T I N J A M PUSTAKA
Landasan Filosofik dan Paradigmatik
Dalam agama-agama samawi seperti agama Islam misalnya, an& dianggap sebagai amanat. Orangtua diingatkan bahwa mereka memiliki
kewajiban moral untuk menunaikan amanat tersebut, sehingga anak-anakti& menjadi generasi yang lemah, yakni generasi yang khawatir akan masa
depannya. Tuhan menegaskan bahwa salah ciri dari rnanusia yang bertanggungiawab atau takwa kepaddya adalah rnereka yang tiduk rneninggalkan generasi yang lemah (QS : 4 : 9).
Pada tataran p d i k , peringatan tersebut seharusnya menjadi dasar pernikiran tentang bagaimana program pengembangan SDM sejak dini seperti digagas oleh Evans ef al. (2000) dan pengembangan SDM umurnnya &pat
diiancang. Pada tataran konseptual-teoretik, peringatan ini bisa menjadi dasar
pengembangan landasan paradigmatik dm teoretik untuk penelitian.
Paling tidak, secara konseptual konsep anak yang tidak lemah, yakni anak yang berhasil mengoptimalkan tumbuhkembangnya bisa didekati dari empat paradigma, yakni paradigma anak sejagad atau children of the universe
(Etzioni, 1 993), keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1 992), keseimbangan antara tanggung j awab dan kebebasan anak (Elkind, 198 1 ; 19871,dm paradigma anak yang utuh (Myers, 1992).
Paradigma anak sejagad mengemukakan beberapa ha1 penting yaitu (1 ) orangtua memi li ki tanggung jawab moral kepada masyarakat dan sejagad,
yang hams diwujudkan dalarn bentuk investasi pada "keayahbundaan" yang
sehat; ( 2 ) komunitasjuga memiliki tanggung jawab mernberi dukungan kepada orangtua atau keluarga agar mereka mampu menunaikan tanggung jawab moralnya; dan (3) komunitas secara keseluruhan menanggung risiko akibat
"keayahbundaan" yang tidak sehat (Etzioni, 1 993). Paradigma ini secara eksplisit menunjdckan bahwa "keayahbundaan" yang sehat bukan saja menrpakan tanggung jawab omgtua atau keluarga, tetapi juga merupakan tanggung
jawab
bersama.
Etzioni
(1 993)
mengemukakan
bahwa
"keayahbundaan" yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi juga bagi masyarakat. Myers (1 992) menambahkan kini semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa pengembangan SDM sejak dini yang difokuskan pa& terbenthya anak yang utuh bukan hanya menguntungkan anak, tetapi juga
masyatakat. Sebaliknya, pernerintah harus membangun lingkungan kebijakan
yang memungkinkan keluarga dan komunitas untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam "keayahbundaan" dan perlindungan anak-anak. Salah satu aspek yang ditekankan oIeh paradigma ini adalah peran omgtua atau keluarga. h o l d mengemukakan bahwa, "WorZdwide there is an emphasis on ensuring that early childhood development programmes are firmly family-and community-based. ?%e stress on the importance of the family is hardly surprising if we consider a few simple questions -for example, Who knows the child best? mere is the young child most of the time? For whom is it most important that the child develops wells? Children learn who they are and what lfe is all abod from the people they are with. For the vast majority of children it is the family, in its many and variedforms, which is the most important influence on the child's perception of self and others" (Evans, Myers, and Ilfeld, 2000)
Penekanan tersebut juga sesuai dengan p ar a d i g m a keluarga yang dikembangkan oleh PBB pada tahun 1982, yakni paradigma keluarga sebagai
wahana pengembangan SDM, yang mengemukakan bahwa keluarga yang tangguh dm kokoh esensial bagi masa depan dunia; mereka merupakan
wahana bagi generasi mendatang. Resolusinya tahun 1 987 juga menyebutkan
bahwa kelwrga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosidisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan hgsinya di masymakat dengan baik, serta memberi kepuasan
dm lhgkungan sosial yang sehat guna tercapainya kesejahteraan keluarga (Megawangi, 1993). Menurut Rich (1997),kelwga merupakan wadah utama
pendidikan clan pengembangan ketmampilan-keterampilan unggul (mega skills), sedangkan sistem pendidikan lain seperti sekolah menunjang proses pendidikan di rumah. Penguatan institusi keluarga menjadi kaharusan, karena orangtua mempunyai tanggung jawab primer membesarkan, mengembangkan,
dan mendidik anak-anaknya (Evans et al., 2000). Paradigma ketiga menekankan keseimbangan antara tanggung jawab d m kebebasan.
Orangtua yang membebankan tanggung jawab melebihi
kebebasan mak adalah orangtua yang tidak mampu mengembangkan
"keayahbundaan" yang sehat. Anak yang diasuh dengan cara seperti ini adalah anak yang terlalu cepat dan terlalu dini berkembang. Elkind (1981) menyebut anak ini sebagai anak yang mengalami aduItjCed, hurried child atau superkids. Superkids, menurut dia, berada pada fase atau proses perkembangan yang
penuh risiko. Mereka akan menghadapi masalah baik yang bersifat fisik seperti sakit kepala dan sakit perui akibat spess maupun psikologis seperti perilaku memsak diri.
Paradigma keempat menekankan pentingnya perkembangan anak secara total atau utuh (whole child). Investasi atau program tumbuhkembang anak
dalam konteks pernbangunan sosial bukan hanya difokuskan pada peningkatan status gizi dan kesehatan, serta perkembangan mental-kognitihya (IQ), tetapi
juga pada perkembangan emosional dan sosialnya. Anak yang menikmati hak
seluruh dirnensi turnbuhkembangnya memiGki peluang dm potensi untuk menjadi rnanusia bermutu. Landasan filosofik dan paradigmatik penelitian ini disajikan pada Gambar 1 . i
Anak ShaIeh
P
k l u a r g r 'Cmgguh &n Produktir
Tanggungjwab
Btrmmr: D
u
Keayahbundaan Yang S o I u t
S u m W p Ycluvp*
k h~ mi-
-lear
pcPsr(n-
( A u M u d r o -ring) ohnatch. lssl)
o r q
(Eagles d.,1997)
D-4-
Tumbuhlcembg Armk Y u t g Utuh (My-. 1992)
Keluarga Yang
Komunitas Yang
Tangguh
Sebt
(Ue, 1995: GddmIdt. 1996)
(h+wmgi*d.
IWS)
Tesiw ~ e l u a r g a =bPgai Wahana Pengembangan
Teais Anak Sejagad (E~oni,1993)
Tcris Keimhangan
SDM (PBB drlva Mym. IW2)
t
T e s i s Anak Yang
TanggungjawabKcbebasan (Elkind, 1911. 1917)
v
r
Gambar 1. Landasan Filosofik dan Paradigmntik Penelitian
Utuh (Mycn. 1992)
Hak Anak untuk Mewujudkan Potensi Tumbuhkembangnya
Landasan filosofik di atas menunjukkan bahwa anak bukan hanya memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah atau innate capacities dm g$s within-nya, tetapi kebutuhan itu sekaligus
merupakan hak mereka. Evans et al. (2000) memandang perlu untuk
membedakan cara pandang terhadap tumbuhkembang anak sebagai hak asasi
anak (rights perspective) dari cara pandang sebagai kebutuhan anak
(needs
perspective). Sejumlah implikasi potensid dikemukakan oleh mereka dari
perbedaan perspehif ini. Misainya, pendekatan kebutuhan tidak memahami pemenuhan kebutuhan tumbuhkembang anak sebagai kewajiban, tetapi perspektif hak asasi justeru secara pasti memahaminya sebagai sebuah
kewajiban baik orangtua dan komunitas maupun pemerintah.
Orangtua,
keluarga, pemerhtah, clan komunitas memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi hak tersebut. Ada beberapa alasan mengenai ha1 ini. Pertuma adalah alasan berbasis hak asasi manusia. An& mempunyai
hak untuk hidup dan rnengembangkan seluruh potensinya (innate capacities). Deklarasi Hak-Hak Anak Tahun 1959 mengemukakan bahwa anak harus
mendapat perlindungan khusus baik berdasarkan hukum rnaupun perangkat
lain, yang rnemungkinkan perkembangan fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya berlangsung dengan sehat dan normal. Konvensi Nak-Hak Anak Tahun 1989, yang disepakati oleh banyak negara, memberi mandat kepada
pemerintah yang menandatangani konvensi itu untuk menjamin pemberian hak kepada an&
guna
kebedangsungan hidup
dan tumbuhkembangnya.
Pelaksanaan konvensi-konvensi ini akan menjadi dukungan komunitas bagi keluarga atau orangtua d a m pelaksanaan h g s i "keayahbundaannya." Kedua adalah alasan nilai-nilai sosid. Masa depan dunia bergantung pada keberhasilan penanaman nilai-nilai kebaji kan kepada anak, yang bukan s4a dianggap seb&
our f i t w e , tetapi juga sebagai pengawal nilai-nilai
kemanusiaan. Ketiga addah dasan pembangunan ekonomi. Konig (Jalal dan Atmodjo, 1998) menunjukkan, keberhasilan mewujudkan tumbuhkembang
anak menjadi modal strategis bagi peningkatan produktivitas anatan kerja, penurunan angka kerniskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi pada tumbuhkembang anak menghasilkan economic rate of return yang
menguntungkan negara (Todaro, 1985; Bmo, 1991; Hartoyo, 1998).
Keempat adalah dasan keadilan sosial. Keadilan lintas generasi yang muncul ddam isu pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks
tumbuhkembang anak dipahami dari sudut pandang penyediaan a fair start untuk bisa menghadapi tantangan dan peluang kehidupan dalam masyarakat.
Jadi, intervensi berencana terhadap hunbuhkembang anak, baik melalui intervensi stimulasi psikososiai langsung kepada anak maupun pendidiian
"keayahbundam," rnernbantu mengatasi ketidakadilan, yang disebabkan oleh perbedam start hidup anak. Myers (1 992) rnengemukakan bahwa Investment in early childhood development can help to modtfi inequalities rooted in
povew and discrimination (social, religious, gender) by giving children from
so-called disadvantaged backgrounds a fair start. Preskripsi the children $rst Leach (1995) juga hams dipahami ddam konteks di atas.
Kelima adalah alasan dinamika sosial dan kependudukan, terutarna yang menyangkut tingkat partisipasi perempuan (Ibu) dalam aktivitas publik.
Dengan alasan persamaan gender, hak asasi manusia dm pengembangan diri, kaum perempuan, termasuk Ibu, mulai memanfaatkan potensi dan waktunya
untuk berperan di sektor publik. Tingkat partisipasi angkatan kej a perempuan setiap tahun semakin meningkat. Salah satu dampak fenomena ini adalah berkumngnya curahan waktu orangtua untuk dm bersarna dengan anak
(togetherness). Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kajian tentang
perubahan curahan waktu orangtua untuk dan dengan anak serta dampaknya terhadap mutu interaksi orangiua-anak, belum banyak dilakukan. Ini menjadi
salah satu indikator tentang kurangnya kesadaran terhadap masalah tersebut. Unhrk kasus Ameri ka Serikat, Etzioni ( 1 993) melaporkan, selama 20 tahun, yakni dari 1965 hingga 1985, curahan waktu orangtua untuk anaknya
berkurang sebanyak harnpir 50%, yakni dari rata-rata 30 jam menjadi 17 jam per minggu. Asuhan anak diserahkan kepada pusat-pusat asuhan (child-care
centres). Ymg merisaukan ahli sosiologi dan psikologi perkembangan di negeri ini adalah dampak negatif kecenderungan ini terhadap perkembangan
anak. Mereka mulai mengaitkan perilaku sosial menyimpang anak dengan pergeseran pola asuhnn ini. Pemisahan anak dari orangtua menyebabkan emotional and psychological bonding and attachment antara anak dan orangtua tidak sehat. Anak yang mengalami pemisahan mungkin secara fisik
tumbuh normal, tetapi secara psikologis tidak matang. Mencermati kecenderungan ini, Ziglen
mengemukakan bahwa We are cannibalizing
children. Children are dying in the system, never mind achieving optimum development (Etzioni, 1993).
Schickedanz (1995) mengaitkan pergeseran pola asuh ini dengan rendahnya prestasi akademik anak Amerika dibandingkan dengan sebayanya
dari Jepang dan C h i . Dia mengajurkan agar kita berhenti rnenyalahkan
sekolah, karena prestasi akademik anak rendah: "... even though school and teacher eforts are extremely important, conditions outside of schools hold the
key to increasing academic achievement substantially."
Stevenson
menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan bahwa rendahnya prestasi akademik anak h a m ditelusuri dari sumber lain di luar sekolah. Surnber lain
itu adalah parental factors, yakni pola muh orangtua dalarn keluarga (Schickedanz, 1995).
Tumbuhkembang Anak Konsep hunbuhkembang merupakan perpadurn antara konsep
pertumbuhan dan perkembangan. Secara ilmiah, dua konsep ini mempunyai pengertian yang sangat berbeda, tetapi karena saling krkaitan, penyebutannya
kerap disatukan. Sebagai panduan awal untuk elaborasi teoretik kajian ini,
perbedaan konseptual yang dikembangkan oleh Myers ( 1 992) dikemukakan dalam bagian ini. Dia mengemukakan bahwa size." Pe-buhan
"... to grow is to increase in
lebih mudah diamati dm dapat langsung diukur daripada
perkembangan (S atoto,
1 990). Status gizi
dijadikan peubah proxy
pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang dikembangkan lebih mudah diaplikasikan. Salah satu alat ukur yang umum digunakan adalah indeks antropometri, seperti
berat badan menurut umur atau BBm, panjang badan menurut umur atau
PBAJ, dan berat badan menurut tinggi badan atau BB/TB. Konsep perkembangan lebih rumit lagi. Ia merujuk pada pembahan kompleksitas dan fungsi. Myers (1 992) mengemukakan bahwa
"...
child
akvelopment is process of change in which the child learns ro handle ever
more complex levels of moving, thinking, feeling, and relating to others." Ia
mencakup empat aspek, yakni aspek motorik: kemampuan bergerak dan mengkoordinasi gerakan; aspek mental atau kognitif: kemampuan berfdcir dan h a l a r ; aspek emosional: kemampuan merasakan; aspek sosial: kemampuan berhubungan dengan orang lain. Kajian tentang gizi sendiri sebagai salah satu indikator perhmbuhan
anak mengalami pergeseran perspektif. Awalnya, pandangan secara klinis
sangat dorninan. Tetapi sekarang sudah bergeser ke aspek pengetahuan, sosial budaya, dan keperilakuan (Sanjur, 1982). Bahkan dari ternuan penelitian,
masalah gizi mulai dikaitkan dengan perm penting "keayahbundaan" orangtua dalam keluarga (UNICEF dalam Engle ef al., 1997). Sarna halnya dengan kajian tentang pertumbuhan anak, kajian tentang perkernbangan anak juga sudah lama dilakukan, dan secara teoretik mengalami p e r g e s m yang evolusioner. Secara teoretik, penjelasan perkembangan anak
bergeser dari determinisme biologik, determinisme lingkungan, ke kombinasi keduanya (Salkind, 1985; Hoffman et a/.,1994). Bronfenbrenner (1 979)
memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan yang utama, dimana orangtua sebagai socialization agent yang paling penting.
Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang perkembangan
anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang
memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif "keayahbundaan" yang tidak sehat terhadap perkembangan anak. Baik pergeseran teoretik yang terjadi ddam kajian gizi (pertumbuhan)
maupun perkembangan memberi tekanan yang amat penting pada peranan institusi keluarga dan salah satu fungsi strategisnya, yakni "keayahbundaad' atau parenting. Dengan kata lain, keluarga diposisikan sebagai wadah utama
tumbuhkembang anak. Pikunas (1976) mengemukakan bahwa ada banyak meliu, lingkungan atau setting yang mempengaruhi perkernbangan manusia. Semua setting ini memberi pengaruh dan tekanan pada anak melalui lingkungan clan orang-orang lain terdekat, yakni orangtua. Kemudian, berdasarkan keterampilan, motivasi,
nilai-nilaikultural dan sosial yang dianut, dinamika dan sumberdaya keluarga, orangtua mengeIola pengamh itu menjadi sebuah respon yang disebut
"keayahbundaan." Respon yang sehat terjadi bila ia lebih baik daripada pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana orangtua mengelola semua potensi dan pengaruh internal dan eksternal menjadi respon "keayahbundaan" yang sehat
dan menjadikan keluarga sebagai institmi yang kondusif &an
sangat menentukan optimasi tumbuhkembang anak. Tentang
strategisnya
keluarga sebagai institusi utarna dan pertama bagi an&-anak, Hogg (2004)
mengemukakan bahwa, "Pada mulanya dunia anak-anak masih kecil, terbatas pada keluarga dan orangtuanya. Ji ka lingkungan pertama ini man, ri Ieks, positif, memungkinkan anak-an& untuk menjelajah dan bereksperimen, orangorang di dalarnnya bisa diandalkan, maka mereka akan lebih siap menghadapi lingkungan yang lebih luas."
Konsep "bisa diandalkan" pada kutipan di atas mengandung banyak arti
yang berkaitm dengan keterarnpilan "keayahbundaan." Salah satu di antaranya keterampilan melaksanakan tugas perkembangan sesuai dengan usia
&ah
atau fase turnbuhkembang anak. Sebagai contoh, ketika anak berusia 0 - 18
bulan tugas perkembangan yang hams dilewati adalah apakah saya dapat mempercayai dunia atau segala sesuatu di luar saya? Psychosocial crisis yang diadapi pada fase ini adalah antara frust and mistrust (Erikson, 1984). Orang
lain terdekat pada fase ini adalah Ibu, atau orang lain yang menjadi representasi Ibu (alternative caregiver).
Dalam teori bonding atau attachment, respon orangtua dalam menghadapi krisis tersebut adalah satu di antara dua aiternatif di bawah ini.
1. Marnpu dan terampil memberikan kelekatan yang aman (warm and responsive care), sehingga anak berhasil melewati krisis itu; 2. Atau, orangtua j usteru mefakukan avoidant dm unsecured attachment,
sehingga anak kurang atau bahkan tidak berhasil melewati krisis tersebut.
Kalau yang pertama yang mampu diberikan oleh orangtua (Ibu), maka
anak akan berhasil rnelewati krisis itu.
Orrtpuhya adalah
anak rnerasa aman,
percaya terhadap segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan memiliki perspesi (perasaan) bahwa dunia merupakan tempat yang positif.
Dalam teori bonding dan atrachrnent, pemaan percaya (trust) merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya persepsi pada anak
bahwa dunia dan lingkungan selain dirinya merupakan tempat yang aman, yang
merupakan modal strategis bagi anak untuk mengeksplorasi alam
sekeliling dan berhubungan dengan orang lain; sebuah perkembangan yang sangat penting bagi perkembangan berikutnya seperti otonomi dan rasa
percaya diri. Bowbly mengemukakan bahwa bonding atau attachment antma
an&
dan orangtua juga merupakan satu jenis sistem keperilakuan yang
diiembangksn untuk kelestarian perkembangan organisme (Salkind, 1 985;
Karen, 1990; Hoffman et al., 1994). Yang dimaksud dengan attachment di sini adalah ikatan sosial yang primer (the primary social bonding) yang terjalin antam anak dm orangtua (caregiver) dm yang memberikan keamanan
emosional kepada anak. Temuan ini memperluas basis teoretik awalnya, yakni teori survival for the $nest Darwin. Tetapi temuan hi sekaligus menjadi awal gugurnya keyakinan Gessel terhadap peran utama faktor biologik sebagai determinan
utama perkembangan manusia Menurut Skeels dan Dye, keyakinm ini tidak realistik karena didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan tempat anak
berkembang bersifat normal (Karen, 1 990). Padahal proses perkembangan an& tidak berlangsung Mam suasana vakum (Bigner, 1979). Dengan kata lain, organisme (manusia) bisa survive bukan hanya karena kemarnpuan biologiknya untuk berkompetisi dengan sesamanya, tetapi juga dengan
membina kedekatan dan ikatan dengan orang lain. Untuk kasus anak, orang lain itu adalah orangtuanya.
Karen (1990) mengemukakan bahwa kedekatan orangtua dengan mak memberikan pengalaman emosional dan lingkungan yang man, yang membuat anak mempersepsi dunia sebagai tempat yang arnan dan positif. Pengalaman kedekatan positif akan membuat anak percaya diri, sehingga
mereka mampu mengeksplorasi lingkungan, membina hubungan sehat dengan
orang lain dan rnampu menangani keragamm. Ainsworth melalui metode Strange Situation membagi attachment ke dalam tiga kelompok, yakni secure attached, insecurely attached dan avoidant attached (Karen,
1990;
Schickedanz, 1995). Secure infant menggunakan orangha, terutama Ibunya, sebagai agent atau basis rasa ingin tahu atau untuk mengeksplorasi Iingkungan. Kedekatan, kehangatan, dan kepekaan orangtua terhadap anak me numb^
persepsi positif pada diri anak bahwa dunia atau lingkungan merupakan tempat arnan, sehingga mereka bebas mengeksplorasi lingkungan dan berhubungan dengan orang lain ("... responsive mother provides a secure base"). Ainsworth menambahkan, rasa arnan memungkinkan mak untuk bergerak memahami lingkungan, belajar darinya dm mendapatkan keterampilan untuk mengatasi apa saja yang dia hadapi di luar (Karen, 1990). Dia juga mengemukakan
bahwa,
"...young children securely attached to their parents are the ones most likely to comply with farnib rules. n e s e children actively seek and accept the adult's guidance. In this sense, secure chil&en obey voluntarily #om within the relationship, rather than out of coercion fear. "
Temuan Ainsworth menggugurkan pandangan sebelumnya, yang menyatakan kedekatan menciptakan ketergantungan (Karen, 1990). Dia mengemukakan bahwa kedekatan, kehangatan, dm ''keayahbundaan" yang
peka tidak menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian ("... it liberates
and enable autonomy"). Ainsworth menganggap secure attachment dianggap sebagai strategi "keayahbundaan" yang memungkinkan anak untuk otonom, ingin tahu dan memacu perkembangan kognitif, emosional anak, serta
mensernaikan mentalitas kepekaan dan kerjasarna (Karen, 1 990). Justeru anak yang berada dalarn kondisi anxiously attachment tidak marnpu mengeksplorasi
lingkungan dan berhubungan dengan orang lain. Dia sangat Iengket (cling) dengan orangtua, terutarna Ibunya. Dalarn eksperimen yang dilakukan oleh Ainsworth, anriozcs& attached child menangis ketika dipisafikan dari Ibunya dan tetap menangis ketika
Ibunya ada kembali. Sebaliknya, avoihnt attached child memperlihatkan
kemandiian yang ekstrem. Ia tidak menangis ketika dipisahkan dari Ibunya clan ucuh ketika Ibunya dihadirkan kembali. "Keayahbundaan" seperti ini
menekankan
individual
autonomy,
yang
merupakan
paradigma
"keayahbundaan" di negara Barat (Megawangi, 1993). Paradigma ini sangat
meyakini otonomi individual merupakan karakter utama manusia modern. Tetapi Damon menyanggah pendapat itu, dengan mengemukakan bahwa tidak banyak bukti ilmiah mendukung pandangan itu (Megawangi, 1 993). Justeru
sinergi dan kesalingbergantungan oleh Naisbitt ( I 996) dan Covey ( 1994) dianggap sebagai karakter kepribadian tertinggi dalam perkembangan kepribadian manusia, sedangkan kemandirian merupakan tahrtpan menengah.
Pye rnenarnbahkan, kebudayaan y ang mementingkan keding-
bergantungan akan sangat efektif, karena individu yang merasa berada &lam lindungan kelompoknya akan kreatif dalarn memajukan kelompoknya, sedangkan kebudayaan yang mementingkan kemandirian individual mendorong an&
akan
menjadi anarkis, selalu merasa paling benar dan Iebih
mementingkan s e u daripada reZatiunsh@ (Megawangi, 1 993). Pada tataran makro, Ketcham mengemukakan bahwa sikap kesaling-berganhmganjusteru
berandil besar pada pembangunan sosial ekonomi dan SDM (Megawangi, 1993). Megawangi (1993) menegaskan, sikap kebersamaan dm saling
ketergantungan antarindividu akan membawa individu merasa aman. Rasa
m a n ini akan membuat manusia merasa bebas dari tekanan-tekanan, sehingga dapat mendorong individu untuk bertindak kreatif. Pembentukan sikap-sikap
seperti ini h a m dimulai di dalam kelwga.
Kaidah seperti ini juga berlaku untuk Mapan perkembangan berikutnya. Sebagai contoh, fase kedua (early childhood) dan ketiga (play age), menurut teori Freud, merupakan periode yang sangat kritis, karena anak
dapat memahami dm menyerap stimulus dari lingkungan, terutama orangtua
(Salkind, 1985). Orangtua lebih dorninan pada fase ini daripada hanya Ibu (mothering). Ruben (1988) mengemukakan bahwa pada periode kritis ini
sosialisasi dan cara berkomunikasi orangtua dengan anak sangat berpengaruh
terhadap pembentukan perilaku dm kepribadian anak. Masalahnya adalah,
mampu clan terarnpilkah orangtua berinteraksi dan berkomudasi secara sehat dengan
anaknya?
Atau,
mampukah
orangtua
menunaikan
tugas
perkembangannya untuk mendukung tugas perkembangan anak? Teori kedekatan positif di atas memiliki implikasi praksis yang strategis. Pertama berkaitan dengan persoalan
berapa jam yang hams
dicurahkan oleh orangtua dan Ibu Wlususnya untuk dan bersama anak. Dengan kata lain, berapa jam
orangtua hams
rnenyisihkan waktu
untuk
"keayahbundaan"? Di Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Etzioni (1 993), persoalan ini menjadi isu yang kritis dalam seluruh kehidupan mereka,
sehingga Wexler mengemukakan bahwa "... the great test for American Society will be this: Whether we are capable of caring and sacrificing for the future of children" (Etzioni, 1993).
Kedun, teori kedekatan positif sedang mengalami benturan dengan
feminisme, yang menganggap teori ini secara tidak langsung menyarankan a stay-at-home role bagi perempuan atau Ibu (Etzioni, 1993). Untuk kasus
negm Jepang, hasiI kajian Imamura (199 1) rnenggugurkan anggapan bahwa keterlibatan perempuan, Ibu khususnya, da1a.m s e b r publik bertentangan atau
bahkan mengalahican "keayahbundaan": It is likely that women will continue to sustain traditional Japanese values while preparing their children and adjmting themselves to new economic realities. Jadi, partisipasi perempuan di
sektor publik ti&
ditafsirkan dalarn konteks pembebasan perempuan dari
peran keibu-rumahtanggaan, seperti yang menjadi pilar gerakan feminisme di Barat. Menurut Dizard dan Gddin motivasi untuk semata pemenuhan
pengembangan diri sendiri dari partisipasi perempuan dalam sektor publik akan membentuk lingkungan atau ekologi tumbuhkembang anak dalam keluarga yang tidak kondusif (Myers, 1 992).
Keterarnpilan "Keayahbundaan" dan Perkembangan Anak Beberapa istilah memiliki arti harnpir sama dengan konsep
"keayahbundaan," seperti caring, rearing, socializabion, mothering dan fathering. Penelitian ini berfokus pada asuhan (caring) yang dilakukan oleh
Ibu dan Ayah dalam institusi keluarga. Asuhan yang dilakukan oleh Ibu disebut mothering, dan oleh Ayah disebut fathering. Kombinasi keduanya
disebut "keayahbundaan," yakni seluruh aktivitas yang berorientasi pada pemenuhan hak tumbuhkembang anak. la menyangkut, kesadaran, perilaku,
dan keterarnpilan orangtua dalarn rnelakukan aktivitas-aktivitas itu. Klasifikasi parenting menjadi mothering dm fathering ada kaitannya dengan pergeseran "keayahbunbn" dalarn keluarga dm munculnya ideologi fatherhood, yakni sebuah ideologi yang menyadari pentingnya kehadiran ayah secara fisik, psikologis, dan emosional dalarn proses tumbuhkembang anak.
Shapiro (2003) mengemukakan bahwa kini semakin sulit ditemukan pembagian Ayah dm 1bu seketat yang pernah dulu kita yakini. Ayah dapat berperan pada aktivitas apa saja sesuai kesepakatan bersarna. 13anyak mitos peran Ayah dalarn keluarga sekarang mulai didekonstruksi seperti mitos pendisiplinan anak hanya tugas ayah, mengganti popok monopoli urusan Ibu, tugas Ayah mendidik anak laki-laki, dan sikap I bu mempengaruhi janin.
Dalam
banyak
bahan
pustaka
diperkenalkan
ragarn
model
"keayahbundaan." Becker mengajukan model tiga dimensi "keayahbundaan"
(Schikendanz,
1995).
Dimensi
perkma
disebut
serba
tak
boleh
(restrictiveness) dm serba boleh (permissiveness). Dimensi ini membentuk
sebuah kontinum pada sumbu aksis horisontal. Dia mengemukakan bahwa
perilaku serba tidak boleh menunjukkan penggunaan kekuasaan orangtua d m penekanan pada kepatuhan dengan sejumlah aturan-aturan main - sebagai alat
kontrol -- yang sudah ditetapkan untuk dipatuhi oleh anak. Dimensi kedua adalah warmth-hostility yang merentang membentuk sebuah kontinum pada sumbu aksis vertikal. Warmth behavior menunjukkan sikap kasih sayang (tenderness), hangat, afektif, memberi penjelasan dalarn
membatasi aktivitas anak. Omgtua dalarn perilaku ini juga sangat kurang menggunakan hukuman fisik.
Dimensi ketiga adalah anxiom emotional involvement-calm detachment. Perilah yang anxious e m o t i o d involvement ditandai oleh "keayahbundaan" yang cuek dm kurang memkrikan perhatian yang memadai terhadap
kebutuhan anak. Sebaliknya, perilaku yang calm detachment cenderung melindungi secara agak berlebihan dengan tingkat keserbabolehan yang tinggi.
Selain tiga dimensi tersebut, model ini juga mengajukan beberapa model "keayahbundaan," seperti perilaku demokratik, yakni perilaku yang tinggi tingkat keserbabolehan, kehangatan, dan calm defacfment-nya.Perilaku autoritarian addah perilaku yang tinggi aspek permusuhan (hostiIity),
keserbatakbolehan, dan kecuekannya, sedangkan perilaku melindungi adalah perilaku yang tinggi kehangatannya, tetapi sangat rendah aspek kecuekan dan keserbatakbolehannya. Baumrind mengemukakan tiga perilaku "keayahbundaan," yalcni authoritative, authoritarian, dan permissive parenting (Munn, 1974;
Schikendanz, 1995). Tiga perilaku ini dikaitkan dengan aspek kehangatan (warmth atau nwtwunce), kontrol dm kematangan. Menurut Baumrind,
perilaku yang autoritatif tinggi aspek kehangatan, kontrol dan kematangannya.
Sebaliknya, perilaku yang permisif, sangat tinggi aspek kehangatannya, tetapi sangat rendah aspek kontrol dan kematangannya, sedangkan perilaku
autoritarian sangat tinggi kontrolnya, tetapi rendah kehangatannya. Perilaku autoritatif dan autoritarian sarna-sama tinggi aspek kontrolnya. Tetapi menurut
Baumrind, keduanya berbeda dalam pelaksanaan kontrol. Pada periIaku
autoritatif, orangtua selalu memberi alasan mengapa mereka melarang atau menuntut sesuatu, dan menunjukkan dampak akibat perilaku an&. Orangtua juga memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pandangannya.
Perilaku permisif terlalu memanjakan dan melindungi anak, sehingga anak terlambat perkembangan kemandiriannya dan selalu bergantung kepada orangtua. Menurut Shafer, pola "keayahbundaan" seperti ini &an membuat
anak cepat menyerah, taklik dan selalu minta izin sebelurn metakukan sesuatu @a&man, 2000). Apabita palindungan diberikan berlebihan, maka anak tidak
kreatif, tidak agresif dalarn mematuhi aturan, dm bahkan tidak mudah bemhabat atau mengembangkan hubungan dengan orang lain. Menurut Baumrind, "keayahbundaan" yang sehat adalah perilaku yang
autoritatif. Megawangi (1993; 2000) mengemukakan bahwa orangtua yang mampu menerapkan perilaku hi akan dapat mengarahkan anaknya dengan
efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong maknya berbuat baik, bisa menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara
komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol tindakannya dm menghargai peraturan, sedangkan orangtua yang menerapkan
perilaku yang autoritarian lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak menjadi takut. Ini kemudian akan rnengharnbat kreativitasnya. Hasil penelitian Baumrind menunjukkan bahwa anak yang dididik
dengan perilaku permisif, perkembangan sosial d m kognitifnya rendah. Mereka juga kurang mandiri dan tidak bisa mengendalikan diri. Sebaliknya,
anak yang dididik dengan perilaku autoritatif, perkembangan kognitif dan sosialnya tinggi. Mereka j uga percaya diri (assertive), mandiri, bisa
mengendalikan diri, dan aktif mengeksplorasi lingkungan, sedangkan anak yang dididik dengan perilaku autoritarian secara kognitif lebih bagus
perkembangannya daripada anak yang dididik dengan perilaku permisif, dan
lebih sungguh-sungguh dalam belajar, tetapi lebih rentan terhadap tekanan (stress).
Steinberg mengajukan
empat
model
"keayahbundaan," yakni
authoritative, authoritarian, tak acuh (neglecmr) dan serba-oke (Schikendanz,,
1 995). Meskipun mirip dengan model Baurnrind, tetapi Steinberg mengemukakan bahwa pola "keayahbundaan" ini cowk untuk menjelaskan ragam "keayahbundaan" pada anak usia dewasa. Dia mengemukakan bahwa orangtua yang autoritarian hanya tinggi pada aspek kontrol dan kekebtan, tetapi rendah pada aspek penerimaan d m keterlibatan. Sebaliknya, orangtua
yang penyabar tinggi pada aspek penerirnaan dan keterlibatan, tetapi rendah
pada aspek keketatan dan kontrolnya. Orangtua yang penyabar cenderung
permisif. Di sisi lain, orangtua yang autoritatif tinggi tingkat penerimaan, keterlibatan, keketatan (strictness) dan kontrolnya, sedangkan orangtua yang
tak acuh rendah pada keempat asp& itu. Hasil penelitian yang menerapkan
model Steinberg ini menunjukkan hal-ha1 berikut: "keayahbundaan" yang autoritatif selalu dikaitkan dengan tingginya prestasi akademik anak clan ketekunannya mengejakan tugas (work orientation). An&
yang dididik
dengan cara hi juga memiliki aspirasi untuk bersekolah lebih tinggi (school orientation),percaya diri, memiliki keyakinan diri untuk melakukan hubungan
sosial, dan kompeten dalam mengembangkan hubungan sosial dengan temantemannya (Rohner, 1 986). "Keayahbundaan" yang autoritarian selalu
dihubungankan dengan prestasi akademik yang baik dan rendahnya penyalahgunaan alkohol oleh anak. Tetapi biasanya rnereka kurang percaya
diri, sedmgkm "keayahbundaan" yang tak acuh dan penyabar selalu dikaitkan dengan anak yang memiliki pandangan positif mengenai dirinya, tetapi school orientation-nya relatif lebih rendah daripada anak yang dididik dengan perilaku autoritatif.
Elkind (1 98 1 ) mengembangkan tiga jenis gaya "keayahbundaan," yakni demokratik, bebas (laissez-faire),dan autoritarian. Pola-pola ini diiembangkan
dari teori kuntrak orangtua-anak, yang berturnpu pada keseimbangan antma tanggung jawab dan kebebasan (respnsibili@-freedom contract) kedua belah pihak (orangtua-anak). Menurut teori ini, orangtua hams dengan peka memantau taraf perkembangan kognitif, emosional dan sosial anak agar orangtua mampu dengan tepat membebankan tanggung jawab tertenhr tanpa
mendeprivasi kebebasan anaknya. Gaya "keayahbundaan" dernokratik adalah perilaku orangtua yang mampu mengkombinasikan dengan irnbang antara tanggung jawab dan kebebasan itu.
Gagasan Elkind (1 98 1 ) tentang keseimbangan antara tanggung j awab
dan kebebasan sebangun dengan pandangan Shapiro (2003) tentang keseimbangan antara kemandirian d m ketergantungan. "Keayahbundaan"
yang
sehat
menurut
Shapiro
adalah
"keayahbundaan" yang bisa
mengkombinasikan dengan kreatif dua ha1 tersebut. Ketergantungan positif menghasilkan kedekatan anak dengan orangtua dm orang lain, lahirnya sikap empatik dan respek., sedangkan kemandirian positif rnembuahkan pemahaman batas-batas individual antara orangtua dan anak, yang akhirnya bisa
menumbuhkan kemampuan membedakan antara self dan others. Anak yang tumbuh dab berkembang dengan sehat adalah anak yang mampu berkreasi dm mengeksplorasi rasa ingin tahunya (dimensi kemandirian), tetapi tetap d a r n kerangka kedekatan (keterikatan) pada orang-orang lain. Atau, dalam
kedekatan dengan orangtua dan orang lain (dimensi ketergantungan), anak mampu bereksperimen
dan berkreasi
dalam rnemanfaatkan potensi
kemmdiriannya Kombinasi kemandirian dan ketergantungan menciptakan perkembangan kepribadian yang purna, yang oleh Covey (1994; 2000) dan Naisbitt (1996) disebut kesalingtergantungan atau sinergi. Dikaitkan dengan tiga jenis perkembangan anak, orangtua yang demobatik adalah orangtua yang mampu membebankan tanggung jawab sesuai dengan taraf perkembangan kognitif, emosional dan sosial anak.
Sebaliknya, orangtua yang membebankan tanggung jawab dan memberikan
kebebasan anak tidak sesuai dengan taraf perkembangannya adalah orangtua yang autoritarian atau laissez-faire. Menjadi autoritarian bila tanggung jawab
yang dibebankan jauh melebihi kebebasan dan Iebih tinggi daripada taraf
perkembangan anak; menjadi laissez-faire jika tanggung jaw& itu lebih rendah daripada taraf perkembangannya. An&
yang dibesarkan dengan
perilaku autoritarian akan hunbuh dan berkembang terlalu cepat dan terlalu
dini. Anak seperti hi oleh Elkind disebut anak yang mengalami pendewasaan atau hurried child, sedangkan anak yang dibesarkan dengan perilaku laissez-
faire &an tumbuh dan berkembang dengan lamban.
Rohner (1 98 6 ) mengernukakan varian lain yang disebut teori penerirnaan dan penolakan orangtua (parental acceptance-rejection theory).
Teori ini memiliki tiga dimensi; saIah satu di antaranya adalah dimensi kehangatan "keayahbundaan"(warmth dimension ofparenting), yang berfokus pada analisis dampak psikososid variasi model "keayahbundaan" (penolakan atau penerimaan) yang diterapkan
oleh orangtua terhadap perkembangan
kognitif, sosial dan emosional anak. Dia mengemukakan bahwa anak di mana pun mengalami pola "keayahbundaan" yang bersifat penolakan, penerimaan atau kombinasi keduanya. Baik yang bersifat penerimaan maupun penolakan,
keduanya menimbukan dampak perkembangan yang berbeda. Pola penerimaan dan penolakan membentuk sebuah sebuah garis konthum.
Penerimaan merupakan "keayahbundaan"yang paling ideal (sehat), sedangkan penolakan rnmpakan praktik yang paling tidak ideal (tidak sehat). Secara empirik, orangtua jarang bisa mencapai tingkatan ideal itu. Akan tetapi, pola
"keayahbmdaan" ideal, menurut dia, dapat dipelajari, disosialisasikan dan
dipasarsosialkan.
Perilaku penerimaan mencakup ikatan afeksional dan kehangatan antara anak dan orangtua serta perilaku-perilaku fisik maupun verbal yang dikembangkan oleh orangtua untuk mengungkapkan perasaan kasih sayang
dan kehangatan itu. Aspek fisikal penerimaan mencakup EtEEtivitas merangkuI, mencium, membelai, bermain brsama, mendekap, memeluk, dm sentuhansentuhan fisik lain, sedangkan aspek verbainya terdiri atas ucapan-ucapan
&lam bentuk komunikasi verbal antara anak d m orangtua, seperti pujian, penghargaan, dan ungkapan-ungkapan hal-ha1 yang baik tentang anak.
Termasuk dalam aspek ini adalah aktivitas bercerita dan bersenandung baik dengan lagu maupun ayat-ayat suci ketika anak hendak tidur. Di ujung
kontinum lain terdapat perilaku penolakan, yang terdiri atas tiga subset
perilaku, yakni permusuhan atau agresi (hostiIi~/aggresssion), sikap indyeren atau sikap tak
acuh (indrfferencdneglect) d m penolakm yang tak
terdifferensiasi (undlfferentiated rejection). Menurut Rohner, memusuhi anak yang mencakup perasaan marah, membenci anak, sedangkan sikap indzfleren menggambarkan kurangnya kepedulian orangtua terhadap anak. Agresi dan sikap tak acuh merupakan
menifestasi perasaan internal tersebut. Agresi dibagi rnenjadi agresi fisik (seperti menggigit, menendang, memukul) dan verbal (seperti menyumpahi,
mengejek, meremehkan). Agresi &pat berupa sikap memusuhi, sedangkan sikap indzferen bisa menjadi penyebab munculnya sikap talc acuh kepada
an&. Indikator sikap tak acuh adalah tiadanya kehadiran fisik dan nonfisik omngtua. Ketidakhadiran fisik
Iebih mmgkin rnenyebabkan ketidakhadiran
psikologis, tetapi kehadiran fisik tidak selalu berimplikasi kehadim psikologis. Anak dapat merasakan kehadiran fisik orangtua, misalnya ketika
orangtua berada di rumah, tetapi bisa saja tidak merasakan oranghmnya hadir
secara psikologis (Gambar 2). Aspek ketiga perilaku penolakan adalah penolakan yang tidak
terdifferensiasi. Perilaku ini bersifat perseptual, yalcni sej auh mana kasih sayang, perhatian dan kehangatan itu secara riil dirasakan oleh anak. Pengarnatan terhadap perilaku sehari-hari orangtua mungkin menggambarkan
penerimaan (verbal, fisikal, dan afeksional) orangtua terhadap anaknya, sehingga disimpulkan bahwa orangtua itu menerapkan "keayahbundaan" yang sehat.
DIMENSX KEHANGATAN & PERMUSUHAN PARENlTNG
PENERIMAAN ORANGTUA
PENOLAKAN ORANGTUA
E N O W N TAK TERDIFFERENSUSI
mSIK Hendum Mendekap Mernbslal Hemduk Dsb.
VERBAL Mcmbcrlpdlan Henghargal Hengahhn hal-hal p n g brhk tarmasuk tentang dlrl anak Dsb.
L
VERBAL Menyumpahi Mwspefek dan mengitakan sapuatu yang tidak balk Menyindirpsdas Mermehlcan Membentak kb.
.. . rn
Katidakhmdlrsnnslk Ketldakhsdtmnpsikologlk K e t l d a ~ l t a amadonal n Acuh brhadap kabuhrhan anak Amh brhadap -man anak m a k tarhadap emod anak Dsb.
Gambar 2. Model Keayahbundaan Penerimaan dan Penolakan
Sumber: Rohner, 1986
*
Anak mab k dld-1 Anak mema b k diamtasi Anak merara tak dlasuh Anak martak dihamai Anak merepa tak d l m m l Dsb.
Meskipun demikian,
mak itu sendiri kerap tidak merasa bahwa
orangtuanya menyayangi, mencintai dan memiliki perhatian kepadanya. Untuk kmus penoldcan jenis ini, Rohner menyarankan agar digunakan pendekatan
fenornenologis dalam penelitian untuk melengkapi metode home-based observation.
Lalu, bagaimma hasil penelitian mengenai hubungan antara dua pola "keayahbundaan" itu dengan perkembangan anak. Menurut R o b (1 9861, dampak "keayahbundaan" ini sebenamya bisa dialami sejak bayi, tetapi dampak ini akan terlihat lebih jelas paling tidak ketika anak sudah berusia mam tahun. Pada usia ini, perkembangan kognitif, emosional dm sosial an&
sebagai dampak perilaku tersebut bisa diamati dengan lebih jelas. Selain itu, an& pada usia ini juga bisa merasakan cinta clan kasih sayang orangtuanya.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerimaan berkoreIasi positif dengan perkembangan kognitif, emosional, clan sosial anak, sedangkan
peno1aka.n berkorelasi negatif dengan perkembangan
&.
Anak secara
emosional menjadi tidak stabil dm secara sosial tidak peka. Bahkm Horney
(Rohner, 1986), Gelles (19801, dm Woititz (1 992) mengemukakan bahwa
perilaku penolakan akan memhtuk siklus antargenerasi, dalam pengertian
bahwa anak yang dulu dididik dengan pola "keayahbundaan" penolakan juga &an menerapkan cara yang sama ketika mereka menjadi omgtua. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa penolakan menjadi penyebab evaluasidiri negatif pada anak. Anak menjadi kurrtng rnantap (lack
of serf-adequacy) dan kurang percaya diri (Cooley dm Mead dalarn Rohner, 1986). Levy (1943) juga mengemukakan bahwa an& yang mengalami
penolakan, kemarnpuannya untuk mengembangkan hubungan dengan kelompok bemain terharnbat. Mereka juga menjadi kurang toleran (Englsh
and English, 1958). Hasil penelitian Richardson rnenemukan bahwa mahasiswi yang mencapai nilai uji berfrkir kreatif tinggi berasal dari kelwga yang
menerapkan perilaku penerimaan. Sebalilmya, yang berasal dari keluarga
dengan perilah penolakan nilainya lebih rendah (Rohner, 1986).
Esty
mengemukakan bahwa pemimpin organisasi kemahasiswaan addah anak omgtua dengan "keayahbundaan" yang sehat (Rohner, 1 986). Prestasi akademik mereka juga jauh lebih baik daripada anak orangtua dengan
"keayahbundaan" penoIakan (Hahn, 1 980; Starkey, 1980). Banyak hasil penelitian lain mendukung temuan-temuan di atas. Intinya
adalah, perilaku penerimaan besar sekali dampaknya terhadap perkembangan
a d c , baik perkembangan kognitif, emosional maupun sosial. Karena itu, perilaku ini menjadi sangat penting untuk disosialisasikan atau disuluhkan. Paling tidak, sosialisasi atau penyuluhan pola "keayahbundaan" sehat ini akan dapat memotong jalur dampak siklis lintas generasi pola "keayahbundaan"
penolakan seperti dikemukakan oleh Horney dan Gelles di atas. Perkembangan terakhir rnenunjukkan adanya minat yang semakin kuat terhadap upaya perbaikan "keayahbundm." Kernajuan ekonomi dan
perkembangan teknologi informasi, yang dianggap sebagai dua kekuatan besar yang memhri tekanan sangat kuat terhadap perkembangan a d , merupakan
faktor picu berkembangnya minat itu. Elias et al. (2000) mengemukakan
bahwa an& telah menjadi korban dua kekuatan besar itu. Sekarang adalah
saat-saat yang sangat sulit menjadi orangtua dan anak, karena pengaruh
ekstemal yang hams dihadapi oleh orangtua dm anak semakin besar.
Sehubungan dengan dam@ perkembangan teknologi informasi, Comer mengernukakan bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, baru sekarang ini terdapat masa yang dipenuhi oleh begitu banyak infomasi yang menerpa anak tanpa disaring oleh orang dewasa @lias et al., 2000). Karena itu, orangtua sekarang perlu diperlengkapi dengan pardigma "keayahbundaan" bam, yang
diibut "keayahbundaan" berbasis EQ (emotionally intelligent parenting),
yang di dalamnya terdapat lima prinsip "keayahbundaannyang sehat, yaitu (1) menyadari perasam sendiri dan perasaan anak; (2) menunjukkan empati dan
memahami cam pandang anak; (3) mengatur dan mengatasi dengan positif gejolak emosional dm peril& anak; (4) berorientasi pada tujuan dan rencana
yang positif; ( 5 ) menggunakan kecakapan sosial positif d a m membia
hubungan dengan anak (Elias et al., 2000). Konsep "keayahbundaan"yang sehat hams diwujudkan dalam aktivitasaktivitas nyata oleh omgtua di rumah sesuai dengan tahap-tahap
tumbuhkembang anak. Penelitian Myers (1992) menemukan, banyak orangtua, terutama Ibu, di negara berkembang memahami alctivitas menyusui s e h d a r
memberi makan an&. Tidak d i i bahwa aktivitas itu melibatkan kontak psikologis. Aktivitas makan bersama, selain rnenambah kedekatan fisik dm
psikologis, ia bisa berfungsi sebagai wadah sosidisasi kebajikan moral. Megawangi mengernukakan bahwa membiasakan anak rnakan bersama besar
pengaruhnya terhadap pembentukan keluarga yang sehat. Ia akan membentuk
suasana rumah atau kelw g a yang nyarnan, terutama bagi an&. Selanjutnya, ia
akan menjadi basis penting bagi perkembangan anak (Zeitiin et al., 1995).
-
Demikian juga dengan konsep kehangatm. la dapat diwujudkan dalam
pernbentukan suasana di rumah yang kondusif, seperti dikemukakan oleh Nolte. Antara lain Nolte mengemukakan bahwa anak yang biasa hidup dalam
suasana tenggang rasa, mereka
belajar dm terbiasa untuk sabar; anak
yang biasa hidup dalam suasana penuh semangat (encouragement), mereka akan belajar dan terbiasa untuk percaya diri; dan anak yang biasa hidup dalam suasana kejujuran, mereka akan belajar dan terbiasa bersikap adiI; anak yang
biasa hidup dengan keramahan dm kehangatan, dia akan merasakan cinta kasih dalam keluarga dan lingkungannya (Ruben, 1 98 8). Pembiasaan sikap dan perilaku ini membuat anak merasakan keluarga dan dunia sebagai tempat yang
aman baginya. Ia akan Iebih mudah mengeksplorasi lingkungan dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, an& yang biasa dikecam akan belajar clan terbiasa m m a bersalah dan menyalahkan orang Iain; am& yang biasa dimusuhi akan belajar
d m terbiasa memberontak. Untuk bisa menciptakan suasana kehidupan keluarga yang sehat itu tidaklah semudah membentuk suasana yang tidak sehat. Usaha ini
menyangkut masdah peningkatan kesadaran dan
keterampilan. Pembiasaan, penyuluhan, pemasaran sosid, atau pelembagaan gagasan sosial ini dapat menjadi sarana untuk perubahan tersebut. Uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian empirik dan kajian teoretik bukan saja telah menghasilkan gagasan sosial tentang perilaku "keayahbundaan" yang sehat, tetapi juga telah membuktikan dampaknya
terhadap tumbuhkembang anak. Beberapa gagasan atau konsep dasar yang muncul dari banyak kajian itu adalah perilaku kehangatan, kelekatan yang
man, penerimaan, perilaku autoritatif dan demokratik. Pada tatarm ide, gagasan atau konsep dasar ini bukan merupakan sesuatu yang b a r = karena
paling tidak istilah-istilah itu sudah menjadi bagian kosa kata bahasa
Indonesia Tetapi pada tataran praksis, temuan ini jelas mengandung unsur
kebaruan (newness) bagi banyak orang, meskipun bukan sesuatu yang "barn" bagi kalangan tertentu. K o m p "keayahbundaan" yang sehat ini harus
diwujudkan &lam aktivitas-aktivitas riil sehi-hari sesuai dengan periode tumbuhkembang anak. Untuk fase anak batita dan balita, perilaku penerimaan
fisikal bisa diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas seperti dikemukakan oleh teori Rohner di atas, tetapi untuk anak usia sekolah atau pubertas, perilaku itu hams diwujudkan dalam bentuk aktivitas-aktivitas lain. Peragaman atau perluasan aktivitas untuk safu konsep dasar, sesuai dengan fase perkembangan mak, sangat penting. Penerimaan fisikal misalnya, untuk anak usia sekolah (6
-
1 1 tahun) dan usia pubertas (1 2
-
18 tahun) harus diwujudkan melalui
curahan waktu untuk dan bersama an& dalarn bentuk aktivitas bermain bersama dan melibatkan anak dalam aktivitas tertentu, serta aktivitas lain yang
mendekatkan mak baik secara fisik dan psikologis dengan orangtua. Megawangi mengemukakan bahwa membiasakan mak rnakan bersama besar p e n g d y a terhadap pembentukan keluarga yang sehat. Ia akan membentuk
s
m rumah ortau keluarga yang nyarnan, terutama bagi an&. Selanjutnya, ia
akan menjadi basis pent ing bagi perkembangan anak (Zeitlin et al., 1 995).
Pernitsaran Sosial sebagai St rategi Memperbaiki "Keayihbundaan"
Merujuk pada dampak negatif "keayahbundaan" yang tidak sehat terhadap perkembangan anak, maka peningkatan keterampilan orangtua
melaksanakan fungsi strategisnya - "keayahbundaan" - menjadi sangat penting. Sasaran yang ham dicapai &ah
bagaimana konsep atau gagasan
"keayahbundaan" yang sehat dapt mengganti "keayahbundaan" yang tidak sehat. Peneltian ini menawarkan sebuah pendekatan yang d i k e d dengan istilah pamasaran sosial. Seperti dikemukakan oleh Kotler dan Roberto ( 1 989), strategi teoretik
pemasaran sosial bukm sekadar sebuah pendekatan untuk mengubah perilaku masyarakat, tetapi juga sebagai teknologi sosial untuk manajemen perubahan
sosial atau rekayasa sosial. Strategi ini mengadaptasi sebagian teori pemasaran komersial; satu di antaranya addah dalil Make your customers the cenire of your culture. Tetapi d a r n banyak ha1 keduanya sangat berbeda Kdau dalarn
pemasaran komersid berlaku prinsip misaInya: It is no longer enough to s a t i s , CtLStomers.
You must delight them (Kotler, 2003), maka ddam
pemasaran sosial dalil ini hams diutrah: It is no longer emugh to sat@& and delight wtomers or potential adopters. You m w t educate and empower them.
Hasil penelitian tentang difusi inovasi yang dihimpun oleh Rogers (1 983; 1 995) mengemukakan kehandalan strategi teoretik ini untuk beberapa
kasus program sosial seperti program keluarga berencana. Tetapi, stmtegi ini lebih concern pada komponen KAP kelompok sasaran. Meskipun faktor konteks (faktor sosial budaya) diperhatikan, tetapi jarang dijadikan garapan
pokok atau deliverables.
Strategi pemasaran sosial, dengan cakupan
deliverables yang lebih komprehensif dan stakeholkrs yang lebih membentang, memadukan dengan kreatif kelebihan strategi atau pendekatan
difusi inovasi, terutarna untuk menggarap komponen KAP kelompok sasaran;
perubahan sosiaI brencana (communi@ development) untuk
s-gi
meaggarap dukungan komunitas (solid community); clan teori penguatan
keluarga (strengthening family) untuk menin-
ketahanan keluarga
(sumberdaya keluarga, sumberdaya individu dalam keluarga, dm sumberdaya parenting).
Kotler dan Roberto (1989) mengemukakan bahwa pemasaran sosial krtujuan untuk mengubah cara orang atau kelompok dalam komunitas tertentu mengelola hidupnya dengan cara melakukan transformasi praktik hidup,
perubahan sikap dan nilai-nilai hidup yang h a n g mengunmgkan menjadi cam yang pduktif dan dapat menhgkatkan mutu hidup
("... changing the
way individuals and groups lead their lives by transforming adverse and
harmful practices into productive ones, ckanging a f t i d s and values in
communities and entire societies, and creating new social technulogies f h t
usher in &sired changes and elevate quality of people's lives)." Prduk sosial yang dipasarkan mencakup gagasan sosial (kepercayaan, sikap dan nilai), praktik sosial (tindakan dm perilaku sosial) d m inovasi kelihatan (tangible object).
Proses transformasi
atau perubahan dalm konteks pemasaran
sosial
merupakan suatu proses rekayasa sosial berencana. Karena itu, pemasaran sosid juga sering disebut sebagai rekayasa sosial berencana, yang mencakup
rancangan, implementasi dm pengendalian program-program berencana yang
ditujukan untuk mempengaruhi penerimaan gagasan sosial dm mencakup
konsiderasi perencaman produk sosial,.penentuan harga, komunikasi dan riset pemasaran (Fox dan Kotler dalam Swanto, 1989). Bahkan Kotler dan Roberto
memposisikm pemasamn sosial sebagai suatu strategi perubahan sosial.
Mereka mendefinisikan pemasaran sosial sebagai teknologi manajemen pubahan sosial yang mencakup rancangan, implernentasi dm pengendalian program-program yang ditujukan uatuk meningkatkan penerimaan suatu gagasan atau praktik sosial baru pada satu atau bebervdpa kelompok penerap sasaran. Sebagai teknologi manajemen perubahan sosid, pemasaran sosial
menggarap empat persoalan besar yang berkaitan dengan transformasi dari non-be2ieJ belieJ: behavior, ke value, yaitu: 1. Produk sosial apa yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan segmen
masyadcat tertentu (defining rhe product-market fit)? 2. Apa dan bagaimma caranya agar produk sosial itu sesuai den-
rnasalah dan kebutuhan penduduk (designingthe product-marktfit)? 3. Bagaimana produk sosid yang cocok dengan kebutuhan dan masalah
itu dipasarkan atau disosialisasikm (delivering the product-rnarketlfir)? 4. Bagaimana rnernpertdmhn pembahan perilaku, sikap dan nilai hidup
baru (defending the product-marhtftt)?
Tugas atau tahapan defining the product-market fit sebangun dengan fase menurnbulkan kesadaran akan masalah, dorongan untuk berubah dan pembinaan hubungan antara pengantar pembaruan dengan kelompok sasaran (Spalding et al., 1958). Tugas-tugas berikutnya sejajar dengan fase III, IV dan
V teori Spalding et al. Jadi, dalam konteks pemasaran sosial, produk sosial diciptakan d m dirancang sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah yang dirasakan oleh kelompok sasamn, atau sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan yang dimakan oleh kelompok sasaran. Produk tersebut lebii baik daripada produk sosial yang tergantikan atau yang berasal dari sumber acuan lain. Gambar 3 rnenunjukkan bahwa rentang antara produk sosial baru clan kelompok sasaran hingga perubahan peril-
sikap dan nilai hidup
menggambdcan keseluruhan proses permsaran sosial sebagai sebuah disain,
implementasi, dan pengendalian program berencana yang bertujuan untuk rneningkatkan penerimaan suatu produk sosial baru oleh masyarakat.
PEMENUHAN KEBUNHAN
Gambar 3.Produk Sosial, Kelompok W a n . dan Perubahan Perilaku
Sumbec Kotler dan Roberto, 1989 (Dimodifikasi)
Kotler dan Roberto (1 989) mengajukan proses siklis pemasaran sosial, yaitu analisis lingkungan pemasaran sosid, riset dan pemilihan kelompok
sasaran, perancangan stmtegi, perenCanaan program bauran, dan implementasi program. Yang dimaksud dengan lingkungan pemasaran sosial di sini addah segugus kekuatan
baik yang mendukung (motivating forces) maupun yang
membatasi (restrictingforces) pencrimeran dan penerapan produk sosid baru. Tujuannya m a h untuk memahami masisalah dan kebutuhan kelompok sasaran dalam konteks sosid budaya tertentu, termasuk kompetitomya Ketersebut bersifat internal dan eksternal. Kekuatan internal yang hams dipetakan
adalah seluruh kekuatan clan kelemahan keorganisasian organisasi yang bertanggung jawab atas berhasilnya pemasaran produk sosial, sedangkan
kekuatan eksternal bisa berasal dari faktor sosial demogafik, seperti wia, suku
bangsa dan Iokasi; ekonomi seperti pekejam dan pendapatan; lingkungan fisik seperti kendala geografik yang mempengaruhi akses ke pelayanan dan informasi; politik seperti dukungan kebijakan publik, dan faktor sosial budaya, yang terdiri atas nonna sasial yang menjadi acuan praktik sosial
("keayahbundaan") dan kelompok-keIompok lokal. Dalam konteks pemasaran komersial, analisis lingkungan e k s a ditujukan pada kekuatan p e r u s a h a a n - p e e lain (kompetitior) yang memproduksi b m g dan jasa yang sama. Tetapi dalam konteks pemasaran sosial, temtama untuk prod*
sosial yang tidak keluErhtan, kompetitornya
adalah praktik sosial yang tidak m e n d h g perbaikan mutu hidup baik
disadari maupun tidak disadari oleh penduduk. Jadi, andisisnya ditujukan pada
acuan kebenaran - biasanya bersurnber dari pengalaman dan budaya - yang menjadi dasar pembenar praktik sosial itu.
h i 1 pemetaan lingkungan pemasaran sosial sangat berguna untuk
proses segmentasi pemasaran sosial, tennasuk segmentasi perilaku penerap potensid. Yang dimaksud dengan segrnentasi di sini adalah proses atau
aktivitas pembagian penerap sasaran bedasarkan faktor-faktor tertentu seperti
f&or geografik (desa, nuban dan kota), sosid lpendidikan rendah, menengah
dm tinggi) dm ekonomi (golongan ekonomi bawah, menengah dan atas), serta perilaku penerap. Infomi mengenai keragarnan karakteristik penerap ini sangat penting untuk proses penentwn penerap (keIompok) sasaran,
penumbuhan kesadaran dan kebutuhan untuk berubah serta penpunan strategi yang diperlukan.
Data dan informasi dari analisis lingkmgan pemasaran sosid menjadi
dasar pengembangan program pemasaran sosial. I n f o m i tentang kebutuhan
clan masalah penerap sasaran akan menjadi pijakan pengemasan dan penempatan (posirioning) produk sosial barn. Yang diaksud dengan
pengemasan dan penempatan di sini adalah semua aktivitas yang ditujukm untuk m e n i m b u b citra positif dan daya tarik produk sosial bani vis-A-vis
praktik sosial lama. Rancangan kernasan dan penempatan yang baik juga
ham ditunjang oleh stmtegi promosi melalui media massa, selebaran, kelompok atau media komunikasi Iaimya yang tepat; serta ancangan jaringan distribusi yang memadai. Ancangan jaringan distribusi dalam pemasaran sosial produk sosial berbeda dari ancangan dalarn pemasaran komersial. Dalarn pemasaran sosial,
jalur distribusi tidak dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa,
tetapi untuk
menguatkan faktor-faktor yang mendukung dan
menghilangkan faktor-faktor penghmbat. Ini dilakukan dengan cara membina
hubungan yang baik dengan penduduk, kelompok-kelompok sosial dan tokohtokoh lokal yang berpengaruh. Jadi, mobilisasi kelompok dm tokoh-tokoh
masyarakat sebagai jdur distribusi pernasaran sosial produk sosial sangat penting. OIeh k a n a itu, pengembangan strategi membina hubungan dengan sistem klien menjadi bagian krusid dalam seluruh proses pemasaran sosial.
Langkah terakhir pemasarm sosial adaiah manajemen pemasaran sosid.
Seluruh hasir yang diperoleh pada dua tahap sebelumnya seperti identifikasi masatah dan kebutuhan penerap sasaran, faktor pendukung dan pengharnbat, ancangan pengemasan dm penempatan produk, strategi promosi dan hubungan dewan sistern Hien dipadukan dalarn sebuah rencana aksi yang disusun
bersama dengan sistem Mien atau penmp sasaran. Pemasar sosial atau pengantar pembaruan (change agent) dan jaringan distribusi lainnya seperti
kader-kader di d m memfasilitasi proses diagnosis masalah, penentuan sssaran
dan cara mencapai sasaran. Dari hasil diagnosis ini pengantar pembaruan d a p t menentukan jenis program penyuIuhan "keayahbundaan" yang tepat untuk
dikembangkan:
apakah
bersifat
infomasional,
institarsional
atau
developmental; dan metode yang akan diterapkan: apakah inforrnasi, advokasi, pelatihan atau edukasi. Yang krusial dari lmgkah ketiga bukan hanya
terjadinya transformasi dari non-belief (gagasan sosial belurn diyakini
manfaatnya), beliex (gagasan sosial diyakini manfaatnya, tetapi belum d i p r a k t i i ) , behavior (gagasan sosid diyakini manfaatnya dan dipraktikkan)
menuju terbentuknya tab nilai (gagasan sosial sudah melembaga), tetapi juga
termasuk defending the _fit, yakni bagaimana semua perubahan itu bertahan lama Jadi keberlanjutan perubha menjadi W a n keberhasilan program
pemasaran sosid. Dari sudut pandang jenis-jenis perilaku penerap, sukses pemasaran pola dan praktik "keayahbundaan" yang lebih sehat diukur dari seberapa banyak compliance adopter berubah menjadi internalization adopter.
Ada tiga kondisi diibutuhkan untuk penerapan pendekatan pemasaran sosid (Susmto, 1989). Dua di antmnya adalah jika suatu cara atau p*
baru perlu disebarluaskan dalarn masyarakat dan jika upaya untuk lebih mengaktiihn masyarakat perlu diaktifkan. Pengalaman di Sri Lanka, India,
Thailand, Bangladesh, dan Meksiko menunjukkan bahwa penerapam pendekatan ini untuk program berencana mensymtkan beberapa hal seperti
keterlibatan atau kerjasarna antara beragam instansi dm Iembaga sosial yang reIevan; perencanaan, pelaksanaan, dan pengenddian yang profesional; program yang hendak dipasmosialkan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat atau kelompok sasaran (Susanto, 1989). Rancangan makro
pendekatan pernasaran sosial yang dikembangkan ini memang hams memperhatikan hal-ha1 tersebut agar hasil yang diharapkan dapat tercapai.
Deterrninan Pola "Keayahb~ndaan"Yang Sehat
Kajian teoretik di atas memberi landasan konseptual mengenai hubmgan antara "keayahbundaan" yang sehat dan tumbuhkembang anak. Yang dimaksud dengan "keayahbundaan" yang sehat di sini adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh orangtua yang berorientasi pada dan
memfasilitasi pemenuhan hak tumbuhkembang anak, yang mencakup pemenuhan peningkatan status gizi dan kesehatan anak, stirnulasi kemarnpuan
kognitif, motorik, dan IQ anak, serta pendidikan karakter (ESQ). Aktivitasaktivitas ini berkaitan erat dengan mpek kesadaran d m keterampilan orangtua
dalarn melakukan aktivitas tersebut. Dalam konteks ekologi rumbuhkembang
anak, "keayahbundaan" yang sehat adalah representasi keterampilan orangtua mentransformasi semua faktor yang berasaI dari ekologi tumbuhkembang anak
dan seluruh potensi keluarga (orangtua) menjadi aktivitas untuk mendukung tumbuhkembang an&. Wujud nyatanya dapat bempa perilaku kehangatan,
kelekatan yang aman, penerimaan atau perilaku autoritatif. Bigner (1 979) mengemukakan bahwa "keayahbundaan" dipengaruhi
oIeh faktor budaya dan kepribadian orangtua Faktor budaya di sini mencakup preskripsi tentang apa yang baik dan tidak baik dilakukan oleh orangtua untuk
mendukung tumbuhkembang anak. Sebagai contoh, Engle et al. (1997) mengemukakan bahwa keyakinan kultural antara Iain berisi tentang preskripsi
kapan saat yang tepat memberi AS1 pertama dm kapan menghentikmnya. Preskripsi ini bervariasi untuk konteks sosial budaya tertentu. Di India dan sebagian wilayah di Asia Tenggara rnisalnya, kolostrom dianggap sangat tidak
dibutuhkan oleh anak. Secara sosiaI budaya juga sudah dibenarkan pemberian air manis (sweetened wafer)atau susu sapi kepada anak pada usia dua atau tiga hari pertama sejak lahir, sedangkan di wilayah-wilayah lain, pemberian AS1
pertama rnerupakan praktik yang universal (Reissland & Burghart, Almedom,
Corninsky, & Harrison dalarn Tinker, 1994). Di Madura, kolostrurn juga
dianggap sebagai air kotor yang secara kultwal dilarang untuk diberikan
kepada bayi (data dari diskusi kelompok terfokus). Temuan lain juga menunjukkan bahwa masa pemberian AS1 lebih pendek untuk perempuan di bebmpa negara Asia Selatan rnerupakan prrtktik
yang umum dilakukan oIeh orangtua, tanpa sanksi sosial tertentu. Sebaliknya, kalau praktik itu dilakukan untuk anak laki-laki, orangtua akan mendapt sanksi sosial (Tinker et a]., 1994). Makan b e m a dengan anak untuk keluarga tertentu masih merupakan sesuatu yang tabu, atau paling tidak belum dibiasakan di beberapa komunitas.
Faktor internal, menurut Bigner (1979) mencakup motivasi dan
kesadaran tentang
dampak
"keayahbundaan" yang
sehat
terhadap
tumbuhkembang anak. Motivasi dan kesadaran ini mendorong orangtua untuk
berperilaku permisif, autoritarian, atau autoritatif. Dix (I 99 1) menambahkan karaktmistik dasar (basic behavior tendencies) sebagai dimensi penting faktor kepribadian. Dimensi hi merupakan the aflective organization faktor "keayahbundaan" yang dapat berubah dan diubah. Zeitlin et aI. (1990)
menambahkan
dimensi
kemampuan pada
faktor
internal.
Mereka
mengemukakan bahwa kemampuan merupakan faktor krusial untuk ditingkatkan agar aktivitas riil "keayahbundaan" sesuai dengan kebutuhan tumbuhkembang an&. Tetapi faktor ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti
beban kerja, kesehatan dan pengalaman mengasuh, tingkat
pendidikan, persepsi tentang nilai anak, kepuasan hidup, dan persepsi mengenai arti penting mengasuh an& dengan kompeten.
Model Engle et a[. ( 1997) memasukkan sumberdaya "keayahbundaan"
sebagai faktor utama "keayahbundaan." Mereka menganjurkan agar perbaikan "keayahbunh" dimulai dari perbaikan sumberdaya yang dibutuhkm unuk dapat mengasuh anak dengan sehat (resources for care). Sumberdaya ini
mencakup tingkat
pendidikan, pengetahurn mengasuh,
pengalaman
"keayahbundaan," nilai penting mengasuh mak, nilai anak, status gizi atau
kesehatan orangtua, manajemen sumberdaya keluarga, beban kerja atau ketersediaan waktu dan dukungan anggota keluarga lain, terutama pdsipasi orang lain dalam kegiatan domestik. Pada level ini, kita juga tidak dapat mengabaikan pendapat Mazhahiri (2000), yang mengemukakan bahwa faktor kehidupan atau perilaku spiritual-keagamaan orangtua tidak bisa dianggap
remeh untuk perkembangan anak, terutama kecerdasan sosial-moral anak. Pentingnya faktor ini terkait langsung dengan kesadaran bahwa anak adalah amanat, yang hak tumbuhkembangnya h a w dipenuhi. Ini dapat diwujudkan
dalam bentuk b e h i o u r modelling misahya dalam proses pembelajaran info&
untuk sosialisasi nilai-nilaikeagamaan Mam keluarga Kajian-kajian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
orangtua berkorelasi positif dengan tingkat kemampuan mengapresiasi pentingnya "keayahbundaan"
yang sehat. Ia juga mempengaruhi tingkat
komitmen orangtua terhadap tumbuhkembang anak (LeVine et al. dalam Myers, 1992) dan keintensifan (kuantitas dan mutu) asuhan (GuIdan dalarn Engle
et a/.,1997).
Faktor ini diduga berdampak positif lebih baik bifa
pengetahuan orangtua mengenai "keayahbundaan" juga lebih baik (Engle et
al., 1997).
Dua peubah terakhir saling terkait, dalam pengertian bahwa tingkat pengetahuan "keayahbundaan" yang sehat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Tetapi dua peubah ini juga bisa berdiri sendiri; orangtua dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pengetahuan "keayahbundaan"
yang tidak lebi baik daripada orangtua bependidikan lebih rendah; dan sebaliknya.
Dimasukkannya peubah
upaya
orangtua
untuk
meningkatkan
pengetahum dan keterarnpilan "keayahbundaan" ke dalam faktor motivasi
"keayahbunh" oleh Engle et al. (1997)menggambarkan bahwa dua peubah itu ti&
selalu berhubungan. Dalam kajian ini, dua peubah ini diasurnsikan
sebagai peubah yang berdiri sendiri, sedangkan peubah pengalaman 4bkeayahbundam''berkaitan langsung dengan keterlibatm orangtua dalarn aktivitas "keayahbundaan" baik dalam keluarga asal, keluarganya sendiri
rnaupun di tempat lain (Brazelton, 198 1). Persepsi dm sikap orangtua tentang pentingnya "keayahbundaan" yang lebih sehat rnerupakan sumberdaya "keayahbundaan"yang penthg. Peubah ini menjadi
basis
psiko-perseptual
harapan
dan
kebutuhan
akan
"keayahbu11dmn" yang lebih sehat dikaitkan dengan harapan orangtua
terhadap masa depan anak. Faktor ini menjadi the cognitive structure of parenthood yang menentukan tumbuhnya konsepsi dan kesadarztn skan
"keayahbundaan," yakni sistem pengetahuan terorganisasi yang dengannya
orangtua menjadi peka terhadap kebutuhan dan hak anak. Persepsi tentang nilai anak juga berpengaruh terhadap harapan dan kebutuhan ini. Tetapi peubah nilai anak - nilai ekonomis dan non-ekonomis -
menempati ranah (domain) basis psiko-perseptual yang berbeda dari persepsi orangtua tentang pentingnya mengasuh anak dengan lebih sehat. Yang pertama
berfokus pada anak, sedangkan yang kedua berkaitan dengan "manfaat" apa
yang bisa diperoleh oleh orangtua dari anak. Secara bersarna-sama atau sendiri-sendiri dua peubah ini bisa berpenganrh terhadap perilaku dan motivasi "keayahbundaan."
Ddam model ekologi tumbuhkembang anak yang digmakan oleh kajian ini, o m g h a merupakan peubah utama semua faktor ekologi tumbuhkembang anak. Kondisi fisik dan psikologis, terutama status gizi orangtua akan sangat menentukan kinerja penyelenggaraan peran transfomasi
ini. McCullough menemukan, Ibu yang kekurangan vitamin kurang tanggap
terhadap vokalisasi anak d m tidak mampu mengatasi gangguan yang dialami
oleh anak (EngIe ef al., f 997). Faktor sumberdaya "keayahbundaan" ini dalam beberapa aspeknya dipengaruhi oleh sumberdaya atau kesejahteraan keluarga
dan sumberdaya kesehatan baik dalam keluarga maupun masyarakat, seperti kondisi lingkungan rumah dan pelayanan kesehatan atau p e n d i d i masyarakat.
Megawangi rnengembangkan model struktural kesehatan sosid keluarga dalam rnenelaah hubungan antara dinamika keluarga dan
tumbuhkembang an& di Yoruba dan Jawa (ZeitIin ef al., 1990). Model ini secara khusus menelaah peran strategis fakrtor konteks bagi tumbuhkembang
anak. Peubah-peubahkonteks yang dimasukkan ke dalarn model ini mencakup sumberdaya keluarga, manajemen keluarga, keyakinan (nilai-nilai) dan
perilaku asuhan, dan tumbuhkembang anak. Tiga gugus peubah ini dianggap
sebagai peubah laten (unobserved variables), yang terdiri atas peubah manifes (observed variables) seperti sumberdaya keluarga, dinarnika keluarga,
modernitas keluarga dan sinungan komunitas (comrnuni~endowment). Sehubungan dengan faktor karakteristik anak, Bigner (1979)
rnengemukakan bahwa perilaku "keayahbundaan" bukan merupakan aktivitas searah, yakni orangha-anak; tetapi dua arah, yakni orangtua-anak dm anak-
orangtw
Artinya
adalah, tumbuhkembang anak
dipengaruhi oleh
"keayahbundamn o r a n w tetapi pola "keayahbundaan"yang diterapkan oleh orangtua juga dipengaruhi oleh temperamen atau kmkteristik anak (Morris,
1 969; Belsky dalam Hof h a n et al., 1 994). Tesis resiprositas "keayahbundaan" ini diterapkan dalam penelitian ini. Hubungan orangtua-anak diterapkan dalam kaitannya dengan tumbuhkembang anak, sedangkan hubungan anak-orangtua
diterapkan untuk menelaah potensi hubungan antara beberapa dimensi peubah
karaktersitik anak dan dan beberapa dimensi peubah perilaku dan motivasi "keayahbundaan." Ourpzdnya berupa kbuhkembang anak. Dimasukkmnya faktor surnberdaya komunitas oleh model kesehatan sosial keIuarga sejalan dengan preskripsi tesis children of the universe dan perhatian banyak kalangan terhadap modal sosial. Karena itu kajian tentang
"keayahbundaan" dalarn kaitannya dengan tumbuhkembang anak bukan saja mempertimbangkan faktor yang terdapat pada aras (level) individu dan keluarga, tetapi juga faktor pada aras komunitas.
Dukungan komunitas sangat dibutuhkan, W b m a untuk memperbesar sumberdaya "keayahbundaan" dan modernitas keluarga. Faktor ini mencakup fasilitas clan sarana yang disediakan oleh komunitas untuk hunbuhkembang
anak seperti lembaga kesehatan, pendidikan, dm lingkungan berrnain. Semua
faktor
yang
secara
teoretik
diduga
berpengaruh
positif terhadap
"keayahbundam" dan tumbuhkembang an& digubah dan diseleksi untuk
menjadi kerangka pemikiran penelitian. Proses seleksi dibutuhkan untuk membatasi cakupan analisis demi ketertanganan (manageable) proses penelitian.