun penurunan belanja Non K/L1. 3. Penurunan Belanja K/L cukup mengkhawatirkan jika dihubungkan dengan 5. kebutuhan untuk mempertahankan kemampuan melayani masyarakat dan memfasilitasi aktifitas perekonomian nasional. Selain itu, beban belanja Pemerintah Pusat untuk program jaminan sosial saat ini dan di masa datang juga tidak kalah besarnya. Demikian juga beban belanja non K/L terkadang masih menekan, terutama subsidi energi. Tekanan subsidi berkurang dengan penurunan harga migas di tahun 2015. Namun belum tentu bertahan lama jika Pemerintah tidak berani melakukan penyesuaian harga secara periodik. 4. Peningkatan belanja daerah sepertinya tidak diikuti oleh penambahan 6. beban fiskal dalam artian tambahan penugasan belanja (expenditure assignment). Sejak 2001 dengan UU 22/1999 hingga sekarang dengan UU 23/2014, tidak ada perubahan yang signifikan terkait urusan yang diserahkan ke Pemerintah Daerah. Semestinya tidak perlu ada peningkatan dana transfer ke daerah karena tidak tambahan penugasan. Kalaupun meningkat secara nominal karena peningkatan pendapatan Negara, namun dalam proporsi terhadap total belanja Negara mestinya tetap dipertahankan. Kebijakan peningkatan Dana Transfer ke Daerah baru dapat dianggap tepat sekiranya terjadi penambahan penugasan ke daerah. Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ternyata tidak memberikan tambahan penugasan tersebut. Bahkan UndangUndang yang baru ini menambah beban fiskal Pemerintah Pusat terkait dengan pendanaan penugasan ke Gubernur sebagai Wakil Pusat di Daerah. Tabel 2. Dana ke Desa (Triliun Rp) 2015
2016
2017
2018
2019
Dana Desa dari Pusat
20.8
47
81.2
103.8
111.8
Alokasi Dana Perimbangan Kab/Kota
34.2
37.6
42.2
55.9
60.3
4.1
4.3
4.9
5.7
6.4
59.1
88.9
128.3
165.4
178.5
Bagi Hasil PAD Kab/Kota Perkiraan Dana yang Dikelola Desa
Sumber: Road Map Dana Desa, Kemenkeu RI
5. Tekanan terhadap Anggaran Negara keseluruhan juga muncul di tahun 7. 2015 dengan diimplementasikannya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dana Desa kemudian muncul sebagai jawaban terhadap janji-janji politik satu milyar satu Desa. Padahal tidak ada tambahan penugasan kepada Pemerintah Desa di peraturan tersebut. Penugasan kepada Desa pada dasarnya tidak berbeda dengan penugasan sebelumnya di Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Artinya, keberadaan Dana Desa berpotensi meningkatkan inefisiennya belanja Negara jika tidak diikuti dengan penugasan yang jelas. Dana Desa dimulai dengan jumlah Rp. 20,8 Triliun di tahun 2015, meningkat drastis (125%) pada tahun 2016 dan akan terus meningkat hingga Tahun 2019 (lihat tabel 2).
1 Belanja Non K/L terutama adalah belanja untuk subsidi energi dan belanja bunga.
5
Perlunya Membagi Beban Fiskal Pemerintah ke Daerah dan Desa Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa Pemerintah Pusat perlu membagi beban fiskal ke Daerah dan Desa. Dua hal penting yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat, yaitu (1) memberikan tambahan penugasan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, (2) Mengantisipasi potensi tambahan beban fiskal yang besar di masa mendatang terutama terkait belanja untuk program jaminan sosial. Tambahan penugasan kepada Pemerintah Daerah, terutama tentunya untuk bidang pemerintahan yang urusannya dibagi antara pusat dan daerah seperti bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan bidang lintas sektoral seperti program jaminan sosial. Untuk bidang yang sepenuhnya menjadi tugas Pusat seperti hukum, pertahanan dan keamanan maka beban fiskalnya sudah pasti juga menjadi tanggungjawab Pusat. Untuk melihat kemungkinan penambahan penugasan kepada Pemerintah Daerah untuk bidang pedidikan, kesehatan dan pekerjaan umum perlu dianalisis pembagian fungsi/urusan. Secara umum dapat diuraikan sbb: 1. Untuk bidang pendidikan, sudah ada pembagian tugas yang cukup jelas sesuai tingkatan pendidikan. Pendanaan pengelolaan penyelenggaran pendidikan tinggi merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat, sedangkan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan menengah, non formal adalah tanggungjawab Pemerintah Daerah. Namun, Pusat memiliki tanggungjawab yang luas karena berwenang menentukan standar nasional pendidikan, kurikulum nasional, akreditasi lembaga pendidikan seluruh tingkatan pendidikan. 2. Untuk bidang kesehatan, pembagian tugas juga cukup jelas seperti halnya bidang pendidikan. Untuk penyelenggaraan/pengelolaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), pembedaan penugasan ada pada skala pelayanan. Jika skala pelayanannya tingkat kabupaten/kota dan antar kabupaten/kota dalam propinsi, maka tanggungjawabnya ada pada tangan Pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintah Pusat punya tanggungjawab untuk rujukan nasional atau lintas Propinsi. Selain itu, Pemerintah Pusat juga memiliki tanggungjawab yang luas terkait dengan penempatan tenaga kesehatan di daerah, ketersediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan pengawasan makanan dan minuman. 3. Untuk bidang pekerjaan umum juga ada pembagian tugas yang jelas. Bidang jalan misalnya ada klasifikasi jalan kabupaten/kota, jalan propinsi dan jalan nasional. Klasifikasi tersebut kemudian memiliki konsekuensi pendanaan. Namun untuk bidang pengairan, perumahan dan pemukiman, peranan Pemerintah Pusat cenderung lebih besar. Dari uraian tersebut salah satu tambahan tanggungjawab pendanaan (beban fiskal) yang dapat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah untuk bidang Kesehatan adalah pengawasan obat dan makanan (ke Propinsi). Kemudian untuk bidang pendidikan, Pemerintah Daerah perlu didorong untuk mendirikan unit pendidikan vokasi dan lembaga pelatihan tenaga kerja trampil. Sedangkan untuk bidang pekerjaan umum, banyak sekali yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah karena kondisinya yang memang masih jauh dibawah standar minimum. Untuk program jaminan sosial nasional, Pemerintah perlu mengantisipasi potensi tambahan beban fiskal yang besar di masa mendatang dengan membagi beban fiskal ke Pemerintah Daerah bahkan ke Desa sejalan dengan
6
peningkatan Dana Desa. Membagi beban fiskal antar tingkatan Pemerintahan pada dasarnya adalah mendistribusikan resiko pendanaan layanan. Jika beban fiskal hanya ditanggung oleh Pemerintah Pusat, penurunan pendapatan negara dapat mengganggu layanan publik tersebut. Namun jika beban tersebut dibagi, maka resiko pembiayaan juga akan terdistribusi Sebagian besar resiko fiskal pada akhirnya memang akan menjadi tanggungan pemerintah nasional, termasuk jika Pemerintah Daerah gagal menanggung beban fiskalnya. Namun membagi beban fiskal (tanggungjawab belanja) kepada Pemerintah Daerah bahkan Pemerintah Desa, terutama untuk mendanai fungsi yang sudah didesentralisasikan akan meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah dan Desa untuk menyediakan pelayanan publik lokal yang lebih baik dan turut berpartisipasi dalam program jaminan sosial nasional
Kesimpulan dan Rekomendasi Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan kebijakan meningkatkan dana transfer ke Daerah dan Desa dalam kondisi pendapatan negara mengalami tekanan dan tidak meningkat secara proporsional sejalan dengan peningkatan PDB, telah menempatkan Pemerintah Pusat mengalami tekanan fiskal yang berakibat kepada penurunan belanja. Pemerintah Pusat ke depan diperkirakan akan menghadapi peningkatan kebutuhan belanja untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas infrastruktur nasional serta belanja jaminan sosial nasional. Untuk itu tingkat transfer ke Daerah dan Desa perlu dipertahankan pada level tertentu tanpa harus mengorbankan pelayanan publik lokal dan pembangunan daerah. Namun karena janji politik menghendaki Pemerintah untuk meningkatan dana transfer, sebaiknya hal tersebut diikuti dengan membagi beban fiskal (tanggungjawab belanja) ke Daerah dan Desa. Beberapa alternatif yang mungkin diimplementasikan untuk membagi beban fiskal adalah: 1. Sharing beban fiskal dana pensiun PNS antara Pusat dan Daerah. Pemerintah 6. perlu mengubah sistem pensiun PNS dari “pay as you go (PAYGO)” ke sistem “fully funded”. Dengan sistem PAYGO, Pemerintah Pusat bertanggungjawab membayar pensiun PNS setelah mereka pensiun hingga meninggal bahkan sampai ke duda/janda pensiunan. Dengan sistem fully funded, Pemerintah hanya membayarkan dana pensiun ketika PNS tersebut bekerja, dan PNS tersebut akan menerima tabungan pensiun tersebut begitu mereka memasuki usia pensiun. Dengan sistem fully funded memungkinkan untuk membagi beban dana pensiun dengan Pemda dan Desa. Pemda dan Desa harus ikut bertanggungjawab untuk membayar sebagian dari Dana Pensiun PNS Daerah. Sistem ini mungkin dapat diterapkan untuk PNS yang baru diangkat. Dengan kata lain, untuk PNS yang baru diangkat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang memperkerjakan PNS tersebut membayarkan iuran pensiun PNS tersebut ke BPJS Ketenagakerjaan (tentu ditambah potongan gaji sebagai iuran individu PNS). Dengan itu berarti akan terujud pembagian beban fiskal untuk iuran pensiun antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat membayarkan tambahan iuran pensiun PNS Pusat, Pemerintah Daerah membayarkan tambahan iuran pensiun PNS Daerah. Kemudian jika PNS tersebut pensiun, BPJS tenaga kerjalah yang sepenuhnya bertanggungjawab membayarkan pensiun sesuai kontribusi. Jika alternatif ini
7
bisa dilakukan, secara bertahap beban APBN untuk pembayaran langsung untuk pensiun aparat negara akan berkurang. 7. 2. Pemerintah Desa diperkirakan akan menerima dana transfer yang semakin membesar. Diperkirakan tahun 2019, setiap Pemerintah Desa akan menerima transfer paling sedikit sekitar Rp. 2,2 milyar (Roadmap Dana Desa, Kemenkeu). Sementara itu penugasan untuk Pemerintah Desa belum terinci dan lengkap. Salah satu penugasan yang mungkin diberikan ke Pemerintah Desa adalah membayar sebagian asuransi kesehatan warga miskin di Desa tersebut. Sebagian dibayarkan oleh Pemerintah Pusat, sebagian lagi dibayarkan oleh Pemerintah Desa. Sistem ini akan mendorong Pemerintah Desa untuk ikut serta dalam program untuk mengatasi kemiskinan dan semakin baik dalam menetapkan warga yang miskin. Selama ini, Pemerintah Desa justru cenderung untuk mengusulkan sebanyak mungkin warga yang mendapatkan jaminan kesehatan dan ada kemungkinan terjadi manipulasi data untuk penentuan warga yang miskin. Sebab tidak ada punishment terhadap Pemerintah Desa yang salah menetapkan warga terkategori miskin. 8. 3. Pemerintah Pusat perlu menyediakan akses pembiayaan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah (untuk melakukan pinjaman daerah ataupun untuk menerbitkan obligasi daerah) guna membiayai pembangunan infrastruktur lokal yang mendorong pertumbuhan daerah. Menyediakan akses pembiayaan (pinjaman dan obligasi) bagi Pemda akan mendorong peningkatan akuntabilitas dibanding dengan menyediakan tambahan dana transfer (bantuan khusus) untuk pembangunan infrastruktur. Penyediaan grant yang terus menerus meningkat cenderung memanjakan Pemerintah Daerah dan akan memberi tekanan fiskal kepada Pemerintah pada kondisi perlambatan ekonomi seperti periode 2015-2016 ini.
Referensi Clements, Benedict, David Coady and Sanjeev Gupta (2012), The Economics of Public Health Care Reform in Advance and Emerging Economies, IMF Publication. DJPK Kemenkeu, 2014, Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun 2013 DJPK Kemenkeu, 2010, Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun 2009 Handra, Hefrizal and Dita, Astrid (2014), Pension System and Its Fiscal Implications in Indonesia, ERIA Research Report.
8